Lenting Sedaya Part 6 : Luka yang Sama

9 Februari 2017 in Vitamins Blog

202 votes, average: 1.00 out of 1 (202 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

***

Kupu-kupu yang cantik. Kupu-kupu kecil dengan kepakan sayap nan anggun, lemah lembut mengitari mekar bunga berwarna kuning senada dengan warnanya.

Jangan pergi kupu-kupu cantik, tetaplah disini, tak akan ada yang menyakitimu, kau dan bunga itu sangat cantik.

Sayapnya mengepak, menerbangkan tubuh kupu-kupu cantik itu menjauhi sang bunga, menjauhi pandangan sepasang yang sedari tadi memandanginya, menggumamkan permintaannya hatinya.

“Ah, jangan pergi,” sebuah suara terpekik mencoba menghentikan kupu-kupu itu.

Kupu-kupu kecil tetap menjauh perlahan, melewati barisan bunga warna-warni di bawahnya.

Derap langkah kaki mungil dari seorang gadis kecil mengikuti kupu-kupu itu yang terbang menjauh.

“Hei, hahaha,” tawa ceria gadis kecil itu, hendak menggapai ketika kupu-kupu itu mengitari rambut hitam lurus panjangnya.

Kupu-kupu kecil terbang lagi, menyusuri bunga-bunga di pinggir jalan setapak yang menurun.

“Hei, tunggu.” Gadis kecil itu masih mengejar sambil sesekali menengadah saat kupu-kupu itu terbang lebih tinggi di atasnya, tidak menyadari kaki-kaki mungilnya sudah membawanya menjauh dari tempatnya semula.

“Hei kecil.” Sebuah suara memutus perhatian gadis kecil itu pada kupu-kupu tadi yang terus terbang menjauh.

Seorang anak laki-laki yang sepertinya sudah menginjak usia remajanya, tiba-tiba saja berdiri di depan gadis kecil itu, lalu mensejajarkan pandangannya.

“Kamu bandel ya kecil,,main jauh-jauh.” telunjuknya menjentik pelan kening gadis kecil itu, membuatnya sedikit meringis, “kamu gak tau ya, kalau di sini tuh ada…hantunya, haaarrggh,” Anak lelaki itu membuat suara geraman dan mengangkat kedua tangannya seperti gerakan mencakar-cakar.

“Witri tidak takut. Kata ayah, hantu itu takut sama anak yang pemberani.” Sela gadis kecil itu dengan pandangan dan suara lembutnya yang polos.

Anak laki-laki itu terdiam mendengar selaan gadis kecil di depannya itu, menegakkan kembali tubuhnya, menggaruk kepalanya yang tidak gatal, merasa terbodoh.

“Mm..kamu, tidak takut?” Tanyanya sambil bersedekap.

Gelengan kepala dari gadis kecil itu tampak tidak sedikitpun ragu sebagai jawabannya, menatap anak laki-laki di depannya itu dengan pandangan polosnya.

“Lalu, apa kamu juga tidak takut tersesat? Bagaimana kalau kamu hilang sendirian di kebun teh yang luas ini?”

“Kalau begitu kakak mau temani Witri berkeliling?”

Dan apakah itu sebuah permintaan? Atau gadis kecil itu sedang memerintahnya sekarang? Atau malah maksudnya dia tidak mau hilang sendirian?

Pintar sekali gadis cilik ini, kata-katanya benar-benar tak terduga. Sekarang membuat anak laki-laki itu merasa termanipulasi dengan kata-kata polosnya.

Tapi, entah kenapa hal itu seperti ide segar bagi anak laki-laki itu, berjalan-jalan di kebun teh luas dengan udara yang sejuk ini, bukan ide yang buruk.

Bukankah tadi ia memang berniat melihat-lihat untuk mengusir kebosanan?

Daripada harus berdiam diri dengan keluarga mereka yang hanya duduk-duduk bersenda gurau bersama di taman depan rumah di atas sana.

Liburan akhir pekan mereka di kebun teh ini, memang sangat sayang kalau hanya diisi dengan duduk-duduk saja, setidaknya itu yang dipikirkan anak laki-laki itu.

“Baiklah, kakak akan temani kamu,” jawabnya memberi kepastian pada gadis kecil itu yang sekarang tersenyum senang, “tapi kamu janji dulu, kamu tidak akan jauh-jauh dari kakak kalau tidak mau hilang, mengerti?” Jelasnya yang dijawab anggukan kepala oleh gadis kecil yang masih berdiri di depannya.

Dan anak laki-laki itu mulai berjalan menyusuri kebun teh menemani gadis kecil itu,  atau bisa juga dikatakan sebaliknya ‘ia berjalan ditemani gadis kecil itu’.

“Kakak tidak kedinginan?”

Yang ditanya langsung mengernyit mendengarnya, “hei kecil, kakak sudah besar, coba lihat ini,” menunjukkan otot lengan kebanggaannya, yang sebenarnya sama sekali tidak tampak menonjol, “kakak pasti kuat kalau hanya menahan udara dingin disini.”

Gadis kecil yang sekarang berjalan di sebelah anak laki-laki itu memandang dan mendengarkan dengan seksama, mengangguk-angguk seakan penjelasan yang didengarnya tadi adalah kebenaran mutlak, seperti yang memang saat ini dicernanya mentah-mentah.

Mungkin karena dilihatnya anak laki-laki tinggi di sebelahnya itu hanya memakai kaus biru berlengan pendek ditengah udara dingin pagi kebun teh, makanya ia bertanya seperti itu tadi.

Berbeda dengan tubuh mungilnya yang terbalut sweater putih yang tebal, untuk melindunginya dari udara dingin.

“Hei kecil, berapa usia mu sekarang?”

“Usia Witri 7 tahun.” Jawab gadis itu sambil mengelus kepala boneka panda kecil yang sedari tadi dipeluknya.

“Hmm, pantas kamu kecil sekali.” Gumamnya saat melihat Witri yang seperti berada sangat rendah dibawahnya. Itu sebabnya dari tadi ia memanggil anak itu dengan sebutan kecil.

Di usianya sekarang yang beranjak remaja, ia memang mengalami pertumbuhan yang cepat, tinggi badannya memang diatas rata-rata anak seusianya, membuatnya jauh lebih tinggi dibanding gadis kecil itu.

“Kamu tidak ingin tau usia kakak juga?”

Yang ditanya hanya menatap sekilas, mengangguk, lalu mengelus kepala bonekanya lagi.

“Usia kakak berapa?”

“Kakak 13 tahun.” Ada nada kebanggaan dari suara anak laki-laki itu. Usia yang menurutnya sudah akan menjadikannya pria dewasa. Bahkan sekarang ia tersenyum bangga, senyum miring andalannya.

Sedangkan yang diajak bicara hanya kembali memainkan boneka pandanya yang sangat lucu.

“Ck, dasar gadis kecil tidak ekspresif.” Gumamnya lagi seperti berbisik saat melihat gadis itu seperti tidak menggubrisnya.

Mereka terus berjalan di kebun teh itu yang semakin terlihat menurun. Dilihatnya gadis kecil itu berlari-lari kecil saat mengejar kupu-kupu ataupun capung yang terbang rendah.

Saat itulah anak laki-laki itu melihat seekor ulat hijau merayap pada daun teh. Timbul keisengannya untuk menjahili gadis kecil yang sekarang berjalan tak jauh didepannya itu.

Kalau ditakut-takuti dengan hantu saja dia tidak sedikitpun merasa takut, pasti ulat ini sama sekali tidak akan menakutinya, Ia hanya akan mengejutkannya saja dengan ulat itu.

***

“Hahaha. Karena kelakuan konyolnya itulah dia dipanggil Bayi, bukan Bayu. Hahaha.”

“Kau sendiri lebih konyol saat ketauan menyembunyikan sandal milik abah Gali ketika kau kesal ditegurnya karena mencoba mengganggu putrinya.”

“Tidak tidak, kau yang paling konyol. Kenapa saat itu kau bisa tertangkap tangan mpok Romlah saat mencuri mangganya. Sangat memalukan. Hahaha.”

“Sudah sudah, kalian berdua memang kekanakan. Ingat, sekarang kalian sudah jadi bapak, jangan sampai melakukan hal memalukan seperti dulu lagi.”

“Tidak, ini memang sangat lucu, si Bayi ini tidak belajar dari pengalaman. Benar-benar lucu saat mpok Romlah menjewer kupingnya, dia sama sekali tidak berkutik. Hahaha.”

“Hahaha. Ya, memang memalukan sekali,” akhirnya Bayu ikut menyadari kekonyolannya dulu, “tapi..kalian tau, itu sama sekali tidak mengurangi.. kadar kepopuleranku.”

Dan tawa kembali pecah saat kata-kata itu keluar dari mulut Bayu, kali ini sampai tawa itu mereda, sama sekali tidak ada yang berusaha menyelanya.

“Kalau itu aku percaya Bayu, kau memang,”

‘Aaaaaaaa’

Suara teriakan dari kejauhan menyentak mereka yang langsung waspada, mencoba menajamkan pendengaran pada asal suara itu.

“Witri!” Seru Bayu kemudian.

Secepat yang bisa Bayu lakukan, Ia berlari menuju suara yang diyakininya sebagai suara milik putrinya. Yang lainnya menyusul dengan kewaspadaan yang mereka masih menerka-nerka penyebabnya.

***

“Witri, pegang tangan kakak, ayo, ayo Witri.”

“Aaa,” Witri kecil menjerit ketakutan, kesakitan pada lengannya yang tergores semak.

“Witri, lihat kakak, tenang, lihat kakak, kakak akan pegang tangan kamu, bertahanlah.”

Dalam kepanikan luar biasa Ia mencoba menggapai tangan mungil Witri yang memegang akar kecil tempatnya mempertahankan pegangan agar tubuhnya tidak merosot.

Di bawah sana adalah tanah curam dari batas sisi kebun teh, tanah berbatu penuh semak dan ranting tumbuhan liar.

Tangan kanannya masih mencoba menggapai tangan Witri, sambil tangan kirinya berpegang pada akar pohon yang tumbuh tak jauh di sebelahnya.

Ia harus ikut menjatuhkan tubuhnya sedikit kebawah agar tangannya sampai untuk menggapai tangan Witri yang kini sedikit lagi dari jangkauannya.

“Kakak mohon Witri, bertahanlah, lihat kakak, tidak! jangan lepas pegangan kamu. Aaarrgg.” Sekuat tenaga Ia berusaha menggapai tangan Witri, sampai akhirnya berhasil menggapai sebelah tangan gadis kecil itu.

“Witri, kakak sudah pegang kamu, aarrgg, genggam tangan kakak, bertahan Witri!”

Dalam batas kekuatannya ia mencoba menarik tubuh Witri naik, dilihatnya lengan Witri berdarah. Dalam kepanikan dan detak jantungnya yang terasa semakin berdentam hebat, Ia berusaha mempertahankan pegangan tangannya pada akar pohon dan terus menarik Witri.

“Aaaargg.” Teriaknya mengerahkan seluruh tenaganya.

Sampai akhirnya Ia berhasil menaikkan tubuh mungil Witri ke atas pada tanah yang datar. Sekarang dirasanya tubuh Witri lemah dipangkuannya. Dipeluknya tubuh Witri dalam pangkuannya yang kini benar-benar bersimpuh pada tanah yang sedikit basah itu.

“Witri, Witri, lihat kakak, ya Tuhan,” suaranya tercekat, panik saat melihat darah kini ada dimana-mana di tubuh Witri.

“Kakak..” Witri merespon dengan suara lemah, matanya terpejam perlahan.

“Witri, kakak mohon, buka mata kamu, ya Tuhan,” nafasnya berderu dalam kepanikan saat menepuk-nepuk pelan pipi dan memeriksa tubuh Witri.

Sweater tebal Witri yang berwarna putih kini sudah tak rupa lagi warnanya, warna tanah bercampur darah.

Lengan kanan sweater Witri yang tersingkap saat Ia jatuh tadi, membuatnya mengalami banyak luka gores di lengannya, dan ada luka terbuka di bagian belikat dekat leher Witri.

“Witri!” Sebuah suara dari belakang mereka dengan tergesah mendekat, “apa yang terja,, ya Tuhan!”

Suara tercekat dan kepanikan lainnya muncul dengan tergesah di belakang kedua anak itu.

“Witri, ini ayah, ya Tuhan kamu berdarah nak!”

“Apa yang terjadi, ya Tuhan, Aro! Kamu juga berdarah!” suara ibu dari anak laki-laki yang ternyata bernama Aro itu terucap dengan nada panik dan terkejut.

“Giaro, apa yang terjadi!” ucap ayah anak laki-laki itu penuh kecemasan.

Keterkejutan melanda mereka kala melihat kedua anak itu berada dalam keadaan sangat kotor karena tanah, dan banyak darah di tubuh mereka.

“Pa, Aro salah, Aro yang salah..” dalam posisi masih bersimpuh dan gumaman lemah, pandangan anak lelaki itu nyalang melihat Witri yang sekarang berada di pangkuan ayahnya.

“Witri, Witri, bangun nak, ya Tuhan.” Bayu mencoba menyadarkan putrinya yang terpejam.

“Kita harus bawa mereka ke rumah sakit! Ayo Bayu, cepat!” Gantara buru-buru menyela kepanikan itu setelah tersadar dan dapat berpikir jernih.

Bayu langsung bergegas menggendong Witri yang kini sudah tak sadarkan diri. Tubuhnya bergetar dengan wajah pucat saat melihat putri kecilnya yang bersimbah darah.

Bayu tidak berani membayangkan kemungkinan buruk yang bisa saja terjadi. Witri adalah segalanya baginya, pusat dunianya. Tak terbayangkan kalau sampai terjadi hal buruk pada putrinya.

Gantara dan Williona sendiri tak berpikir lagi untuk menanyakan apa yang terjadi pada putranya dan putri sahabat mereka. Yang mereka lakukan adalah bagaimana secepatnya untuk menolong anak-anak itu secepatnya.

***

“Aro, kamu tidak sepenuhnya bersalah nak. Kamu sudah dengan berani menyelamatkan Witri.” Williona berucap dengan lembut dan mengusap-ngusap lengan putranya.

Williona berusaha mencoba membesarkan hati putranya yang merasa sangat bersalah. Setelah Giaro menceritakan kejadian yang menimpa Ia dan Witri tadi, kedua orang tuanya dan om Bayu hanya menghela nafas, terkejut bercampur lega karena mereka dapat selamat.

Niat Giaro yang hanya akan menjahili Witri dengan menakut-nakutinya dengan ulat, rupanya sangat berakibat fatal karena Witri ternyata sangat takut dengan ulat.

Saat Witri kecil melihat Giaro menyodorkan sebuah patahan batang teh, yang pada ujungnya terdapat daun teh dengan ulat hijau menggeliat di ujung daun itu, sontak mengejutkan Witri yang langsung berteriak ketakutan, dan berlari menjauh.

Keterkejutan Giaro akan reaksi Witri yang berlari ketakutan semakin bertambah saat Ia menyadari Witri berlari mendekati tanah curam di ujung jalan tempat mereka berjalan tadi. Giaro tersadar, dan mengejar Witri untuk mencegahnya berlari semakin mendekati tanah curam itu.

Witri yang menoleh melihat Giaro mengejarnya, semakin berlari ketakutan karena mengira Giaro masih memegang ulat itu. Sampai Ia terlambat berhenti dan kaki mungilnya terpeleset pada tanah curam di depannya yang licin.

“Tapi ma, Aro tetap salah.”

Rasa bersalah yang sangat dalam membuat air mata Giaro tak sanggup Ia tahan lagi. Penyesalannya membuat hatinya terasa membengkak dan sangat menyesakkan.

“Aro, papa mengerti, tapi kamu lihat om Bayu tadi kan, om Bayu sama sekali tidak menyalahkan kamu,” Gantara juga mencoba menguatkan putranya yang terbaring di ranjang rumah sakit dengan beberapa luka di tubuhnya.

“yang perlu kamu lakukan, mulai sekarang berusahalah untuk menjadi lelaki dewasa yang bertanggung jawab, dan hilangkan sifat jahil kamu, mengerti?” Suara tegas Gantara terbalut senyum untuk menguatkan putranya.

“Pa, ma, Aro ingin melihat Witri. Aro ingin minta maaf dan memastikan keadaan Witri baik-baik saja.”

“Oh tidak sayang, kamu belum boleh, ingat kamu juga terluka. Nanti, kalau kamu sudah lebih kuat baru kamu diijinkan untuk keluar.”

Kedua orangtuanya memberi tau Giaro kalau Witri dirawat di kamar sebelah Giaro dirawat sekarang. Tadi, untuk menenangkan Giaro, kedua orang tuanya mengatakan bahwa Witri baik-baik saja dan sudah mendapatkan perawatan. Namun kemauan anaknya itu sangat besar untuk memastikan sendiri keadaan Witri.

“Tapi Aro kuat ma, Aro tidak apa-apa,”

“Aro, kamu juga harus ingat, Witri mengalami luka cukup parah di beberapa bagian tubuhnya. Jadi Witri juga belum boleh diganggu nak. Sekarang kamu istirahat saja dulu agar kondisi kamu cepat membaik dan secepatnya bisa menjenguk Witri.” Kembali Gantara memberi pengertian pada putranya, dan kali ini Giaro tampak mengerti.

Sebenarnya Giaro sama sekali tidak merasa saat mendapatkan luka-luka di tubuhnya itu. Saat itu ibunyalah yang dengan terkejut menyadari Giaro juga terluka dan berdarah terutama di pelipis kanan, belikat kiri sebelah leher, lengan kirinya, dan luka yang juga cukup parah di pergelangan kaki kanannya.

***

Pagi ini Witri sedang bercanda dengan eyang kakung dan eyang putrinya. Mereka sudah menunggui Witri sejak kemarin setelah mendapat kabar cucu mereka mengalami kecelakaan di kebun teh. Eyang putri bahkan tak henti-hentinya menangis saat mendapati cucu kecilnya terbaring di ranjang rumah sakit dengan banyak balutan luka di sekujur tubuhnya.

Beberapa saat kemudian, pintu kamar Witri terbuka, “Halo Witri.” Sebuah sapaan yang ternyata dari Giaro, menyapa Witri yang sedang duduk di ranjangnya. Pagi ini Ia sudah dibolehkan menjenguk Witri walaupun harus berada di kursi roda.

“Halo kak.” Senyum manis Witri menyambut Giaro yang diantar kedua orangtua dan Galeo adiknya. Galeo tidak bersama mereka kemarin karena Ia sedang mengikuti kegiatan pramukanya di sekolah.

“Kamu..tidak marah sama kakak?” Giaro melemparkan pertanyaan itu dengan was-was.

Ia berpikir kalau Witri pantas marah atas kelakuannya kemarin, yang menyebabkan mereka seperti ini sekarang. Tapi melihat senyum gadis itu barusan, membuatnya menyuarakan pertanyaan itu.

Witri kecil mengernyit tanda keheranan dengan pertanyaan Giaro, dan menggeleng setelahnya, memberi jawaban.

“Tidak, Witri tidak marah sama kakak. Kan kakak yang sudah lindungi Witri. Terima kasih ya kak.” Ucap Witri polos.

Mendengar jawaban itu, gumpalan besar yang serasa memenuhi pernafasan Giaro kini terasa luruh, melegakannya.

“Om, Aro minta maaf, Aro sudah buat kekacauan ini dan menyebabkan putri om terluka.” Wajah Giaro dipenuhi penyesalan, mengucapkan permintaan maaf pada Bayu.

Bayu sedikit tersentak dari perhatiannya pada putra sahabatnya itu sejak mereka masuk tadi, pandangannya terus mencermati luka-luka Giaro, yang Bayu telah sadari, adalah luka-luka yang sama dengan luka putrinya.

“Ah iya Aro, om maafkan kamu. Tapi dengan satu syarat, kamu jangan pernah jahili putri om lagi. Om akan benar-benar tidak mentolerir kalau sampai itu terjadi.” Bayu mencoba bersikap tegas dan serius, walaupun sebenarnya Ia benar-benar sudah memaafkan Giaro.

Giaro tersenyum lega, “terima kasih om, saya janji tidak akan mengulanginya lagi.” Jawabnya mantap.

Ibu Giaro terlihat mendekati tempat tidur Witri setelah tadi menyalami kedua eyang Witri yang menyambut mereka setelah masuk tadi, “Witri..bagaimana perasaan kamu sayang, masih sakit?” tanya Williona dari sebelah tempat tidur Witri dan memberi usapan lembut pada rambut gadis kecil itu.

“Iya sakit tante, tapi Witri tidak apa-apa.” Jelas Witri. Raut wajah dan jawaban polos Witri membuat orang-orang yang ada di situ tertawa.

“Kamu memang anak cantik yang kuat sayang.” Tambah Williona lagi mengelus pipi lembut Witri.

“Nanti, kalau kak Aro jahilin kamu lagi, bilang sama om ya, biar om jewer kuping kak Aro.” Gantara menjelaskan dengan nada dan ekspresi yang dibuat lucu.

“bagaimana keadaan luka Giaro nak Liona?” tanya eyang putri, “dan terima kasih putra kalian sudah menyelamatkan cucu cantikku.” Lanjut eyang putri lagi dengan suara tulus, juga mewakili perasaan eyang kakung disebelahnya yang merangkul pundak eyang putri dengan sebelah tangannya.

Persahabatan Bayu dan Gantara memang membuat keluarga Bayu cukup mengenal keluarga Gantara, begitupun sebaliknya. Dan Bayu juga sudah menceritakan pada kedua eyang Witri tentang putra Gantara yang menyelamatkan cucu mereka.

“luka Giaro sudah lebih baik eyang, dan jangan berterima kasih pada kami, kami yang justru meminta maaf atas kejadian ini.” Ucap Williona tak kalah tulus.

“Wah, luka dik Witri dan kak Aro sama.” Semua pandangan tertuju pada Galeo yang baru saja berucap diantara percakapan mereka tadi.

Berbeda dengan Bayu yang dengan samar menarik nafas cepat saat mendengar ucapan itu, Gantara dan Williona justru mencoba mengerti ucapan anaknya yang tadi sama sekali tidak mereka simak.

Tapi akhirnya Gantara dan Williona beralih pada Witri dan mencermati luka-luka gadis kecil itu juga.

Luka di pelipis kiri, belikat kanan sebelah leher, lengan kanan, luka-luka yang sudah terbalut perban. Dan jika mereka melihat, di balik selimut Witri juga ada luka pada pergelangan kaki kirinya, benar-benar luka yang sama dengan Giaro, hanya saja letak lukanya kebalikan dari luka-luka Witri.

“Mungkin hanya kebetulan mereka punya luka yang sama.” Ucap Williona lembut.

“Aro, apa kamu sadar penyebab luka itu? Mungkin tergores bebatuan atau, ranting?” Bayu bertanya dengan nada seperti ingin memastikan sesuatu, namun terdengar berharap sebaliknya.

“Tidak om, sebenarnya Aro sama sekali tidak menyadari, seperti luka-luka ini timbul dengan sendirinya.”

“Bayu, seseorang yang dalam keadaan genting tidak akan sempat menyadari apa yang terjadi pada dirinya, mungkin itu pula yang dialami putraku.” Gantara menjelaskan kemungkinan besar yang terjadi pada putranya.

“iya Bayu, bisa jadi itu hanya kebetulan.” Eyang kakung menambahi, nadanya penuh simpati pada Bayu.

Sebagai orang tua dari Bayu, baik eyang kakung maupun eyang putri, sudah sangat mengerti dengan apa yang dirasakan Bayu saat menghadapi situasi seperti sekarang ini. Situasi dimana seseorang terluka bersamaan dengan Witri cucu mereka.

Dan Bayu berharap dalam hati bahwa luka-luka Giaro memang hanya kebetulan sama dengan luka Witri. Seperti yang diucapkan Gantara dan ayahnya tadi.

***

“apa kabar eyang?” Maya memberi pelukan pada eyang putri dan menyalami eyang kakung, yang diikuti juga oleh Gilang, saat mereka berdua masuk ke kamar inap Witri.

“Bayu, bagaimana keadaan Witri. Maaf kami baru bisa menjenguk.” Gilang mengucapkan permintaan maafnya begitu masuk ke kamar tempat Witri dirawat.

Kemarin mereka mendapat kabar kalau Witri dibawa ke rumah sakit karena terluka saat bermain di kebun teh, namun mereka baru bisa menjenguk sekarang. Sebenarnya Bayu juga mengajak mereka untuk liburan akhir pekan bersama di kebun teh milik Bayu itu, mengingat keluarga Gilang memang tinggal di Bandung, namun mereka ada keperluan sehingga tidak bisa ikut.

“Tidak apa-apa Gilang, terima kasih sudah datang. Keadaan Witri sudah semakin membaik.” Bayu melemparkan pandangan pada putrinya.

“Bagaimana dengan lukanya?” tanya Gilang lagi setelah mereka mendekat ke sebelah tempat tidur Witri.

“Yang cukup parah luka di bagian belikat dekat leher dan di pergelangan kakinya.”

“Sayang, ini Bude bawain buah-buahan untuk kamu.” Maya meletakkan keranjang buah bawaannya ke atas meja di sebelah ranjang Witri.

“Terima kasih Bude,” jawab Witri senang, “kak Angel tidak ikut?”

“Maaf sayang, kak Angel sedang ada les biola. Kamu kangen ya?”

Witri tersenyum dan mengangguk. Bagaimanapun juga Angel adalah saudara yang paling seumuran dengannya, walaupun tidak sering bertemu, tetapi Ia merasa nyaman untuk berteman dengan Angel.

“Jadi kapan kalian pulang ke Jakarta Bayu?”

Mengingat ini adalah liburan akhir pekan mereka, seharusnya besok mereka sudah harus di Jakarta karena Witri harus sekolah, dan Bayu harus ke kantor mengurus perusahaan furniture miliknya. Tapi karena kejadian ini, Witri sudah pasti akan izin sekolah sampai beberapa hari kedepan, dan Bayu harus menitipkan semua urusan kantor pada bawahannya.

“Dokter bilang kalau Witri semakin membaik, lusa sudah bisa dibawa pulang.”

Mungkin setelah mereka pulang ke Jakarta nanti, liburan itu akan menjadi liburan di kebun teh yang terakhir bagi Witri. Bayu adalah tipe ayah yang tidak ingin mengambil resiko jika sudah menyangkut keselamatan putrinya. Bagaimanapun Witri adalah pusat perhatiannya, hal yang paling penting dalam hidupnya, sekecil apapun hal yang membuat ketidaknyamanan apalagi mengancam Witri, sejauh mungkin Bayu akan menjauhkannya.

***

“Maya,” Williona menyambut Maya dengan lembut.

“Apa kabar Maya, mana Gilang dan Angel?” Tanya Gantara saat tidak melihat Gilang dan Angel tidak bersama Maya masuk.

Maya dan keluarganya mengenal Gantara dan Williona sejak beberapa tahun lalu, saat Bayu juga mengajak mereka liburan bersama. Waktu itu anak-anak mereka masih kecil-kecil, dimana Angel dan Witri masih berusia 3 tahun, serta Giaro berusia 9 tahun dan Galeo berusia 5 tahun.

Gantara dan Williona sendiri memang menikah muda. Saat mereka memiliki bayi Giaro, usia Gantara masih 20 tahun sedangkan Williona 19 tahun. Tapi sama sekali mereka bukan menikah karena ‘kecelakaan’. Mereka berasumsi hal itu murni karena cinta mereka yang sangat kuat, terlebih orang tua mereka masing-masing memang berteman baik dan juga mendorong mereka segera menikah.

Gantara memang berasal dari keluarga yang berada, jadi walaupun pada saat Ia memiliki anak statusnya masih sebagai mahasiswa, tapi kedua orang tuanya tidak masalah untuk menanggung segala keperluan Gantara dan Williona. Sampai setelah lulus kuliah barulah Gantara bekerja keras memulai usahanya sendiri.

Itulah sebabnya saat rata-rata temannya baru memiliki anak yang masih kecil-kecil, Gantara bahkan sudah memiliki putra yang mulai beranjak remaja.

“Oh, mas Gilang masih di kamar Witri mengobrol dengan Bayu. Sebentar katanya dia nyusul. Kalau Angel tidak ikut karena ada les biola.” Jelas Maya, “bagaimana keadaan Giaro?” Maya dan yang lainnya mendekati tempat tidur Giaro.

“Dokter baru saja memeriksa kondisinya. Lukanya sudah semakin membaik.”

“Syukurlah kalau begitu. Mm..Williona, kalian tidak merasa ada yang aneh kan?” Maya bertanya dengan nada kehati-hatian, namun seperti ingin mengarahkan pertanyaannya pada sesuatu.

“Aneh?” Alis Williona berkerut tanda kebingungannya dengan pertanyaan Maya.

Gantara juga sama tidak mengerti seperti istrinya, Ia mengernyit sembari menunggu Maya memberi kata-kata lebih, untuk menjelaskan maksud pertanyaannya tadi.

“Mm..luka Giaro…oh apa kalian sudah melihat luka Witri?” Maya tersenyum, namun semakin menimbulkan kebingungan di wajah Gantara dan Williona.

“Ya, kami sudah melihatnya. Witri mengalami luka yang cukup parah terutama di belikat dan pergelangan kakinya. Ah, dan kebetulan Giaro juga mengalami luka yang cukup parah di bagian itu.” Terang Gantara.

Entah mereka menyadari atau tidak, raut wajah Maya seperti mendapatkan titik cerah saat mendengar keterangan Gantara,  seperti Ia mendapat jalan terbuka untuk membawa pertanyaannya tadi pada ujung yang ingin dicapainya.

“Bagaimana kalau itu bukan kebetulan?” Nada suara Maya lebih terdengar seperti menegaskan kalau itu adalah sebuah pernyataan.

“Hai. Maaf aku telat.” Gilang membuka pintu dan langsung menyapa, menyela percakapan orang-orang yang berada di dalam kamar Giaro.

“Eh mas. Mari.” Maya memberi lambaian agar suaminya masuk.

Gantara dan Williona seakan lupa untuk menyambut Gilang yang baru saja masuk, mereka berdua larut akan ketidakmengertian akan ucapan Maya.

Maya sendiri seperti tidak ingin melanjutkan ataupun memberi penjelasan lebih untuk menghilangkan kebingungan Gantara dan Williona dan memperjelas ucapannya, setelah suaminya masuk tadi.

Dan pembahasan itu seakan menguap begitu pembicaraan mereka dialihkan pada hal lain, walaupun Gantara dan Williona masih belum mendapatkan jawaban akan maksud tersirat dalam ucapan Maya tadi.

***

Lenting Sedaya Part 5 : Sepupu Jauh

9 Februari 2017 in Vitamins Blog

209 votes, average: 1.00 out of 1 (209 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

***

“Bagaimana sayang? Apakah putra tante Liona tampan?”

Dengusan terdengar dari gadis yang di tanya itu, ” tidak ma.” Jawabnya lagi dengan terlihat enggan.

“Tidak?” Kedua alis Wanita yang dipanggil mama itu berkerut tanda keheranannya akan jawaban gadis tadi.

“Ya,,dia tidak tampan ma,” jeda dalam kalimatnya, “tapi,,dia,,sangat tampan!” Ucapnya menahan histeris.

“Benarkah?” Tanya wanita itu kegirangan, dan dijawab cepat dengan anggukan dari gadis itu.

Dan sekarang mereka berlonjak kegirangan di sofa depan televisi di ruang keluarga mereka, persis seperti dua remaja yang histeris saat membicarakan pria pujaan hati mereka.

“Kamu tau sayang?” Wanita itu mencondongkan tubuhnya ke arah sang gadis yang duduk di sebelahnya, “mama tuh sengaja minta tante Liona, agar putranya bisa nganterin oleh-oleh itu ke kampus kamu.” Jelas wanita itu pada gadis yang memang adalah putrinya.

“Benarkah? Jangan bilang,, mama udah ngerencanain hal ini?” Dan pertnyaannya hanya dijawab senyum penuh arti dari ibunya.

“Angel anak mama yang cantik,,” raut wanita itu berubah menjadi serius saat memandang putrinya, “mulai sekarang, kamu harus berusaha mengambil hati putra tante Liona. Keluarga tante Williona akan menetap di Indonesia, dan itu kesempatan besar buat kamu untuk semakin mudah mendekati Giaro.”

“Mm.. mama tau keluarga tante Williona akan tinggal di Indonesia?” Gadis itu memasang wajah penuh pertanyaan.

“Apa yang tidak mama lakuin buat kamu sayang?” Mama Angel menaikkan sebelah alisnya dan tersenyum penuh arti lagi pada Angel putrinya yang kini ikut tersenyum.

“Ma, tau gak, Angel tuh uda sebarin gosip heboh di kampus, kalau Giaro itu pacar Angel yang baru balik dari Australi,” Angel mengangguk-angguk semangat, “dan kemarin, teman-teman kampus Angel makin percaya waktu liat Angel sama Giaro di depan kampus.” Angel tersenyum-senyum membayangkan sosok tampan Giaro.

“Benarkah sayang?” Mama Angel terkejut dengan pengakuan putrinya, bahkan ada raut bangga terlihat dari raut terkejutnya.

Angel kembali mengangguk pada mamanya.

“Kalau begitu, kamu tinggal meneruskan langkah kamu sampai benar-benar mendapatkan Giaro.” Kedua tangan mama Angel menangkup kedua pipi dan menatap Angel lekat, yang dijawab anggukan kepala Angel.

***

Flashback

“Ayah ayah, eyang sukanya apa ya?” Seorang gadis kecil berusia empat tahun menghampiri dan bertanya pada ayahnya yang sedang duduk membaca koran.

“Mm.. apa yaa, mungkin.. eyang putri sukanya dengan sesuatu yang kamu buat sendiri sayang..” jawab sang ayah dengan antusias, dan sekarang memangku putri kecilnya itu setelah lebih dulu meletakkan korannya di atas meja, di sebelah kursi tempat ia duduk.

Mendengar penjelasan dari ayahnya, gadis kecil tampak berpikir sejenak, lalu ia langsung memerosotkan dirinya dari pangkuan sang ayah, yang tersenyum melihat semangat putrinya itu. putri kecilnya yang cerdas.

Dilihatnya sang putri kecil cantiknya sekarang berlari ke ruang belajarnya yang mungil, yang dapat ia lihat dari tempatnya duduk di ruang keluarga sekarang, lalu ia melanjutkan membaca korannya lagi.

Setelah beberapa lama, dihampirinya putri kecilnya tadi di ruang belajarnya. Ruang belajar yang memiliki bangku dan meja-meja kecil rendah untuk putrinya biasa menghabiskan waktu belajarnya, dan ada pula bola-bola dan mainan-mainan serta beberapa boneka yang lucu-lucu di sudut ruangan.

Ketika dilihatnya sang ayah masuk, gadis kecil itu bergegas beranjak dari duduknya menyambut sang ayah.

“Ayah ayah, Witli sudah punya hadiah untuk eyang putli.” Kata-katanya yang masih cadel itu bersemangat menjelaskan pada ayahnya.

“Oh ya? Coba, mana sini ayah lihat.” Ayahnya memasang wajah sangat ingin tau.

Lalu gadis kecil itu memperlihatkan sesuatu yang tadi ia sembunyikan di belakang punggungnya, dan sekarang membentangkan benda itu di depan dadanya.

Sebuah gambar yang dicat dengan pensil warna, yang walaupun garis-garisnya masih terlihat belum terlalu halus, tapi gambar yang dibuatnya itu terlihat sangat bernyawa dan maknanya sangat terasa.

Sang ayah sampai-sampai terkagum melihat gambar itu, merasa sangat bangga dengan bakat yang dimiliki putrinya.

“Waah, bagus sekali sayang,” ucap sang ayah terkagum, “pasti eyang putri akan senang.”

“Iya yah. Kalena, Witli buat sendili gambalnya. Kan ayah bilang, eyang putli akan suka, dengan sesuatu, yang Witli buat sendili.” Jelas gadis kecil itu panjang lebar dengan kalimat yang terbata-bata.

“Iya sayang, eyang putri pasti akan suka.” Sang ayah mengusap lembut kepala putrinya itu, “Ya sudah, nanti gambarnya kita bingkai ya supaya bagus, lalu setelah itu kita bungkus dengan kertas yang cantik. Oke.”

“Oke ayah.” Gadis kecil itu berlonjak semangat.

***

“Ma, kenapa kita beli baju lagi ma?” seorang gadis kecil dengan polos bertanya pada ibunya.

“Iya sayang,, karena besok kita akan menghadiri acara ulang tahun eyang Lastri.” Wanita itu menjelaskan pada putrinya, “jadi, kamu harus tampil cantik sayang, pakai gaun ini.” Ibu gadis kecil itu menunjukkan sebuah gaun mungil cantik berwarna merah, seukuran untuk gadis berusia empat tahunan.

“Gimana sayang, kamu mau kan?” Tawar wanita itu tersenyum pada putrinya.

“Iya ma, Angel mau.” Jawab gadis itu bersemangat dan menganggukkan kepalanya.

“Ya sudah kalau kamu mau, kita beli yang ini ya sayang.”

Setelah selesai membeli gaun yang akan dipakai pada acara ulang tahun nanti, sekarang mereka singgah untuk membeli kado.

“ma, yang itu ma, cantik sekali.” Jari mungil gadis kecil itu menunjuk sebuah hiasan rambut.

“yang mana sayang?” wanita itu mencoba melihat aksesoris yang ditunjuk anaknya.

“yang itu ma..yang ada hiasan bulat-bulat kecilnya..” jari mungil gadis kecil itu masih menunjuk-nunjuk benda tadi yang ada di dalam kaca.

Dapat dilihatnya benda yang ditunjuk putrinya tadi, “Mbak, coba saya lihat yang itu.” tunjuk wanita itu pada sebuah jepit rambut perak dengan hiasan mutiara kecil di ujungnya. Ia juga merasa tertarik dengan jepit rambut dengan panjang sekitar 12cm yang terlihat cantik itu, setelah beberapa saat tadi juga melihat-lihat dulu aksesoris yang dipajang lainnya, “gimana sayang, kita ambil yang ini untuk kado eyang?” wanita itu bertanya pada putrinya, yang dijawab anggukan semangat oleh putri kecilnya itu.

Ia memang terbisa mengajak dan membebaskan putri kecilnya itu untuk memilih barang-barang yang ia sukai. Walaupun putrinya itu masih berusia empat tahun, ia selalu mengikutsertakannya untuk memilih barang yang akan mereka beli.

“mbak, saya ambil yang ini ya.”

***

Hari ini mereka berkumpul di rumah eyang Lastri di bandung, merayakan ulang tahun eyang Lastri yang ke-49. Acara yang di hadiri hanya oleh kerabat saja. Pun hanya berupa acara sederhana, namun terasa sangat kekeluargaan.

“Gilang, Maya, apa kabar kalian.”

“Bayu.. kabar kami baik, kamu sendiri?” Lelaki bernama Gilang itu menyalami Bayu yang menyapanya.

Acara ulang tahun eyang putri seperti ini memang sekaligus menjadi acara bertemu keluarga tiap tahunnya.

“Kami juga baik Gilang. Eh,, ada Angel.. disapa dong sayang..” ucap Bayu pada putri yang digandengnya.

“Halo, Angel…”

“Halo Witri…” jawab gadis kecil yang dipanggil Angel tadi.

Dan dua gadis kecil sebaya itu saling berpelukan, sangat lucu dan menggemaskan.

Mereka berdua adalah sepupu beda kakek, dan merupakan anggota keluarga yang berusia paling muda diantara anak kerabat mereka yang lain, sama-sama berusia 4 tahun.

“Halo Witri.. kamu sudah semakin besar sayang.” Maya tadi mengelus pipi Witri.

“Hahaha. Angel juga sudah besar sekarang sama seperti Witri..” Bayu juga memberi usapan lembut di rambut Angel putri Gilang dan Maya kakak sepupunya.

Obrolan hangat mereka mengalir, juga dengan kerabat-kerabat mereka yang lain. Dan tak lupa mereka juga mendapat sambutan hangat dari tuan rumah yang tak lain adalah sang eyang kakung dan eyang putri.

Dan sekarang, acara utama sudah dimulai dengan menyanyikan lagu selamat ulang tahun, dan pemotongan kue oleh eyang putri.

Setelah acara pemotongan kue, dan doa yang dipimpin eyang kakung mereka selesai, para kerabat bergantian memberi ucapan pada eyang putri.

“Eyang putri..” Gadis kecil bergaun merah menghampiri eyang putri.

“Aah..Angel, cantik sekali kamu sayang..” Sambut sang eyang mendapati salah satu cucunya itu sekarang menghampirinya.

“Angel, mau kasih ini ke eyang..” Tangan mungilnya menyerahkan sebuah kotak merah kecil.

“Kado buat eyang?” Tanya sang eyang sambil tersenyum sambil menerima kotak itu.

“Iya, eyang buka ya..sekarang..”

Sang eyang menuruti permintaan cucunya yang nampaknya sangat bersemangat, lalu membuka kotak itu.

“Waah, bagus sekali..” Eyang putri mengeluarkan isi kotak itu, sebuah aksesoris rambut berhiaskan mutiara mungil.

“Iya eyang, Angel yang pilih sendiri loh.” Ucap gadis kecil itu.

“Benarkah? terima kasih sayang, eyang suka..” diberinya kecupan sayang di kedua pipi cucunya.

“Benar bu, Angel sendiri yang memilihnya.” Nada bangga terdengar dari Maya.

“Terima kasih Maya.” Senyum sang eyang tulus.

“Sama-sama bu.”

Sesaat, seorang gadis kecil lainnya menghampiri tempat duduk eyang putri.

“Eeh cucu cantik eyang bawa apa..” dengan senyum mengembang eyang putri menyambutnya.

Gadis kecil yang sangat anggun memakai gaun putih sepanjang mata kakinya, yang tak lain adalah Witri kecil.

“Witli, mau kasih ini ke eyang.” Ucapnya sambil menyodorkan dengan kedua tangannya, sebuah bungkusan kado berwarna biru muda yang cantik.

“Waah terima kasih sayang..” eyang putri menerima kado dari cucunya itu, “boleh eyang putri buka sekarang?” Dengan senyum mengembang sang eyang meminta ijin untuk membuka kado itu, dan dijawab anggukan mengiyakan dari sang cucu.

Helaan nafas terperangah terdengar dari sang eyang setelah melihat isi kado itu “Ini bagus sekali sayang,”

Sebuah bingkai berisi gambar yang menunjukkan sosok wanita hampir mirip seperti tampilan dirinya, tengah duduk dan menunduk untuk meniup sebuah lilin di atas kue kecil, yang dipegang oleh seorang gadis kecil yang berdiri di depannya, dan di samping gadis kecil itu berdiri seorang pria seperti sosok ayahnya, yang juga sedikit menunduk dan terlihat tersenyum lebar sambil bertepuk tangan.

Gambar yang tiap goresan garisnya sangat jujur, dan warna-warna cerah di dalamnya mencerminkan suasana ceria dan bahagia. Gambar yang sederhana, namun maknanya sangat tersampaikan dengan sempurna.

“Eyang putli suka? Kata ayah, eyang suka, kalau kado buat eyang, Witli sendili yang buat.” Jelasnya dengan polos.

Dengan terharu sang eyang mengelus rambut cucunya, “Suka nak, eyang suka sekali,” ucapnya haru dan memeluk gadis kecil itu di pangkuannya.

Ia sangat menyayangi cucu kecilnya itu. Parasnya yang cantik, sifatnya yang lembut dan anggun, membuatnya sangat mudah untuk dicintai. Terlebih, memang sudah seharusnya ia memperoleh cinta kasih dari orang-orang sekitarnya, sebagai ganti dari cinta kasih seseorang yang diambil darinya.

“Selamat ulang tahun Bu.” Ayah Witri yang sedari tadi berdiri disebelah putri kecilnya itu, ikut memberikan ucapan pada sang ibu, eyang bagi putri kecilnya.

“Terima kasih Bayu. Kau sudah bekerja keras membesarkan cucu cantikku ini sendirian nak,” jelasnya dengan haru, “terima kasih sudah mendidiknya dengan baik, sehingga dia tumbuh menjadi anak yang pintar.”

Bayu menggenggam tangan ibunya dengan lembut.

Melihat hal itu, keluarga mereka yang dari tadi ikut menyaksikan keharuan itu, juga merasa tersentuh. Mereka tau, Bayu membesarkan putrinya seorang diri. Dan Witri, malaikat kecil itu tumbuh tanpa adanya kasih sayang seorang ibu disisinya.

Tapi bagi seseorang diantara mereka, keharuan tadi bukan merupakan sesuatu yang banyak menyentuh hatinya.

Ia menghela putrinya yang tadi masih berdiri di sebelah eyang putri, untuk mendekat di depannya.

“Dengar sayang,” wanita itu mensejajarkan wajahnya dengan sang putri, menangkup kedua pipi putrinya itu, “kamu, Angel, anak mama, harus menjadi kesangan semua orang. Kamu yang paling cantik, kamu harus jadi yang nomor satu.” Wanita itu memandang lekat mata putri kecilnya, “kamu mengerti sayang?” Kalimat wanita itu lebih seperti perintah, dan dijawab anggukan kepala gadis kecil itu.

Suara sang ibu pada putrinya itu tenggelam di tengah acara yang kembali ceria, sehingga hanya mereka berdua saja yang dapat mendengarnya.

Bagi Maya, Angel anaknya haruslah menjadi yang utama, yang paling cantik, paling pintar, serta yang paling disayang semua orang. Bukan orang lain di sekitarnya, bukan pula Witri anak Bayu yang terhitung sepupu jauhnya itu.

Flashback end

Lenting Sedaya Part 4 : Gadis Kecil Itu

6 Februari 2017 in Vitamins Blog

333 votes, average: 1.00 out of 1 (333 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

***

“Ayah.” Witri bergegas menghampiri lalu mencium punggung tangan ayahnya, bahagia menyambut ayahnya yang baru tiba di rumah.

“Hahaha. Anak ayah. Apa kabar? Sepertinya ada yang kangen sama ayah.” Tubuh Witri segera berpindah ke pelukan ayahnya. Terasa tangan besar sang ayah mengusap lembut rambut panjang Witri.

Ayah Witri dapat merasakan rindu yang dirasakan Witri kala anaknya itu menyambutnya tadi, rasa rindu yang terpancar lewat binar matanya.

“Baik yah. Ayah sendiri apa kabar?” Jawab Witri sambil mengangkat pandangan kepada ayahnya yang masih memeluk tubuh Witri.

“Ayah juga baik.” Lengan ayah Witri melepaskan pelukannya, “maaf ayah baru sampai sore ini, tadi ada sedikit kerjaan yang harus ayah kerjakan lagi.”

“Tidak apa-apa ayah. Yang penting ayah sudah dirumah sekarang.” Senyum lembut Witri memberikan pengertian, menghangatkan hati sang ayah yang sangat disayanginya.

Pandangan Witri beralih pada mang Diman, “Terima kasih mang, sudah menjaga ayah Witri tetap baik-baik saja sampai di rumah lagi.” Witri tersenyum pada mang Diman yang sedang menurunkan beberapa kantung yang sepertinya oleh-oleh, dibantu mbok Nah dan pak Min.

“Sudah tugas saya non.” Senyum lebar mang Diman menular pada Witri, ayahnya, dan juga mbok Nah serta pak Min.

“Ya sudah, sekarang lebih baik ayah istirahat dulu.” dapat dirasakan Witri kalau ayahnya sangat lelah.

“Iya. Ayah memang butuh istirahat dan mandi. Ya sudah sebaiknya kita masuk kedalam.”

“Iya, ayah duluan saja. Witri akan membantu membawa barang bawaan ayah.” Tangan Witri hendak meraih koper ayahnya sebelum dicegah oleh pak Min.

“Gak usah non, biar bapak saja yang bawain.” dengan cepat pak Min mengambil koper yang akan dipegang Witri.

“Iya non, biar si mbok sama pak Min yang bawain. Non masuk duluan saja.” Mbok Nah menambahi.

“Ya sudah, mkasih ya mbok, pak Min. Mang Diman sebaiknya juga istirahat mang.” Senyum Witri mengembang.

Bagi orang-orang yang dekat dengan Witri itu, mereka sudah sangat tau akan kelembutan dan kebaikan hati gadis itu pada siapapun, kebaikan yang tanpa syarat dan pandang bulu.

***

Hari ini Witri, Rena dan Genta kembali melakukan aktifitas di kampus. Dan beberapa saat tadi, mereka baru saja makan siang di kantin.

“Duh kenyang banget nih perut.” Tangan mungil Genta membuat gerakan mengelus-ngelus perutnya.

Pernah suatu kali Genta berjalan saat ia kekenyangan setelah makan, saat itu Rena mengejeknya dengan menyebut jalannya jadi mirip seperti anak pinguin gendut yang sangat lucu. Dan Genta benar-benar merajuk saat itu karena disamakan dengan anak pinguin, yang gendut pula. Sampai akhirnya Rena memberinya cakelat batangan kualias super sebagai permintaan maaf, barulah Genta berhenti merajuk.

“Dimana-mana tuh abis makan pasti kenyang baby..” Rena mengacak rambut Genta gemas.

Seperti biasa Witri akan tertawa kalau melihat kelakuan dua sahabatnya itu.

“Makanya ta.. kalau makan itu sesuai porsi..” dengan suara lembut, Witri menasehati Genta.

“Dengerin tuh..anak bayi tuh porsi makannya sesuai anak bayi juga..jangan disamain porsi kuli bangunan..” senyum Rena tertahan.

“Yee.. kan lagi masa pertumbuhan…” bibir Genta cemberut.

Disela senda gurau dan omelan Genta karena mendapat ejekan dari Rena itu, tiba-tiba hp Witri berbunyi.

Witri bergegas mengangkatnya, “Ya ayah.”

“….”

“Masih yah. Witri masih ada kegiatan di kampus siang ini.” Kelopak mata Witri berkedip-kedip seperti mencoba mengerti arah pembicaraan ayahnya.

“…”

“Bandara?” sebuah kerutan kecil muncul di kening Witri.

“…”

Ada jeda yang cukup lama saat Witri terdiam, mungkin ayah Witri sedang menjelaskan sesuatu dari sana.

“Ooh..tapi, maaf yah, Witri benar-benar tidak bisa.” Nada Witri rendah penuh permintaan maaf.

“…”

“Ya ayah.”

“…”

“Iya yah.”

Witri menyimpan hp miliknya ke dalam tas sampingnya, kembali melemparkan pandangan pada kedua sahabatnya.

Seperti biasa Rena dan Genta akan memandang Witri, menuntut penjelasan, setelah Witri mendapat telepon dari ayahnya. Bagaimanapun juga, mereka adalah sahabat Witri yang sama-sama tau bagaimana ayah Witri, yang biasanya tak segan-segan menitipkan pesan yang harus diperhatikan siapapun yang bersama putrinya itu, seperti pesan tidak boleh menculik anaknya, tidak boleh terlalu sore mengajak anaknya, tidak boleh terlalu jauh membawa anaknya, dan lain-lain.

Walaupun begitu, bukan berarti Witri selalu menceritakan pada sahabatnya, apa yang ia bicarakan dengan ayahnya saat di telepon. Hanya hal-hal yang perlu dan tidak bersifat pribadi saja yang ia ceritakan pada mereka.

“Ayahku tadi berniat mengajak ke bandara.”

Rena dan Genta sama-sama mengangkat kedua alisnya, menuntut penjelasan lebih. Baru kali ini mereka mendengar ayah Witri membahas sesuatu diluar dari pesan-pesan yang sering disampaikannya seperti biasa.

“Ayah bilang, untuk menyambut kedatangan temannya,, Umm.. lebih tepatnya, kedatangan putra teman ayah.”

Rena dan Genta mangangguk-angguk sembari membuat gerakan bibir seperti membentuk huruf ‘O’ dengan nada yang panjang, serentak seperti paduan suara.

Tiba-tiba Genta berubah semangat, sekarang posisinya menjadi di hadapan Witri dan Rena yang masih berjalan. Ekspresinya menunjukkan raut yang ingin menyampaikan sesuatu yang sangat penting dan mendesak.

“Wit, jangan bilang..putra teman ayah kamu itu..sang pangeran tampan yang selama ini kita tunggu.” Wajah Genta berubah sangat serius bahkan sedikit terkejut.

Rena mendengus panjang mendengar kata-kata Genta, sedangkan Witri, yang sudah sering mendengar kata-kata yang disebutnya sebagai dongeng ‘sang pangeran’ dari Genta, walaupun selalu menganggap kata-kata Genta adalah candaan seperti biasanya, tapi ia tetap menanggapi dengan senyum sembari menggelengkan kepala.

“Ibu cenayang..kita doakan saja yaa..pangeran untuk sang putri akan segera datang..” Rena mengacak rambut Genta lagi.

“Bundaa! lama-lama rambut aku bisa,, AWW!” Genta tiba-tiba berteriak.

Dengan cepat Genta berbalik untuk melihat siapa orang yang menabrak lengannya kirinya, yang membuat ia berteriak kesakitan seperti tadi.

“Eh, jalan pake ma,,” kata-kata Genta terhenti ketika tau siapa orang yang menabraknya barusan.

Witri dan Rena juga sama terkejutnya ketika menyadari apa yang terjadi yang membuat Genta berteriak kesakitan. Mereka bertiga sama sekali tidak menyadari seorang wanita berjalan berlawanan dengan mereka sampai akhirnya menabrak Genta.

“Ups.” Hanya kata itu yang terucap dari wanita itu.

Sosok wanita cantik, namun tertutup dengan sikap angkuh yang sangat kental di wajahnya, dagunya yang sedikit terangkat dengan kaku memberikan kesan meremehkan terhadap lawan bicaranya.

“Bisa gak sih kalau jalan tuh liat pake mata!” Emosi Genta meluap setelah terlepas dari rasa terkejutnya dan melupakan rasa sakit dilengannya.

“Saya rasa kalian yang menghalangi jalan saya.” Sambil melipat kedua tangannya di dada, wanita itu mendengus dan menunjukkan ekspresi malas.

Raut wajahnya sama sekali tidak menunjukkan sikap menyesal setelah menabrak Genta tadi, bahkan nada suaranya sangat enteng dan terdengar menyepelekan.

Emosi Genta makin terpancing sampai ia maju ingin mendamprat wanita itu kalau saja Rena tidak mencekal pergelangan tangannya, mencegahnya untuk tidak bertindak sesuatu yang terlalu jauh.

Dibalik tubuhnya yang mungil serta sifatnya yang manja, tapi Genta bisa berubah menjadi sosok yang sangat garang, terlebih bila ia melihat ada seseorang yang tidak menghargai dan menindas orang lain, paling membuatnya tidak suka.

“Maaf Angel. Kami benar-benar tidak melihatmu, dan tidak bermaksud menghalangi jalanmu.” Buru-buru Witri menengahi.

Menyadari siapa yang berbicara, Angel yang dari tadi menatap Genta, kini melepas kacamata yang sedari tadi ia kenakan, alisnya terangkat, diikuti senyum dingin yang tercetak jelas ketika matanya menatap Witri yang barusan berbicara padanya.

“Oh,,” satu kata yang seperti mengartikan ‘oh..kau rupanya!’, dari nada suara dan tatapan Angel pada Witri yang sarat akan tatapan merendahkan.

“Baiklah, sepertinya tidak ada yang penting untuk diperpanjang lagi. Sebaiknya aku segera ‘menjauh’, dari sini.” Tatapan Angel terus melekat pada Witri, sembari menekan kata-kata terakhirnya yang penuh arti itu, yang jelas ia tujukan pada Witri.

“Kau!” Genta mencoba berontak dari tangan Rena yang masih mencekal pergelangan tangannya, geram melihat tingkah Angel yang dengan angkuhnya melenggang tanpa sedikitpun meminta maaf.

“Ta, ta, udah. Tidak usah kita layani dia.” Rena mencoba menenangkan Genta yang masih emosi. Bagaimanpun ia harus bersikap bijak dan memberikan pengertian untuk menahan Genta agar tidak semakin emosi, walaupun ia sendiri juga geram melihat tingkah Angel tadi.

“Iya, tapi, dia benar-benar tidak tau etika! Dan aku yakin, pasti dia tadi sengaja mena..”

“Ta, please! Udah..” Witri dengan cepat menyela dan menatap lekat mata Genta. Mencoba membuat Genta beralih untuk melepaskan pandangannya pada punggung Angel yang semakin menjauh.

Genta menatap tatapan Witri itu, ia menggelengkan kepala dan menggigit pipi dalamnya untuk meredakan emosinya, lalu mengalihkan pandangannya dari mata Witri. Ia sangat mengerti arti tatapan sahabatnya itu. Tatapan penuh permohon namun tak terbantahkan.

Bagi Witri sendiri, ia sama sekali tak ingin memiliki masalah dengan sepupunya itu, dan Witri sangat mengerti arti tatapan serta ucapan Angel tadi. Tatapan juga ucapan yang selalu menyudutkan Witri.

***

“Witri mana mbok. Kenapa belum keluar.” Ayah Witri beralih sejenak dari koran yang dibacanya, ketika mbok Nah menyiapkan makanan di meja makan.

“Non Witri masih di kamarnya tuan. Sedang mengerjakan tugas. Sebentar mbok panggilkan.”

Mbok Nah bergegas menuju kamar Witri di lantai dua, dan mengetuk pintu setelah berada di depan kamar Witri.

“Non..”

“Iya mbok.” Witri segera menjawab saat mendengar panggilan Mbok Nah dari depan pintu kamarnya.

“Non sudah ditunggu tuan buat makan malam.”

“Iya mbok, sebentar.”

“Ya sudah mbok tinggal dulu ya non.”

Mbok Nah berjalan kembali ke ruang makan di bawah, melanjutkan untuk menyiapkan makanan di meja makan yang tadi sedikit lagi diselesaikannya.

Tidak lama setelah itu, Witri segera menyusul mbok Nah ke meja makan dimana ayahnya sudah menunggu. Malam ini Ayah Witri memang sedikit lebih cepat untuk makan malam.

“Maaf ayah. Witri terlalu asik mengerjakan tugas jadi tidak memperhatikan waktu.” Cepat-cepat Witri menjelaskan setelah ia duduk, takut ayahnya akan marah.

“Apapun alasannya, kamu jangan sampai lupa waktu untuk makan nak.” Nasehat ayah Witri dengan suara tegasnya.

“Ya ayah, maaf.” Jawab Witri dengan kepala tertunduk.

Witri paling takut kalau ayahnya sudah berkata dengan nada tegas seperti itu, walaupun seumur hidupnya ia belum pernah sekalipun melihat ayahnya marah, apalagi memarahinya.

“Ya sudah, kita makan sekarang.” Ayah Witri lalu memimpin doa.

Seperti biasa makan malam mereka akan berlangsung hening. Witri tidak akan berani membuat percakapan apapun di meja makan, kalau ayahnya tidak lebih dulu membuka percakapan.

“Oh iya, besok malam kita akan kedatangan tamu.”

“Tamu?” Jeda dalam suara Witri, “umm..apa tamu itu..teman yang ayah temui di bandara tadi siang?”

Seperti biasa, benak Witri dapat merasakan apa yang dipikirkan ayahnya, walaupun seringkali pertanyaan seperti itu ia lontarkan dengan nada suara keraguan, dan hanya berupa gumaman pelan.

“Benar, teman yang juga ayah temui waktu di Bandung.”

Witri tampak sedang berfikir. Merasa ingin tau lebih tentang teman ayahnya ini. Ia merasakan kalau teman ayahnya ini seperti sudah sangat dekat dengan ayahnya. Tapi teman yang mana?

Padahal mereka akan berkunjung ke rumah, setidaknya ia berharap ayahnya akan menceritakan tentang keluarga temannya ini. Perasaan Witri mengatakan kalau ayahnya sedang menahan untuk tidak bercerita banyak soal temannya.

“Maaf yah, apa kita,, maksud Witri, apa Witri pernah bertemu dengan teman ayah ini?”

“Ya.” Ayah Witri menjawab singkat, “Sebaiknya kamu habiskan dulu makanan kamu. Jangan terlalu lama.” Ayah Witri mengambil cangkir berisi teh lalu menyesapnya, kebiasaan ayahnya ketika selesai makan malam.

Witri hanya bisa menelan sisa makanan di dalam mulutnya, yang sebenarnya sudah ia telan sebelum ia melontarkan pertanyaan tadi pada ayahnya. Dari ujung bulu matanya Witri melihat, sang ayah dengan sikap diamnya yang tegas, seolah menjelaskan bahwa ayahnya tidak ingin membahas pertanyaan Witri lebih jauh.

Dan sikap ayahnya barusan menguatkan perasaannya tadi, bahwa sang ayah memang benar-benar tidak ingin bercerita lebih banyak tentang temannya itu. Kalau sudah begitu, Witri tidak akan berani lagi untuk bertanya, sebesar apapun keingintahuannya.

***

“Duuh proposal aku belum disetujui pak Nizam nih.” Genta merungut-rungut.

Hari ini mereka kebetulan sama-sama memiliki jadwal temu dengan dosen pembimbing mereka, untuk membahas proposal yang sebelumnya ditugaskan untuk mereka buat terlebih dulu.

Mereka memang akan ditugaskan membuat proposal untuk disetujui dosen pembimbing, sebelum mereka dapat membuat sketsa dan lukisan dari tema yang ingin mereka angkat.

“Kalian sendiri gimana?” Tanya Genta pada kedua sahabat yang saat ini berjalan di sisi kanan dan kirinya, mirip seperti dua kakak yang sedang mengapit adik kecil mereka.

“Lancar..” Witri dan Rena serentak menjawab, membuat Genta metatap mereka bergantian, masih dengan rungutan bibirnya.

“Iss..kalian menyebalkan.”

“Loh..kok menyebalkan..makanya,,kamu harus lebih semangat dan bersabar ya baby…” lagi-lagi Rena mengacak-ngacak rambut Genta.

Dan lagi-lagi Witri hanya bisa tertawa melihat sahabatnya itu.

“Astaga!” Genta terpekik dengan suara tertelan dan spontan menutup mulutnya dengan kedua telapak tangan.

Witri dan Rena menjadi terkejut dan bingung, mereka memastikan apakah ada yang menabrak Genta lagi sehingga membuatnya terpekik seperti itu. Tapi itu tidak mungkin, jelas-jelas mereka berdua yang ada di sebelah Genta.

Witri dan Rena menjadi sedikit waspada akibat insiden Genta yang tertabrak oleh Angel kemarin. Bukan apa-apa, mereka hanya takut tidak bisa menahan Genta lagi kalau saja kejadian seperti kemarin terulang kembali.

“Baby, kamu kenapa.” Rena memegang dahi dan memeriksa tubuh Genta, barangkali ada yang sakit atau terluka.

“Kamu kenapa ta?” Witri juga menunjukkan raut cemas.

Tapi yang bersangkutan malah terbengong dengan pandangan lurus kedepan, mulut sedikit terbuka, serta tubuh yang seperti patung. Membuat Witri dan Genta makin menatap lekat Genta. Rena sampai-sampai menggoyang-goyang bahu Genta untuk menyadarkannya.

“Baby,,kamu kena..” Belum selesai Rena bertanya, Genta sudah bersuara.

“Pa,,pa,ngeran.” Gumam Genta, kali ini kepala Genta miring ke satu sisi, masih melihat kedepan.

Langsung saja Witri dan Rena mengikuti arah pandangan Genta.

Dan di sana, di depan gedung kampus mereka, tak berapa jauh dari tempat mereka berdiri di teras gedung saat ini, berdiri seorang pria yang terlihat.. sangat tampan. Ketampanannya benar-benar seperti seorang malaikat.

Pria yang terlihat sangat sempurna. Tubuh tinggi, badan yang tidak terlalu besar namun tercetak kokoh dibalik kaus lengan panjang putih kasualnya, kaca mata bertengger di hidung, dan berdiri di sebelah mobil sport hitamnya.

Beberapa mahasiswi yang akan keluar masuk atau lewat di depan gedung kampus, jelas-jelas terlihat mencuri-curi lirik, bahkan terang-terangan menunjukkan pandangan tertarik pada pria itu.

Witri dan Rena sendiri hanya melihatnya dengan kernyitan di dahi mereka, mencoba memperhatikan siapa pria itu? Walaupun di kampus mereka terdapat berbagai jenis pria, dari yang biasa-biasa saja, tampan, sampai yang benar-benar tampan, tapi mereka yakin kalau pria itu bukan warga kampus mereka. Dari gerak-gerik pria itu, mungkin ia sedang menunggu seseorang.

Di tengah perhatian mereka pada pria disana, tiba-tiba seorang wanita melewati mereka dan berjalan tergesah-gesah menuruni tangga depan gedung. Dan wanita itu, berhenti di depan pria tampan tadi, dengan senyum yang terlalu mengembang.

Sejenak kemudian, Witri, Rena, dan Genta tersadar dari semua pertunjukan itu. Berbeda dengan Genta yang terlihat kecewa dan menjadi sangat acuh setelah tau siapa wanita yang menghampiri pria tadi, Witri dan Rena justru terlihat menahan senyum geli karena ekspresi Genta.

“Ciee, sepertinya ada yang kecewa berat nih..” Rena menyikut pelan lengan Genta.

“Uda deh bun..” Genta mendengus sebal.

“Cie ciee.. ada yang cemburu..” goda Rena lagi.

Witri mengusap-ngusap lengan Genta, tidak tau apakah sikapnya untuk menenangkan atau malahan juga ingin menggoda Genta, karena sebenarnya ia juga sedang menahan tertawa melihat cemberutan Genta sekarang.

Disana, mereka melihat pria itu tengah memegang sebuah kantung kertas berwarna cokelat berpita mungil, lalu menyerahkannya pada Angel.

“Apa mungkin pria itu cowok yang digosipin sebagai pacar Angel waktu itu?” Rena mencoba mengingat kembali gosip tentang Angel yang pernah mereka bicarakan.

“Mungkin dia memang benar pacar Angel yang baru pulang dari Aus..” kata-kata Rena terpotong.

“Udah ah bun,,jangan dibahas. Males banget.” Nada Genta acuh. Sepertinya Genta semakin anti dengan Angel sejak kejadian penabrakan kamarin.

Rena dan Witri kali ini tidak bisa menahan tawa melihat rungutan Genta, padahal Genta benar-benar terlihat cemberut, tapi yang ada hal itu malah membuat wajahnya semakin menggemaskan.

“Ya udah..” dengan suara lembut, Rena mengikuti kemauan Genta, “Eh kayaknya mau ujan nih. Mendung banget. Aku balik sekarang ya. Takut nyetir kalo ujan.” Ucap Rena yang memang takut menyetir sendirian saat sedang hujan.

Sekitar dua tahun lalu Rena pernah mengalami kejadian yang membuatnya cukup trauma. Saat itu Rena sedang menyetir sendirian sekembalinya ia dari suatu acara di rumah sepupunya, dan hari sedang hujan.

Ketika itu, saat beberapa ratus meter lagi ia sampai di rumah, petir menyambar sebuah tiang listrik yang berada hanya beberapa meter saja dari mobilnya, sehingga sangat jelas Rena dapat melihat percikan api yang ditimbulkan, membuatnya gemetar ketakutan.

“Eh jemputan aku juga uda dateng tuh.” Genta menunjuk mobil jemputannya.

Sama seperti Witri, Genta juga selalu diantar jemput oleh supir kemanapun ia pergi. Bukannya Genta tidak pandai menyetir, hanya saja orang tuanya takut kalau-kalau polisi menilangnya karena dikira anak dibawah umur sedang menyetir mobil, alasan dari kedua orang tuanya yang sangat membuat Genta jengkel.

“Ya udah, kalian duluan aja.” Witri tersenyum.

“Beneran kamu gak papa kami tinggalin? Atau kami tunggu nih sampai pak Min datang.”

“Gak usah Ren..kalian duluan aja. Pak Min sebentar lagi datang kok. Ta, kasian tuh supir kamu udah nungguin. Serius, kalian duluan aja.” Senyum Witri masih melekat di bibirnya.

“Ya udah. Kalau gitu kami duluan ya Wit.” Pamit Genta.

Setelah Rena juga berpamitan, sekarang Witri sendirian berdiri di teras gedung ini. Dilihatnya Angel masih di sana bersama pria tadi.

Namun tidak berapa lama, Angel terlihat berbalik melangkah ke dalam gedung setelah memberi lambaian tangan pada pria itu. Witri sedikit heran saat melihat pria itu tak membalas lambaian Angel. Padahal ia pacar Angel. Batin Witri.

Dan disaat itu pula pak Min tiba. Witri bergegas menuju mobil untuk menghindari rintik hujan yang mulai turun, dan saat itu ia berjalan cukup dekat dengan pria tadi yang masih belum beranjak juga.

Entah hanya perasaannya saja, Witri merasa pria itu sedang memperhatikannya dari balik kacamatanya, membuat Witri merasa kikuk dan semakin terburu masuk ke mobil, tidak menyadari sebuah kertas terjatuh dari sisipan buku yang didekapnya.

Dan sekarang, kertas yang ternyata sebuah sketsa, telah berada di tangan pria itu.

***

“Sayang, kamu sudah selesai?”

“Ya ma, sebentar.” Terdengar jawaban dari dalam kamar.

Pintu kamar terbuka, dan wanita yang memanggil tadi memasuki kamar itu.

“Anak mama tampan sekali.” Wanita itu melihat penampilan putranya dari cermin, “Oh iya, apa tadi kamu ketemu dengan anak tante Maya di kampusnya?”

“Iya ma.” Jawab pria itu sambil merapikan pakaiannya.

“Lalu, apa oleh-oleh titipan tante Maya sudah kamu berikan?”

“Sudah ma. Ma, apa penampilanku seperti ini tidak terlalu santai?” Sambil melihat dirinya di cermin, pria itu menilai penampilannya.

Ia mencoba meminta pendapat mamanya untuk menilai juga penampilannya, tak sadar pertanyaan mamanya tadi hanya ia jawab singkat dan sekarang telah teralihkan.

“Tidak sayang. Begitu sudah pas. Lagipula, kedatangan kita malam ini kerumah om Bayu hanya sebatas undangan temu kangen.” Wanita itu menjelaskan sambil tersenyum melihat putranya, “ya sudah, kalau sudah selesai kita turun sekarang, papa dan adikmu sudah menunggu di bawah.”

Saat akan keluar, wanita itu melihat sebuah kertas diatas meja putranya. Dilihatnya dengan seksama lalu tangannya meraih kertas itu.

“Sketsa siapa ini? bagus sekali.”

“Oh itu,, aku memungutnya ma, seorang gadis menjatuhkannya di depan kampus itu tadi.”

“Seorang gadis?”

“Mm, sepertinya nanti saja aku jelaskan ke mama. Bukankah kita sudah ditunggu?” Pria itu membimbing ibunya untuk keluar dari kamar.

Padahal dalam hatinya, ia juga sangat penasaran dengan gadis itu. Seorang gadis yang sebenarnya terus ia perhatikan dari balik kacamatanya, sejak ia melihatnya di luar gedung kampus itu tadi.

***

“Gantara..hahaha.. selamat datang..” Bayu menyalami dan menyambut hangat keluarga Gantara.

“Terima kasih Bayu. Ah sudah lama sekali kami tidak kemari.”

“Ayo, silahkan masuk.”

Gantara dan keluarganya mengikuti Bayu ke dalam.

“Silahkan, mari mari.”

Bayu membimbing tamunya untuk memasuki ruang depan. Sebuah ruangan yang cukup luas tanpa sekat, hanya terdapat dapur mungil dan sebuah kamar kecil di sudut ruangan. Material kayu mendominasi tiap bagian ruangannya, termasuk dinding dan perabotan.

Kesan pertama saat memasuki ruangan ini akan terasa seperti sedang berada di sebuah galeri lukisan, karena memang banyak lukisan-lukisan terpajang di dalamnya. Tetapi bila diperhatikan, ruangan ini memang seperti didesain untuk ruang pertemuan yang berfungsi sekaligus sebagai ruang galeri lukis.

“Ayo, silahkan duduk.” Bayu mengarahkan keluarga Gantara pada satu set kursi dan meja kayu bundar di tengah-tengah ruangan.

“Oh iya Bayu, dimana putrimu?” Tanya Williona, yang memang sangat ingin sekali bertemu dengan putri Bayu.

“Ah iya. Tunggu sebentar. Tadi ia pamit sebentar ke kamarnya,” jelas Bayu, “nah itu dia.”

Pandangan mereka tertuju pada sosok gadis yang baru masuk dari pintu yang berlawanan dengan pintu yang mereka masuki tadi.

“Ini dia putriku.” Bayu memperkenalkan saat putrinya sudah berada di sebelahnya.

“Cantik sekali. Kamu sudah besar sayang.” Williona maju dan memberikan pelukan hangatnya pada putri Bayu.

“Benar. Kamu sudah besar sekarang.” Gantara juga memberi pelukan singkat.

“Witri, apa kamu masih ingat dengan keluarga om Gantara nak?” Bayu bertanya pada Witri.

Sejujurnya, Witri sedikit bingung mengenali keluarga teman ayahnya ini, ia masih mencoba mencari sosok-sosok itu dalam ingatannya, sedangkan mereka sepertinya sudah sangat mengenal Witri.

“Maklum kalau dia lupa,, dulu dia masih kecil saat terakhir kita bertemu.” Williona mengelus lembut rambut Witri.

“Ya sudah, supaya kamu lebih ingat, mari om kenalkan lagi,” Gantara tersenyum hangat, “ini tante Williona istri om, ini Galeo putra om,”

“Galeo.” Galeo maju dan menjabat tangan Witri, diikuti Witri yang juga memperkenalkan dirinya.

“dan ini…” Gantara dan yang lainnya baru menyadari kehilangan satu anggota lagi, yang sedari tadi ternyata sedang asyik melihati lukisan-lukisan yang terpajang di dekat pintu masuk.

“Aro..kemari nak.” Panggil Gantara pada putranya.

Punggung yang tadi membelakangi mereka itu kini berbalik, memperlihatkan sosok pria muda yang kini berjalan mendekati mereka.

“Dan ini Giaro, putra pertama om.” Gantara mengarahkan pandangan Giaro putranya, pada Witri, putri Bayu.

Sepasang mata hitam dengan sorot lembut dan dalam milik Witri, bertemu dengan sepasang mata cokelat gelap yang tajam, dan sekarang kedua pasang mata itu saling bertatapan, memperlihatkan sorot mata yang sama-sama terkejut.

Tubuh Witri mematung. Sosok yang ia dan sahabatnya lihat di kampus siang tadi, sekarang ada di hadapannya. Pacar Angel. Giaro.. anak om Gantara teman ayah?

Dan banyak lagi pertanyaan-pertanyaan berputar-putar di benak Witri, yang merupakan refleksi dari rasa terkejutnya yang dalam.

“Sayang?” Williona menyentuh lembut lengan Giaro putranya, menyadarkannya.

“Oh, hai.” Suaranya terdengar berat dan dalam. Segera saja Giaro maju, mengulurkan tangannya pada Witri.

“Witri.” Witri menyambut uluran tangan Giaro, memperkenalkan dirinya dengan suara yang sedikit tercekat karena, gugup? Ia sedikit bertanya-tanya kenapa Giaro tidak memperkenalkan diri lagi, apa dia juga sudah mengenalnya?

“Ehem,” Bayu membuat dehaman untuk mengembalikan suasa yang sesaat seakan terhenti, “sepertinya kita perlu duduk kembali. Mari, silahkan.” Bayu tersenyum ramah, walaupun sebenarnya hal itu adalah caranya untuk mengalihkan Giaro yang seperti tak ingin melepas pandangan dan tangannya dari Witri.

Gantara sendiri hanya mengangkat bahu dan menahan senyum pada Bayu, ia juga tau kalau putranya itu sedari tadi terus menatap lekat pada Witri.

“Kamu mau kemana nak?” Bayu melihat Witri yang akan beranjak sesaat setelah mereka duduk.

“Mm..Witri akan membantu mbok Nah menyiapkan minuman yah.”

Dan disaat itu pula mbok Nah datang dengan cekatan membawakan minuman dari dapur kecil di ujung ruangan.

“Ndak usah non. Ini mbok sudah siapkan.” mbok Nah meletakkan minuman di meja.

Karena mbok Nah sudah berkata seperti itu, Witri jadi kembali duduk di kursinya yang berada di sebelah ayahnya, sedangkan tepat didepannya sana, duduk Giaro. Dari ujung bulu matanya Witri dapat melihat mata tajam itu masih setia memperhatikannya.

Dan kenapa rasanya sama seperti perasaannya waktu di kampus tadi? Perasaan kikuk saat Witri merasa mata Giaro sedang memandanginya, bahkan sekarang perasaan itu bercampur dengan perasaan gugup?

“Jadi, semua lukisan ini kamu yang membuat sayang?” Williona menatap Witri, lalu menyapukan pandangan ke lukisan-lukisan di seisi ruangan.

Masih teringat oleh Williona saat pertemuan mereka di Bandung, Bayu menceritakan dengan bangga bahwa putrinya itu sangat berbakat dalam melukis, dan sedang menempuh pendidikan seni lukisnya.

“Mm..iya tante.” Jawab Witri malu-malu.

Witri sedikit heran dengan pertanyaan tante Williona yang terdengar seperti langsung memastikan kalau lukisan-lukisan itu adalah buatan Witri, seperti tante Williona memang sudah tau semua lukisan di ruangan ini adalah buatannya.

“Bagus-bagus sekali loh..” tambah Williona lagi, memuji.

“Iya, terima kasih tante.” Jawab Witri lembut, ditambah dengan senyum manisnya.

“Kamu pemalu sekali sayang, ingat tidak, dulu Giaro paling suka menjahilimu.” Williona tertawa renyah dan diikuti oleh yang lain.

Sedangkan yang dibicarakan hanya tersenyum dan kembali memperhatikan Witri yang sekarang tertunduk malu. Seperti matanya sangat ingin merekam sosok Witri sebanyak-banyaknya.

“Benar, dulu ayah bahkan hampir menjewer telinganya karena menyembunyikan boneka kesayanganmu sampai membuatmu menangis.” Kata-kata Bayu sukses membuat mereka semua tertawa, kecuali Witri yang kini wajahnya makin memerah karena malu.

“Tapi sekarang Giaro bukan anak yang usil lagi, dia sudah menjadi pria dewasa yang penuh tanggung jawab. Jadi, kamu tidak usah khawatir lagi jika bermain dengannya. Bukan begitu, Giaro?” Sebelah alis Gantara terangkat, memandang Giaro dengan senyum yang hanya mereka berdua yang tau artinya.

“Hahaha. Seperti anak-anak kita masih kecil saja kau menyuruh mereka bermain Gantara?” Bayu tertawa dan kembali diikuti yang lainnya, “Oh iya, jadi bagaimana pendidikanmu Galeo?” Kali ini Bayu ingin bertanya pada putra Gantara.

“Saya akan melanjutkan s2 bisnis saya di sini om, di Jakarta.”

Berbeda dengan Giaro yang telah mendapat gelar master bisnisnya dari salah satu universitas terkemuka di Australia, Galeo masih harus melanjutkan pendidikannya sebelum nantinya ia juga mengemban tanggung jawab menjalankan perusahaan bisnis keluarganya, seperti Giaro sekarang.

“Anak-anakmu memang hebat Gantara. Mereka pekerja keras sepertimu, sama-sama berbakat dalam bidang bisnis.” Puji Bayu pada sahabatnya.

“Siapa dulu papanya..” ucap Gantara bangga, membuat yang lain tertawa lagi.

Gantara sangat suka berbangga, baik itu untuk dirinya sendiri maupun untuk keluarganya, Bayu sangat tau itu. Dan Bayu menganggap hal itu sangat pantas, mengingat bagaimana bakat dan kerja keras sahabatnya itu dalam membangun perusahaannya mulai dari nol, hingga besar seperti sekarang.

Dan pembicaraan mereka terus mengalir. Membicarakan tentang pekerjaan, masa dimana Bayu dan Gantara bersahabat saat SMA dulu, hingga rencana keluarga Gantara yang akan tinggal di Jakarta.

Berbeda dengan Giaro, Galeo yang berusia dua tahun lebih tua dari Witri, lebih banyak mengajak Witri berbicara, bertanya tentang kuliahnya, tentang lukisan, hingga sahabat-sahabat Witri. Sedangkan Giaro lebih banyak menimpali jika ayah Witri ataupun ketika om Gantara dan tante Williona bertanya atau meminta pendapatnya.

Witri sendiri tidak membicarakan kalau dia sudah melihat Giaro di kampusnya tadi. Begitu pula dengan Giaro, tidak menceritakan bahwa dia sudah memperhatikan Witri saat gadis itu di kampusnya siang tadi.

Sebenarnya ada rasa yang membuat Witri merasa terpenjara selama kebersamaan mereka itu. Ya, Pandangan itu, pandangan mata Giaro yang terasa memenjara tubuh Witri karena sorot tajamnya.

Beberapa kali bahkan mata mereka saling bertatapan, membuat Witri cepat-cepat memutus pandangan mata mereka, karena sejujurnya, entah kenapa melihat mata itu, membuat jantungnya, berdebar?

***

Gadis itu. Gadis dengan wajah cantik nan anggun, yang mencuri perhatiannya saat di depan kampus tadi.

Tadinya ia sangat malas kenapa harus mengantar oleh-oleh pesanan tante Maya ke kampus putrinya. Kalau saja bukan mamanya yang memaksa, ia pasti tidak akan mau pergi.

Dan benar saja, beberapa menit saja ia berdiri di sana, ia sudah menjadi pusat perhatian warga kampus itu, terlebih lagi beberapa wanita yang terang-terangan bersikap histeris saat melihatnya, sangat membuatnya tak nyaman.

Sampai ia melihat gadis yang sedang bersama dua temannya itu. Gadis cantik berpenampilan sederhana namun terlihat sangat anggun. Rambut hitam lurusnya, hidung mancung, bibir mungil, senyum manisnya, semuanya terlihat sangat pas untuk wajahnya.

Untung saja ia mengenakan kacamata hitam, sehingga tidak akan kentara kalau ia memperhatikan gadis itu.

Dan barusan, tiba-tiba saja ia bertemu dengan gadis itu, di rumah om Bayu sahabat papa, sebagai putri dari om Bayu?

Kenapa ia sama sekali tidak mengenalinya saat pertama kali melihatnya di kampus tadi? Ah tentu saja ia tidak mengenalinya, dia sudah tumbuh menjadi gadis dewasa. Giaro masih bertanya-tanya tentang semua kebetulan ini.

“Ma, apa benar..”

“Kalau yang ingin kamu tanyakan soal apakah Witri adalah putri kecil om Bayu dulu, maka jawabannya ‘iya’ sayang.” Williona memotong pertanyaan Giaro.

Williona menebak arah pembicaraan anaknya, karena sedari tadi yang dibahasnya hanya berputar-putar tentang hal itu, namun ia masih terlihat ragu untuk bertanya.

“Dialah gadis kecil itu Aro,, gadis kecil yang dulu kau ajak bermain.”

Sejenak, kata-kata ibunya barusan membuat Giaro terdiam, dan apakah tatapan di mata Giaro sekarang adalah tatapan, merasa bersalah?

***

Lenting Sedaya Part 3 : Sahabat Lama

6 Februari 2017 in Vitamins Blog

330 votes, average: 1.00 out of 1 (330 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

***

“Bayu..hahaha. lama tak bertemu. Apa kabar.”

Seorang pria yang tadinya duduk itu, berdiri dan merentangkan kedua lengannya untuk menyambut kedatangan sosok pria lain yang dari tadi sengaja ia tunggu. Seorang pria yang nampak sebaya dengannya, yang adalah sahabatnya sedari mereka duduk dibangku SMA dulu.

“Hahaha. Gantara..” Pria yang baru datang itu membalas pelukan pria bernama Gantara yang menyambutnya tadi, “Seperti yang kau lihat, aku sangat baik. Kau sendiri apa kabar.” Pria yang dipanggil Bayu, juga bertanya tentang keadaan Gantara sahabatnya, setelah lebih dulu ia melepaskan pelukan mereka, dan memberi jabawan atas keadaannya sendiri.

“Kabarku juga baik. Ck ck ck, kau makin gagah saja, seperti tak bertambah tua. Hahaha.” Gantara memberi penilaian pada penampilan Bayu, sahabatnya.

“Hahaha bisa saja kau. Kau sendiri semakin tampan, seperti tampilan pria-pria bule.” Bayu juga tak mau kalah dalam memberikan komentar kepada Gantara yang mewarnai pirang rambutnya, dan Bayu tau pasti kalau pirang bukan warna rambut asli pria itu.

Dua sahabat itu larut dalam tawanya masing-masing, sampai-sampai mereka melupakan sosok wanita yang sedari tadi berdiri di samping gantara, dan memperhatikan mereka berdua.

“Ehem!” Dehaman dari wanita tadi mengintrupsi tawa gantara dan Bayu, membuat dua pria itu langsung menyadari keberadaannya.

“Ah, ya ampun. Williona! maafkan kami melupakanmu. Hahaha. Apa kabar li.” Bayu mengulurkan tangan untuk berjabat dengan wanita bernama Williona itu.

“Baik, Bayu. Dan sepertinya aku tidak usah menanyakan keadaanmu lagi. Tawa kalian barusan sangat menjelaskan bagaimana keadaan kalian.” Williona berkata sambil memberikan senyum, sebelum melepas jabatan tangannya dengan Bayu.

“Ah sayang, maafkan kami. Kami terlalu larut dan senang. Maklumlah, kita sudah 13 tahun tidak bertemu dengannya.” Gantara merangkul pundak Williona.

Sekedar informasi, Williona adalah memang istri Gantara, Ia juga tau kalau Bayu merupakan sahabat suaminya, karena dulu mereka sering bertemu.

“Dan sepertinya kita perlu duduk. Hahaha. Ayo bayu, silahkan duduk.” Gantara berinisiatif mengajak mereka untuk duduk, dan mempersilahkan Bayu.

Pertemuan mereka ini berawal dari inisiatif gantara untuk mengajak Bayu bertemu. Ia sudah merencanakan waktu yang tepat, sejak beberapa hari lalu untuk melakukan pertemuan ini, dan hari inilah waktunya yang mereka ambil.

“Ah ya, kapan kalian tiba di Indonesia.”

“Sebentar, Bayu.” Gantara terlihat mengangkat tangannya memanggil pelayan, memesankan minuman untuk Bayu.

Tempat mereka bertemu sekarang ini adalah sebuah kafe yang cukup terkenal di kawasan bandung, kafe dengan tempat yang menyajikan pemandangan alam terbuka yang hijau untuk view utamanya, memanjakan pandangan mata.

“Aku yang mengajakmu untuk bertemu, jadi aku akan mentraktirmu.” Senyum gantara mengembang, “Ah ya, sampai mana kita tadi.”

“Hahaha. Kau baik sekali Gantara. Aku tadi bertanya, kapan kalian tiba di Indonesia? Aku pikir kalian sudah tidak mau lagi menginjakkan kaki di sini.”

“Kami sudah seminggu disini Bayu.” Williona yang kali ini menjawab.

“Oh ya? Sudah seminggu, dan kalian baru memberitahuku kemarin?! Ck ck ck.” Bayu menggeleng-gelengkan kepala.

“Bukan begitu Bayu, kami hanya belum sempat memberitahumu.” Gantara sedikit terkekeh.

Tadinya Gantara dan Williona berniat mengajak Bayu bertemu saat mereka berkunjung ke Jakarta, tapi karena kebetulan Bayu sedang ada di Bandung, akhirnya mereka merencanakan pertemuan ini.

“Hah,, dasar pasangan super sibuk,” helaan nafas Bayu terdengar dalam jeda kalimatnya, “lagipula,, Gantara, apa kau tidak kasihan pada Williona? Setidaknya berusahalah untuk tidak selalu menyeret-nyeretnya untuk mengikuti kemanapun kau pergi. Anak-anakmu juga selalu kalian tinggalkan. Kau sudah terlalu banyak berkelana untuk singgah di berbagai negara. Apa kau tidak ingin menetap di satu negara saja untuk seterusnya? ” Pandangan Bayu sedikit prihatin pada istri sahabatnya, yang selalu setia mendampingi kemanapun suaminya pergi, walaupun Williona sendiri tersenyum saat Bayu membicarakannya.

Bayu sendiri selalu bertukar kabar dengan Gantara secara rutin selama rentang waktu 13 tahun, sehingga ia tidak pernah kehilangan kontak pada sahabatnya itu.

“Bukan begitu Bayu, aku berpindah-pindah karena aku ingin bisa memimpin perusahaanku secara total. Dan untuk istriku,,aku hanya tidak ingin dan tidak bisa berpisah dengan istriku yang cantik ini,” sedetik berikutnya tangan Williona yang duduk disebelah kursi Gantara, sudah tergenggam oleh tangan besar Gantara dan mendarat dibibirnya, ” untuk kedua putraku, mereka sendiri tidak mau harus berpindah-pindah sekolah kalau harus mengikuti kami. Tapi kau benar Gantara, aku tidak ingin membuat istriku ini lelah mengikutiku lagi, karena itu kami, memutuskan untuk menetap di Indonesia untuk seterusnya.” Gantara memberi kedipan mata pada istrinya.

“Wah, itu bagus, tak kusangka secepat ini kau mengambil usulanku?” Kedua alis Bayu terangkat, walaupun ia ikut senang jika sahabatnya itu benar-benar mengambil usulannya agar Gantara tidak hidup berpindah-pindah lagi. Dan akan lebih senang jika sahabatnya itu menetap di Indonesia.

“Hahaha. Usulanmu memang benar Bayu. Tapi, aku sudah memikirkan hal ini mulai dari dua tahun yang lalu. Karena itu, perlahan aku akan menjadikan perusahan di Indonesia menjadi perusahaan utama.” Penjelasan Gantara membuat Bayu manggut-manggut.

Gantara sendiri memang memiliki beberapa perusahaan properti yang maju di beberapa negara, itulah alasan kenapa mereka hidup berpindah dari satu negara ke negara lain, karena Gantara ingin bisa memimpin perusahaan-perusahaannya secara total. Perusahaan utama yang dimilikinya, saat ini masih berada di Australia.

“Hmm, begitu ya? Lalu siapa yang sekarang mengurus perusahaanmu kalau kau disini?”

“Ya, begitulah. Untuk urusan perusahaan, aku akan menyerahkan pada putra tertuaku, dan untuk beberapa perusahaan cabang, aku mempercayakannya pada orang kepercayaanku.”

“Ah ya, bagaimana kabar kedua putra kalian? Mereka masih di Australi?”

“Ya, mereka sehat dan tumbuh menjadi jagoan, seperti papanya.” Bahu Gantara mengedik menandakan kebanggaannya.

Bayu tertawa begitu juga dengan Williona.

“Lusa mereka akan tiba di Jakarta.” Jelas Gantara lagi.

“Oh ya? Kalau begitu kalian harus mampir kerumahku. Lusa aku sudah di Jakarta.” Bayu menunjukkan sikap antusiasnya.

“Dengan senang hati, Bayu, kalau kau tidak keberatan. Kami pasti mampir.”

“Tidak gantara, tentu aku tidak keberatan. Mampirlah.”

Keluarga Gantara sendiri memang berasal dan menetap di Bandung.

“Oh iya, Bayu, bagaimana kabar putrimu. Dulu dia masih kecil saat terakhir kali kita bertemu. Pasti sekarang dia sudah tumbuh menjadi gadis dewasa yang cantik.” Kali ini Williona menunjukkan antusiasnya, setelah tadi, Ia lebih banyak memperhatikan kedua lelaki disebelah dan didepannya itu sambil sesekali ikut tertawa dan memberi senyum.

“Kamu benar Williona, putriku sudah dewasa sekarang. Dia tumbuh menjadi gadis yang sangat cantik dan anggun, dan bukan tumbuh menjadi jagoan seperti ayahnya.” Bayu mengangkat bahu dan sekilas tampak melirik pada Gantara .

Kata-kata dan gerakan tubuh Bayu barusan, disambut tawaan oleh Gantara dan Williona. Dan meluncurlah penjelasan-penjelasan lainnya dari Bayu mengenai putrinya itu. Tampak jelas dimata Gantara dan Williona, bagaimana kasih sayang Bayu, tersirat dalam setiap kata dalam penggambaran Bayu akan putrinya. Sesuatu yang Gantara dan Williona tau, tidak pernah berubah sejak dulu.

***

Sebuah taman nan indah. Lebih menyerupai sebuah alam bebas yang alami, dengan unsur-unsur alamnya, seperti air, tumbuhan, tanah, dan bebatuan. Taman yang terlihat menyatu dengan air, karena dibuat diatas sebuah kolam yang luas, dengan dalam hanya 30cm, yang diberi batu-batu kecil seukuran bola pimpong di dalamnya. Pot-pot terbuat dari semen yang dicor, yang berisi tanah, ditempatkan pada beberapa bagian kolam untuk menanam tanaman dan bunga-bunga cantik yang berwarna-warni. Di salah satu sisi kolam, terdapat air terjun yang berundak-undak menuruni batu-batu berukuran cukup besar yang disusun sedemikian rupa agar air dapat berlabuh ke kolam, menciptakan miniatur air terjun yang terlihat sangat indah dan alami. Di seberang air terjun, terdapat sebuah gazebo yang berbentuk bulat terbuat dari kayu dengan atap bambu yang dirambati tanaman berbunga ungu yang sangat cantik, dengan bagian bawah gazebo terdapat kolam yang lebih dalam, digunakan sebagai kolam ikan hias, memiliki sekat sebagai pembatas agar air dari kolam ikan tidak bercampur dengan air kolam besar. Ditengah-tengah kolam juga terdapat sebuah jembatan kayu kecil berbentuk melengkung, menghubungkan jalan kayu di kedua sisi ujungnya. Jembatan dan jalan kayu ini ditutupi pergola yang ditanami tanaman rambat berbunga merah yang bergelantungan dan berfungsi sebagai atap pergola, memisahkan dua bangunan yang saling terpisah. Dua bangunan yang menjadi tampak seperti dipisahkan oleh taman berair. Bangunan yang sejatinya merupakan tempat keluarga Witri bernaung.

Dan di sinilah Witri, duduk sendirian dalam gazebo di taman itu, terlihat sedang menggores-goreskan pinsil pada sebuah kertas, mungkin sedang membuat sebuah coretan sketsa. Di malam yang temaram dalam balutan taman yang indah ini, biasanya Witri melukiskan perasaannya kedalam sketsa-sketsa kasar. Duduk dalam taman yang tenang, cahaya bulan yang dipantulkan air kolam, ditambah cahaya-cahaya dari lampu taman, serta hembusan angin malam yang sejuk, selalu dapat menguarkan perasaan Witri yang akan Ia goreskan ke dalam lembar-lembar kertas sketsa, sebelum Ia torehkan menjadi lukisan pada kanvasnya.

“Non, ini mbok bikinin susu. Non minum dulu ya.” Mbok Nah menyela Witri yang sedang mencoret-coret kertas sketsanya.

“Eh, mbok. Iya, nanti akan Witri minum.” Witri tersenyum, walaupun tadi sedikit terlonjak saat mbok Nah tau-tau sudah ada di depan gazebo.

Mbok Nah juga tersenyum dan sedikit melirik coretan sketsa ditangan Witri.

“Non, lagi gambar apa..?” Rasa ingin tau mbok Nah terucap.

“Ah ini,, ah mbok, Witri malu,, nanti saja ya kalau lukisannya sudah jadi, baru Witri tunjukin ke mbok.” Sketsa yang terjepit pada alas tulis itu langsung saja didekap Witri, membuat mbok Nah tertawa melihatnya.

Kebiasaan Witri saat sedang melukis atau membuat sketsa, merasa grogi dan malu ketika ada yang melihatinya. Kecuali oleh ayahnya sendiri, itupun karena Witri takut tidak sopan dan akan menyakiti hati ayahnya jika Witri menolak, walaupun ayah Witri sendiri tidak pernah memaksa untuk melihati ketika putrinya sedang melukis.

“Ya sudah, non perlu si mbok temani?” Mbok Nah masih tersenyum.

“Oh, tidak usah mbok. Mbok masuk saja, Witri sebentar lagi juga masuk kok.” Jawab Witri masih melempar senyum pada mbok Nah.

“Ya sudah non, kalau gitu mbok masuk dulu ya. Jangan lupa diminum susunya. Non juga jangan terlalu lama diluar, nanti bisa masuk angin loh.”

Witri tertawa mendengar kata-kata mbok Nah barusan.

“Iya mbok,,terima kasih.”

Sepeninggal mbok Nah masuk ke dalam rumah, Witri segera meminum susu yang dibawakan mbok Nah tadi. Sekarang Witri duduk sambil menjulurkan kakinya kebawah, kedalam air kolam dengan ikan-ikan yang berenang disekitarnya. Diangkatnya pandangannya keatas, memandang bulan yang sedikit tertutup awan, ‘indah’, ucap Witri dalam hati.

Beberapa saat kemudian setelah puas memandangi bulan di atas sana, Witri kembali mengambil kertas sketsanya dan segera asyik mencorat-coret kembali, sambil kakinya bergerak-gerak menciptakan suara kecipak pada air kolam, membuat ikan-ikan disana berenang mondar-mandir seperti orang yang sedang bingung.

Ini adalah malam ketiga ayah Witri berada di Bandung. Kemarin, ayahnya menelepon, mengabari kalau ayahnya baru akan pulang besok. Seharusnya hari ini ayah Witri pulang, namun karena ayahnya mendadak membuat janji temu dengan sahabat lamanya di hari keempat ini, maka kepulangan Ayah Witri tertunda menjadi esok hari.

Lenting Sedaya Part 2 : Nama yang Mengusik

3 Februari 2017 in Vitamins Blog

336 votes, average: 1.00 out of 1 (336 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

***

“Kamu jangan nakal. Ayah akan tetap mengawasi kamu walaupun ayah tidak sedang dirumah.”

Witri, mbok Nah, dan pak Minu mengantar ayah Witri ke depan rumah untuk berangkat ke Bandung pagi ini.

“Ayah cepatlah pulang. Jangan terlalu lama di Bandung.” Witri memandang lembut ayahnya.

Lengan ayah Witri membawa Witri ke dalam pelukannya. Mengusap lembut rambut Witri. Baginya Witri adalah segalanya, pusat perhatiannya, akan selalu berat meninggalkan Witri barang sebentar. Witri Delista Dirga, putri semata wayangnya ini tetap akan menjadi putri kecil cantiknya yang selalu ingin Ia timang.

“Ayah hanya 3 hari di Bandung. Tidak telalu lama kan?” Ayah Witri menjentik ujung hidung Witri.

Padahal kalau bisa Witri meminta ayahnya untuk kembali sore atau malam nanti. Mengingat jarak Jakarta-Bandung yang tidak terlalu jauh. Tapi Ia tidak boleh egois. Witri juga tidak ingin ayahnya berusaha selalu ada disisinya. Ia sudah dewasa dan bisa menjaga dirinya sendiri.

“Ah ya, mbok Nah. Tolong pastikan Witri tidak telat makan. Dan saya membolehkan mbok menjewernya kalau sampai Ia malas bangun.”

Perkataan ayah Witri sukses membuat tertawa mbok Nah dan yang lain.

“Ayah..kenapa berpesan seperti itu..” Kontan saja Witri merungut.

Ayah Witri menyipitkan mata, terlihat seperti akan marah. Witri buru-buru tersadar akan rungutannya tadi, sikap yang kurang ayah Witri sukai darinya.

“Emm..maaf yah.” Kepala Witri menunduk.

Tapi kemudian Witri mendengar ayahnya tertawa kecil. Dan Ia tau ayahnya memaklumi sikapnya barusan, membuat Witri tersenyum memandang ayahnya.

“Dan pak Min, laporkan semua kegiatan Witri selain di kampusnya.”

“Baik tuan.” Ucap Pak min sedikit membungkuk saat menjawab ayah Witri.

Pak Minu merupakan supir yang bertugas mengantar kemanapun Witri pergi melakukan kegiatannya. Biasanya pak Min akan diminta ayah Witri untuk melaporkan, jika Ia mengantar Witri selain ke kampusnya.

“Baiklah, ayah akan berangkat sekarang.” Ayah Witri memeluk Witri kembali dan memberi ciuman singkat dikening anaknya.

“Ya ayah. Ayah hati-hatilah.” Ucap Witri disertai senyum cantiknya.

Witri melambaikan tangannya ketika mobil ayahnya yang disupiri mang Diman, yang merupakan supir pribadi ayah witri, keluar melewati pagar rumahnya.

“Hati-hati ayah.” Ucap Witri lagi.

“Non, hari ini non bawa bekal ke kampus? Mbok siapkan ya.” Suara mbok Nah mengalihkan pandangan Witri setelah beberapa saat memandangi mobil yang membawa ayahnya, sampai benar-benar tak terlihat.

“Ah ya, mbok. Hari ini mbok tidak usah membuat bekal untuk Witri. Witri sudah janji pada teman-teman akan makan siang bersama nanti.” Witri menjawab ucapan mbok nah dengan cepat, sebelum mbok Nah berbalik hendak masuk ke dalam rumah.

Ya. Ditingkat pendidikannya yang sudah mencapai bangku perkuliahan, Witri memang masih dibiasakan membawa bekal dari rumah.

“Aa sudah kalau begitu. Tapi mbok pesan non jangan makan sembarangan ya.” Ucap mbok Nah lagi.

Hmm. Witri sudah sangat terbiasa dengan sikap seperti ini dari semua orang-orang yang memang dekat dengannya. Tapi Witri selalu berfikir positif bahwa sikap ayah, mbok Nah, pak Min, dan mang Diman selama ini adalah karena mereka menyayangi serta menjaga Witri.

“Oh iya pak Min. Witri akan ke kampus jam 10 nanti. Sekarang Witri akan bersiap dulu.”

“Baik non. Bapak akan siapkan mobilnya.”

Lelaki berberawakan kecil itu membungkuk, dan segera beranjak melakukan tugasnya menyiapkan mobil untuk mengantar witri ke kampusnya. Di usianya yang sudah memasuki setengah abad, pak Min masih sangat sehat dan cekatan dalam melakukan tugas-tugasnya.

Selesai Witri memberikan intruksi pada mbok Nah dan pak Min tadi, Witri juga beranjak ke dalam ruamh untuk bersiap.

Ketika langkahnya akan memasuki ruang depan, Witri menoleh pada kolam ikan. Kali ini Ia teringat kata-kata mbok Nah kemarin, ikan yang terluka itu sudah tidak ada. Mang Diman membawanya ke penakaran ikan hias agar ikan itu dapat dirawat. Dari mang Diman juga, mbok Nah tau bahwa ayah Witri lah yang memberikan perintah itu.

Jadi..sebenarnya ayah tau soal ikan itu? Dan ayah sama sekali tak membahasnya? Ah, mungkin ayah punya suatu alasan untuk tidak membahasnya. Mungkin ayah tidak ingin menggoreskan rasa sesak setiap kali Witri menghadapi pembahasan seperti itu. Mungkin juga karena kali ini hanya seekor ikan? Pikiran-pikiran itulah yang kemarin berkecamuk di benak Witri ketika mendengar apa yang mbok Nah sampaikan padanya.

***

Inilah tempat Witri mengenyam pendidikannya sekarang, tempat dimana Ia memperdalam tentang ilmu seni lukis. Bagi Witri, melukis adalah media untuk mencurahkan segala bentuk emosi dari hatinya, menorehkan bentuk emosi menjadi sebuah terjemahan karya lukis yang terlihat bernyawa.

“Witri!”

Sebuah suara dari kejauhan menyambut Witri, yang baru saja turun dari mobilnya yang dihentikan pak Min didepan kampus.

Sudah pasti itu Genta, sahabat Witri sejak tahun pertama kuliahnya. Jangan berpikir Genta adalah seorang pria bertubuh kekar dengan suara berat khas pria macho. Genta yang ini adalah seorang wanita bertubuh mungil, dengan suara yang benar-benar melengking.

“Hai Genta.” Sapa Witri ketika Ia sampai di teras gedung tempat Genta tadi memanggilnya.

“Bagaimana akhir pekanmu? Apa sang pangeran tampan sudah datang melamar?” sapa Genta sambil mengerling jahil.

Witri hanya bisa geleng-geleng kepala jika sahabatnya itu sudah mengeluarkan candaannya yang sangat super seperti tadi. Entah kenapa Genta selalu memaparkan bahwa Witri akan menemukan seorang pangeran, yang akan mencintainya dengan sepenuh hati. Seperti Genta seorang peramal saja. Memang, wajah Witri yang cantik dengan mata lembutnya yang dalam, bulu mata lentik, hidung mancung, bibir mungil, kulit putih, tubuh semampai, serta dibalut dengan sifatnya yang lembut dan anggun, membuat Genta menyebut Witri bagaikan seorang Putri. Dan seorang putri harus berpasangan dengan sang pangeran, bukan?

Mereka terus berjalan ke kelas. Pagi ini adalah kelas teori mereka.

“Bunda Rena mana nih kok belum muncul juga. Dicekik bu Arzeti baru tau rasa tuh anak kalau sampai telat.” Suara Genta lebih seperti celotehan ibu-ibu di arisan.

Bunda adalah julukan Genta untuk Rena sahabat mereka. Rena memang dikenal memiliki sifat yang bijak dan pembawaan tenang. Berbeda dengan Genta yang sangat hiperaktif.

“Genta..pelankan suara kamu..Kita berada di kelas.” Witri setengah berbisik.

Genta hanya mengangkat bahu.

Beberapa saat kemudian Rena masuk kelas dengan terburu-buru.

“Halo Witri, Genta.” Sapa Rena sambil tersenyum.

“Halo Rena.” Witri membalas senyum Rena yang mengambil duduk di sebelahnya.

“Hei bun..” Genta pura-pura memasang suara dan wajah malas.

“Wit, kenapa tuh baby Genta. Kok gak semangat gitu.” Wajah Rena berubah menjadi serius.

Witri hanya tersenyum dan mengangkat bahu. Tau kalau Genta hanya berpura-pura.

Rena sendiri memanggil Genta dengan sebutan baby Genta. Bukan agar serasi dengan panggilan bunda yang diberikan Genta padanya, tapi lebih karena wajah imut dan tubuh mungil plus sifat Genta yang manja.

“Pagi.” Suara bu Arzeti seketika membuat kelas menjadi tenang.

Bu Arzeti memasuki kelas. Dosen cantik berusia 30 tahunan yang terkenal tegas, dan cenderung kejam pada mahasiswa yang tidak taat peraturan. Terlebih peraturan independen yang dibuatnya.

Tapi bagi Witri, Rena, dan Genta, bu Arzeti adalah dosen paforit mereka, dosen yang terbilang muda, tapi sangat berkompeten pada bidang ilmunya.

***

Kelas teori selesai setelah hampir 2 jam kebersamaan mereka dengan bu Arzeti.

Witri, Rena, dan Genta berjalan ke depan gedung.

“Eh jadi kan, kita makan ditempat biasa?” Genta bergerak-gerak semangat.

“Iya iya baby..kita akan makan disana.” Jawab Rena sabar.

“Yess..” Genta bertepuk tangan riang.

Witri tersenyum melihat tingkah kedua sahabatnya.

“Oke kalau begitu aku ambil mobil di parkiran dulu ya.” Rena hendak berbalik ke arah parkiran.

“Ah. Bisakah kita diantar pak Min saja?” Witri cepat-cepat menahan lengan Rena.

Rena dan Genta menoleh ke arah Witri, melihat Witri yang memasang wajah berharap, barulah mereka teringat.

Siapapun selain pak Min harus memiliki SIM W (Surat Ijin Membawa Witri) dari ayahnya, jika ingin mengajak Witri.

“Hmm..baiklah..” jawab Rena dan Genta serentak, seperti anggota paduan suara.

Kali ini Witri tertawa melihat kedua sahabatnya itu.

“Kalau begitu Kita tunggu pak Min sebentar ya.” Witri menghubungi pak Min yang masih di parkiran.

Mereka buru-buru masuk ke mobil, saat pak Min sudah tiba di depan gedung kampus.

“Duh jakarta panas banget sih hari ini.” Keluh Genta dengan suara lengking ditambah manyunan bibirnya.

“Benar. Dan akan bertambah panas jika kamu terus mengomel. Nih..panas kuping maksudnya.” Rena menunjuk telinganya.

Rena dan Witri tertawa. Pak Min juga terlihat tertawa. Pak Min sudah sangat mengenal sahabat-sahabat Witri itu. begitu juga sebaliknya.

“Ya ya ya, teruslah tertawa. Asal kalian senang.” Genta masihmemanyunkan bibirnya.

“Unyu unyu unyu..baby kita merajuk..” Rena mencubit gemas kedua pipi Genta.

“Bunda! Sakit tau!” Genta mencoba melepaskan tangan Rena dari pipinya.

“Sudah sudah..kalian ini.” Witri menengahi tapi juga tertawa.

Kedua sahabatnya ini selalu bisa membuat Witri tertawa, dan Rena yang pada dasarnya memiliki sifat santai dan tidak banyak bicarapun, akan melupakan semua itu jika sudah berhubungan dengan Genta.

***

Dan di sinilah, di kafe kesukaan mereka, atau lebih tepatnya kafe kesukaan Genta. Sebuah kafe yang menyajikan menu serba cokelat, dengan interior kafe yang sangat nyaman pula, bahkan sebagian besar pajangan perabotnya terlihat benar-benar seperti terbuat dari cokelat.

“Hmm..gak sabar nih pengen nyantap hidangan cokelat kesukaan aku.” Genta membuat suara kecapan-kecapan lidah.

“Yee dasar penggemar cokelat tingkat kronis. Awas aja tuh kotak tisu kamu santap juga.” Rena mengedikkan dagunya menunjuk kotak tisu di atas meja, yang sangat mirip batangan cokelat.

Genta mengangkat kotak tisu itu dan membuka mulut, seolah akan menggigitnya.

“Genta..” Witri langsung menahan tangan genta.

“Biarin aja wit. Biar dia keselek tuh kotak tisu sekalian!” Rena memasang wajah serius, tapi juga terlihat menahan senyum.

“Ren..” Witri menggelengkan kepala menginterupsi kata-kata rena.

“Tau ni si bunda, doain banget temennya keselek. Asal tau aja ya, makan cokelat tuh bisa buat hati kita selalu senang, riang, bahagia, dan yang paling penting, membuat wajah terlihat cerah sumringah tau..! seperti ini.” Genta menjelaskan panjang lebar, lalu memegang kedua pipinya sambil membuat senyum sesumringah mungkin.

Witri dan rena tertawa melihat aksi Genta itu.

“Uda uda. Lebih baik sekarang kita pesan makanannya. Laper ni.” Witri menimpali sebelum perdebatan kedua temannya berlanjut.

Genta membuka kembali percakapan, setelah pelayan membawa catatan pesanan mereka.

“Eh, kalian pada tau gak, gosip tentang si ratu kampus.”

“Maksud kamu angel? Ada apa lagi dengan anak itu?” sedikit keingintahuan, terlihat di wajah Rena.

Untuk witri sendiri, sosok yang disebut genta tadi itu, merupakan orang yang sangat ia kenal. Sepupu jauhnya yang selalu memandang Witri dengan tatapan kebencian dan merendahkan. Batin Witri sedikit tergelitik saat mendengar Genta menyebut nama itu barusan, yang Ia yakin memang Angel sepupunya itu yang Genta maksud tadi. Sepupunya yang sangat terkenal seantero kampus, sehingga banyak yang menjulukinya ‘si ratu kampus’.

“Kabar yang beredar nih ya, si ratu kampus yang sok cantik itu, gembar-gembor kalau cowoknya yang super ganteng bakal balik dari Australi.”

“Loh, bukannya..Angel masih pacaran sama Ardi?” Witri terheran mendengar informasi dari Genta.

Sepupunya itu memang terkenal suka gonta-ganti pacar.

“Mereka baru aja putus Wit..seminggu yang lalu.” Rena berucap dengan malas. Membahas apapun tentang Angel memang kurang menarik minatnya.

“Iya, dan gak mungkin banget kan, baru sebentar dia putus trus sekarang ngaku-ngaku punya pacar super ganteng yang tinggal di Australi pula. Yakin deh itu Cuma akal-akalannya aja nyebar berita heboh yang boong banget. Biar naikin pamornya yang sok terkenal itu.”

“Sabar baby, sabar..” rena menepuk nepuk punggung genta.

“Memangnya siapa sih cowok itu.” Rena sedikit penasaran dengan sosok pria yang kali ini dikleim Angel sebagai pacar super gantengnya.

“Yang aku denger sih namanya,,,ro..ro..Giaro..” Genta terbata mengingat nama pria itu.

“Gi..a..ro..” Witri mengeja nama itu dengan sura yang sama sekali tak terdengar.

Ada sesuatu yang bergerak di benaknya ketika nama itu disebut. Tapi apa?

Terdengar hp witri berbunyi saat Ia masih berusaha mencoba megingat-ngingat tentang nama yang membuat benaknya menggeliat itu.

“Ya ayah.” Segera witri menjawab setelah ia mengangkat teleponnya.

Mendengar jawaban Witri barusan, membuat Rena dan Genta tau bahwa ayah Witri lah yang meneleponnya, dan mereka sepertinya tau pasti apa yang akan ayah Witri katakan.

Rena dan genta masih membicarakan Angel, ketika Witri terdengar masih menjawab ayahnya di seberang sana.

“Iya yah.”

“….”

“Tidak.”

“….”

“Tidak ayah..”

“….”

“Ya ayah, ayah hati-hati dan cepatlah pulang.” Senyum Witri mengembang, membayangkan ayah yang sangat dikasihinya ini.

Pandangan Witri beralih pada kedua sahabatnya yang mengamatinya setelah ia selesai menelepon.

“Apakah ayahmu barusan bilang kalau kami tidak boleh menculikmu?” tanya Rena yang dijawab senyuman oleh Witri, yang berarti membenarkan pertanyaannya.

Pak min pasti sudah melapor pada ayah Witri, kalau mereka mengajak witri keluar dari kampus.

Rena dan Genta sudah hafal, kalau ayah Witri adalah seorang ayah yang tegas, sekaligus sangat menyayangi putri semata wayangnya ini. Walaupun mereka juga sering menyebut ayah Witri sebagai om gagah dan ganteng, dikarenakan postur tubuh ayah Witri yang tinggi, tegap, ditambah wajahnya yang tampan, yang sama sekali tidak terlihat seperti pria yang sudah berusia kepala empat.

“Wah, pesanan kita datang!” Genta membenahi duduknya yang tadi bersandar, kini menjadi tegak bersemangat.

Karena mereka bertiga sudah sama-sama lapar, hidangan yang disiapkan di meja mereka oleh pelayan, langsung saja mereka santap. Mengenyahkan pembicaraan tentang Angel, dan melupakan sejenak sebuah nama yang tadi sempat mengusik benak Witri.

***

Lenting Sedaya Part 1 : Saksi Hidup  

31 Januari 2017 in Vitamins Blog

289 votes, average: 1.00 out of 1 (289 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

***

Riakan kecil pada air kolam mengejutkan beberapa ikan yang segera saja bersembunyi dibalik bayang-bayang daun teratai. Lalu hilir mudik berenang kembali setelah air kolam tenang.

“sepertinya kalian sedang lapar.”

Suara lembut seorang gadis terdengar prihatin pada ikan-ikan itu. Dia terlihat mengeluarkan makanan ikan dari wadahnya. Segera ikan-ikan dengan warna-warni yang cantik itu mendekat pada makanan yang ditebar sang gadis ke dalam kolam.

Suara kecipak sambaran-sambaran ikan pada makanannya membuat sang gadis tersenyum. Bahagia sekali hatinya setiap melihat ikan-ikan itu begitu semangat. Membuat dia ingin bercengkrama dengan memberi makan ikan-ikan itu makan langsung dari tangannya. Maka diambilkanya segenggam makanan ikan lagi dan memasukkan tangannya ke dalam air kolam. Segera saja ikan-ikan itu mengerumuni tangan sang gadis yang membuatnya terkikik merasakan geli.

“ah!”

Gadis itu sedikit berteriak saat merasakan sakit pada ujung telunjuk kanannya. Saat dia menarik tangan barulah terlihat setitik darah keluar dari ujung jari telunjuknya.

“kalian begitu semangat sampai tak sadar menggigit jariku.” Rungut Sang gadis namun tetap tersenyum sambil masih memperhatikan ikan-ikan yang terus bersemangat berebut makanan.

Sang gadis mengernyitkan kening ketika melihat seekor ikan yang tiba-tiba keluar dari kerumunan ikan-ikan lain. Ada yang aneh dengan ikan itu. Ia berenang dengan posisi miring kesalah satu sisi tubuhnya. Sang gadis terperanjat sambil tangannya bergerak cepat menutup mulutnya setelah melihat lebih seksama. Sirip ikan itu tampak lemah seperti terluka dan..mengeluarkan darah. Apakah,, apakah ikan itu yang tadi tak sengaja menggigit jarinya. Gadis itu bertanya dalam batin.

Setelah terlepas dari keterkejutan, gadis itu bangkit dari duduknya berniat menolong ikan itu kalau saja sebuah suara seorang lelaki dewasa tidak memanggilnya.

“Witri.”

Suara itu terdengar tegas namun sangat berwibawa. Sang gadis yang ternyata bernama Witri yang sedari tadi bercengkrama bersama ikan-ikan itu segera berdiri. Menolehkan kepala memandang ke kolam dan ke asal suara panggilan secara bergantian, lalu menjawab panggilan itu.

“Ya, ayah.” Suara lembut Witri menjawab panggilan lelaki tadi yang memang adalah ayah Witri.

“kemarilah.” Panggil ayah Witri lagi yang masih dengan suara tegas berwibawanya.

Witri segera bergegas masuk ke dalam rumah setelah sebelumnya memandang sedih pada ikan tadi. Maafkan aku karena tak bisa menolongmu. Ucapnya lagi dalam batin.

Witri melihat ayahnya sedang duduk pada kursi kayu yang memiliki ukiran-ukiran rumit yang terlihat indah setelah dia memasuki ruang depan. Memang seluruh perabotan yang ada dirumahnya didoMinasi perabot bermaterial kayu dengan bentuk dan ukiran-ukiran yang difinishing dengan mewah.

“Duduklah nak.” Kali ini ayah Witri bisa berbicara sambil menatap anaknya. Membuat Witri menundukkan kepala.

“Ya Ayah.” Witri duduk pada kursi yang tepat berada di depan kursi tempat duduk ayahnya yang dibatasi sebuah meja.

“Ada yang ingin ayah bicarakan padamu.” Ayah Witri menyandarkan punggungnya pada kursi dan masih memandang lekat pada anaknya.

“hal apakah yang ingin ayah bicarakan pada Witri?” Ada jedah dalam suara Witri.

“ayah..akan pergi keluar kota.” Kata-kata Witri terdengar lebih seperti pernyataan daripada pertanyaan.

Entah kenapa Witri selalu bisa merasakan apapun tentang ayahnya bahkan sebelum Ia mendengarnya sendiri. Termasuk hal yang ingin disampaikan ayahnya barusan. Mendengar kata yang diucapkan putrinya membuat ayah Witri tersenyum sekilas.

“kamu memang benar-benar darah dan daging ayah Witri. Seperti biasa kamu selalu mampu membaca ayah.”

“ayah..tentu saja Witri darah daging ayah.” Dengan mengangkat pandangan lurus pada ayahnya, Witri mengernyit kecil. Menunjukkan wajah yang sangat serius. Membuat ayah Witri tersenyum lebar.

“iya nak. Kamu memang anak ayah. Kesayangan ayah.”

Tak ayal senyum Witri mengembang mendengar kata-kata ayahnya. Senyum yang begitu cantik membingkai wajahnya.

“jadi..ayah benar akan pergi keluar kota?” Raut sedih terlihat di wajah Witri yang kembali tentunduk.

“iya. Ayah memang akan keluar kota besok pagi. Kebun teh di Bandung perlu ayah lihat.”

Kebun teh milik keluarga mereka itu memang sesekali dikunjungi ayah Witri untuk melihat keadaannya.

“baiklah yah.”

Sebenarnya ingin sekali Witri menyuarakan keinginannya untuk ikut. Tetapi Ia tau itu akan berakhir dengan kekecewaan atas jawaban ‘tidak’ yang tegas dari ayahnya. Tidak, setelah kejadian di kebun teh tempo lalu.

“apa kamu sudah makan.” Suara ayahnya membuyarkan lamunan Witri.

“emm..belum yah. Witri belum makan.” Raut sedih kembali terlihat di wajah Witri ketika Ia mendengar kata makan.

Kembali teringat pada ikan yang diberinya makan di kolam tadi. Maafkan aku ikan. Sama sekali aku tak berniat melukaimu. Renung Witri dalam hati.

“apa ada yang membuatmu sedih nak?” Kembali ayahnya menarik Witri dari lamunannya.

“ah ti..tidak yah.” Jawab Witri cepat.

Jemari Witri saling bertaut resah. Kebiasaannya ketika Ia gugup.

“emm..baiklah yah. Witri akan makan dulu.” Witri mencoba mengakhiri pembicaraan mereka.

Seperti biasa Ia harus mendapat jawaban dari ayahnya dulu sebelum bisa beranjak. Meninggalkan seseorang tanpa dipersilahkan lawan bicara setelah pembicaraan kita selesai memang bukan suatu hal yang menjunjung nilai kesopanan. Salah satu yang selalu ayah Witri ajarkan padanya.

“baiklah nak. Pergilah.” Sebuah anggukan dari ayahnya segera dimanfaatkan Witri untuk beranjak.

Bukan maksud Witri untuk menghindar. Tapi Ia harus benar-benar menyudahi sebelum ayahnya mencecar dengan pertanyaan-pertanyaan yang tak akan bisa lagi Ia jawab dengan kebohongan sekecil apapun.

Sama seperti Witri yang selalu dapat membaca ayahnya, ayah Witri bahkan lebih dapat mengetahui apapun tentang Witri. Witri tau bahwa ayahnya dapat merasakan ketika Ia berbohong. Tapi Ia juga tau kapan ayahnya tidak akan melepaskan Witri tanpa Ia berbicara apapun yang disembunyikannya.

Seperti ayahnya yang sering berkata ‘kamu memang darah daging ayah’. Witri juga sering membatin ‘ah ayah memang benar-benar ayah Witri’. Selalu tau dan mengerti Witri. Tapi sangat tidak sopan jika Witri mengatakan seperti apa yang sering ayah Witri katakan padanya itu.

Witri memang sama sekali tidak pernah berbicara apalagi bersikap tidak sopan pada ayahnya. Tidak sekalipun dalam 20 tahun usianya sampai detik ini. Tidak sekalipun untuk satu-satunya orang tua yang dimilikinya ini.

***

“mbok win sudah makan?”

Mbok winah tersenyum sambil menyiapkan makanan untuk Witri di meja makan.

“mbok sudah makan non.”

Wanita 50 tahun yang sudah bekerja selama berpuluh tahun pada keluarga Witri itu masih tersenyum. Ia sangat menyayangi Witri. Nona majikannya itu memiliki hati yang sangat baik dan lembut. Witri tak segan untuk mengajaknya makan bersama di meja makan.

“yaa..padahal Witri sangat senang kalau mbok bisa menemani Witri makan. Mbok sih cepat sekali makan.” Bibir Witri sedikit mengerucut.

Hanya dengan mbok nah Ia berani merungut dan sedikit bersikap manja seperti itu. Ayahnya akan memarahinya kalau melihat. Memang hampir tidak pernah Witri bersikap manja pada ayahnya. Hanya ketika Ia kelepasan saja ayahnya akan membiarkannya.

“bukan mbok yang terlalu cepat makan. Tapi non yang makan terlalu telat.” Mbok win menunjuk jam dinding.

Jam 2 siang. Ah benar memang aku yang terlalu telat makan karena terlalu asik bercengkrama dengan..ikan! Witri tersentak dalam batinnya. Kembali teringat.

“mbok.. aku melakukannya lagi.” Suara Witri lirih.

Mbok nah yang hendak ke dapur menghentikan langkahnya.

“melakukan apa non?” kening mbok nah mengernyit.

Ada rasa was-was dalam hatinya ketika melihat Witri bersikap seperti itu.

“aku.. membuat ikan itu terluka.” Tatapan Witri tampak sedih.

“mbok masih ndak ngerti maksud non.” Mbok nah masih terlihat bingung.

“tadi..aku memberi makan ikan-ikan di kolam dari tanganku. Lalu.. seekor ikan tanpa sengaja menggigit jariku. Dan dia..terluka.”

Kali ini mbok nah sepenuhnya mengerti. Mbok nah menghampiri Witri dan berdiri disampingnya. Mengelus lembut rambut Witri.

“non..itu sama sekali bukan salah non..mbok selalu yakin itu.” Ucap mbok nah menekankan kata ‘selalu’.

Seakan-akan hal seperti itu bukan hanya sekali terjadi.

“mbok. Maukah mbok menolong ikan itu? tadi..aku berusaha menyembunyikan dari ayah. Mbok tau kan bagaimana ayah kalau mengetahui hal seperti ini.” Jelas Witri sedikit panik.

“iya non iya, mbok akan melihat ikan itu. Non habiskan makannya ya. Ayah non akan menegur kalau tau non terlalu lama menyelesaikan makan.” Terang mbok Nah yang dijawab anggukan Witri setelah beberapa saat.

Bagi mbok Nah Witri tetap putri kecil yang sedari bayi mbok nah ikut merawatnya. Putri kecil yang selalu butuh pengertian untuk membuatnya tenang.

Mbok Nah adalah salah satu saksi hidup yang tau bagaimana sulitnya dulu Witri kecil menghadap hidupnya. Menghadapi pandangan miring dari beberapa teman maupun orang-orang disekitarnya.

Saat itu Witri kecil bahkan belum mampu mengerti kenapa orang-orang bersikap seperti itu padanya. Sikap yang dengan gamblang menyebut Witri sebagai anak pembawa ‘kutukan’.

***

Lenting Sedaya : Sinopsis

31 Januari 2017 in Vitamins Blog

299 votes, average: 1.00 out of 1 (299 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

“Kumohon, jangan sakiti aku, menjauhlah, kumohon, kau akan terluka, menjauhlah.”

Mimpi itu seperti nyata, dan kenyataan itu seperti mimpi.

Witri tersakiti, dan akan lebih tersakiti lagi saat ia tersakiti.

Pangeranmu akan datang, jangan menolaknya, karena sang takdir sendirilah yang akan bekerja keras, memaksamu untuk menerimanya.

“Biarkan aku memelukmu, biarkan aku menjauhkanmu dari rasa sakitmu, aku tak peduli walaupun aku akan tersakiti sama sepertimu, karena akan ku buat rasa sakit itu, berganti menjadi rasa yang menyenangkan.”

Giaro terus memaksa, meyakinkan bahwa Witri harus bersamanya, mempercayainya, dan menyerap rasa yang menyenangkan darinya.

Canda Lara

30 Januari 2017 in Vitamins Blog

29 votes, average: 1.00 out of 1 (29 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

Dosa bila ku ucap, aku tak butuhmu
Di sana dalam kenangan, meremang kau angkat juangku

Tiada lancar jalanku jika tanpamu, sampai buntunya tanpa keengganan
Tapi engkau ada, jadi akupun ada

Bersisian, entah kalut entah canda, entah tawa entah lara
Menyimpul keeratan karib

Canda lara, bumbu kita berdewasa
Terpatri dalam penghormatan masa

Si Numpang Lewat

26 Januari 2017 in Vitamins Blog

21 votes, average: 1.00 out of 1 (21 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

Darr
Oh astaga, pasti dia
Tak pernah ada sosok seberisiknya

Berlaluan
Dasar si sepintas
Si numpang lewat
Mengagetkan, ramai menentu, tapi lucu

Apalah engkau yang begitu
Bikin ku radang terledak, tawa tergelak
Si pengheboh suasana, sayangnya dia temanku

Ada apa dengan sekarang

8 Januari 2017 in Vitamins Blog

25 votes, average: 1.00 out of 1 (25 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

Malam ini aku suntuk,
bintang redup cahayanya
Bulan tak sedang senyum, padahal ku senyuminya

Kunang sekarang, malas melincah
Padahal aku lincah, ajak bermain

Kerumun, mengerumun, lenyap
Gelap, gemerlap, senyap

Ada apa dengan sekarang
Berubah, kalap merayap
Hilang, meratap

Cinta Tapi Robot

3 Januari 2017 in Vitamins Blog

27 votes, average: 1.00 out of 1 (27 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

Terekam dari intaianku
Kala menjejak awal bersama
Aku melihatimu
Aku meresapimu
Kau berbeda

Bersikapmu sungguh kaku
Tatapanmu terpaku-paku
Bicarapun terdengar sengau
Ku sebut itu cinta tapi robot
Cinta ala dirimu
Cinta dengan warnamu

Kadangkala bisa juga kau tersipu
Padahal hanya sedikit aku mencandaimu
Tampan
Si kaku pemalu yang tampan

Aku tertawa kau tersenyum
Aku terbahak kau tertawa
Aku tertawai sikapmu itu
Kau penggurau suasana
Kujuluki si irit kata

Cukup kau yang seperti itu
Aku suka
Ya
Aku suka

Jomblo Penyendiri

2 Januari 2017 in Vitamins Blog

31 votes, average: 1.00 out of 1 (31 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

Dia bilang dunia ini telah hancur
Dia bilang dunia jadi hampa
Cetusnya sandal lebih beruntung dikarena punya pasangan

Sang jomblo tersendu
Teringat akan kenangan
Dalam prasangkanya dia masih memiliki kekasihnya
Dalam benaknya mereka masih bersama
Sendiri
Ternyata dia sendiri

Lalu silau lampu menelusupi jiwanya
Jomblo penyendiri membangun tekad
Melompati kesedihan yang terpuruk

Di depan sana menanti kisah lain
Menanti ditemukan jiwa yang sejati
Kejar
Temui sang pendamping takdir

Di Ujung Amarah

28 Desember 2016 in Vitamins Blog

28 votes, average: 1.00 out of 1 (28 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

Dua pasang mata saling membara
Luncuran kata melecuti jiwa
Istana cinta terporak tanpa daya
Retak
Nelangsa di ambang batas kehancuran

Lalu lengking suara membuyar suasana
Ayah Bunda
Ayo kita tidur
Si kecil menjinjit meraih kelingking dua sosok dewasa panutannya

Dua pasang mata saling bicara
Menjalin rembuk tanpa suara
Memadam lautan bara

Di ujung amarah
Terutus malaikat kecil tanpa dosa
Memutus keangkuhan hati seorang dewasa
Meluruskan dari kebobrokan benak

Halalkan Aku

26 Desember 2016 in Vitamins Blog

32 votes, average: 1.00 out of 1 (32 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

Hati tergenang dalam curahan cinta suci
Membuncah bahagia
Tatkala menyambut ketulusan niatmu
Aku merona sembari melafaz hamdalah

Lirihku memecah keheningan
Halalkan aku
Dua kata jawabku yang mengembangkan senyummu

Caramu memujaku dalam kepatuhan kepada-Nya
Memberanikanku menerima kehadiranmu
Memantapkan hatiku memilihmu sebagai imamku

Bertatap muka

25 Desember 2016 in Vitamins Blog

27 votes, average: 1.00 out of 1 (27 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

Aku ada di sana
Di dalam binar matanya
Terpatri kuat semakin lama oleh sorot tanpa jeda
Begitu dalam
Begitu membuat merona

Kuserap bayangnya
Mencari sirat rasa kepemilikan atas sang jiwa
Menjalin simpul keakraban tanpa kata

Dan sang waktu mengawasi dalam bisu
Saksi dua raga yang kini saling mengenali
Bertatatap muka untuk kali pertama

Suara Kodok

24 Desember 2016 in Vitamins Blog

29 votes, average: 1.00 out of 1 (29 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

Saat beban dunia tak sanggup lagi ditanggung
Ketika lelah membuat raga mati rasa
Kala resah menyeret jiwa ke ruang kosong gelap nan hampa

Dengar suara kodok
Di situ diajarkan arti permohonan juga syukur kepada Tuhan
Renunglah

Semesta Tanpa Tulisan

24 Desember 2016 in Vitamins Blog

30 votes, average: 1.00 out of 1 (30 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

Semesta
Adalah wadah bahasa
Menitiskan setiap makna pada jiwa-jiwa yang ingin mengerti

Lalu bagaimana bahasa dapat dimengerti oleh jiwa yang merasa
Warisan pada kehidupan esok yang baru
Ialah tulisan
Wujud penyampai berisi makna itu

Semesta tanpa tulisan
Hampa tak terbayangkan
Seperti raga mendamba sang jiwa

Malam

23 Desember 2016 in Vitamins Blog

30 votes, average: 1.00 out of 1 (30 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

Kalaulah malam adalah seorang ibu
Pasti ia senantiasa memelukku
Kalaulah malam adalah ayah
Tentunya ia selalu menopang langkahku
Karena malam mendamaikan jiwa
Karena malam merenggangkan lelah

DayNight
DayNight