Vitamins Blog

Lenting Sedaya Part 6 : Luka yang Sama

Bookmark
ClosePlease login

No account yet? Register

202 votes, average: 1.00 out of 1 (202 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

***

Kupu-kupu yang cantik. Kupu-kupu kecil dengan kepakan sayap nan anggun, lemah lembut mengitari mekar bunga berwarna kuning senada dengan warnanya.

Jangan pergi kupu-kupu cantik, tetaplah disini, tak akan ada yang menyakitimu, kau dan bunga itu sangat cantik.

Sayapnya mengepak, menerbangkan tubuh kupu-kupu cantik itu menjauhi sang bunga, menjauhi pandangan sepasang yang sedari tadi memandanginya, menggumamkan permintaannya hatinya.

“Ah, jangan pergi,” sebuah suara terpekik mencoba menghentikan kupu-kupu itu.

Kupu-kupu kecil tetap menjauh perlahan, melewati barisan bunga warna-warni di bawahnya.

Derap langkah kaki mungil dari seorang gadis kecil mengikuti kupu-kupu itu yang terbang menjauh.

“Hei, hahaha,” tawa ceria gadis kecil itu, hendak menggapai ketika kupu-kupu itu mengitari rambut hitam lurus panjangnya.

Kupu-kupu kecil terbang lagi, menyusuri bunga-bunga di pinggir jalan setapak yang menurun.

“Hei, tunggu.” Gadis kecil itu masih mengejar sambil sesekali menengadah saat kupu-kupu itu terbang lebih tinggi di atasnya, tidak menyadari kaki-kaki mungilnya sudah membawanya menjauh dari tempatnya semula.

“Hei kecil.” Sebuah suara memutus perhatian gadis kecil itu pada kupu-kupu tadi yang terus terbang menjauh.

Seorang anak laki-laki yang sepertinya sudah menginjak usia remajanya, tiba-tiba saja berdiri di depan gadis kecil itu, lalu mensejajarkan pandangannya.

“Kamu bandel ya kecil,,main jauh-jauh.” telunjuknya menjentik pelan kening gadis kecil itu, membuatnya sedikit meringis, “kamu gak tau ya, kalau di sini tuh ada…hantunya, haaarrggh,” Anak lelaki itu membuat suara geraman dan mengangkat kedua tangannya seperti gerakan mencakar-cakar.

“Witri tidak takut. Kata ayah, hantu itu takut sama anak yang pemberani.” Sela gadis kecil itu dengan pandangan dan suara lembutnya yang polos.

Anak laki-laki itu terdiam mendengar selaan gadis kecil di depannya itu, menegakkan kembali tubuhnya, menggaruk kepalanya yang tidak gatal, merasa terbodoh.

“Mm..kamu, tidak takut?” Tanyanya sambil bersedekap.

Gelengan kepala dari gadis kecil itu tampak tidak sedikitpun ragu sebagai jawabannya, menatap anak laki-laki di depannya itu dengan pandangan polosnya.

“Lalu, apa kamu juga tidak takut tersesat? Bagaimana kalau kamu hilang sendirian di kebun teh yang luas ini?”

“Kalau begitu kakak mau temani Witri berkeliling?”

Dan apakah itu sebuah permintaan? Atau gadis kecil itu sedang memerintahnya sekarang? Atau malah maksudnya dia tidak mau hilang sendirian?

Pintar sekali gadis cilik ini, kata-katanya benar-benar tak terduga. Sekarang membuat anak laki-laki itu merasa termanipulasi dengan kata-kata polosnya.

Tapi, entah kenapa hal itu seperti ide segar bagi anak laki-laki itu, berjalan-jalan di kebun teh luas dengan udara yang sejuk ini, bukan ide yang buruk.

Bukankah tadi ia memang berniat melihat-lihat untuk mengusir kebosanan?

Daripada harus berdiam diri dengan keluarga mereka yang hanya duduk-duduk bersenda gurau bersama di taman depan rumah di atas sana.

Liburan akhir pekan mereka di kebun teh ini, memang sangat sayang kalau hanya diisi dengan duduk-duduk saja, setidaknya itu yang dipikirkan anak laki-laki itu.

“Baiklah, kakak akan temani kamu,” jawabnya memberi kepastian pada gadis kecil itu yang sekarang tersenyum senang, “tapi kamu janji dulu, kamu tidak akan jauh-jauh dari kakak kalau tidak mau hilang, mengerti?” Jelasnya yang dijawab anggukan kepala oleh gadis kecil yang masih berdiri di depannya.

Dan anak laki-laki itu mulai berjalan menyusuri kebun teh menemani gadis kecil itu,  atau bisa juga dikatakan sebaliknya ‘ia berjalan ditemani gadis kecil itu’.

“Kakak tidak kedinginan?”

Yang ditanya langsung mengernyit mendengarnya, “hei kecil, kakak sudah besar, coba lihat ini,” menunjukkan otot lengan kebanggaannya, yang sebenarnya sama sekali tidak tampak menonjol, “kakak pasti kuat kalau hanya menahan udara dingin disini.”

Gadis kecil yang sekarang berjalan di sebelah anak laki-laki itu memandang dan mendengarkan dengan seksama, mengangguk-angguk seakan penjelasan yang didengarnya tadi adalah kebenaran mutlak, seperti yang memang saat ini dicernanya mentah-mentah.

Mungkin karena dilihatnya anak laki-laki tinggi di sebelahnya itu hanya memakai kaus biru berlengan pendek ditengah udara dingin pagi kebun teh, makanya ia bertanya seperti itu tadi.

Berbeda dengan tubuh mungilnya yang terbalut sweater putih yang tebal, untuk melindunginya dari udara dingin.

“Hei kecil, berapa usia mu sekarang?”

“Usia Witri 7 tahun.” Jawab gadis itu sambil mengelus kepala boneka panda kecil yang sedari tadi dipeluknya.

“Hmm, pantas kamu kecil sekali.” Gumamnya saat melihat Witri yang seperti berada sangat rendah dibawahnya. Itu sebabnya dari tadi ia memanggil anak itu dengan sebutan kecil.

Di usianya sekarang yang beranjak remaja, ia memang mengalami pertumbuhan yang cepat, tinggi badannya memang diatas rata-rata anak seusianya, membuatnya jauh lebih tinggi dibanding gadis kecil itu.

“Kamu tidak ingin tau usia kakak juga?”

Yang ditanya hanya menatap sekilas, mengangguk, lalu mengelus kepala bonekanya lagi.

“Usia kakak berapa?”

“Kakak 13 tahun.” Ada nada kebanggaan dari suara anak laki-laki itu. Usia yang menurutnya sudah akan menjadikannya pria dewasa. Bahkan sekarang ia tersenyum bangga, senyum miring andalannya.

Sedangkan yang diajak bicara hanya kembali memainkan boneka pandanya yang sangat lucu.

“Ck, dasar gadis kecil tidak ekspresif.” Gumamnya lagi seperti berbisik saat melihat gadis itu seperti tidak menggubrisnya.

Mereka terus berjalan di kebun teh itu yang semakin terlihat menurun. Dilihatnya gadis kecil itu berlari-lari kecil saat mengejar kupu-kupu ataupun capung yang terbang rendah.

Saat itulah anak laki-laki itu melihat seekor ulat hijau merayap pada daun teh. Timbul keisengannya untuk menjahili gadis kecil yang sekarang berjalan tak jauh didepannya itu.

Kalau ditakut-takuti dengan hantu saja dia tidak sedikitpun merasa takut, pasti ulat ini sama sekali tidak akan menakutinya, Ia hanya akan mengejutkannya saja dengan ulat itu.

***

“Hahaha. Karena kelakuan konyolnya itulah dia dipanggil Bayi, bukan Bayu. Hahaha.”

“Kau sendiri lebih konyol saat ketauan menyembunyikan sandal milik abah Gali ketika kau kesal ditegurnya karena mencoba mengganggu putrinya.”

“Tidak tidak, kau yang paling konyol. Kenapa saat itu kau bisa tertangkap tangan mpok Romlah saat mencuri mangganya. Sangat memalukan. Hahaha.”

“Sudah sudah, kalian berdua memang kekanakan. Ingat, sekarang kalian sudah jadi bapak, jangan sampai melakukan hal memalukan seperti dulu lagi.”

“Tidak, ini memang sangat lucu, si Bayi ini tidak belajar dari pengalaman. Benar-benar lucu saat mpok Romlah menjewer kupingnya, dia sama sekali tidak berkutik. Hahaha.”

“Hahaha. Ya, memang memalukan sekali,” akhirnya Bayu ikut menyadari kekonyolannya dulu, “tapi..kalian tau, itu sama sekali tidak mengurangi.. kadar kepopuleranku.”

Dan tawa kembali pecah saat kata-kata itu keluar dari mulut Bayu, kali ini sampai tawa itu mereda, sama sekali tidak ada yang berusaha menyelanya.

“Kalau itu aku percaya Bayu, kau memang,”

‘Aaaaaaaa’

Suara teriakan dari kejauhan menyentak mereka yang langsung waspada, mencoba menajamkan pendengaran pada asal suara itu.

“Witri!” Seru Bayu kemudian.

Secepat yang bisa Bayu lakukan, Ia berlari menuju suara yang diyakininya sebagai suara milik putrinya. Yang lainnya menyusul dengan kewaspadaan yang mereka masih menerka-nerka penyebabnya.

***

“Witri, pegang tangan kakak, ayo, ayo Witri.”

“Aaa,” Witri kecil menjerit ketakutan, kesakitan pada lengannya yang tergores semak.

“Witri, lihat kakak, tenang, lihat kakak, kakak akan pegang tangan kamu, bertahanlah.”

Dalam kepanikan luar biasa Ia mencoba menggapai tangan mungil Witri yang memegang akar kecil tempatnya mempertahankan pegangan agar tubuhnya tidak merosot.

Di bawah sana adalah tanah curam dari batas sisi kebun teh, tanah berbatu penuh semak dan ranting tumbuhan liar.

Tangan kanannya masih mencoba menggapai tangan Witri, sambil tangan kirinya berpegang pada akar pohon yang tumbuh tak jauh di sebelahnya.

Ia harus ikut menjatuhkan tubuhnya sedikit kebawah agar tangannya sampai untuk menggapai tangan Witri yang kini sedikit lagi dari jangkauannya.

“Kakak mohon Witri, bertahanlah, lihat kakak, tidak! jangan lepas pegangan kamu. Aaarrgg.” Sekuat tenaga Ia berusaha menggapai tangan Witri, sampai akhirnya berhasil menggapai sebelah tangan gadis kecil itu.

“Witri, kakak sudah pegang kamu, aarrgg, genggam tangan kakak, bertahan Witri!”

Dalam batas kekuatannya ia mencoba menarik tubuh Witri naik, dilihatnya lengan Witri berdarah. Dalam kepanikan dan detak jantungnya yang terasa semakin berdentam hebat, Ia berusaha mempertahankan pegangan tangannya pada akar pohon dan terus menarik Witri.

“Aaaargg.” Teriaknya mengerahkan seluruh tenaganya.

Sampai akhirnya Ia berhasil menaikkan tubuh mungil Witri ke atas pada tanah yang datar. Sekarang dirasanya tubuh Witri lemah dipangkuannya. Dipeluknya tubuh Witri dalam pangkuannya yang kini benar-benar bersimpuh pada tanah yang sedikit basah itu.

“Witri, Witri, lihat kakak, ya Tuhan,” suaranya tercekat, panik saat melihat darah kini ada dimana-mana di tubuh Witri.

“Kakak..” Witri merespon dengan suara lemah, matanya terpejam perlahan.

“Witri, kakak mohon, buka mata kamu, ya Tuhan,” nafasnya berderu dalam kepanikan saat menepuk-nepuk pelan pipi dan memeriksa tubuh Witri.

Sweater tebal Witri yang berwarna putih kini sudah tak rupa lagi warnanya, warna tanah bercampur darah.

Lengan kanan sweater Witri yang tersingkap saat Ia jatuh tadi, membuatnya mengalami banyak luka gores di lengannya, dan ada luka terbuka di bagian belikat dekat leher Witri.

“Witri!” Sebuah suara dari belakang mereka dengan tergesah mendekat, “apa yang terja,, ya Tuhan!”

Suara tercekat dan kepanikan lainnya muncul dengan tergesah di belakang kedua anak itu.

“Witri, ini ayah, ya Tuhan kamu berdarah nak!”

“Apa yang terjadi, ya Tuhan, Aro! Kamu juga berdarah!” suara ibu dari anak laki-laki yang ternyata bernama Aro itu terucap dengan nada panik dan terkejut.

“Giaro, apa yang terjadi!” ucap ayah anak laki-laki itu penuh kecemasan.

Keterkejutan melanda mereka kala melihat kedua anak itu berada dalam keadaan sangat kotor karena tanah, dan banyak darah di tubuh mereka.

“Pa, Aro salah, Aro yang salah..” dalam posisi masih bersimpuh dan gumaman lemah, pandangan anak lelaki itu nyalang melihat Witri yang sekarang berada di pangkuan ayahnya.

“Witri, Witri, bangun nak, ya Tuhan.” Bayu mencoba menyadarkan putrinya yang terpejam.

“Kita harus bawa mereka ke rumah sakit! Ayo Bayu, cepat!” Gantara buru-buru menyela kepanikan itu setelah tersadar dan dapat berpikir jernih.

Bayu langsung bergegas menggendong Witri yang kini sudah tak sadarkan diri. Tubuhnya bergetar dengan wajah pucat saat melihat putri kecilnya yang bersimbah darah.

Bayu tidak berani membayangkan kemungkinan buruk yang bisa saja terjadi. Witri adalah segalanya baginya, pusat dunianya. Tak terbayangkan kalau sampai terjadi hal buruk pada putrinya.

Gantara dan Williona sendiri tak berpikir lagi untuk menanyakan apa yang terjadi pada putranya dan putri sahabat mereka. Yang mereka lakukan adalah bagaimana secepatnya untuk menolong anak-anak itu secepatnya.

***

“Aro, kamu tidak sepenuhnya bersalah nak. Kamu sudah dengan berani menyelamatkan Witri.” Williona berucap dengan lembut dan mengusap-ngusap lengan putranya.

Williona berusaha mencoba membesarkan hati putranya yang merasa sangat bersalah. Setelah Giaro menceritakan kejadian yang menimpa Ia dan Witri tadi, kedua orang tuanya dan om Bayu hanya menghela nafas, terkejut bercampur lega karena mereka dapat selamat.

Niat Giaro yang hanya akan menjahili Witri dengan menakut-nakutinya dengan ulat, rupanya sangat berakibat fatal karena Witri ternyata sangat takut dengan ulat.

Saat Witri kecil melihat Giaro menyodorkan sebuah patahan batang teh, yang pada ujungnya terdapat daun teh dengan ulat hijau menggeliat di ujung daun itu, sontak mengejutkan Witri yang langsung berteriak ketakutan, dan berlari menjauh.

Keterkejutan Giaro akan reaksi Witri yang berlari ketakutan semakin bertambah saat Ia menyadari Witri berlari mendekati tanah curam di ujung jalan tempat mereka berjalan tadi. Giaro tersadar, dan mengejar Witri untuk mencegahnya berlari semakin mendekati tanah curam itu.

Witri yang menoleh melihat Giaro mengejarnya, semakin berlari ketakutan karena mengira Giaro masih memegang ulat itu. Sampai Ia terlambat berhenti dan kaki mungilnya terpeleset pada tanah curam di depannya yang licin.

“Tapi ma, Aro tetap salah.”

Rasa bersalah yang sangat dalam membuat air mata Giaro tak sanggup Ia tahan lagi. Penyesalannya membuat hatinya terasa membengkak dan sangat menyesakkan.

“Aro, papa mengerti, tapi kamu lihat om Bayu tadi kan, om Bayu sama sekali tidak menyalahkan kamu,” Gantara juga mencoba menguatkan putranya yang terbaring di ranjang rumah sakit dengan beberapa luka di tubuhnya.

“yang perlu kamu lakukan, mulai sekarang berusahalah untuk menjadi lelaki dewasa yang bertanggung jawab, dan hilangkan sifat jahil kamu, mengerti?” Suara tegas Gantara terbalut senyum untuk menguatkan putranya.

“Pa, ma, Aro ingin melihat Witri. Aro ingin minta maaf dan memastikan keadaan Witri baik-baik saja.”

“Oh tidak sayang, kamu belum boleh, ingat kamu juga terluka. Nanti, kalau kamu sudah lebih kuat baru kamu diijinkan untuk keluar.”

Kedua orangtuanya memberi tau Giaro kalau Witri dirawat di kamar sebelah Giaro dirawat sekarang. Tadi, untuk menenangkan Giaro, kedua orang tuanya mengatakan bahwa Witri baik-baik saja dan sudah mendapatkan perawatan. Namun kemauan anaknya itu sangat besar untuk memastikan sendiri keadaan Witri.

“Tapi Aro kuat ma, Aro tidak apa-apa,”

“Aro, kamu juga harus ingat, Witri mengalami luka cukup parah di beberapa bagian tubuhnya. Jadi Witri juga belum boleh diganggu nak. Sekarang kamu istirahat saja dulu agar kondisi kamu cepat membaik dan secepatnya bisa menjenguk Witri.” Kembali Gantara memberi pengertian pada putranya, dan kali ini Giaro tampak mengerti.

Sebenarnya Giaro sama sekali tidak merasa saat mendapatkan luka-luka di tubuhnya itu. Saat itu ibunyalah yang dengan terkejut menyadari Giaro juga terluka dan berdarah terutama di pelipis kanan, belikat kiri sebelah leher, lengan kirinya, dan luka yang juga cukup parah di pergelangan kaki kanannya.

***

Pagi ini Witri sedang bercanda dengan eyang kakung dan eyang putrinya. Mereka sudah menunggui Witri sejak kemarin setelah mendapat kabar cucu mereka mengalami kecelakaan di kebun teh. Eyang putri bahkan tak henti-hentinya menangis saat mendapati cucu kecilnya terbaring di ranjang rumah sakit dengan banyak balutan luka di sekujur tubuhnya.

Beberapa saat kemudian, pintu kamar Witri terbuka, “Halo Witri.” Sebuah sapaan yang ternyata dari Giaro, menyapa Witri yang sedang duduk di ranjangnya. Pagi ini Ia sudah dibolehkan menjenguk Witri walaupun harus berada di kursi roda.

“Halo kak.” Senyum manis Witri menyambut Giaro yang diantar kedua orangtua dan Galeo adiknya. Galeo tidak bersama mereka kemarin karena Ia sedang mengikuti kegiatan pramukanya di sekolah.

“Kamu..tidak marah sama kakak?” Giaro melemparkan pertanyaan itu dengan was-was.

Ia berpikir kalau Witri pantas marah atas kelakuannya kemarin, yang menyebabkan mereka seperti ini sekarang. Tapi melihat senyum gadis itu barusan, membuatnya menyuarakan pertanyaan itu.

Witri kecil mengernyit tanda keheranan dengan pertanyaan Giaro, dan menggeleng setelahnya, memberi jawaban.

“Tidak, Witri tidak marah sama kakak. Kan kakak yang sudah lindungi Witri. Terima kasih ya kak.” Ucap Witri polos.

Mendengar jawaban itu, gumpalan besar yang serasa memenuhi pernafasan Giaro kini terasa luruh, melegakannya.

“Om, Aro minta maaf, Aro sudah buat kekacauan ini dan menyebabkan putri om terluka.” Wajah Giaro dipenuhi penyesalan, mengucapkan permintaan maaf pada Bayu.

Bayu sedikit tersentak dari perhatiannya pada putra sahabatnya itu sejak mereka masuk tadi, pandangannya terus mencermati luka-luka Giaro, yang Bayu telah sadari, adalah luka-luka yang sama dengan luka putrinya.

“Ah iya Aro, om maafkan kamu. Tapi dengan satu syarat, kamu jangan pernah jahili putri om lagi. Om akan benar-benar tidak mentolerir kalau sampai itu terjadi.” Bayu mencoba bersikap tegas dan serius, walaupun sebenarnya Ia benar-benar sudah memaafkan Giaro.

Giaro tersenyum lega, “terima kasih om, saya janji tidak akan mengulanginya lagi.” Jawabnya mantap.

Ibu Giaro terlihat mendekati tempat tidur Witri setelah tadi menyalami kedua eyang Witri yang menyambut mereka setelah masuk tadi, “Witri..bagaimana perasaan kamu sayang, masih sakit?” tanya Williona dari sebelah tempat tidur Witri dan memberi usapan lembut pada rambut gadis kecil itu.

“Iya sakit tante, tapi Witri tidak apa-apa.” Jelas Witri. Raut wajah dan jawaban polos Witri membuat orang-orang yang ada di situ tertawa.

“Kamu memang anak cantik yang kuat sayang.” Tambah Williona lagi mengelus pipi lembut Witri.

“Nanti, kalau kak Aro jahilin kamu lagi, bilang sama om ya, biar om jewer kuping kak Aro.” Gantara menjelaskan dengan nada dan ekspresi yang dibuat lucu.

“bagaimana keadaan luka Giaro nak Liona?” tanya eyang putri, “dan terima kasih putra kalian sudah menyelamatkan cucu cantikku.” Lanjut eyang putri lagi dengan suara tulus, juga mewakili perasaan eyang kakung disebelahnya yang merangkul pundak eyang putri dengan sebelah tangannya.

Persahabatan Bayu dan Gantara memang membuat keluarga Bayu cukup mengenal keluarga Gantara, begitupun sebaliknya. Dan Bayu juga sudah menceritakan pada kedua eyang Witri tentang putra Gantara yang menyelamatkan cucu mereka.

“luka Giaro sudah lebih baik eyang, dan jangan berterima kasih pada kami, kami yang justru meminta maaf atas kejadian ini.” Ucap Williona tak kalah tulus.

“Wah, luka dik Witri dan kak Aro sama.” Semua pandangan tertuju pada Galeo yang baru saja berucap diantara percakapan mereka tadi.

Berbeda dengan Bayu yang dengan samar menarik nafas cepat saat mendengar ucapan itu, Gantara dan Williona justru mencoba mengerti ucapan anaknya yang tadi sama sekali tidak mereka simak.

Tapi akhirnya Gantara dan Williona beralih pada Witri dan mencermati luka-luka gadis kecil itu juga.

Luka di pelipis kiri, belikat kanan sebelah leher, lengan kanan, luka-luka yang sudah terbalut perban. Dan jika mereka melihat, di balik selimut Witri juga ada luka pada pergelangan kaki kirinya, benar-benar luka yang sama dengan Giaro, hanya saja letak lukanya kebalikan dari luka-luka Witri.

“Mungkin hanya kebetulan mereka punya luka yang sama.” Ucap Williona lembut.

“Aro, apa kamu sadar penyebab luka itu? Mungkin tergores bebatuan atau, ranting?” Bayu bertanya dengan nada seperti ingin memastikan sesuatu, namun terdengar berharap sebaliknya.

“Tidak om, sebenarnya Aro sama sekali tidak menyadari, seperti luka-luka ini timbul dengan sendirinya.”

“Bayu, seseorang yang dalam keadaan genting tidak akan sempat menyadari apa yang terjadi pada dirinya, mungkin itu pula yang dialami putraku.” Gantara menjelaskan kemungkinan besar yang terjadi pada putranya.

“iya Bayu, bisa jadi itu hanya kebetulan.” Eyang kakung menambahi, nadanya penuh simpati pada Bayu.

Sebagai orang tua dari Bayu, baik eyang kakung maupun eyang putri, sudah sangat mengerti dengan apa yang dirasakan Bayu saat menghadapi situasi seperti sekarang ini. Situasi dimana seseorang terluka bersamaan dengan Witri cucu mereka.

Dan Bayu berharap dalam hati bahwa luka-luka Giaro memang hanya kebetulan sama dengan luka Witri. Seperti yang diucapkan Gantara dan ayahnya tadi.

***

“apa kabar eyang?” Maya memberi pelukan pada eyang putri dan menyalami eyang kakung, yang diikuti juga oleh Gilang, saat mereka berdua masuk ke kamar inap Witri.

“Bayu, bagaimana keadaan Witri. Maaf kami baru bisa menjenguk.” Gilang mengucapkan permintaan maafnya begitu masuk ke kamar tempat Witri dirawat.

Kemarin mereka mendapat kabar kalau Witri dibawa ke rumah sakit karena terluka saat bermain di kebun teh, namun mereka baru bisa menjenguk sekarang. Sebenarnya Bayu juga mengajak mereka untuk liburan akhir pekan bersama di kebun teh milik Bayu itu, mengingat keluarga Gilang memang tinggal di Bandung, namun mereka ada keperluan sehingga tidak bisa ikut.

“Tidak apa-apa Gilang, terima kasih sudah datang. Keadaan Witri sudah semakin membaik.” Bayu melemparkan pandangan pada putrinya.

“Bagaimana dengan lukanya?” tanya Gilang lagi setelah mereka mendekat ke sebelah tempat tidur Witri.

“Yang cukup parah luka di bagian belikat dekat leher dan di pergelangan kakinya.”

“Sayang, ini Bude bawain buah-buahan untuk kamu.” Maya meletakkan keranjang buah bawaannya ke atas meja di sebelah ranjang Witri.

“Terima kasih Bude,” jawab Witri senang, “kak Angel tidak ikut?”

“Maaf sayang, kak Angel sedang ada les biola. Kamu kangen ya?”

Witri tersenyum dan mengangguk. Bagaimanapun juga Angel adalah saudara yang paling seumuran dengannya, walaupun tidak sering bertemu, tetapi Ia merasa nyaman untuk berteman dengan Angel.

“Jadi kapan kalian pulang ke Jakarta Bayu?”

Mengingat ini adalah liburan akhir pekan mereka, seharusnya besok mereka sudah harus di Jakarta karena Witri harus sekolah, dan Bayu harus ke kantor mengurus perusahaan furniture miliknya. Tapi karena kejadian ini, Witri sudah pasti akan izin sekolah sampai beberapa hari kedepan, dan Bayu harus menitipkan semua urusan kantor pada bawahannya.

“Dokter bilang kalau Witri semakin membaik, lusa sudah bisa dibawa pulang.”

Mungkin setelah mereka pulang ke Jakarta nanti, liburan itu akan menjadi liburan di kebun teh yang terakhir bagi Witri. Bayu adalah tipe ayah yang tidak ingin mengambil resiko jika sudah menyangkut keselamatan putrinya. Bagaimanapun Witri adalah pusat perhatiannya, hal yang paling penting dalam hidupnya, sekecil apapun hal yang membuat ketidaknyamanan apalagi mengancam Witri, sejauh mungkin Bayu akan menjauhkannya.

***

“Maya,” Williona menyambut Maya dengan lembut.

“Apa kabar Maya, mana Gilang dan Angel?” Tanya Gantara saat tidak melihat Gilang dan Angel tidak bersama Maya masuk.

Maya dan keluarganya mengenal Gantara dan Williona sejak beberapa tahun lalu, saat Bayu juga mengajak mereka liburan bersama. Waktu itu anak-anak mereka masih kecil-kecil, dimana Angel dan Witri masih berusia 3 tahun, serta Giaro berusia 9 tahun dan Galeo berusia 5 tahun.

Gantara dan Williona sendiri memang menikah muda. Saat mereka memiliki bayi Giaro, usia Gantara masih 20 tahun sedangkan Williona 19 tahun. Tapi sama sekali mereka bukan menikah karena ‘kecelakaan’. Mereka berasumsi hal itu murni karena cinta mereka yang sangat kuat, terlebih orang tua mereka masing-masing memang berteman baik dan juga mendorong mereka segera menikah.

Gantara memang berasal dari keluarga yang berada, jadi walaupun pada saat Ia memiliki anak statusnya masih sebagai mahasiswa, tapi kedua orang tuanya tidak masalah untuk menanggung segala keperluan Gantara dan Williona. Sampai setelah lulus kuliah barulah Gantara bekerja keras memulai usahanya sendiri.

Itulah sebabnya saat rata-rata temannya baru memiliki anak yang masih kecil-kecil, Gantara bahkan sudah memiliki putra yang mulai beranjak remaja.

“Oh, mas Gilang masih di kamar Witri mengobrol dengan Bayu. Sebentar katanya dia nyusul. Kalau Angel tidak ikut karena ada les biola.” Jelas Maya, “bagaimana keadaan Giaro?” Maya dan yang lainnya mendekati tempat tidur Giaro.

“Dokter baru saja memeriksa kondisinya. Lukanya sudah semakin membaik.”

“Syukurlah kalau begitu. Mm..Williona, kalian tidak merasa ada yang aneh kan?” Maya bertanya dengan nada kehati-hatian, namun seperti ingin mengarahkan pertanyaannya pada sesuatu.

“Aneh?” Alis Williona berkerut tanda kebingungannya dengan pertanyaan Maya.

Gantara juga sama tidak mengerti seperti istrinya, Ia mengernyit sembari menunggu Maya memberi kata-kata lebih, untuk menjelaskan maksud pertanyaannya tadi.

“Mm..luka Giaro…oh apa kalian sudah melihat luka Witri?” Maya tersenyum, namun semakin menimbulkan kebingungan di wajah Gantara dan Williona.

“Ya, kami sudah melihatnya. Witri mengalami luka yang cukup parah terutama di belikat dan pergelangan kakinya. Ah, dan kebetulan Giaro juga mengalami luka yang cukup parah di bagian itu.” Terang Gantara.

Entah mereka menyadari atau tidak, raut wajah Maya seperti mendapatkan titik cerah saat mendengar keterangan Gantara,  seperti Ia mendapat jalan terbuka untuk membawa pertanyaannya tadi pada ujung yang ingin dicapainya.

“Bagaimana kalau itu bukan kebetulan?” Nada suara Maya lebih terdengar seperti menegaskan kalau itu adalah sebuah pernyataan.

“Hai. Maaf aku telat.” Gilang membuka pintu dan langsung menyapa, menyela percakapan orang-orang yang berada di dalam kamar Giaro.

“Eh mas. Mari.” Maya memberi lambaian agar suaminya masuk.

Gantara dan Williona seakan lupa untuk menyambut Gilang yang baru saja masuk, mereka berdua larut akan ketidakmengertian akan ucapan Maya.

Maya sendiri seperti tidak ingin melanjutkan ataupun memberi penjelasan lebih untuk menghilangkan kebingungan Gantara dan Williona dan memperjelas ucapannya, setelah suaminya masuk tadi.

Dan pembahasan itu seakan menguap begitu pembicaraan mereka dialihkan pada hal lain, walaupun Gantara dan Williona masih belum mendapatkan jawaban akan maksud tersirat dalam ucapan Maya tadi.

***

7 Komentar

  1. Penasaran dengan kelanjutan ceritanya :ragunih :blackkenyang

  2. Maksdnya gimana ya mereka punya luka pd tempat yg sama ??? Hmm jodoh kali :HUAHAHAHAHA

  3. KhairaAlfia menulis:

    Kok bisa kayak gitu ya,,
    Ikan itu juga kan,,
    waktu jari Witri luka, sirip ikannya juga luka,,
    Jadi Witri gak boleh dipegang ya kalau lagi luka nanti nular??
    atau Witri gak bisa dilukain kalau tak yang ngelukain luka juga??
    :bearbertanya :bearbertanya :bearbertanya

  4. Kok bisa luka ditempat yg sama

  5. Neextt

  6. :dragonbaper

  7. Ditunggu kelanjutannyaaa