Vitamins Blog

Avenger – 1. Melupakan Masa Lalu

Bookmark
ClosePlease login

No account yet? Register

9 votes, average: 1.00 out of 1 (9 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

BAGIAN 1

MELUPAKAN MASA LALU

Kamar itu dilingkupi kesunyian yang menusuk relung hati, memaksa Ailesh terpental jauh ke masa lampau. Kamar itu menjadi saksi bahwa kisahnya telah menjadi masa lalu kelam dan merajutkan benang-benang hidupnya yang kusut. Namun kini kisah itu kini tinggal cerita pahit, ketika harapan yang ia coba genggam menorehkan luka yang menganga dan membekas dihatinya.

Ailesh memejamkan mata dengan rahang mengatup keras. Perasaan tak berguna ini membuatnya lemah, membuatnya terperdaya dan terus terpaku dengan masa lalu. Sekaligus membuatnya terlihat semakin pengecut dibalik topeng dingin yang selalu membentenginya.

Manusia munafik bertebaran di muka bumi, dan sialnya Ailesh harus bertemu dengan salah satu manusia seperti itu dengan kondisi yang tak terduga. Memaksanya untuk menundukkan segenap hatinya yang tinggi, menanggalkan tahtanya demi seonggok daging hidup tak berguna. Tangan Ailesh terkepal kuat, pergolakan emosi antara hati dan pikiran yang memaksanya untuk mengarungi pahitnya kenangan masa lalu.

“Pangeran, para prajurit menunggu anda di aula.” Seorang pelayan bergumam diluar pintu kamar, menghempaskan segenap jiwa Ailesh yang berkelana jauh dari kenyataan. Ailesh berbalik dengan sikap gusar, meninggalkan ruangan itu yang seolah menertawakannya.

“Ada apa?” Ailesh datang dengan gusar, wajahnya terlihat muram dengan ekspresi dingin tak terbaca. Keempat prajurit di hadapannya menunduk hormat.

Salah satu dari keempat prajurit itu maju dan berucap dengan suara sedikit gemetar, merasakan aura tidak menyenangkan dari Ailesh.

“Saya di perintahkan Kaisar untuk menyampaikan pesan, bahwa hari ini anda akan menemui kaki tangan pemberontak dari wilayah barat.”

Ailesh masih terdiam, menebarkan aura yang semakin tidak nyaman. Ia bukan sedang menimbang permintaan sang Kaisar, hanya saja perintah Kaisar yang tidak terduga itu membuat Ailesh merasa kesal. Laki-laki itu berdiri lalu berjalan melewati keempat prajurit yang masih termangu di tempatnya masing-masing.

Ailesh berjalan semakin jauh, dan sebelum laki-laki itu mencapai daun pintu ia mengeluarkan suaranya yang tenang namun tajam. “Apa yang kalian tunggu?”

Keempat prajurit langsung berdiri dan mengikutinya dengan terpogoh-pogoh, sekaligus mengutuk diri dalam hati karena Ailesh adalah laki-laki yang terkenal dengan perangai buruknya. Tubuh mereka yang besar berotot, tegap dan penampilan yang gagah itu berubah menciut jika berhadapan dengan Ailesh. Pangeran berdarah dingin, itulah gelar yang orang-orang berikan padanya.

Ailesh dan keempat prajurit menunggangi kuda dan segera memacu kuda ke hutan di wilayah barat kerajaan Inka. Kuda mereka melesat dengan cepat, menembus hutan rimbun yang semakin ke dalam semakin rimbun dan jarang terjamahi manusia. Dari jauh mata tajam Ailesh menangkap siluet tubuh dua laki-laki yang ia duga adalah kaki tangan pemberontak itu, Ailesh menekan perut kuda dan kudanya melesat semakin cepat.

Ke empat prajurit tertinggal beberapa meter dibelakangnya. Karena Ailesh sangat ahli berkuda dan juga kudanya ini adalah salah satu kuda tercepat dan terbaik dikerajaan.

Ailesh menghentikan kudanya dan menatap tajam kedua laki-laki dihadapannya yang tampak gemetaran dan langsung bersujud dihadapannya, lalu prajurit dibelakangnya langsung menghujamkan pedang ke arah mereka. Kedua laki-laki anggota pemberontakan itu sontak langsung terbelalak lebar melihat pedang tajam itu terhujam ke arah mereka tanpa diduga.

Namun ketegangan itu tergantikan dengan suara yang terdengar memekik kecil khas anak-anak, jelas-jelas itu bukan suara salah satu dari mereka dan rupanya membuat indra pendengaran tajam Ailesh bereaksi, wajahnya semakin dingin dan menyiratkan ekspresi terganggu.

“Siapapun itu, bunuh dia sekarang.” Ucapnya dengan tenang namun dingin menusuk.

Keempat prajurit di belakangnya bersama kedua laki-laki bertudung itu langsung berpencar ke segala arah tanpa menunggu lagi, mencari sumber suara. Ailesh mengerutkan alis dan sedikit terkekeh dalam hati menyadari bahwa prajurit-prajuritnya beserta kedua laki-laki tadi terlihat bodoh dengan mengabaikan bahwa sumber suara itu jelas-jelas berada sangat dekat dengan mereka. Ailesh memilih diam, menunggu sang kelinci yang akan segera menjadi buruannya itu keluar dan berlari ketakutan, dan tidak menunggu lama, mata tajam Ailesh langsung menangkap gerakan lincah seorang anak kecil yang berlari dari rerimbunan semak-semak berduri yang ia tahu bahwa itu adalah tanaman penghasil buah Inka.

Tanpa basa-basi Ailesh langsung mengejar anak kecil di hadapannya dengan kecepatan tinggi, mengejar sang buruan yang berlari dengan keranjang kecil dan kaki kecilnya yang begitu lincah. Ailesh tersenyum keji melihat buruannya itu tampak lincah dan lumayan gesit, mengartikannya sebagai tanda kalau buruannya itu ingin bermain-main dengannya.

“Berhenti kau bocah sialan!” Entah kenapa nada kasar itu keluar dari mulutnya tanpa kendali, senyum Ailesh berubah hancur ketika melihat buruannya itu berlari lebih cepat dari lari anak kecil biasa. Benar-benar buruan yang kuat.

Ia mengeluarkan anak panah dan langsung melesatkannya sesaat ketika anak kecil di hadapannya itu tiba-tiba memelankan langkah kakinya.

Beruntungnya anak panah itu dapat di hindari anak kecil tersebut dan malahan melesat menancap ke dalam batang pohon dihadapannya, Ailesh menggeram kesal mendapati bahwa untuk pertama kalinya ia tidak tepat sasaran, padahal jelas-jelas ia adalah anak-anak yang pastinya lebih lemah dari perempuan. Ailesh melihat tubuh kecil itu membeku ditempat, melihatnya yang kini berada begitu dekat dengannya.

Anak kecil itu langsung bersujud dan berkata dengan suara bergetar, “Aku mohon tuan, jangan bunuh hamba.” Ada nada suara yang membuat Ailesh membeku dalam sedetik, ketika ia mengerjap dan menyadari apa yang salah dalam dirinya hanya karna disebabkan suara anak tersebut.

Angin tertiup dengan halus, pohon-pohon seolah bergoyang menikmati tiap hembusan angin. Daun-daun berguguran menciptakan suasana berbeda di musim hujan kali ini. Dan Ailesh masih terdiam menatap kepala anak kecil tersebut yang masih bersujud dan menenggelamkan wajahnya sambil menahan isak tangis.

Ailesh mengernyitkan dahinya dalam, mengetahui perasaan asing yang membuatnya malah terpaku menatap anak perempuan itu. Lalu suaranya melunak dan tanpa diduga ia bertanya hal yang sama sekali tidak ada dalam pikirannya. “Siapa namamu?”

Ailesh dapat melihat gadis itu terperangah dibawahnya, namun dengan bibir bergetar ia memberanikan diri menjawab pertanyaan tak terduga itu, “Eila.” Suaranya nyaris berupa bisikan yang sarat akan makna namun begitu kebingungan dan polos.

Ailesh menajamkan matanya dan langsung tersadar dengan sesuatu yang berdenyut keras didalam kepalanya, ia kembali pada keadaan sadar dan berkata dengan nada yang sangat dingin.

“Maap Eila, tapi aku harus membunuhmu.” Anak perempuan itu menegang ditempat.

Ailesh menarik gagang pedangnya, sengaja membiarkan suara pedang yang bergesekan dengan tembaga itu terdengar ngilu dan mengerikan. Entah kenapa melihat anak kecil itu membuatnya kehilangan kendali, dengan perasaan yang lebih mengandalkan emosi yang tidak berguna dan melemahkan itu.

Lalu tanpa diduga gadis itu mendongakkan kepala dengan berani menatapnya dan berkata, “Apakah aku berbuat salah tuan?” Tanya gadis itu polos.

“Ibu berkata jika aku berbuat baik maka tidak akan ada orang yang berani menyakitiku, ” sambungnya dengan suara yang kini terdengar gemetar. Ailesh dapat melihat dengan jelas mata beriris merah kecoklatannya yang bulat dan basah karna air mata itu menatapnya dengan kebingungan, khas anak kecil.

Ailesh kembali terdiam, terperangah menatap kecantikan anak kecil itu meskipun tampak masih sangat muda. Rambut coklatnya yang lurus dan lebat berkibar dengan bau yang entah kenapa tercium begitu wangi di indranya. Garis wajahnya sangat menggemaskan sekaligus tenang, dan entah kenapa serasa tidak asing di matanya.

Entah berapa lama Ailesh hanya menatap anak kecil itu hingga ia menunduk kembali dan menangis terisak dalam diam. Ailesh menggeram dan tanpa membuang waktu, ia turun dari kudanya dan berjalan tenang ke arah gadis kecil itu yang kini kembali membeku menatap sepatunya dari balik bulu mata lentiknya itu.

Tanpa diduga tangan Ailesh menyentuh dagunya, membuat anak kecil itu tertegun sambil menatapnya.

Dari dekat Ailesh dapat melihat sepasang bola mata hazel milik Eila yang begitu jernih saat cahaya matahari memantul pada matanya. Gadis itu menatapnya dengan ketakutan, kepolosannya membuat Pria itu merasa gemas.

“Lain kali jangan pernah menguping pembicaraan orang dewasa, gadis kecil.” Gumamnya dengan nada yang tidak biasa, ia menatap sekali lagi Eila yang menatapnya dengan pandangan bertanya.

Ailesh langsung menaiki punggung kuda lalu meninggalkan Eila yang terdiam menatapnya dengan terkejut.

*

Eila menyibakkan gaunnya yang kotor, lalu meraih keranjang yang tergeletak dengan sebagian buah Inka yang keluar. Gadis kecil itu masih linglung, kepala mungilnya  dipenuhi dengan kebingungan dan ketakutan. Tentu saja ia tidak dapat bernafas lega, selama ia belum berada di rumahnya.

Eila berjalan menyusuri jalanan setapak, berjalan cepat dan berharap tidak ada lagi hal-hal yang dapat menakutinya. Ia ingin segera pergi, secepat mungkin menjauh dari hutan itu. Air mata masih membasahi pipinya tanpa henti meski dengan susah payah ia tahan.

Ia menatap ke atas, menyadari bahwa sinar matahari mulai di telan gumpalan awan-awan hitam, tanda langit akan segera menurunkan hujan. Segera kaki kecilnya itu melangkah dengan lebar dan tergesa, berharap secepat mungkin ia dapat sampai setidaknya sampai pemukiman warga.

“Eila!” Suara itu membuat pandangan Eila beralih ke depannya. Parvati berdiri tidak jauh darinya, menatapnya dengan kerutan di dahi yang menandakan bahwa ia begitu khawatir pada Eila. Eila langsung berlari dengan tangisnya semakin pecah ketika melihat Parvati menemukannya.

“Tenanglah, ibu bersamamu.” Eila menatap ibunya yang masih memakai sarung tangan kain yang terlihat lusuh. Parvati adalah petani serabutan, dan kebetulan hari ini ibunya sedang memanen.

Eila tak mampu berkata-kata, ia melingkarkan tangannya pada leher jenjang Parvati. Perasaan takut itu masih membekas di ingatannya, jiwa gadis itu terguncang hebat. Alasan itu cukup membuat Eila tak mampu menggambarkan perasaannya selain menangis dan memeluk erat ibunya.

*

Istana kerajaan Inka tengah menggelar jamuan makan malam untuk para petinggi istana dan para pejabatnya. Kaisar Avan sengaja mengundang banyak orang untuk mensyukuri kelahiran pangeran Dhara. Kasim menghampiri Kaisar Avan, lalu membisikkan sesuatu. Pria itu mengisyaratkan tangannya dan kasim itu hanya mengangguk dan segera pergi.

Ailesh berdiri diam di pintu masuk balai utama, ia menatap keramaian istana yang hampir selalu mengadakan pertemuan dengan para petinggi kerajaan dan pejabatnya. Namun tak sekalipun Kaisar pernah mengundangnya untuk ikut ke dalam jamuan makan, atau bahkan pertemuan biasa sejak kejadian beberapa tahun silam.

“Kau benar-benar tak tahu malu, Ailesh.” Seorang pria berpakaian jenderal menghampirinya. “setelah kejadian itu, kau tak malu menginjakkan kakimu disini?” pria itu tersenyum mengejek.

“Apa mau mu Bhoopat?” Balas Ailesh tanpa menatap lawan bicaranya.

Laki-laki itu langsung tergelak mendengar sebutan Ailesh padanya. Wajahnya menyiratkan kegelian dengan pembawaan yang terlihat menyebalkan.

“Kau harus hormat padaku Ailesh, karena aku sekarang adalah Jenderal Besar.” Jenderal Bhoopat menekan bagian terakhir dengan menyeringai. Ailesh menatapnya datar dan sama sekali tidak terpengaruh dengan ucapan Jenderal Bhoopat yang begitu pongah menunjukkan kekuasaan padanya.

“Kaki tangan pemberontak sudah ku habisi, prajuritmu akan memberitahu dimana tempat persembunyian para pemberontak itu.” Ailesh membalikkan badannya dan melengos begitu saja tanpa penghormatan pada Jenderal Bhoopat. Dan bukannya tersinggung dengan sikap Ailesh, pria itu malah kembali tergelak lebih keras.

“Lupakan saja Prameswa-mu itu Ailesh, dan tunjukkan sikap hormatmu pada Kaisar Avan.” Suara Bhoopat berubah tajam dan tegas, ia menatap punggung Ailesh yang membeku setelah beberapa langkah berbalik darinya. Jenderal Bhoopat menyeringai puas melihat reaksi laki-laki itu.

Ailesh sama sekali tidak mau repot-repot berbalik menatap Jenderal Bhoopat dan menanggapi perkataan yang sengaja memancing kesabarannya. Dan laki-laki itu membalas perkataan Jenderal Bhoopat dengan lebih dingin. “Aku sudah melupakan wanita sialan itu, dan Kaisar tahu ia tidak boleh memikirkanku lagi jika ia tidak ingin dihukum dengan protokol kerajaan. Kau tahu itu Bhoopat.”

Ailesh meninggalkan tempat itu dengan langkah lebar, merasakan tusukan tajam mata Bhoopat yang malah memakan senjata pancingannya sendiri.

*

 

Bersambung

Terima kasih sudah menikmati tulisanku! Hayoloh, ini cerita lama yang diremake beberapa bagian karena masih kurang sreg. Sangat-sangat menerima kritik dan sarannya ehe…

syniaraikai

Dunia kedua yang menjadi pelipur lara adalah ketika pikiran melayang meninggal raga sekejap rasa.

3 Komentar

  1. rosefinratn menulis:

    Duh,makin penasaran lho aq :huhuhu :huhuhu :huhuhu

  2. Ayoo tuh udah ada lanjutannya hihi :pfffhehehe

  3. Kkapan lanjutan nya ini :berikamiadegankiss!