Vitamins Blog

Feel ink : Hujan, Kamu dan Atap

Bookmark
ClosePlease login

No account yet? Register

27 votes, average: 1.00 out of 1 (27 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

 

“Hujan, kamu dan atap.”

 

Kafvin menatap Aruni yang saat ini memilih untuk membuang mukanya ke segala arah. Pemandangan itu mengusiknya dan membuat nada suaranya terdengar rendah penuh emosi. “Untuk memperbaiki keadaan.” Kafvin menajamkan matanya.

Aruni tertawa miris, lalu kembali bersikap datar. “Memperbaiki keadaan? Apanya yang diperbaiki?” Ucapannya itu terkesan mengejek, namun Aruni berusaha untuk mengucapkannya dengan datar.

Kafvin menegakkan punggungnya lalu menatap Aruni dengan tatapan menusuk, Aruni mencoba untuk menghindari tatapannya.

“Kita, aku ingin memperbaiki kita berdua.” Suara Kafvin berubah lembut, membuat Aruni tertegun dengan ucapannya. Gadis itu baru berani menatap Kafvin setelah perkataannya itu, dan tatapan itu. Tatapan seorang lelaki yang mendamba cintanya, tatapan yang berlumur luka tak kasat mata.

Aruni menatap Kafvin dalam-dalam, membaca raut wajah Kafvin bagai lukisan indah monalisa yang misterius. Jelas ada kesedihan di mata pria itu, namun hanya berselang beberapa detik terganti raut wajah yang sulit ditebak. Kafvin menyembunyikan dan menunjukkan isi hatinya, hanya supaya Aruni dapat menebak teka-teki itu.

“Kamu…” Aruni masih menatap lekat kedua mata Kafvin, sebelum rasa gugup menyergapinya ketika sadar wajahnya begitu dekat dan hampir menghapus jarak diantara mereka. Dan Aruni harus meringis menahan malu menatap sebagian besar penghuni kantin menatap ke arah mereka dengan sikap keponya. Mampus, rutuknya.

“Saya serius dengan ucapan saya. Kalau kamu benar-benar mau,” suara Kafvin mendadak kaku. Dengan logat formal nya yang baru ia sadari, Kafvin berdiri tegak lalu ia melangkah menjauh membiarkan Aruni yang masih terdiam.

Aruni masih setia duduk dikursi kantin yang entah kenapa sekarang terasa lengket, melihat beberapa penghuni kantin menatapnya membuat Aruni merasa berat untuk pergi. Bukan karena ia suka diperhatikan, namun karena ia sedikit merasa malu, Aruni enggan untuk sekadar mengangkat kaki.

Tiba-tiba Aruni merasakan tangannya disentuh dengan sesuatu yang dingin. Aruni menatap cappuchino cincau favoritnya, lalu terperangah menatap siapa yang memberikannya minuman itu. Pria itu tersenyum tipis, nyaris tidak terlihat jika saja mata Aruni tidak sejeli ini.

“Untuk kamu, saya pamit.” Ia berujar setengah berbisik, lalu melangkah lebar dengan tenang meninggalkan Aruni yang masih mencoba menetralkan hatinya. Capcin, semua orang juga bisa membelinya. Selain karna minuman itu murah, minuman itu juga mudah didapatkan.

Tapi, capcin ini lain. Capcin ini berasal dari seseorang yang lebih dingin dari capcin itu, dan yang terpenting capcin itu di bawa oleh tangan pria itu. Pria paling tidak terduga akan mampir di kehidupannya kali ini. Entah kenapa hanya karena segelas capcin, Aruni bisa seribet ini.

*

Aruni Pov

Aku masih berjalan dengan sadar, menjejaki lapangan dengan rumput segar yang menghubungkan asrama dan kampus. Riski masih bersemangat menceritakan pengalaman pertamanya dibimbing oleh guru dosen muda dan paling famous di kalangan mahasiswa karena gaya bicaranya yang tidak biasa. Pikiranku masih tertahan oleh manusia itu, jadi aku tidak terlalu mendengar jelas apa yang diceritakan Riski.

“Kamu dengar aku nggak sih?” Riski menghentak bahuku pelan namun mampu membuatku hampir meloncat. Gadis itu menatapku kesal dan aku segera sadar dengan kesalahan yang baru ku lakukan.

“Eh, maaf. Tadi bilang apa?”

Ku lihat Riski sedikit memajukan bibirnya, kekesalannya itu sudah biasa ku lihat di depan mata, meski kami baru berteman beberapa bulan, namun waktu itu cukup membuat kami saling mengenal satu sama lain. Gadis itu akan sedikit merajuk kalau aku tidak mendengarkan ocehan-ocehannya.

Yah, Riski adalah gadis pertama yang durasi bicaranya bisa di bandingkan dengan ibuku, jika saja keduanya ditempatkan pada satu tempat yang sama. Gadis itu hampir tidak pernah kehilangan kata-kata hanya untuk sekedar membahas hal-hal sepele. Dan aku yang memang tidak banyak bicara, hanya menjadi pendengar dan terkadang sulit untuk menyampaikan isi hatiku.

“Sebenarnya kamu ini kenapa sih? Sejak pertemuan kamu dengan laki-laki lempeng tadi, kamu jadi ikutan lempeng gini tau.” dan Riski punya mood yang bisa berubah secepat kilat. Aku mengernyit bukan karena gadis itu yang moody, tapi karena ucapannya yang mengusik hatiku.

Aku terdiam sejenak, memberi jeda untuk untuk mencari jawaban yang tidak mengundang kecurigaan gadis itu. “Tidak ada.” Dan aku hanya mengeluarkan sebagian suaraku yang tertelan emosi.

Riski menatapku dengan sebelah alis mengangkat dan senyum miring diwajahnya yang membuatku kesal. “Tidak ada ya….” timpal Riski dengan nada setengah mengejek.

“Sudah lah. Jadi bagaimana dengan dosen muda itu?” Aku sengaja mengalihkan pembicaraan, sedikit menangkap mata Riski memicing mendengarku mengalihkan pembicaraan dengan cepat. Namun ekspresinya berubah makin kesal.

“Kamu tahu? Dia adalah dosen bermuka dua, jadi…”

Dan mengalirlah segala pembicaraan Riski yang sempat ku abaikan tadi. Setidaknya untuk saat ini aku dapat menyimpan perasaanku sendiri, bukan karena aku terlalu egois dengan tidak membagi curahan hati. Untuk mencurahkan isi hatiku pada Riski pun, aku harus berpikir dua kali.

Riski meninggalkanku ketika kami melewati koridor dekat akademik, gadis itu memang punya kebiasaan menyadap wifi hanya untuk sekedar berselancar ria di social media. Aku melanjutkan niat awalku untuk segera pulang ke kosan, hari sudah mulai gelap dengan awan hitam menyerbu sisi langit di atasku. Akan gawat jika aku terlambat pulang dan terjebak hujan ditengah jalan.

Aku mempercepat langkahku setengah berlari menuju gerbang utama, beberapa kali tas yang menggantung dibahu kananku hampir terjatuh. Memaksaku untuk membenarkan letaknya dengan gerakan tergesa-gesa. Beberapa mahasiswa tampak sama tergesanya dengan diriku, memikirkan itu membuatku bernafas lega karena setidaknya di gerbang depan nanti aku tidak berdiri sendiri untuk menunggu angkutan umum.

Sedetik setelah kakiku berhenti di depan gerbang utama, hujan menghujam bumi seolah kehabisan kekuatan menampung beribu-ribu kubik air yang berjatuhan saat ini. Aku segera mencari perlindungan dan sayangnya tidak cukup memberiku perlindungan yang berarti. Berdiri dibawah pagar gerbang dekat pos satpam adalah pilihan tepat untuk berlindung sementara meskipun tubuhku tidak sepenuhnya terlindungi.

“Mau di dalam neng?” Seorang satpam dari dalam pos menawarkan bantuan, ku tolak halus dengan mengucapkan terima kasih dan sekilas ku lihat satpam itu mengedikkan bahunya acuh.

Beberapa menit aku berdiri menunggu angkutan umum yang entah kenapa tidak ada yang menunjukkan angkutan umum jurusan menuju kosan tempatku tinggal. Hujan semakin deras, aku memeluk diriku sendiri untuk memberi sedikit kehangatan mengingat pakaian yang ku pakai hari ini cukup tipis. Sebal, pikiranku berteriak.

Ku lihat sebagian mahasiswa yang berteduh tidak jauh dari ku mulai mendapatkan kendaraan, dan menyisakan aku yang masih berdiri setia didepan pos satpam. Aku menatap langit yang kini sepenuhnya hitam, perasaanku semakin tidak karuan ketika mobil yang melaju didepan kampusku mulai berangsur-angsur lengang.

“Belum dapat kendaraan ya neng?” Satpam itu berbicara tiba-tiba dibelakangku, membuat jantungku hampir mencelos kalau saja tidak mengingat tempatku berada saat ini. Aku mengangguk sedikit takut, satpam ini berbeda dengan satpam yang biasa menjaga. Aku tahu betul satpam yang biasa menjaga di pos, namun satpam yang satu ini baru ku lihat dan entah kenapa wajahnya mengingatkanku pada kriminal-kriminal yang sering muncul di berita.

Entah mataku yang salah atau memang laki-laki setengah baya itu menatapku dengan tatapan nakal, ia mengerlingkan matanya masih sambil menatapku dengan senyuman genitnya. “Kalau dingin mending masuk ke dalam.” Katanya masih dengan suara yang terdengar sensual namun menjijikan ketika telingaku menangkap nada tak biasa disuaranya. Aku menggeleng kuat, lalu bergeser jauh berharap satpam itu mengerti tindakanku yang mulai tidak nyaman.

Tapi ternyata dugaanku salah, satpam itu malah mulai berani mendekatkan tubuhnya ke arahku, membuat ku merasa perasaan tidak nyaman ini berubah menjadi waspada. Aku bertingkah defensif, mengetahui bahwa laki-laki disampingku ini adalah orang yang cukup berbahaya.

“Mari pulang.” Suara itu menginterupsi tatapan satpam yang belum lepas memandang tubuhku. Aku bergetar hebat, merasakan rasa dingin dari udara dan perasaan gugup ketika melihat siapa orang yang menyelamatkan ku dari keadaan yang cukup terdesak ini. Ku lihat satpam di sampingku berdehem kecil lalu meninggalkan kami tanpa kata.

Aku bernafas lega, lalu menatap Kafvin yang berdiri dengan ekspresi datar yang entah kenapa membuatku  makin kesal. “Apa?” Tanyaku dengan nada kasar, ku lihat ia tidak terpengaruh sama sekali dan malahan membuatnya mengulang ucapannya sekali lagi. “Mari pulang.”

Aku mendengus, antara kesal dan takjub dengan apa yang dilakukannya. Aku mengangguk sebagai balasan, lalu ia mendekat kepadaku dan menyampirkan jaketnya pada tubuh mungil ku. Semula tubuhku mendadak beku, lalu tiba-tiba dadaku terasa hangat dengan gejolak emosi yang mulai meluap.

Kafvin memegang payung dengan tangan kirinya, lalu menghelaku dengan tangan kanannya menuju sebuah kendaraan yang terparkir cukup jauh dari pos satpam tadi. Aku sedikit menaikkan alis ketika mengetahui laki-laki itu membawa mobil dengan merk yang sepertinya tidak biasa.

Aku menghela nafas lalu membiarkan Kafvin membuka pintu mobil untukku, dan aku segera masuk dengan pakaianku yang baru ku sadari ternyata sangat basah. Kafvin memasuki mobil dengan kondisi pakaian yang jauh lebih basah dariku, jaketnya sengaja disampirkan padaku tadi dan ku lihat ia sedikit menggigil walaupun tidak benar-benar jelas. Ia menekan tombol ac mobil dan sedikit membuat hawa mobil menghangat.

Sejurus kemudian ia melajukan mobil dengan kecepatan sedang, membiarkan suara gemerisik hujan memecah hening diantara kami. Sejujurnya rasa ketidaknyamanan terasa menggerogoti tatkala kulihat dari sudut mataku ia acuh dan mengatupkan bibirnya rapat. Rasa tak terima begitu kental namun mengingat usaha apa yang ia lakukan membuat kepalaku sejenak mendingin.

Kebisuan diantara kami bertahan sampai pagar depan kosan tempatku tinggal mulai terlihat, Kafvin memarkirkan mobilnya di depan pagar kosanku. Ketika pintu mobil terbuka hawa dingin menyeruak masuk menghembuskan nafas dingin ke sekujur tubuhku walaupun hujan sudah berhenti beberapa saat lalu. Kafvin menyeret gerbang setinggi dada itu dengan mudah, padahal tiap kali aku yang mendorongnya membutuhkan kekuatan ekstra.

“Terima kasih.” Ucapku dengan suara bergetar antara dingin dan gugup melihatnya menatapku lekat. Ia menampakkan wajah datar dan sulit ku artikan untuk saat ini.

“Lain kali kamu harus menghubungi saya jika ada sesuatu terjadi.” Aku menaikkan alis melihat emosi sedikit berapi itu terlihat muncul setelah beberapa saat laki-laki itu mematung. Suaranya sedikit mendesis dengan emosi yang berusaha ia telan, namun indra kepekaanku berkata ia khawatir. Entah kenapa degup jantungku bergetar hebat hanya karena melihatnya khawatir padaku.

Sejenak kebisuan kembali mengisi emosi yang di tahannya, sikap wanita yang cenderung gengsi membuatku berpikir dua kali untuk membalas ucapannya tadi. Ketika ucapan itu bercokol di pangkal lidah entah kenapa mulutku hanya menganga tanpa suara. Kami berdua sama-sama belum dapat membuka diri dengan mudah.

“Disini dingin, masuklah.” Kafvin melengos pergi setelah mengucapkan kata itu dengan datar, hatiku berteriak memintanya kembali. Namun kebekuan itu masih ku rasa seperti ada tembok penghalang yang besar diantara kami. Aku membuka mulut sebelum ia masuk ke dalam mobil dengan raut wajah gusar.

“Kaf…” Suaraku tertelan emosi, Kafvin mendongakkan wajahnya menatapku bingung.

“Hati-hati dijalan.” Sambungku dengan suara yang terdengar berdecit, dan ku lihat Kafvin tersenyum sangat tipis, namun mampu membuat dadaku semakin menggila didalam sana.

“Selamat malam arun.”

Sisa malam itu ku biarkan mataku nyalang menatap atap kostan. Perbuatan Kafvin hari ini dan ucapannya tadi membuat hatiku tergelitik, butuh waktu agar memperbaiki hubungan kami. Kecanggungan itu masih lekat karna baru kali ini aku melihatnya dalam bentuk nyata, kenyataan itu awalnya terasa asing bagai mimpi di siang bolong namun waktu akan mengubah segalanya termasuk kami berdua.

*

syniaraikai

Dunia kedua yang menjadi pelipur lara adalah ketika pikiran melayang meninggal raga sekejap rasa.

14 Komentar

  1. aku agak bingung,,

    ini oneshoot atau cerbung sih?

  2. ohhh ternyata cerbung hehehe

  3. :ragunih

  4. Hai hai
    Akhirnya ada lgi karya kamu
    Aq bca ny nnt ya, ngevote dan absen dlu nih hihi

    1. Oke makasih kak farah hehe

    2. Sma2 hihi

  5. Sukaaaaa sma tulisan kmu
    Dri kmrn liat2 vitamin blog, aq ny nungguin tulisan kmu loh hihi
    Dan akhirny taraaaaa hari ini ada
    Aihhhh ini kenapa sama dua manusia itu, mrka pacaran yak, trs si cwo ny kelakuin kesalahan gtu, trs si cwe ny blom maafin gtu aihhhh, jdi nerka2 kan hihi
    Ditunggu kelanjutanny
    Semangat trs yak
    Semangatttt jg buat duta ny

  6. Ceritanx bagus di tnggu lanjutanya..

  7. KhairaAlfia menulis:

    Untung ada Kafvin,,
    kalau tak,,
    tak taulah apa yang akan dilakuin satpam genit itu ke Aruni,,

  8. Ini masuk ada lanjutannya kn?

  9. fitriartemisia menulis:

    aku vote dulu yaaa

  10. Ditunggu kelanjutannyaa