Avenger – 2. Tragedi Menegangkan
6 Mei 2020 in Vitamins Blog
BAGIAN 2
TRAGEDI MENEGANGKAN
Hari ini perayaan hari keberkahan negeri Inka, setiap orang diseluruh penjuru negeri Inka akan berbondong-bondong memasuki Salama untuk berdoa bersama ditempat itu. Salama merupakan salah satu tempat ibadah yang terletak dipusat kota, masyarakat dari berbagai penjuru Inka akan datang ke Salama setiap hari, perayaan hari besar terjadi selama satu kali setahun. Rakyat yang hidup di pinggiran kota harus menempuh perjalanan beberapa hari untuk sampai di pusat kota.
Eila dan keluarganya tinggal di salah satu kampung yang jauh dari kota. Kampung ini terletak hampir berdekatan dengan Benteng pemisah negeri Inka dengan negeri Syanth. Benteng berupa perairan luas yang membentang jauh dan menyambung mengelilingi tiap-tiap negeri. Bumi kecil negeri Inka berdekatan dengan negeri Syanth yang satu-satunya negeri beraliran netral, tidak memihak kepada negeri manapun.
Bahkan sejak peperangan besar dahulu ketika bumi ini masih berupa daratan, hanya negeri Syanth yang senantiasa memberikan bantuan kepada negeri Inka yang dahulu pernah mengalami masa-masa suram. Ya, negeri Inka yang kini memegang kokoh sebagai negeri paling kuat di jagad raya ini pernah mengalami masa suram dan kekejaman manusia tamak. Ketika Yang Maha Esa belum memecah belah daratan di dunya, negeri Inka pernah dikepung habis-habisan oleh kerajaan dari berbagai belahan dunya.
Keadaan ini membuat seisi dunya bergolak akibat peperangan yang dahsyat, alam pun perlahan mengalami kerusakan yang parah. Bahkan kerusakannya itu hampir membuat daratan yang dahulu hijau mulai mati dan berubah menjadi tanah hitam. Binatang pun ikut menjadi korban peperangan dahsyat itu, sekitar ribuan jenis binatang sebagian nya mulai punah karena terlalap habis oleh si jago merah, bangkainya bahkan sempat menimbulkan penyakit yang tertular mengenai udara dan kontak fisik.
Akibatnya hampir setengah dari penghuni alam dunya terjangkit wabah, anak-anak yang paling rentan terjangkit wabah dan menimbulkan kematian massal yang begitu banyak. Begitu ulah kerajaan tamak yang melancarkan aksinya dengan membakar hutan dan menebang banyak pohon untuk digunakan sebagai senjata.
Yang Maha Esa turun tangan demi menyelamatkan alam dunya yang hampir tidak dapat diselamatkan oleh tangan-tangan yang tidak bertanggung jawab. Tentu saja Ia murka dengan perbuatan merusak dan kejinya kaum-kaum manusia. Bahkan Yang Maha Esa sampai memusnahkan hampir seluruh manusia yang memiliki campur tangan dalam peperangan yang menghancurkan tempat tinggal mereka sendiri. Kisah kelam dunya ini menjadi kisah yang harus diambil hikmahnya oleh seluruh negeri jika tidak ingin kembali pada masa suram itu.
Eila bertekad di dalam hati akan melakukan berbagai permohonan. Saat ini tubuh mungilnya dalam balutan pakaian putih yang menutup seluruh tubuhnya dengan gaya sederhana, aksen renda dibagian perut dengan tali pada kedua sisinya untuk mengencangkan bagian longgar pakainnya. Ia tak memakai hiasan apapun, namun menambahkan selendang tipis untuk melindungi rambutnya yang dibiarkan terurai panjang tanpa di ikat.
Di hari perayaan kemerdekaan ini, umumnya orang-orang menggunakan pakaian berwarna putih sebagai pertanda bahwa negeri Inka yang kecil ini bisa bangkit dari keterpurukan dan kini menjadi satu-satunya negeri yang kuat pertahanannya. Orang-orang akan memakai pakaian terbaik yang mereka miliki demi perayaan ini, karena konon katanya raja-raja terdahulu memakai pakaian putih ketika berjuang melawan pasukan penjajah sampai titik darah penghabisan. Untuk membalas jasa, rakyat diwajibkan memiliki minimal satu pakaian terbaik berwarna putih untuk perayaan kemerdekaan negeri Inka.
Rubhya mengenakan pakaian yang sama dengan Eila, namun rambutnya yang panjang di kepang rapi, sedangkan Parvati tidak dapat mengantar kedua anaknya untuk mengikuti perayaan kemerdekaan negeri Inka. Sebelum pergi Parvati menatap kedua anaknya dengan lembut, merasa bahagia ketika melihat raut kelelahan karena terlalu sering membantunya bekerja berganti dengan binar bahagia.
Rubhya mungkin telah menginjak usia yang menunjukkan kedewasaannya, berbeda dengan Eila yang masih anak-anak. Rubhya telah mengerti dengan segala permasalahan pun dengan masa lalu kehidupan keluarga mereka, gadis itu meskipun suka mengusili adiknya tapi selama ini Rubhya berperan baik membantunya menjaga Eila. Parvati merasa sedih sekaligus bahagia ketika menyadari usia mereka yang masih muda harus berjuang keras, membanting tulang hanya untuk bertahan hidup dari kesengsaraan.
Orang-orang mulai memasuki Salama yang sangat besar, namun tetap saja tidak dapat menampung seluruh rakyat negeri Inka yang berdatangan dari penjuru negeri. Bahkan ada imigran yang turut ikut melaksanakan doa bersama demi merayakan kemerdekaan negeri Inka.
Eila dan Rubhya harus menempati teras luar dengan beralaskan tikar jerami yang telah mereka persiapkan, mereka melawan sengatan matahari bersama ratusan orang lainnya. Pelaksanaan doa bersama di pimpin oleh seorang pria berpakaian sama dari yang lain, semua orang termasuk Eila memanjatkan doa dengan bersungguh-sungguh. Setelah perayaan doa bersama selesai, setiap orang akan mengantre panjang demi mendapatkan berkat berupa makanan khas Inka.
Masing-masing akan mendapatkan sekantung kecil buah Inka, namun buah ini berbeda dari jenis buah Inka yang didapatkan Eila ketika dihutan. Buah Inka ini adalah buah Inka yang di budidayakan di dalam istana, langsung di panen oleh petani handal dan tabib yang mampu meracik ramuan agar khasiat buah Inka ini terjaga. Buah Inka yang di budidayakan di istana ini mempunyai perbedaan warna dan ukuran dibandingkan buah Inka yang tumbuh di alam liar, buah Inka yang satu ini berwarna lebih terang dominan keemasan, khasiat buah Inka ini tidak diukur dengan seberapa kecil buahnya namun seberapa matang warna kulit buah Inka.
Buah Inka ini juga tidak memiliki batang berduri, buah Inka di jadikan sebagai salah satu berkat yang akan diterima oleh semua rakyat negeri Inka yang mengikuti perayaan hari kemerdekaan negeri Inka. Khasiatnya hampir dapat mengobati berbagai macam penyakit, bahkan batang dan daun Inka yang satu ini dapat mengobati penyakit luar.
Semua orang mengantri dengan sikap tidak sabar, para pasukan prajurit mengatur setiap orang untuk berbaris dengan rapih. Pembagian buah Inka ini tidak akan selesai jika semua rakyat berebutan dengan rakus dan sikap tak sabaran, namun untungnya rakyat negeri Inka sudah terbiasa dengan budaya mengantri. Eila dan Rubhya berada di shaf terakhir, menunggu beberapa jam sampai halaman Salama mulai lengang dengan beberapa puluh orang yang masih mengantre.
Dengan perut keroncongan seperti ini, Eila tentu saja tidak sabar menunggu beberapa orang lagi di depan mereka untuk menerima buah Inka. Para penjaga yang bertugas memberikan buah Inka bahkan terlihat menampakkan gurat wajah yang lelah.
Eila menjerit senang ketika menerima sekantung kecil buah Inka favoritnya, wajahnya yang tertekuk lama tadi berubah dengan binar bahagia. Penjaga itu ikut tersenyum melihat anak kecil yang berada diantrean terakhirnya itu kegirangan. Gurat wajah lelahnya bahkan terlihat memudar seiring dengan senyumnya yang makin melebar.
“Kau pasti lelah seharian menunggu dibawah sengatan matahari, seharusnya tadi kau ikut mengantre dibarisan pertama.” Ucap sang penjaga memakai jubah hitam dengan penutup kepala yang dibiarkan terlepas tak menutupi kepalanya. Eila mendongak dan menatap penjaga Salama itu dengan senyum lebar kekanakan.
“Tuan, bolehkah aku memasuki teras terdepan? Aku berjanji tidak akan nakal dan memasuki Salama tanpa seijin tuan.” Penjaga itu tampak terdiam sesaat mendengar permintaan Eila. Namun beberapa menit kemudian laki-laki itu tersenyum tipis sambil mengangguk, lantas Eila pun bergerak cepat ke arah teras depan, mengabaikan langkah kaki mungilnya yang sedikit terbatas karena gaun yang ia pakai saat ini.
Eila menyimpan buah Inka miliknya ke dalam keranjang yang ia simpan di samping kakinya. Tangannya yang mungil menengadah, matanya terpejam dengan mulut terkatup rapat.
Gadis kecil itu memohonkan permintaannya dalam hati. Mengabaikan angin yang mengibarkan selendangnya, dan suara bising lainnya yang sebenarnya mengganggu. Eila terhanyut dalam buaian kedamaian ketika permohonannya itu terucap dalam hati.
Seorang laki-laki mengamati dari kejauhan Salama itu, menatap lapar namun tak kentara sama sekali dari balik jubah merahnya yang benar-benar mencolok dari pakaian yang lain. Laki-laki itu berdiri dalam bayang-bayang bangunan tinggi yang saling berhimpitan, menjauhi keramaian karena penampilannya yang mencolok. Ia berdiri cukup lama sebelum acara doa bersama di Salama dilaksanakan, sudah cukup waktu sebelum aksinya dilancarkan saat itu juga.
Tiba-tiba cuaca yang semula begitu bagus mendadak kelam ketika sebuah suara cukup keras memekakkan telinga terdengar tak kejauhan dari Salama. Manusia-manusia yang berlalu lalang mulai panik ketika hujaman dari benda kecil tak kasat mata menghujam tubuh orang-orang di antara mereka satu-persatu, lalu tumbang di tempat dengan tubuh terbujur kaku tak sadarkan diri. Semua berteriak histeris dan ketakutan ketika serangan misterius tadi semakin membuat banyak orang tumbang.
Rubhya tadinya ingin segera membawa pergi Eila ketika sepasukan manusia berpakaian serba merah dengan jubah mulai bermunculan mengitari Salama, jumlahnya mungkin sekitar dua puluh orang namun berhasil menumbangkan penduduk Inka dengan jumlah yang banyak. Rubhya berlari mendekati Eila sebelum sengatan benda kecil tak kasat mata itu mengenai pinggangnya, gadis itu tersentak menatap adiknya sedetik sebelum kesadaran merenggut dirinya.
Para penjaga langsung dipukuli dengan kejam, orang-orang berjubah merah itu menghancurkan benda-benda disekitar Salama tanpa rasa segan. Pasukan istana tidak mengawal acara hari kemerdekaan seperti biasanya, bahkan sang Kaisar tak turut mengikuti upacara kemerdekaan, dan tujuan para pasukan berjubah hitam itu harus melesat karena dugaan mereka ternyata salah.
Eila masih setia berdiri ditempatnya tanpa merasa terganggu dengan keributan disekitar Salama. Gadis itu bahkan tidak sadar dengan apa yang terjadi, matanya masih terpejam dengan kedua tangan yang masih menengadah. Setelah itu ia merasakan keheningan disekitarnya, gadis itu memutuskan untuk membuka matanya dan menatap ke dalam Salama yang tampak sepi.
Eila meraih keranjang di dekat kakinya, lalu berbalik badan dan menemukan banyak tubuh manusia terbujur kaku diatas tanah. Gadis itu terperangah, keranjangnya jatuh dengan buah Inka yang ikut keluar dari keranjangnya.
Lalu tiba-tiba ia merasakan hidungnya menghirup bau dupa yang menyesakakan, dan sebelum kesadarannya terenggut samar-samar ia melihat seorang laki-laki berjubah hitam berdiri diatas tubuhnya dengan wajah yang begitu bengis dan mengerikan.
“Apa kau bilang?”
Laki-laki berpakaian militer kelas atas itu tertunduk dalam, tidak berani menatap mata sang Jenderal secara langsung. Kemarahan terasa menguar kuat sesaat setelah ia memberikan berita yang terjadi di Salama. Berita bahwa hampir seluruh rakyatnya yang berada disekitar Salama tak sadarkan diri karena obat bius yang ditembakkan melalui pipa kecil.
Akibatnya tabib yang ada di istana harus dikerahkan hampir semuanya untuk menangani seluruh rakyat yang terkena obat bius, belum lagi para penjaga yang mengalami luka parah akibat pukulan-pukulan yang cukup brutal. Kabar buruknya, ternyata para penyerang mencuri berbagai benda penting dari Salama.
Jenderal Bhoopat mengepalkan tangannya, tubuhnya bergetar karena terlalu antisipasi. Lalu setelah itu wajahnya menampakkan raut tenang dan berjalan menuju singgasananya dengan santai. Laki-laki pembawa berita itu mengerutkan alisnya ketika melihat perubahan ekspresi jenderalnya. Menyadari keanehan yang tiba-tiba saja membuatnya curiga.
“Bagus, kembalilah kepada pasukanmu. Aku ingin berita disebarkan ke seluruh penjuru negeri, hembuskan desas-desus pemberontakan pada negeri tetangga. Laporkan kembali padaku jika tugasmu selesai.” Sang Jenderal berucap dengan tenang dan emosi yang terdengar sedikit kejam. Meskipun bingung dengan titah atasannya namun laki-laki itu segera melaksanakan perintah itu tanpa berkomentar.
“Baik, jenderal. Saya akan melakukannya dengan baik.”
Jenderal Bhoopat mengisyaratkan tangannya, dan laki-laki itu segera meninggalkan ruangan. Ia terdiam cukup lama dalam keheningan kediamannya yang sepi karena hanya ada dirinya di tempat itu.
“Yang mulia, ada lagi yang harus saya laksanakan?”
Dari balik bayang-bayang sudut ruangan, seorang pria menunggu titah sang jenderal yang masih bergeming ditempatnya.
“Kau awasi saja laki-laki tadi, dan habisi jika ia jika berani melawan di belakangku.”
Pria itu mengangguk patuh lalu membungkuk hormat dan meninggalkan sang jenderal dari balik kegelapan. Kali ini Jenderal Bhoopat benar-benar sendiri diruangan besar itu, ia terlalu senang hingga suara tawanya membahana mengisi aula kediamannya. Membiarkan emosinya membuncah tanpa ditahan-tahan lagi.
*
Eila mengerjapkan matanya perlahan, tubuhnya terasa sangat ngilu dan sakit dibagian punggungnya membuatnya meringis ketika bergerak secara tiba-tiba. Ia masih belum dapat menyesuaikan matanya dengan kondisi sekitar yang terasa mencekam, bahkan untuk sekedar bernafas pun Eila harus menahan hirupannya agar tidak sesak. Ketika itu Eila merasa tubuhnya ditindih dengan benda berat yang terasa aneh.
Ruangan itu remang-remang, hanya bercahayakan sinar dari teralis kecil yang sengaja dibuat dengan ukuran mini dan letaknya yang berada diketinggian orang dewasa. Eila berusaha bangun ketika mendapati dirinya dalam ruangan pengap itu, namun benda yang menindihnya ini begitu berat dan lebih besar dari tubuhnya. Rasa hangat menjalar dari kulit tangannya, membuat Eila sejenak membeku dalam diam.
Kepanikan langsung muncul dalam raut mukanya yang tersamarkan kegelapan, Eila ingin berteriak namun terasa perih dengan kekeringan yang terasa membakar di tenggorokannya, suaranya berdecit pelan. Gadis itu tak mampu melakukan usaha apapun selain berusaha menyingkirkan benda asing dari atas tubuhnya itu, pergerakannya yang tiba-tiba membuat rasa sakit di punggungnya semakin menyengat dan ngilu. Ia tidak dapat melihat apapun selain cahaya samar dari jendela kecil diatas sana.
Mulutnya menganga ketika menyadari benda yang menindihnya yaitu seorang manusia, tubuh besar itu menindih sebagian dirinya dengan posisi telungkup. Ia sedikit meronta, berharap terbebas dari kungkungan laki-laki yang tidak diketahui olehnya itu.
Tiba-tiba suara berat itu menyela rontaan Eila dengan tajam, “diam.”
Eila mencoba untuk menurut meskipun getaran ketakutan itu semakin jelas, ia tidak dapat melihat wajah siapapun selain siluet hitam orang itu. Jelas-jelas itu adalah suara laki-laki. Eila semakin tercekat ketika laki-laki itu bergeser sedikit menjauh dari tubuhnya namun tetap mendaratkan tangannya untuk menutup mulut Eila.
Beberapa saat ruangan itu hening dengan nuansa mencekam, laki-laki itu memutuskan untuk membebaskan Eila dari cekalannya. Eila yang teramat ketakutan langsung beringsut lebih jauh dan dirinya menemukan tembok kasar yang menekan punggungnya dengan tajam. Eila meringis.
“Jangan coba-coba untuk berteriak, atau kau akan celaka.” Suara laki-laki itu terdengar dingin, dengan nada angkuh yang tidak disukai Eila. Meskipun begitu, dengan sisi anak-anaknya yang melekat, Eila menuruti perkataan laki-laki itu untuk menghindar dari aura intimidasi yang menakutkan.
Beberapa saat Eila terdiam dengan pikiran kacau, ia ingin segera beranjak pergi dari tempat mengerikan itu. Namun ia bahkan tidak tahu dimanakah ia berada.
“Kita akan mencari jalan keluar.” Laki-laki itu berbicara pelan, lebih mirip gumaman. Ia sama sekali tidak mau repot untuk melirik Eila.
Eila memejamkan matanya ketika rasa takut mengalahkan tekadnya untuk kabur. Laki-laki asing itu ternyata orang yang sama-sama diculik dan dikurung di tempat serupa penjara ini. Nasib keduanya sama-sama naas, diam-diam Eila bersyukur laki-laki itu bukanlah orang yang berbahaya meskipun di sisi lain ia bersikap sangat dingin dan tak terbaca.
Laki-laki itu menyandarkan tubuhnya di tembok, posisi tubuhnya terduduk seperti patung yang tidak bergerak sama sekali. Keduanya duduk berhadapan dalam jarak yang tidak terlalu jauh. Eila mengetahui pakaian yang dipakai laki-laki itu mahal karena terbuat dari kain yang terlihat sangat mewah, menandakan status bangsawan yang melekat dalam dirinya.
“Apa yang kau lihat?” Pipi Eila merona karena ketahuan tengah memperhatikan laki-laki itu. Rasa malu membuatnya memilih untuk menunduk dan mengabaikan pertanyaan ketus laki-laki itu.
“Kau ingin pulang?” Laki-laki itu kembali bertanya namun dengan suara yang terdengar biasa saja. Eila memberanikan diri untuk kembali menatap laki-laki itu dan mengangguk pelan sebagai jawaban. Tidak berniat membalasnya dengan ucapan karena ia takut salah berbicara.
Laki-laki itu tiba-tiba berdiri, membuat Eila memekik kecil dengan gerakan tiba-tibanya yang menyeramkan dimata Eila. Laki-laki itu berjalan menuju pintu kecil dengan lubang kecil ditengahnya. Tanpa aba-aba seolah terbiasa melakukan hal tersebut, ia menendang pintu itu dengan keras. Menimbulkan suara bedebum yang memekakkan telinga, Eila menutup telinganya karena terkejut.
Suara itu kembali terdengar dengan tendangan yang cukup keras, Eila menatap panik ke arah pintu. Usaha laki-laki itu untuk keluar dari pintu tersebut hanya akan memancing orang yang menculik mereka kemari. Eila langsung berniat menghentikan laki-laki itu dengan menyentuh tangannya.
“Eh-eh, bukankah menendang pintu itu hanya akan membuat mereka kemari? Tolong hentikan tindakanmu.” Eila memohon dengan suara putus asa, laki-laki itu malah menatap Eila dengan rahang mengeras kearah tangannya.
“Singkirkan tangan kotormu dariku.” Desisnya, Eila langsung melepaskan tangannya dan menatap takut wajah laki-laki itu.
Suara bedebum kembali terdengar, laki-laki itu menendangnya lebih kuat menimbulkan suara bedebum paling keras diantara yang lainnya. Lalu suara gaduh lainnya terdengar dari balik pintu, laki-laki itu langsung bersembunyi dibalik pintu dengan gerakan yang siap. Eila yang tidak tahu apa-apa hanya mengikuti apa yang dilakukan laki-laki itu, dan tidak lupa memberi jarak agar tidak menyentuhnya sedikitpun.
Suara kunci terbuka membuat laki-laki itu menyeringai. Lalu sebelum orang yang masuk ke dalam ruangan itu siap, laki-laki itu langsung menyerangnya tanpa ampun. Ia memukul tubuh laki-laki pembuka pintu itu dengan kuat dan bertubi-tubi. Menciptakan suara mengerikan ditelinga Eila yang saat ini tengah terpejam karena tak kuasa menatap adegan brutal dihadapannya.
“Hey kau, cepat ikuti aku atau kau akan terkurung disini selamanya!” Laki-laki itu setengah berbisik pada Eila yang masih gemetaran karena tak kuasa menahan rasa ngeri. Gadis itu mengangguk lalu berjalan mengikuti laki-laki itu dari belakang.
Ketika mereka keluar tidak ada satupun orang yang menjaga selain laki-laki yang masih tak sadarkan diri itu. Eila berlari mengikuti laki-laki dihadapannya. Penjara itu hanya berupa kamar kecil di sudut lorong, mereka mengikuti lentera yang terpasang di sisi tembok.
Mereka melihat pintu kayu yang terlihat bobrok dan tak memiliki knop pintu. Laki-laki itu menendang pintu tersebut dengan kuat, dan beruntungnya pintu tersebut langsung terlepas dan jatuh dengan suara keras.
Eila kesusahan bergerak karena selendangnya yang tersampir di bahu merosot tiap kali ia bergerak cepat. Hampir saja ia terjatuh karena menginjak pakaiannya sendiri, namun tertahan tubuh laki-laki dihadapannya yang jauh lebih besar darinya. Gadis itu mundur beberapa langkah menyadari bahwa laki-laki itu berhenti karena ujung dari lorong itu tak memiliki pintu.
Cahaya bulan dimalam itu terlihat jelas di sana, Eila belum merasa lega karena jalan keluar dari tempat itu ternyata berupa jurang yang dibawahnya merupakan lautan lepas. Eila mundur perlahan merasakan kengerian ketika ia membayangkan harus melompat dari tempat itu dengan ketinggian yang tak bisa diukurnya.
Dari belakang suara gaduh penjaga lain mulai mendekat ke arah mereka. Keadaan yang mendesak itu tak dapat dihindari selain jalan keluar di hadapan mereka. Sebelum Eila sempat membuka mulut, laki-laki itu langsung menarik tangannya dan membawanya melompat dari tempat tersebut sebelum Eila siap.
*
Menulis fantasi itu susah banget yak 😅
Avenger – 1. Melupakan Masa Lalu
5 Mei 2020 in Vitamins Blog
BAGIAN 1
MELUPAKAN MASA LALU
Kamar itu dilingkupi kesunyian yang menusuk relung hati, memaksa Ailesh terpental jauh ke masa lampau. Kamar itu menjadi saksi bahwa kisahnya telah menjadi masa lalu kelam dan merajutkan benang-benang hidupnya yang kusut. Namun kini kisah itu kini tinggal cerita pahit, ketika harapan yang ia coba genggam menorehkan luka yang menganga dan membekas dihatinya.
Ailesh memejamkan mata dengan rahang mengatup keras. Perasaan tak berguna ini membuatnya lemah, membuatnya terperdaya dan terus terpaku dengan masa lalu. Sekaligus membuatnya terlihat semakin pengecut dibalik topeng dingin yang selalu membentenginya.
Manusia munafik bertebaran di muka bumi, dan sialnya Ailesh harus bertemu dengan salah satu manusia seperti itu dengan kondisi yang tak terduga. Memaksanya untuk menundukkan segenap hatinya yang tinggi, menanggalkan tahtanya demi seonggok daging hidup tak berguna. Tangan Ailesh terkepal kuat, pergolakan emosi antara hati dan pikiran yang memaksanya untuk mengarungi pahitnya kenangan masa lalu.
“Pangeran, para prajurit menunggu anda di aula.” Seorang pelayan bergumam diluar pintu kamar, menghempaskan segenap jiwa Ailesh yang berkelana jauh dari kenyataan. Ailesh berbalik dengan sikap gusar, meninggalkan ruangan itu yang seolah menertawakannya.
“Ada apa?” Ailesh datang dengan gusar, wajahnya terlihat muram dengan ekspresi dingin tak terbaca. Keempat prajurit di hadapannya menunduk hormat.
Salah satu dari keempat prajurit itu maju dan berucap dengan suara sedikit gemetar, merasakan aura tidak menyenangkan dari Ailesh.
“Saya di perintahkan Kaisar untuk menyampaikan pesan, bahwa hari ini anda akan menemui kaki tangan pemberontak dari wilayah barat.”
Ailesh masih terdiam, menebarkan aura yang semakin tidak nyaman. Ia bukan sedang menimbang permintaan sang Kaisar, hanya saja perintah Kaisar yang tidak terduga itu membuat Ailesh merasa kesal. Laki-laki itu berdiri lalu berjalan melewati keempat prajurit yang masih termangu di tempatnya masing-masing.
Ailesh berjalan semakin jauh, dan sebelum laki-laki itu mencapai daun pintu ia mengeluarkan suaranya yang tenang namun tajam. “Apa yang kalian tunggu?”
Keempat prajurit langsung berdiri dan mengikutinya dengan terpogoh-pogoh, sekaligus mengutuk diri dalam hati karena Ailesh adalah laki-laki yang terkenal dengan perangai buruknya. Tubuh mereka yang besar berotot, tegap dan penampilan yang gagah itu berubah menciut jika berhadapan dengan Ailesh. Pangeran berdarah dingin, itulah gelar yang orang-orang berikan padanya.
Ailesh dan keempat prajurit menunggangi kuda dan segera memacu kuda ke hutan di wilayah barat kerajaan Inka. Kuda mereka melesat dengan cepat, menembus hutan rimbun yang semakin ke dalam semakin rimbun dan jarang terjamahi manusia. Dari jauh mata tajam Ailesh menangkap siluet tubuh dua laki-laki yang ia duga adalah kaki tangan pemberontak itu, Ailesh menekan perut kuda dan kudanya melesat semakin cepat.
Ke empat prajurit tertinggal beberapa meter dibelakangnya. Karena Ailesh sangat ahli berkuda dan juga kudanya ini adalah salah satu kuda tercepat dan terbaik dikerajaan.
Ailesh menghentikan kudanya dan menatap tajam kedua laki-laki dihadapannya yang tampak gemetaran dan langsung bersujud dihadapannya, lalu prajurit dibelakangnya langsung menghujamkan pedang ke arah mereka. Kedua laki-laki anggota pemberontakan itu sontak langsung terbelalak lebar melihat pedang tajam itu terhujam ke arah mereka tanpa diduga.
Namun ketegangan itu tergantikan dengan suara yang terdengar memekik kecil khas anak-anak, jelas-jelas itu bukan suara salah satu dari mereka dan rupanya membuat indra pendengaran tajam Ailesh bereaksi, wajahnya semakin dingin dan menyiratkan ekspresi terganggu.
“Siapapun itu, bunuh dia sekarang.” Ucapnya dengan tenang namun dingin menusuk.
Keempat prajurit di belakangnya bersama kedua laki-laki bertudung itu langsung berpencar ke segala arah tanpa menunggu lagi, mencari sumber suara. Ailesh mengerutkan alis dan sedikit terkekeh dalam hati menyadari bahwa prajurit-prajuritnya beserta kedua laki-laki tadi terlihat bodoh dengan mengabaikan bahwa sumber suara itu jelas-jelas berada sangat dekat dengan mereka. Ailesh memilih diam, menunggu sang kelinci yang akan segera menjadi buruannya itu keluar dan berlari ketakutan, dan tidak menunggu lama, mata tajam Ailesh langsung menangkap gerakan lincah seorang anak kecil yang berlari dari rerimbunan semak-semak berduri yang ia tahu bahwa itu adalah tanaman penghasil buah Inka.
Tanpa basa-basi Ailesh langsung mengejar anak kecil di hadapannya dengan kecepatan tinggi, mengejar sang buruan yang berlari dengan keranjang kecil dan kaki kecilnya yang begitu lincah. Ailesh tersenyum keji melihat buruannya itu tampak lincah dan lumayan gesit, mengartikannya sebagai tanda kalau buruannya itu ingin bermain-main dengannya.
“Berhenti kau bocah sialan!” Entah kenapa nada kasar itu keluar dari mulutnya tanpa kendali, senyum Ailesh berubah hancur ketika melihat buruannya itu berlari lebih cepat dari lari anak kecil biasa. Benar-benar buruan yang kuat.
Ia mengeluarkan anak panah dan langsung melesatkannya sesaat ketika anak kecil di hadapannya itu tiba-tiba memelankan langkah kakinya.
Beruntungnya anak panah itu dapat di hindari anak kecil tersebut dan malahan melesat menancap ke dalam batang pohon dihadapannya, Ailesh menggeram kesal mendapati bahwa untuk pertama kalinya ia tidak tepat sasaran, padahal jelas-jelas ia adalah anak-anak yang pastinya lebih lemah dari perempuan. Ailesh melihat tubuh kecil itu membeku ditempat, melihatnya yang kini berada begitu dekat dengannya.
Anak kecil itu langsung bersujud dan berkata dengan suara bergetar, “Aku mohon tuan, jangan bunuh hamba.” Ada nada suara yang membuat Ailesh membeku dalam sedetik, ketika ia mengerjap dan menyadari apa yang salah dalam dirinya hanya karna disebabkan suara anak tersebut.
Angin tertiup dengan halus, pohon-pohon seolah bergoyang menikmati tiap hembusan angin. Daun-daun berguguran menciptakan suasana berbeda di musim hujan kali ini. Dan Ailesh masih terdiam menatap kepala anak kecil tersebut yang masih bersujud dan menenggelamkan wajahnya sambil menahan isak tangis.
Ailesh mengernyitkan dahinya dalam, mengetahui perasaan asing yang membuatnya malah terpaku menatap anak perempuan itu. Lalu suaranya melunak dan tanpa diduga ia bertanya hal yang sama sekali tidak ada dalam pikirannya. “Siapa namamu?”
Ailesh dapat melihat gadis itu terperangah dibawahnya, namun dengan bibir bergetar ia memberanikan diri menjawab pertanyaan tak terduga itu, “Eila.” Suaranya nyaris berupa bisikan yang sarat akan makna namun begitu kebingungan dan polos.
Ailesh menajamkan matanya dan langsung tersadar dengan sesuatu yang berdenyut keras didalam kepalanya, ia kembali pada keadaan sadar dan berkata dengan nada yang sangat dingin.
“Maap Eila, tapi aku harus membunuhmu.” Anak perempuan itu menegang ditempat.
Ailesh menarik gagang pedangnya, sengaja membiarkan suara pedang yang bergesekan dengan tembaga itu terdengar ngilu dan mengerikan. Entah kenapa melihat anak kecil itu membuatnya kehilangan kendali, dengan perasaan yang lebih mengandalkan emosi yang tidak berguna dan melemahkan itu.
Lalu tanpa diduga gadis itu mendongakkan kepala dengan berani menatapnya dan berkata, “Apakah aku berbuat salah tuan?” Tanya gadis itu polos.
“Ibu berkata jika aku berbuat baik maka tidak akan ada orang yang berani menyakitiku, ” sambungnya dengan suara yang kini terdengar gemetar. Ailesh dapat melihat dengan jelas mata beriris merah kecoklatannya yang bulat dan basah karna air mata itu menatapnya dengan kebingungan, khas anak kecil.
Ailesh kembali terdiam, terperangah menatap kecantikan anak kecil itu meskipun tampak masih sangat muda. Rambut coklatnya yang lurus dan lebat berkibar dengan bau yang entah kenapa tercium begitu wangi di indranya. Garis wajahnya sangat menggemaskan sekaligus tenang, dan entah kenapa serasa tidak asing di matanya.
Entah berapa lama Ailesh hanya menatap anak kecil itu hingga ia menunduk kembali dan menangis terisak dalam diam. Ailesh menggeram dan tanpa membuang waktu, ia turun dari kudanya dan berjalan tenang ke arah gadis kecil itu yang kini kembali membeku menatap sepatunya dari balik bulu mata lentiknya itu.
Tanpa diduga tangan Ailesh menyentuh dagunya, membuat anak kecil itu tertegun sambil menatapnya.
Dari dekat Ailesh dapat melihat sepasang bola mata hazel milik Eila yang begitu jernih saat cahaya matahari memantul pada matanya. Gadis itu menatapnya dengan ketakutan, kepolosannya membuat Pria itu merasa gemas.
“Lain kali jangan pernah menguping pembicaraan orang dewasa, gadis kecil.” Gumamnya dengan nada yang tidak biasa, ia menatap sekali lagi Eila yang menatapnya dengan pandangan bertanya.
Ailesh langsung menaiki punggung kuda lalu meninggalkan Eila yang terdiam menatapnya dengan terkejut.
*
Eila menyibakkan gaunnya yang kotor, lalu meraih keranjang yang tergeletak dengan sebagian buah Inka yang keluar. Gadis kecil itu masih linglung, kepala mungilnya dipenuhi dengan kebingungan dan ketakutan. Tentu saja ia tidak dapat bernafas lega, selama ia belum berada di rumahnya.
Eila berjalan menyusuri jalanan setapak, berjalan cepat dan berharap tidak ada lagi hal-hal yang dapat menakutinya. Ia ingin segera pergi, secepat mungkin menjauh dari hutan itu. Air mata masih membasahi pipinya tanpa henti meski dengan susah payah ia tahan.
Ia menatap ke atas, menyadari bahwa sinar matahari mulai di telan gumpalan awan-awan hitam, tanda langit akan segera menurunkan hujan. Segera kaki kecilnya itu melangkah dengan lebar dan tergesa, berharap secepat mungkin ia dapat sampai setidaknya sampai pemukiman warga.
“Eila!” Suara itu membuat pandangan Eila beralih ke depannya. Parvati berdiri tidak jauh darinya, menatapnya dengan kerutan di dahi yang menandakan bahwa ia begitu khawatir pada Eila. Eila langsung berlari dengan tangisnya semakin pecah ketika melihat Parvati menemukannya.
“Tenanglah, ibu bersamamu.” Eila menatap ibunya yang masih memakai sarung tangan kain yang terlihat lusuh. Parvati adalah petani serabutan, dan kebetulan hari ini ibunya sedang memanen.
Eila tak mampu berkata-kata, ia melingkarkan tangannya pada leher jenjang Parvati. Perasaan takut itu masih membekas di ingatannya, jiwa gadis itu terguncang hebat. Alasan itu cukup membuat Eila tak mampu menggambarkan perasaannya selain menangis dan memeluk erat ibunya.
*
Istana kerajaan Inka tengah menggelar jamuan makan malam untuk para petinggi istana dan para pejabatnya. Kaisar Avan sengaja mengundang banyak orang untuk mensyukuri kelahiran pangeran Dhara. Kasim menghampiri Kaisar Avan, lalu membisikkan sesuatu. Pria itu mengisyaratkan tangannya dan kasim itu hanya mengangguk dan segera pergi.
Ailesh berdiri diam di pintu masuk balai utama, ia menatap keramaian istana yang hampir selalu mengadakan pertemuan dengan para petinggi kerajaan dan pejabatnya. Namun tak sekalipun Kaisar pernah mengundangnya untuk ikut ke dalam jamuan makan, atau bahkan pertemuan biasa sejak kejadian beberapa tahun silam.
“Kau benar-benar tak tahu malu, Ailesh.” Seorang pria berpakaian jenderal menghampirinya. “setelah kejadian itu, kau tak malu menginjakkan kakimu disini?” pria itu tersenyum mengejek.
“Apa mau mu Bhoopat?” Balas Ailesh tanpa menatap lawan bicaranya.
Laki-laki itu langsung tergelak mendengar sebutan Ailesh padanya. Wajahnya menyiratkan kegelian dengan pembawaan yang terlihat menyebalkan.
“Kau harus hormat padaku Ailesh, karena aku sekarang adalah Jenderal Besar.” Jenderal Bhoopat menekan bagian terakhir dengan menyeringai. Ailesh menatapnya datar dan sama sekali tidak terpengaruh dengan ucapan Jenderal Bhoopat yang begitu pongah menunjukkan kekuasaan padanya.
“Kaki tangan pemberontak sudah ku habisi, prajuritmu akan memberitahu dimana tempat persembunyian para pemberontak itu.” Ailesh membalikkan badannya dan melengos begitu saja tanpa penghormatan pada Jenderal Bhoopat. Dan bukannya tersinggung dengan sikap Ailesh, pria itu malah kembali tergelak lebih keras.
“Lupakan saja Prameswa-mu itu Ailesh, dan tunjukkan sikap hormatmu pada Kaisar Avan.” Suara Bhoopat berubah tajam dan tegas, ia menatap punggung Ailesh yang membeku setelah beberapa langkah berbalik darinya. Jenderal Bhoopat menyeringai puas melihat reaksi laki-laki itu.
Ailesh sama sekali tidak mau repot-repot berbalik menatap Jenderal Bhoopat dan menanggapi perkataan yang sengaja memancing kesabarannya. Dan laki-laki itu membalas perkataan Jenderal Bhoopat dengan lebih dingin. “Aku sudah melupakan wanita sialan itu, dan Kaisar tahu ia tidak boleh memikirkanku lagi jika ia tidak ingin dihukum dengan protokol kerajaan. Kau tahu itu Bhoopat.”
Ailesh meninggalkan tempat itu dengan langkah lebar, merasakan tusukan tajam mata Bhoopat yang malah memakan senjata pancingannya sendiri.
*
Bersambung
Terima kasih sudah menikmati tulisanku! Hayoloh, ini cerita lama yang diremake beberapa bagian karena masih kurang sreg. Sangat-sangat menerima kritik dan sarannya ehe…
Avenger – Prolog (Repost, new title)
1 Mei 2020 in Vitamins Blog
Langit pertama terdiri dari tujuh dunya yang masing-masing Negeri memiliki kekhasan dan keelokan tersendiri. Langit pertama menjadi tempat teraman sementara untuk menempatkan segala sumber kehidupan yang dahulu belum terbentuk.
Bumi pertama bernama Qiran, bumi ini adalah bumi yang mempunyai cuaca paling panas di langit pertama karena hampir seluruh negeri Qiran bergurun pasir dengan tumbuhan yang sedikit jarang ditemui. Negeri Qiran mempunyai kelebihan yaitu terbebas dari beberapa penyakit ganas karena sinar matahari yang dapat mengobati penyakit.
Bumi kedua bernama Bhayu, bumi ini begitu indah dengan hamparan rumputnya membentang luas mengelilingi Negeri Bhayu, Negeri ini begitu sejuk dan tentram di waktu-waktu yang ditetapkan, namun Negeri ini dapat menjadi berbahaya kala waktu badai datang. Negeri ini mempunyai badai yang hebat dan mengerikan dibandingkan dengan bumi lainnya dalam kurun waktu yang cukup lama.
Bumi selanjutnya adalah Geeta. Bumi Geeta adalah bumi yang paling menyenangkan di seluruh Langit pertama. Negeri Geeta menawarkan begitu banyak senandung dan musik yang menentramkan jiwa, untuk makhluk tertentu Negeri ini dapat menjadi Negeri pencipta racun. Beberapa senandung yang mereka ciptakan dapat mengantarkan manusia kepada kematian dengan cara yang benar-benar halus dan mengerikan.
Gushuma menjadi belahan bumi yang paling indah, bumi ini menghamparkan beribu jenis bunga indah yang menyegarkan indera penglihatan dan indera penciuman.
Pribumi Negeri Gushuma terkenal dengan keramahan dan kekhasan mereka yang selalu merayakan hari besar bunga yang digelar setahun sekali. Perayaan ini semata-mata untuk bersyukur kepada Yang Maha Esa. Bumi ini juga mempunyai nama lain yang disebut Negeri Neermala.
Belahan bumi Giryi merupakan belahan bumi paling besar dan paling berpotensi bahaya di dunya. Bumi ini mempunyai banyak gunung berapi yang tidak biasa, jika meletus pada waktunya gunung itu bukan hanya menyemburkan lava panas tapi juga abu beracun yang dapat membunuh manusia dalam beberapa menit. Bumi ini juga biasa disebut Cakra, banyak dari pribuminya berhasil mengembangan teknologi pesat.
Lalu ada pula belahan bumi yang penuh dengan perdamaian, bumi ini adalah Negeri Syanth. Negeri yang mempunyai kekayaan upala dan emas terbaik, itu sebabnya Negeri ini juga disebut Negeri Upala. Semua makhluk yang menginjakkan kakinya dibumi ini akan melupakan kedengkian dan kejahatan di hatinya, namun semua itu tidak berlaku pada makhluk Iblis.
Dunya Inka diberkahi dengan kelimpahannya yang mengugah segala hal sampai belahan bumi lain merasa sangat iri dengan kelimpahan yang diterima kaum Inka.
Bumi terkecil yang berada di langit pertama itu begitu terkenal diseluruh jagad langit pertama, dengan keindahan dan kesuburan yang melimpah ruah.
Negeri Inka juga terkenal dengan sebutan Negeri Pramitha. Segalanya dibumi ini begitu sempurna dan seimbang, tidak mematikan tapi tidak selalu aman.
Keseimbangan ekosistem bumi ini membuat bumi ini berbeda dengan bumi yang lain. Hal itu pula yang memancing beberapa raja dari bumi lain menggertak keberadaan Negeri Inka.
Bukan hanya itu saja, Negeri Inka yang suci terberkahi dengan kedatangan sepasang suami isteri yang turun langsung dari langit ketujuh dan menjadi pemimpin utama di langit pertama. Segalanya semakin memperindah keelokan Negeri Inka dengan kedatangan kedua manusia pilihan itu.
Meskipun setiap negeri di dunya mempunyai kerajaan dan pemerintahan tersendiri, namun tetap saja semua bumi dikawasan langit pertama itu tunduk dengan pemerintahan Negeri Inka yang kuat sekaligus tak dapat digoyahkan itu, beberapa bumi yang lain dahulu berlomba-lomba membawa pasukan mereka mencoba untuk menembus pertahanan Negeri Inka yang sangat kuat. Mereka mengincar sumber daya dan segala hal yang tidak ada di dunya mereka.
Menurut kepercayaan setempat, Negeri Inka dilindungi oleh pasukan asing yang berkeliling melingkupi bumi Inka yang kecil, pasukan itu bernama Bhup. Pasukan Bhup mempunyai tameng yang kuat, dapat mengalahkan beribu-ribu pasukan yang datang ke Negeri Inka silih berganti. Namun pasukan Bhup tidak selalu muncul, hanya ketika Negeri Inka benar-benar terancam pasukan ini muncul dengan persenjataan lengkap dan khas yang tidak dimiliki pasukan manapun termasuk pasukan militer Negeri Inka.
Ketujuh bumi itu disatukan dalam satu langit yang sama, dengan daratan yang berbeda dan bertingkat-tingkat sesuai keberadaan tanah negerinya. Lalu dibentengi dengan perairan luas yang memutuskan satu sama lain sekaligus memisahkannya.
Keindahan Sang Pencipta ini adalah salah satu anugerah yang patut di syukuri seluruh kaum langit pertama.
*
Eila menggerutu disepanjang langkah kakinya yang mungil itu, berjalan menyusuri jalan setapak kecil disepanjang hutan yang tidak terlalu menyeramkan dilewati seorang gadis sendirian. Tapi hutan tetaplah hutan, tidak ada yang bisa menangkis kalau-kalau ada makhluk buas yang bisa saja ditemuinya.
Gerutuannya masih terdengar samar-samar, hatinya kesal ketika pekerjaan yang biasanya di ambil oleh kakaknya Rubhya harus di alihkan padanya. Dan dia sangat benci ketika dipaksa dan diancam seperti itu. “Mau aku beritahu Ibu kalau kau tidak menurut pada kakak?”
Dengan ancaman seperti itu saja Eila lebih baik menyerah dan mengambilnya ketimbang harus berdebat dengan Rubhya yang pasti saja selalu berhasil memojokkannya.
Setelah beberapa menit menyusuri hutan tanpa mendapatkan apa-apa akhirnya Eila menemukan apa yang dicarinya. Di ujung jalan yang mengarah ke selatan itu terdapat semak-semak belukar yang nampak biasa saja dari jauh namun sangat berbahaya ketika dilihat dari dekat.
Orang-orang menyebutnya buah inka, sesuai dengan nama Negeri mereka. Inka berarti kecil, dan buah inka adalah salah satu buah yang tidak akan pernah tumbuh selain di Negeri inka dari seluruh dunya.
Menurut legenda buah inka tumbuh jauh sebelum langit pertama ditumbuhi kehidupan manusia, bahkan legenda mengatakan buah ini adalah tumbuhan pertama yang hidup di dunya.
Semakin kecil buah inka semakin lezat dan berkhasiat pula untuk tubuh, namun sebaliknya semakin besar buah inka semakin pahit dan beracun bila dimakan, tapi tetap berkhasiat dalam dunia pengobatan bila dikombinasikan dengan tanaman obat-obatan lainnya.
Tanaman liar itu memiliki buah-buah yang sangat kecil, sangat lezat dan bagus untuk tubuh, walaupun untuk memetiknya haruslah berhati-hati dengan duri-duri tajam yang menempel pada batangnya. Buah berwarna kuning pudar bila sudah matang itu sering ditemukan dihutan, namun karena sekarang musim penghujan sangat sulit menemukannya mengingat tumbuhan itu hanya sering tumbuh ketika musim-musim selain penghujan.
Gadis itu langsung berlari secepat mungkin saking kelewat bahagianya mendapati satu-satunya semak-semak yang berhasil ditemukannya. Ia menyimpan keranjang disisi kanan tubuhnya, lalu mulai memetik buahnya tanpa memperdulikan duri-duri tajam yang bisa saja menusuk kulitnya.
‘srrkk’
Ketika Eila tengah asyik memetik buah inka tiba-tiba ia merasa waspada, suara gesekan itu terdengar seperti langkah kaki namun seperti mengendap-endap.
Eila langsung bersembunyi di balik tanaman liar itu demi melindungi dirinya dari bandit yang sewaktu-waktu bisa saja memilih hutan itu untuk melancarkan aksi jahatnya.
Eila bukan anak pemberani jika ia ingin jujur pada dirinya saat ini, namun terkadang situasi memaksanya untuk selincah mungkin menghindari kemungkinan-kemungkinan yang bisa melukainya, ibunya mengajarkan banyak hal padanya agar Eila dapat melindungi dirinya bahkan disaat ia masih kecil seperti ini.
“Apa kau yakin kita akan menemui mereka ditempat ini?” Sebuah suara pria asing mengisi pendengaran Eila saat ini, ia tidak tahu berapa orang diluar semak-semaknya ini namun ia sama sekali tidak mendengar suara langkah kaki gaduh.
Eila bukan anak pemberani jika ia ingin jujur pada dirinya saat ini, namun terkadang situasi memaksanya untuk selincah mungkin menghindari kemungkinan-kemungkinan yang bisa melukainya, ibunya mengajarkan banyak hal padanya agar Eila dapat melindungi dirinya bahkan disaat ia masih kecil seperti ini.
“Kita tunggu saja, tugas kali ini harus berhasil. Memangnya kau mau dipenggal oleh Yang Mulia?” Suara lain menyahut, Eila mengintip dibalik semak-semak mencoba memastikan ada berapa orang jahat diluar sana. Ia tidak dapat melihat wajah kedua pria dewasa itu, posisi mereka berdiri memunggunginya dan jelas-jelas mereka hanya berdua.
Pria itu memakai jubah hitam, salah satu pria memakai tudungnya sehingga tidak nampak sama sekali wajahnya. Pria yang satu lagi melepas tudungnya, ia tidak memiliki rambut sehelaipun.
Lama kedua pria itu terdiam, salah satu pria yang memakai tudung bersuara. “Kau yakin tidak ada orang yang akan melihat kita disini?”
Pria tidak berambut menoleh dan wajahnya terlihat dari samping walau tidak menampakkan seluruhnya, pria itu menatap temannya kesal. “Tutup saja mulutmu, jangan banyak tanya!” Geramnya.
Eila terdiam bingung, apakah ia harus segera pergi dari tempat itu menghindari kemungkinan dua pria asing itu menemukannya lalu mereka bisa saja membunuhnya, atau ia tetap saja disitu menyaksikan kejadian apa yang akan terjadi setelahnya. Lama menimbang-nimbang akhirnya Eila lebih memilih untuk menyaksikan apa yang akan terjadi.
Beberapa menit berlalu namun tidak ada kejadian apapun yang seperti ada didalam benak Eila, berlama-lama bersembunyi seperti itu membuat Eila lelah dan ia hampir saja memutuskan untuk pulang sebelum suara gemerisik sepatu kuda terdengar mendekat ke arah dua pria asing tadi.
“Mereka datang,” bisik si pria bertudung. Dari arah depan mereka terlihat lima penunggang kuda dengan pakaian militer, Eila tidak tahu jelas karena ia jarang sekali keluar lingkungan rumahnya makanya ia sangat tidak mengetahui perkembangan yang terjadi.
Dengan perasaan yang was-was Eila menatap lekat-lekat para penunggang kuda itu, entah kenapa ekspresi wajah dan penampilan mereka sangat menonjol. Salah satu dari kelima penunggang kuda itu lebih menonjol dengan baju zirah yang berwarna seperti emas.
Pakaian zirah menandakan mereka adalah para pejuang diperbatasan, walaupun berjasa besar tetapi tetap saja kasta mereka sama-sama rendah. Hanya para bangsawan yang menduduki kasta tinggi yang membuat mereka merasa wajib dihormati.
Kedua pria berjubah itu langsung bersujud dihadapan para penunggang kuda, namun tiba-tiba saja salah satu penunggang kuda menghunuskan pedangnya ke depan, sikap yang tanpa diduga itu membuat Eila terkejut dan tanpa sadar tangannya menggores batang berduri. Ia memekik kecil dan langsung menutup mulutnya saat orang-orang dihadapannya itu langsung terjaga dan menatap liar ke segala arah. Eila panik dan semakin panik saat salah satu penunggang kuda berbaju zirah berwarna emas itu langsung bersuara.
“Siapapun itu, bunuh dia sekarang.”
Suara dingin penuh dengan ancaman itu berhasil membuat tubuh Eila bergetar hebat, keempat penunggang kuda dibelakang pria bersuara mengerikan, dan kedua pria bertudung langsung berpencar ke segala arah mencari sumber suara yang jelas-jelas tidak jauh dari tempat asal mereka tadi. Eila memejamkan mata dan merasa suara gemerisik orang-orang tadi menghilang. Eila langsung berlari dari tempat persembunyiannya, berlari ke segala arah menghindari orang-orang asing tadi.
Ia tidak memperdulikan tangannya yang kini terasa perih, ia hanya ingin terus berlari sekuat mungkin dan berharap agar ia selamat dari orang-orang yang mencoba mencari dan membunuhnya. Dari arah belakang suara sepatu kuda sayup-sayup terdengar, dan semakin jelas saat Eila dengan seksama mendengar suara teriakan kuda semakin mendekat. Eila menggigil ketakutan, pikirannya kacau balau dan ia benar-benar ingin pergi saat itu juga.
“Berhenti kau bocah sialan!”
Teriakan kasar itu mengintimidasi, suara dengan penuh wibawa dan keangkuhan yang sangat tinggi. Eila langsung berlari kembali, hutan ini memang mengerikan namun orang yang mengejarnya saat ini lebih mengerikan. Ia terus berlari dan berlari ke segala arah sehingga sampailah ia di jalan setapak yang tadi sempat ia lewati, Eila tersenyum lega mendapati ada harapan ia keluar dari hutan itu, namun senyumnya luntur seketika saat anak panah melesat tepat menusuk pohon di depannya dalam hitungan yang tidak sampai satu detik.
Eila berbalik dan langsung berhadapan dengan bola mata beriris cokelat keemasan yang menatapnya dengan dingin dan murka, wajah tegas dengan rahang tinggi yang mengatup keras.
“Aku mohon tuan, jangan bunuh hamba.” Eila bersujud, tubuhnya bergetar hebat lantaran benar-benar ketakutan. Pria dewasa dihadapannya ini adalah orang paling mengerikan yang pernah ia temui, air matanya menetes meratapi nasibnya yang sebentar lagi direnggut.
Angin tertiup dengan halus, pohon-pohon seolah bergoyang menikmati tiap hembusan angin. Daun-daun berguguran menciptakan suasana berbeda di musim hujan kali ini.
Lama keduanya terdiam dan Eila hanya bisa menangis diam-diam tanpa bisa mencari jalan keluar. Pikirannya habis direnggut dengan bayang-bayang kematian, ia tak pernah menyangka hal semengerikan itu terjadi padanya.
“Siapa namamu?” Suara itu terdengar sedikit berperasaan walau benar-benar datar, Eila tersentak dan semakin menenggelamkan wajahnya kebawah tanah. Dengan bibir bergetar ia menjawab pertanyaan tak terduga itu, “Eila.” Suaranya nyaris berdecit, tenggorokannya kering dan Eila berusaha menelan ludahnya dengan susah payah.
“Maap Eila, tapi aku harus membunuhmu.” Eila menegang ditempat.
Suara pedang yang bergesekan dengan tembaga itu terdengar ngilu dan mengerikan, alarm tanda kematian akan segera menjemput membuat Eila semakin kebingungan berada dalam situasi genting yang tak pernah terlintas dipikirannya.
“Apakah aku berbuat salah tuan?”
Tanya gadis itu dengan polos. “Ibu berkata jika aku berbuat baik maka tidak akan ada orang yang berani menyakitiku, ” sambungnya dengan suara yang kini terdengar menyiksa. Air mata kembali menetes membasahi bulu mata lentiknya. Mata dengan iris merah kecoklatannya yang bulat menatap pria itu dengan marah, khas anak kecil.
Pria itu terdiam menatap dalam-dalam Eila yang kini menemukan keberanian untuk menatap pria dihadapannya itu. Angin berhembus dan menerpa wajah Eila, rambutnya yang bergelombang tertiup angin. Eila kembali menatap tanah sambil terisak pelan.
Tanpa diduga Pria itu turun dari kudanya lalu berdiri tepat didepan Eila yang kini masih menunduk dalam, jantungnya berdegup kencang seolah saat itu juga jantung mungilnya itu akan segera dicabut.
Tangan Pria itu tanpa diduga menyentuh dagunya, membuat Eila benar-benar sulit untuk berpikir apa ia benar-benar akan mati atau pria itu kini sedang mengulur waktu?
Dari dekat Pria itu menatap sepasang bola mata karamel milik Eila yang begitu jernih saat cahaya matahari memantul pada matanya.
Gadis itu menatapnya dengan ketakutan, kepolosannya yang jelas-jelas terlihat itu membuat Pria itu merasa gemas. “Lain kali jangan pernah menguping pembicaraan orang dewasa, gadis kecil.” Gumamnya dengan nada yang tidak biasa, ia menatap sekali lagi Eila yang menatapnya dengan pandangan bertanya.
Ailesh langsung menaiki punggung kuda lalu meninggalkan Eila yang terdiam menatapnya dengan terkejut. Nyawanya nyaris saja melayang, namun akhirnya ia bisa bernafas lega walaupun ada kebingungan yang membuatnya terdiam lebih lama dalam posisi setengah terduduk. Pria itu akan selalu terlukis dibenaknya, orang paling mengerikan yang pernah ia temui.
Sebuah mimpi buruk yang akan menghantuinya di malam-malam selanjutnya.
*
Pertemuan Asing
27 Desember 2017 in Vitamins Blog
Waktu tetap berputar semestinya meski aku dan kamu tak lagi ditempat yang sama. Jalan yang kita pilih dari awal itulah yang membawaku dan dirimu berjarak dari tempat terdekat yang pernah kita singgahi. Meski awalnya berat, namun kaki ini tetap melangkah menjauh, memilih untuk tak lagi mengambil resiko jika pada akhirnya kita bersama hanya untuk saling menyakiti.
Pertemuan kita di awali dengan pertemuan asing, sebagaimana aku menganggapmu sebagai hembusan angin biasa kala musim panas hari itu. Aku tak peduli, hanya saja aku penasaran karena kau tak kunjung memperlihatkan diri, tapi meninggalkan banyak pesan lewat orang lain.
“Dasar pengecut, goda orang aja musti lewat perantara!”
Aku tak pernah menganggap semua pesan-pesan yang teman-temanmu sampaikan padaku itu sebagai kode apalagi ancaman untuk waspada. Daripada menghadapi laki-laki tak jelas rupanya bagaimana, lebih baik aku pergi menenangkan diri setelah ujian akhir semester itu berakhir.
Aku berpaling ke segala arah ketika suara seorang lelaki memanggil nama panjangku. Tapi tak ada satupun manusia yang ku kenali diatas sana, hanya ada orang-orang asing yang lalu lalang serta beberapa anak laki-laki yang berdiri menghalangi jalan koridor dekat tangga.
Sekali lagi aku berpaling hanya untuk menemukan wajah-wajah asing lagi, tapi itu gerombolan anak laki-laki, aku tau mereka biasanya suka menjahili murid perempuan. Aku mendengus, entah kenapa seseorang hobi sekali memanggil nama panjangku. Terlebih itu orang asing, yang pastinya tak akan aku pedulikan siapa itu.
Land Under Heaven : Wanita Gelap
25 Juli 2017 in Vitamins Blog
Land Under Heaven : Wanita Gelap
“Yang mulia, ada lagi yang harus saya laksanakan?”
Dari balik bayang-bayang sudut ruangan, seorang pria menunggu titah sang Raja yang masih bergeming ditempatnya.
“Kau awasi saja mereka, dan habisi jika ada pihak yang berani melawan dibelakangku.” titah sang Raja.
Pria itu mengangguk patuh lalu membungkuk hormat dan meninggalkan sang Raja dari balik kegelapan. Kali ini sang Raja benar-benar sendiri diruangan besar itu, Raja Bhoopat terlalu senang hingga suara tawanya membahana mengisi aula istananya. Membiarkan emosinya membuncah tanpa ditahan-tahan.
*
Eila mengerjapkan matanya perlahan, tubuhnya terasa sangat ngilu dan sakit dibagian punggungnya membuatnya meringis ketika bergerak secara tiba-tiba. Ia masih belum dapat menyesuaikan matanya dengan kondisi sekitar yang terasa mencekam, bahkan untuk sekedar bernafas pun Eila harus menahan hirupannya agar tidak sesak. Ketika itu Eila merasa tubuhnya ditindih dengan benda berat yang terasa aneh.
Ruangan itu remang-remang, hanya bercahayakan sinar dari keluar keadaan penjagaan sangatcelah jendela. Eila berusaha bangun ketika mendapati dirinya dalam ruangan pengap itu, namun benda yang menindihnya ini begitu berat dan lebih besar dari tubuhnya. Rasa hangat menjalar dari kulit tangannya, membuat Eila sejenak membeku dalam diam.
Kepanikan langsung muncul dalam raut mukanya yang tersamarkan kegelapan, Eila ingin berteriak namun terasa perih dengan kekeringan yang terasa membakar di tenggorokannya, suaranya berdecit pelan. Gadis itu tak mampu melakukan usaha apapun selain berusaha menyingkirkan benda asing dari atas tubuhnya itu, pergerakannya yang tiba-tiba membuat rasa sakit di punggungnya semakin menyengat dan ngilu. Ia tidak dapat melihat apapun selain cahaya samar dari jendela kecil diatas sana.
Mulutnya menganga ketika menyadari benda yang menindihnya yaitu seorang manusia, tubuh besar itu menindih sebagian dirinya dengan posisi telungkup. Ia sedikit meronta, berharap terbebas dari kungkungan laki-laki yang tidak diketahui olehnya itu.
Tiba-tiba suara berat itu menyela rontaan Eila dengan tajam, “diam.”
Eila mencoba untuk menurut meskipun getaran ketakutan itu semakin jelas, ia tidak dapat melihat wajah siapapun selain siluet hitam orang itu. Dan jelas-jelas itu adalah suara laki-laki dewasa. Eila semakin tercekat ketika laki-laki itu bergeser sedikit menjauh dari tubuhnya namun tetap mendaratkan tangannya untuk menutup mulut Eila.
Beberapa saat ruangan itu hening dengan nuansa mencekam, laki-laki itu memutuskan untuk membebaskan Eila dari cekalannya. Dan Eila yang teramat ketakutan langsung beringsut lebih jauh dan dirinya menemukan tembok kasar yang menekan punggungnya dengan tajam. Eila meringis.
“Diam disini dan jangan coba-coba untuk memberontak, atau kau akan celaka.” Suara laki-laki itu terdengar dingin, dengan nada angkuh yang tidak disukai Eila.
Meskipun begitu, dengan sisi anak-anaknya yang melekat, Eila menuruti perkataan laki-laki itu untuk menghindar dari aura intimidasi yang menakutkan.
Beberapa saat Eila terdiam dengan pikiran kacau, ia ingin segera beranjak pergi dari tempat mengerikan itu. Namun ia bahkan tidak tahu dimanakah ia berada.
“Kita akan mencari jalan keluar.” Laki-laki itu berbicara pelan, lebih mirip gumaman. Ia sama sekali tidak mau repot untuk melirik Eila.
Eila memejamkan matanya ketika rasa takut mengalahkan tekadnya untuk kabur. Laki-laki asing itu ternyata orang yang sama-sama diculik dan dikurung di tempat serupa penjara ini. Nasib keduanya sama-sama naas, diam-diam Eila bersyukur laki-laki itu bukanlah orang yang berbahaya meskipun di sisi lain ia bersikap sangat dingin dan tak terbaca.
Laki-laki itu menyandarkan tubuhnya di tembok, posisi tubuhnya terduduk seperti patung yang tidak bergerak sama sekali. Keduanya duduk berhadapan dalam jarak yang tidak terlalu jauh. Eila mengetahui pakaian yang dipakai laki-laki itu mahal karena terbuat dari kain yang terlihat sangat mewah, menandakan status bangsawan yang melekat dalam dirinya.
“Apa yang kau lihat?” Pipi Eila merona karena ketahuan tengah memperhatikan laki-laki itu. Rasa malu membuatnya memilih untuk menunduk dan mengabaikan pertanyaan ketus laki-laki itu.
“Kau ingin pulang?” Laki-laki itu kembali bertanya namun dengan suara yang terdengar biasa saja. Eila memberanikan diri untuk kembali menatap laki-laki itu dan mengangguk pelan sebagai jawaban. Tidak berniat membalasnya dengan ucapan karena ia takut salah berbicara.
Laki-laki itu tiba-tiba berdiri, membuat Eila memekik kecil dengan gerakan tiba-tibanya yang menyeramkan dimata Eila. Laki-laki itu berjalan menuju pintu kecil dengan lubang kecil ditengahnya. Tanpa aba-aba seolah terbiasa melakukan hal tersebut, ia menendang pintu itu dengan keras. Menimbulkan suara bedebum yang memekakkan telinga, Eila menutup telinganya karena terkejut.
Suara itu kembali terdengar dengan tendangan yang cukup keras, Eila menatap panik ke arah pintu. Usaha laki-laki itu untuk keluar dari pintu tersebut hanya akan memancing orang yang menculik mereka kemari. Eila langsung berniat menghentikan laki-laki itu dengan menyentuh tangannya.
“Tuan, bukankah menendang pintu itu hanya akan membuat mereka kemari? Tolong hentikan tuan.” Eila memohon dengan suara putus asa, laki-laki itu malah menatap Eila dengan rahang mengeras kearah tangannya.
“Singkirkan tangan kotormu dariku.” Desisnya, Eila langsung melepaskan tangannya dan menatap takut wajah laki-laki itu.
Suara bedebum kembali terdengar, laki-laki itu menendangnya lebih kuat menimbulkan suara bedebum paling keras diantara yang lainnya. Lalu suara gaduh lainnya terdengar dari balik pintu, laki-laki itu langsung bersembunyi dibalik pintu dengan gerakan yang siap. Eila yang tidak tahu apa-apa hanya mengikuti apa yang dilakukan laki-laki itu, dan tidak lupa memberi jarak agar tidak menyentuhnya sedikitpun.
Suara kunci terbuka membuat laki-laki itu menyeringai. Lalu sebelum orang yang masuk ke dalam ruangan itu siap, laki-laki itu langsung menyerangnya tanpa ampun. Ia memukul tubuh laki-laki pembuka pintu itu dengan kuat dan bertubi-tubi. Menciptakan suara mengerikan ditelinga Eila yang saat ini tengah terpejam karena tak kuasa menatap adegan brutal dihadapannya.
“Hey kau, cepat ikuti aku atau kau akan terkurung disini selamanya!” Laki-laki itu setengah berbisik pada Eila yang masih gemetaran karena tak kuasa menahan rasa ngeri. Gadis itu mengangguk lalu berjalan mengikuti laki-laki itu dari belakang.
Ketika mereka keluar tidak ada satupun orang yang menjaga selain laki-laki yang masih tak sadarkan diri itu. Eila berlari mengikuti laki-laki dihadapannya. Penjara itu hanya berupa kamar kecil di sudut lorong, mereka mengikuti lentera yang terpasang di sisi tembok.
Mereka melihat pintu kayu yang terlihat bobrok dan tak memiliki knop pintu. Laki-laki itu menendang pintu tersebut dengan kuat, dan beruntungnya pintu tersebut langsung terlepas dan jatuh dengan suara keras.
Eila kesusahan bergerak karena selendangnya yang tersampir di bahu merosot tiap kali ia bergerak cepat. Hampir saja ia terjatuh karena menginjak pakaiannya sendiri, namun tertahan tubuh laki-laki dihadapannya yang jauh lebih besar darinya. Gadis itu mundur beberapa langkah menyadari bahwa laki-laki itu berhenti karena ujung dari lorong itu tak memiliki pintu.
Cahaya bulan dimalam itu terlihat jelas di sana, Eila belum merasa lega karena jalan keluar dari tempat itu ternyata berupa jurang yang dibawahnya merupakan lautan lepas. Eila mundur perlahan merasakan kengerian ketika ia membayangkan harus melompat dari tempat itu dengan ketinggian yang tak bisa diukurnya.
Dari belakang suara gaduh penjaga lain mulai mendekat ke arah mereka. Keadaan yang mendesak itu tak dapat dihindari selain jalan keluar di hadapan mereka. Sebelum Eila sempat membuka mulut, laki-laki yang bersamanya langsung menarik tangannya dan membawanya melompat dari tempat tersebut sebelum Eila siap.
*
Semburat jingga di ufuk timur begitu mempesona, dengan desiran angin yang berhembus lembut ketika menyentuh kulit. Namun perasaan Parvati tetap saja gundah gulana, layaknya seorang kekasih yang bermuram durja atas kepergian belahan jiwa. Dan Parvati tak dapat mengenyahkan perasaannya itu meskipun ia bekerja keras sepanjang hari untuk mengalihkan perhatiannya.
Enam tahun adalah waktu yang cukup lama, dua tahun lagi akan terhitung sewindu kepergian buah hatinya. Eila menghilang beberapa tahun silam setelah kudeta yang terjadi di kuil Alindra. Hanya Eila seorang yang tidak selamat dari tragedi tersebut.
Entah bagaimana nasib Eila saat ini, apakah ia masih hidup atau telah tiada. Hati Parvati masih diliputi kecemasan tak berujung, meskipun tahun-tahun telah berlalu tetapi harapannya kian padam. Ia berharap suatu hari nanti ia akan melihat putrinya kembali ke rumah dalam keadaan yang baik-baik saja.
Langit telah memudarkan semburat jingga dan berganti dengan kegelapan malam yang menggigit. Parvati enggan beranjak dari kuil Alindra, tubuhnya yang mulai sakit-sakitan diabaikannya karena masih menyimpan rindu yang mendalam pada sang buah hati. Sentuhan yang terasa lembut di bahunya membuat Parvati mengalihkan perhatian.
“Ayo pulang ibu.” Rubhya menatapnya sendu, membuat rasa bersalah dalam dada Parvati semakin besar karena ia terkadang melupakan Rubhya yang kini semakin dewasa. Namun kasih sayangnya tetap sama rata, meskipun Eila saat ini tak ada. Rubhya tetap berada di sampingnya.
Semenjak menghilangnya Eila, bukan hanya Parvati yang sedih dan bermuram durja. Rubhya diliputi rasa bersalah teramat besar karena tak dapat menjaga amanah ibunya untuk menjaga Eila ketika mereka tak bersama.
Meskipun Rubhya terlihat baik-baik saja namun didalam hatinya ia sangat rapuh memendam rasa itu, terkadang Parvati mendapati anak gadisnya itu menangis di malam-malam yang sepi karena tak dapat membendung rasa bersalah dan sedih karena kehilangan sosok adiknya.
Hari ini Parvati dan Rubhya sengaja menyempatkan diri untuk mampir di kuil Alindra yang mengalami perubahan setelah insiden kudeta. Halaman luas kuil Alindra yang dahulu tidak memiliki pembatas apapun kini dilindungi semacam benteng tinggi menyerupai pilar-pilar yang disusun dengan jarak satu meter disetiap pilarnya memiliki satu penjaga. Setiap pengunjung atau orang yang ingin berdoa di kuil tersebut harus diperiksa secara ketat untuk meminimalisir kejadian dimasa lalu.
Parvati diam untuk sesaat sebelum menerima uluran tangan Rubhya yang mengajaknya untuk segera beranjak sebelum malam semakin gelap gulita. Mereka tidak sengaja melewati kuil tersebut yang letaknya dipusat kota, tujuan awal mereka yang akan berniaga ke negeri syanth untuk menjual hasil panen yang melimpah tahun ini.
Meskipun Rubhya menolak ibunya untuk ikut dalam perjalanan yang pastinya melelahkan, Parvati tetap dengan keras kepala mengikuti anak gadisnya pergi kemanapun, walau dengan resiko tubuhnya yang semakin tak sanggup menanggung lelah yang tak berujung.
Setelah menghilangnya Eila, ia tak akan membiarkan Rubhya buah hatinya yang lain ikut pergi meninggalkannya lagi.
*
Suara ombak nyaris terdengar keras bagaikan pertanda Yang Maha Esa bahwa suatu bencana akan segera datang. Namun meskipun begitu, orang-orang berpakaian lusuh dan sangar ini tak gentar sama sekali. Mereka terlelap dalam balutan mimpi yang begitu nyaman memeluknya.
Bahkan meskipun keadaan kapal saat itu terguncang cukup keras, mereka sama sekali tak terganggu. Tidak ada yang terjaga malam itu, kecuali seorang gadis yang saat ini tengah menatap nyalang jendela kaca yang menampilkan aura seram air laut yang seakan-akan tengah mengamuk. Ia sama sekali tak takut dengan pemandangan tersebut, ia hanya ingin merasa nyaman sejenak namun dalam keadaan kesadaran yang terjaga.
Hidupnya sama seperti kapal ini, terombang ambing ditengah lautan luas yang sewaktu-waktu pasti akan menenggelamkannya apabila ia tidak berusaha untuk mencari tempat berlabuh. Ia sudah berusaha sekuat tenaga, mengorbankan tubuhnya yang menjadi sasaran kekejaman para awak kapal yang biadab. Namun usahanya belum berbuah sama sekali.
Gadis ini memiliki rambut berwarna merah menyala, sangat kontras dengan kulitnya yang begitu pucat. Tubuhnya kurus dan memiliki lebam yang cukup banyak, satu tindakan pintar yang ia lakukan maka ia akan memiliki lebam baru ditubuhnya. Pakaiannya lusuh dan sedikit kebesaran, namun tidak cukup membuat tubuhnya bertahan melawan dinginnya malam yang menggigit saat ini.
“Rajani, Kau tidak tidur?” Seorang gadis berambut hitam muncul dari balik pintu. Wajahnya terlihat kotor dengan debu namun kecantikannya tetap terpampang jelas. Gadis itu mengetahui kebiasaan ketika semua orang memilih tidur, hanya seorang Rajani yang tidak akan memilih tidur ketika suasana laut mencekam.
Rajani tersenyum kecil menatap Cetta yang terlihat kelelahan. Gadis itu berstatus budak yang membuatnya memiliki tugas-tugas berat, status yang lebih baik dari pada dirinya yang memiliki sebutan Rajani. Seorang wanita gelap.
“Mengapa kau juga tidak tidur?” Rajani balik bertanya, membuat raut kelelahan Cetta berganti dengan senyum masam.
“Ketika semua bajingan itu tidur dengan nyaman, hanya aku dan kau yang tidak akan tidur. Kau tahu, meskipun kau disini berstatus Rajani tapi kau tak memiliki kelompok. Sedangkan aku, mempunyai kelompok tapi sama bajingannya dengan mereka.” Mulut Cetta rasanya gatal untuk tidak mengucapkan kata-kata kasar itu.
Rajani tersenyum kecut mendengar ucapan Cetta yang malah menambah rasa sakit dihatinya. Ia benci menjadi Rajani, karena ia bukan Rajani. Ia tidak rela tubuhnya dijadikan pelampiasan.
“Ayo kita melarikan diri. Aku ingin pulang.” Rajani menatap nyalang keluar sana. Cetta mendadak terdiam karena ia tahu saat ini Rajani tengah menahan rasa sakit karena bertahun-tahun diperlakukan tak berharga oleh semua awak kapal ini.
Cetta mengenal Rajani dua tahun yang lalu ketika dirinya diseret secara paksa oleh para perompak untuk ikut berlayar bersama mereka. Ia sebenarnya mempunyai keluarga namun pamannya yang gelap mata mengorbankan dirinya sebagai jaminan dari perjudiannya. Dan pamannya kalah telak, membuat hidup Cetta terpisah jauh dari keluarganya.
Awalnya Cetta berani melawan karena ia dipenuhi dengan gejolak amarah yang membuatnya lupa diri, namun para perompak itu ternyata sangat kasar dan barbar. Setiap pemberontakan kecil yang dilakukannya, ia akan dipukuli habis-habisan atau bahkan ada yang berani mengotori tubuhnya dengan tangan-tangan jahil. Ketika hal itu terjadi, Rajani melindunginya dengan menanggung para perompak, tubuh Rajani yang lebih mungil darinya ternyata lebih kuat menanggung itu semua.
Sejak saat itulah Cetta mulai gencar mendekati Rajani yang sangat pendiam dan dingin. Wajahnya ketika dipukuli hanya sebuah kerutan samar yang mengerikan untuk orang normal lihat. Siapa yang tahan dipukul habis-habisan oleh tubuh besar laki-laki?
“Apa kau merasa sedih saat ini?” Cetta bertanya dengan hati-hati, dan Rajani hanya tersenyum samar mendengar pertanyaan Cetta yang terdengar bodoh baginya.
“Aku kehilangan separuh nuraniku ketika enam tahun lalu aku dibawa ke tempat ini. Tidak ada lagi rasa sedih apalagi takut, yang ada hanya perasaanku untuk membunuh mereka sangat kental mendarah daging. Aku bahkan harus menyingkirkan diriku yang dulu untuk bertahan hidup di kapal terkutuk ini.”
Suara Rajani terdengar menyeramkan di telinga Cetta. Gadis itu untuk pertama kalinya membuat Cetta menyadari bahwa orang baik yang tersakiti akan memunculkan jiwa kelamnya sewaktu-waktu. Bukan untuk perlindungan diri, tapi dari hukum alam yang menuntutnya untuk bereaksi.
Dan sebuah rahasia akan terkuak malam itu bersama mencekamnya lautan yang seolah ikut mengenang masa lalunya bersama Rajani.
Aras Chapter 1 – Si Empunya Motor
12 Maret 2017 in Vitamins Blog
Sebelumnya saya persembahkan cerita baru ini untuk insan muda, dan karena yang lain belum di next hiks maapkan.
“Aras”
Chapter 1 – Si Empunya Motor
*
“Udahlah putusin aja dia, gitu aja ribet lo.” Arasya menyeruput kuah chuanki nya dengan begitu nikmat, perpaduan bumbu rempah-rempah yang cuma ada di warungnya Mbak Cucun. Taufa mendesah kesal lantaran Arasya malah nyuekin dia yang lagi curcol di kantin kala jam istirahat itu.
“Menurut lo sih enteng, masalahnya gue tuh udah terlanjur sayang bangeeet sama dia, ras!” rengek Taufa sambil gebrak-geberak meja kantin, beberapa anak lain menatap meja mereka dengan pandangan berbeda-beda.
Arasya berdecak kesal, ia menatap Taufa sebel sambil berkata, “ishh Taufa, ini kuahnya tumpah kemana-mana. Baju gue kena nih!” Taufa bersikap bodo amat dan malah makin membabi buta menggebrak-gebrak meja kantin.
Arasya memutar bola matanya jengah, lalu Mang Tata tukang batagor menghampiri meja mereka dan menegur tindakan Taufa. “Neng ufa, mejanya jangan dipukulin terus dong, itu baru di kirim kemaren loh. Mau ganti kalo rusak?”
Taufa langsung bungkam setelah teguran Mang Tata yang bikin beberapa anak mencibir nya pelan, adapula yang ketawa sambil mingkem dan reaksi yang lainnya yang gak di peduliin Taufa.
“Denger ya fa, buat apa sih lo miara cowok yang jelas-jelas brengsek kayak dia? Mending cari cowok lain sana, kasian yang jomblo pengen dibelai.”
Taufa menatapnya horror, “najis lo.”
Arasya langsung ketawa kenceng ngeliat reaksi Taufa yang emang keliatan menghibur, lumayan sih ya hiburan tersendiri buat jomblo macam Arasya. “Gue laper nih.”
Taufa melotot kaget, “ampuuun dah, lu baru aja makan se mangkok chuanki porsi besar! Belum lagi snack sama es teh manisnya dan lo masih laper? Masyaallah sya, perut lo terbuat dari apa sih?!”
Arasya nyengir lebar, lalu dengan polosnya ia menjawab, “perut gue itu terbuat dari karet yang elastis banget, di dalem perut gue juga ada dedek bayi nya fa.” ia mengelus perutnya dengan kasih sayang, Taufa langsung megap-megap.
“DEMI APA?! LO HAMIL?!!” Teriak Taufa histeris, seisi kantin langsung menatap dirinya kaget bercampur penasaran. Arasya malah ketawa gak jelas dan dengan santainya ia menjawab lagi, “iya, dedek bayi cacing yang lagi tumbuh di perut gue.”
Dan seketika semua penghuni kantin pada pingsan tak terkecuali Arasya sendiri. Eh gak deng.
*
“Jadi anak-anak, untuk mencari lamda dapat menggunakan rumus…” Pak Ervan menerangkan materi fisika dengan lambat-lambat alih-alih ingin membuat semua anak-anak ngerti dengan pelajarannya, tapi bukannya ngerti semua anak kelas 12 Ipa 1 ini malah ngerasa lagi di nina boboin sama Pak Ervan.
Tak terkecuali Arasya, selama hampir dua jam pelajaran dia malah ngerasain kantuk yang bener-bener bikin dia melek, segala cara udah dia tempuh agar bisa tetap terus bertahan buat merhatiin pelajaran Pak Ervan saat ini.
Mulai dari mengucek matanya sampe beberapa bulu matanya rontok (asli ini sadis men), sampe mengoleskan minyak kayu putih di area kantung matanya, tapi segala cara itu gak ada yang berhasil. Pak Ervan emang niat buat bikin seisi kelas tidur nyenyak deh kayaknya.
Dan bukannya menegur Pak Ervan malah membiarkan anak-anak melek bahkan sampe ketiduran di kelasnya, ini guru apaan coba? Yaudah sih ya yang penting kita-kita udah niat buat masuk pelajaran Pak Ervan. Ya, sekalipun ujung-ujungnya ketiduran. Hikz
Lalu setelah melewati masa-masa itu akhirnya bel pergantian pelajaran berbunyi dan membangunkan seisi kelas yang udah di hinggapi sama peri mimpi tadinya, Pak Ervan pamit dan segera keluar kelas di gantikan dengan salah satu staff TU yang memberikan tugas karna guru yang tadinya mau ngajar harus berhalangan hadir di karenakan bbm naik.
Gak nyambung ‘kan?
Bodo amat.
Seisi kelas bersorak sorai, kesempatan emas kalo kelas gak ada gurunya. Kubu cewek langsung ngumpul di tengah kelas, kerjaannya gak jauh-jauh dari selfie, sama ngegosip. Kalo kubu cowok ngumpulnya ada yang di sudut kelas, ada pula yang pada nongkrong depan kelas sambil ngecengin adek kelas yang kebetulan gak ada yang lewat.
“Lo tau gak? Gue kemaren lihat pembunuhan di sekitaran rumah gue.”
“Asli lo? Yang bener ajaa?!”
“Asli, zuer deh.”
“Emangnya siapa yang jadi korban pembunuhannya, Ka?”
“Itu… Siapa sih lupa ya gue! Hm,… Itu tuhh BININYA AYAM SEPUPU GUE!”
“CIYUZZ?!! Aduhhh, kasian anak-anaknya ding ya masih kecil udah ditinggalin emaknya!!”
“Anaknya udah pada gede kelez, jadi gue biasa-biasa aja.”
“Oh iya deh.”
Mati satu tumbuh seribu. Kurang lebih segitu sih buat ngegambarin kebiasaan anak cewek di kelas kalo lagi ngegosip, topik satu udah kelar pasti aja ada penggantinya. Gitu aja terus sampe ayam bertelur terus telurnya jadi ayam. Hiks
Arasya dan Taufa sih tadinya ikut-ikutan, tapi Arasya yang emang gak terlalu doyan ngegosip lebih milih menyingkir dengan sukarela dari kerumunan. Membiarkan Ira, cewek tercupu yang lagi nyari perhatian ikut-ikutan masuk kerumunan ibu-ibu pkk.
“Ras, bantuin abang dong ras…” Sani yang tadinya asyik duduk dimotor orang langsung menyergap Arasya yang baru saja tiba diteras kelas. Laki-laki setengah gendeng itu menarik tangan Arasya dengan sikap gak tau malunya. Arasya meringis setengah kesal dan jengah menghadapi makhluk ini, “duh apaan sih san…”
Sani menarik Arasya ke dekat pohon yang tidak terlalu jauh dari teras kelas, cowok itu menjulurkan telunjuknya ke arah kelas sebelahnya. Lebih tepatnya pada gadis incaran yang selama beberapa minggu menjadi target cowok berkulit sawo buruk ini. Ups.
“Mau lu apa sih ah.” Arasya masih berdecak kesal, niat mau santai-santainya malah dimanfaatkan oleh Sani. Tapi karena cowok itu hebat memelas sampai wajahnya menyerupai pengemis tingkat akhir, selalu berhasil mengambil nuraninya. Namun Arasya yang setiap hari ngeliat tingkah cowok itu lama-lama ia merasa kegerahan dan jengkel dengan sikap gak tau dirinya itu.
“Bantuin abang lagi ngasih coklat ke Maura dong ya ya ya… Plis deh ras, cuma lo yang terhebat dan terbaik diantara temen-temen gue,..” Arasya mendelik mendengar ucapan Sani, bukannya tersanjung malah Arasya ditampar dengan kesadaran penuh.
“Apaan lu ngasih coklat segala, bayar hutang nasi uduk ke Taufa aja lo masih keteteran.” Ejekan Arasya itu malah bikin cowok gendeng itu cengengesan, namun tak urung ia masih tetap bersikeras memaksa Arasya untuk melancarkan aksinya.
Dengan ogah-ogahan Arasya tetap mengiyakan permintaan Sani, daripada ia harus di hantui dengan bayang-bayang kalo cowok itu gak bakal berhenti bergelayut menjijikan padanya. Arasya mengambil coklat batangan itu dari tangan Sani, lalu memasuki kelas tetangganya tanpa ada rasa sungkan. Berjalan mendekat kearah Maura yang lagi asyik-asyiknya membaca buku novel.
Arasya membisikkan sesuatu dan membuat ekspresi Maura yang semula berbinar senang langsung mengerutkan keningnya dengan wajah sumpeh-lo? Arasya meninggalkan kelas itu setelah aksinya lancar. Ia menghampiri Sani dan langsung membaca raut wajah mupengnya.
“Makasih banget ya Ras, gue doain lu banyak duit. Aamiin!!!” Arasya cengengesan namun langsung merubah raut wajahnya dengan tajam.
“Bayar dulu utang lo, keburu mati mampus dah lu.”
Dan cowok gendeng itu cuma bisa ngeliat wajah Arasya dengan horror, melupakan Maura yang tadi jadi perhatiannya.
Arasya terkikik geli meninggalkan Sani yang mencak-mencak gara-gara ucapannya. Gadis itu langsung duduk di atas motor, mengikuti beberapa anak cowok lain yang masih setia menunggu sasaran modusnya. Arasya langsung memasang telinganya demi mendengar ocehan gak bernilai dari cowok-cowok tersebut.
“Gilaaa, bisa lo ya dapet tuh cewek. Bodinya bro… Ck ck ck, kelar dah hidup lu.” Si Gilang menepuk dadanya bangga mendengar pujian teman-temannya soal pacar baru yang digaetnya. Arasya cuma bisa angguk-angguk walaupun ia gak ikutan percakapan ketiganya. Namun ketiganya langsung berhenti setelah sadar ada Arasya yang lagi cuap-cuap sendiri.
“Bubar yuk, ada si Aras. Ntar di pho-in, makin kelar dah hidup lu.”
Anjir, apaan sih nih cowok.
Cowok-cowok tadi langsung masuk kelas, membiarkan Arasya yang terpekur menatap ketiganya dengan puas. Yah, Arasya tahu dia adalah satu-satunya orang yang berani menjadi pho, singkatan untuk perusak-hubungan-orang. Selain karena dia emang jail orangnya, ada alasan tersendiri dia selalu berusaha untuk memisahkan sepasang kekasih yang biasa memadu kasih dihadapannya.
Arasya punya kenangan pahit, kenangan yang selalu muncul kalo dia udah lihat orang pacaran. Kalo bukan karena masa lalu, mungkin Arasya gak bakal punya niat sekeji itu ngerusak hubungan orang. Tapi karena kenangan itu membekas pahit di pikirannya, Arasya gak bisa tinggal diem gitu aja ngelihat ketidak adilan yang di lihatnya.
Walaupun itu bukan masalahnya, bahkan Arasya cenderung keliatan suka mencampuri urusan orang lain. Tapi tetap aja cewek ini bersikap bodo amat. Sekalipun kini Arasya punya banyak haters gara-gara kelakuannya yang bikin naik pitam.
“Heh!” Arasya tersentak kaget bahkan hampir terjengkang dari jok motor tempatnya duduk, kalo aja orang yang mengagetkannya barusan gak menahan motor yang didudukinya untuk menjaga keseimbangan.
Arasya mendongak sebal, menatap seorang cowok yang menatapnya datar.
“Hampir aja gue jatoh, lo kenapa sih gak ada angin gak ada petir tiba-tiba ngagetin orang.” Arasya terus nyerocos dengan sebal, meskipun ia tidak mengenal siapa cowok didepannya ini.
“Gue yang punya motornya, kenapa lo yang sewot?”
Prass!
Arasya kayak dibanting dari ketinggian, dan wajahnya yang mendarat duluan. Beuh, mantep dah tuh. Sekarang Arasya cuma bisa membeku dengan wajah memerah persis kayak tomat, harga diri? Lupain itu, harga dirinya hancur sehancur-hancurnya urat malunya kini.
Arasya berdeham sebentar, “mana gue tau ini motor lo. Disini juga banyak motor yang lain.” Arasya berujar pelan, tapi masih setengah sewot. Dan cowok itu masih menatapnya datar.
“Kalo gitu minggir dari motor gue.” Ucap cowok itu dengan nada yang lebih dingin, Arasya buru-buru turun dengan susah payah dan hampir keseleo gara-gara roknya yang nyangkut ke sisi motor. Sial, muka gue.
Cowok itu langsung menaiki motornya dan melengos pergi, meninggalkan Arasya yang masih berdiri diam bak patung. Muka gue, muka gue!!!
Feel ink : Hujan, Kamu dan Atap
24 Februari 2017 in Vitamins Blog
“Hujan, kamu dan atap.”
Kafvin menatap Aruni yang saat ini memilih untuk membuang mukanya ke segala arah. Pemandangan itu mengusiknya dan membuat nada suaranya terdengar rendah penuh emosi. “Untuk memperbaiki keadaan.” Kafvin menajamkan matanya.
Aruni tertawa miris, lalu kembali bersikap datar. “Memperbaiki keadaan? Apanya yang diperbaiki?” Ucapannya itu terkesan mengejek, namun Aruni berusaha untuk mengucapkannya dengan datar.
Kafvin menegakkan punggungnya lalu menatap Aruni dengan tatapan menusuk, Aruni mencoba untuk menghindari tatapannya.
“Kita, aku ingin memperbaiki kita berdua.” Suara Kafvin berubah lembut, membuat Aruni tertegun dengan ucapannya. Gadis itu baru berani menatap Kafvin setelah perkataannya itu, dan tatapan itu. Tatapan seorang lelaki yang mendamba cintanya, tatapan yang berlumur luka tak kasat mata.
Aruni menatap Kafvin dalam-dalam, membaca raut wajah Kafvin bagai lukisan indah monalisa yang misterius. Jelas ada kesedihan di mata pria itu, namun hanya berselang beberapa detik terganti raut wajah yang sulit ditebak. Kafvin menyembunyikan dan menunjukkan isi hatinya, hanya supaya Aruni dapat menebak teka-teki itu.
“Kamu…” Aruni masih menatap lekat kedua mata Kafvin, sebelum rasa gugup menyergapinya ketika sadar wajahnya begitu dekat dan hampir menghapus jarak diantara mereka. Dan Aruni harus meringis menahan malu menatap sebagian besar penghuni kantin menatap ke arah mereka dengan sikap keponya. Mampus, rutuknya.
“Saya serius dengan ucapan saya. Kalau kamu benar-benar mau,” suara Kafvin mendadak kaku. Dengan logat formal nya yang baru ia sadari, Kafvin berdiri tegak lalu ia melangkah menjauh membiarkan Aruni yang masih terdiam.
Aruni masih setia duduk dikursi kantin yang entah kenapa sekarang terasa lengket, melihat beberapa penghuni kantin menatapnya membuat Aruni merasa berat untuk pergi. Bukan karena ia suka diperhatikan, namun karena ia sedikit merasa malu, Aruni enggan untuk sekadar mengangkat kaki.
Tiba-tiba Aruni merasakan tangannya disentuh dengan sesuatu yang dingin. Aruni menatap cappuchino cincau favoritnya, lalu terperangah menatap siapa yang memberikannya minuman itu. Pria itu tersenyum tipis, nyaris tidak terlihat jika saja mata Aruni tidak sejeli ini.
“Untuk kamu, saya pamit.” Ia berujar setengah berbisik, lalu melangkah lebar dengan tenang meninggalkan Aruni yang masih mencoba menetralkan hatinya. Capcin, semua orang juga bisa membelinya. Selain karna minuman itu murah, minuman itu juga mudah didapatkan.
Tapi, capcin ini lain. Capcin ini berasal dari seseorang yang lebih dingin dari capcin itu, dan yang terpenting capcin itu di bawa oleh tangan pria itu. Pria paling tidak terduga akan mampir di kehidupannya kali ini. Entah kenapa hanya karena segelas capcin, Aruni bisa seribet ini.
*
Aruni Pov
Aku masih berjalan dengan sadar, menjejaki lapangan dengan rumput segar yang menghubungkan asrama dan kampus. Riski masih bersemangat menceritakan pengalaman pertamanya dibimbing oleh guru dosen muda dan paling famous di kalangan mahasiswa karena gaya bicaranya yang tidak biasa. Pikiranku masih tertahan oleh manusia itu, jadi aku tidak terlalu mendengar jelas apa yang diceritakan Riski.
“Kamu dengar aku nggak sih?” Riski menghentak bahuku pelan namun mampu membuatku hampir meloncat. Gadis itu menatapku kesal dan aku segera sadar dengan kesalahan yang baru ku lakukan.
“Eh, maaf. Tadi bilang apa?”
Ku lihat Riski sedikit memajukan bibirnya, kekesalannya itu sudah biasa ku lihat di depan mata, meski kami baru berteman beberapa bulan, namun waktu itu cukup membuat kami saling mengenal satu sama lain. Gadis itu akan sedikit merajuk kalau aku tidak mendengarkan ocehan-ocehannya.
Yah, Riski adalah gadis pertama yang durasi bicaranya bisa di bandingkan dengan ibuku, jika saja keduanya ditempatkan pada satu tempat yang sama. Gadis itu hampir tidak pernah kehilangan kata-kata hanya untuk sekedar membahas hal-hal sepele. Dan aku yang memang tidak banyak bicara, hanya menjadi pendengar dan terkadang sulit untuk menyampaikan isi hatiku.
“Sebenarnya kamu ini kenapa sih? Sejak pertemuan kamu dengan laki-laki lempeng tadi, kamu jadi ikutan lempeng gini tau.” dan Riski punya mood yang bisa berubah secepat kilat. Aku mengernyit bukan karena gadis itu yang moody, tapi karena ucapannya yang mengusik hatiku.
Aku terdiam sejenak, memberi jeda untuk untuk mencari jawaban yang tidak mengundang kecurigaan gadis itu. “Tidak ada.” Dan aku hanya mengeluarkan sebagian suaraku yang tertelan emosi.
Riski menatapku dengan sebelah alis mengangkat dan senyum miring diwajahnya yang membuatku kesal. “Tidak ada ya….” timpal Riski dengan nada setengah mengejek.
“Sudah lah. Jadi bagaimana dengan dosen muda itu?” Aku sengaja mengalihkan pembicaraan, sedikit menangkap mata Riski memicing mendengarku mengalihkan pembicaraan dengan cepat. Namun ekspresinya berubah makin kesal.
“Kamu tahu? Dia adalah dosen bermuka dua, jadi…”
Dan mengalirlah segala pembicaraan Riski yang sempat ku abaikan tadi. Setidaknya untuk saat ini aku dapat menyimpan perasaanku sendiri, bukan karena aku terlalu egois dengan tidak membagi curahan hati. Untuk mencurahkan isi hatiku pada Riski pun, aku harus berpikir dua kali.
Riski meninggalkanku ketika kami melewati koridor dekat akademik, gadis itu memang punya kebiasaan menyadap wifi hanya untuk sekedar berselancar ria di social media. Aku melanjutkan niat awalku untuk segera pulang ke kosan, hari sudah mulai gelap dengan awan hitam menyerbu sisi langit di atasku. Akan gawat jika aku terlambat pulang dan terjebak hujan ditengah jalan.
Aku mempercepat langkahku setengah berlari menuju gerbang utama, beberapa kali tas yang menggantung dibahu kananku hampir terjatuh. Memaksaku untuk membenarkan letaknya dengan gerakan tergesa-gesa. Beberapa mahasiswa tampak sama tergesanya dengan diriku, memikirkan itu membuatku bernafas lega karena setidaknya di gerbang depan nanti aku tidak berdiri sendiri untuk menunggu angkutan umum.
Sedetik setelah kakiku berhenti di depan gerbang utama, hujan menghujam bumi seolah kehabisan kekuatan menampung beribu-ribu kubik air yang berjatuhan saat ini. Aku segera mencari perlindungan dan sayangnya tidak cukup memberiku perlindungan yang berarti. Berdiri dibawah pagar gerbang dekat pos satpam adalah pilihan tepat untuk berlindung sementara meskipun tubuhku tidak sepenuhnya terlindungi.
“Mau di dalam neng?” Seorang satpam dari dalam pos menawarkan bantuan, ku tolak halus dengan mengucapkan terima kasih dan sekilas ku lihat satpam itu mengedikkan bahunya acuh.
Beberapa menit aku berdiri menunggu angkutan umum yang entah kenapa tidak ada yang menunjukkan angkutan umum jurusan menuju kosan tempatku tinggal. Hujan semakin deras, aku memeluk diriku sendiri untuk memberi sedikit kehangatan mengingat pakaian yang ku pakai hari ini cukup tipis. Sebal, pikiranku berteriak.
Ku lihat sebagian mahasiswa yang berteduh tidak jauh dari ku mulai mendapatkan kendaraan, dan menyisakan aku yang masih berdiri setia didepan pos satpam. Aku menatap langit yang kini sepenuhnya hitam, perasaanku semakin tidak karuan ketika mobil yang melaju didepan kampusku mulai berangsur-angsur lengang.
“Belum dapat kendaraan ya neng?” Satpam itu berbicara tiba-tiba dibelakangku, membuat jantungku hampir mencelos kalau saja tidak mengingat tempatku berada saat ini. Aku mengangguk sedikit takut, satpam ini berbeda dengan satpam yang biasa menjaga. Aku tahu betul satpam yang biasa menjaga di pos, namun satpam yang satu ini baru ku lihat dan entah kenapa wajahnya mengingatkanku pada kriminal-kriminal yang sering muncul di berita.
Entah mataku yang salah atau memang laki-laki setengah baya itu menatapku dengan tatapan nakal, ia mengerlingkan matanya masih sambil menatapku dengan senyuman genitnya. “Kalau dingin mending masuk ke dalam.” Katanya masih dengan suara yang terdengar sensual namun menjijikan ketika telingaku menangkap nada tak biasa disuaranya. Aku menggeleng kuat, lalu bergeser jauh berharap satpam itu mengerti tindakanku yang mulai tidak nyaman.
Tapi ternyata dugaanku salah, satpam itu malah mulai berani mendekatkan tubuhnya ke arahku, membuat ku merasa perasaan tidak nyaman ini berubah menjadi waspada. Aku bertingkah defensif, mengetahui bahwa laki-laki disampingku ini adalah orang yang cukup berbahaya.
“Mari pulang.” Suara itu menginterupsi tatapan satpam yang belum lepas memandang tubuhku. Aku bergetar hebat, merasakan rasa dingin dari udara dan perasaan gugup ketika melihat siapa orang yang menyelamatkan ku dari keadaan yang cukup terdesak ini. Ku lihat satpam di sampingku berdehem kecil lalu meninggalkan kami tanpa kata.
Aku bernafas lega, lalu menatap Kafvin yang berdiri dengan ekspresi datar yang entah kenapa membuatku makin kesal. “Apa?” Tanyaku dengan nada kasar, ku lihat ia tidak terpengaruh sama sekali dan malahan membuatnya mengulang ucapannya sekali lagi. “Mari pulang.”
Aku mendengus, antara kesal dan takjub dengan apa yang dilakukannya. Aku mengangguk sebagai balasan, lalu ia mendekat kepadaku dan menyampirkan jaketnya pada tubuh mungil ku. Semula tubuhku mendadak beku, lalu tiba-tiba dadaku terasa hangat dengan gejolak emosi yang mulai meluap.
Kafvin memegang payung dengan tangan kirinya, lalu menghelaku dengan tangan kanannya menuju sebuah kendaraan yang terparkir cukup jauh dari pos satpam tadi. Aku sedikit menaikkan alis ketika mengetahui laki-laki itu membawa mobil dengan merk yang sepertinya tidak biasa.
Aku menghela nafas lalu membiarkan Kafvin membuka pintu mobil untukku, dan aku segera masuk dengan pakaianku yang baru ku sadari ternyata sangat basah. Kafvin memasuki mobil dengan kondisi pakaian yang jauh lebih basah dariku, jaketnya sengaja disampirkan padaku tadi dan ku lihat ia sedikit menggigil walaupun tidak benar-benar jelas. Ia menekan tombol ac mobil dan sedikit membuat hawa mobil menghangat.
Sejurus kemudian ia melajukan mobil dengan kecepatan sedang, membiarkan suara gemerisik hujan memecah hening diantara kami. Sejujurnya rasa ketidaknyamanan terasa menggerogoti tatkala kulihat dari sudut mataku ia acuh dan mengatupkan bibirnya rapat. Rasa tak terima begitu kental namun mengingat usaha apa yang ia lakukan membuat kepalaku sejenak mendingin.
Kebisuan diantara kami bertahan sampai pagar depan kosan tempatku tinggal mulai terlihat, Kafvin memarkirkan mobilnya di depan pagar kosanku. Ketika pintu mobil terbuka hawa dingin menyeruak masuk menghembuskan nafas dingin ke sekujur tubuhku walaupun hujan sudah berhenti beberapa saat lalu. Kafvin menyeret gerbang setinggi dada itu dengan mudah, padahal tiap kali aku yang mendorongnya membutuhkan kekuatan ekstra.
“Terima kasih.” Ucapku dengan suara bergetar antara dingin dan gugup melihatnya menatapku lekat. Ia menampakkan wajah datar dan sulit ku artikan untuk saat ini.
“Lain kali kamu harus menghubungi saya jika ada sesuatu terjadi.” Aku menaikkan alis melihat emosi sedikit berapi itu terlihat muncul setelah beberapa saat laki-laki itu mematung. Suaranya sedikit mendesis dengan emosi yang berusaha ia telan, namun indra kepekaanku berkata ia khawatir. Entah kenapa degup jantungku bergetar hebat hanya karena melihatnya khawatir padaku.
Sejenak kebisuan kembali mengisi emosi yang di tahannya, sikap wanita yang cenderung gengsi membuatku berpikir dua kali untuk membalas ucapannya tadi. Ketika ucapan itu bercokol di pangkal lidah entah kenapa mulutku hanya menganga tanpa suara. Kami berdua sama-sama belum dapat membuka diri dengan mudah.
“Disini dingin, masuklah.” Kafvin melengos pergi setelah mengucapkan kata itu dengan datar, hatiku berteriak memintanya kembali. Namun kebekuan itu masih ku rasa seperti ada tembok penghalang yang besar diantara kami. Aku membuka mulut sebelum ia masuk ke dalam mobil dengan raut wajah gusar.
“Kaf…” Suaraku tertelan emosi, Kafvin mendongakkan wajahnya menatapku bingung.
“Hati-hati dijalan.” Sambungku dengan suara yang terdengar berdecit, dan ku lihat Kafvin tersenyum sangat tipis, namun mampu membuat dadaku semakin menggila didalam sana.
“Selamat malam arun.”
Sisa malam itu ku biarkan mataku nyalang menatap atap kostan. Perbuatan Kafvin hari ini dan ucapannya tadi membuat hatiku tergelitik, butuh waktu agar memperbaiki hubungan kami. Kecanggungan itu masih lekat karna baru kali ini aku melihatnya dalam bentuk nyata, kenyataan itu awalnya terasa asing bagai mimpi di siang bolong namun waktu akan mengubah segalanya termasuk kami berdua.
*
Land Under Heaven : Permohonan
16 Februari 2017 in Vitamins Blog
“Wake Me Up”
Wish that I could stay forever this young
Not afraid to close my eyes
Life’s a game made for everyone
And love is the prize
So wake me up when it’s all over
When I’m wiser and I’m older
All this time I was finding myself
And I didn’t know I was lost
*
Hari ini perayaan hari keberkahan negeri inka, setiap orang diseluruh penjuru negeri inka akan berbondong-bondong memasuki kuil Alindra untuk berdoa bersama ditempat itu. Kuil Alindra merupakan kuil terbesar dan terletak dipusat kota, masyarakat dari berbagai penjuru inka akan datang ke kuil Alindra minimalnya satu kali setahun. Rakyat yang hidup di pinggiran kota harus menempuh perjalanan beberapa hari untuk sampai di pusat kota.
Eila dan keluarganya tinggal di salah satu kampung yang jauh dari kota. Kampung ini terletak hampir berdekatan dengan Benteng pemisah negeri inka dengan negeri syanth. Benteng berupa perairan luas yang membentang jauh dan menyambung mengelilingi tiap-tiap negeri. Bumi kecil negeri inka berdekatan dengan negeri syanth yang satu-satunya negeri beraliran netral, tidak memihak kepada negeri manapun.
Bahkan sejak peperangan besar dahulu ketika bumi ini masih berupa daratan, hanya negeri syanth yang senantiasa memberikan bantuan kepada negeri inka yang dahulu pernah mengalami masa-masa suram. Ya, negeri inka yang kini memegang kokoh sebagai negeri paling kuat di jagad raya ini pernah mengalami masa suram dan kekejaman manusia tamak. Ketika Yang Maha Esa belum memecah belah daratan di dunya, negeri inka pernah dikepung habis-habisan oleh kerajaan dari berbagai belahan dunya.
Keadaan ini membuat seisi dunya bergolak akibat peperangan yang dahsyat, alam pun perlahan mengalami perusakan yang parah. Bahkan kerusakannya itu hampir membuat daratan yang dahulu hijau mulai mati dan berubah menjadi tanah hitam. Binatang pun ikut menjadi korban peperangan dahsyat itu, sekitar ribuan jenis binatang sebagian nya mulai punah karena terlalap habis oleh si jago merah, bangkainya bahkan sempat menimbulkan penyakit yang tertular mengenai udara dan kontak fisik.
Akibatnya hampir setengah dari penghuni alam dunya terjangkit wabah, anak-anak yang paling rentan terjangkit wabah dan menimbulkan kematian massal yang begitu banyak. Begitu ulah kerajaan tamak yang melancarkan aksinya dengan membakar hutan dan menebang banyak pohon untuk digunakan sebagai senjata.
Yang Maha Esa bahkan langsung turun tangan demi menyelamatkan alam dunya yang hampir tidak dapat diselamatkan oleh tangan-tangan yang tidak bertanggung jawab. Tentu saja Ia murka dengan perbuatan merusak dan kejinya kaum-kaum manusia. Bahkan Yang Maha Esa sampai memusnahkan hampir seluruh manusia yang memiliki campur tangan dalam peperangan yang menghancurkan tempat tinggal mereka.
Eila bertekad di dalam hati akan melakukan permohonan di kuil, tubuh mungilnya dalam balutan kain merah yang melilit pinggang dan menutupi dadanya sampai ke tulang iga, membiarkan bebas perutnya terlihat. Lalu ditambahkan dengan selendang tipis merah yang tersampir dari ujung bahu kirinya. Ia memakai kalung, gelang serta hiasan kepala, rambutnya dibiarkan terurai panjang tanpa di ikat.
Di hari perayaan kemerdekaan ini, umumnya orang-orang menggunakan pakaian berwarna merah sebagai pertanda bahwa negeri inka yang kecil ini bisa bangkit dari keterpurukan dan kini menjadi satu-satunya negeri yang kuat pertahanannya. Orang-orang akan memakai gaun terbaik yang dia punya demi perayaan ini, karena konon katanya raja-raja terdahulu memakai pakaian merah ketika berjuang melawan pasukan penjajah sampai titik darah penghabisan. Untuk membalas jasa, rakyat diwajibkan memiliki minimal satu pakaian terbaik berwarna merah untuk perayaan kemerdekaan negeri inka.
Rubhya mengenakan pakaian yang sama dengan Eila, namun rambutnya yang panjang di kepang rapi, sedangkan Parvati tidak dapat mengantar kedua anaknya untuk mengikuti perayaan kemerdekaan negeri inka. Sebelum pergi Parvati menatap kedua anaknya dengan lembut, merasa bahagia ketika melihat raut kelelahan karena terlalu sering membantunya bekerja berganti dengan binar bahagia.
Rubhya mungkin telah menginjak usia yang menunjukkan kedewasaannya, berbeda dengan Eila yang masih anak-anak. Rubhya telah mengerti dengan segala permasalahan pun dengan masa lalu kehidupan keluarga mereka, gadis itu meskipun suka mengusili adiknya tapi selama ini Rubhya berperan baik membantunya menjaga Eila. Parvati merasa sedih sekaligus bahagia ketika menyadari usia mereka yang masih muda harus berjuang keras, banting tulang hanya untuk bertahan hidup dari kesengsaraan.
Orang-orang mulai memasuki kuil Alindra yang sangat besar, namun tetap saja tidak dapat menampung seluruh rakyat negeri inka yang berdatangan dari penjuru negeri. Bahkan ada imigran yang turut ikut melaksanakan doa bersama demi merayakan kemerdekaan negeri inka.
Eila dan Rubhya harus menempati teras luar dengan beralaskan tikar jerami yang telah mereka persiapkan, tanpa ada pelindung kepala mereka melawan sengatan matahari bersama ratusan orang lainnya. Pelaksanaan doa bersama di pimpin oleh seorang pria berpakaian merah menyala dari yang lain, semua orang termasuk Eila memanjatkan doa dengan bersungguh-sungguh. Setelah perayaan doa bersama selesai, setiap orang akan mengantre panjang demi mendapatkan berkat berupa makanan khas inka.
Masing-masing akan mendapatkan sekantung kecil buah inka, namun buah ini berbeda dari jenis buah inka yang didapatkan Eila ketika dihutan. Buah inka ini adalah buah inka yang di budidayakan di dalam istana, langsung di panen oleh petani handal dan tabib yang mampu meracik ramuan agar khasiat buah inka ini terjaga. Buah inka yang di budidayakan di istana ini mempunyai perbedaan warna dan ukuran dibandingkan buah inka yang tumbuh di alam liar, buah inka yang satu ini berwarna lebih terang sedikit keemasan, khasiat buah inka ini tidak diukur dengan seberapa kecil buahnya namun seberapa matang warna kulit buah inka.
Buah inka ini juga tidak memiliki batang berduri, buah inka di jadikan sebagai salah satu berkat yang akan diterima oleh semua rakyat negeri inka yang mengikuti perayaan hari kemerdekaan negeri inka. Khasiatnya hampir dapat mengobati berbagai macam penyakit, bahkan batang dan daun inka yang satu ini dapat mengobati penyakit luar.
Semua orang mengantri dengan sikap tidak sabar, para pasukan prajurit mengatur setiap orang untuk berbaris dengan rapih. Pembagian buah inka ini tidak akan selesai jika semua rakyat berebutan dengan rakus dan sikap tak sabaran, namun untungnya rakyat negeri inka sudah terbiasa dengan budaya mengantre. Eila dan Rubhya berada di shaf terakhir, menunggu beberapa jam sampai halaman kuil Alindra mulai lengang dengan beberapa puluh orang yang masih mengantre.
Dengan perut keroncongan seperti ini, Eila tentu saja tidak sabar menunggu beberapa orang lagi di depan mereka untuk menerima buah inka. Para penjaga kuil yang bertugas memberikan buah inka bahkan terlihat menampakkan gurat wajah yang lelah.
Eila menjerit senang ketika menerima sekantung kecil buah inka favoritnya, wajahnya yang tertekuk lama tadi berubah dengan binar bahagia. Penjaga kuil itu ikut tersenyum melihat anak kecil yang berada diantrean terakhirnya itu kegirangan. Gurat wajah lelahnya bahkan terlihat memudar seiring dengan senyumnya yang makin melebar.
“Kau pasti lelah seharian menunggu dibawah sengatan matahari, seharusnya tadi kau ikut mengantre dibarisan pertama.” Ucap sang penjaga kuil memakai jubah merah dengan penutup kepala yang dibiarkan terlepas tak menutupi kepalanya. Eila mendongak dan menatap penjaga kuil itu dengan senyum lebar kekanakan.
“Tuan, bolehkah aku memasuki teras terdepan kuil? Aku berjanji tidak akan nakal dan memasuki kuil Alindra tanpa seijin tuan.” Penjaga kuil itu tampak terdiam sesaat mendengar permintaan Eila. Namun beberapa menit kemudian laki-laki itu tersenyum tipis sambil mengangguk, lantas Eila pun bergerak cepat ke arah teras depan, mengabaikan langkah kaki mungilnya yang sedikit terbatas karena gaun yang ia pakai saat ini.
Eila menyimpan buah inka miliknya ke dalam keranjang yang ia simpan di samping kakinya. Tangannya yang mungil menyatu, matanya terpejam dengan mulut terkatup rapat.
Gadis kecil itu memohonkan permintaannya dalam hati. Mengabaikan angin yang mengibarkan selendangnya, dan suara bising lainnya yang sebenarnya mengganggu. Eila terhanyut dalam buaian kedamaian ketika permohonannya itu terucap dalam hati.
Seorang laki-laki mengamati dari kejauhan kuil Alindra, menatap lapar namun tak kentara sama sekali dari balik jubah hitamnya yang benar-benar mencolok dari pakaian yang lain. Laki-laki itu berdiri dalam bayang-bayang bangunan tinggi yang saling berhimpitan, menjauhi keramaian karena penampilannya yang mencolok. Ia berdiri cukup lama sebelum acara doa bersama di kuil alindra dilaksanakan, sudah cukup waktu sebelum aksinya dilancarkan saat itu juga.
Tiba-tiba cuaca yang semula begitu bagus mendadak kelam ketika sebuah suara cukup keras memekakkan telinga terdengar tak kejauhan dari kuil alindra. Manusia-manusia yang berlalu lalang mulai panik ketika hujaman dari benda kecil tak kasat mata menghujam tubuh orang-orang di antara mereka satu-persatu, lalu tumbang di tempat dengan tubuh terbujur kaku tak sadarkan diri. Semua berteriak histeris dan ketakutan ketika benda-benda kecil tadi semakin membuat banyak orang tumbang.
Rubhya tadinya ingin menyelamatkan Eila ketika sepasukan manusia berpakaian serba hitam dengan jubah mulai bermunculan mengitari kuil alindra, jumlahnya mungkin sekitar dua puluh orang namun berhasil menumbangkan penduduk inka dengan jumlah yang banyak. Rubhya berlari mendekati Eila sebelum sengatan benda kecil tak kasat mata itu mengenai pinggangnya, gadis itu tersentak menatap adiknya sedetik sebelum kesadaran merenggut dirinya.
Para penjaga kuil langsung dipukuli dengan kejam, orang-orang berjubah hitam itu menghancurkan benda-benda disekitar kuil alindra tanpa rasa segan. Pasukan istana tidak mengawal acara hari kemerdekaan seperti biasanya, bahkan sang Raja tak turut mengikuti upacara kemerdekaan, dan tujuan para pasukan berjubah hitam itu harus melesat karena dugaan mereka ternyata salah.
Eila masih setia berdiri ditempatnya tanpa merasa terganggu dengan keributan disekitar kuil alindra. Gadis itu bahkan tidak sadar dengan apa yang terjadi, matanya masih terpejam dengan kedua tangan yang masih menyatu. Setelah itu ia merasakan keheningan disekitarnya, gadis itu memutuskan untuk membuka matanya dan menatap ke dalam kuil alindra yang tampak sepi.
Eila meraih keranjang di dekat kakinya, lalu berbalik badan dan menemukan banyak tubuh manusia terbujur kaku diatas tanah. Gadis itu terperangah, keranjangnya jatuh dengan buah inka yang ikut keluar dari keranjangnya.
Lalu tiba-tiba ia merasakan sesak nafas, dan sebelum kesadarannya terenggut samar-samar ia melihat seorang laki-laki berjubah hitam berdiri diatas tubuhnya dengan wajah yang begitu bengis dan mengerikan.
*
“Apa kau bilang?”
Laki-laki berpakaian militer kelas atas itu tertunduk dalam, tidak berani menatap mata sang Raja secara langsung. Kemarahan terasa menguar kuat sesaat setelah ia memberikan berita yang terjadi di kuil alindra. Berita bahwa hampir seluruh rakyatnya yang berada disekitar kuil alindra tak sadarkan diri karena obat bius yang ditembakkan melalui pipa kecil.
Akibatnya tabib yang ada di istana harus dikerahkan hampir semuanya untuk menangani seluruh rakyat yang terkena obat bius, belum lagi para penjaga kuil yang mengalami luka parah akibat pukulan-pukulan yang cukup keras. Dan kabar buruknya, ternyata para penyerang mencuri berbagai benda penting dari kuil alindra.
Raja Bhoopat mengepalkan tangannya, tubuhnya bergetar karena marah. Lalu setelah itu wajahnya menampakkan raut berbeda dan berjalan menuju singgasananya dengan santai. Laki-laki berpakaian militer itu mengerutkan alisnya ketika melihat perubahan sang Raja.
“Bagus, kembalilah kepada pasukanmu. Dan sebarkan berita ini ke seluruh penjuru negeri, hembuskan desas-desus pemberontakan pada negeri tetangga. Dan laporkan kembali padaku jika tugasmu selesai.” Sang Raja berucap dengan tenang dan emosi yang terdengar sedikit kejam. Meskipun bingung dengan titah sang Raja namun laki-laki itu segera melaksanakan perintah sang Raja.
“Baik, yang mulia. Hamba akan melakukannya dengan baik.”
Raja Bhoopat mengisyaratkan tangannya, dan laki-laki itu segera meninggalkan ruangan. Raja Bhoopat terdiam cukup lama dalam keheningan aula istana yang sepi karena hanya ada dirinya ditempat itu.
“Yang mulia, ada lagi yang harus saya laksanakan?”
Dari balik bayang-bayang sudut ruangan, seorang pria menunggu titah sang Raja yang masih bergeming ditempatnya.
“Kau awasi saja mereka, dan habisi jika ada pihak yang berani melawan dibelakangku.” titah sang Raja.
Pria itu mengangguk patuh lalu membungkuk hormat dan meninggalkan sang Raja dari balik kegelapan. Kali ini sang Raja benar-benar sendiri diruangan besar itu, Raja Bhoopat terlalu senang hingga suara tawanya membahana mengisi aula istananya. Membiarkan emosinya membuncah tanpa ditahan-tahan.
*
Mohon maap jika imajinasi yang saya gambarkan kurang menggambarkan, atau kurang asik. Dan lagu di mulmed yang gak nyambung sama ceritanya wkwkk. Cerita pertama emang suka jadi kelinci percobaan ya, saya berharap kritik dan sarannya agar saya bisa belajar dengan baik insyaallah. ah hope u like this guys, thx for all supported, and keep writing bagi kita kaum amatired. *muach*
Feel ink “kataku”
7 Februari 2017 in Vitamins Blog
Ketika manusia yang dulu hanya ada dalam foto itu berwujud nyata, dengan wajah berbeda dan aura berbeda. Apa masih ada harapan untuk kita membangun masa jaya dahulu kala?
Karena disini aku ketakutan, dengan segala kepahitan duka yang tak kunjung menemukan titik kejelasan. Dan kamu datang dengan ketidak wajaran, apa selama ini hanya mataku yang dibutakan?
Benar-benar drama yang sempurna.
Land Under Heaven : Ketidakadilan
29 Januari 2017 in Vitamins Blog
Kamar itu dilingkupi kesunyian yang menusuk relung hati, memaksa Ailesh terpental jauh ke masa lampau. Kamar itu menjadi saksi bahwa ada segenggam cinta yang menyapa dan merajutkan benang-benang cintanya yang kusut. Namun kini cinta itu tinggal cerita pahit, ketika cinta yang mulai digenggamnya menorehkan luka yang menganga dan membekas dihatinya.
Ailesh memejamkan mata dengan rahang mengatup keras. Perasaan tak berguna ini membuatnya lemah, membuatnya terperdaya dan terus terpaku dengan masa lampau. Sekaligus membuatnya terlihat semakin pengecut dibalik topeng dingin yang selalu membentenginya.
Manusia tak berguna bertebaran di muka bumi, dan sialnya Ailesh harus bertemu dengan salah satu manusia seperti itu dengan kondisi yang tak terduga. Memaksanya untuk menundukkan segenap hatinya yang tinggi, menanggalkan tahtanya demi seonggok daging hidup tak berguna. Tangan Ailesh terkepal kuat, pergolakan emosi antara hati dan pikiran yang memaksanya untuk mengarungi pahitnya kenangan masa lampau.
“Yang mulia, keempat jenderal menunggu anda di aula.” Seorang pelayan bergumam gugup diluar pintu kamar, menghempaskan segenap jiwa yang tadinya terhempas jauh dari kenyataan. Ailesh berbalik dengan sikap gusar, meninggalkan ruangan itu yang seolah tertawa pongah.
“Ada apa?” Ailesh datang dengan gusar, wajahnya terlihat muram dengan ekspresi dingin tak terbaca. Keempat jenderal dihadapannya menunduk dalam, menyembunyikan kegentaran dihatinya sekaligus menghormati sosok dihadapannya.
Satu dari keempat jenderal itu berucap dengan suara sedikit gemetar, melihat aura tidak menyenangkan Ailesh bahkan sebelum laki-laki itu menemui mereka.
“Saya diperintahkan raja untuk menyampaikan pesan, bahwa hari ini anda akan menemui kaki tangan pemberontak dari kerajaan barat.”
Ailesh terdiam cukup lama, membiarkan keempat jenderal di hadapannya menunggu dengan gelisah. “Untuk melakukan apa?” Tekannya dengan suara yang halus namun mengancam. Ailesh memang terkenal dengan wajah dingin dan pembawaan sikap yang tenang, ia tidak pernah memperlihatkan emosinya secara berlebihan, seolah wajahnya itu tercipta hanya untuk mengguratkan wajah yang menggambarkan keburukan daripada kebaikan.
Jenderal itu berdehem gugup, lalu menjawab dengan suara yang terdengar susah payah dilontarkan. “Untuk melakukan kesepakatan, yang mulia.” Keempat jender
“Dan kalian dikirim untuk menemaniku?” Tebaknya.
“Benar, yang mulia.”
Ailesh terdiam kembali, memberikan aura yang semakin tidak nyaman yang membuat keempat jenderal menginginkan untuk seceupatnya pergi dari hadapannya. Ia bukan sedang menimang permintaan sang raja, hanya saja sikap sang raja yang tidak terduga itu membuat Ailesh sedikit merasa gusar. Laki-laki itu berdiri lalu berjalan melewati keempat jenderal yang masih termangu ditempatnya masing-masing.
Ailesh berjalan semakin jauh, dan sebelum laki-laki itu mencapai daun pintu ia mengeluarkan suaranya yang tenang namun tajam. “Apa yang kalian tunggu? Jangan buang-buang waktuku hanya untuk melakukan hal yang sia-sia ini.”
Keempat jenderal langsung berdiri dan mengikutinya dengan terpogoh-pogoh, sekaligus mengutuk diri dalam hati karena Ailesh adalah laki-laki yang tidak bisa dan tidak ingin menunggu. Tubuh mereka yang besar berotot, tegap dan penampilan yang gagah itu berubah menciut jika sudah menyangkut dengan Ailesh. Laki-laki itu adalah satu-satunya orang yang berpengaruh bahkan dapat melebihi pengaruh sang raja sendiri.
Ailesh dan keempat jenderal menunggangi kuda dan segera memacu kuda ke hutan disebelah selatan kerajaan inka. Kuda mereka melesat dengan cepat, menembus hutan rimbun yang semakin ke dalam semakin rimbun dan jarang terjamahi manusia. Dari jauh mata tajam Ailesh menangkap siluet tubuh dua laki-laki yang ia duga adalah kaki tangan pemberontak itu, Ailesh menekan perut kuda dan kudanya melesat semakin cepat.
Keempat jenderalnya tertinggal beberapa meter dibelakangnya, tentu saja tertinggal. Karena Ailesh sangat ahli berkuda dan juga kudanya ini adalah salah satu kuda tercepat dan terbaik dikerajaan.
Ailesh menghentikan kudanya dan menatap tajam kedua laki-laki dihadapannya yang tampak gemetaran dan langsung bersujud dihadapannya, lalu jenderal dibelakangnya langsung menghujamkan pedang ke arah mereka. Kedua laki-laki anggota pemberontakan itu sontak langsung terbelalak lebar melihat pedang tajam itu terhujam ke arah mereka tanpa diduga.
Namun ketegangan itu tergantikan dengan suara yang terdengar memekik kecil khas anak-anak, jelas-jelas itu bukan suara salah satu dari mereka dan rupanya langsung membuat pendengaran tajam Ailesh bereaksi, wajahnya semakin dingin dan menyiratkan ekspresi terganggu.
“Siapapun itu, bunuh dia sekarang.” Ucapnya dengan tenang namun dingin menusuk.
Keempat jenderal di belakangnya bersama kedua laki-laki bertudung itu langsung berpencar ke segala arah tanpa menunggu lagi, mencari sumber suara. Ailesh mengerutkan alis dan sedikit terkekeh dalam hati menyadari bahwa jenderal-jenderalnya beserta kedua laki-laki tadi terlihat bodoh dengan mengabaikan bahwa sumber suara itu jelas-jelas berada sangat dekat dengan mereka. Ailesh memilih diam, menunggu sang kelinci yang akan segera menjadi buruannya itu keluar dan berlari ketakutan, dan tidak menunggu lama, mata tajam Ailesh langsung menangkap gerakan lincah seorang anak kecil yang berlari dari rerimbunan semak-semak berduri yang ia tahu bahwa itu adalah tanaman penghasil buah inka.
Tanpa basa-basi Ailesh langsung mengejar anak kecil dihadapannya dengan kecepatan tinggi, mengejar sang buruan yang berlari dengan keranjang kecil dan kaki kecilnya yang begitu lincah. Ailesh tersenyum keji melihat buruannya itu tampak lincah dan lumayan gesit, mengartikannya sebagai tanda kalau buruannya itu ingin bermain-main dengannya.
“Berhenti kau bocah sialan!” Entah kenapa nada kasar itu keluar dari mulutnya tanpa kendali, senyum Ailesh berubah hancur ketika melihat buruannya itu berlari lebih cepat dari lari anak kecil biasa. Benar-benar buruan yang kuat.
Ia mengeluarkan anak panahnya dan langsung melesatkannya sesaat ketika anak kecil dihadapannya itu tiba-tiba memelankan langkah kakinya.
Beruntungnya anak panah itu dapat dihindari anak kecil tersebut dan malahan melesat menancap ke dalam batang pohon dihadapannya, Ailesh menggeram kesal mendapati bahwa untuk pertama kalinya ia tidak tepat sasaran, padahal jelas-jelas ia adalah anak-anak yang pastinya lebih lemah dari perempuan. Ailesh melihat tubuh kecil itu membeku ditempat, melihatnya yang kini berada begitu dekat dengannya.
Anak kecil itu langsung bersujud dan berkata dengan suara bergetar, “Aku mohon tuan, jangan bunuh hamba.” Ada nada suara yang membuat Ailesh membeku dalam sedetik, ketika ia mengerjap dan menyadari apa yang salah dalam dirinya hanya karna disebabkan suara anak tersebut.
Angin tertiup dengan halus, pohon-pohon seolah bergoyang menikmati tiap hembusan angin. Daun-daun berguguran menciptakan suasana berbeda di musim hujan kali ini. Dan Ailesh masih terdiam menatap kepala anak kecil tersebut yang masih bersujud dan menenggelamkan wajahnya sambil menahan isak tangis.
Ailesh mengernyitkan dahinya dalam, mengetahui perasaan asing yang membuatnya malah terpaku menatap anak perempuan itu. Lalu suaranya melunak dan tanpa diduga ia bertanya hal yang sama sekali tidak ada dalam pikirannya. “Siapa namamu?”
Ailesh dapat melihat gadis itu terperangah dibawahnya, namun dengan bibir bergetar ia memberanikan diri menjawab pertanyaan tak terduga itu, “Eila.” Suaranya nyaris berupa bisikan yang sarat akan makna namun begitu kebingungan dan polos.
Ailesh menajamkan matanya dan langsung tersadar dengan sesuatu yang berdenyut keras didalam kepalanya, ia kembali pada keadaan sadar dan berkata dengan nada yang sangat dingin.
“Maap Eila, tapi aku harus membunuhmu.” Anak perempuan itu menegang ditempat.
Ailesh menarik gagang pedangnya, sengaja membiarkan suara pedang yang bergesekan dengan tembaga itu terdengar ngilu dan mengerikan. Entah kenapa melihat anak kecil itu membuatnya kehilangan kendali, dengan perasaan yang lebih mengandalkan emosi yang tidak berguna dan melemahkan itu.
Lalu tanpa diduga gadis itu mendongakkan kepala dengan berani menatapnya dan berkata, “Apakah aku berbuat salah tuan?” Tanya gadis itu polos.
“Ibu berkata jika aku berbuat baik maka tidak akan ada orang yang berani menyakitiku, ” sambungnya dengan suara yang kini terdengar gemetar. Ailesh dapat melihat dengan jelas mata beriris merah kecoklatannya yang bulat dan basah karna air mata itu menatapnya dengan kebingungan, khas anak kecil.
Ailesh kembali terdiam, terperangah menatap kecantikan anak kecil itu meskipun tampak masih sangat anak-anak. Rambut coklatnya yang lurus dan lebat itu berkibar dengan bau yang entah kenapa tercium begitu wangi di inderanya. Garis wajahnya, oh begitu sangat menggemaskan sekaligus tenang, dan entah kenapa serasa tidak asing di matanya.
Entah berapa lama Ailesh hanya menatap anak kecil itu hingga ia menunduk kembali dan menangis terisak dalam diam. Ailesh menggeram dan tanpa membuang waktu, ia turun dari kudanya dan berjalan tenang ke arah gadis kecil itu yang kini kembali membeku menatap sepatunya dari balik bulu mata lentiknya itu.
Tanpa diduga tangan Ailesh menyentuh dagunya, membuat anak kecil itu tertegun sambil menatapnya.
Dari dekat Ailesh dapat melihat sepasang bola mata hazel milik Eila yang begitu jernih saat cahaya matahari memantul pada matanya. Gadis itu menatapnya dengan ketakutan, kepolosannya membuat Pria itu merasa gemas. “Ailesh, namaku Ailesh.” Gumamnya dengan nada yang tidak biasa, ia menatap sekali lagi Eila yang menatapnya dengan pandangan bertanya.
Ailesh langsung menaiki punggung kuda lalu meninggalkan Eila yang terdiam menatapnya dengan terkejut.
Eila
Siapa kau?
Dan rasa,
Apa yang telah kau perbuat?
*
Eila menyibakkan gaunnya dari debu, lalu meraih keranjangnya yang tergeletak dengan sebagian buah inka yang keluar. Gadis kecil itu shock, membuat kepala mungilnya itu dipenuhi dengan kebingungan dan ketakutan. Tentu saja ia tidak dapat bernafas lega, belum bisa selama ia belum berada di rumahnya.
Eila berjalan menyusuri jalanan aspal kecil, berjalan cepat dan berharap tidak ada lagi hal-hal yang dapat menakutinya. Ia ingin segera pergi, secepat mungkin menjauh dari hutan itu.
Ia menatap ke atas, menyadari bahwa gumpalan awan-awan hitam itu akan segera menurunkan hujan. Segera kaki kecilnya itu melangkah dengan lebar dan cepat, berharap secepat mungkin ia dapat sampai setidaknya sampai pemukiman warga.
“Eila!” Suara itu membuat pandangan Eila beralih ke depannya. Parvati berdiri tidak jauh darinya, menatapnya dengan kerutan di dahi yang menandakan bahwa ia begitu khawatir pada Eila.
“Kenapa kamu ke hutan sendirian? Dimana rubhya?” Eila menatap ibunya yang masih memakai sarung tangan kain yang terlihat lusuh. Parvati adalah petani serabutan, dan kebetulan hari ini ibunya sedang memanen.
“Rubhya sepertinya sakit bu, jadi dia menyuruhku untuk memetik buah inka di hutan.” Eila sengaja berbohong, tentu saja ia tidak ingin Rubhya dimarahi. Meskipun terselip perasaan dihatinya yang ingin mengatakan bahwa kakaknya itu menyuruhnya melakukan tugas-tugas yang harusnya dilakukan oleh Rubhya.
Parvati menyipitkan matanya, menatap lekat-lekat Eila yang terlihat sangat pucat dan terlihat muram, tidak ceria seperti biasanya. “Kau baik-baik saja, nak?” Eila gemetaran, antara takut dan perasaan ingin berlindung di dalam dekapan ibunya. Namun ia segera menyingkirkan perasaan takutnya itu dan tersenyum lebar menatap ibunya.
“Tentu saja bu, ayo kita pulang. Sepertinya langit akan segera hujan.”
*
Istana itu begitu sesak dengan suara musik yang mengalun keras memenuhi hampir ke seluruh penjuru istana. Suara tawa bahagia terdengar samar-samar tertutupi suara musik yang semakin liar dengan tempo cepat. Para penari meliuk-liukkan badannya dengan lincah sambil tersenyum genit, menikmati tiap alunan musik yang semakin menggairahkan.
Seorang pelayan menghampiri pria berpakaian paling megah dan berkuasa diantara yang lainnya, lalu pria itu mengisyaratkan tangannya dan pelayan itu hanya mengangguk dan segera pergi.
Ailesh berdiri diam menatap keramaian istana yang hampir selalu mengadakan pesta hura-hura untuk sang Raja yang haus akan kekuasaan dan kesombongan. Seorang wanita berpakaian menggoda menghampirinya dengan isyarat tubuh yang sudah terlihat begitu menginginkan Ailesh. Tanpa tahu malu wanita itu menyentuh Ailesh dan menempelkan dadanya pada lengan Ailesh, pria itu menggeram.
“Singkirkan tubuh menjijikanmu dariku.” Wanita itu tersentak kaget mendengar penolakan Ailesh yang secara gamblang menyatakannya. Bahkan tubuhnya itu langsung merespon penolakan dengan menyentak kasar sedetik setelah wanita itu menempelkan tubuhnya secara tidak tahu malu.
“Kau benar-benar kasar pada wanita, Ailesh.” Pria bertubuh besar dengan pakaian kemegahan dan kekuasaan itu tersenyum menatap Ailesh dan wanita itu.
“Sayang sekali kau harus ditolak oleh pria ini Santosi. Kau boleh pergi.” Wanita itu menunduk lalu meninggalkan kedua laki-laki itu dengan gurat wajah kesal dan kecewa karena pertama kalinya ditolak oleh seorang laki-laki apalagi laki-laki ini adalah laki-laki paling tampan dibanding laki-laki lain.
“Apa mau mu Bhoopat.”
Laki-laki itu langsung tertawa keras mendengar sebutan Ailesh padanya. Wajahnya menyiratkan kegelian dengan pembawaan yang terlihat menyebalkan.
“Kau harus hormat padaku Ailesh, karena aku sekarang adalah rajamu.” Raja Bhoopat menekan bagian terakhir dengan menyeringai. Ailesh menatapnya datar dan sama sekali tidak terpengaruh dengan ucapan Raja Bhoopat yang begitu pongah menunjukkan kekuasaan padanya.
“Kaki tangan pemberontak sudah ku habisi, jenderalmu akan memberitahu dimana letak para pemberontak itu.” Ailesh membalikkan badannya dan melengos begitu saja tanpa penghormatan pada Raja Bhoopat. Dan bukannya tersinggung dengan sikap Ailesh, pria itu malah kembali tertawa lebih keras dari tawanya yang pertama.
“Lupakan saja Prameswa-mu itu Ailesh, dan tunjukkan sikap hormatmu padaku.” Suara Bhoopat berubah tajam dan tegas, ia menatap punggung Ailesh yang membeku setelah beberapa langkah berbalik darinya. Raja Bhoopat menyeringai puas melihat reaksi laki-laki itu.
Ailesh sama sekali tidak mau repot-repot berbalik menatap Raja Bhoopat dan menanggapi perkataan yang sengaja memancing kesabarannya. Dan laki-laki itu membalas perkataan Raja Bhoopat dengan lebih dingin. “Aku sudah melupakan wanita sialanmu itu dan jangan berharap terlalu banyak padaku, kau tahu itu Bhoopat.”
Ailesh meninggalkan tempat itu dengan langkah lebar, merasakan tusukan tajam mata Bhoopat yang malah memakan senjata pancingannya sendiri.
*
Baru dua part nih tapi kelabakan nyari idenya nyampe setahun wkwk. Btw ini adalah cerita fantasi pertama saya, sebelumnya menyeritakan sepasang manusia yang diturunkan dari surga, terinspirasi dari kisah nabi Adam as dan istrinya, saya bahkan buat ceritanya diawal mula sebelum saya membentuk dunia yang saya gambarkan ini. Selamat menikmati semuanya, terima kasih banyak atas apresiasi dan semangatnya. Karena sejujurnya saya mungkin tidak akan melanjutkan cerita ini kalau tidak ada sama sekali orang yang sekedar membaca dan memberi semangat. Terima Kasih banyak juga buat tim psa yang kreatif dan baik sekali memberi kesempatan kepada kami para penulis amatari dan pemula untuk diperbolehkan membagi karyanya, kalian luar biasa!
Feel ink : Melihatmu
3 Januari 2017 in Vitamins Blog
Aruni masih terdiam dengan dengungan keras yang membuat telinganya tidak nyaman. Dalam diam ia mencoba menegarkan hati dengan pendengaran yang seolah begitu waspada. Kata-kata dalam hati terlafalkan bagai mantra yang diulang-ulang.
Kini Aruni berani menoleh lagi walaupun dengan pertimbangan seribu kali atas resiko yang akan terjadi nantinya. Dengan jiwa yang seolah terhenyakkan, Aruni melihat dengan kepalanya sendiri bahwa manusia itu memang ada. Dan manusia itu nyata bagai kepingan kayu pinokio yang hidup, dalam bentuk yang menarik tentunya.
Bidadari macam apa yang mampu menghidupkan manusia ini?
Aruni kembali dalam posisi semulanya. Duduk diam dalam hembusan nafas yang terpacu cepat karena adrenalinnya sedang tinggi saat ini. Darahnya berdesir hebat seolah ada hal yang mampu membuat bulu roma berdiri tegak saking tegangnya.
Baru beberapa langkah setelah penawaran gila tadi, manusia itu kembali duduk di sampingnya. Membuat harapan tentang hatinya yang sekuat baja itu sirna termakan kenyataan sendiri. Bodohnya, Aruni tidak dapat menggerakkan badan selain kepalanya, sendi-sendinya melemas bagai jelly.
Suasana halte mulai sepi, beberapa orang memasuki bus yang datang silih berganti dengan bangku-bangku kosong. Seharusnya kesempatan itu diambil Aruni, namun keadaan tubuhnya yang tiba-tiba melumpuh membuat kesempatan melayang di depannya.
“Sampai kapan kamu diam disitu?” Suara dingin manusia itu kembali menggetarkan tembok pertahanan Aruni, membuat lidahnya kelu dengan suara yang tercekat dipangkal tenggorokannya. Aruni menghembuskan nafas lemah.
“Kamu dengar saya bukan?” Suara Kafvin menajam, membuat Aruni semakin tersudut dengan keadaan halte yang berubah mencekam. Hari mulai menampakkan waktu senja, dan Aruni semakin kebingungan dengan keadaan. Dan hujan, mengapa hujan tidak berhenti saat ini juga?
“Anda siapa ya?” Aruni memberanikan diri untuk bertanya walaupun pada kenyataannya ia berusaha untuk menyembunyikan fakta. Fakta bahwa berpura-pura adalah jalan terbaik menghindarkan diri dari akun yang berubah menjadi manusia nyata ini. Kafvin menoleh dengan tatapan tajam, Aruni tidak menyangka bahwa manusia itu benar-benar berbeda dengan apa yang ada dalam bayangannya.
“Jangan paksa saya untuk membuatmu mengingatnya, Aruni. Jadi, kamu memilih untuk pulang bersama saya atau tetap mempertahankan kekeras kepalaan mu itu?” Suara Kafvin menajam dengan nada rendah yang ditekan dengan emosi tertahan.
Aruni menelan ludahnya dengan susah payah. Tawaran kedua memang pilihannya, namun suara yang mendesak itu membuat Aruni berusaha mencari perlindungan lain.
“Terima kasih atas tawarannya, tapi aku lebih baik pulang sendiri.” Keberuntungan berpihak pada Aruni ketika ia merasa bersikap stabil. Aruni berjalan cepat ketika sebuah angkutan umum melintas ke arah halte. Tanpa banyak kata Aruni langsung memasuki angkot itu dan meninggalkan Kafvin yang menatapnya dalam diam.
Sesampainya di kosan Aruni langsung menghempaskan tasnya ke tempat tidur dengan asal. Perasaan lega tak kunjung di rasa ketika kilasan kenangan semu itu kembali menyeruak dalam ingatan. Padahal sudah sejak dulu Aruni menghapus jejak tentang manusia itu, tidak ada yang tersisa selain kenangan yang tersimpan dalam kepalanya.
Aruni mengenal Kafvin di sebuah sosial media yang biasa dikunjunginya. Pertemuan itu adalah awal dari kisah percintaan di dunia maya, dan Aruni mengalami susah move on yang bertahan sampai dua tahun lamanya. Kabar terakhir yang ia tahu dari teman dunia mayanya, Kafvin ternyata kuliah di daerah jawa barat.
Dan hal yang paling mengejutkan ternyata berada di kota yang hampir tidak terlalu jauh untuk dijangkau dari tempat kuliahnya saat ini. Aruni memejamkan mata mencoba meredakan emosi yang mulai meluap kembali. Manusia itu sekarang benar-benar nyata.
Kenyataan bahwa hari ini adalah pertama kalinya ia dapat memandang manusia itu dalam bentuk yang nyata, sedikit membangun harapan yang dahulu terkubur dalam kebencian. Sejauh apapun ia mencoba menjauh tetap saja harapan itu masih tertanam. Dering handphone mengusik ketenangan sesaat didalam kamar berukuran kecil itu, Aruni mendecak lidah kesal dengan notifikasi yang masuk ke ponselnya itu kadang mengganggu waktu tenangnya.
“Jangan bersikap seolah kamu tidak mengenal saya Aruni. Sampai jumpa besok sore.”
Hampir saja Aruni menjatuhkan ponselnya kalau ia tidak benar-benar sigap. Jantungnya kembali berpacu dengan cepat, membuat perutnya melilit terbawa suasana tegang yang muncul hanya karena sebuah pesan singkat. Dan setelah tiga tahun pria itu tidak muncul di semua sosial media, tidak memberi kabar yang pasti, mengapa ia memilih untuk muncul ketika Aruni sudah merasa benar-benar melupakannya?
Sampai jumpa besok sore? Apakah pria itu memang berniat untuk memporak porandakan hatinya ya? Pesannya itu, kenapa harus mengena ke dalam hatinya?
Aruni menertawakan dirinya dalam hati, tentu sangat miris. Pria itu telah menghapus perjuangannya untuk melupakan selama bertahun-tahun. Dan hadir kembali, menanam benih tanpa di sangka hanya dalam waktu hitungan detik.
Permainan hidup macam apa ini?
Aruni melempar ponselnya asal, lalu menenggelamkan wajahnya ke dalam bantal dan menangis keras-keras. Cinta, mengapa harus semenyakitkan ini?
*
Keadaan kampus hari ini terlihat lengang, beberapa mahasiswa masih menunjukkan kehidupan kampus belum benar-benar ramai seperti hari biasanya. Aruni berjalan menuju akademik sambil menenteng beberapa berkas yang perlu disimpan. Biasanya Riski selalu menemaninya, namun karena Riski masih disibukkan dengan tugasnya membuat Aruni harus berjalan-jalan dikampus sendirian.
Aruni melirik sekilas jam tangan yang melekat pada pergelangan tangannya. Waktu menunjukkan pukul tiga sore, sebentar lagi akademik akan tutup. Aruni mempercepat langkahnya menuju ruang akademik.
Karena kurang hati-hati, Aruni tidak sengaja menjatuhkan monitoring yang dibawanya tadi. Beberapa kertas lepas, membuat Aruni harus membereskannya terlebih dahulu. Ia membungkuk dan segera membereskannya, sebelum itu ia mengabaikan getaran ponsel dari dalam tasnya.
Aruni segera menyimpan monitoring di tempat penyimpanan dekat pintu akademik. Setelah itu ia segera menyerahkan berkas yang dititipkan padanya. Dering ponsel kembali bergetar dalam tasnya, Aruni berdecak kesal.
“Halo.” Suara di sebrang sambungan terdengar asing namun sedikit membuat Aruni merasa tidak nyaman. Hatinya menerka-nerka dengan perasaan was-was.
“Saya di kantin.”
Sambungan langsung terputus. Aruni menatap ponselnya dengan perasaan bercampur aduk. Ia segera bergegas menuju kantin dan mengabaikan resiko yang akan kembali ditanggungnya ketika sampai di kantin nanti.
Aruni mengedarkan pandangannya, menatap satu persatu penghuni kantin yang saat ini tidak seramai biasanya. Matanya yang bulat masih terus memindai objek yang menjadi sasarannya. Namun kegiatan yang berlangsung selama beberapa menit itu tidak membuahkan hasil yang baik selain tatapan penghuni kantin yang merasa risih dengan sikapnya.
“Nyari siapa?” Riski muncul disampingnya dengan wajah berseri-seri, Aruni terdiam sebentar lalu kembali menatap Riski dengan seksama. Tepatnya orang yang ada dibelakangnya saat ini.
“Kamu?” Aruni menggantungkan kata-katanya ketika rasa gugup merasuki sebagian dirinya. Namun matanya itu tetap memandang lurus ke belakang Riski. Perempuan itu langsung mengikuti arah pandangannya dan langsung berdecak.
“Kamu tau Run, laki-laki ini mencarimu ke seluruh bagian kampus. Dan dia sama sekali tidak menemukanmu, untung saja aku datang dan ternyata wow laki-laki ini bertanya pada orang yang benar.” Riski menjelaskan dengan panjang lebar, sementara tatapan Aruni terpaku pada laki-laku itu. Begitupun sebaliknya dengan Kafvin.
“Aku mau berbicara dengan kamu sekarang.” Suara Kafvin menginterupsi penjelasan Riski. Gadis itu langsung menghentikan ucapannya dan menatap Aruni dan Kafvin secara bergantian. Lalu matanya langsung membulat sempurna dan gadis itu pun mencoba untuk tidak merusak suasana dengan berada diantara keduanya.
Riski berpamitan pergi dengan beralasan untuk menemui dosen yang menunggunya saat ini, dan hal itu ditanggapi dengan sikap sopan Kafvin. Sedangkan Aruni menanggapinya dengan sikap sebaliknya, ia berharap Riski menemaninya saat ini. Untuk menghilangkan rasa gugupnya yang terasa tidak nyaman, setidaknya temannya itu bisa dijadikan sebagai pelarian.
Kafvin dan Aruni langsung menduduki kursi kantin yang kosong. Keduanya terdiam, tidak membuka percakapan apapun. Sampai kemudian Kafvin membuka percakapan dengan suaranya yang dingin.
“Bagaimana kabarmu?”
Aruni terdiam sebentar lalu menyahut dengan suara pelan, nyaris berbisik. “Biasa saja.”
“Apa tujuan kamu melakukan ini?” Suara Aruni nyaris bergetar, namun gadis itu mencoba untuk tidak terlihat goyah dihadapan Kafvin.
Kafvin menatap Aruni yang saat ini memilih untuk membuang mukanya ke segala arah. Pemandangan itu mengusiknya dan membuat nada suaranya terdengar rendah penuh emosi. “Untuk memperbaiki keadaan.” Kafvin menajamkan matanya.
Aruni tertawa miris, lalu kembali bersikap datar. “Memperbaiki keadaan? Apanya yang diperbaiki?” Ucapannya itu terkesan mengejek, namun Aruni berusaha untuk mengucapkannya dengan datar.
Kafvin menegakkan punggungnya lalu menatap Aruni dengan tatapan menusuk, Aruni mencoba untuk menghindari tatapannya.
“Kita, aku ingin memperbaiki kita berdua.” Suara Kafvin berubah lembut, membuat Aruni tertegun dengan ucapannya. Gadis itu baru berani menatap Kafvin setelah perkataannya itu, dan tatapan itu. Tatapan seorang lelaki yang mendamba cintanya, tatapan yang berlumur luka tak kasat mata.
Feel ink
25 Desember 2016 in Vitamins Blog
Beberapa menit lalu sinar matahari masih terik, seperti sengatan yang sangat mengganggu tapi menyenangkan. Kemudian awan datang dan berarak sendu, membawa gumpalan hitam yang menakutkan dari ufuk timur. Akhirnya hujan rintik-rintik mengguyur seluruh kota.
Beberapa orang bergerutu pelan, lalu meneduh di pinggir jalan. Bagi mereka, hujan disaat seperti ini sangat mengganggu. Seberapapun keringnya bumi, mereka tetap mengeluh saat hujan turun di waktu yang tidak mereka harapkan.
Tidak sadarkah mereka? Do’a mereka terkabul, dan mereka masih mengeluh?
Aku menggeleng pelan.
Menghiraukan gerutuan seorang perempuan yang duduk tidak jauh dariku. Hujan yang semakin deras membuat halte bus mulai dipenuhi orang-orang yang mencari tempat berteduh. Aku merapatkan jaketku, air hujan membuat kedua pipiku dingin, aku tersenyum merasakan perasaan yang menggelitik ini. Aku menyukainya.
“Hujan itu, rasanya kayak hypnosis.”
Kilasan yang menyedihkan, aku tidak ingin menyingkirkannya. Masa lalu adalah kenyataan bahwa kita ini telah berjalan cukup lama, saat terjatuh dan dijatuhkan adalah hal yang tidak dapat diduga. Manusia itu makhluk yang suka menerka-nerka. Bukan hal yang mustahil jika mereka tidak memikirkan bagaimana jadinya nanti nasib mereka.
Ini semua terlalu rumit.
Angkutan umum tidak kunjung datang. Setiap kendaraan umum itu melintas, penumpang pasti sudah memenuhinya dan membuat orang sepertiku harus menunggu angkutan umum lain.
“Butuh tumpangan?” Suara yang cukup dingin itu menghenyakkan alunan musik sendu yang mengalun didalam pikiranku. Entah kenapa kepalaku gatal untuk sekedar menoleh, tapi dengan sisa-sisa kesadaran yang terkikis ini aku berharap khayalan konyol ini berakhir detik itu juga.
“Yaudah,” beberapa detik hanya membisu Laki-laki itu berjalan meninggalkanku dengan sejuta pertanyaan yang ingin ku sampaikan. Tawarannya itu menggirukan, namun untuk sekedar berharap pun aku harus membuangnya jauh-jauh. Kenyataan bahwa saat ini aku berjalan pada jalan yang baru membuatku harus waspada dengan perasaan dan hati yang mudah terbawa suasana.
*
Land Under Heaven : Prolog
22 Desember 2016 in Vitamins Blog
Land Under Heaven Prolog : Kenangan Masa Kecil
by Sy
*
Langit pertama terdiri dari tujuh dunya yang masing-masing Negeri memiliki kekhasan dan keelokan tersendiri. Langit pertama menjadi tempat teraman sementara untuk menempatkan segala sumber kehidupan yang dahulu belum terbentuk.
Bumi pertama bernama Qiran, bumi ini adalah bumi yang mempunyai cuaca paling panas di langit pertama karena hampir seluruh negeri Qiran bergurun pasir dengan tumbuhan yang sedikit jarang ditemui. Negeri Qiran mempunyai kelebihan yaitu terbebas dari beberapa penyakit ganas karena sinar matahari yang dapat mengobati penyakit.
Bumi kedua bernama Bhayu, bumi ini begitu indah dengan hamparan rumputnya membentang luas mengelilingi Negeri Bhayu, Negeri ini begitu sejuk dan tentram di waktu-waktu yang ditetapkan, namun Negeri ini dapat menjadi berbahaya kala waktu badai datang. Negeri ini mempunyai badai yang hebat dan mengerikan dibandingkan dengan bumi lainnya dalam kurun waktu yang cukup lama.
Bumi selanjutnya adalah Geeta. Bumi Geeta adalah bumi yang paling menyenangkan di seluruh Langit pertama. Negeri Geeta menawarkan begitu banyak senandung dan musik yang menentramkan jiwa, untuk makhluk tertentu Negeri ini dapat menjadi Negeri pencipta racun. Beberapa senandung yang mereka ciptakan dapat mengantarkan manusia kepada kematian dengan cara yang benar-benar halus dan mengerikan.
Gushuma menjadi belahan bumi yang paling indah, bumi ini menghamparkan beribu jenis bunga indah yang menyegarkan indera penglihatan dan indera penciuman.
Pribumi Negeri Gushuma terkenal dengan keramahan dan kekhasan mereka yang selalu merayakan hari besar bunga yang digelar setahun sekali. Perayaan ini semata-mata untuk bersyukur kepada Yang Maha Esa. Bumi ini juga mempunyai nama lain yang disebut Negeri Neermala.
Belahan bumi Giryi merupakan belahan bumi paling besar dan paling berpotensi bahaya di dunya. Bumi ini mempunyai banyak gunung berapi yang tidak biasa, jika meletus pada waktunya gunung itu bukan hanya menyemburkan lava panas tapi juga abu beracun yang dapat membunuh manusia dalam beberapa menit. Bumi ini juga biasa disebut Cakra, banyak dari pribuminya berhasil mengembangan teknologi pesat.
Lalu ada pula belahan bumi yang penuh dengan perdamaian, bumi ini adalah Negeri Syanth. Negeri yang mempunyai kekayaan upala dan emas terbaik, itu sebabnya Negeri ini juga disebut Negeri Upala. Semua makhluk yang menginjakkan kakinya dibumi ini akan melupakan kedengkian dan kejahatan di hatinya, namun semua itu tidak berlaku pada makhluk Iblis.
Dunya Inka diberkahi dengan kelimpahannya yang mengugah segala hal sampai belahan bumi lain merasa sangat iri dengan kelimpahan yang diterima kaum Inka.
Bumi terkecil yang berada di langit pertama itu begitu terkenal diseluruh jagad langit pertama, dengan keindahan dan kesuburan yang melimpah ruah.
Negeri Inka juga terkenal dengan sebutan Negeri Pramitha. Segalanya dibumi ini begitu sempurna dan seimbang, tidak mematikan tapi tidak selalu aman.
Keseimbangan ekosistem bumi ini membuat bumi ini berbeda dengan bumi yang lain. Hal itu pula yang memancing beberapa raja dari bumi lain menggertak keberadaan Negeri Inka.
Bukan hanya itu saja, Negeri Inka yang suci terberkahi dengan kedatangan sepasang suami isteri yang turun langsung dari langit ketujuh dan menjadi pemimpin utama di langit pertama. Segalanya semakin memperindah keelokan Negeri Inka dengan kedatangan kedua manusia pilihan itu.
Meskipun setiap negeri di dunya mempunyai kerajaan dan pemerintahan tersendiri, namun tetap saja semua bumi dikawasan langit pertama itu tunduk dengan pemerintahan Negeri Inka yang kuat sekaligus tak dapat digoyahkan itu, beberapa bumi yang lain dahulu berlomba-lomba membawa pasukan mereka mencoba untuk menembus pertahanan Negeri Inka yang sangat kuat. Mereka mengincar sumber daya dan segala hal yang tidak ada di dunya mereka.
Menurut kepercayaan setempat, Negeri Inka dilindungi oleh pasukan asing yang berkeliling melingkupi bumi Inka yang kecil, pasukan itu bernama Bhup. Pasukan Bhup mempunyai tameng yang kuat, dapat mengalahkan beribu-ribu pasukan yang datang ke Negeri Inka silih berganti. Namun pasukan Bhup tidak selalu muncul, hanya ketika Negeri Inka benar-benar terancam pasukan ini muncul dengan persenjataan lengkap dan khas yang tidak dimiliki pasukan manapun termasuk pasukan militer Negeri Inka.
Ketujuh bumi itu disatukan dalam satu langit yang sama, dengan daratan yang berbeda dan bertingkat-tingkat sesuai keberadaan tanah negerinya. Lalu dibentengi dengan perairan luas yang memutuskan satu sama lain sekaligus memisahkannya.
Keindahan Sang Pencipta ini adalah salah satu anugerah yang patut di syukuri seluruh kaum langit pertama.
*
Eila menggerutu disepanjang langkah kakinya yang mungil itu, berjalan menyusuri jalan setapak kecil disepanjang hutan yang tidak terlalu menyeramkan dilewati seorang gadis sendirian. Tapi hutan tetaplah hutan, tidak ada yang bisa menangkis kalau-kalau ada makhluk buas yang bisa saja ditemuinya.
Gerutuannya masih terdengar samar-samar, hatinya kesal ketika pekerjaan yang biasanya di ambil oleh kakaknya Rubhya harus di alihkan padanya. Dan dia sangat benci ketika dipaksa dan diancam seperti itu. “Mau aku beritahu Ibu kalau kau tidak menurut pada kakak?”
Dengan ancaman seperti itu saja Eila lebih baik menyerah dan mengambilnya ketimbang harus berdebat dengan Rubhya yang pasti saja selalu berhasil memojokkannya.
Setelah beberapa menit menyusuri hutan tanpa mendapatkan apa-apa akhirnya Eila menemukan apa yang dicarinya. Di ujung jalan yang mengarah ke selatan itu terdapat semak-semak belukar yang nampak biasa saja dari jauh namun sangat berbahaya ketika dilihat dari dekat.
Orang-orang menyebutnya buah inka, sesuai dengan nama Negeri mereka. Inka berarti kecil, dan buah inka adalah salah satu buah yang tidak akan pernah tumbuh selain di Negeri inka dari seluruh dunya.
Menurut legenda buah inka tumbuh jauh sebelum langit pertama ditumbuhi kehidupan manusia, bahkan legenda mengatakan buah ini adalah tumbuhan pertama yang hidup di dunya.
Semakin kecil buah inka semakin lezat dan berkhasiat pula untuk tubuh, namun sebaliknya semakin besar buah inka semakin pahit dan beracun bila dimakan, tapi tetap berkhasiat dalam dunia pengobatan bila dikombinasikan dengan tanaman obat-obatan lainnya.
Tanaman liar itu memiliki buah-buah yang sangat kecil, sangat lezat dan bagus untuk tubuh, walaupun untuk memetiknya haruslah berhati-hati dengan duri-duri tajam yang menempel pada batangnya. Buah berwarna kuning pudar bila sudah matang itu sering ditemukan dihutan, namun karena sekarang musim penghujan sangat sulit menemukannya mengingat tumbuhan itu hanya sering tumbuh ketika musim-musim selain penghujan.
Gadis itu langsung berlari secepat mungkin saking kelewat bahagianya mendapati satu-satunya semak-semak yang berhasil ditemukannya. Ia menyimpan keranjang disisi kanan tubuhnya, lalu mulai memetik buahnya tanpa memperdulikan duri-duri tajam yang bisa saja menusuk kulitnya.
‘srrkk’
Ketika Eila tengah asyik memetik buah inka tiba-tiba ia merasa waspada, suara gesekan itu terdengar seperti langkah kaki namun seperti mengendap-endap.
Eila langsung bersembunyi di balik tanaman liar itu demi melindungi dirinya dari bandit yang sewaktu-waktu bisa saja memilih hutan itu untuk melancarkan aksi jahatnya.
Eila bukan anak pemberani jika ia ingin jujur pada dirinya saat ini, namun terkadang situasi memaksanya untuk selincah mungkin menghindari kemungkinan-kemungkinan yang bisa melukainya, ibunya mengajarkan banyak hal padanya agar Eila dapat melindungi dirinya bahkan disaat ia masih kecil seperti ini.
“Apa kau yakin kita akan menemui mereka ditempat ini?” Sebuah suara pria asing mengisi pendengaran Eila saat ini, ia tidak tahu berapa orang diluar semak-semaknya ini namun ia sama sekali tidak mendengar suara langkah kaki gaduh.
Eila bukan anak pemberani jika ia ingin jujur pada dirinya saat ini, namun terkadang situasi memaksanya untuk selincah mungkin menghindari kemungkinan-kemungkinan yang bisa melukainya, ibunya mengajarkan banyak hal padanya agar Eila dapat melindungi dirinya bahkan disaat ia masih kecil seperti ini.
“Kita tunggu saja, tugas kali ini harus berhasil. Memangnya kau mau dipenggal oleh Yang Mulia?” Suara lain menyahut, Eila mengintip dibalik semak-semak mencoba memastikan ada berapa orang jahat diluar sana. Ia tidak dapat melihat wajah kedua pria dewasa itu, posisi mereka berdiri memunggunginya dan jelas-jelas mereka hanya berdua.
Pria itu memakai jubah hitam, salah satu pria memakai tudungnya sehingga tidak nampak sama sekali wajahnya. Pria yang satu lagi melepas tudungnya, ia tidak memiliki rambut sehelaipun.
Lama kedua pria itu terdiam, salah satu pria yang memakai tudung bersuara. “Kau yakin tidak ada orang yang akan melihat kita disini?”
Pria tidak berambut menoleh dan wajahnya terlihat dari samping walau tidak menampakkan seluruhnya, pria itu menatap temannya kesal. “Tutup saja mulutmu, jangan banyak tanya!” Geramnya.
Eila terdiam bingung, apakah ia harus segera pergi dari tempat itu menghindari kemungkinan dua pria asing itu menemukannya lalu mereka bisa saja membunuhnya, atau ia tetap saja disitu menyaksikan kejadian apa yang akan terjadi setelahnya. Lama menimbang-nimbang akhirnya Eila lebih memilih untuk menyaksikan apa yang akan terjadi.
Beberapa menit berlalu namun tidak ada kejadian apapun yang seperti ada didalam benak Eila, berlama-lama bersembunyi seperti itu membuat Eila lelah dan ia hampir saja memutuskan untuk pulang sebelum suara gemerisik sepatu kuda terdengar mendekat ke arah dua pria asing tadi.
“Mereka datang,” bisik si pria bertudung. Dari arah depan mereka terlihat lima penunggang kuda dengan pakaian militer, Eila tidak tahu jelas karena ia jarang sekali keluar lingkungan rumahnya makanya ia sangat tidak mengetahui perkembangan yang terjadi.
Dengan perasaan yang was-was Eila menatap lekat-lekat para penunggang kuda itu, entah kenapa ekspresi wajah dan penampilan mereka sangat menonjol. Salah satu dari kelima penunggang kuda itu lebih menonjol dengan baju zirah yang berwarna seperti emas.
Pakaian zirah menandakan mereka adalah para pejuang diperbatasan, walaupun berjasa besar tetapi tetap saja kasta mereka sama-sama rendah. Hanya para bangsawan yang menduduki kasta tinggi yang membuat mereka merasa wajib dihormati.
Kedua pria berjubah itu langsung bersujud dihadapan para penunggang kuda, namun tiba-tiba saja salah satu penunggang kuda menghunuskan pedangnya ke depan, sikap yang tanpa diduga itu membuat Eila terkejut dan tanpa sadar tangannya menggores batang berduri. Ia memekik kecil dan langsung menutup mulutnya saat orang-orang dihadapannya itu langsung terjaga dan menatap liar ke segala arah. Eila panik dan semakin panik saat salah satu penunggang kuda berbaju zirah berwarna emas itu langsung bersuara.
“Siapapun itu, bunuh dia sekarang.”
Suara dingin penuh dengan ancaman itu berhasil membuat tubuh Eila bergetar hebat, keempat penunggang kuda dibelakang pria bersuara mengerikan, dan kedua pria bertudung langsung berpencar ke segala arah mencari sumber suara yang jelas-jelas tidak jauh dari tempat asal mereka tadi. Eila memejamkan mata dan merasa suara gemerisik orang-orang tadi menghilang. Eila langsung berlari dari tempat persembunyiannya, berlari ke segala arah menghindari orang-orang asing tadi.
Ia tidak memperdulikan tangannya yang kini terasa perih, ia hanya ingin terus berlari sekuat mungkin dan berharap agar ia selamat dari orang-orang yang mencoba mencari dan membunuhnya. Dari arah belakang suara sepatu kuda sayup-sayup terdengar, dan semakin jelas saat Eila dengan seksama mendengar suara teriakan kuda semakin mendekat. Eila menggigil ketakutan, pikirannya kacau balau dan ia benar-benar ingin pergi saat itu juga.
“Berhenti kau bocah sialan!”
Teriakan kasar itu mengintimidasi, suara dengan penuh wibawa dan keangkuhan yang sangat tinggi. Eila langsung berlari kembali, hutan ini memang mengerikan namun orang yang mengejarnya saat ini lebih mengerikan. Ia terus berlari dan berlari ke segala arah sehingga sampailah ia di jalan setapak yang tadi sempat ia lewati, Eila tersenyum lega mendapati ada harapan ia keluar dari hutan itu, namun senyumnya luntur seketika saat anak panah melesat tepat menusuk pohon di depannya dalam hitungan yang tidak sampai satu detik.
Eila berbalik dan langsung berhadapan dengan bola mata beriris cokelat keemasan yang menatapnya dengan dingin dan murka, wajah tegas dengan rahang tinggi yang mengatup keras.
“Aku mohon tuan, jangan bunuh hamba.” Eila bersujud, tubuhnya bergetar hebat lantaran benar-benar ketakutan. Pria dewasa dihadapannya ini adalah orang paling mengerikan yang pernah ia temui, air matanya menetes meratapi nasibnya yang sebentar lagi direnggut.
Angin tertiup dengan halus, pohon-pohon seolah bergoyang menikmati tiap hembusan angin. Daun-daun berguguran menciptakan suasana berbeda di musim hujan kali ini.
Lama keduanya terdiam dan Eila hanya bisa menangis diam-diam tanpa bisa mencari jalan keluar. Pikirannya habis direnggut dengan bayang-bayang kematian, ia tak pernah menyangka hal semengerikan itu terjadi padanya.
“Siapa namamu?” Suara itu terdengar sedikit berperasaan walau benar-benar datar, Eila tersentak dan semakin menenggelamkan wajahnya kebawah tanah. Dengan bibir bergetar ia menjawab pertanyaan tak terduga itu, “Eila.” Suaranya nyaris berdecit, tenggorokannya kering dan Eila berusaha menelan ludahnya dengan susah payah.
“Maap Eila, tapi aku harus membunuhmu.” Eila menegang ditempat.
Suara pedang yang bergesekan dengan tembaga itu terdengar ngilu dan mengerikan, alarm tanda kematian akan segera menjemput membuat Eila semakin kebingungan berada dalam situasi genting yang tak pernah terlintas dipikirannya.
“Apakah aku berbuat salah tuan?”
Tanya gadis itu dengan polos. “Ibu berkata jika aku berbuat baik maka tidak akan ada orang yang berani menyakitiku, ” sambungnya dengan suara yang kini terdengar menyiksa. Air mata kembali menetes membasahi bulu mata lentiknya. Mata dengan iris merah kecoklatannya yang bulat menatap pria itu dengan marah, khas anak kecil.
Pria itu terdiam menatap dalam-dalam Eila yang kini menemukan keberanian untuk menatap pria dihadapannya itu. Angin berhembus dan menerpa wajah Eila, rambutnya yang bergelombang tertiup angin. Eila kembali menatap tanah sambil terisak pelan.
Tanpa diduga Pria itu turun dari kudanya lalu berdiri tepat didepan Eila yang kini masih menunduk dalam, jantungnya berdegup kencang seolah saat itu juga jantung mungilnya itu akan segera dicabut.
Tangan Pria itu tanpa diduga menyentuh dagunya, membuat Eila benar-benar sulit untuk berpikir apa ia benar-benar akan mati atau pria itu kini sedang mengulur waktu?
Dari dekat Pria itu menatap sepasang bola mata karamel milik Eila yang begitu jernih saat cahaya matahari memantul pada matanya.
Gadis itu menatapnya dengan ketakutan, kepolosannya yang jelas-jelas terlihat itu membuat Pria itu merasa gemas. “Ailesh, namaku Ailesh.” Gumamnya dengan nada yang tidak biasa, ia menatap sekali lagi Eila yang menatapnya dengan pandangan bertanya.
Ailesh langsung menaiki punggung kuda lalu meninggalkan Eila yang terdiam menatapnya dengan terkejut. Nyawanya yang nyaris saja melayang akhirnya membuatnya bisa bernafas lega walaupun ada kebingungan yang membuatnya terdiam lebih lama dalam posisi setengah terduduk itu. Ailesh, nama itu akan selalu terukir dibenaknya. Nama pria paling mengerikan yang pernah ia temui setelah kejadian itu.
*