Vitamins Blog

CHAO XING (朝兴) – Bab 8. Kekeraskepalaan Chao Xing & Kemarahan Raja

Bookmark
ClosePlease login

No account yet? Register

61 votes, average: 1.00 out of 1 (61 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

Author Playlist :  Seasons of Waiting – Cecilia Liu

Waiting for summer, waiting for autumn

Waiting for the next season

I have to wait until the moon becomes full

In order for you to return to my side

Whether I want to see you again or not

I can’t do anything about it, I still miss you

***

Enjoy!

***

Jian Gui bertanya-tanya di dalam hati; kenapa ia begitu tidak sabarnya untuk bertemu dengan Chao Xing? Tadi pagi ia baru saja tiba di istana setelah selama dua tahun ia menjalankan tugas yang diperintahkan oleh Sang Raja. Tugas Jian Gui tidak bisa dibilang mudah, acap kali ia harus terjaga sepanjang malam, ikut berjaga bersama prajurit-prajuritnya untuk memastikan tidak ada satu orang penyusup pun yang masuk ke dalam wilayahnya.

Namun di sisi lain, ia terkadang merasa iba saat melihat kondisi memprihatinkan rakyat dari Kerajaan Awan yang seringkali memohon dan mengiba padanya untuk diizinkan masuk ke dalam wilayah Kerajaan Angin. Mereka berharap mendapatkan perlindungan serta kehidupan yang layak di tanah Kerajaan Angin, namun hal itu pasti akan menimbulkan masalah baru untuk Kerajaan Angin, dan perintah adalah perintah. Selama dua tahun ia menutup rasa kemanusiaannya, menulikan telinganya, ia tetap dengan pendiriannya; melarang para pengungsi itu masuk ke dalam wilayahnya.

Jian Gui melepas napas panjang, menarik tali kekang untuk menghentikan kudanya. Hampir dua jam ia mencari keberadaan Chao Xing, menyusuri jalanan ibu kota, namun seperti mencari jarum dalam tumpukan jerami, sesulit itu jugalah ia menemukan keberadaan adiknya.

“Puteri mungkin sudah kembali ke istana, Pangeran,” ujar Liu Bo Lin—salah satu panglima Kerajaa Angin. Selama dua tahun ini ia diberi tugas untuk membantu Jian Gui menjaga perbatasan utara. “Mungkin sebaiknya Anda kembali ke istana,” usul Bo Lin. Panglima berusia tiga puluh tahun itu mengedarkan pandangannya ke setiap sudut, ikut mencari keberadaan sang puteri yang menurut laporan salah satu dayang Paviliun Taman Barat tengah berada di ibu kota untuk mencari udara segar.

Sungguh, Bo Lin sama sekali tidak mengerti kenapa seorang puteri bisa memiliki kebebasan sebesar itu untuk keluar istana, terlebih tanpa pengawalan yang semestinya. Bagaimana jika terjadi sesuatu? Tanyanya di dalam hati, dan sepertinya hal itu jugalah yang ada di dalam pikiran Jian Gui saat ini—Pangeran Pertama Kerajaan Angin itu terlihat sangat khawatir.

“Adikku masih berada di tempat ini,” jawab Gui dengan ekspresi serius. “Aku bisa merasakannya,” tambahnya serak. “Anak nakal itu harus diberi hukuman,” ujarnya lagi setelah terdiam lama membuat Bao Lin tersenyum samar, menyadari betapa besar rasa sayang Sang Putera Mahkota pada Puteri yang tengah mereka cari saat ini.

Jian Gui baru saja hendak menyerah dan kembali pulang saat ekor matanya tidak sengaja menangkap sosok yang tengah dicarinya saat ini. Ia mengerjapkan mata berkali-kali, memastikan jika apa yang sedang dilihatnya memang Chao Xing.

Menahan keraguannya ia pun kembali melajukan kudanya, sedikit cepat untuk menyusul langkah Chao Xing yang tengah berlari sekuat tenaga, di belakangnya Gui melihat beberapa prajurit mengejarnya dan memintanya untuk berhenti.

Apa lagi yang dilakukannya sekarang? Tanyanya di dalam hati sementara Bo Lin mengikuti di belakangnya.

“Chao Xing?!” panggilnya dengan nada berat. Ia menghentikan laju kudanya, menghalangi langkah Chao Xing yang kini mendongak dan menatapnya tak percaya. Jian Gui gemertak, menahan marah saat melihat memar dan luka sobek di sudut mulut adiknya. “Naik!” perintahnya mutlak.

Chao Xing bergeming—terlalu kaget, bahagia dan bingung akan apa yang sedang terjadi saat ini. Bagaimana bisa ia bertemu dengan kakak pertamanya dalam kondisi seperti ini? Chao Xing meragu, ia menoleh lewat bahunya, tersentak karena beberapa prajurit yang mengejarnya sudah semakin dekat. Tanpa berpikir lagi ia segera menyambut uluran tangan Jian Gui, tanpa kesulitan berarti ia naik ke atas punggung kuda hitam itu dan Jian Gui pun segera melajukan kudanya menuju arah istana setelah Chao Xing duduk nyaman di atas kudanya.

***

Liu Guang Li—Kepala Prajurit Pengadilan Perfektur Barat membuang napas keras, berusaha untuk mengendalikan emosinya yang kini berada di tingkat mengkhawatirkan. Pria berusia dua puluh lima tahun itu berusaha untuk menahan diri setelah beberapa anak buahnya memberi laporan jika saksi mereka—wanita mengesalkan yang menyamar sebagai pria itu melarikan diri setelah mengelabui para prajurit yang menjaganya.

“Bagaimana bisa? Bagaimana bisa seorang wanita melarikan diri dari penjagaan kalian?” tanyanya dengan rahang mengeras dan gigi gemeretak. Guang mengepalkan kedua tangannya, memastikan jika kedua kepalan tangannya tetap berada di sisi kanan dan kiri tubuhnya, karena sungguh ia benar-benar memerlukan beberapa orang untuk melampiaskan kemarahannya saat ini.

“Nona muda itu meminta izin untuk buang air kecil,” terang seorang prajurit berpangkat rendah dengan tubuh gemetar ketakutan. Guang memang masih terbilang belia untuk jabatan yang dijabatnya namun kemampuan serta kepemimpinannya tidak perlu diragukan lagi. Guang selalu berbuat adil, ia akan memberikan penghargaan setimpal untuk anak buahnya yang berprestasi namun sebaliknya, ia tidak akan segan memberikan hukuman untuk anak buahnya yang telah melakukan kelalaian saat bertugas.

“Dan kalian tidak mengawasinya?” Guang menggebrak meja, membuat dua orang prajurit yang tengah ber-kowtow di hadapannya itu tersentak kaget karenanya. Guang terlalu marah hingga tidak menyadari jika prajuritnya tidak mungkin mengawasi seorang wanita buang air kecil. Resimennya pasti dikenai sanksi moril apabila masyarakat luas mengetahuinya.

Prajurit itu tidak langsung menjawab. “Kami tidak mungkin mengawasinya,” jelas salah satu prajurit dengan suara tercekik. Ia kembali terdiam sejenak, mengumpulkan keberaniannya lalu kembali bicara dengan nada penuh penyesalan, “Kami mengejarnya namun ada seseorang yang menyelamatkannya,” lapornya membuat Guang Li menaikkan satu alisnya ke atas.

“Pria yang menyelamatkannya mengenakan pakaian seperti bangsawan dan menunggang kuda jantan unggul, hamba yakin jika dia putra salah satu bangsawan di kota ini,” lanjutnya sedikit menggebu.

Guang Li terdiam, memasang pose berpikir.

“Kami pantas untuk dihukum, Tuan. Kami akan menerima apa pun hukuman yang Anda berikan,” ujarnya saat Guang Li tak kunjung bicara.

Guang membuang napas keras, yang menjadi pertanyaannya saat ini—siapa wanita asing itu sebenarnya?

Apa benar dia putri seorang bangsawan? Tanyanya di dalam hati.

Guang melempar tatapannya pada kedua prajuritnya yang masih bersujud di atas lantai. Ah, bagaimanapun juga ia harus mengakui jika kedua prajuritnya tidak bersalah seratus persen, keduanya hanya sedang sial karena harus berhadapan dengan wanita menjengkelkan itu. “Pergilah!” tukasnya kemudian membuat kedua orang prajurit itu saling melempar tatapan tak percaya. “Pergi sebelum aku berubah pikiran!” ujar Guang lagi dengan ekspresi serius. “Panggilkan pelukis pengadilan dengan segera. Katakan padanya aku memerlukan bantuannya secepat mungkin!”

“Kami siap menjalankan perintah!” sahut kedua prajurit itu kompak sebelum undur diri untuk mengerjakan perintah atasan mereka.

Ruang kerja Guang kembali hening setelah kepergian keduanya. Dalam keheningan panjang itu Guang berpikir lama, mencoba untuk mengingat-ngingat hal ganjil dari wanita asing yang ditemuinya tadi. Tapi apa?

Wanita itu terlihat begitu tidak asing, pikirnya. Dia mengingatkanku pada seseorang, tapi siapa? Tanyanya lagi di dalam hati. Guang bertopang dagu, memejamkan mata, berusaha untuk mengingat kembali dimana ia pernah melihat wajah yang begitu mirip dengan wanita asing tadi. Dan akhirnya ia pun mendesah, menyerah karena otaknya mendadak terasa buntu.

***

“Apa yang sedang kau pikirkan?” Sebuah pertanyaan yang dilontarkan dengan nada tidak asing itu membuat Guang Li tersentak, lalu menatap tak percaya pada seorang pria yang kini berdiri dengan senyum mengejek yang lama dirindukannya. “Terkejut melihatku?” tanyanya sementara Guang Li berdiri dengan tubuh kaku. “Aish… sepertinya kau sama sekali tidak bahagia melihat kepulangan kakakmu ini,” ujar Bao Lin dengan nada sedih yang berlebihan.

Guang Li tersenyum lebar, bergerak cepat memutari meja kerjanya untuk menyambut kedatangan kakaknya yang mengejutkan. “Kapan kau pulang?” tanyanya setelah emmberikan satu pelukan erat. “Kenapa tidak memberitahu kami jika kau mau pulang?” tanyanya lagi.

“Rombongan kami tiba pagi tadi,” jawab Bao Lin. “Kepulangan kami memang sengaja dirahasiakan,” tambahnya membuat Guang Li mengangguk kecil. “Ah, aku dengar ada masalah siang tadi di pasar,” ujarnya saat Guang Li menuangkan teh ke dalam cangkir keramik sederhana.

Lagi-lagi Guang Li mengangguk pelan, lalu mendesah panjang sebelum mendudukkan diri di sebrang Bao Lin. “Ngomong-ngomong, bagaimana kakak bisa tahu tentang masalah ini?” tanyanya penasaran.

Bao Lin tidak langsung menjawab. Setelah menemukan Chao Xing, Jian Gui dengan gerakan isyarat memerintahkannya untuk mencari tahu resimen asal prajurit yang mengejar sang puteri. Tidak perlu waktu lama untuk Bao Lin menemukan tempat dari prajurit itu berasal, dari seragam yang dikenakannya ia bisa langsung tahu jika prajurit-prajurit itu berasal dari kantor pengadilan tempat adiknya ditugaskan.

“Aku melihat beberapa prajuritmu mengejar seorang wanita yang menyamar sebagai pria,” terangnya tenang. “Apa yang dilakukan wanita remaja itu?” tanyanya lagi, menyelidik. “Apa dia mencuri?”

“Tidak,” jawab Guang Li cepat. “Wanita itu justru saksi untuk kasus kejahatan yang sekarang kutangani,” terangnya serius. “Sayangnya dia melarikan diri.”

“Kejahatan apa yang kau maksud?”

Guang Li mendesah, lalu menatap kakaknya dengan sorot serius. “Kejahatan yang dilakukan oleh penjahat-penjahat yang menyusup dari Kerajaan Air,” terangnya membuat kedua alis Bao Lin bersatu. Guang Li mencondongkan tubuhnya, lalu kembali bicara dengan suara pelan, “Menurut gossip yang beredar, Kepala Keluarga Liang sengaja mempekerjakan penjahat-penjahat itu untuk kepentingan bisnis kotornya.

“Kenapa hakim tidak melakukan penyelidikan mengenai hal ini?” Bao Lin balik bertanya dengan geram. “Apa dia juga terlibat?” tanyanya lagi saat Guang Li tersenyum masam. “Brengsek,” makinya kasar.

“Penjahat itu bahkan tidak segan-segan memukul wanita muda tadi serta seorang wanita lain yang dikatakannya memiliki hutang sangat besar pada mereka,” terang Guang Li membuat Bao Lin terbelalak.

Jadi luka memar pada wajah puteri karena pukulan penjahat itu? Pikir Bao Lin berang. “Apa semua penjahat itu sudah tertangkap?”

Guang Li menggelengkan kepala, “Beberapa kabur, tapi anak buahku tengah memburu keberadaan mereka saat ini.”

“Pasukanku akan membantumu,” ujar Bao Lin mengejutkan. “Aku hanya perlu lukisan wajah mereka untuk memudahkan pencarian,” tambahnya. “Dengar Li, kasus kali ini sangat serius,” ujarnya tenang. “Sebisa mungkin aku mau hakim ataupun kasim tinggi pengadilan jangan sampai mereka mendengar tentang kasus ini. Apa kau mengerti?”

Guang Li tidak menjawab.

“Aku menginginkan laporan lengkapnya hari ini juga,” lanjutnya serius. “Jika benar penjahat-penjahat itu berasal dari wilayah kerajaan lain maka kita wajib melaporkannya pada Yang Mulia. Mereka sudah berani menyakiti rakyat Kerajaan Angin, dan itu salah satu kejahatan besar,” lanjutnya tanpa mengungkapkan jati diri Chao Xing yang sebenarnya. “Untuk itu aku akan melaporkannya terlebih dahulu pada Putera Mahkota,” tambahnya menutup percakapan serius mereka.

***

“Kakak Pertama, aku serius,” ujar Chao Xing seraya mengejar langkah cepat Jian Gui. “Tadi aku terjatuh hingga terluka.”

“Aku meninggalkanmu selama dua tahun, dan selama itu aku berharap jika kau mau berubah walau hanya sedikit,” jawabnya membuat Chao Xing menunduk, merasa bersalah. “Bukan ini yang ingin kulihat setelah dua tahun tidak melihatmu,” tambahnya membuat perasaan Chao Xing semakin terasa diremas.

“Aku kesepian di dalam istana,” cicit Chao Xing pelan. “Tidak ada puteri yang mau bermain denganku.” Ia menundukkan kepala. “Aku bisa gila jika terus berada di dalam istana sepanjang waktu,” tambahnya parau. Chao Xing meremas dadanya yang terasa sakit, sementara kedua matanya mulai terasa panas. “Yang Mulia bahkan menebang pohon tempatku menyendiri. Aku tidak memiliki apa pun di dalam istana setelah kalian pergi.”

Jian Gui bergeming. Dengan cepat ia membuka sarung tangan kulitnya, lalu menyerahkan tali kekang kudanya pada seorang prajurit penjaga istal kuda istana yang berlari ke arahnya. Pria itu mendesah keras, menghentikan langkah kakinya hingga membuat Chao Xing nyaris menabrak punggungnya. “Alasanmu sama sekali tidak membenarkan kecerobohanmu,” balasnya menohok. “Lalu dimana kasim yang mengantarmu?” tanyanya membuat Chao Xing bergerak kikuk.

“Mereka kuperintahkan untuk menunggu di Penginapan Tjiang,” terangnya membuat Jian Gui menyipitkan mata, menatapnya dengan tatapan intimidasi. “Aku sudah biasa pergi tanpa didampingi,” jelasnya cepat dengan suara tergagap. Chao Xing menelan kering, berkeringat dingin. Akan jadi masalah besar jika kakak pertamanya ini mengetahui apa yang telah terjadi sebenarnya, karena ia yakin jika dua orang kasim yang mengantarnyalah yang akan dipersalahkan atas apa yang terjadi padanya.

Rahang Gui mengeras. “Mereka sama sekali tidak bertanggungjawab!” desisnya geram.

“Mereka tidak bersalah,” ujar Chao Xing serak. Ia menggigit bibir bawahnya, begitu gelisah karena nasib kedua kasimnya kini berada diujung tanduk. “Aku yang melarang mereka untuk mengikutiku.” Ia terdiam sejenak, menatap Jian Gui dengan tatapan memohon. “Aku bahkan mengancam akan menghukum mereka jika mereka berani mengikutiku.”

“Kau—”

“Karena itulah, apa yang terjadi padaku murni kesalahanku,” cicit Chao Xing. “Tolong jangan laporkan ini pada Permaisuri,” mohonnya setengah meratap, namun Jian Gui tidak menjawab.

“Kembali ke kediamanmu dan segera obati lukamu!” perintahnya sebelum berbalik pergi meninggalkan Chao Xing yang terlihat frustrasi.

***

“Apa yang membawamu datang menemuiku, Pangeran Pertama?” tanya Jian Guo tenang. Malam sudah sangat larut, namun Jian Gui bersikeras untuk menemuinya malam ini juga. Jian Guo mengangkat wajahnya, menggulung dokumen yang sudah selesai dibacanya lalu menatap lurus putra pertamanya yang kini berjalan ke arahnya untuk menyerahkan sebuah dokumen. “Apa ini?” tanyanya.

“Lapor, Yang Mulia,” Jian Gui menjawab penuh hormat. “Dokumen yang hamba bawa berisi kasus yang baru saja terjadi siang tadi di ibu kota,” terangnya membuat Jian Guo menaikkan satu alis ke arahnya. “Dan dengan berat hati ananda harus melaporkan jika Chao Xing ikut terlibat dalam kasus tersebut.”

Jian Guo tidak menjawab, dengan cepat ia membaca dokumen yang kini berada di tangannya.

Ruangan berpenerangan cahaya lilin itu hening untuk beberapa waktu, hingga akhirnya Jian Guo selesai membaca dokumen di tangannya dan berkata, “Buru sisa komplotannya!” Ia terdiam sejenak, kedua tangannya terkepal erat di atas meja. “Dan pria yang berani memukul Chao Xing, potong kedua tangan pria itu lalu gantung tubuhnya dalam posisi terbalik di alun-alun kota, malam ini juga!” perintahnya tenang. “Aku ingin komplotannya dan penjahat-penjahat lainnya tahu apa resikonya jika mereka berani melakukan kejahatan di wilayahku!”

“Ananda siap menjalankan perintah,” jawab Jian Gui takzim.

“Kasim Ren?!” teriak Jian Guo, membuat kasim tua yang berdiri di depan pintu ruang kerjanya segera masuk ke dalam ruangan dengan tergopoh-gopoh. “Bawa kasim yang membawa Chao Xing keluar istana siang tadi untuk menghadapku secepatnya!”

“Daulat, Yang Mulia!” jawabnya sebelum berjalan mundur untuk melaksanakan apa yang telah diperintahkan oleh sang raja.

***

Dan akhirnya semua dipanggil untuk menghadap Raja malam ini, karena Chao Xing bersikeras untuk ikut hingga Kasim Ren sama sekali tidak bisa menolak, apalagi melawan kekeraskepalaan Sang Puteri yang sudah begitu terkenal diantara pada dayang dan kasim yang pernah melayaninya.

Jian Guo memandang Chao Xing tanpa ekspresi yang kini menatapnya tanpa takut, membuatnya mendesah pelan dan bertanya-tanya di dalam hati kenapa puterinya yang satu ini tidak bisa bersikap manis seperti halnya saudarinya yang lain?

Ia lalu mengalihkan tatapannya pada kedua kasim—Er Shun dan Er Wen yang kini bersujud dengan tubuh gemetar, sementara Ju Fang ikut berlutut begitupun dengan empat dayang Chao Xing yang lain. Mereka seolah berada di sana untuk memberikan dukungan dan membela tuannya hingga darah penghabisan. Menggelikan! Pikir Jian Guo masam.

Jian Guo bertopang dagu, lalu bertanya dengan nada geram, “Apa kalian tahu mengapa kalian dipanggil menghadapku?”

“Ini semua kesalahan hamba, Yang Mulia!” Chao Xing memasang badan, membuat ruangan itu hening seketika, mencekam oleh aura kemarahan Raja. “Mereka semua tidak bersalah,” lanjutnya dengan keberanian yang sungguh mengagumkan namun sangat tidak tepat waktu. “Jika Yang Mulia hendak menghukum, maka hukumlah hamba.”

Raja menggebrak meja dengan marah, membuat seisi ruangan terkecuali Chao Xing langsung jatuh bersujud karenanya. “Berani sekali kau berkata kurang ajar padaku!” raungnya namun Chao Xing tidak gentar, dengan keberanian yang semakin melambung ia kembali bicara. “Hamba hanya tidak mau Anda menghukum mereka karena kesalahan hamba, Yang Mulia.”

“Oh, jadi sekarang kau mengakui jika kau sudah menyulitkan orang-orang di sekitarmu, hah?!” Jian Guo membentak, meninggikan suaranya dengan galak.

Chao Xing berlutut, jatuh bersujud dan menjawab, “Hamba memang bersalah, hukumlah hamba! Mohon Yang Mulia bebaskan mereka. Hamba mohon!”

“Jangan pikir aku tidak akan menghukummu, Chao Xing!” teriak Raja murka. “Kasim Ren, pukul kaki puteri dengan rotan sebanyak lima puluh kali!” perintahnya membuat seisi ruangan itu riuh meminta pengampunan untuk sang puteri, namun Jian Guo bergeming. “Jangan membelanya atau aku akan melipatgandakan hukumannya!” serunya membuat permaisuri, Jian Gui, dan Jian Ying terdiam seketika. “Aku melarang Chao Xing keluar dari kediamannya tanpa perintahku!” tambahnya membuat Chao Xing terduduk lemas.

Jian Guo terdiam sejenak. “Dan untuk kedua kasim,” ujarnya dingin. “Berikan mereka lima puluh kali pukulan sebagai hukuman atas keteledoran mereka!” serunya. “Laksanakan hukumannya malam ini juga!” perintahnya tegas. “Dan kalian—” ia terdiam, menatap permaisuri, Jian Gui dan Jian Ying secara bergantian. “Kalian tidak boleh menemui Chao Xing selama dia dalam masa hukuman!” putusnya mutlak.

Keesokan harinya, hukuman untuk penjahat-penjahat itu menggemparkan seisi kota. Kondisi kepala penjahat terlihat paling menyedihkan dengan kedua tangan dipotong, dan tubuhnya digantung terbalik di alun-alun ibu kota, hingga akhirnya mati secara perlahan, membuat rakyat merinding ngeri, bertanya-tanya kira-kira kejahatan apa yang dilakukannya hingga raja sendiri-lah yang memberikan hukuman sekeji itu untuknya.

Hakim yang bertugas di kantor pengadilan perfektur barat pun tidak bisa berkata-kata, ia terlalu bingung, hingga tidak mampu menjelaskan pada Pejabat Liang akan apa yang terjadi pada penjahat sekaligus kaki tangan pejabat korup itu. Sementara Guang Li yang terus meminta penjelasan pada Bo Lin hanya bisa menatap kakaknya tak percaya saat pada akhirnya Bo Lin mengemukakan kesalahan besar ketua penjahat itu—penjahat itu telah melukai salah satu puteri raja.

Guang Li menelan kering, teringat perdebatannya dengan gadis tengil itu yang ternyata seorang puteri? Dewa, apalagi ini? Kenapa aku harus berurusan dengan seorang puteri? Tanyanya gelisah.

“Apa ada masalah?” tanya Bo Lin saat melihat ekspresi resah adiknya.

Guang Li menggelengkan pelan. “Tidak ada masalah,” jawabnya sama sekali tidak meyakinkan.

“Ah, ada sesuatu yang ingin kusampaikan,” ujar Bo Lin memutus lamunan singkat Guang Li. “Raja ingin bertemu denganmu,” lanjutnya membuat Guang Li menelan kering. “Tiga hari lagi akan ada jamuan kerajaan untuk merayakan kepulangan empat pangeran. Yang Mulia mengundangmu sebagai rasa terima kasih karena sudah menyelamatkan Puteri Chao Xing.”

Guang Li tertawa kering, berpura-pura merapikan meja kerjanya yang berantakan. “Apa boleh jika aku tidak datang?” tanyanya dengan senyum mengkhawatirkan. “Sepertinya aku belum siap bertemu dengan Raja,” tambahnya terdengar seperti cicitan. Dan aku tidak siap bertemu dengan anggota kerajaan yang lain, terlebih sang puteri, batinnya cemas. Bagaimana jika puteri mengatakan pada Yang Mulia mengenai ketidaksopananku saat membawanya ke kantor pengadilan?

“Tentu saja tidak akan masalah,” jawab Bao Lin tenang membuat kedua mata Guang Li berbinar senang. “Tidak akan masalah jika kau bersedia dipenggal karenanya,” lanjutnya membuat Guang Li pucat pasi.

***

“Panggil Chao Xing untuk makan bersamaku!” titah Jian Guo pada seorang dayang utama. Wanita berumur itu segera membungkukkan badan, berjalan mundur untuk melaksanakan apa yang telah dititahkan oleh rajanya.

Di samping raja, permaisuri tersenyum kecil, hatinya berbunga-bunga karena pada akhirnya raja mau mengakui Chao Xing sebagai putrinya. Sungguh, ia sama sekali tidak menyangka jika hari ini akhirnya akan tiba juga. Setidaknya Mei Rong akan tenang di sana karena putrinya sudah diakui oleh sang raja.

Jamuan makan siang untuk merayakan kepulangan keempat pangeran terus berlanjut penuh keceriaan, keempat pangeran menyantap hidangan di atas meja dengan tenang, sementara para penari dan pemain musik kerajaan masih memainkan keahlian mereka untuk menghibur anggota kerajaan yang hadir dalam jamuan khusus yang diadakan oleh raja siang ini.

“Mana Chao Xing?” tanya Jian Guo saat melihat dayang utama kembali datang seorang diri tanpa membawa Chao Xing bersamanya. Raja menggebrak meja, membuat suasana di dalam ruangan itu mendadak berubah mencekam oleh kemarahannya. “Apa dia berani menentang perintahku?!” bentaknya murka membuat sang dayang segera bersujud untuk memohon ampun dan menjelaskan duduk perkara.

“Ampun, Yang Mulia!” ujar dayang tua itu dengan suara bergetar. “Mohon ampun, hamba tidak bisa membawa Puteri Chao Xing karena kondisi puteri sangat tidak memungkinkan untuk menghadiri undangan anda.”

Jian Guo menyempitkan mata. “Apa maksudmu?”

“Lapor, Yang Mulia,” sahut dayang. “Tuan Puteri sakit parah,” terangnya membuat ekspresi Jian Guo semakin menggelap.

“Chao Xing sakit dan tidak ada yang melaporkan mengenai hal ini padaku?” raungnya murka.

Permaisuri jatuh berlutut, “Ampun, Yang Mulia. Hamba mohon ampun untuk kelalaian ini, namun hamba memiliki alasan kenapa hamba tidak menemui putri beberapa hari ini.” Permaisuri berdeguk, memaksa diri untuk menekan rasa takutnya. “Yang Mulia memerintahkan kami untuk tidak menemui Puteri Chao Xing sebagai bentuk hukuman untuknya,” terangnya, mengingatkan.

Dan Jian Guo pun hanya bisa menghela napas panjang. Bagaimana bisa ia melupakannya? “Panggil Tabib Wu untuk memeriksa keadaan Chao Xing!” perintahnya seraya berdiri, lalu berjalan dengan langkah panjang-panjang menuju kediaman putrinya.

***

Suasana di Paviliun Taman Barat mendadak sibuk oleh kedatangan Raja, Permaisuri, para Selir serta Keempat Pangeran yang datang secara mengejutkan. Tanpa menunggu lama, Jian Guo segera masuk ke dalam kamar Chao Xing. Pria itu terbelalak, rahangnya mengeras saat melihat kondisi putrinya yang menyedihkan. “Mengapa bekas luka pukul di kakinya tidak diobati?” raungnya membuat dua orang tabib yang bertugas untuk mengobati Chao Xing berlutut memohon ampun.

“Ampun, Yang Mulia!” cicit sorang tabib wanita. “Tuan Puteri menolak untuk diobati,” lapornya membuat Jian Guo semakin marah. “Tuan Puteri menolak semua obat, bahkan tidak bersedia saat kami hendak mengoleskan salep untuk luka-luka di kakinya,” tambahnya, ketakutan.

“Bahkan kau tidak bisa membujuknya, Ju Fang?” bentak Jian Guo.

Ju Fang membungkuk, lalu menjawab dengan ketenangan yang mengagumkan, “Tuan Puteri mengancam akan menggigit lidahnya sendiri apabila hamba memaksanya untuk diobati, Yang Mulia. Hamba bersalah. Hamba pantas dihukum.”

“Tidak berguna!” teriak Jian Guo marah. “Cepat periksa keadaannya!” perintahnya saat Tabib Wu datang tergopoh-gopoh, masuk ke dalam kamar itu.

“Aku tidak mau,” Chao Xing berkata lirih, nyaris tidak terdengar namun ucapannya masih berhasil ditangkap dengan baik oleh Jian Guo. Amarah raja semakin meletup karenanya.

“Jangan keras kepala…,” ujar Permaisuri dengan ekspresi cemas. Wanita itu nyaris tidak bisa menahan laju air matanya saat melihat wajah Chao Xing yang begitu pucat dengan bibir nyaris biru sementara dahinya dipenuhi oleh keringat dingin. “Jangan membuat kami semua cemas,” tambahnya seraya melap keringat di dahi Chao Xing dengan ujung gaun tangannya.

Chao Xing perlahan memejamkan mata. Rasa sakit membuat kesadarannya perlahan menghilang namun ia masih bisa berkata dengan angkuh, “Hamba tidak mau diobati!”

Jian Guo menatap wajah putrinya dengan seksama. Yang dilihatnya saat ini hanyalah kekeraskepalaan dan amarah. Chao Xing sangat keras kepala, sangat sulit diatur namun hal itu justru membuatnya teringat akan dirinya sendiri di masa lalu. “Kau harus mau diobati atau aku akan memenggal kepala Ju Fang dan hamba-hamba sahayamu sebagai hukuman untukmu!” Jian Guo mengeluarkan ancaman terakhirnya.

Kesadaran Chao Xing memang sudah menipis namun dari ekspresi putrinya ia tahu jika Chao Xing tidak menganggap main-main ancamannya ini.

“Berikan obat yang terbaik untuknya!” perintah raja tegas. “Pastikan dia meminum obatnya secara teratur dan pastikan luka-luka bekas pukulnya tidak berbekas!” Jian Guo menatap tajam ke arah Tabib Wu. “Kau harus menyembuhkan putriku atau kepalamu yang akan jadi taruhannya!” desisnya sebelum duduk di sebuah kursi yang ada di dalam kamar itu. “Dan kalian…,” ujarnya memandang permaisuri dan para selir yang mengikutinya. “Dan kalian…,” Jian Guo mengulang, terdiam sejenak. “Pergi dan kembali ke kediaman kalian masing-masing!” perintahnya mutlak pada kelima selir yang datang bersamanya.

14 Komentar

  1. Ini cerita yang ada di wattpad dengan judul yang sama…
    Horee ceritanya dsini juga ada dengan pengarang yg sama :cekrekcekrik

    1. fuyutsukihikari menulis:

      Hello, terima kasih sudah mampir dan membaca ^^

  2. Dasar si putri mah keras kepala…. Sama kaya bapa nya wkwkwkwkwk

  3. Kak klo ceritanya ada disini, berarti kakak nggak ngelanjutin ceritanya di wattpad dong ? :PATAHHATI :PEDIHH :MARAHNANGIS :beruraiairmata :wowkerensekali :aaaKaboor :anakayamnangis

    1. fuyutsukihikari menulis:

      Lanjut kok Shay di watty juga ^^

  4. Wahh ayah keceh .. luarnya aja yg bilang benci hati tetep sayang bgt apalagi chao xing adalah anak dr selir kesayangan

  5. Itu Chao Xing kok keras kepala banget ya,,
    kan Raja jadi marah-marah terus,,

  6. alivatukaruzzaman menulis:

    Kak update berapa minggu sekalii sih??
    Aku nungguinn :PATAHHATI

  7. bapak sma anak sama aja hahha

  8. Sama-sama keras kepala mereka

  9. Bagus ceritanyaa

  10. fitriartemisia menulis:

    huhuhuhu aku kok sedih, ngerasain jadi Chao huhuhu
    aku sukaaaaaaaaaaaaaa banget ceritanyaaaaaaaaaaaa

  11. Nice story :NGEBETT

  12. Ditunggu kelanjutannya