Vitamins Blog

Land Under Heaven : Wanita Gelap

Bookmark
ClosePlease login

No account yet? Register

22 votes, average: 1.00 out of 1 (22 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

Land Under Heaven : Wanita Gelap

 

 

“Yang mulia, ada lagi yang harus saya laksanakan?” 

Dari balik bayang-bayang sudut ruangan, seorang pria menunggu titah sang Raja yang masih bergeming ditempatnya.

“Kau awasi saja mereka, dan habisi jika ada pihak yang berani melawan dibelakangku.” titah sang Raja.

Pria itu mengangguk patuh lalu membungkuk hormat dan meninggalkan sang Raja dari balik kegelapan. Kali ini sang Raja benar-benar sendiri diruangan besar itu, Raja Bhoopat terlalu senang hingga suara tawanya membahana mengisi aula istananya. Membiarkan emosinya membuncah tanpa ditahan-tahan.

*

Eila mengerjapkan matanya perlahan, tubuhnya terasa sangat ngilu dan sakit dibagian punggungnya membuatnya meringis ketika bergerak secara tiba-tiba. Ia masih belum dapat menyesuaikan matanya dengan kondisi sekitar yang terasa mencekam, bahkan untuk sekedar bernafas pun Eila harus menahan hirupannya agar tidak sesak. Ketika itu Eila merasa tubuhnya ditindih dengan benda berat yang terasa aneh.

Ruangan itu remang-remang, hanya bercahayakan sinar dari keluar keadaan penjagaan sangatcelah jendela. Eila berusaha bangun ketika mendapati dirinya dalam ruangan pengap itu, namun benda yang menindihnya ini begitu berat dan lebih besar dari tubuhnya. Rasa hangat menjalar dari kulit tangannya, membuat Eila sejenak membeku dalam diam.

Kepanikan langsung muncul dalam raut mukanya yang tersamarkan kegelapan, Eila ingin berteriak namun terasa perih dengan kekeringan yang terasa membakar di tenggorokannya, suaranya berdecit pelan. Gadis itu tak mampu melakukan usaha apapun selain berusaha menyingkirkan benda asing dari atas tubuhnya itu, pergerakannya yang tiba-tiba membuat rasa sakit di punggungnya semakin menyengat dan ngilu. Ia tidak dapat melihat apapun selain cahaya samar dari jendela kecil diatas sana.

Mulutnya menganga ketika menyadari benda yang menindihnya yaitu seorang manusia, tubuh besar itu menindih sebagian dirinya dengan posisi telungkup. Ia sedikit meronta, berharap terbebas dari kungkungan laki-laki yang tidak diketahui olehnya itu.

Tiba-tiba suara berat itu menyela rontaan Eila dengan tajam, “diam.”

Eila mencoba untuk menurut meskipun getaran ketakutan itu semakin jelas, ia tidak dapat melihat wajah siapapun selain siluet hitam orang itu. Dan jelas-jelas itu adalah suara laki-laki dewasa. Eila semakin tercekat ketika laki-laki itu bergeser sedikit menjauh dari tubuhnya namun tetap mendaratkan tangannya untuk menutup mulut Eila.

Beberapa saat ruangan itu hening dengan nuansa mencekam, laki-laki itu memutuskan untuk membebaskan Eila dari cekalannya. Dan Eila yang teramat ketakutan langsung beringsut lebih jauh dan dirinya menemukan tembok kasar yang menekan punggungnya dengan tajam. Eila meringis.

“Diam disini dan jangan coba-coba untuk memberontak, atau kau akan celaka.” Suara laki-laki itu terdengar dingin, dengan nada angkuh yang tidak disukai Eila.

Meskipun begitu, dengan sisi anak-anaknya yang melekat, Eila menuruti perkataan laki-laki itu untuk menghindar dari aura intimidasi yang menakutkan.

Beberapa saat Eila terdiam dengan pikiran kacau, ia ingin segera beranjak pergi dari tempat mengerikan itu. Namun ia bahkan tidak tahu dimanakah ia berada.

“Kita akan mencari jalan keluar.” Laki-laki itu berbicara pelan, lebih mirip gumaman. Ia sama sekali tidak mau repot untuk melirik Eila.

Eila memejamkan matanya ketika rasa takut mengalahkan tekadnya untuk kabur. Laki-laki asing itu ternyata orang yang sama-sama diculik dan dikurung di tempat serupa penjara ini. Nasib keduanya sama-sama naas, diam-diam Eila bersyukur laki-laki itu bukanlah orang yang berbahaya meskipun di sisi lain ia bersikap sangat dingin dan tak terbaca.

Laki-laki itu menyandarkan tubuhnya di tembok, posisi tubuhnya terduduk seperti patung yang tidak bergerak sama sekali. Keduanya duduk berhadapan dalam jarak yang tidak terlalu jauh. Eila mengetahui pakaian yang dipakai laki-laki itu mahal karena terbuat dari kain yang terlihat sangat mewah, menandakan status bangsawan yang melekat dalam dirinya.

“Apa yang kau lihat?” Pipi Eila merona karena ketahuan tengah memperhatikan laki-laki itu. Rasa malu membuatnya memilih untuk menunduk dan mengabaikan pertanyaan ketus laki-laki itu.

“Kau ingin pulang?” Laki-laki itu kembali bertanya namun dengan suara yang terdengar biasa saja. Eila memberanikan diri untuk kembali menatap laki-laki itu dan mengangguk pelan sebagai jawaban. Tidak berniat membalasnya dengan ucapan karena ia takut salah berbicara.

Laki-laki itu tiba-tiba berdiri, membuat Eila memekik kecil dengan gerakan tiba-tibanya yang menyeramkan dimata Eila. Laki-laki itu berjalan menuju pintu kecil dengan lubang kecil ditengahnya. Tanpa aba-aba seolah terbiasa melakukan hal tersebut, ia menendang pintu itu dengan keras. Menimbulkan suara bedebum yang memekakkan telinga, Eila menutup telinganya karena terkejut.

Suara itu kembali terdengar dengan tendangan yang cukup keras, Eila menatap panik ke arah pintu. Usaha laki-laki itu untuk keluar dari pintu tersebut hanya akan memancing orang yang menculik mereka kemari. Eila langsung berniat menghentikan laki-laki itu dengan menyentuh tangannya.

“Tuan, bukankah menendang pintu itu hanya akan membuat mereka  kemari? Tolong hentikan tuan.” Eila memohon dengan suara putus asa, laki-laki itu malah menatap Eila dengan rahang mengeras kearah tangannya.

“Singkirkan tangan kotormu dariku.” Desisnya, Eila langsung melepaskan tangannya dan menatap takut wajah laki-laki itu.

Suara bedebum kembali terdengar, laki-laki itu menendangnya lebih kuat menimbulkan suara bedebum paling keras diantara yang lainnya. Lalu suara gaduh lainnya terdengar dari balik pintu, laki-laki itu langsung bersembunyi dibalik pintu dengan gerakan yang siap. Eila yang tidak tahu apa-apa hanya mengikuti apa yang dilakukan laki-laki itu, dan tidak lupa memberi jarak agar tidak menyentuhnya sedikitpun.

Suara kunci terbuka membuat laki-laki itu menyeringai. Lalu sebelum orang yang masuk ke dalam ruangan itu siap, laki-laki itu langsung menyerangnya tanpa ampun. Ia memukul tubuh laki-laki pembuka pintu itu dengan kuat dan bertubi-tubi. Menciptakan suara mengerikan ditelinga Eila yang saat ini tengah terpejam karena tak kuasa menatap adegan brutal dihadapannya.

“Hey kau, cepat ikuti aku atau kau akan terkurung disini selamanya!” Laki-laki itu setengah berbisik pada Eila yang masih gemetaran karena tak kuasa menahan rasa ngeri. Gadis itu mengangguk lalu berjalan mengikuti laki-laki itu dari belakang.

Ketika mereka keluar tidak ada satupun orang yang menjaga selain laki-laki yang masih tak sadarkan diri itu. Eila berlari mengikuti laki-laki dihadapannya. Penjara itu hanya berupa kamar kecil di sudut lorong, mereka mengikuti lentera yang terpasang di sisi tembok.
Mereka melihat pintu kayu yang terlihat bobrok dan tak memiliki knop pintu. Laki-laki itu menendang pintu tersebut dengan kuat, dan beruntungnya pintu tersebut langsung terlepas dan jatuh dengan suara keras.

Eila kesusahan bergerak karena selendangnya yang tersampir di bahu merosot tiap kali ia bergerak cepat. Hampir saja ia terjatuh karena menginjak pakaiannya sendiri, namun tertahan tubuh laki-laki dihadapannya yang jauh lebih besar darinya. Gadis itu mundur beberapa langkah menyadari bahwa laki-laki itu berhenti karena ujung dari lorong itu tak memiliki pintu.

Cahaya bulan dimalam itu terlihat jelas di sana, Eila belum merasa lega karena jalan keluar dari tempat itu ternyata berupa jurang yang dibawahnya merupakan lautan lepas. Eila mundur perlahan merasakan kengerian ketika ia membayangkan harus melompat dari tempat itu dengan ketinggian yang tak bisa diukurnya.

Dari belakang suara gaduh penjaga lain mulai mendekat ke arah mereka. Keadaan yang mendesak itu tak dapat dihindari selain jalan keluar di hadapan mereka. Sebelum Eila sempat membuka mulut, laki-laki yang bersamanya langsung menarik tangannya dan membawanya melompat dari tempat tersebut sebelum Eila siap.

*

Semburat jingga di ufuk timur begitu mempesona, dengan desiran angin yang berhembus lembut ketika menyentuh kulit. Namun perasaan Parvati tetap saja gundah gulana, layaknya seorang kekasih yang bermuram durja atas kepergian belahan jiwa. Dan Parvati tak dapat mengenyahkan perasaannya itu meskipun ia bekerja keras sepanjang hari untuk mengalihkan perhatiannya.

Enam tahun adalah waktu yang cukup lama, dua tahun lagi akan terhitung sewindu kepergian buah hatinya. Eila menghilang beberapa tahun silam setelah kudeta yang terjadi di kuil Alindra. Hanya Eila seorang yang tidak selamat dari tragedi tersebut.

Entah bagaimana nasib Eila saat ini, apakah ia masih hidup atau telah tiada. Hati Parvati masih diliputi kecemasan tak berujung, meskipun tahun-tahun telah berlalu tetapi harapannya kian padam. Ia berharap suatu hari nanti ia akan melihat putrinya kembali ke rumah dalam keadaan yang baik-baik saja.

Langit telah memudarkan semburat jingga dan berganti dengan kegelapan malam yang menggigit. Parvati enggan beranjak dari kuil Alindra, tubuhnya yang mulai sakit-sakitan diabaikannya karena masih menyimpan rindu yang mendalam pada sang buah hati. Sentuhan yang terasa lembut di bahunya membuat Parvati mengalihkan perhatian.

“Ayo pulang ibu.” Rubhya menatapnya sendu, membuat rasa bersalah dalam dada Parvati semakin besar karena ia terkadang melupakan Rubhya yang kini semakin dewasa. Namun kasih sayangnya tetap sama rata, meskipun Eila saat ini tak ada. Rubhya tetap berada di sampingnya.

Semenjak menghilangnya Eila, bukan hanya Parvati yang sedih dan bermuram durja. Rubhya diliputi rasa bersalah teramat besar karena tak dapat menjaga amanah ibunya untuk menjaga Eila ketika mereka tak bersama.

Meskipun Rubhya terlihat baik-baik saja namun didalam hatinya ia sangat rapuh memendam rasa itu, terkadang Parvati mendapati anak gadisnya itu menangis di malam-malam yang sepi karena tak dapat membendung rasa bersalah dan sedih karena kehilangan sosok adiknya.

Hari ini Parvati dan Rubhya sengaja menyempatkan diri untuk mampir di kuil Alindra yang mengalami perubahan setelah insiden kudeta. Halaman luas kuil Alindra yang dahulu tidak memiliki pembatas apapun kini dilindungi semacam benteng tinggi menyerupai pilar-pilar yang disusun dengan jarak satu meter disetiap pilarnya memiliki satu penjaga. Setiap pengunjung atau orang yang ingin berdoa di kuil tersebut harus diperiksa secara ketat untuk meminimalisir kejadian dimasa lalu.

Parvati diam untuk sesaat sebelum menerima uluran tangan Rubhya yang mengajaknya untuk segera beranjak sebelum malam semakin gelap gulita. Mereka tidak sengaja melewati kuil tersebut yang letaknya dipusat kota, tujuan awal mereka yang akan berniaga ke negeri syanth untuk menjual hasil panen yang melimpah tahun ini.

Meskipun Rubhya menolak ibunya untuk ikut dalam perjalanan yang pastinya melelahkan, Parvati tetap dengan keras kepala mengikuti anak gadisnya pergi kemanapun, walau dengan resiko tubuhnya yang semakin tak sanggup menanggung lelah yang tak berujung.

Setelah menghilangnya Eila, ia tak akan membiarkan Rubhya buah hatinya yang lain ikut pergi meninggalkannya lagi.

*

Suara ombak nyaris terdengar keras bagaikan pertanda Yang Maha Esa bahwa suatu bencana akan segera datang. Namun meskipun begitu, orang-orang berpakaian lusuh dan sangar ini tak gentar sama sekali. Mereka terlelap dalam balutan mimpi yang begitu nyaman memeluknya.

Bahkan meskipun keadaan kapal saat itu terguncang cukup keras, mereka sama sekali tak terganggu. Tidak ada yang terjaga malam itu, kecuali seorang gadis yang saat ini tengah menatap nyalang jendela kaca yang menampilkan aura seram air laut yang seakan-akan tengah mengamuk. Ia sama sekali tak takut dengan pemandangan tersebut, ia hanya ingin merasa nyaman sejenak namun dalam keadaan kesadaran yang terjaga. 

Hidupnya sama seperti kapal ini, terombang ambing ditengah lautan luas yang sewaktu-waktu pasti akan menenggelamkannya apabila ia tidak berusaha untuk mencari tempat berlabuh. Ia sudah berusaha sekuat tenaga, mengorbankan tubuhnya yang menjadi sasaran kekejaman para awak kapal yang biadab. Namun usahanya belum berbuah sama sekali.

Gadis ini memiliki rambut berwarna merah menyala, sangat kontras dengan kulitnya yang begitu pucat. Tubuhnya kurus dan memiliki lebam yang cukup banyak, satu tindakan pintar yang ia lakukan maka ia akan memiliki lebam baru ditubuhnya. Pakaiannya lusuh dan sedikit kebesaran, namun tidak cukup membuat tubuhnya bertahan melawan dinginnya malam yang menggigit saat ini.

“Rajani, Kau tidak tidur?” Seorang gadis berambut hitam muncul dari balik pintu. Wajahnya terlihat kotor dengan debu namun kecantikannya tetap terpampang jelas. Gadis itu mengetahui kebiasaan ketika semua orang memilih tidur, hanya seorang Rajani yang tidak akan memilih tidur ketika suasana laut mencekam.

Rajani tersenyum kecil menatap Cetta yang terlihat kelelahan. Gadis itu berstatus budak yang membuatnya memiliki tugas-tugas berat, status yang lebih baik dari pada dirinya yang memiliki sebutan Rajani. Seorang wanita gelap.

“Mengapa kau juga tidak tidur?” Rajani balik bertanya, membuat raut kelelahan Cetta berganti dengan senyum masam.

“Ketika semua bajingan itu tidur dengan nyaman, hanya aku dan kau yang tidak akan tidur. Kau tahu, meskipun kau disini berstatus Rajani tapi kau tak memiliki kelompok. Sedangkan aku, mempunyai kelompok tapi sama bajingannya dengan mereka.” Mulut Cetta rasanya gatal untuk tidak mengucapkan kata-kata kasar itu.

Rajani tersenyum kecut mendengar ucapan Cetta yang malah menambah rasa sakit dihatinya. Ia benci menjadi Rajani, karena ia bukan Rajani. Ia tidak rela tubuhnya dijadikan pelampiasan.

“Ayo kita melarikan diri. Aku ingin pulang.” Rajani menatap nyalang keluar sana. Cetta mendadak terdiam karena ia tahu saat ini Rajani tengah menahan rasa sakit karena bertahun-tahun diperlakukan tak berharga oleh semua awak kapal ini.

Cetta mengenal Rajani dua tahun yang lalu ketika dirinya diseret secara paksa oleh para perompak untuk ikut berlayar bersama mereka. Ia sebenarnya mempunyai keluarga namun pamannya yang gelap mata mengorbankan dirinya sebagai jaminan dari perjudiannya. Dan pamannya kalah telak, membuat hidup Cetta terpisah jauh dari keluarganya.

Awalnya Cetta berani melawan karena ia dipenuhi dengan gejolak amarah yang membuatnya lupa diri, namun para perompak itu ternyata sangat kasar dan barbar. Setiap pemberontakan kecil yang dilakukannya, ia akan dipukuli habis-habisan atau bahkan ada yang berani mengotori tubuhnya dengan tangan-tangan jahil. Ketika hal itu terjadi, Rajani melindunginya dengan menanggung para perompak, tubuh Rajani yang lebih mungil darinya ternyata lebih kuat menanggung itu semua.

Sejak saat itulah Cetta mulai gencar mendekati Rajani yang sangat pendiam dan dingin. Wajahnya ketika dipukuli hanya sebuah kerutan samar yang mengerikan untuk orang normal lihat. Siapa yang tahan dipukul habis-habisan oleh tubuh besar laki-laki?

“Apa kau merasa sedih saat ini?” Cetta bertanya dengan hati-hati, dan Rajani hanya tersenyum samar mendengar pertanyaan Cetta yang terdengar bodoh baginya.

“Aku kehilangan separuh nuraniku ketika enam tahun lalu aku dibawa ke tempat ini. Tidak ada lagi rasa sedih apalagi takut, yang ada hanya perasaanku untuk membunuh mereka sangat kental mendarah daging. Aku bahkan harus menyingkirkan diriku yang dulu untuk bertahan hidup di kapal terkutuk ini.”

Suara Rajani terdengar menyeramkan di telinga Cetta. Gadis itu untuk pertama kalinya membuat Cetta menyadari bahwa orang baik yang tersakiti akan memunculkan jiwa kelamnya sewaktu-waktu. Bukan untuk perlindungan diri, tapi dari hukum alam yang menuntutnya untuk bereaksi.

Dan sebuah rahasia akan terkuak malam itu bersama mencekamnya lautan yang seolah ikut mengenang masa lalunya bersama Rajani.

syniaraikai

Dunia kedua yang menjadi pelipur lara adalah ketika pikiran melayang meninggal raga sekejap rasa.

9 Komentar

  1. farahzamani5 menulis:

    Omg akhirnya dilanjut jg ni cerita
    Terakhir post judul ini 16 Februari loh hihi, wahhhhhh akhirnya dikau dpt abang ilham dan abang wangsit hehe
    Vote dlu yak
    Bca dan komen ny nnt insya Allah
    Semangat trs yak

    1. Lima Bulan kak, waduh wkwkwk makasih kak udah repot mau nungguin hrhrhrhhrh

    2. farahzamani5 menulis:

      Iyaaa hihi
      Nyari abang ilhamny susah bngt yak?untung cpt ketemu, mga kedepanny sll gampang ketemu abang ilhamny yak hihi
      Sippp, sma2 yak
      Mksh jg dah nerusin cerita ini
      Dri cerita di forum sampe akhirnya pindah ke vitamin blog hehe
      Semangatttt trs buat kmu

  2. farahzamani5 menulis:

    Apa ini???
    Bukanny menghilangkan penasaran ini mah, malah nmbh penasaran huhu
    Siapa tu cwo, yg nyelamatin Eila pas di kuil yak, trs ngapa tu cwo nindihin Eila, apa spy Eila terlindungi gtu trs trs knp mereka ke pisah, Rajani itu Eila kah? Argggggggg bnyk bngt pertanyaan ny ini mah
    Plisss part berikutnya jngn 5 bulan kedepan yak hihi
    Semangatttttt trs buat kmu
    Semangat jg kuliah ny yak

  3. seinnabilla menulis:

    Gilllaaaaa….. ini Sich bikin Baper.

    1. Baperan mana sama doi coba?

  4. mardilestari menulis:

    Cerita bagus, tapibjangan kelamaan ya lanjutannya, ga enakkan baca lanjutannya tapi cerita yg dulu dah keburu lupa dan semangat terus untuk para outhor, semoga bisa memberi cerita2 yg bagus untuk semua pembaca

    1. Iya, digantung sama cerita itu gak enak hehe. Insyaallah di lanjut secepatnya, doain aja ya. Makasih sarannya kakk

  5. fitriartemisia menulis:

    nahloh, itu keluarga bangsawan siapa? kenapa bisa ikut masuk penjara? hmmmm hmmmmmmm