Vitamins Blog

Time Slip Princess

Bookmark
ClosePlease login

No account yet? Register

Time Slipp Princess

Sebuah kecelakaan membuat Dongmei, seorang wanita anggota pasukan khusus anti teror terlempar ke beberapa ribu tahun yang lalu. Parahnya, jiwanya kini bersemayam pada tubuh seorang putri. Sikap Dongmei yang keras dan kasar membuat gempar seisi istana. Bagaimana tidak? Putri Meifeng yang mereka kenal selama ini sangat penurut, pendiam, dan sering menjadi bulan-bulanan anggota kerajaan lainnya.

Konflik semakin hebat setelah ingatan sang putri perlahan kembali, membuat Dongmei marah atas sikap orang-orang kerajaan pada Meifeng selama ini. Ia menantang bertarung kakak kandungnya, menentang keinginan raja, dan puncaknya Dongmei melarikan diri dari kerajaan. Sebuah perjalanan yang akan mempertemukannya dengan seorang pria yang akan mengubah kehidupannya.

***

Asap putih pekat dan hawa panas yang berasal dari lantai dasar gedung membuat Dongmei bergerak semakin cepat. Dia dan anggotanya tidak memiliki banyak waktu lagi. Mereka harus segera mengeluarkan anak-anak korban penculikan yang disekap di ruang bawah tanah. Suara krak terdengar saat sepatu PDL Dongmei menginjak kayu rapuh di bawahnya. Dia langsung memberikan isyarat tangan, meminta keempat anak buah yang berjalan di belakangnya untuk berhati-hati.

Wanita berusia dua puluh lima tahun itu menghentikan langkahnya. Hawa panas dari balik pintu besi itu memberinya sebuah peringatan. Sumber api pasti berasal dari balik ruangan itu, pikirnya. Dongmei kembali memberikan perintah tanpa kata, dia menggunakan isyarat pada anak buahnya untuk bergerak lebih cepat.

Sebagai anggota intelijen negara, Dongmei sudah terbiasa menghadapi situasi seperti ini. Namun, yang membedakannya kali ini; ada puluhan nyawa anak-anak tidak berdosa yang tengah dipertaruhkan. Anak-anak itu diculik dari beberapa wilayah, disekap untuk kemudian diperjualbelikan organ bagian dalamnya di pasar gelap.

Besarnya peminat untuk organ dalam manusia di pasar gelap membuat bisnis kotor ini berkembang pesat, dan anak-anak tidak berdosa pun menjadi korbannya. Dongmei sudah muak, kemarahannya hanya bisa ditelannya bulat-bulat saat pihak kepolisian menemukan jasad-jasad tanpa organ dalam itu mengambang di sungai, atau dibuang di semak belukar. Sudah cukup, batinnya. Ia akan memastikan tidak ada anak-anak yang menjadi korban kekejian manusia-manusia tidak bernurani itu.

Butuh waktu sekitar lima menit hingga kelimanya berhasil menemukan pintu menuju ruang bawah tanah. Ruangan itu sangat minim cahaya. Dongmei bergegas turun tanpa menurunkan kewaspadaannya. Suara rintihan minta tolong terdengar dari ujung ruangan. Di depan mereka ada tiga ruangan yang masing-masing dikunci dari luar.

Dongmei memerintahkan anak buahnya untuk membuka paksa ruangan-ruangan itu, dan benar saja dalam masing-masing ruangan berukuran tiga kali tiga meter itu ada lima hingga enam anak berusia enam hingga sepuluh tahun disekap. Kondisi mereka terlihat sangat mengenaskan. Mereka dipaksa makan, tidur, buang air kecil dan besar di tempat itu.

Dongmei dan keempat anak buahnya memisahkan anak-anak yang masih cukup kuat untuk berjalan, sementara anak-anak yang lemah mereka bawa di atas punggung. Mereka kembali bergerak setelah memastikan semua korban berhasil dievakuasi.  Suara ledakan dari lantai dasar bukan pertanda bagus. Dongmei berusaha bersikap tenang, dengan penuh kehati-hatian dia berjalan menerobos kepulan asap putih yang semakin pekat.

Rasanya sangat sulit berjalan dengan kondisi seperti ini. Masker oksigen yang mereka gunakan sebelumnya diberikan pada anak-anak untuk digunakan secara bergantian. Dongmei merasa dadanya seperti terbakar. Rasanya seperti akan mati, pikirnya.

“Bergerak lebih cepat!” teriak wanita itu saat merasakan hawa panas dari belakang punggungnya. Dongmei mempercepat langkah. Bukan hal mudah untuk bergerak dengan satu orang anak berusia lima tahun di punggung, dan dua anak berusia sama di gendongannya.

Ledakan kembali terdengar dari balik pintu besi yang tertutup rapat. Hanya sedikit lagi, pikirnya. Mereka hanya perlu melewati ruangan kosong yang dipenuhi asap itu untuk keluar dari bangunan terkutuk ini. Di luar, suara sirine polisi dan ambulans menyaru, menyambut indra pendengaran saat Dongmei keluar dari gedung tua berlantai empat itu.

Ia baru saja melepas napas yang sedari tadi ditahannya saat terdengar suara seorang anak berteriak, “Lili!” teriak anak perempuan berusia sepuluh tahun itu. Dia mendongak, menatap Dongmei, “Dia terlepas dari genggamanku.” Tanpa berpikir dua kali Dongmei berbalik dan berlari. Mengabaikan teriakan atasan dan petugas pemadam kebakaran dia merangsak masuk ke dalam gedung yang dilalap api itu.

“Lili?” teriaknya saat berada di lantai satu. Dongmei melihat ke sekeliling, asap pekat membuat pandangannya mengabur. “Lili?” Ia kembali berteriak. Lebih keras kali ini. Tenggorokannya terasa terbakar, Dongmei terbatuk hebat. Namun, Tuhan menolongnya. Tubuh gadis kecil itu tergeletak tidak jauh dari tempatnya berdiri saat ini. Api yang menyala-nyala membantu penglihatannya.

Dongmei mengumpat saat indra penglihatannya menatap puluhan tabung gas berjejer tidak jauh dari tubuh Lili tergeletak tak sadarkan diri. mereka harus keluar dari tempat ini secepatnya. Dengan gerakan cepat ia membawa tubuh gadis kecil itu ke dalam gendongannya. Sekuat tenaga Dongmei berlari, menembus kepulan asap putih yang menghadangnya. Sedikit lagi, hanya sedikit lagi dan ledakan besar itu pun terjadi. Memekakan indra pendengarannya. Melempar tubuhnya dan tubuh gadi kecil dalam gendongannya, dan ia pun jatuh ke dalam kegelapan yang sangat pekat setelahnya.

Gelap dan kosong. Dongmei berusaha mengambil napas dengan rakus. Kegelapan pekat itu seolah menelannya, menarik semua pasokan udara dalam paru-parunya hingga ia terengah. Kedua matanya terbuka, tubuhnya tersentak. Ia terduduk, keringat membanjiri dahi dan punggungnya, namun, Dongmei masih belum sadar di mana dia berada saat ini.

Aroma bunga mawar yang menyelimuti ruangan tidak berhasil menariknya ke dunia nyata. Napasnya masih terengah. Dongmei bahkan tidak sadar jika rambut pendeknya kini tergerai panjang, hitam dan mengkilap.

“Tuan putri sudah siuman. Tuan putri sudah siuman.”

Dongmei mengabaikan teriakan penuh kegembiraan itu. Dipejamkan kedua matanya erat. Rasa sakit di kepalanya membuat wanita itu ingin membenturkan kepalanya. Dongmei meringis saat tangannya menyentuh pelipis yang ditutup oleh kain kasa. Rasa sakit lain menyerangnya. Mungkin kepalanya terluka akibat ledakan itu, pikirnya, tidak ambil pusing.

Dengan gerakan pelan dia mengubah posisinya hingga duduk. Setelah merasa lebih kuat Dongmei memutuskan untuk turun dari atas ranjang dan berjalan menuju jendela kamar yang terbuka. Suara keributan di belakang punggungnya tidak menarik perhatian wanita itu. Saat ini Dongmei terlalu sibuk mencari tahu di mana dia berada sekarang?

“Tabib, periksa keadaannya!” Ucapan bernada perintah itu mengusiknya. Dalam satu gerakan Dongmei membalikkan tubuh hanya untuk mendapati orang-orang dengan pakaian sangat aneh. Tatapannya beralih pada seorang pria berjanggut panjang yang berjalan ke arahnya dengan sikap sangat sopan.

Dongmei menepis tangan pria tua yang berusaha meraih pergelangan tangannya. “Jangan menyentuhku!” kalimat itu diucapkan dengan nada dingin hingga membuat orang-orang yang berdiri di depannya terlihat terkejut. Ia menyipitkan kedua matanya saat bertanya, “Siapa kalian?”

“Jangan bercanda!” seorang pria berusia sekitar dua puluh tahunan berjalan ke depan. Dia berdiri di sisi seorang pria paruh baya dengan pakaian paling mencolok dengan warna emas dan mahkota yang berada di kepalanya. “Perbuatanmu membuat seisi istana panik,” sambungnya saat wanita yang diajak bicara tidak menanggapi ucapannya.

“Seisi istana?” beo Dongmei. Ia memiringkan kepala ke satu sisi. Rambut hitam panjangnya tergerai hingga melewati pantat, begitu kontras dengan pakaian tidur berwarna putih yang dikenakannya. Sekali lagi ia mengamati penampilan orang-orang yang balas menatapnya dengan tatapan aneh. Jijik? Entahlah. Kenapa ia merasa beberapa orang itu menatapnya dengan jijik?

Dongmei mendesah. Mungkin dia sedang bermimpi saat ini. Ah, yang diperlukannya sekarang hanya kembali tidur, dan semua akan kembali normal. Sial, sakit kepala itu kembali datang membuatnya mengumpat pelan dalam bahasa Inggris. Dia perlu aspirin, atau beberapa botol bir dan ayam pedas sebagai obatnya.

Ia mendesah keras. “Sebaiknya kalian semua pergi. aku ingin sendiri,” ujarnya membuat pria muda tadi merah padam. Dengan langkah cepat pria itu berjalan ke arah Dongmei. Merasa terancam, Dongmei menepis tangan pria muda itu yang jelas hendak mencekiknya. Tanpa kesulitan berarti ia memelintir tangan pria itu, menendang bagian belakang kakinya hingga membuat penyerangnya jatuh berlutut dan meringis kesakitan.

“Meifeng!” teriakan raja membuat suasana menjadi mencekam. “Apa yang kaulakukan pada saudaramu?”

Dongmei menaikkan satu alisnya. Meifeng? Siapa Meifeng? Tanyanya dalam hati. Namun, ia tidak mengatakan apa pun atau berniat melepas pria muda dalam kurungan tangannya. “Apa kau tidak melihat jika dia berniat mencekikku tadi?”

“Omong kosong!” bentak raja. Telunjuknya teracung tinggi. “Berani sekali kau bersikap tidak hormat pada ayahmu!” sambungnya, masih dengan nada marah yang sama. “Prajurit!” panggilannya menggema, membuat permaisuri, beberapa selir dan pangeran menyingkir sementara empat orang prajurit datang ke dalam kamar lalu bersujud dengan satu kaki, siap menerima perintah raja. “Seret Putri Meifeng dan cambuk dua puluh kali!”

Dongmei mendengkus. Ia melepas pria muda di dalam kurungannya. Suara isakan seorang wanita muda menarik perhatiannya. Lewat ujung matanya ia melihat bagaimana tubuh wanita muda itu bergetar, mungkin karena takut. Tuhan, kejadian ini terlalu nyata untuk disebut mimpi, pikirnya.

Ia kembali mendesah, lebih keras kali ini. Dongmei memindai ruangan tempatnya berada. Akan sulit untuknya melarikan diri jika bertarung di tempat ini. Ia tersenyum tipis lalu mengibaskan ujung lengan bajunya. “Pukul ya pukul. Aku sama sekali tidak takut,” oloknya membuat wajah raja memerah, menahan arah.

Dongmei mengangkat kedua tangannya saat dua orang prajurit berusaha untuk menarik lengan atasnya dan menyeretnya keluar ruangan. “Aku bisa berjalan sendiri,” desisnya. Tanpa banyak bicara Dongmei berjalan keluar ruangan, sementara empat orang prajurit mengikuti langkahnya di belakang.

“Cambuk!” Perintah itu kembali diucapkan dengan sangat lantang. Dongmei hanya tersenyum, dan saat dua orang prajurit berusaha membuatnya berlutut, dia langsung berputar, tanpa kesulitan berarti Dongmei berhasil merebut pedang salah satu prajurit itu. “Meifeng!” teriakan raja tidak membuat Dongmei gentar, sebaliknya dia merasa tertantang. “Tangkap dan kurung dia!”

Serangan itu datang dengan cepat. Dongmei bersyukur karena selain memiliki ilmu bela diri tinggi, dia pun memiliki fisik sangat kuat. Seharusnya empat orang prajurit ini bukan tandingan sepadan untuknya. Keraguan prajurit-prajurit itu membuat Dongmei memiliki kesempatan lebih besar untuk menang, namun, sayangnya tiga orang pangeran memutuskan untuk ikut campur dalam perkelahian itu.

“Sejak kapan kau bisa bela diri?” tanya seorang pangeran yang berusia paling muda. Ia menekuk keningnya dalam, terlihat heran dengan perubahan mendadak saudari satu ayahnya itu. Bagaimana bisa seorang putri lemah mendadak bisa bela diri hanya dalam kurun waktu tiga malam? Apa mungkin selama ini Meifeng berpura-pura lemah? Tanyanya dalam hati.

Dongmei mendengkus. “Sejak kau belajar merangkak,” jawabnya, ketus. Wanita itu tersenyum puas saat berhasil melumpuhkan seorang penyerang yang tidak lain Pangeran Kelima Kerajaan Bai Yun. Dalam satu gerakan gesit dia berhasil meloncati benteng Paviliun Burung Hong, lalu meloncat turun dan berlari melewati lorong dan taman istana dengan puluhan prajurit yang telah diperintahkan untuk meringkusnya.

Keringat dan rasa lelah diabaikan wanita itu. Kakinya yang tak beralas mulai terluka oleh kerikit-kerikil kecil yang tidak sengaja diinjaknya. Sial, kenapa prajurit-prajurit itu bertambah banyak? Batinnya.

“Kau pikir apa yang sedang kaulakukan?” Pertanyaan bernada marah itu menghentikan langkah wanita itu.  Pangeran Liwei berjalan menuruni tangga, menatap adik kandungnya dengan ekspresi sulit ditebak. “Berhenti berbuat onar dan kembali ke paviliunmu!”

Dongmei tidak menjawab. Napasnya putus-putus, dadanya turun naik dengan cepat. Haus dan lelah menyerangnya secara bersamaan. Puluhan pasang mata kini menatapnya dengan penuh rasa ingin tahu. Di mana dia sekarang?

“Meifeng!” Liwei kembali membentak. Amarahnya tersulut karena Meifeng mengacuhkannya. Pria itu mengepalkan kedua tangannya, berjalan semakin cepat menuju Dongmei tepat saat wanita itu melihat seorang prajurit menarik tali kekang dua ekor kuda.

Pergerakan Dongmei yang kembali berlari cepat mengagetkan Liwei. Terlebih saat wanita itu merebut paksa seekor kuda dari tangan seorang prajurit lalu meloncat ke atas punggung hewan itu tanpa kesulitan berarti. Dongmei tersenyum sinis, dia memberi gerakan hormat pada Liwei sebelum menarik tali kekangnya.

“Hentikan, Meifeng atau aku akan memenggal semua hamba sahayamu!”

Gerakan Dongmei terhenti seketika. Dia mengangkat wajahnya, mencari sumber suara bernada perintah itu berasal. Di atas tangga tertinggi pelataran, sang raja berdiri, terlihat begitu bengis dan keji. Tuhan, dalam mimpi pun dia tidak bisa memiliki ayah yang diidamkannya. Dasar nasib, batinnya.

“Turun ya turun,” tantang Dongmei. Ia berdecak, mendelik saat seorang prajurit berjalan ke arahnya. “Sebenarnya apa yang kalian inginkan dariku?” Ia bertanya dengan dagu terangkat tinggi. Tangannya kembali meninju seorang prajurit yang diperintahkan untuk meringkusnya. “Berhenti menyentuhku, aku bisa membunuh kalian dengan mudah,” desisnya, penuh ancaman.

Sang raja mengeraskan rahang melihat perilaku tidak sopan putrinya. Sungguh, ia sama sekali tidak tahu jika Meifeng sangat liar dan kurang ajar. “Tangkap dan kurung dia di paviliunnya!” perintahnya, tak terbantahkan. “Jangan melawanku, Meifeng, atau semua hamba sahayamu akan mati,” desisnya membuat Dongmei untuk pertama kalinya tidak bisa berkutik.

.

.

.

Dongmei berjalan, menyeret gaun tidurnya yang menyapu tanah. Ekspresi datarnya membuat orang-orang sulit menebak apa yang ada dalam pikiran wanita itu. Tanpa banyak bicara dia berlutut sementara mata hitamnya yang tajam menatap orang-orang yang berdiri di hadapannya.

Ini hanya mimpi, pikirnya. Dalam mimpi, dua puluh cambukan tidak akan terasa sakit, kan? Dongmei menertawakan dirinya sendiri. Ah, sebaiknya dia ikut dalam permainan ini. Mungkin hanya dengan cara itu dia bisa terbangun dan kembali ke alam nyata. Suara keras cambukan terdengar keras saat mendarat di punggungnya.

Dongmei langsung meloncat, menangkap tali pecut yang siap kembali mendarat di punggungnya. Brengsek, rasa sakitnya terasa sangat nyata. Wanita itu meringis, giginya gemeretak sementara satu tangannya yang bebas menyentuh bagian punggung yang terkena pecut tadi. “Berani memecutku lagi kupatahkan kedua tanganmu!” ancamnya membuat prajurit itu mundur satu langkah.

“Yang Mulia, Putri Meifeng sangat kurang ajar,” kata permaisuri.  Tangannya yang memegang sapu tangan diletakkan di depan mulut, kedua matanya lekat menatap Dongmei yang tengah menyebar ancaman dengan desisannya. Permaisuri melirik pada raja yang masih terdiam. “Anda harus melakukan sesuatu,” sambungnya.

Raja tidak mengatakan apa pun. Dengan isyarat tangan dia meminta seorang tabib istana untuk mendekat. “Kenapa Meifeng menjadi seperti itu?” tanyanya, tanpa ekspresi.

Sang tabib memberi hormat sebelum menjawab, “Lapor, Yang Mulia. Sepertinya benturan keras pada kepala Putri Meifeng membuat pikirannya terganggu,” terangnya. “Maksud hamba ….”

“Maksudmu Putri Meifeng gila?” desis raja. Sang raja menyipitkan kedua matanya. Kedua tangannya terkepal erat. Perilaku tidak biasa Meifeng membuat perasaannya sedikit gundah. Walau bagaimanapun Meifeng juga putrinya, darah dagingnya. Mendengar tabib mengatakan putrinya gila membuat darah raja mendidih.

“Hentikan!” teriaknya, kemudian. Dongmei mendongakkan wajah, dagunya diangkat tinggi. Tanpa ragu dia menatap lurus sang raja yang berdiri penuh keagungan di tangga tertinggi. “Bawa Putri Meifeng kembali ke paviliunnya!” tukasnya kemudian.

Raja pun berbalik. Ia memutuskan untuk melepaskan Meifeng dari hukuman kali ini. Raja mungkin bukan ayah yang baik, tapi rasa sayang untuk putrinya itu ternyata masih ada. “Periksa kondisi Putri Meifeng,” kata raja pada tabib istana. “Laporkan kondisinya padaku malam ini juga!” perintahnya tegas sebelum berjalan pergi.

Empat orang dayang wanita berjalan dengan kepala menunduk menuju tempat Dongmei. Dengan penuh hormat mereka mengulurkan tangan untuk membantu tuan putri mereka berjalan, tapi dengan tegas Dongmei menolak uluran tangan itu, dan sang putri pun kembali ke kediamannya, meninggalkan desas-desus mengenai keanehan perilakunya di belakang punggung.

.

.

.

Sang tabib bergegas menuju ruang kerja raja setelah selesai memeriksa Meifeng. Seorang prajurit penjaga melaporkan kedatangannya pada kepala kasim yang bertugas melayani semua keperluan raja. Kasim tua berjalan tergopoh-gopoh. Tubuhnya sudah membungkuk oleh usia, namun, kedua matanya masih terlihat sangat tajam.

“Yang Mulia, tabib istana datang untuk melapor,” kata Kasim Cao penuh hormat. Ia berdiri di depan meja kerja raja, kepalanya menunduk dalam. Kepala kasim membungkuk hormat saat raja memberi isyarat untuk mengizinkan tabib istana masuk. Kasim berjalan cepat menuju pintu ruang kerja yang tertutup, membukanya untuk mempersilahkan tabib istana masuk.

Raja Bai meletakkan perkamen yang tengah dibacanya saat tabib istana masuk ke dalam ruang kerjanya. Ia melambaikan tangan, meminta tabib untuk memulai laporannya.

“Lapor, Yang Mulia, hamba sudah memerika kondisi Putri Meifeng, dengan sangat menyesal hamba harus melaporkan jika tuan putri kehilangan ingatannya,” lapor tabib dalam satu tarikan napas. “Tuan putri bahkan tidak mengingat namanya sendiri,” sambungnya.

Keheningan menggantung di dalam ruangan itu untuk beberapa saat. Raja bertopang dagu, berusaha mencerna ucapan tabib istana. “Kenapa sikapnya sangat berubah?” tanyanya kemudian. Raja Bai berdiri, berjalan memutari meja kerjanya sembari berpunggung tangan.

Ia menjeda untuk menarik napas panjang. Raja Bai berdiri di depan jendela yang terbuka. Tatapannya menerawang jauh. “Dia seperti bukan Meifeng,” tukasnya. Raja berbalik cepat, “Bagaimana jika dia menyamar sebagai Meifeng?”

Tabib istana mengangkat kedua tangannya di depan dada sebelum menjawab, “Lapor Yang Mulia, hamba rasa benturan keras pada kepala putri memunculkan sisi lain dari Putri Meifeng yang selama ini tertidur.”

“Apa maksudmu?”

“Selama ini kita tahu jika Putri Meifeng sangat menyukai membaca buku-buku ilmu bela diri—”

“Maksudmu Meifeng yang ada saat ini adalah Meifeng yang lain?” potong raja cepat. Raja Bai mendesah keras saat tabib istana menganggukkan kepala. “Aku seperti tidak mengenalnya,” kata raja, kemudian. Raja kembali terdiam sejenak. “Dia bahkan berani menatap kedua mataku,” sambungnya, “aku tidak melihat kelembutan di kedua matanya. Tidak ada. Meifeng yang kukenal tidak ada dalam dirinya.”

Tabib istana tidak langsung menjawab. Kegelisahan raja bisa dimengertinya. “Ampun, Yang Mulia, bukankah hilangnya ingatan Putri Meifeng patut disyukuri?”

“Apa maksudmu?” bentak raja. Tabib istana dan kasim langsung jatuh bersujud. Nada marah yang terselip dalam suara raja bukan main-main.

“Yang Mulia, mohon ampuni kelancangan hamba,” tukas tabib istana. “Namun, dengan hilangnya ingatan, Putri Meifeng bisa memulai hidup baru dan meninggalkan masa lalu di belakang,” sambungnya. Suaranya terdengar serak dan bergetar karena takut. Kepalanya bisa melayang jika raja murka karena tersinggung oleh ucapannya. Tabib Cao terdiam untuk meredakan debaran jantungnya yang menggila oleh rasa takut. Dia menarik napas sepelan mungkin, berusaha tidak membuat suara yang bisa mengundang amarah raja.

Raja Bai kembali mendudukkan diri. Ekspresinya terlihat sangat serius. Ia mengetuk-ngetukkan jarinya ke atas meja teh, keningnya ditekuk dalam. “Kau benar,” ujarnya kemudian, “Meifeng memiliki hak untuk memulai hidupnya kembali,” sambungnya. Tatapannya kembali menerawang. “Aku akan memberi kebebasan pada Meifeng untuk melakukan apa pun yang diinginkannya.”

Ia kembali terdiam. Tatapannya beralih pada kepala kasim yang sejak tadi tidak mengatakan apa pun. “Kasim Kang, antar obat-obatan, perhiasan, makanan dan pakaian ke Paviliun Teratai Salju, dan laporkan kegiatan Meifeng padaku!”

“Hamba menerima perintah,” jawab Kasim Kang. Kasim tua menyembunyikan senyuman. Dalam hati dia bersyukur pada Tian karena raja mulai membuka hatinya untuk Meifeng. Bagaimanapun raja tetap seorang ayah. Hatinya pasti tergerak setelah Meifeng nyaris mati karena bunuh diri, batin Tabib Cao.

.

.

.

Dongmei memicingkan mata. Sedikit terganggu oleh besarnya perhatian dayang yang ditujukan padanya. Ia bahkan harus membentak agar dayang-dayang itu meninggalkannya seorang diri saat mandi. Dan sekarang, seolah belum cukup, para dayang itu membantunya berpakaian dan merias wajah serta menyanggul rambut panjangnya.

“Apa memang harus seperti ini?” tanyanya, memutus keheningan yang menggantung di dalam kamarnya. Ia melirik seorang dayang yang sejak tadi malam enggan beranjak dari kamar tidurnya. “Siapa namamu?” pertanyaan itu dilontarkan dengan nada dingin hingga membuat dayang itu tersentak lalu bersujud.

“Hamba Tao tao, Tuan Putri,” jawab dayang muda itu. Tubuhnya bergetar. Dongmei memutar kedua bola matanya lalu mengibaskan tangan, meminta empat orang dayang lain untuk pergi dari kamarnya.

“Sudah berapa lama kau bekerja untukku?”

Tao tao menekuk keningnya dalam. Ia masih bersujud walau nada bicaranya terdengar lebih tenang saat menjawab, “Maksud Anda berapa lama hamba melayani Anda?” Tao tao balik bertanya.

“Hm ….”

“Sudah dua tahun hamba melayani Anda, Tuan Putri,” jawab Tao tao. Dia mengangkat tubuhnya setelah Meifeng memerintahkannya untuk berdiri. Tao tao terdiam, dia mengamati gerakan Meifeng dari balik bulu mata lentiknya. Dayang berusia delapan belas tahun itu meremat gaunnya yang berwarna hijau muda, menunggu tuannya untuk kembali bicara.

“Kalau begitu seharusnya kau tahu apa saja yang terjadi di istana ini,” kata Dongmei, datar. Ditatapnya Tao tao tanpa ekspresi. “Aku ingin kau menjawab semua pertanyaan yang kuajukan padamu. Apa kau mengerti?”

“Hamba mengerti, Tuan Putri,” jawab Tao tao, penuh hormat.

Dongmei menggebrak meja, semangat. “Bagus,” pekiknya. “Sekarang temani aku jalan-jalan!”

“Ah?”

“Apa maksudmu dengan ‘ah’?” decak Dongmei. “Aku bosan terus terkurung di tempat ini,” ujarnya, beralasan. “Kenapa? Apa ada yang salah?” Ia memicingkan mata saat Tao tao menggelengkan kepala. “Apa yang kausembunyikan?”

“Hamba tidak berani, Tuan Putri. Hamba tidak berani.”

Dongmei menghela napas keras. Dia kesal karena Tao tao terus bersujud dan memohon ampun padanya. “Bangun! Jangan membuatku kesal,” tukasnya, dingin. Ia berdiri dalam satu gerakan cepat.

Tao tao membeku di tempat. Rasa takut dan cemas menyatu dalam dirinya. Tuannya sangat berbeda. Ia tidak mengenal Meifeng yang berdiri di hadapannya saat ini.

Dengan gerakan tenang Dongmei menepuk-nepuk gaun sutranya yang berwarna biru langit. Ia menatap lekat Tao tao saat berkata, “Jangan terus meminta ampun padaku, kau membuat telingaku sakit.”

.

.

.

Dongmei berjalan dengan Tao tao yang mengikutinya di belakang. Sesekali ia menendang kosong saat Tao tao menceritakan apa saja yang terjadi di istana selama ini. Wanita itu tidak menampakkan emosi apa pun di wajahnya. Dia terus berjalan, berpunggung tangan, mengabaikan indahnya taman istana yang dilewatinya.

Pada akhirnya ia harus menerima kenyataan tidak masuk akal yang dialaminya saat ini. Benar. Memang sangat tidak masuk akal. Bagaimana bisa dia terlempar ke masa lalu? Terlempar ke dimensi lain dimana sebuah kerajaan kuno berdiri dengan segala kemegahan dan peraturan yang mengerikan.

Dongmei merinding. Ia memeluk tubuhnya sendiri. Kepalanya bisa melayang kapan saja di tempat ini, dan melihat bagaimana perilaku orang-orang istana terhadap Meifeing membuat Dongmei sadar jika tubuh putri yang didiaminya saat ini bukan anggota kerajaan yang populer.

Pasti akan sangat sulit untuk bertahan di tempat ini, pikirnya. Dongmei menghela napas berat, ia memicingkan mata saat netranya menangkap rombongan keluarga kerajaan yang berjalan ke arahnya. “Siapa dia?” tanyanya pada Tao tao. Melihat cara berpakaian wanita muda yang berjalan ke arahnya itu membuat Dongmei yakin jika wanita itu berasal dari keluarga kerajaan, atau keluarga bangsawan terpandang.

“Lapor, Tuan Putri itu Putri Han. Beliau putri kedua dari Selir Kesepuluh—Selir Xi,” terang Tao tao.

Dongmei mengangguk kecil sembari mencebikkan bibirnya pelan. Kalau begitu statusku lebih tinggi dari putri kecil itu, pikirnya, praktis. Namun, betapa terkejutnya Dongmei saat rombongan itu berjalan melewatinya begitu saja. Putri berusia lima belas tahun itu bahkan tidak melirik ke arahnya.

“Tunggu!” ujar Dongmei. Suaranya terdengar sangat dingin hingga membuat rombongan Putri Han menghentikan perjalanan mereka. Dengan dagu diangkat tinggi Dongmei berjalan ke depan Han, diamatinya sang putri dari ujung kaki hingga ujung kepala. Ia berjalan memutarinya, lalu mengarahkan perhatiannya pada sepuluh orang dayang yang menemani perjalanan Han.

Dongmei menyipitkan mata. “Berani sekali kalian tidak memberikan salam hormat padaku,” desisnya penuh penekanan. Ancaman yang terselip dalam suaranya membuat kesepuluh dayang itu saling melempar tatapan. “Kalian mau mati?” tanya Dongmei masih dengan nada dingin dan mengancam yang sama.

Kesembilan dayang langsung berlutut dan memohon ampun. “Ampuni kami, Putri. Kami bersalah,” ujar mereka kompak. Namun, Dongmei bergeming. Perhatiannya kini tertuju pada Putri Han yang menatapnya penuh benci.

“Kenapa kau tidak memberiku salam?” tanya Dongmei. Keangkuhan dan wibawanya membuat Han merasa terpojok. “Kau putri dari selir kesepuluh, berani sekali kau bersikap tidak sopan padaku,” ujar Dongmei. Ia mengangkat dagu Han dengan telunjuknya. “Usiaku lebih tua darimu, dan statusku lebih tinggi darimu. Berani sekali kau bersikap tidak hormat padaku!”

“Jangan mengganggu Tuan Putri Han!” ujar seorang dayang yang enggan berlutut. Dia menepis tangan Dongmei dengan kasar. Dagunya diangkat tinggi. Sikap menantangnya membuat Dongmei tertawa. “Berani sekali putri buangan sepertimu menyentuh tuanku.”

Dongmei mengambil satu langkah ke depan. Dia mencengkram dagu dayang berusia dua puluh lima tahun itu. Satu alisnya diangkat tinggi, kepalanya dimirinkan ke satu sisis. “Kau membentakku?” gumamnya, setengah berbisik. “Seorang dayang berani membentak seorang putri?” desisnya. Aura gelap Dongmei membuat tubuh dayang itu bergetar ketakutan.

Ia kembali tertawa. Terdengar sangat renyah tapi begitu menakutkan. “Apa kau mau mati?” bisiknya di telinga dayang itu, sementara Putri Han mulai menangis ketakutan.

“Apa yang kaulakukan?” Suara Pangeran Liwei membuat Dongmei melepaskan cengkramannya. Wanita itu mendengkus, lalu melirik lewat bahunya. Di belakangnya putra mahkota berjalan tergesa, bersama seorang jenderal muda dan dua orang pangeran yang pernah dilihat Dongmei sebelumnya. “Apa yang kaulakukan pada Han?” tanya Liwei, mendesak.

“Aku hanya memberinya peringatan,” jawab Dongmei tenang. Tatapan tajamnya terarah lekat pada Liwei. “Putri Han tidak memberi salam saat berpapasan denganku. Apa menurutmu itu pantas?”

“Sejak kapan kau meminta dihormati?” sambar Pangeran Liang. Pangeran kelima belas memiliki perawakan semampai, wajahnya sangat tampan. Tahun ini usianya sembilan belas tahun.

Dongmei bisa menangkap nada kesal yang terselip dalam suara Liang. “Siapa kau?” Ia balik bertanya. Nada dingin dan tidak bersahabat Dongmei membuat Liang terkejut. “Berapa usiamu?”

“Aku Liang, Pangeran Kelimabelas Kerajaan Bai Yun. Putra pertama dari selir keempat,” terangnya.

“Itu berarti usiaku lebih tua darimu dan kedudukanku pun lebih tinggi darimu mengingat aku putri dari permaisuri terdahulu,” ujar Dongmei tenang. “Kau harus belajar untuk bersikap hormat padaku Pangeran Liang. Jaga sikap dan nada bicaramu saat berbicara denganku!”

Liang tidak bisa membalas. Lidahnya mendadak kelu. Meifeng yang berdiri di hadapannya saat ini membuat bulu kuduknya berdiri, ngeri.

“Siapa yang memberimu hak untuk—”

“Kelahiranku yang memberi hak untuk itu.” Dongmei memotong ucapan Liwei cepat. Dia menatap sinis sang putra mahkota. “Statusku memberiku hak penuh untuk itu,” sambungnya, tenang. “Aku tidak mengerti, kenapa kau tidak sependapat denganku? Istana memiliki peraturan, terlebih untuk seorang budak. Budak yang berani menantang tuannya harus dihukum mati,” desisnya. Ia berbalik, menatap dayang yang kini bersujud, memohon ampun.

“Kau tidak bisa melakukannya,” ujar Liwei. Ia menarik pergelangan tangan Dongmei, memaksa wanita itu untuk menatapnya. “Kau tidak bisa menghukum siapa pun tanpa seizin raja.” Ia menjeda, giginya gemeretak. “Kenapa kau menatapku seperti itu? Berani sekali kau menantang kakakmu.”

Dongmei tertawa keras. Ia menepis genggaman tangan Liwei pada pergelangan tangan kanannya. “Kakak?” beonya, sinis. “Kau menyebut dirimu ‘kakak’?” ejeknya. “Katakan padaku, selama aku tidak sadarkan diri apa kau pernah datang untuk menjengukku?”

Liwei tidak menjawab.

“Dan kau masih menyebut dirimu sebagai seorang ‘kakak’?” tanya Dongmei lagi. Ia menjeda. “Kudengar kalian sangat membenciku,” tukasnya tiba-tiba. Dongmei mengendikkan bahu, kedua tangannya dilipat di depan dada. “Khususnya kau, Putra Mahkota. Aku ingin tahu alasanmu membenciku. Bukankah kita satu ayah dan ibu?” tanyanya pada Liwei.

Dongmei menyipitkan mata. Dia sudah tahu dari Tao tao jika permaisuri meregang nyawa setelah melahirkan Putri Meifeng dan sejak saat itu Liwei tidak pernah bersikap layaknya seorang kakak pada Meifeng. “Apa kau membenciku karena ibunda meninggal setelah melahirkanku?”

“Meifeng!” bentak Liwei, penuh ancaman. Namun, Dongmei bergeming.

“Berapa usiamu saat ibunda meninggal?” tanya Dongmei masih dengan nada dan sikap tenang yang sama. Wanita itu mengabaikan aura gelap dari diri Liwei, sementara Liang, Da dan Jenderal Deming menatapnya tidak percaya. Dongmei mencondongkan tubuhnya. “Lima tahun,” ujarnya.

Hening.

Ia tersenyum sinis. “Bukankah seharusnya kau bersyukur karena bisa mengenal ibunda selama lima tahun?” Dongmei mendengkus. Tatapan tajamnya menusuk Liwei. “Seharusnya kau bersimpati karena aku tidak pernah merasakan kasih sayang dari seorang ibu. Seharusnya kau menjagaku bukan membenciku.”

“Jaga mulutmu!” bentak Liwei. Dia melayangkan tangannya, bermaksud menampar Dongmei, tapi dengan gerakan cepat wanita itu bisa menangkis dan menepis sapuan tangan Liwei. Deming yang sudah bergerak untuk menahan Liwei hanya bisa terbelalak, tidak menyangka jika Meifeng bisa menjaga dirinya hingga sejauh itu.

Dongmei menghela napas keras lalu mengangkat kedua tangannya ke udara. “Aku tidak tahu bagaimana sikapku sebelum hilang ingatan. Namun, satu hal yang harus kalian ketahui; Meifeng yang kalian kenal sudah mati. Yang berdiri di hadapan kalian Meifeng baru. Aku tidak suka ditindas jadi kuharap kalian bisa menjaga sikap.”

Dongmei kembali menjeda. Memberi waktu untuk para pangeran, Putri Han dan para dayang untuk mencerna ucapannya. “Jangan harap kalian bisa memperlakukanku dengan buruk seperti dulu, karena aku tidak akan diam saja. Aku akan membalas sebuah tamparan dengan tamparan. Membalas pukulan dengan pukulan dan membalas ucapan jahat dengan sebuah pembalasan yang mungkin tidak akan pernah kalian bayangkan sebelumnya. Kalian harus ingat hal itu!”

Ia mendengkus, memberi salam asal-asalan pada Liwei. Untuk sejenak tatapannya tertuju pada dayang yang berani menentangnya tadi. Dongmei membungkuk, mengangkat dagu dayang itu dengan telunjuknya. “Aku melepasmu karena kau bertindak untuk melindungi tuanmu,” desisnya. “Di masa yang akan datang kuharap kau bisa menjaga sikap dan mulutmu. Aku tidak akan segan-segan memberimu pelajaran jika kau masih tidak bisa menjaga sikap. Apa kau mengerti?”

“Hamba mengerti, Tuan Putri. Hamba mengerti. Mohon ampuni hamba. Mohon ampuni hamba.”

“Bagus,” pekik Dongmei. Senyumnya terkembang. “Tao tao?” panggilnya. Dayang muda itu langsung berjalan ke arahnya.

“Hamba Tuan Putri.”

“Carikan aku sebuah cambuk!”

Tao tao mengerjapkan mata, tidak mengerti. “Cambuk?”

“Hm,” jawab Dongmei. “Sepertinya aku harus menggunakan cambuk untuk menghukum semua orang yang berani menatapku rendah,” ujarnya sembari berjalan pergi meninggalkan Liwei yang terpaku di tempat.

Putra Mahkota berdiri di sana beberapa lama. Ia hanya melambaikan tangan saat Han meminta izin untuk kembali ke paviliunnya. Liwei sama sekali tidak menyangka jika Meifeng bisa bersikap sekasar itu di hadapannya.

“Kakak Pertama, apa itu benar-benar Putri Meifeng?” tanya Lang. Suaranya terdengar serak, dan tidak percaya. “Dia terlihat berbeda. Dia membuatku takut,” sambungnya sembari memeluk tubuhnya sendiri. Lang berhasil dibuat ngeri oleh sikap Meifeng tadi. Tatapannya lalu beralih pada sang jenderal muda. “Jenderal Deming, menurutmu bagaimana?”

Jenderal Deming tidak langsung menjawab. Dia masih syok melihat perilaku Meifeng yang tidak biasa. “Ampun, Pangeran Liang, sejujurnya hamba sangat terkejut.”

“Tentu saja kau terkejut,” sambar Pangeran Da. Pangeran ketujuhbelas itu mengelus dada. Jantungnya maih berdetak sangat cepat karena kejadian tadi. “Putri Meifeng seperti iblis. Benturan di kepalanya pasti membuat otaknya terganggu.” Ia terdiam sejenak, memasang pose berpikir. “Bagaimana jika kita melaporkan kejadian ini pada ayahanda? Kakak Pertama, kau kakak satu ibu dengan Putri Meifeng, mungkin kau bisa bicara dengannya.”

Ucapan Da membuat Liang berdecak. “Apa kau tidak dengar apa yang dikatakan Putri Meifeng pada Kakak Pertama tadi?”

Hening.

“Kalian tidak perlu memikirkannya,” ujar Liwei kemudian, memutus keheningan yang sempat menggantung. “Aku akan menangani Liwei.”

“Apa kauyakin bisa melakukannya?” tanya Liang, tidak percaya. “Maafkan aku, tapi kita bicara tentang Meifeng yang baru. Dia tidak akan takut hanya dengan sebuah gertakan.”

Liwei menghela napas. “Aku pasti bisa menanganinya,” ujarnya, sangat yakin. “Bagaimanapun dia adik perempuanku,” sambungnya membuat Liang dan Da sama sekali tidak tenang. Mereka tahu jika Meifeng tidak akan mudah untuk ditaklukkan seperti dulu.

.

.

.

TBC

6 Komentar

  1. Wah.. ini salah satu cerita favorit ku.. dari sang author Fuyutsuki .. Sayangnya belum ada uang buat beli bukunya. Kali aja ada yg mau ngasih gratis? :tepuk2tangan

    1. Jdi ceritany udh dibukuin yah? Kirain bkln dishare disni

  2. Ga nyangka ada kak fuyu di sini. Well, aku baru baca ceritanya kemarin di watty. I love an ancient chinese story. Apalagi historical, kingdom, war dan rule di sebuah negara tirai bambu. Love it. Lebih suka karakternya Dongmei sih hahaha. Ketika ngebut seharian dan rampung- sebenarnya enggak sih orang di watty cuman sampe chapter berapa doang- aku baper. Baper ga punya duit buat beli versi cetak time slip princess yang kata kak fuyu isinya berbeda 25% dari cerita watty, dan nangis so hard.

    Tapi, okay lah. Kek nya belom rejeki, karena setiap aku nemu cerita di watty yang masuk selera rata-rata udah dihapus buat kepentingan penerbitan. Nggak semuanya, ada juga yang nyajiin beberapa chapter dan buka po. Rasanyanya tuh sedih banget. Tapi juga seneng karena authornya mulai bergerak maju atau mulai memiliki target yang tinggi. Jangan tersinggung ya kak fuyu. Moga aja masih buka po buat cerita time slip princess lain waktu pas aku ada cicis?

    Semangat nulisnya, semoga makin laris manis.

  3. Keren uyy…

  4. Wowww…. Dongming aka meifeng…. I love…….. Thor aq suka suka suka ceritanya…..

  5. Keren bgt ini