Terbang [Bab 5]
14 Maret 2017 in Vitamins Blog
Bab 5. Semua karena Instagram
Di siang hari di rumah sederhana itu, Marlina meletakkan secangkir kopi panas ke maja di hadapan suaminya yang bernama Burhan. Pria itu mengambil cangkir kopi yang masih mengepul asapnya dan menyesapnya sedikit demi sedikit. Burhan menatap istrinya yang kini tengah duduk di samping kursi yang tengah ia duduki, kemudian dia berdehem.
“Kau sudah memberikan ponsel itu pada si Rasha?” tanya Burhan.
Marlina menoleh pada suaminya dan mengangguk. “Aku sudah memberikannya, dan dia sangat senang.”
Burhan menyesap lagi cangkir kopinya.
“Kau tau, setiap hari kita bekerja di pasar terus dan kita belum kaya-kaya juga.”
“Kita kan berusaha, Mas. Lagi pula kita harus bersyukur bisa makan dengan bekerja di pasar. Kita sudah untung mas, coba lihat orang lain, mau makan aja harus minta-minta,” ucap Marlina sambil memilin jarinya di atas paha.
“Iya, tapi aku ingin kaya, ingin seperti mereka yang sehari-hari pake jas mahal. Lihat aku! Pakaian udah belel gini masih dipakai.” Burhan memamerkan pakaiannya pada Marlina dengan nada tajam.
“Aku juga ingin kaya, Mas. Siapa juga orang yang tak ingin kaya. Tapi itu mustahil untuk kita, Mas. Mengingat pendidikan kita hanya sebatas SMP. Siapa orang yang mau nerima kita?”
“Ada cara lain, kita kawinin aja tuh si Rasha pada om-om kaya. Kemudian kita porotin uangnya,” kata Burhan sambil menyender pada sandaran kursi.
Mendengar itu kontan membuat Marlina berdiri dengan marah. “Apa! Apa Mas sudah gila, dengan menjual anak kita si Rasha pada om-om. Aku tidak sejutu, sampai kapan pun aku tidak akan setuju dengan usulmu.” Setelah mengucapkan itu Marlina beranjak menuju kamar dan menutup pintunya dengan kasar. Bahkan suara debuman dari pintu itu memantul-mantul di seluruh ruangan kecil itu, membuat Burhan terlonjak kaget.
Tak lama, tiba-tiba pintu luar terbuka. Rasha masuk dengan menenenteng tas punggungnya kemudian melemparkan asal pada kursi terdekat. Rasha menatap ayahnya dengan malas, karena hampir setiap hari dia melihat ayahnya hanya berpakain kaus oblong putih belel, dengan sarung bercorak kotak-kotak, tak lupa rokok tembakau juga kopi hitam selalu menemani keseharian ayahnya.
Tak memedulikan ekspresi ayahnya yang bertanya-tanya, Rasha masuk ke kamar.
Di dalam kamar, Rasha mengganti pakaiannya dengan pakaian santai. Dia mengambil ponsel canggihnya, tapi di samping ponsel canggihnya terdapat ponsel jadul pemberian ibu tergeletak di atas meja belajar, masih dengan kotak dan bungkus kadonya. Rasha baru ingat dia sampai melupakan ponsel jadul itu dan memilih ponsel canggih, padahal ponsel itu pemberian ibunya yang tentunya dari hasil keringat ibunya sendiri. Namun dia malah memilih ponsel canggih yang hasil penukaran kehormatan.
Selang beberapa detik dia mengamati kedua ponsel itu dan pilihannya jatuh pada ponsel canggih.
Rasha menghempaskan tubuhnya pada ranjang kecil yang berdecit juga reot karena sudah lama tak diganti, tapi Rasha menyukai ranjang itu. Pandangan Rasha mengitar kesekeliling. Dia memandang langit-langit kamarnya yang dipenuhi sarang laba-laba juga terdapat bolong-bolong agak besar. Lalu tatapannya tertuju kembali pada tembok di kamarnya yang sebagian mengelupas juga berjamur.
Sungguh miris.
Rasha membayangkan, andaikan ia sungguhan menjadi orang kaya, mungkin dia tak akan mengalami semua ini. Dia menggelengkan kepala, tak seharusnya dia membayangkan sesuatu yang takkan mungkin pernah terjadi.
Sempat terlupakan, sejak tadi dia ingin mengecek ponsel canggihnya. Tangannya membuka layar dan di sana terdapat satu notifikasi. Rasha membukanya dan rupanya dari Instagram. Saat dia membuka Instagram, ada satu notifikasi yang menandai dia di sebuah foto. Entah foto apa itu, karena akun yang menandainya itu bernamakan Dark Mystery 99. Rasha makin penasaran dengan siapa yang menandainya itu, mungkin salah satu dari followers-nya. Entahlah.
Rasa penasaran Rasha terhenti ketika dia membuka postingan itu. Dia terkaget dengan mulut terbuka lebar juga kedua mata yang terbelalak. Di sana terpampang sebuah foto yang mengekspos dirinya tengah tidur di kamar hotel sedang dipeluk oleh seorang pria dengan tubuh setengah telanjang yang menampilkan bagian bahunya dan dada dari pria itu yang tak memakai pakaian. Sedang tubuhnya yang lain, tertutupi oleh selimut merah.
Anehnya kenapa wajah dia saja yang ditampilkan. Kenapa wajah pria itu tidak diperlihatkan melainkan diedit dengan menghalangi wajahnya dengan warna hitam. Ingatannya kembali pada malam penukaran itu, yang dirinya tak sadari tidur dengan pria yang bernama Randy. Tapi siapa yang mengambil gambar itu? Bahkan ketika dirinya dan Randy tengah tertidur.
Kemarahan Rasha memuncak ketika dia melihat icon tag di samping kiri. Dua akun yang ditag orang itu, yaitu dirinya sebagai akun Rasha_Arnisa05 dan satu akun lain yang bernama akun SMA Cendakia Sch. Rasha baru menyadari bahwa akun kedua itu adalah akun milik sekolah, dan otomatis semua anggota warga sekolah pasti akan mengetahuinya.
Rasha kemudian melirik kolom komentar, berbagai macam komentar terpampang di sana yang berjumlah hampir 200 lebih komentar. Tak lupa para komentar itu menyertakan mention untuk temannya agar mereka melihat postingan itu. Sedikit Rasha membaca komentar dari teman sekolahnya dan semakin lama Rasha membaca semakin memuncak pula amarahnya.
“Wah gak nyangka si Rasha sampe gitunya pengen kaya.”
“Dasar Bitch!”
“Jijik gue lihatnya, pengen muntah sumpah.”
“??”
Dan berbagai macam komentar lain bermunculan. Rasha tak kuat lagi dengan komentar-komentar itu yang semakin memojokannya. Dia kemudian membuka akun yang bernama Dark Mystery 99 tersebut. Namun nihil. Akun itu diprivate pemiliknya dan Rasha tidak dapat mengetahui siapa pemilik dari akun tersebut. Dengan amarah Rasha membanting ponsel itu pada tembok kamarnya dan menghasilkan bunyi retakan, membuat ponsel itu rusak berkeping-keping.
Rasha menangkup wajahnya dengan kedua tangannya dan menangis di sana. Dia tak mengerti siapa orang yang sebegitu membencinya? Dan siapa orang yang sudah mengambil gambar itu? Rasha berspekulasi bahwa itu adalah kerjaan Kimberly dan Vera. Melihat bagaimana mereka sebegitu bencinya terhadap dirinya, dan itu pasti ulah mereka.
Bunyi retakan itu mengundang ibunya untuk masuk dan menengok keadaan anaknya di kamar sana. Marlina bergeges masuk ke kamar Rasha yang kebetulan tidak terkunci. Marlina melihat Rasha sedang selonjoran di lantai sambil melamun.
“Nak, kamu kenapa sayang. Tadi itu suara apa?” Marlina mengedarkan pandangannya pada penjuru ruangan, namun tak mendapati suatu barang yang pecah.
Rasha mendongak, mengusap pipinya yang basah dan memaksakan untuk tersenyum. “Gak ada kok, Bu,” ucapnya sambil menyembunyikan ponsel pecah tadi di belakang tubuhnya.
“Kalau gak ada apa-apa, ayo makan, Ibu sudah siapkan.”
***
Suara keras berdebum-debum menggelegar di seluruh ruangan dengan nuansa remang ini. DJ, Dancer, sedang meliuk-liuk menghidupkan suasana agar ramai. Botol-botol minuman, gelas kosong, puntung rokok, berserakan mengisi seluruh meja-meja bundar.
Di kursi sofa, di depan meja, terdiam Adriel tengah meminum minuman keras dengan kadar alkohol minim. Di atas meja itu, berserakan kartu remi dan botol-botol minuman beserta puntung rokok yang sudah mengecil. Dion, Roni, dan semua geng Adriel tengah bermain kartu dengan taruhan membawa wanita cantik ke hotel yang wanita itu tengah duduk mengamati mereka bermain, dengan wajah penuh make up juga pakaian merah minim.
Wanita berumur 20-an itu bergelayut manja pada Adriel sambil menciumi leher Adriel dengan bibirnya yang sensual. Adriel melempar salah satu kartu di tangannya ke arah meja dan semua orang terpekik dan berteriak, bahwa permainan itu berakhir dengan Adriel sebagai pemenang.
Semua teman-teman Adriel menyerahkan uang ratusan yang dikumpulkan pada Dion. Kemudian diberikan pada pelacur itu sebagai bayaran malamnya. Sebelum itu Adriel menatap serius pada temannya yang sedang mengeluarkan uang, kemudian berujar, “Kalian tau gadis yang suka ama gue, si Rasha?”
Keempat sahabat itu berhenti sejenak, lalu bersorak sambil bertepuk tangan.
“Wih, fans nambah satu dari ratusan cewek yang nge-fans ama lo,” kata Dion sambil menepuk-nepuk bahu Adriel.
“Gue bilang apa, dia tuh naksir lo. Dari tatapan matanya aja, udah gak bisa bohong,” timpal Roni.
“Ambil aja bray, dari pada yang ono cuman semalam. Mending si Rasha bisa tiap hari,” ucap Rifky dengan dagu menunjuk pada pelacur itu.
“Tadi si Rasha nembak gue lewat Kimberly,” kata Adriel menundukkan wajahnya. Dia menoleh pada pelacur itu kemudian merangkulnya.
“Trus lo nerima?” tanya Roni.
“Entahlah, gak tertarik.” Setelah itu Adriel berdiri dan diikuti pelacur itu. Adriel merangkul pinggang wanita itu sambil melenggang meninggalkan ke empat sahabatnya yang terbengong-bengong.
***
Keesokan harinya, Rasha berangkat kesiangan pada pukul tujuh lebih. Akibat memikirkan siapa pemilik akun yang telah menyebarkan aib-nya, membuat dia tidak bisa tidur semalaman.
Rasha tiba di sekolah saat penjaga gerbang baru akan menutup gerbang itu. Dia berlarian dengan dandanan berantakan. Bayangkan, rambut mencuat dari balik ikatannya dan wajah pucat tanpa polesan bedak, karena dia sangat panik kala tadi itu.
Ketika masuk sekolah, beruntung seluruh kelas-kelas belum masuk. Guru-guru pasti belum berdatangan. Itu terbukti pada anak-anak masih berkeliaran di lingkungan sekolah.
Rasha berjalan di tengah koridor. Namun semua aktivitas anak-anak berhenti sejenak, hanya untuk memperhatikan Rasha melintas. Tatapan mereka sangat mengintimidasi, membuat Rasha bingung harus bagaimana lagi. Dia menelan ludah yang terasa pahit sambil menundukan wajah. Ketika berjalan, sebuah tubuh bertubrukan dengannya, memaksakannya berhenti berjalan dan mendongak pada siapa yang menghalangi jalannya.
Seorang cowok-ketua osis yang amat ditakuti di SMA Cendakia menghadang Rasha beserta wakilnya-gadis bertubuh tinggi gempal sedang berkacak pinggang dengan wajah yang terbakar habis oleh amarah. Cowok ketua osis itu yang bernama Anton maju selangkah, membuat Rasha mematung.
Melihat itu kontan membuat murid-murid mengelilingi mereka dengan tatapan kepo mereka.
“Lo yang bernama Rasha?” tanya ketua osis itu dengan dagu teracung penuh wibawa.
Rasha mengagguk.
Wakil ketua osis di belakang merogoh saku, mengambil ponsel, lalu menyerahkan sebuah ponsel pada Anton. “Lihat ini!” kata ketua osis itu sambil memperlihatkan ponselnya pada Rasha.
Rasha harus bagaimana lagi, semua murid pasti sudah mengetahui tentang foto itu. Bahkan, Rasha harus dijegat ketua osis segala dengan memperlihatkan foto itu. “Itu.. itu,” ucap Rasha gelagapan. Dia bingung ditambah ketakutan dengan nada suara ketua osis yang menggelegar.
Sekeliling koridor diisi anak-anak menonton, yang mereka juga ikut cemas.
Wakil ketua osis bertubuh jangkung itu maju lebih dekat dengan Rasha. “JAWAB! Lo itu dungu atau bego? Semua orang malu ama kelakuan lo. Lihat reputasi sekolah ini. LIHAT! Bisa-bisanya lo mempermalukan SMA ini. Bertahun-tahun belum ada anak pelacur sekaligus pembohong kayak lo!” wakil ketua osis itu mengelap wajahnya yang penuh amarah dengan kedua tangannya. Lalu menatap kembali pada Rasha. Tapi tatapan itu tidak se-menyeramkan sebelumnya. “Kalo foto ini jatuh pada guru BK, tamat riwayat lo. Oh, aku baru sadar ternyata foto ini sudah menandai SMA ini.”
Setelah memarahi Rasha, kedua orang itu kemudian pergi dengan langkah penuh wibawa menuju ruang osis.
Rasha terdiam, kemudian dia memandang sekeliling. Semua murid masih bertahan di sana, menyaksikan perseteruan tegang itu. Perlahan-lahan para siswa-siswi membubarkan diri. Tapi seorang cewek ber-rambut ikal mendelik dengan seringai sinis.
“Dasar pelacur.”
Rasha harus kembali menahan amarahnya. Cewek itu adalah anggota cheers berjalan pergi dengan langkah dibuat se-seksi mungkin.
Sendiri. Rasha sendiri di tempat itu. Dia bingung dengan siapa lagi dia bersahabat, padahal seluruh siswa di SMA Cendakia membencinya. Kalau tahu akan serumit ini dia tidak akan mau diajak bercinta dengan pria hidung belang yang bernama Randy itu. Ini semua karena aplikasi media sosial yang baru-baru ini tengah dibicarakan. Ini semua karenanya. Tapi itu sudah terjadi, tak ada gunanya menyalahkan apapun-siapapun.
Di balik sebuah tiang yang berada tak jauh dari Rasha berdiri. Seorang cewek lugu berkepang dua tengah berdiam. Dia menatap Rasha takut-takut. Tak lama cewek itu keluar. Dia berjalan kikuk mendekati Rasha. Gadis itu memberanikan diri mendongak pada Rasha.
Rasha menoleh pada cewek lugu itu sekilas yang ternyata Aliya, si gadis cupu itu. Detik itu juga dia memeluk Aliya dan menangis di sana, menumpahkan segala beban yang mengganjal hatinya di atas bahu cewek itu.
Aliya diam mematung. Tak menyangka reaksi Rasha akan seperti ini.
Di tengah pelukan hangat itu, cewek lugu itu mengusap perlahan punggung Rasha menyalurkan semangat pada Rasha. Dia melepaskan pelukannya dan menatap sekilas, lalu membawa Rasha ke kelasnya sambil merangkul tubuh Rasha yang masih bergetar.
***
Pak Wardi duduk di depan kelas dengan mata terkantuk-kantuk. Sementara muridnya disuruh untuk mencatat materi yang ada di buku paket. Momen saat Pak Wardi terkantuk-kantuk tidak mungkin dilewatkan. Para murid jahil ada yang mempotret diri Pak Wardi. Tak segan-segan, setelah difoto, gambar itu diedit dengan filter telinga kelinci ditaruh di atas kepala gundul Pak Wardi. Tak lupa, kumis imut menempel pada kedua pipi Pak Wardi.
Tak puas dari itu, para murid jail itu menjadikannya DP di bbm, atau diupload di jejaring sosial dengan caption.
‘Pak Wardi imuet.’
Rasha mengeleng-gelengkan kepala melihat kelakuan jahil mereka. Rasha sejenak melupakan kejadian barusan. Kali ini dia akan membuat perhitungan lagi pada orang yang telah menyebarkan foto aib itu. Namun orang yang diduga Rasha pelakunya sedang dispensasi, karena berlatih cheers di lapangan. Mengingat sebentar lagi akan ada pertandingan besar-besaran antara SMA Cendakia dan SMA swasta lainnya. Untuk itu, sebagai tuan rumah, SMA Cendakia khususnya seluruh organisasi eskul mati-matian berlatih demi mengharumkan nama baik sekolah ini.
Bel istirahat berbunyi. Semua murid bersorak bahagia sambil membereskan peralatan sekolah mereka. Pak Wardi yang sedang terkantuk-kantuk harus terbangun dengan wajah polos dan iler yang masih menggenang di pipinya. Seluruh murid berhambur keluar mencari pengganjal lapar. Disusul oleh Pak Wardi yang kerepotan dengan buku-buku paket di kedua tangannya.
Amarah Rasha kembali memuncak. Dia dengan kasar memasukkan peralatan sekolahnya pada tas, lalu dengan terburu keluar kelas.
Koridor pada jam istirahat ini sangat ramai. Banyak anak-anak yang nongkrong di luar atau ada yang berjalan ke kantin lewat koridor. Rasha berjalan terburu dengan nafas yang terengah. Saking terburunya dia sampai menubruki orang-orang yang berlalu lalang di sekitar koridor.
Rasha sampai di lapangan. Lapangan luas ini semua diisi oleh seluruh organisasi eskul yang sedang berlatih. Seperti eskul karate, basket, tari, dan cheers. Rasha memandang sekeliling. Lapangan ini penuh dengan kegiatan mereka, walau matahari sangat terik menyengat, tapi itu tak menyurutkan semangat mereka berlatih.
Di sana terlihat Kimberly sedang melompat di formasi yang paling tinggi. Dengan amarah Rasha menghampiri Kimberly. Melihat kedatangan Rasha dengan penuh amarah, formasi yang sudah dibentuk sedemikian rupa harus membatalkan kembali dengan seluruh anggota berhambur turun. Kimberly melompat dari atas formasi dan menatap Rasha mengernyit.
Denga kasar Rasha menarik kerah baju berkilap Kimberly. Dia bersitatap dengan mata Kimberly yang beratanya-tanya. Seluruh orang yang berlatih menghentikan kegiatannya untuk melihat perseteruan kedua yang dulu adalah sahabat. Bahkan murid-murid yang lalu lalang di sekitar lapangan, menghentikan aktivitasnya dan menghampiri, mendekat, untuk srkadar melihat perseteruan Kimberly dan Rasha.
Rasha mendorong bahu Kimberly pada sebuah tembok dan menguncinya. Dia menatap tajam pada wajah Kimberly. “Apa-apaan lo nyebarin foto gue lagi, hah! Belum cukup mempermalukan gue?” ucap Rasha dengan penuh amarah.
Kimberly berontak, kembali mendorong bahu Rasha yang tadi menguncinya. “Apaan, gambar apaan? Oh gambar lo dengan pria itu.” Kimberly mendengus. Lalu menatap Rasha tak kalah garangnya.
“Itu bukan gue. Bego!”
“Bohong, lo pasti bohong. Siapa lagi orang yang ngebenci gue, kalau bukan lo.” Rasha menunjuk-nunjuk wajah Kimberly dengan marah.
Seluruh murid menyaksikan perseteruan itu dengan menahan nafas. Bahkan ada juga orang yang merekam kejadian itu.
Kimberly yang tak terima dengan itu, dia kemudian berteriak lantang, “BUKAN GUE PELAKUNYA!”
Seketika suasana menjadi hening, Rasha yang tak mau kalah kembali menyerang Kimberly. “Gue gak percaya. Lo pasti bohong.”
Setelah mengucapkan itu. Tiba-tiba benda keras mendarat ke kepala Rasha. Rasha menjadi semakin berang. Dia berbalik, namun amarahnya harus lenyap begitu saja karena Bu Linda sudah berdiri di hadapannya dengan melotot tajam dan penggaris besi bertengger di tangannya.
Bu Linda menatap kedua anak ini berapi-api. “Kimberly, Rasha, ikut saya ke ruang BK.”
***
Angin berhembus menerbangkan daun-daun lalu hinggap di sebuah kolam tenang nan jernih berisi ikan koi yang sedang bermain-main di dalamnya. Sebuah taman luas nan asri yang menghampar rumput hijau beserta bunga-bunga beraneka warna, terdapat sebuah gazebo yang megah. Di gazebo tersebut telah duduk seorang pria muda berpakaian formal, tengah menyesap secangkir kopi hitam yang sangat pekat diselingi tiupan angin.
Pria itu sedang menyandar santai pada kursi yang disediakan gazebo lalu menoleh pada asisten yang berada di sampingnya. “Kau tau, Rud, si Randy pengusaha properti kaya itu?”
Si asisten yang bernama Rudi itu mengangguk. “Emang ada apa, Tuan Evan?”
Sambil menyesap kopi hitamnya, tuan Evan menyeringai. “Dia adalah targetku yang sedang kuincar untuk membalaskan dendam masa laluku yang belum terbayar selama bertahun-tahun.”
***
“Apa! Apa Ibu sudah gila!?”
Di ruang BK, Rasha menggebrak meja Bu Linda yang ada di depannya. Ruang BK itu hanya diisi oleh Rasha, Bu Linda, dan Kimberly yang sedang duduk santai di kursi sofa untuk tamu.
“Itu sudah bulat. Kamu dikeluarkan di sekolah ini karena kamu telah mencoreng reputasi SMA ini,” ujar Bu Linda santai dengan mata terfokus pada Rasha.
“Tapi tidak ada cara lain, Bu? Kenapa saya dikeluarkan, toh saya gak hamil kok. Bu, di luar sana banyak murid Cendakia yang pernah gituan, bahkan ada yang lebih dari saya, tapi kenapa Ibu harus mengeluarkan saya,” ujar Rasha memelas. Dia memelankan nada bicaranya tidak lagi ada amarah.
“Sebelum kamu melakukan hal keji itu, pikirkanlah sekolah kamu dulu. Sekolah ini ber-reputasi baik. Dan di sini tidak ada murid pelacur kaya kamu.”
Air mata Rasha mengalir satu tetes, sakit hati dengan ucapan Bu Linda barusan. Apakah dia seburuk itu? Kenapa sekolah tidak mau menampungnya lagi? Bagaimana dengan orang tua atau masa depannya kelak? Dengan cepat dia menyeka matanya yang sembab, lalu menaikkan dagunya.
“Baik kalau begitu, saya akan mengundurkan diri.”
Rasha bergegas keluar, tapi sebelum itu dia menoleh pada Kimberly yang sedang duduk. Kimberly membalas tatapan Rasha kemudian mendelik, mengalihkan tatapannya pada arah lain. Rasha mendengus. Dia sudah kalah kali ini, tak ada yang bisa menandingi kekuatan Kimberly. Dia pasti menghalalkan segala cara untuk menghancurkannya, karena dia adalah orang yang licik.
***
Di kelas XI-ips 4 seluruh murid tengah mempersiapkan kelompok. Mereka secara serempak membuat grup berisi lima orang untuk membuat laporan tentang laju mobilitas penduduk di kampung halaman masing-masing. Bu Nirda dengan cekatan mengatur kelompok agar tidak ribut sambil menjelaskan pembahasan materi.
Di saat murid tengah berdikusi, pintu yang selama ini tertutup akhirnya terbuka. Pandangan mereka sontak beralih ke pintu dan sejenak menghentikan aktivitas mereka. Bu Nirda yang semula sedang menjelaskan materi, karena ada suara pintu terbuka harus menghentikan penjelasannya dan melihat siapa yang datang.
Di sana Rasha terdiam di depan pintu dengan pandangan menyapu sekeliling. Suasana tampak hening ketika langkah Rasha berjalan menuju bangkunya. Semua meja dan kursi digeser dan disatukan untuk membuat seluruh kelompok dapat berdikusi. Begitupun dengan meja dan bangku Rasha, yang tadinya di pojok, kini berpindah ada di tengah.
Kursi milik Rasha digunakan oleh seorang cowok bernama Rizky-biang onar di kelas XI-ips 4, yang kerjaannya menjahili teman atau tidur di kelas. Bahkan Rasha melihat tas miliknya masih tertempel pada kursinya, juga peralatan belajarnya digunakan oleh cowok nakal itu.
Rasha sampai di kursinya. Dia mendelik kearah Rizky. Pasalnya dengan seenak jidat Rizky menggunakan bukunya sebagai ajang berkreasi menggambar anime di belakang buku Rasha. Dan sialnya itu buku pelajaran bu Sahida, bisa gawat kalau guru galak itu tau ada gambar di belakang bukunya. Namun dia ingat, dia bukan warga sekolah ini lagi, mana mungkin Bu Sahida menghukumnya lagi. Tapi mencoret-coret di buku orang tanpa bilang itu tidak sopan.
Dengan kasar Rasha menarik buku itu dari tangan Rizky. Dan itu cukup membuat bu Nirda penasaran.
“Ada apa, Rasha?” tanya Bu Nirda di depan sambil memperbaiki kacamatanya yang melorot.
Rasha menoleh pada Bu Nirda. “Bu, dia menocoret-coret buku aku.” Rasha kembali memusatkan pandangannya pada Rizky, lalu dengan ketus menyuruhnya pergi. “Minggir! Gue mau ambil tas gue.”
Rizky berdiri dari kursi Rasha, mempersilahkan pemiliknya untuk mengambil alih kursi miliknya. Rasha menyambar tas dan ditaruh di meja. Lalu mengambil buku-buku pelajaran miliknya dan alat tulis yang berserakan di meja. Rasha memasukkan benda-benda itu ke dalam tasnya dengan asal. Setelah selesai, dia lalu menenteng tasnya. Sebelum itu dia memandang pada salah satu anggota kelompok yang menempati mejanya yang sedang seksama sedang memperhatikan dia.
“Apa liat-liat!” Rasha bergegas pergi keluar kelas XI-ips 4, tak mempedulikan pandangan bertanya-tanya teman-teman maupun Bu Nirda.
Rasha keluar kelas dengan perasaan sedih. Dalam hati dia mengucapkan, ‘Selamat tinggal XI-ips 4, atau mungkin SMA Cendakia, semoga engkau tak menyesal telah mengeluarkanku dengan tidak hormat, jangan mau ada sapaan dariku atau jangan mau aku mengangap kau adalah mantan sekolahanku jangan mau! Jikalau aku menjadi orang sukses, karena mulai hari ini aku akan berjuang untuk mengejar cita-citaku.’
Tak disangka air mata mengalir deras di kedua pipi Rasha saat dia melangkah pergi, bahkan sampai gerbang pun air mata itu masih mengalir. Mungkin ini balasan atas semua kesalannya. Sudah cukup! Dia tidak akan melakukan kesalahan lagi, dia sudah lelah. Selanjutnya bagaimana tanggapan orang tua perihal dia dikeluarkan dari sekolah? Bagaimana tanggapan tetangga bahwa anak dari seorang wanita terhormat Marlina keluar sekolah dengan kasus anak itu adalah pelacur?
Sebuah kerikil terlempar jauh dan mengenai tong sampai saat Rasha tak sengaja menendang kerikil itu. Dia berjalan di trotoar seperti orang linglung dengan pandangan kosong ke depan. Di perempatan jalan raya berjarak mungkin 500 meter, terapat plang yang bertuliskan ARDINATA GROUP. Rasha memandang plang itu mengerutkan kening berusaha mengingat nama dari perusahaan itu. Seketika amarahnya kembali memuncak. Bahwa plang itu adalah perusaan milik pengusaha properti terbesar di Indonesia. Milik orang yang telah menjadikan dia dikeluarkan di sekolah.
Tak peduli apapun lagi, dengan amarah memuncak, Rasha berlari menghampiri gedung kantor pusat perusahaan itu. Kali ini dia harus membuat pertanggung jawaban pada orang itu, untuk dia bisa bersekolah lagi. Mau pria itu mau atau tidak, yang pasti Rasha harus membuat perhitungan pada orang itu.
***
Maafkan aku gk bisa nepatin jadwal. Jd males post-nya. Kalo mau baca kelanjutannya, buka di watty di akun anisanurazizah. Di sana udah ada 9 bab kok. Dan di sini mungkin aku gk post lagi….
Terbang [Bab 4]
4 Maret 2017 in Vitamins Blog
Bab 4. Gulungan Tak Berarti
Matahari menyinari pandangan Rasha pada pagi hari yang cerah ini. Rasha berjalan di koridor menuju lokernya. Sekolah sudah tampak ramai. Entah dia yang terlalu siang atau semua murid yang terlalu pagi berangkat sekolah, yang dia tahu tadi dia kesiangan bangun tidur.
Rasha mengambil beberapa buku untuk dipakai hari ini di dalam loker. Setelah dapat, dia lalu kembali menutupnya. Namun dari arah mading tak jauh dari tempat dia berdiri, seluruh murid sedang mengerubun di sana. Layaknya semut mengelilingi gula. Baik perempuan maupun laki-laki, baik yang terkeren maupun yang tercupu, semua tengah menamati berita apa yang dipampang di mading sana. Sambil berbisik-bisik membuat suasana koridor menjadi bising dengan bisikan keras mereka.
Rasha penasaran ada apa di sana. Tak menunggu lama, dia berjalan melihat apa yang terjadi di sana. Di setiap langkah, dapat didengar apa yang mereka bisikan. Seperti…
“Wah gue kira dia tuh kaya, ternyata…”
“Dasar pembohong. Dia tuh orang miskin! Sok-sokan jadi orang kaya.”
Rasha kembali meneruskan berjalan tak memedulikan celotehan mereka. Setelah sampai di sana, Rasha harus kembali berjuang dengan berdesak-desakan. Meski dia terpelanting bahkan terhimpit, tapi itu tak menyurutkan niatnya untuk melihat apa yang terjadi. Ketika berhasil meraih terdepan. Detik itu juga tubuhnya menegang dengan mata terbelalak. Rasha membuka mulut terkejut, kemudian menutup kembali. Di sana terpampang sebuah gambar dirinya yang sedang dipeluk oleh ibunya dengan latar rumah sederhana. Rumah miliknya! Tak lupa gambar itu bertuliskan…
ORANG YANG KITA ANGGAP KAYA, TERNYATA MISKIN!
“Apa-apaan ini!?” Rasha merobek gambar itu dari mading dan meremasnya menjadi gulungan kertas tak berarti. Sontak semua murid memandangnya dengan sudut pandang berbeda. Ada yang sinis, bertanya-tanya, bahkan ada yang tidak peduli. Rasha mengeraskan rahangnya. “Siapa yang melakukan ini, Hah?!” Rasha menatap semua murid yang ada di hadapan dengan marah. Tapi semua murid menggeleng.
Dari arah kanan terdengar pekikkan Kimberly dan Vera yang sedang melangkah ke arah mading dengan menjerit-jerit heboh. “Ada apa ini? Apakah aku ketinggalan sesuatu?” Kimberly dengan hebohnya menghampiri Rasha yang masih diliputi amarah. “Ada apa, Rasha?” tanya Kimberly dengan wajah tak tau apa-apa.
“Gue cuman pengen tau siapa yang memasang gambar ini?” Rasha menunduk, membuka kembali gulungan kertas itu.
Kimberly mengamati gambar itu sesaat kemudian dia menyentuh kedua pundak Rasha. “Kita akan cari tau bersama. Iya, kan, Ver?”
Medengar seruan Kimberly, Vera yang saat itu sedang mengemut lolipop sambil melamun, sontak tersadar dan menumbukkan tatapan polosnya pada Kimberly dan Rasha. “Oh itu pasti, kita akan mencari tau siapa pelakunya.” Vera kembali mengemut lolipop-nya sambil tersenyum sinis pada Kimberly.
Kimberly berbalik memandang kembali pada Rasha yang masih menunduk.
“Makasih yah, kalian adalah sahabat terbaikku.” Kimberly, Vera, dan Rasha meninggalkan mading karena terdengar bel berbunyi. Murid-murid yang masih ada di sana perlahan-lahan bubar pergi ke kelas masing-masing. Di saat berjalan, Rasha membuang gulungan itu di lantai koridor sambil kembali berjalan dan berbincang dengan Kimberly dan Vera.
Gulungan itu tergeletak di lantai. Tiba-tiba sebuah tangan mengambil gulungan itu dan memasukannya ke dalam saku celana, kemudian berjalan kembali tanpa disadari siapapun.
***
Jam pelajaran bahasa inggris kali ini Rasha tidak sepenuhnya terfokus pada pembelajaran. Pikirannya melayang dengan pandangan lurus ke depan memerhatikan guru yang sedang mengajar. Kembali kejadian beberapa jam tadi terngiang lagi di dalam pikiranya seakan kejadian itu tak mau pergi berkeliaran mengisi otak Rasha.
Dia berpikir, siapa orang yang menyebarkan gambar itu? Padahal tak seorang pun warga SMA Cendakia mengetahui seluk beluk dirinya kecuali tetangganya. Rasha berspekulasi bahwa ada orang yang sengaja mengikutinya. Tapi siapakah dia? Pikiran itu buyar ketika bel istirahat berbunyi. Rasha mengembalikan kesadarannya, kemudian membereskan peralatan belajarnya ke dalam tas, sambil berdiri berniat keluar.
Sebelum itu, Kimberly menahan bahu Rasha sesaat dan Rasha balik menatapnya.
“Hari ini kita gak bisa jajan bareng. Gue dan Vera mau ada rapat ama anggota cheers.”
Rasha menghela napas panjang, kemudian mengangguk. Kimberly dan Vera bergegas pergi.
Sejak dari kelas 10 memang Kimberly dan Vera sudah menjadi anggota cheers SMA Cendakia. Menurut mereka, untuk menjadi anak hits, mereka harus menjadi anggota cheers dulu. Tapi Rasha tidak mau. Meski kedua temannya memaksa, dia tetap tidak mau. Bukannya tidak suka, dia hanya tidak mau menjadi sorotan orang-orang dengan menjerit-jerit atau beratraksi. Dia hanya ingin kehidupannya tentram saja.
Setelah kedua sahabatnya pergi. Rasha kembali didera bingung. Bingung jika ke kantin tak ada teman yang bisa menemani, kalaupun sendiri pastilah dia menjadi objek cemoohan orang-orang yang ada di kantin pasca kejadian beberapa jam lalu. Lagi jika diam di kelas dengan dikerubuni anak-anak kutu buku yang sehariannya berdiam di bangku dengan buku tebal mengelilingi aktivitas mereka, dia pasti tidak akan tahan dengan mereka.
Rasha yang bingung akhirnya memutuskan untuk berjalan-jalan di sekitar koridor yang sekiranya agak sepi. Seperti koridor yang mengarah ke gudang atau ke perpustakaan, karena itu adalah tempat yang paling keramat di sekolah ini. Mungkin tempat itu adalah tempat terakhir yang akan mereka singgahi.
Rasha berjalan santai dengan mengutak-atik ponselnya bermain game yang baru-baru ini dia pasang. Sejenak dia berhenti untuk melihat ke jalanan dan kembali meneruskan perjalanan. Sebelum itu Rasha menemukan sebuah ruangan yang agak ramai dengan lengkingan-lengkingan cempreng khas cewek-cewek bawel. Di atas pintu ruangan itu tergantung tulisan Cheers Organization. Namun Rasha tidak memedulikannya, toh mereka di dalam dan dia di luar, kemungkinan kecil mereka dapat melihat dan mengolok-oloknya.
Rasha kembali berjalan dan meneruskan permainannya yang sempat tertunda. Sesaat dia tertegun dan menghentikan langkahnya karena di dalam ruangan itu terdengar sayup-sayup suara Kimberly dan Vera sedang bicara dengan menyebut-nyebut namanya. Rasha mendekati jendela, lalu menguping di sana.
“Eh, lo tau guys gambar yang ada di mading itu?”
Itu seperti Kimberly. Rasha dapat mengenalinya karena suara Kimberly paling cempreng di antara yang lainnya.
Kemudian terdengar anggota cheers lain menyahuti. “Tau dong. Emang kenapa?”
“Kalian tau siapa pelaku yang menempelkan gambar itu?” terdengar suara Vera.
“Lalu siapa?”
“Tadaa! Gue dan Vera.”
Setelah itu tak ada suara lagi terdengar saling bersahutan karena secara tiba-tiba pintu ruangan rapat itu ditutup dari dalam. Detik itu juga, Rasha dengan kuat menahan amarahnya. Dia tidak habis pikir, bagaimana kedua sahabatnya dengan tega menyebarkan aib yang selama ini dia sembunyikan. Meski dia telah berbohong, tapi kenapa kedua sahabatnya tega melakukan itu? Rasha tak kuasa menahan tangisnya lalu berlari menuju gudang yang berada tak jauh dia berdiri sekarang. Sekali lagi dia menyeka air matanya sambil memegang dadanya yang teramat sangat sakit.
Rasha menutup pintu gudang. Dia meluruhkan tubuhnya pada sandaran pintu dan memeluk lutut sambil menangis di ceruk lututnya. Rasanya sakit, kedua sahabatnya yang dulu dia sangat percaya, kini berkhianat dengan begitu kejamnya. Rasha mendongak. Memandang nanar pada langit mendung di luar jendela. Dia berpikir, apakah ini hukuman atas kebohongannya yang selama ini dia tutup-tutupi? Apakah ini hukuman karena dia pernah merelakan kehormatannya hilang? Tapi kenapa Tuhan memberikannya hukuman yang sangat berat.
Rasha berdiri. Dia sudah tidak terlalu kalut lagi dengan kejadian beberapa jam lalu, toh itu sudah terjadi dan itu sudah seharusnya dia alami karena kesalahannya. Rasha berbalik. Hendak membuka pintu, namun naas, pintu itu tak mau terbuka. Sekuat tenaga Rasha menarik-narik gagang pintu itu dan masih tetap tidak terbuka. Rasha terdiam sejenak. Sebelum ke gudang, pintu itu masih terbuka dan kuncinya masih tergantung di pintu. Tapi sekarang kenapa pintunya tidak terbuka?
Rasha menggebrak-gebrak pintu berharap ada yang mendengar. “Woy yang di luar! Bukain gue. Gue ada di dalem,” teriak Rasha yang suaranya hampir teredam karena gudang ini kedap udara. Rasha menggedor-gedor lagi dan semua itu sia-sia, tak ada yang menyahut. “Plis, bukain dong,” kata Rasha lagi dengan suara yang nyaris seperti bisikan. Rasha meluruhkan tubuhnya lagi dan bersandar pada pintu. Air mata Rasha kembali mengucur. Dia tidak mengerti, kenapa ada orang yang membencinya, padahal dia tidak membuat salah pada orang-orang.
Tiba-tiba suara gemerincing kunci yang terdengar dari luar. Sontak saja Rasha mengelap air matanya dengan cepat dan berdiri menghadap pintu. Ketika pintu terbuka, seorang tukang bersih-bersih masuk ke dalam yang di kedua tangannya tergenggam kunci dan sebuah kain pel. Rasha menatapnya sebentar sebelum akhirnya dia berlari keluar gudang tak menghiraukan tatapan heran dari tukang bersih-bersih itu.
Rasha berlari di sekitar koridor menuju kelasnya. Di sana terlihat sepi karena murid semua pasti sudah pada belajar. Rasha melihat jam tangannya yang menunjukan pukul 11, yang artinya dia tersekap di gudang sudah lebih dari setengah jam. Pastas lingkungan sekolah sudah sepi. Rasha mempercepat langkahnya. Sial! Dia baru teringat bahwa hari ini ada pelajaran Bu Sahida, guru pkn yang disegani oleh murid-murid, karena ketegasan guru itu yang amat ditakuti.
Setelah sampai, Rasha memandang pintu kelasnya yang sudah tertutup juga keadaan kelas sangat sepi. Terdengar Bu Sahida yang menyeramkan sedang menjelaskan pelajaran di dalam kelas. Rasha mengangkat tangan hendak membuka gagang pintu, meski dia cukup ragu untuk membukanya. Dengan meyakinkan tekad, akhirnya dia membuka pintu itu dengan perlahan. Saat Rasha masuk, seluruh pandangan tertuju pada dirinya. Terlebih Bu Sahida menatapnya dengan penuh amarah yang tertahan. Rasha meneguk ludah getir dan mengangguk sopan pada Bu Sahida.
“Dari mana kamu!” tanya Bu Sahida tegas.
Bulu kuduk Rasha berdiri. Dia magusap tengkuknya canggung. Saat Rasha membuka mulut, Bu Sahida dengan cepat menimpali. “Telat 30 menit. Artinya kamu tidak bisa mengikuti pelajaran saya. Sekarang kamu keluar! Dan masuk setelah pelajaran saya berakhir.”
Rasha menghela nafas panjang. Ini akibatnya kalau berani macam-macam pada Bu Sahida. Dia melangkahkan kaki keluar kelas dan menutup pintu itu lagi secara pelan. Entah mau kemana lagi dia sekarang. Hari ini memang benar-benar sial. Setelah kebenarannya terungkap, terkunci di gudang, dan sekarang terhukum Bu Sahida. Lengkap sudah kesialannya hari ini.
Setelah lama terdiam, akhirnya Rasha memutuskan untuk pergi ke belakang sekolah, karena di sana adalah tempat yang paling strategis untuk merenung.
Rasha tiba di belakang sekolah. Di sana terdapat pohon besar dengan kursi kayu yang sudah lapuk, mungkin karena jarang dipergunakan. Dia mendekati kursi itu dan duduk di sana. Mengamati sekeliling di depannya yang tidak menarik. Rasha terdiam sejenak dengan pandangan terpaku pada sesosok Adriel dan ke empat gerombolannya sedang berjongkok di bawah semak-semak belukar. Entah apa yang di lakukan mereka, yang dipastikan mereka tak jauh dari merokok.
***
Sementara di sisi lain. Adriel tengah menyulutkan rokoknya sambil mengepulkan asapnya pada udara bebas. Sengaja dia di belakang sekolah, tepatnya di balik semak-semak, karena dia tidak mau terlihat oleh guru dan dibawa ke ruang BK lagi. Sudah ratusan kali Adriel keluar masuk ruangan itu. Sampai-sampai dia sudah hafal betul tata letak barang-barang apa saja yang ada di ruangan itu.
“Riel, lo tau si Rasha gadis yang katanya orang miskin itu?” ucap Rino, teman Adriel sambil menyulutkan rokoknya pada korek api tanpa mengalihkan tatapannya pada batang rokok itu.
Adriel berdehem. Melepaskan rokok dari dalam mulutnya. “Ya, emang kenapa?”
“Gue perhatiin napa dia selalu merhatiin lo, ya?”
“Emang si Adriel ganteng kali,” timpal Dion sambil menjentikkan batang rokoknya.
“Iya emang dia ganteng. Maksud gue… sepertinya dia naksir lo deh,” ucap Rino tak mau kalah.
Dion menyahut lagi sambil menepuk-nepuk bahu Adriel. “Gebet aja, Men. Sayang yang satu ini dianggurin. Kalau gue jadi lo, gue mungkin bisa punya pacar 5 kali.”
Adriel terdiam. Menghentikan sejenak aktivitas merokoknya, kemudian dia berdiri, membelakangi teman-temannya, memandang kosong pada pandangan di depan. “Gue gak mau, karena dia cewek bekas kakak gue.”
***
Koridor tampak ramai. Pada pergantian jam pelajaran saat ini biasanya murid-murid pasti ada yang keluar kelas untuk ribut, atau sekadar mencari udara segar. Sudah setengah jam Rasha menghabiskan waktu di belakang sekolah, yang hanya diam sambil mengutak-atik ponsel padahal tak ada satupun notifikasi masuk.
Mengamati koridor, Rasha melihat kelasnya yang sepi, tak ada satu anak pun yang diam ataupun mengobrol di sekitar ruang kelas. Padahal setiap pergantian jam pelajaran, baik kelas Rasha, maupun kelas lainnya, pasti menyempatkan diri berdiam di luar. Rasha menduga kalau Bu Sahida pasti masih mengajar.
Pintu kelas XI-ips 4 masih tertutup. Rasha menghembuskan nafas kasar, karena dia harus kembali menunggu beberapa saat lagi. Rasha menjauhi pintu, lalu duduk di depan kelas. Tiba-tiba pintu terbuka. Menampilkan Bu Sahida yang kerepotan membawa buku tebal di kedua tangannya. Bu Sahida melirik Rasha sesaat, kemudian berjalan santai tanpa berbicara sepatah kata apapun.
Anak-anak di kelas XI-ips 4 masih sibuk memasukkan buku dan peralatan lain ke dalam tas ketika Rasha masuk. Rasha berjalan santai pada bangku tak peduli pada sorot bertanya temannya dari mana saja dia dan kenapa bisa telat. Padahal Rasha adalah orang yang disiplin waktu.
Rasha mengernyit. Pasalnya tas warna coklat bercorak milik Kimberly tak ada di samping kursinya. Begitu pula dengan tas merah Vera, tak ada di depan kursi Rasha. Kedua kursi itu tergantikan dengan tas berwarna hitam dan seorang cewek berkepang alias Aliya menghampiri Rasha.
“Hai, lo pasti bertanya-tanya kenapa tas gue ada disini. Gue disuruh ama Kim dan Vera untuk pindahan tempat, jadi gue ama lo. Gapapa yah?”
Rasha menautkan alis kebingungan. Kemudian seorang cewek dengan rambut tergerai duduk di bangku bekas milik Vera.
“Lo juga?” tanya Rasha.
Gadis dengan rambut tergerai itu-Sinta mengangguk.
Rasha merasakan sakit yang menghujam dadanya. Sampai segitunya kah Kimberly dan Vera membencinya? Sampai-sampai mereka tak mau berdekatan lagi dengannya.
Rasha mengedarkan pandangannya. Lirikannya berhenti pada sosok Kimberly dan Vera yang sedang berpekik ketika melihat sesuatu di ponsel Mereka. Rasha mengeram. Dengan langkah cepat dia menghampiri Kimberly dan berhenti di belakangnya. Tangan Rasha yang semula terkepal, kemudian menjambak rambut Kimberly yang berkilauan.
“Mau lo tuh apa sih hah!?” Rasha melepaskan jambakannya dan menarik kerah baju Kimberly. Kimberly yang tadinya tak siap harus merelakan dirinya sebagai sasaran dari amukan Rasha. Tak terima dengan itu akhirnya Kimberly mendorong bahu Rasha, hingga tubuh Rasha terdorong sedikit.
“Apaan sih lo?”
“Lo yang apaan nempelin foto gue di mading! Iya, gue emang orang miskin. Puas lo! Dulu gue anggap bahwa lo itu adalah sahabat. Sekarang….”
“Sekarang kita bukan sahabat lagi karena lo orang miskin. Dan ya, penyebab lo terhukum Bu Sahida, itu adalah gue.” Kimberly meneruskan ucapan Rasha yang menggantung akibat tarikan nafas dalam. Kimberly merapikan rambut beserta kerah yang dijambak Rasha dengan gerakan seolah-olah ada kotoran yang menempel di bajunya. Dia menatap Rasha sekilas, kemudian menarik tangan Vera yang masih bengong untuk keluar kelas.
Rasha termangu. Tak menyangka Kimberly sampai seperti itu pada dia, padahal dulu mereka pernah dekat. Rasha mengerjap. Tersadar lagi pada dunia nyata. Dia mengepalkan tangan. Semangatnya kembali mengebu, bukan Rasha namanya kalau tidak bertindak.
***
Pukul setengah dua belas, yang artinya itu adalah waktu istirahat kedua. Rasha bersembunyi di balik tembok toilet perempuan. Di tangannya terdapat sebuah sabun colek yang isinya sudah habis setengah. Kali ini Rasha sudah siap dengan rencananya untuk pembalasan. Pada saat orang yang akan Rasha balaskan dendamnya berada di toilet, sengaja Rasha mengoleskan sabun colek pada lantai dengan memilih tempat ramai sebagai sasarannya. Berharap orang sasaran itu akan malu dan jera karena telah berani macam-macam dengan yang namanya Rasha.
Rasha mengoleskan sabun itu lebar-lebar, bahkan dia terpaksa untuk menyingkirkan dulu orang-orang yang ingin lewat, menyuruh mereka supaya memilih jalur lain yang tak terolesi. Agar mereka tidak terjatuh.
Pintu toilet terbuka. Pada saat itu Rasha bersembunyi di balik tembok memerhatikan sasaranya mengenai perangkapnya. Rupanya mereka tengah berbincang dengan suara cempreng yang amat keras. Rasha yang tak kuasa melihat hanya mendengarkan suara mereka mendekat pada sabun itu dan…
Bruk!!
Suara itu mewakili kesenangannya bahwa orang sasarannya kini mungkin sedang terpeleset. Rasha keluar dari tempat persembunyiannya.
Namun detik itu juga dunia seakan berhenti berputar. Tak jauh disana Rasha melihat Kimberly dan Vera tangah berdiri seakan tak terjadi apapun. Orang yang dijadikan sebagai objek pembalasannya kini terganti dengan sosok cowok bertubuh tegap, sekaligus orang yang dicintainya, Adriel, yang kini tengah dibantu oleh orang lain. Parahnya lagi dia terduduk di bawah lantai. Cowok itu tampak meringis, mungkin menahan sakit.
Dengan cepat Rasha menghampiri Adriel.
Tak pernah terpikirkan sebelumnya bahwa yang akan terkena sasaran adalah Adriel. Padahal sebelum merencanakan ini semua, yang akan terjatuh itu adalah Kimberly dan Vera. Sempat terlintas bayangan bagaimana ekspresi mereka ketika dipermalukan, karena yang seperti Rasha tahu, mereka adalah orang yang menuntut segala kesempurnaan dan menepis segala kekurangan. Terlebih menutupi rasa malu.
Bisa dilihat Adriel meringis ketika bangun berdiri. Rasha yang tak tega dengan itu, tak bisa apa-apa selain mengamatinya dari jarak yang agak jauh. Murid-murid yang mengerubuni Adriel terjatuh hanya menatap kasihan, bahkan ada juga yang menatapnya sambil terkikik.
Setelah Adriel bangun dengan sempurna. Para murid berpencar dan membubarkan diri. Tinggalah Kimberly, Vera, Adriel dan Rasha. Anehnya kenapa Adriel tidak bergabung dengan gengnya? Hanya dia seorang diri. Setelah Kimberly menenangkan kakaknya, kemudian Kimberly beserta Vera pergi meninggalkan Adriel.
Hanya berdua di tempat itu dengan jarak pemisah sekitar tak lebih dari 5 meter. Adriel yang menyadari ada seseorang di sekitarnya, kontan menoleh dan mendapati seorang cewek tengah mengamatinya dengan sorot mata penuh penyesalan.
Rasha yang saat itu tengah mengamati Adriel, sontak memalingkan wajah ke arah lain dengan salah tingkah. Rasha melirik sedikit pada Adriel yang sedang mengamati sesuatu di genggaman tangan kanannya. Rasha mengikuti arah pandang Adriel. Saat mengangkat tangan, dia menyadari ada sebuah sabun colek yang dari tadi dia genggam dan tak urung dibuangnya. Rasha memandang lagi Adriel, yang dibalas cowok itu dengan tatapan dingin.
Tak lama Adriel melenggang, tak mengucapkan sepatah kata apapun, padahal Rasha-lah yang menyebabkan semuanya, tapi kenapa Adriel tidak marah padanya?
***
Pulang sekolah tak biasanya Rasha dilanda kecemasan. Setelah lima belas menit berdiam di kelas XI-ips 1, dengan berbekalkan kata maaf, dia kini sedang menunggu di depan kelas Adriel. Kebetulan jam terakhir kelas Adriel adalah pelajaran Pak Wardi, guru sejarah, yang artinya pelajaran itu selalu telat dalam hal jam pulang.
Pintu kelas XI-ips 1 terbuka. Anak-anak terpontang-panting untuk keluar kelas disusul pak Wardi yang kewalahan berjalan sambil menyalami anak-anak. Adriel masih belum juga terlihat, akhirnya Rasha duduk kembali di kursi yang kebetulan ada di depan kelas, menunggu lagi orang yang dia cari.
Di kerumunan di barisan anak-anak terakhir, terlihat Adriel keluar dengan tangan yang sibuk mengetik di ponsel. Hati Rasha kembali bergetar, disela itu Rasha merapikan rambut lurusnya dengan sela-sela jarinya.
Rasha berjalan dan berhenti di hadapan Adriel.
Adriel yang saat itu sedang memasukkan ponsel, menyadari kehadiran seseorang di hadapannya kontan mendongak. Tatapannya tertuju pada pemilik mata coklat terang yang tengah melihatnya dengan berbinar.
Adriel tertegun sesaat, tanpa memedulikan Rasha yang tersenyum manis, Adriel kembali meneruskan langkahnya tanpa menoleh lagi pada Rasha yang sedikit kecewa.
Melihat itu, dengan cepat Rasha menyergah langkah Adriel dan menahan lengannya. Adriel berhenti kemudian berbalik. Menampilkan ekspresi jengkel dipadukan dengan tatapan dingin.
Agak gugup Rasha melepaskan cengkramannya dan berkata, “Maaf soal tadi, g-gue salah sasaran.”
Adriel yang mendengarkan ucapan cewek itu hanya merespon dengan menaikkan alis sebelah. Tak mengucapkan kata apa pun, Adriel berjalan kembali. Sebelum itu dia mendengar pekikkan suara Kimberly yang tengah menyerukan namanya di lorong koridor dengan masih memakai pakaian cheers.
“Kak Adriel!” Kimberly menghampiri Adriel dan Rasha yang berdiri tak jauh darinya. Dengan nafas terengah, akhirnya Kimberly sampai di hadapan Adriel. “Kak Randy katanya gak pulang malam ini. Dia bilang ada rapat mendadak.”
“Selalu gak pulang,” balas Adriel ketus.
Kimberly menyadari ada seseorang di samping kakaknya. Dia mengibaskan rambut dan menatap Rasha dengan pandangan sinis. “Oh ada Rasha. Kakak! Aku baru ingat, si Rasha ini mau ngomong sesuatu ama kakak.”
Rasha mengerjap dan menatap nyalang pada Kimberly. Dia baru teringat bahwa dia sudah menyampaikan pada Kimberly bahwa dia menyukai Adriel dan menyuruhnya untuk bicara. Tapi ini bukan saatnya, kata maaf Rasha saja belum terbalas. Rasha menundukan wajahnya yang sudah memerah dengan menatap sepatu hitamnya.
“Ah kelamaan. Jadi gini, Kak, dia itu suka ama kakak. Apa kakak mau menerimanya? Trus jadi pacarnya? Aku harap jangan deh, orang kaya seperti kita gak level bersanding ama orang miskin.”
Rasha menggigit bibir bawahnya. Kata-kata Kimberly barusan seakan menusuk jantungnya. Takut-takut, Rasha melirik-lirik sekilas wajah Adriel yang masih menampilkan ekspresi dingin dari balik rambutnya.
Secara tak sadar Rasha merasakan sesuatu dilempar di bawah sepatunya.
Tak lama Adriel pergi. Sambil memasukkan tangan pada kedua saku celananya, seolah-olah pengakuan Rasha tak ada artinya.
“Gak di terima, kan. Kasihan,” ucap Kimberly dengan nada angkuh sambil mengibaskan rambut berkilaunya. Kimberly kembali lagi ketempat asalnya, yaitu ke lapangan, mengikuti latihan cheerleaders yang sempat tertunda.
Rasha menghembuskan nafas kasar. Tak seharusnya dia berharap bersanding dengan kaum kaya, walau dulu dia pernah bergaul dengan kaum kaya. Dan sekarang semua sudah berubah.
Rasha berjalan untuk pulang. Namun tak sengaja di balik sepatunya dia seperti menginjak sesuatu. Rasha mengambilnya. Itu adalah sesuatu yang dilempar Adriel ke hadapannya. Sebuah gulungan kertas yang sudah diremas. Perlahan Rasha membuka gulungan itu dan seketika matanya terbelalak. Gulungan itu menampilkan sebuah gambar yang ditempel di mading yang tadi dia sudah buang. Tapi kenapa Adriel bisa memilikinya?
Tak mau berkelut dengan hal itu, Rasha meremas lagi gulungan itu dengan perasaan marah. Kemudian dia melemparkan gulungan itu pada tong sampah terdekat, agar gulungan itu terbuang. Supaya dia tidak melihatnya lagi.
Terbang [Bab 3]
28 Februari 2017 in Vitamins Blog
Bab 3. Kasih Sayang Ibu
Rasha berjalan di sekitar koridor. Semua murid tampak sibuk dengan aktivitasnya. Di saat berjalan, Rasha mendengar suara keributan lagi di sekitar ruang BK yang tak jauh dari Rasha berdiri sekarang. Keributan itu tampak menggelegar yang menimbulkan banyak perhatian murid di sekitar. Di sana terlihat Raihan sedang masuk ke ruang itu dengan tergesa disusul dua guru lain.
Rasha kembali meneruskan perjalanannya tak memedulikan keributan di ruang BK. Namun langkahnya terhenti saat sosok pria tampan yang diyakini Rasha adalah pria yang kemarin telah memberikannya ponsel baru itu.
Pria itu masuk ke dalam ruangan BK dengan jas yang masih melekat di tubuhnya. Rasha terpaku sejenak, sebelum akhirnya dia mengintip di balik jendela ruangan itu. Terlihat samar di sana terjadi keributan. Di mana Adriel sedang membela dirinya di hadapan guru-guru. Juga gerombolan Adriel yang sepertinya menimbrung untuk membela ketua geng mereka. Rasha menguping Adriel yang sedang bicara mengenai alasan kenapa dia berkelahi. Sedang Raihan tampak bergeming juga pria itu hanya diam mendengarkan celotehan dari Adriel.
Rasha yang sedang mengamati, tiba-tiba dikejutkan dengan tepukan pelan pada bahunya. Rasha berbalik badan dan mendapati Aliya, teman sekelas yang setiap hari rambutnya selalu dikepang, juga kacamata besar yang selalu membingkai matanya, sedang berdiri di hadapannya.
“Apaan sih?” bentak Rasha pelan, karena dia takut orang yang di dalam menyadari bahwa dirinya tengah mengintip mereka.
Gadis pendiam itu masih memperlihatkan senyumnya, kemudian berujar, “Lagi ngapain di sini?”
Rasha memutar bola matanya jengah, kemudian dia berkacak pinggang. “Menurut lo, gue lagi ngapain, huh?” Rasha kembali memutar badannya menghadap jendela ruang itu lagi. Dia tidak memedulikan eksistensi gadis berkepang itu.
Aliya mengernyit, melihat Rasha sedang mengintip di balik jendela, seakan ada hal unik apa yang terjadi di dalam sana. Tak lama Aliya melongokkan kepala mengikuti Rasha untuk mengintip di balik jendela.
Rasha yang saat itu menyadari prilaku gadis berkepang itu. Dia menaikkan alis sebelah sebelum akhirnya kembali mengamati keributan di dalam sana. “Al, lo kenal ama pria ber-jas itu gak?” tanya Rasha yang tak mengalihkan perhatiannya pada sosok pria ber-jas di dalam sana.
“Oh itu Kak Randy, dia pengusaha sukses di Indonesia, juga dia adalah kakak dari ketiga anak kembar yang fenomenal di SMA Cendakia.”
Rasha mangut-mangut mengerti atas respon dari jawaban Aliya. Dia baru menyadari bahwa pria yang sudah merengut kehormatannya kemarin adalah kakak dari ketiga bersaudara itu. Rasha belum mengerti, bukannya keluarga itu orangnya baik-baik minus Adriel, meski tanpa orangtua? Tapi kenapa pria itu seperti kebanyakan pria lainnya yang suka menghisap kenikmatan perempuan. Dan kenapa hanya Rasha yang mau dia ajak bercinta? Atau mungkin sudah banyak perempuan di luar sana yang sudah dia ajak bercinta?
Pertanyaan Rasha harus tertelan kembali ketika guru keluar dari ruangan disusul Adriel dan gerombolannya juga Raihan yang mengekor di belakangnya. Detik selanjutnya, orang yang ada di benak Rasha akhirnya keluar ruangan. Rasha memandang pria itu bukan tatapan terpesona ataupun tatapan memuja yang selalu perempuan lain gunakan. Dia memandang pria itu sedikit memberengut karena telah merengut kehormatannya. Tapi dia tidak berbohong, berkat pria itu, dia bisa memiliki ponsel bagus yang dijadikan bahan pamer ke teman-temannya.
Pria itu menoleh menyadari kehadirannya. Mata pria itu akhirnya bertubrukkan dengan mata Rasha yang tengah mengamatinya. Rasha yang saat itu sedang memandangnya sontak mematung, kemudian dia berjalan cepat demi menghindari tatapan sinis pria itu.
Aliya yang kebingungan dengan tikah laku Rasha, akhirnya dia menyusul mengikuti jejak cewek itu menuju ruang lain.
***
Kimberly dan Vera membawa adik kelas berbadan gemuk ke arah trimbun lapangan indoor. Adik kelas itu tampak ketakutan yang dibuktikan dengan keringat dingin mengucur di sekitar dahinya dan bibir yang bergetar. Namun itu tak menyurutkan Kimberly dan Vera untuk berbelas kasihan, dan ketakutan gadis gemuk itu semakin membuat Kimberly meneruskan aksinya.
Bukan tanpa alasan Kimberly dan Vera membully gadis gemuk itu. Gadis itu sudah berani membicarakan kejelekan Kimberly di hadapan teman-temannya. Dikala gadis gemuk itu membicarakannya, dikala itu pula Kimberly sedang berjalan di sisi mereka dan tak sengaja mendengar percakapan mereka. Otomatis Kimberly dan Vera berang, kemudian dia membawa gadis gemuk itu ke trimbun lapangan untuk memberikannya pelajaran. Agar gadis itu tau bahwa jangan macam-macam pada Kimberly kalau tidak mau berakhir dengan aksi dipermalukan.
Kimberly menarik kerah baju gadis gemuk itu yang menyebabkan tubuh gempalnya terdorong dan itu menyebabkan ketakutan yang dirasakan gadis itu bertambah. Kemberly mengibaskan rambut blonde-nya kebelakang dengan gerakan anggun, lalu menatap Vera dengan seringai licik.
Vera merogoh kantong plastik yang dibawanya. Membawa sebuah tepung terigu dan telur yang kemudian diberikan kepada Kimberly.
Kimberly menatap kembali pada gadis gemuk itu yang sudah berlumur keringat dingin. Lalu Kimberly menaburkan semua tepung dan telur tersebut kepada gadis gemuk itu. Dia tertawa puas dengan hasil karyanya membuat gadis itu berlumur tepung dan berbau amis dari telur.
Sedang Vera, dia sejak tadi mengambil video gadis itu sambil tertawa puas.
“Kuenya sudah jadi.” Kimberly bergaya di kamera dengan pose yang dibuat sedang memerlihatkan sebuah karya yang bagus.
Vera tersenyum kemudian menyudahi rekaman video-nya.
Gadis gemuk itu menangis sesenggukan sambil berlari keluar lapangan. Kimberly dan Vera mengamati kepergiannya dengan tertawa puas.
Kimberly melirik Vera. “Satu masalah telah selesai. Ayo cabut.”
Kimberly dan Vera melangkah keluar. Namun langkah Vera terhenti, karena dia melihat sebuah ponsel baru tergeletak di antara kursi trimbun. Vera mengambil ponsel itu dan mengamatinya. Dia baru menyadari bahwa ponsel itu milik Rasha. Vera kemudian membuka layar ponsel itu mengutak-atik sesaat.
Kimberly yang saat itu sedang berjalan, menyadari bahwa Vera tidak mengikutinya, kemudian berbalik memandang Vera di sana yang sedang mengutak-atik sebuah ponsel.
Sementara itu, Vera membelalakkan mata. Secara tak sengaja Vera membuka sebuah galeri yang memerlihatkan sebuah foto. Dia melambaikan tangan menyuruh Kimberly untuk mendekat.
Kimberly mengernyit, lalu dia menghampiri Vera sambil memandang sesuatu yang ada di dalam ponsel tersebut. Sebelum akhirnya berkata kaget, “What! Apa-apaan ini?” Kimberly merebut ponsel tersebut berniat menghapusnya. Namun tangan Vera menghentikkan tangan Kimberly yang akan menghapus foto tersebut.
“Jangan dulu. Siapa tau kita butuh foto itu.”
Kimberly menuntut penjelasan lebih dari Vera. “Tapi ini?”
Vera menyeringai licik. “Itu bisa di edit.” Dia kemudian merebut kembali ponsel itu dan memindahkan gambar tersebut pada ponselnya. Setelah pengiriman foto berhasil, Vera menghapus foto itu dari galeri ponsel milik Rasha. Lalu dia menyimpan ponsel itu di dalam sakunya, berniat mengembalikannya tanpa ada lagi foto tersebut di sana.
***
Rasha kembali ke kelasnya yang tidak mendapati sosok Kimberly dan Vera di bangku mereka. Juga keadaan kelas tampak lenggang di jam istirahat ini. Rasha duduk di kursinya dan ingatannya kembali pada sosok pria yang diyakini adalah saudara anak kembar yang paling fenomenal di SMA Cendakia. Sosok itu mengingatkannya pada malam pertukaran kemarin. Malam pertukaran yang membuat semuanya menjadi berantakan.
Rasha yang sedang duduk di bangkunya, lalu merogoh saku rok mencari keberadaan ponselnya. Tapi ponselnya tak ada. Dengan panik, dia mencari-cari ponsel itu di dalam tas, kolong meja, dan tumpukkan buku, namun tak ada sama sekali.
Di tengah pencariannya, Kimberly dan Vera masuk ke dalam kelas. Melihat gelagat Rasha mencari-cari sesuatu, Vera merogoh sakunya dan mengeluarkan benda yang sedang dicari Rasha.
Sejenak Rasha menghentikkan aktivitasnya dan mengernyit pada benda yang sedang disodorkan Vera. Helaan nafas lega Rasha mendapatkan benda itu terdengar jelas. “Akhirnya hp gue ada juga. Makasih ya, Ver.” Rasha mengambil benda itu.
Kimberly dan Vera bertukar pandang dengan tersenyum licik.
Mereka akhirnya duduk di bangku mereka masing-masing. Kimberly melirik Rasha. “Sha, lo nggak nyembunyiin sesuatu dari kita ‘kan? Maksud gue… mungkin seseorang yang lo sukai… atau apa gitu?”
Vera membalikan badan menghadap Kimberly.
Rasha kebingungan. Rahasia apa yang dia sembunyikan. Kecuali rahasia dia bercinta dengan seorang pria. Sampai kapanpun Rasha tidak akan pernah mengatakannya.
Rasha menghela napas panjang. Mungkin ada baiknya dia menceritakkan rahasia itu. Dan semoga saja Kimberly dapat membantunya. “Maaf yah, Kim. Gue suka ama kakak lo, Adriel, dari dulu.”
Jawaban yang di luar dugaan. Kimberly dan Vera membelalakkan mata, tidak percaya apa yang dikatakan Rasha barusan.
Kemudian Kimberly mengubah kembali ekspresi wajahnya. “Kenapa lo nggak bilang dari dulu? Mungkin gue akan bantu lo.”
Rasha menunduk dan memilin jarinya. Rasanya malu bila hal ini diceritakan, terlebih lagi Kimberly adalah adik dari orang dia suka.
“Kim, bantuin gue buat bilangin ama kakak lo.”
Kimberly tampak menimbang-nimbang. Dia menatap Vera sesaat dengan seringaian. “Akan kulakukan… mungkin.”
Vera melirik Rasha. “Lo nggak nyembunyinyin apapun lagi, kan?”
Rasha tertegun, selanjutnya menggeleng.
Guru masuk ketika Kimberly, Vera, dan Rasha menyudahi acara ngobrolnya. Guru itu memanggil Rasha ketika dia sudah duduk di bangku guru. Rasha menghampiri guru itu sedikit malas, karena dia sebagai sekretaris harus mau disuruh ini-itu oleh guru, dan itu hampir setiap hari dilakukan.
Sepeninggal Rasha, Kimberly dan Vera mendekatkan wajah mereka. Mereka menengok-nengok penjuru kelas, berharap tak ada yang menguping pembicaraan mereka. “Gue makin curiga dengan tingkah lakunya. Atau pulang sekolah kita bongkar kedok dia.” Kimberly menyudahi ucapannya dan menjauhkan kepalanya di telinga Vera.
Vera bersemangat, kemudian mengangguk.
Rasha kembali dari depan kelas. Dia duduk kembali dan tak menyadari seseorang tengah membicarakannya. Rasha mengernyit dengan tingkah Kimberly di sampingnya yang terus menelisik seluruh tubuhnya. “Ada yang salah, Kim?”
Kimberly tersadar dari acara menelisiknya sambil menggeleng. “Nothing.”
****
Matahari sangat terik menyinari waktu pulang sekolah ini. Rasha keluar gedung sekolah dengan tangan tersampir di kepala, menghalau kontak langsung antara kulit dan sinar matahari. Hampir setiap hari Rasha sengaja menunda pulang sekolah. Seharusnya pulang itu pukul satu tepat, tetapi dia pulang pada pukul setengah dua. Alasannya, ya, karena dia tidak mau orang mengetahui bahwa dia pulang naik angkot.
Rasha mengamati penjuru sekolah di mana tak ada seorang murid warga SMA Cendakia, kecuali anak-anak eskul, itupun Rasha tidak mengenalnya. Dia berjalan bermeter-meter jauhnya menuju tempat pemberhentian angkot yang biasa dia naiki. Tak lama, angkot itu datang, dan lantas Rasha menaiki angkot itu.
Tanpa disadari, Kimberly dan Vera sejak tadi mengamati kepergian Rasha. Ketika Rasha agak berjalan jauh, Kimberly dan Vera segera mengejarnya. Sesekali bersembunyi di balik pohon atau tong sampah.
Sejenak Kimberly dan Vera mengamati Rasha yang sedang naik angkot. Kimberly menatap angkot itu, sambil berujar tanpa mengalihkan tatapannya pada angkot itu yang sedang menaikkan penumpang. “Tuh kan, kecurigaan kita akhirnya terungkap. Lihat aja dia naik angkot. Yah pasti dia itu orang miskin.”
Ankot berjalan perlahan. Spontan Kimberly berseru, “Cepat bawa mobilnya! Buruan, kita kejar angkot itu!”
Mereka segera pergi menuju mobil mewah milik Kimberly yang terparkir tak jauh di sana. Setelah menaiki mobil tersebut yang dikemudikan oleh Vera, lantas mobil itu melaju sangat kencang mengikuti angkot yang dinaiki Rasha.
Angkot yang dinaiki Rasha berhenti di jalan yang mengarah ke gang sempit. Setelah membayar, Rasha berjalan menuju gang itu tanpa menyadari seseorang sedang mengikutinya.
Mobil mewah yang dikendarai Vera terus mengikuti angkot itu, dan ketika angkot itu berhenti, Vera yang tadinya menjalankan mobilnya cepat, mengerem mendadak, membuat Kimberly maupun Vera itu sendiri terdorong ke depan. “Buruan turun, sebelum kita kehilangan jejak!” ujar Kimberly dengan paniknya.
Rasha terus berjalan sesekali menyapa ramah penduduk kampung itu.
Dua orang itu masih setia mengikuti Rasha. Kadang-kadang berhenti lalu bersembunyi ketika Rasha sedang menengok ke samping maupun ke belakang.
Rasha tiba di rumahnya tepat pukul dua siang. Tanpa disangka ibunya tengah menunggunya di luar rumah dengan bertopang dagu. Melihat Rasha masuk ke pekarangan rumah, seketika ibunya menyambut anaknya itu dengan pelukan hangat. Rasha tertegun mendapat pelukan seperti ini. Dia berpikir kenapa ibunya masih bisa-bisanya menyayanginya, walau dia sudah melawan dan meninggalkan rumah untuk mencari sebuah ponsel. Bahkan sekarang dia dengan sayang mengusap dan mecium puncak kepalanya.
“Sayang, kamu ke mana dari kemarin gak pulang?” sang ibu melepaskan pelukan lalu menatap putri semata wayangnya khawatir.
“Aku… aku… t-tidak ke mana-mana.” Rasha mendudukkan kepalanya sambil menggigit bibir bawahnya.
“Kamu tidak macam-macam, kan?”
Rasha menggeleng. Namun dalam hati dia membenarkan perkataan ibunya.
“Oh, syukurlah.”
Detik selanjutnya, ibunya menggiring Rasha ke dalam rumah sederhana itu dan menutup pintunya pelan.
Sementara di sisi lain, Kimberly dan Vera sedang mengamati Rasha yang tengah dipeluk ibunya di sebuah tembok yang cukup tersembunyi. Mata mereka nyaris keluar dengan mulut yang saling terbuka.
“Tuh, dia itu orang miskin,” tandas Kimberly tanpa mengalihkan tatapannya, sambil menunjuk-nunjuk pada Rasha disana dengan gelagat gemas.
Vera sempat tersadar, kemudian dia merogoh saku rok-nya mengambil keberadaan ponsel.
“Mau ngapain lo?” tanya Kimberly.
“Ambil dokumentasi.”
Vera menyesuaikan posisi kamera ke arah Rasha beserta ibu dan rumah sederhana itu. Beruntung sekali ibu Rasha hanya menggunakan daster merah marun sederhana, jadi mudah meyakinkan murid-murid yang memepercayai jika cewek itu orang kaya sebenarnya adalah orang miskin.
Satu gambar berhasil diabadikan.
Kimberly melihat hasil jepretan itu lalu dia tersenyum miring. “Besok semua sudah selesai, Sahabatku.” Dan ketika mengatakan kata terakhirnya, dia merasa ingin mintah, tapi itu terdengar lebay.
Setelah itu, Kimberly dan Vera berlalu untuk kembali ke mobilnya dan pulang. Mereka membayangkan reaksi seperti apa yang akan mereka dapatkan ketika mengetahui bahwa Rasha itu orang miskin. Sebelum itu, Kimberly dan Vera memang tidak sepenuhnya berteman dengan Rasha. Hanya saja sebelum kebohongan cewek itu terungkap, Kimberly dan Vera percaya Rasha itu orang kaya raya. Jadi Kimberly dan Vera tak segan untuk berteman dengannya. Namun, ketika dia melihat kenyataan ini secara langsung, dia tidak sudi lagi berteman dengannya.
***
Suasana di kediaman Ardinata tampak bersitegang. Randy menatap adiknya dengan tatapan bengis. Semenjak pulang dari sekolah memang Randy sudah jengah dengan kelakuan Adriel. Dia menyeret Adriel pulang, walau sering Adriel pulang sekolah tidak langsung pulang ke rumah. Tapi kali ini, tiap kali Adriel memiliki masalah di sekolah, pasti Adriel akan menurut dengan kakaknya.
Adriel sedang duduk di sofa dengan satu kaki dinaikkan ke kaki lainnya, juga tangan yang dilipat di dada. Dia lalu mendengus mendapatkan tatapan seperti itu dari kakaknya.
“Mau sampai kapan kamu mau seperti ini terus, Adriel? Apakah kurang kasih sayangku padamu… hingga kau seperti ini?”
Mendengarkan pertanyaan itu, Adriel hanya memberikan tatapan meremehkan dengan menyungging senyum licik. “Yang kurang adalah, Kakak gila kerja. Sebagai gantinya, aku gila nakal.” Adriel menunjuk di depan wajah kakak sulungnya dengan tatapan sinis, kemudian dia mengambil jaket hitam yang tersampir di pinggiran kursi sambil berlalu keluar rumah, dengan jeblakkan pintu yang menggelegar di seisi rumah Ardinata yang sangat sepi.
Randy mengacak-ngacak rambut gusar. Dia teringat kata-kata Adriel di bagian terakhir yang seakan menohoknya. Randy menggelengkan kepala. Mengenyahkan kata-kata itu lalu melirik Raihan yang sedang belajar di sana. “Jaga adik-adikmu! Jangan pada rumus terus.”
Raihan melirik sekilas dengan tatapan datar, lalu kembali menekuri rumus-rumus itu lagi.
Randy menghempaskan tubuhnya di sofa. Tak lupa dia melonggarkan ikatan dasinya agar tidak terlalu mencekik. Tiba-tiba terdengar pintu depan berderit dan terbuka, menampilkan sosok anggota keluarga yang belum pulang. “Dari mana kamu!?”
Kimberly terdiam sejenak di balik pintu seolah terhakimi, kemudian menggeleng.
***
Rasha menurut pada ibunya yang bernama Marlina untuk masuk. Tak hanya di luar saja Marlina terus saja memeluk Rasha, bahkan sampai di dalam rumah pun Marlina terus-terusan memeluknya. Seakan-akan Rasha itu sudah menghilang selama bertahun-tahun. “Ayo, Nak, kita makan.”
Rasha mengangguk. Ibunya mencekal lengan Rasha menuju meja makan, yang sana sudah tersaji banyak hidangan. Melihat banyak makanan itu, kontan perut Rasha ikut keroncongan.
Marlina mendudukkan Rasha di salah satu kursi yang ada di meja makan. Tanpa berganti seragam dan tanpa melepaskan tas, Marlina tetap menyedokkan nasi beserta lauk-pauk pada piring, sampai piring yang digunakan Rasha tertutup penuh hidangan. “Ibu tau kamu pasti pulang, jadi Ibu masakin makanan ini buat kamu.” Sekali lagi Marlina menggenggam tangan Rasha dengan tersenyum hangat.
Rasha merasa malu jika dihadapkan dengan posisi seperti ini. Bagaimana tidak, ibunya telah rela berkorban demi dia, tapi dirinya telah menghancurkan pengorbanan ibu itu. Rasha menunduk, memilin jarinya dan tersenyum getir. “Ibu gak sedih punya anak kayak aku? Aku keras kepala, sering melawan Ibu, bahkan pergi meninggalkan rumah.”
Marlina tersenyum pedih, menatap hidangan yang masih mengepul itu dengan tatapan mengawang. “Ibu hanya menjalankan perintah Tuhan aja bahwa kamu itu titipan dari Tuhan yang paling berharga. Jadi seharusnya Ibu menjaga dan merawat kamu.”
Rasha mendongak. Setetes air bening menggenang dan mengucur dari pelupuk matanya. “Kalau misalnya aku mengecawakan Ibu. Mungkin seperti menghilangkan kehormatanku atau perbuatan keji lainnya yang mungkin aku jalani. Apakah ibu akan terus menerimaku?”
Marlina kembali tersenyum sambil mengusap pipi putri semata wayangnya.
“Itu tidak mungkin terjadi, karena Ibu percaya padamu. Lagian mana mungkin anak Ibu yang cantik ini melakukan itu.” Marlina mencubit pipi Rasha dengan gemas, tanpa menghilangkan senyum di bibirnya.
Setelah selesai makan, Rasha masuk ke kamarnya. Tak jauh beda, kamar itu seperti sedia kala, yaitu rapi. Meski kamar itu sederhana, tapi di sana menyimpan kenyamanan tersendiri. Dia duduk di tepi ranjang. Mengamati sekilas kamarnya yang tampak bersih. Namun tatapannya tertuju pada sebuah kotak kecil yang tersimpan di meja belajar. Kotak itu terbungkus kertas kado berwarna merah muda dengan pita melilit di sekeliling kado tersebut. Rasha mengamatinya sesaat, kemudian mengambilnya dan duduk di kursi belajar, sedang kotak kado itu disimpan di pangkuannya.
Rasha membuka pita yang membungkus kotak tersebut, disusul dengan kertas kadonya. Setelah semua terbuka, Rasha kembali mengernyit. “Sebuah ponsel?”
Di dalam kotak itu terdapat sebuah ponsel berukuran kecil yang masih menggunakan tombol. Rasha berspekulasi bahwa ponsel itu tak lebih dari harga 200 ribu. Tapi kenapa ibu memberikannya ponsel?
Pertanyaan itu menggantung tat kala pintu kamar Rasha terbuka, menampilkan sosok ibunya yang menggunakan daster sedang melongokkan kepala pada pintu kamar.
“Sudah buka kadonya?”
Rasha memandang Marlina dengan mata berkaca-kaca. Detik selanjutnya dia menubruk dan memeluk Marlina.
“Kenapa Ibu kasih ini buat aku?”
Marlina mengusap belakang kepala Rasha, tanpa melepas pelukan itu. “Karena kamu ‘kan tidak punya ponsel, jadi ibu belikan. Maaf yah Ibu gak bisa ngasih handphone bagus buat kamu, Ibu hanya bisa ngasih ini.”
Rasha melepas pelukan itu dan menatap mata ibunya. Tak pernah terpikirkan olehnya bahwa ibu akan membelikan dia ponsel. Padahal ibunya harus bekerja lebih keras demi membelikannya barang itu. Dan ponsel tersebut tak seberapa dengan yang kini Rasha miliki dari penukaran itu. Namun ponsel yang diberikan ibu lebih baik dibanding miliknya dengan cara yang tak bermoral.
“Aku suka kok. Makasih yah, Bu.”
Update insyaAllah pada hari selasa dan sabtu.
Terbang [Bab 2]
25 Februari 2017 in Vitamins Blog
(No Ratings Yet)
Bab 2. Pamer
Sekolah sudah ramai dikala jam seperti ini. Semua anak berhambur memasuki gedung sekolah SMA Cendakia dengan canda tawa bersama teman mereka. Tak ayal semua perhatian ditujukan pada kelas dan jadwal hari ini. Namun semua perhatian itu berubah ketika semua murid memandang tiga bersaudara yang sedang berjalan santai di tengah koridor. Tak semua murid memandang mereka sama. Ada yang memandang kagum, dengki, terpesona dan pandangan lainnya yang memenuhi tiap langkah mereka ketika masuk di lingkungan sekolah.
Ketiga bersaudara itu adalah Adriel, Raihan, dan Kimberly. Mereka bertiga berjalan bersisian. Sudah tak heran bagi murid SMA Cendakia bahwa ketiga bersaudara itu adalah anak terkaya di SMA ini, bahkan kakaknya yang masih berusia 27 tahun, dia adalah pengusaha kaya, sekaligus pemilik yayasan SMA ini.
Ketiga bersaudara itu adalah ketiga bersaudara yang dilahirkan dalam hari yang sama, tanggal yang sama, tahun yang sama, hanya berbeda beberapa menit. Ya, kita tahu mereka adalah ketiga anak kembar yang paling fenomenal di SMA Cendakia karena jarang dari murid-murid bisa memiliki saudara kembar tiga.
Selain paras mereka yang sudah tidak diragukan. Salah satu di antara mereka ada yang cukup pintar dalam bidang akademik. Seperti Raihan. Dia selalu mendapatkan juara di bidang fisika. Juga Kimberly. Dia adalah seorang model remaja yang mempunyai kontrak dengan beberapa perusahaan mode di Indonesia.
Dari ketiganya, lain lagi dengan Adriel, dia adalah biang onar di sekolah, sebut saja dia Pentolan Cendakia, karena setiap guru selalu memanggilnya seperti itu. Berbeda dengan kedua saudaranya yang mempunyai prestasi gemilang. Adriel hampir didrop out dari sekolah ini kalau saja kakaknya bukan pemilik yayasan sekolah ini.
Di perempatan pertama, mereka berpisah menuju kelas masing-masing. Kimberly yang saat itu rambutnya diblonde dengan gaya baru, memamerkannya pada temannya yang lain, yang direspon mereka dengan decakan iri. Kimberly menghampiri Vera yang sedang memainkan ponsel di bangkunya. Kemudian dia mengernyit pada bangku di sebelahnya karena tidak mendapati Rasha yang biasanya sudah duduk di sampingnya. Kimberly menepuk bahu Vera yang duduk di bangku depannya, kemudian Vera memutar tubuhnya.
“Ke mana si Rasha? Tumben biasanya dia selalu paling pagi untuk datang.”
“Lo tau ‘kan pasti dia tertangkap dengan tuduhan mencuri Iphone,” jawab Vera dengan seringai licik.
Kimberly mendekatkan wajahnya pada telinga Vera dan berbicara dengan suara pelan, “Yah, gue juga berpikir seperti itu. Mana mungkin dia bisa beli hp baru. Padahal gue curiga padanya, biasanya orang-orang kaya itu pasti kesekolahnya bawa mobil apa kek atau dianterin. Tapi mana? Gue belum pernah liat dia bawa mobil mewah.”
“Iya juga sih, tapi dia kan katanya kaya, mungkin aja dia dianterinnya gak sampai gerbang.”
Vera dan Kimberly menghentikkan acara gosipnya ketika guru mata pelajaran masuk. Kimberly menatap bangku kosong di sampingnya dan setelah itu dia tak mempedulikannya lagi.
***
Rasha mengerjapkan matanya, beradaptasi dengan cahaya yang benderang menyapanya di balik jendela lebar yang tirainya terbuka. Rasha menyentuh kepalanya, dan rasa sakit itu sudah hilang dengan sendirinya dengan dia tertidur lelap. Rasha tidak sepenuhnya yakin bahwa dia tertidur, karena setelah dia meminum–minuman tersebut tiba-tiba saja semuanya menjadi gelap. Baru Rasha sadari bahwa dia bersama pria tampan semalan. Namun, kehadirannya kali ini tidak ada. Rasha mengamati setiap sudut kamar mewah ini, masih sama kamar hotel yang Ia tinggali. Tapi seketika tatapannya terpaku pada pakaian yang semalam Rasha kenakan, yang kini tergeletak mengenaskan di lantai sana.
Rasha meraba-raba tubuhnya. Tidak ada sehelai benangpun dalam tubuhnya. Detik itu juga Rasha menggulung selimutnya, menutupi tubuhnya yang masih telanjang walau dirinya harus tersungkur dengan pantat menyentuh dahulu pada lantai.
Rasha memungut kembali pakaian itu dan memakainya asal-asalan. Di samping, terdapat sebuah cermin besar. Rasha mengamati pantulan tubuhnya.
Berantakan.
Rambutnya mencuat kemana-mana, wajahnya terdapat lipatan bantal, dan what! Di pangkal lehernya terdapat bercak merah yang terlihat jelas pada pantulan cermin tersebut.
Seketika Rasha melorotkan tubuhnya pada lantai. Dia bertanya-tanya, apakah pria itu mengambil kehormatannya? Tapi kali ini Rasha tidak dulu berspekulasi bahwa keperawanannya sudah hilang. Mungkin pria itu cuman ingin meneliti wajah Rasha. Namun bercak merah di lehernya menjawab semuanya. Juga ketika bangun dia tidak mendapati apapun yang melekat pada tubuhnya, selain selimbut yang membukusnya dari kedinginan.
Rasha berdiri, tapi dia melihat di meja rias terdapat sebuah kotak berukuran kecil dan secarik kertas terlihat di atasnya. Rasha menghampiri kotak itu dan baru menyadari bahwa itu adalah sebuah ponsel yang diidam-idamkan Rasha sejak dulu. Rasha menggigit bibir bawahnya, menahan kegirangan supaya tidak menjerit kesetanan. Dia kemudian mengalihkan tatapannya pada secarik kertas yang masih ada di meja rias. Rasha membacanya perlahan.
“Thanks for tonight.” Rasha melorotkan kembali tubuhnya pada sandaran meja rias. Bisa-bisanya dia menukar keperawanannya demi seonggok ponsel yang tak senilai dengan kehormatannya menjadi wanita. Bahkan dulu ibunya selalu mewanti-wanti dirinya untuk menjaga moral dengan mengikut sertakan Rasha dalam kegiatan keagamaan. Tapi sekarang, Rasha telah mengkhianati kepercayaan ibunya.
Rasha yang berderai air mata melirik jam dinding yang menunjukan angka pukul delapan pagi. Mana mungkin hari ini dia ke sekolah dengan keadaan kusut dan dalam kondisi hari sudah beranjak naik. Padahal dia ingin sekali sekolah, hanya sekedar memamerkan ponsel barunya kepada teman-teman. Walau itu ditukar dengan imbalan kehormatan.
***
Randy menyandarkan tubuhnya pada kursi kantor setelah tadi dia tidak pulang ke rumah. Bahkan kemeja yang kemarin dipakai-pun, masih melekat pada tubuh atletisnya. Tanpa berniat untuk menggantinya, walau kemeja itu sudah hampir kusut. Padahal jarang-jarang seorang petinggi di suatu perusahaan memakai baju kusut.
Hari ini terasa berat karena semalam dia tertidur dua jam di samping gadis itu. Dia mengingat setiap inci wajah polos gadis itu. Walau umurnya terpaut 10 lebih tua dari gadis itu, tapi dia menyukai sekali setiap gadis itu merintih tertahan dalam keadaan tak sadarkan diri, di saat Randy sedang memasuki tubuh gadis itu. Sampai saat ini dia tidak memepedulikan bagaimana reaksi ketika gadis itu bangun, yang terpenting dirinya sudah memuaskan hasratnya pada gadis itu.
Randy menguap. Dia berniat tidur sesaat dengan menelungkupkan kepalanya pada lipatan tangan di atas meja. Di dalam tidurnya dia melihat ibunya sedang menyiapkan makanan di dapur dengan senyum kasih sayangnya.
Beberapa menit kemudian, Randy bangun dari tidur singkatnya dengan nafas terengah dengan jantung yang berdetak cepat. Randy mengelap keringat dingin di pelipisnya yang ditimbulkan oleh efek mimpi buruk barusan. Bukan sekedar mimpi, itu adalah sebagian dari potongan masa lalu yang coba dia lupakan. Tapi bayangan masa lalu itu terus saja menghantuinya.
Ketakutannya terhenti saat dia melihat kehadiran Savira-sekretaris pribadinya di perusahaan, sedang membuka pintu ruangan Randy.
“Pak, Anda ditunggu di ruang rapat.”
***
Rasha mengamati di sekitar pekarangan rumahnya jikalau orang tuanya masih ada di rumah. Tapi mana mungkin orang tuanya masih ada di jam delapan saat ini, pasti mereka sudah berangkat ke pasar.
Rasha mengendap-ngendap bak pencuri di siang hari mendekati pintu rumahnya sendiri. Dia menekan gagang pintu yang ternyata terkunci. Dengan cepat dia mencari kunci tersebut yang dipastikan orang tuanya selalu menyelipkan di balik keset kaki. Rasha mengambilnya dan membuka pintu tersebut.
Suasana rumah terlihat sepi. Seluruh ruangan yang terbilang sempit itu kini sudah rapi dan bersih yang dipastikan ibunya sudah membereskannya. Rasha beranjak ke dapur, di mana di sana sudah tersaji berbagai masakan. Rasha tak lantas menjamah makanan itu, dia beranjak kembali menuju kamar.
Rasha mengamati kamarnya yang sama seperti di ruang lain, yaitu sudah rapi. Dia menaruh kotak itu di atas ranjang dan mengamatinya sesaat. Dia kemudian membukanya yang isinya adalah sebuah ponsel yang diinginkan Rasha. Rasha memegang ponsel baru itu sambil menghidupkannya. Layar itu menyala. Meski Rasha tidak pernah mempunyai ponsel, tapi dalam urusan mengutak-atik soal ponsel dia adalah juaranya. Karena dulu dia selalu meminjam ponsel milik temannya yang kaya raya seperti Kimberly untuk sekedar bermain game.
Rasha tersenyum karena besok adalah hari di mana dia akan pamer ponsel barunya. Dia membayangkan reaksi teman-temannya ketika Rasha memiliki ponsel yang sama seperti mereka. Rasha teringat kembali dengan kejadian semalam. Dia tidak sepenuhnya melupakan kejadian itu demi sebuah ponsel. Tapi dia menggeleng. Mengenyahkan sejenak kejadian malam itu. Dia kembali teringat seringai licik pria tampan semalam. Untuk yang satu itu Rasha tidak akan melupakan wajah pria itu, jikalau terjadi sesuatu. Walau dia tak yakin dapat bertemu kembali dengan pria itu.
***
Suasana di kediaman Ardinata pada malam hari benar-benar kaku. Seperti Kimberly yang sedang duduk di sofa sambil memainkan ponselnya, Raihan yang sedang belajar untuk ulangan besok. Sedangkan Adriel entah menghilang ke mana, yang pasti dia tak jauh dari Club atau rumah temannya.
Kimberly menoleh pada kakaknya Raihan. “Kak Randy mana yah? Lama banget pulangnya. Kemarin dia gak pulang, sekarang gak pulang lagi.”
Raihan mendongak melirik adiknya, kemudian bergelut kembali pada rumus di depannya. “Mungkin dia sibuk.” Raihan menghela nafas panjang, kemudian melanjutkan ucapannya lagi, “Meski gak ada orangtua, kita harus mandiri, Kim.”
“Iya, itu dulu, sebelum kita ditinggal mati oleh orangtua kita.” Setelah Kimberly mengucapkan itu, pintu depan berderit terbuka, menampilkan sosok kakaknya yang nampak kelelahan dengan kantung mata tersemat di matanya. Kimberly yang saat itu sedang asik main ponsel, sontak menegakkan posisi duduknya dan menghampiri kakak sulungnya.
“Kakak kemarin malam ke mana? Ditunggu loh,” ucap Kimberly pelan sambil memilin jarinya. Tak heran jika Kimberly bersikap manja dan kekanakan, karena itu adalah sifat asli adik bungsunya.
“Kakak sibuk,” jawab Randy ketus sambil melenggang menuju arah kamarnya. Namun suara lantang Kimberly menghentikan langkahnya.
“Sibuk kerja apa sibuk macari wanita?”
Randy mematung sesaat seakan kata itu berhasil menohok sisi sensitifnya. Tak lama dia berbalik menghadap Kimberly yang berdiri tak jauh darinya.
“KAKAK ITU SIBUK, KIMBERLY! Pergi sana Kakak gak mau diganggu.”
Bantingan pintu terdengar keras. Kimberly masih terpaku dengan sikap kakaknya yang berbeda dari biasanya. Kemudian dia berteriak kembali dengan air mata yang berderai.
“Harusnya Kakak itu lebih nyayangin kita setelah ibu dan ayah meninggal. Karena Kakak yang paling dewasa. Bukan bentakin Kim!”
Raihan yang sedang bergelut dengan rumus, melihat adiknya menangis, dia menghentikkan kegiatannya menghitung. Dan menghampiri Kimberly, berniat menghiburnya.
***
Pagi menyambut Rasha dengan kebahagiaan yang hari ini dapat memamerkan ponsel barunya. Beruntung sekali bahwa malam orang tuanya tidak pulang, yang menurut tetangga, Mereka sedang membantu mempersiapkan acara pernikahan kerabat jauhnya.
Rasha menghembuskan nafas panjang. Dia kembali memandang nanar pada ponsel di genggamannya. Dia tidak tahu apakah respon teman ataupun orang tuanya bahwa ponsel itu dia dapat dengan menukar sebuah kehormatan yang tidak mungkin dia beli kembali.
Rasha berjalan di trotoar, berniat mencari angkot. Dia melirik jam tangannya yang menunjukan pukul 06.40 yang berarti itu adalah waktu tepat untuk menghindari kecurigaan teman-temannya perihal dia naik kendaraan apa ke sekolah.
Angkot melaju dan tiba agak jauh dari gerbang sekolah. Sengaja Rasha selalu turun di sini karena dia tidak mau teman-temannya tau bahwa dia ke sekolah naik angkot. Setelah membayar, Rasha berjalan kembali agak jauh menuju gerbang sekolah. Dari jarak beberapa meter ini, sudah terlihat gedung megah sekolah SMA Cendakia.
Semakin dekat dengan gerbang sekolah, semakin berdebar pula hatinya. Rasha mengambil langkah santai. Semua murid belum sepenuhnya datang di jam seperti ini, hanya anak yang kelewat rajin-lah yang sudah berada disini.
Akhirnya Rasha tiba di kelasnya dan duduk di bangkunya. Rasha melirik bangku di sebelah dan di depannya. Masih kosong. Belum diisi oleh Kimberly dan Vera. Seakan sudah direncakan, orang yang dipikirkan Rasha akhirnya datang juga. Mereka belum menghentikan obrolannya ketika berjalan mendekat. Namun, setelah dia melihat Rasha kembali masuk sekolah, mereka menghentikan acara gosipnya.
Sebelum duduk, Kimberly dan Vera bertukar pandang dengan seringai dan senyum licik.
“Oh hai, Rasha, kemarin ke mana gak masuk?” tanya Kimberly sambil mengeluarkan buku pelajarannya dan kemudian dia menghadap Rasha dengan tangan menopang kepala.
Rasha yang saat itu belum mencari alasan, butuh beberapa detik untuk berpikir. Mencari alasan yang masuk akal untuk dilontarkan pada orang yang menjabat sebagai temannya itu. “Kemarin gue gak enak badan,” cicit Rasha dengan suara pelan yang kala itu tak berani menatap lawan bicaranya.
Vera yang tadinya sedang mempersiapkan buku pelajaran, setelah selesai kemudian dia berbalik menatap Rasha. Tapi sebelum itu dia melirik sekilas ke arah Kimberly dengan senyum licik. “Iya, gue baru inget, bukannya lo mau nunjukin ponsel lo?” tanya Vera.
Rasha menatap Vera beberapa saat sebelum akhirnya dia mengeluarkan ponsel baru dari balik saku roknya. Seketika Kimberly dan Vera takjub dengan ponsel keluaran terbaru milik Rasha. Kimberly dan Vera dengan polosnya meneliti sambil membolak-balik ponsel tersebut dengan mulut mereka yang terbuka.
“Wah ini keren banget, Sha. Gue juga belum punya yang kaya gini,” ucap Vera tanpa mengalihkan tatapannya pada ponsel baru milik Rasha.
“Bahkan di SMA ini juga belum ada yang memilikinya,” ucap Kimberly, “tapi tenang, gue akan minta pada kakakku, dia pasti membelikannya. Kalo gitu ayo kita selfie.”
Mendengar tawaran itu seketika membuat hati Rasha semakin memanas. Pasalnya dia belum pernah diajak selfie oleh mereka, padahal mereka setiap hari tidak luput dari kata ber-selfie.
Kimberly dan Rasha merapat. Sedangkan Vera yang berada di bangku depan harus pindah dahulu menuju belakang dan kemudian merapat bersama. Kimberly memegang ponsel Rasha bersiap mengambil gambar. Sebelum itu Rasha merapikan dahulu rambutnya yang agak berantakan, lalu bergaya di depan kamera.
***
Rasha terduduk di antara kursi lapangan indoor SMA Cendakia. Tak ada siapapun selain Rasha di lapangan itu. Walau biasanya anak basket atau anak futsal selalu mempergunakan lapangan ini sebagai arena berlatih. Namun hari ini, nihil. Tak ada seorang-pun disini, selain suara desauan angin yang bertiup kencang di balik ventilasi udara. Juga mungkin anak basket dan futsal sedang bertanding atau apalah itu Rasha tidak peduli.
Kali ini dia tidak bersama dengan Kimberly dan Vera. Karena katanya mereka ada urusan, yang tak lain dan tak bukan membully adik kelas yang berurusan dengan mereka. Alasan Rasha tidak selalu ikut membully, karena dia tidak tertarik dengan hal kekanakan seperti itu.
Rasha mengamati ponsel di genggamannya, meneliti setiap inci ponsel itu. Apa yang di harapkan di dalam hidupnya? Bisa-bisanya dia menghilangkan kehormatan demi mendapatkan standar hidup yang tinggi. Rasha tak sama dengan mereka kaum kaya. Dia orang miskin. Bahkan orang tuanya menyekolahkannya di sini bukan berarti mereka mampu. Hanya saja mereka memaksakan diri untuk menyekolahkan anaknya di sini karena di sini fasilitasnya sangat lengkap. Namun apa sekarang? Setelah dia sekolah di sini, Rasha malah menyia-nyiakan kesempatan itu dengan mengikuti gaya hidup mereka para kaum kaya.
Ketenangan Rasha terusik dengan kehadiran seseorang duduk di sampingnya. Rasha melirik sekilas. Dan matanya terbelalak karena dia bertemu lagi dengan cowok yang duduk di bangku trotoar kemarin yang mengejutkannya.
“Lo?”
Cowok itu hanya menaikkan alisnya sebelah atas respon keterkejutan Rasha. Cowok itu tersenyum dan mengulurkan tangannya. “Gue Raihan.”
Tidak diperkenalkan namanya juga Rasha sudah tau bahwa dia adalah anak kembar ter-fenomenal di SMA Cendakia, sekaligus saudara dari temannya, Kimberly. Rasha menyambut uluran tangan itu, terasa gugup dengan dihadapkan dengan cowok se-tampan dia. Siapa yang tidak terpesona jika dihadapkan dengan cowok ganteng, pasti semua cewek merasakannya.
Setelah jabatan itu terlepas, tak ada yang bersuara lagi. Sampai tiba-tiba di balik pintu masuk terdengar keributan yang sangat keras. Keributan tersebut terus mendekat dan terlihat gerombolan geng pentolan Adriel memasuki lapangan ini.
Terlihat di sana Adriel menggiring seseorang yang tak kalah garang dari wajah Adriel saat ini, namun sedikit menyedihkan. Pasalnya dia tidak bisa mengimbangi kekuatan dari keempat cengkraman gerombolan Adriel yang sedang mencekal tangan dan lehernya. Seseorang itu memberengut mencoba memukul wajah garang Adriel. Tapi itu tak berhasil, karena keempat gerombolan Adriel berhasil menahan tangan cowok menyedihkan itu.
Adriel semakin berang. Dengan kekuatan besar Adriel memukul bagian rahang cowok menyedihkan itu sampai tubuhnya menubruk lantai lapangan itu.
Suasana di lapangan tampak tegang. Terlebih Raihan yang menjabat sebagai kakak Adriel tak bisa berbuat apa-apa melihat adiknya sedang berkelahi. Dia terlihat gusar dengan pandangan tak lepas dari acara perkelahian itu, juga napasnya tampak terengah melihat kelakuan adiknya yang sudah melewati batas. Namun dia bisa apa? Adriel akan semakin berang jika ada seseorang yang menghentikkan aksinya, walau itu kakak, atau adiknya sekalipun.
Di saat yang bersamaan, guru datang dengan senjata andalan yaitu penggaris besi panjang. Baru kali ini Raihan ingat bahwa Adriel akan takut dengan yang namanya guru. Itu terbukti ketika guru itu yaitu Bu Linda, guru berbadan gendut menyentilkan penggarisnya pada kepala Adriel.
Adriel mengaduh kesakitan. Dia kemudian melepaskan cengkramannya pada cowok menyedihkan itu.
Bu Linda menggeret Adriel secara paksa, diikuti keempat pengikutnya.
Sambil berjalan Adriel menengok kembali pada cowok itu memberikan tatapan seakan mengucapkan. Ini belum selesai.
Sementara di tempat lain, Rasha masih terpaku di tempatnya. Baru kali ini dia melihat pertengkaran Adriel dengan musuhnya. Tak dapat dipungkiri, sudah lama Rasha memendam perasaan lebih pada Adriel. Entah apa yang dilihat Rasha. Tapi dia melihat Adriel di balik sisi yang berbeda. Meski Adriel adalah biang onar di sekolah, tapi itu tak menyurutkan penggemar yang mengagumi sosok Adriel. Selain tampan, juga di mata para cewek pemuja sosok Adriel termasuk Rasha itu sendiri, melihat kelakuan menyimpang Adriel adalah sesuatu yang keren.
Rasha tersenyum kemudian berbalik dan tak mendapati sosok Raihan yang tadi duduk di kursi trimbun. Mungkin Raihan sedang mengurus adiknya di ruang BK, dan seharusnya seorang kakak berlaku seperti itu bukan? Rasha menghela napas panjang. Dia menengok kembali ke arah lapangan di mana keributan terjadi dan cowok menyedihkan yang ada di sana sudah tak lagi ada. Rasha beranjak keluar dari lapangan itu dengan berjalan santai.
***
Acara rapat pemegang saham di perusahaan Ardinata Group hari itu berjalan lancar. Randy menyelesaikan rapat itu dengan menyalami mereka para pemegang saham perusahaannya dengan senyum ramah. Setelah para pemegang saham itu bubar, Randy keluar dari ruang rapat.
Di tengah berjalan, Randy mendapati ponselnya berdering di balik saku celana. Dia lalu merogoh ponsel itu dan di sana tertera nama salah satu guru SMA Cendakia. Randy membuka ponsel kemudian ditempelkan pada telinganya.
“Ya, ada apa?”
“Pak, adik Bapak, Adriel, masuk BK lagi.”
Posting selanjutnya hari selasa, kalo gk ada halangan.
Terbang [Bab 1]
22 Februari 2017 in Vitamins Blog
Ku datang dg cerita baru nih, judulnya norak amat yah. Yg novel kemarin2 aku post, aku pending dulu, belom jd outlinenya juga. Biasanya aku post cerita fiksi fantasy, tp yg ini ceritanya fiksi realis, haha.
Terbang
Bab 1. Penukaran
Rasha mengetukkan jarinya di atas meja kantin. Ia mendelik kesal pada kedua sahabatnya yang sedang berselfie ria menggunakan ponsel keluaran terbaru. Sedangkan Rasha hanya meringkuk tak diajak berselfie dengan segelas jus yang setengah hampir habis di hadapannya.
“Sha, keliatannya lo jarang bawa hp, ke mana hp lo?” sialan! Pertanyaan yang Rasha hindari akhirnya terdengar juga. Rasha mendongak menatap Kimberly sahabatnya yang kaya raya itu, sedangkan Vera sahabatnya yang kaya raya lain, sedang memilah-milah hasil jepretannya barusan.
Rasha membuka mulutnya dan menjawab, “Ada kok, aku simpen di rumah. Lagian ngapain bawa hp ke sekolah, ganggu belajar aja.” Sengaja Rasha menyembunyikan nada suaranya agar terkesan meyakinkan.
“Oh, kali-kali di bawa yah gue pengen selfie di hp lo.”
***
Tak seperti biasanya Rasha kala itu dilanda kegamangan. Di rumahnya yang terkesan sederhana, dia meringkuk di tepi ranjang, bergelung selimbut menatap atap rumahnya yang cat luarnya sudah mengelupas bahkan di sudutnya terdapat lubang menganga yang cukup lebar. Rasha bingung. Bingung memikirkan kata apa yang akan diucapkan pada Kimberly yang kaya raya itu, bahwa dia tidak mempunyai ponsel manapun. Mana mungkin dia membeli ponsel bagus, sekedar makan-pun ibu dan ayahnya harus banting tulang menjadi pedagang di pasar demi menghidupi anak tunggalnya.
Sejak berteman bersama Kimberly dan Vera bahkan pada semua orang, Rasha belum pernah menceritakan kehidupan susahnya. Yang dipandang mereka adalah, Rasha itu sama halnya dengan mereka para kaum kaya bisa memiliki standar hidup tinggi. Rasha semakin-hari-semakin ditakuti dengan kekalutan akan bagaimana jika salah seorang teman sekolahnya tahu bahwa Rasha itu adalah anak orang miskin. Dia tidak mau rahasianya terbongkar.
Di balik dilemanya itu, terdengar pintu terbuka. Dengan cepat Rasha turun dari ranjang dan menemui kedua orang tuanya. Terlihat samar dari wajah kedua orang tuanya memancarkan kelelahan. Tapi mereka tetap tersenyum.
“Rasha kamu sudah makan?” ibunya menyapa sambil lalu menuju dapur. Tercium samar aroma makanan dari sana, membuat Rasha menghampiri ibunya. “Wah Ibu sedang banyak uang yah, makanannya banyak sekali.” Ibu Rasha mengusap putri tunggalnya dan tersenyum.
Rasha mendongak menatap mata ibunya. “Bu, anak-anak di sekolah pada beli handphone baru. Aku kapan, Bu?”
“Nanti, setelah Ibu banyak uang, Ibu akan membelikanmu handphone baru.” Ibunya menjawab tak mengurangi senyum tulus di wajahnya yang lelah.
Raut wajah Rasha semakin mengeras.
“Tapi kapan, Bu? Teman-temanku bahkan tak ada yang mau berselfie denganku, hanya karena aku tak memiliki handphone. Aku malu begini terus. Kapan kita kaya, Bu?”
Ibu Rasha menghela nafas panjang dan mengusap rambut Rasha penuh kasih sayang. Namun, sikap Rasha yang keras kepala menepis tangan ibunya dan berdiri sambil menghentakkan kakinya.
“Ya udah! Kalau Ibu gak mau membelikanku handphone baru, aku akan pergi!” Rasha pergi keluar rumah, tak memedulikan suara ibunya yang memanggilnya untuk berhenti.
***
Rasha duduk di kursi yang disediakan trotoar sambil memperhatikan jalannya lalu lintas. Pikiran Rasha semakin bimbang, ke mana dia mencari uang untuk membeli ponsel tersebut. Rasha melirik sekilas dan pandangannya terkunci pada sebuah toko elektronik yang menampilkan spanduk ponsel keluaran terbaru.
Tak membutuhkan waktu lama bagi Rasha untuk sampai di sana karena jarak antara kursi yang diduduki dia tadi bersebrangan dengan toko penjual alat elektronik itu.
Rasha mengamati seluruh penjuru toko. Beruntung hari ini toko tersebut penuh didominasi ibu-ibu pembeli alat elektronik rumah tangga, dengan begitu Rasha dapat leluasa mengamati ponsel keluaran terbaru tersebut. Tanpa dicurigai bahwa dia tidak berniat membeli.
Ponsel yang diinginkan Rasha dipatri di dalam kotak transparan yang terbuat dari kaca. Rasha menduga kalau barang itu pasti mahal dan langka orang yang membeli. Pasti yang membelinya pun orang-orang kaya semua.
Seorang pemuda salah satu penjaga toko menghampiri Rasha. Rasha dengan kikuk menunjuk pada kotak transparan tersebut di mana tersimpan ponsel itu.
“Bang, kalau hp itu berapa yah?” tanya Rasha yang sengaja nada suaranya dibuat se-angkuh mungkin, agar si penjual tidak mengira kalau Rasha tidak punya uang.
“Oh itu, harganya 15 juta, Neng.”
Rasha mangut-mangut mengerti. Kemudian dia tersenyum dan melirik kembali pada si-penjaga toko. “Gitu yah, Bang, nanti deh bilang bapak dulu.” Rasha berbalik meninggalkan toko elektronik tersebut.
Dia kembali menuju kursi trotoar tadi, dan tak menyadari ada seseoang di sampingnya. Rasha mengerucutkan bibirnya dan memandang sebal pada toko tersebut.
“Hey!” hampir saja Rasha terjatuh. Sebelum dia tertahan dengan sanggaan sisi kursi dan mendapati seorang cowok di sampingnya sedang tersenyum.
“Apaan sih lo! Ganggu banget.” Rasha kembali memandang lurus pada jalanan di depan tidak mempedulikan kehadiran cowok tersebut. Kemudian cowok tersebut bertanya lagi.
“Kamu Rasha yah? Kelas tetanggaku.”
Rasha memejamkam matanya jengah dan memandang jengkel pada cowok di sampingnya. “Kalau ya, kenapa!” Rasha bangkit berdiri dari kursi tersebut meninggalkan cowok itu sendiri dengan sebelah alisnya dinaikkan, mendapatakan balasan ketus dari cewek itu.
***
Rasha berjalan sudah hampir berjam-jam lamanya. Langit sudah menggelap dan lampu-lampu jalanan sudah dihidupkan. Rasha duduk di teras minimarket sembari mengamati penjuru jalanan yang padat. Kali ini dia semakin bingung, bagaimana besok menjelaskan kepada temannya perihal ponsel itu, padahal sampai saat ini dia belum menemukan solusinya.
Tiba-tiba, mobil berwarna hitam mewah melintas di hadapan Rasha dan berhenti di depannya. Rasha mengerutkan kening. Siapa gerangan yang turun dari mobil itu, yang dipastikan orang kaya. Seseorang berkaca mata hitam, dengan kemeja terbalut di tubuhnya yang atletis keluar dari mobil mewah tersebut. Sempat Rasha terpana. Namun, dia mengenyahkan keterpanaannya tersebut dengan memalingkan wajahnya ke samping. Mana mungkin orang kaya plus keren mau melirik Rasha yang kumal? Benar-benar mustahil.
Di saat seperti itu, Rasha tak menyadari bahwa pria keren tersebut berhenti sejenak seraya membuka kaca matanya. Memperlihatkan pupil matanya yang berwarna coklat gelap. Pria tersebut membungkuk mengamati wajah Rasha yang tertunduk lesu tanpa minat sedikitpun untuk bergerak.
“Hm.” Benar dugaan, gadis tersebut berjengit dengan ekspresi terkejut. Rasha memegangi dadanya dan kembali memandang pada jalanan di depan.
“Ngapain sih! Ngagetin tau.”
“Kamu keliatan lesu, ada masalah?” tanya pria itu sambil berjongkok dan memandang lurus pada Rasha.
“Gak usah peduli deh, lo juga pasti gak akan mau bantuin gue.”
Pria itu menaikkan alisnya dan mengangguk atas respon Rasha yang terbilang ketus. “Oke, apa yang bisa aku bantuin?”
Seakan ada binar di matanya, Rasha menegakkan kembali posisi duduknya dan memandang penuh kegirangan pada pria misterius di depannya. “Gue butuh 15 juta untuk beli hp baru.” Pria misterius itu terdiam sejenak, dan setelahnya dia berdiri memanggil sopirnya untuk kemari.
Terlihat seorang supir berkepala botak menghampiri mereka. “Belikan gadis ini ponsel baru.” Pria itu mengeluarkan sebuah kartu dan diberikan kepada supir tersebut. “Ambil kartu ini, kalo udah dapat, hubungi aku lagi.”
Setelah sang supir pergi. Rasha mendongak memandang heran pada sepasang mata coklat gelap milik pria misterius tersebut. “Baik, lo mau gue bantuin apa?” tanya Rasha. Pria itu berpikir sejenak. Kemudian dia menarik tangan Rasha menuju mobil hitam mewahnya yang terparkir di sana. Rasha mengernyit dan detik berikutnya dia berontak. “Apaain sih, tarik-tarik gue?”
Pria itu enggan melepaskan cengkramannya dan membawa Rasha pada jok kursi mobil depan. Pria itu memutari mobil dan kemudian duduk di samping Rasha, lebih tepatnya di tempat supir. “Kamu harus ikuti kemauan saya. Kalau tidak, saya akan mencabut perjanjiannya.”
Mobil melesat tat kala pria itu mengucapkan kata tersebut. Rasha tak bisa berbuat apa-apa. Di dalam pikirannya ada kekalutan yang mendalam. Antara memilih opsi pamer pada teman sekolah, atau menyelamatkan hidupnya. Tapi yang dipikirkan Rasha kali ini adalah opsi pertama.
***
Mobil terhenti pada pelataran yang tak asing lagi bagi Rasha karena dia dulu pernah singgah ketempat ini bersama keluarga menghadiri acara pernikahan tetangganya yang kaya raya. Rasha mengerutkan kening tat kala pintu mobil dibuka oleh seorang penjaga berseragam.
Rasha melirik pria tampan di sampingnya yang sedang bercengkrama dengan penjaga itu yang Rasha yakini bahwa pria tersebut sudah tak asing dengan penjaga itu. Rasha menyikut pinggang pria itu dan pria itu memandang Rasha dengan alis dinaikkan.
“Ngapain kita di Hotel?” Pria itu hanya tersenyum yang tersungging miring. Tanpa jawaban dan tanpa sepatah kata apapun lagi, pria itu menarik lengan Rasha ke arah maja resepsionis. Rasha yang masih dilanda kebingungan tak lantas menanyakan perihal apapun pada pria tersebut. Dia hanya mengikuti saja cengkraman erat pada pergelangannya yang membawanya pada sebuah kamar bernomor 235 berstandar president suit.
Pria itu bersandar pada sofa empuk berwarna merah setelah mereka masuk ke dalam. Sambil melirik-lirik gelagat gadis itu yang sedang mencebikkan bibirnya dan melipat tangannya di depan dada. Pria itu kemudian melonggarkan dasi dan berjalan santai menuju lemari di mana di sana tersimpan botol wine yang masih tersegel rapi. Tak mengalihkan aktivitasnya membuka segel botol wine tersebut. Pria itu sesekali memandang gadis itu sambil menghela nafas panjang.
“Aku, Randy Ardinata.”
“Gak nanya.”
Pria itu atau Randy terkekeh pelan. Lalu dia beranjak dan berjalan santai membawa dua gelas berkaki yang berisi wine.
Rasha mengamati minuman itu tanpa berniat menyentuhnya. Dia melirik Randy dengan kernyitan di dahinya.
Randy mengambil satu gelas berkaki berisi minuman tersebut dan meminumnya sedikit, sambil memamerkannya pada Rasha yang masih belum berniat untuk meminumnya.
“Minumlah, ini enak loh?”
Rasha agak ragu mengambil gelas tersebut. Namun tak lama, dia mengambilnya dan menegak minuman tersebut sampai tandas tak memedulikan kerongkongannya yang seakan terbakar.
Di balik minumnya tersebut, Randy menyeringai licik ketika melihat gadis itu yang sedang menghabiskan minuman tersebut. Randy tersenyum miring penuh kemisteriusan ketika gadis itu sudah kembali menaruh gelas kosong di atas meja.
Rasha kembali bersandar pada sofa. Tiba-tiba rasa pusing menyengat secara membabi-buta di puncak ubun-ubunnya. Dia memegangi kepala yang terasa berputar.
Sedang Randy mengamati Rasha yang didera kesakitan hanya merespon tersenyum licik, tanpa ada niat menghampiri ataupun membantunya. Baru dia ingat bahwa tadi ketika mengambil dua buah gelas minuman, dengan sengaja dia memasukkan sebuah obat bius kepada minuman milik gadis itu yang sampai saat ini gadis itu belum menyadarinya.
Dan ketika itu juga, tubuh Rasha ambruk dan jatuh mencium lantai dengan posisi tertelungkup.
Randy beranjak dari duduknya dan menghampiri tubuh Rasha. Dia berjongkok, mengalihkan helaian rambut yang menghalangi mata gadis itu dengan tangannya. Dia berpikir, gadis ini benar-benar polos, sampai tidak menyadari bahwa dalam minumannya terdapat obat bius.
Segera Randy mengangkat tubuh kurus itu ke dalam gendongannya dan membawanya ke atas ranjang. Dengan tergesa Randy membuka kemejanya kasar tanpa mengalihkan tatapannya pada wajah gadis itu. Dalam sekejap Randy sudah ada di atas tubuh Rasha yang tergolek tak sadarkan diri. Kemudian dia berujar di depan telinga Rasha.
“Be mine tonight my girl.”
Pada malam itu semua terjadi tanpa sepengetahuan Rasha. Dan malam itu juga adalah awal dari semuanya.
Ini cerita ancur dah, kayak kebakaran. Tp makasih yg udh baca. Entah apa yg membuat aku bikin cerita kek ginian, hehe.
Di watty juga udh ada 3 bab. Kalo mau cari, cari di akun anisanurazizah.
Posting selanjutnya hari sabtu minggu sekarang, itupun kalo gk ada halangan. Misal, gk ada kuota.
Avalon City [Bab 1]
17 Februari 2017 in Vitamins Blog
Nih seperti janjiku yg kemarin yg neror minta lanjut. Ini aku posting bab 1 dan semoga memuaskan.
Bab 1. Cube Silver
Rose berjalan di lorong apartemen milik Dave. Di tangannya tergenggam sebuah kamera yang akan diberikan Rose kepada Dave sebagai hadiah ulang tahun pacarnya itu. Sudah lebih dari satu bulan mereka berpacaran, dan Rose sangat senang karena bisa berpacaran dengan Dave, orang tertampan di seantero kampus.
Rose adalah mahasiswi sastra bahasa inggris di Universitas yang ada di New York. Di kampus Rose cenderung menyendiri. Dia akan berkutat di perpustakaan dengan setumpuk buku, padahal banyak teman-temannya yang mengajak untuk membaur. Namun, saat Dave datang. Sedikit demi sedikit dia membuka diri. Membuka diri untuk orang-orang di dekatnya, tidak lagi menyendiri seperti dulu. Dan berkat Dave juga dia merasa lebih bahagia.
Kamera ini. Dia bertegad akan memberikannya, dan mungkin Dave akan senang, mengingat dia senang fotografi.
Rose membuka pintu apartemen milik Dave. Tidak perlu mengetuk pun, karena Rose memang sering main ke sini. Dia masuk ke dalam dan sepi langsung menyergap. Kemana Dave? Biasanya Dave selalu duduk di sofa menonton tv. Tapi dia tidak ada, hanya ruangan berantakan saja yang terlihat.
Mungkin Dave masih tidur.
Secara pelan tidak menimbulkan suara, Rose menghampiri kamar Dave. Hati-hati dia membuka pintu, dengan niat dia akan mengejutkannya dan mengucapkan Happy Birthday pada Dave, serta lansung memberikan kamera ini pada Dave. Memikirkan itu membuat Rose bahagia.
Namun, saat pintu benar terbuka. Pemandangan yang tidak seharusnya dia lihat, kini terpampang jelas. Rose membelalakkan mata, bahwa di depannya Dave tengah tertidur pulas tanpa busana yang ditutupi selimbut merah saja, bersama seorang wanita yang juga bertelanjang, sambil tangan lentik wanita itu memeluk tubuh telanjang Dave.
Rose merasakana hatinya tertohok dalam. Bagaimana bisa Dave bersama wanita ini? Rose menutup mulutnya yang terbuka, otomatis kamera di tangannya terjatuh ke lantai. Menimbulkan suara gaduh yang langsung membangunkan kedua orang yang tengah berpelukan di sana.
Rose tidak kuat dengan semua kenyataan ini, dirinya berlari dengan berurai air mata. Tetapi suara Dave memanggil berhasil memaku pergerakan Rose.
“Rose… aku bisa jelasin semua ini. Kumohon… biarkan aku bicara,” ucap Dave lirih yang terdengar memaksa.
Sedangkan Rose yang berdiri mematung, lantas dirinya berbalik memandang Dave di belakangnya dengan mata yang sudah sembab, disertai dada yang sesak. Rose mengangkat bahu, “Sudah cukup, Dave. Aku tidak mau dengar apapun lagi dari mulutmu. Cukup sampai sini… hubungan kita.”
Rose membanting pintu apartemen Dave. Dia berlari menuju lift lalu masuk ke dalamnya. Di sana dia melorotkan tubuh pada dinding lift. Hatinya masih sesak. Kenapa Dave tega padanya? Dia sudah begitu percaya pada Dave, tapi kenapa Dave mengkhianatinya. Rose mendongak, manatap nanar pada langit-langit lift. Air mata sudah berhenti menitik, menyisakan sembab di mata, juga sesak di dada.
Rose berdiri tertatih. Saat akan menyentuh tombol lift, tiba-tiba lift seakan terasa terbanting. Dengan cepat jemarinya memencet-mencet tombol keluar, tapi pintu tak kunjung terbuka. Seketika lampu lift mati, membuat ruangan kecil itu gelap gulita. Rose yang panik beralih pada pintu walau tak terlihat karena gelap. Dirinya menggebrak-gebrak pintu lift berteriak keras pada siapa saja yang di luar untuk mengeluarkannya. Beberapa detik Rose berteriak sambil menggebrak pintu. Dan detik berikutnya pintu terbuka. Rose menghela nafas lega. Kepanikan yang tadi menyerangnya sudah hilang.
Di kegelapan lift yang menyeramkan Rose berharap ketika keluar disambut pemandangan lobby yang terang. Namun berbeda, bukan lobby yang terang, hanya kegelapan minim cahaya yang menerangi di depannya. Rose mengerutkan kening. Dia berjalan perlahan dengan matanya yang memindai. Tempat ini bukan lobby apartemen. Tempat ini lebih mirip basement mall atau lainnya, karena di sini banyak mobil-mobil terparkir. Rose berjalan ke depan semakin jauh dari lift. Dan langkahnya tertuju pada sebuah pintu besar yang menampilkan cahaya terang. Rose menutup matanya, cahaya itu terang ketika Rose semakin mendekat pada pintu itu.
Ketika pandangan dan cahaya sesuai. Lagi Rose dibuat heran. Tempat ini… tempat ini tampak seperti kota besar yang hancur. Banyak gedung-gedung menjulang tinggi yang pecah jendelanya, restoran berantakan dan kehancuran lainnya. Ditambah, jalanan terlihat lenggang, banyak mobil terbengkalai, saling bertubrukkan dan… tiadanya penduduk. Kemana semua orang? Dan kenapa kerusakan ini bisa terjadi?
Tiba-tiba di tengah jalanan, di beberapa meter Rose berdiri. Sesosok makhluk lebih mirip anjing yang terlihat seperti monster menatap Rose dengan matanya yang tajam dan kelaparan. Di mulut anjing itu terdapat ruas-ruas gigi tajam dan titik darah. Rose terhenyak, dia mematung ketakutan. Bisa dilihat monster anjing itu mengangkat kaki dan dalam hitungan detik anjing itu mengonggong lalu berlari ke arah Rose.
Rose yang saat itu ketakutan, tersaruk-saruk dirinya berlari kemana saja untuk menghindari anjing itu. Sampai saat di mana dia terpojok di depan pagar pembatas bangunan, membuat jantungnya berdebaran. Rose berbalik merapat ke tembok, berdoa semoga anjing itu tidak memangsanya.
Anjing itu semakin mendekat, mengikis jarak. Dan pada saat anjing itu satu meter di depannya, tiba-tiba anjing itu tumbang dengan anak pacah menancap di dadanya. Darah hitam kental mengucur di dada anjing itu. Rose yang masih terkejut, dirinya kemudian mendongak mencari-cari siapa orang yang melesatkan panah ini.
“Berterima kasihlah karena aku membunuh makhluk itu.” suara itu terdengar disertai kemunculan seorang gadis berkuncir kuda yang di balik punggungnya terdapat anak panah.
Takut-takut Rose menatap gadis itu yang terlihat gagah dan agak tomboy, lalu dirinya membuka suara yang tadi sempat tercekat. “Terima kasih.”
Gadis itu menyungging senyum. Dia berjalan santai pada makhluk itu lalu mencabut anak panah di dada si anjing yang ujungnya meneteskan darah hitam kental, kemudian menyimpannya di balik punggungnya. “Kenalkan, aku Hellen.” gadis yang bernama Hellen itu berbalik menatap Rose dari atas sampai bawah.
Rose yang memakai dress casual selutut bercorak bunga dilihat seperti itu langsung kikuk. Pelan dia membuka suara, “Aku Rose Albert, panggil saja aku Rose.”
Hellen berkacak pinggang, “Sepertinya kau bukan warga kota ini.” Hellen menarik tangan Rose. “Tidak apa. Ayo, kita ke pusat pemerintahan. Kalau terus saja di sini banyak makhluk seperti tadi yang berkeliaran.”
***
Langkah Rose terhenti pada pintu benteng yang tinggi dan sangat kokoh. Benteng itu di atasnya terdapat kabel melilit yang jika dilihat terdapat percikan listrik. Tangan Rose masih digenggam erat oleh Hellen, rupanya gadis itu sangat antusias membawanya.
Hellen menelepaskan tangannya di tangan Rose. Tangan Hellen beralih merogoh saku dan mengeluarkan kartu kemudian kartu tersebut digesekan pada dinding benteng. Seketika pintu benteng terbuka lebar. Hellen masuk, disusul Rose di belakangnya. Dia mendongak, di atasnya kini berdiri megah sebuah bangunan yang mirip sebuah dadu berwarana perak metalik terterpa sinar matahari. Kubus itu sangat besar, melebihi gedung-gedung rusak tadi.
“Ini adalah Cube Silver,” guman Hellen.
Rose mengerutkan dahi, “Cube Silver?”
“Ya, ini adalah tempat penampungan terakhir penduduk Avalon City setelah terjadi kerusakan besar. Semua penduduk dimasukkan ke sini, yang di dalamnya terjamin baik pangan, sandang dan kesehatan mereka. Bangunan ini dibangun jauh sebelum kerusakan terjadi, dan dulu aku sempat heran kenapa pemerintah membuat bangunan seperti ini, tapi semua terjawab dengan adanya kerusakan ini.”
Rose mangut-mangut mengerti. Kemudian dia tertegun, apa lagi ini? Cube Silver, Avalon City, kenapa dia bisa… atau jangan-jangan? Dia menghentikan langkah Hellen dengan cepat, “Tahun berapa ini?”
Hellen memandang heran pada Rose, tapi kemudian dia menjawab, “Ini tahun 2070, ada apa memangnya?”
Rose mengerutkan kening. Bertanya-tanya, bukannya masih 2017, kenapa jadi 2070? Ada apa ini sebenarnya? Dan Avalon City, kota apa itu?
Langkah mereka terhenti ketika salah seorang berpakaian militer hitam menghadang mereka. “Kartu kependudukan.”
Hellen mengeluarkan kartu kependudukan di saku celananya lalu diberikan pada petugas militer itu.
Sementara Rose yang tidak tahu menahu soal kartu hanya diam gelisah. Hellen menyadari kegelisahan Rose, lantas dia berujar pada petugas itu, “Dia penduduk yang baru ditemukan, dan pasti belum mempunyai kartu kependudukan Cube Silver. Jadi bisakah dia masuk?”
Mata petugas itu tanpak menyipit menatap Rose menimbang. Kemudian kepala petugas mengangguk lalu membuka pintu kaca tebal, mempersilahkan kedua gadis itu masuk.
Rose dan Hellen masuk ke dalam. Lagi di dalam Rose dibuat terperangah karena di dalam dia dapat melihat orang-orang berpakaian militer berlalu-lalang di sekitar ruangan. Militer itu masing-masing menggunakan helm jadi tidak terlihat wajah aslinya, sedangkan di tangannya tersimpan senapan yang besar dan mengerikan.
“Mereka sedang berpatroli untuk mencegah serangan Morbid atau monster yang menyerang kau tadi,” ucap Hellen tiba-tiba sambil berbisik tepat di telinga Rose.
Rose mengangguk. Walau dia tidak tau apa itu Morbid, dan dia juga bingung kenapa dia bisa terjebak di sini, di kota Avalon, walau jalas di peta ponselnya tidak ada kota tersebut.
Setelah melewati ruang utama, mereka masuk ke sebuah koridor panjang yang di setiap sisinya terbuat dari logam perak metalik. Rose meraba sisi dari koridor luas tersebut. Dingin. Itulah yang dirasakan tangannya saat menyentuh koridor tersebut. Tak lama, di koridor yang sepi itu terdengar suara derap kaki yang Rose yakini bukan berasal dari sepatu dirinya maupun Hellen sendiri. Derap kaki itu semakin mendekat, lalu di ujung lorong, tengah berjalan seorang pria kurus berpakaian jubah lab berwarna putih sedang mendekat ke arah mereka. Pria itu tersenyum ke arah Hellen.
“Hai adikku,” sapa pria itu ketika sampai di hadapan mereka.
Hellen tersenyum sambil menepuk-nepuk bahu pria itu yang terlihat oleh Rose keduanya tampak akrab. “Oho hai, kenapa kau memanggilku adik? Biasanya kau suka memanggilku si Pemanah Idiot.”
Pria itu mendekatkan wajahnya pada telinga Hellen, kemudian berbisik, “Itu sebagai formalitas, kau tau. Di hadapan orang baru.”
Baik pria itu maupun Hellen tersenyum pada Rose. “Rose, kenalkan ini Fred, kakak kembarku. Dia adalah dokter di sini.”
Pria yang dikenalkan Hellen sebagai Fred itu mengangsurkan tangan kepada Rose. Sebelum membalasnya, Rose memandangi terlebih dahulu tangan tersebut, lalu beberapa detik kemudian dia menjabatnya. “Rose.”
“Senang bertemu denganmu.”
Jabatan mereka terlepas. Fred melirik jam tangannya kemudian menoleh pada Hellen. “Aku ada urusan di lab. Sampai jumpa Rose, sampai jumpa Pemanah Idiot,” ucapnya sambil mengacak rambut Hellen.
Hellen menarik tangan Fred di atasnya, “Hentikkan panggilanmu itu, Fred. Aku tidak idiot.”
Fred terkekeh, lalu berjalan menjauh dari mereka dengan suara derapnya yang menggema di seluruh koridor. Setelah Fred menghilang, mereka saling berpandangan, kemudian kembali berjalan menyusuri koridor itu kembali tanpa percakapan di sana.
Mereka berhenti di sebuah pintu besar berwarna sama yakni perak metalik. Terdengar walau samar keributan di dalamnya, seperti suara ribut layaknya di pasar.
“Ayo masuk,” ajak Hellen sambil tangannya sudah berada di gagang pintu besar tersebut.
Rose mengangguk lalu berjalan masuk ke dalam.
***
Ruangan itu luas. Serupa lapangan indoor yang penuh orang. Banyak wanita dan anak-anak berkeliaran di sini, bermain-main, berlarian, ataupun sekadar terdiam di sudut melihat anak-anak bermain. Betapa banyaknya orang sampai Rose pusing melihat mereka semua. Jika diamati tempat ini serupa tempat pengumpulan warga kota karena saking banyaknya orang berkeliaran di sini. Atau mungkin benar. Dan kata Hellen juga Cube Silver adalah tempat penampungan terakhir warga kota Avalon.
Lalu Hellen yang berada di sampingnya bergumam, “Ini adalah penampungan tempat warga kota Avalon yang terakhir. Tempat penampungan ini terbagi dengan beberapa ruangan. Di lantai tiga adalah tempat pria, lantai dua tempat lansia dan lantai satu adalah tempat wanita dan anak-anak. Semenjak rusaknya kota warga semuanya ditampung di sini. Dan di tempat inilah aku tinggal, membaur bersama warga kota lain.”
Rose mengangguk. Dirinya lantas berjalan ke sisi ruangan luas itu bersama Hellen di sampinya yang nampaknya sedang melepaskan atribut memanahnya. Rose duduk di sana, menyandar pada tembok logam sambil matanya memerhatikan aktivitas menyenangkan anak-anak bermain di sana.
Tiba-tiba sebuah suara terdengar menggema di seluruh ruangan. Suara itu ternyata bersumber dari radio aktif yang dipasang di setiap sudut ruangan.
“Kepada seluruh warga Avalon City, saat ini juga berkumpul di aula.”
Hellen yang berada di sampingnya yang sudah menyimpan atributnya menoleh pada Rose, “Ayo ke aula, mungkin pemerintah akan mengadakan pengumuman penting.”
***
Seluruh warga kota Avalon dikumpulkan di sebuah aula yang luasnya melebihi ruang pengumpulam tadi yang lebih menyerupai lapangan indoor. Aula ini penuh sesak dengan banyaknya orang berdesakan di sini. Rose yang ikut membaur, terlebih dirinya bertumbuh pendek jadinya dia tidak tau akan ada apa di sini.
Di sampingnya kini tengah berdiri Hellen yang cukup tinggi sedang menggenggam dirinya sedangkan matanya menatap ke depan aula. Hellen menyadari bahwa gadis di sampingnya kesusahan untuk melihat ke depan, lalu dirinya menarik tangan Rose ke depan, menerobos kerumunan, walau banyak warga yang marah.
Mereka berdua sampai di barisan paling depan. Rose membelalakkan mata, di depannya tengah berdiri podium luas serupa panggung konser dengan di belakang terdapat layar yang sangat besar. Tak lama, di panggung tersebut muncul seorang wanita cantik bisa terbilang seksi namun berwibawa bila dilihat dari cara berjalannya. Wanita itu berjalan anggun, melenggok-lenggok di atas podium mendekati sebuah mikrofon dan berbicara di sana.
“Hai warga Avalon, saya Erika. Selaku pegawai pemerintahan menyambut Tuan Harriet untuk masuk ke podium.”
Riuh tepuk tangan menggema di seluruh aula. Rose yang tidak tahu apa-apa hanya diam mematung. Terlebih dia melihat Hellen rupanya sangat antusias akan penyambutan ini.
Rose lalu mengalihkan tatapannya kembali pada aula yang di sana sedang berjalan seorang pria berjas formal yang berhasil membuat Rose terpaku. Meski dari kejauhan, Rose melihat pria itu memiliki rahang tegas, berkulit putih dan berambut coklat klimis. Rose kembali merasakan kembali getaran itu. Getaran yang dia rasakan ketika dulu dia bersama Dave, pacarnya. Getaran yang entah datang dri mana saat pandangan pertama.
Di atas podium pria itu berbicara dengan suara berat dan berwibawa. “Selamat siang semuanya. Saya sebagai perwakilan dari ayah saya, pak presiden. Menghimbau warga sekalian untuk tidak keluar dari Cube Silver untuk sementara waktu. Laporan menyebutkan bahwa di luar sana banyak sekali Morbid mendekat ke area luar Cube Silver, dan itu tidak baik bagi manusia untuk keluar.” Pria itu terdiam sejenak, lalu melanjutkan. “Mungkin sekian himbauan dari saya. Sampai jumpa dan selamat menikmati hari kalian.”
Pengumuman itu selesai. Pria itu masuk ke dalam lagi diikuti wanita petugas pemerintahan di belakangnya. Dan setelah pengumuman itu, seluruh warga berbondong-bondong mengantre keluar ruangan.
Rose masih terpaku di sana. Nama pria itu Harriet. Dia harus mengingatnya, dia adalah pria kedua yang berhasil membuat jantungnya berdebaran. Juga dia adalah pria yang berhasil memikatnya ketika pertama melihat. Tapi bagaimana? Pria itu adalah orang penting di sini, bahkan bisa dibilang pemimpin, bagaimana dia untuk bertemu dengan pria itu secara langsung. Padahal dia ingin sekadar berkenalan saja. Tapi itu mustahil. Pria itu jelas pejabat pemerintah, sedangkan dirinya, rakyat jelata dari masa lalu yang terjebak di kehancuran masa depan. Mana mungkin dia dapat bertemu dengan dia.
Avalon City [Sinopsis]
16 Februari 2017 in Vitamins Blog
Sinopsis doang, yak.
Fantasi-Scifi-Adventure-Action-Romanfantasy.
Rose Albert, seorang gadis lugu, tiba-tiba pergi ke tahun 2070, yang membawanya berpetualang ke sebuah kota bernama Avalon City. Kota rusak karena terserang makhluk mengerikan bernama Morbid. Membuat penduduk Avalon City mengungsi ke bangunan yang dinamakan Cube Silver. Rose yang saat itu tidak mengerti apapun tentang dunia ini hanya diam layaknya gadis bodoh, terlebih dia jatuh cinta pada pemimpin tertinggi Avalon City yang sangat tampan namun tertutup.
Berkat jatuh cinta itu, Rose ditugaskan ke Lab Bawah Tanah untuk mengambil Dark Liquid, sebuah cairan yang mampu menyembuhkan ayah orang yang dicintainya. Lagi pada tugas itu tidak mudah, dia harus bertahan hidup melewati Hutan Terlarang, hingga harus melawan King Morbid, penguasa Lab Bawah Tanah, juga pemilik dari Dark Liquid.
Cuman tes tes doang. Ntar kalo banyak yg suka aku akan lanjut ke bab satu. Tp kalo banyak yg gak suka, aku akan hapus postingan ini.
Melody Cousin [Bab 1]
13 Februari 2017 in Vitamins Blog
Melody Cousin
Bab 1. Sepupuku Datang
Malam hari angin berhembus benerbangkan daun-daun hingga bertebaran. Cotle Road tampak lenggang, jalanan kecil yang menghubungkan antara jalanan kota dan jalanan perumahan. Di jalanan yang sepi itu, sepasang kekasih berjalan terseok-seok dengan mulut mereka meracaukan sesuatu. Pasangan itu saling memeluk satu sama lain, dengan mata merah dan rambut terjuntai kusut.
Sang gadis menoleh pada kekasihnya dengan mata merah dan tubuh hampir limbung kalau saja pacarnya tidak menahannya. “Kau tau, aku sangat menyukai pesta tadi. Benar, ‘kan, Mike?”
Lelaki muda yang bernama Mike tersenyum dalam keadaan mabuk, “Yap, Jessie. Aku sangat senang bisa bersamamu di pesta tadi.”
Si gadis, Jessie mencubit hidung kekasihnya yang sudah memerah. “Ah, kau bisa saja.” lalu padangan mata Jessie beralih pada rumah sederhana di depan. Disela berjalan mendekati rumah tersebut, Jessie berujar, “Aku sudah sampai di depan rumah. Sampai bertemu lagi, Mike.”
Jessie melepaskan rangkulan tangan Mike di pingganya. Dia berjalan pada teras rumah sederhana itu diikuti Mike di belakangnya.
“Cium aku dulu, honey,” ucap Mike dengan kedipan mata dan bibir mengerucut.
“Besok saja, Mike. Tidak ada jatah untukmu,” canda Jessie seraya terkekeh. Terlihat Mike memberengut. Lalu dengan cepat Jessie berujar kembali, “Sampai jumpa, Mike.” setelah itu Jessie menutup pintu tersebut cepat.
Di balik pintu, Jessie menyandarkan punggungnya. Dia tersenyum sambil mengigit bibir bawahnya, mengingat kembali pesta tadi yang diselenggarakan di club ternama di Rosenberg. Dari acara tersebut bukan hanya kesenangan saja yang ia dapat, melainkan mendapatkan pacar. Mike tadi di acara tersebut menembaknya langsung saat Jessie sedang minum. Lagi pada saat itu Jessie terpana akan ketampanan Mike, langsung menerimanya sebagai pacar barunya.
Masih menyisakan jejak senyumannya, Jessie menoleh ke depan. Seketika tubuhnya tertegun, kerena di depannya kini telah berdiri ibunya sedang berkacak pinggang dengan pandangan menyipit.
Sang ibu menghampiri Jessie yang masih merapat di pintu, lalu saat sampai di hadapan gadis itu, sang ibu mengangkat dagu. “Setiap hari kau bau alkohol. Ibu tidak suka tindakanmu, Jessie.”
Jessie yang mendengar desisan sang ibu hanya mendengus sambil menyungging senyum mencemooh. “Ibu, biarkan anakmu ini bersenang-senang. Lagi pula aku tidak mau terus di rumah seperti anak gadis cupu. Aku tidak mau ibu.”
Sang ibu menghela nafas, merasa jengkel dengan anaknya ini yang tidak bisa diatur. “Baiklah, apapun alasanmu, ibu hanya memperingatkanmu.” Ibu diam sejenak dengan menarik nafas, “Ibu membawa seseorang ke rumah ini.”
Jessie membelakkan mata dan lansung beridiri tegak. “Seseorang? Siapa itu ibu? Aku tidak mau kalau orang itu sampai merepotkanku.”
Ibu tersenyum, “Yah, mungkin akan sedikit merepotoan,” lalu kepala ibu berbalik pada pintu pembatas ruangan, “kemarilah, Melody.”
Sesosok gadis seumuran dengan Jessie menggunakan gaun selutut putih sederhana keluar dari balik pembatas pintu. Tubuh gadis itu tampak kurus dan berkulit pucat. Namun, yang membuat Jessie terhenyak, adalah kepala gadis itu. Gadis itu tidak mempunyai rambut sama sekali, hanya kepala botak yang terlihat mengkilap terterpa sinar lampu yang menggantung di atasnya.
Gadis itu malu-malu mendekat.
“Dia adalah saudari kita, sepupumu. Ibu membawanya karena kemarin orangtua Melody meninggal akibat perampokan di rumah mewah mereka. Beruntung gadis ini sedang dirawat intensif di rumah sakit karena kanker otak yang menyerangnya, jadi dia tidak sampai terbunuh,” ucap ibunya panjang lebar.
Jessie masih beradaptasi dengan kenyataan. Dia tidak bisa mempercayai ini, sepupunya yang berkepradian aneh akan tinggal di sini. Gadis itu si penyendiri, dan pemurung, akan tinggal bersamanya. Memang orangtua gadis ini berkecukupan, bisa dibilang pengusaha kaya raya. Tapi dengan tinggal di sini, apalagi gadis itu berpenyakit. Oh ini sangat sial.
Jessie menggertakkan giginya, “Ibu, apakah kita akan mengurus gadis berpenyakit ini di rumah kita?”
Dengan cepat ibunya mendesis, “Jaga bicaramu, Jessie! Mau bagaimanapun dia harus tinggal di sini. Dan kau sebagai sepupunya harus menjaga dia.”
“Tapi ibu?”
“Sudah cukup! Besok lusa dia akan bersekolah dengamu, kalau sampai kau tidak menjaganya, bisa dipastikan uang harianmu ibu cabut.”
Jessie masih ingin membantah. Tetapi ucapan ibu menyangkut cabut uang menyurutkan niatnya. Jessie takut kalau sampai itu terjadi, bagaimana dengan pesta, make up, dan perlengkapan lainnya. Tanpa bicara, Jessie menghentakkan kakinya lalu berjalan tergesa melewati ibu dan gadis aneh itu, kemudian dia naik tangga untuk masuk kamarnya.
***
Keesokan harinya di hari minggu, Jessie berjalan menuruni tangga dengan mata yang masih terkantuk-kantuk dan rambut pirang keemasan yang kusut. Gadis yang masih berpiyama dan menggunakan sandal tidur itu terseok-seok memijakkan kaki di anak tangga dengan tangan mengucek mata. Jessie kemudian masuk ke dapur dan diam di sana, di ambang pintu, terlihat ibu sedang memasak entah memasak apa yang pasti baunya sangat tidak enak.
Ibu memang tidak bisa memasak, dulu sebelum ayahnya meninggal karena sakit, ayahnya-lah yang sering membuatkan makanan untuk mereka berdua. Tapi sekarang sudah berbeda, kurun dua tahun ditinggalkan ayah membuat semuanya berubah. Ibunya yang tidak mahir memasak akhirnya terjun juga walau kadang Jessie suka menolak masakannya dan lebih memilih membeli saja.
“Hai Ibu,” sapa Jessie datar yang masih di ambang pintu.
Ibu yang sedang berpekik karena cipratan minyak hanya bergumam dengan nada waspada, “Hai Jessie, duduklah, ibu akan menyiapkan makanan untukmu.”
Jessie menghela nafas. Kaki yang terbalut sandal keroppi dilangkahkan menuju meja makan. Namun, saat Jessie akan duduk di kursi favorit dia yaitu di dekat jendela, ternyata terisi gadis aneh itu. Jessie mengatupkan rahangnya, kedua pipinya memerah tanda dia jika sedang marah. “Gadis Aneh, itu tempatku. Bisa-bisanya yah kau menempatinya. Minggir!” dengan ketus sambil mengibas-ngibaskan tangannya, Jessie mengusir gadis aneh itu.
Tetapi suara ibu mengintrupsi Jessie dan membuatnya bungkam. “Jessie berbagilah, duduk di mana saja, biarkan dia di sana.”
Jessie membantah, “Tapi ibu, dia…”
“Sudah cukup! Duduk di tempat yang lain.”
Jessie menghentakkan kakinya pada lantai, dengan enggan dirinya melangkah ke beberapa bangku menjauhi gadis itu, dan duduk di sana. Satu piring terhidang di hadapan Jessie. Jessie menaikkan sebelah alisnya menatap tanpa selera pada makanan di hadapannya. “Makanan apa ini, Ibu?” Jessie menyendokkan sendok pada makanan itu.
“Itu bubur gandum. Makanlah, ibu hanya bisa membuat ini.” terlihat ibunya berjalan ke ambang pintu lalu menyambar tas selempangnya yang menggantung di sana, “Habiskan. Ibu ada urusan, jaga Melody jangan sampai dia bersedih.” Ibunya berkacak pinggang, menatap malas pada anak semata wayangnya, “Terakhir, jangan berpesta dan mabuk-mabukkan, apalagi sampai teler.” setelah itu ibu pergi menyisakan keheningan mencekam di kedua gadis itu.
Jessie memandang Melody yang sedang menunduk malu-malu di kursi favoritnya. Gadis itu rupanya belum menyentuh makanannya, lalu Jessie berkata, “Makan itu! Kau bukan anak-anak lagi, jadi jangan merepotkanku.”
Ditertunduknya dengan cahaya menerpa kepala botaknya, Melody mengangguk lemah.
***
Malam hari Jessie menatap ruang keluarga yang disulap menjadi ruang pesta yang gelap berkerlip lampu disko. Malam ini dia mengadakan pesta di rumahnya. Pesta yang hanya menyewa DJ dan penata rias saja. Terkesan sederhana tapi sangat berarti. Dia akan mengundang teman-teman dekatnya untuk datang lalu berpesta bersama. Mengingat ibunya sedang pergi, jadi dia bebas melakukan apa saja. Persetan dengan larangan-larangan ibu, dirinya hanya ingin berpesta saja.
Jessie tersenyum puas saat semua dekorasi sudah terpasang, tinggal menunggu sahabatnya saja yang datang. Tiba-tiba bel pintu berbunyi. Jessie langsung berlari ke pintu dan di sana telah berdiri beberapa teman-temannya.
Temannya yang bernama Jill tersenyum sambil menyerahkan minuman botol. “Hai, Jess. Terima kasih atas undangan pestanya. Ngomong-ngomong, yang lainnya belum datang, terjebak macet.” tatapan Jill menyipit, “Kau yakin mengadakan pesta di rumahmu sampai teler, bagaimana dengan ibumu?”
Jessie memutar mata jengah, “Tenanglah, semua sudah diatur. Ibuku sedang pergi. Jadi kita tenang saja sampai teler pun.”
Semua temannya bersorak. Tak lama Jessie membuka pintu lebih lebar mempersilahkan teman-temannya masuk.
***
Melody menatap keluar jendela kamarnya yang diberikan ibu Jessie padanya. Mata biru jernihnya menatap pada pemandangan di depan di lantai dua ini. Meski gelap, tapi Melody sangat suka suasana malam hari: Dingin, sunyi, dan tentunya menenangkan. Melody menyentuh kepalanya, tidak ada rambut di sana. Rambutnya sudah rontok seutuhnya sejak dua minggu yang lalu, karena kanker otak yang dideritanya. Sudah beberapa rumah sakit dan beberapa dokter profesional yang didatanganinya, tapi tetap saja penyakit itu tidak sembuh. Orangtuanya bahkan sudah frustasi dengan penyakitnya.
Memikirkan orangtua membuat Melody kembali sedih. Dulu dia adalah anak semata wayang yang disayangi kedua orangtuanya, tapi peristiwa perampokan dan pembunuhan yang terjadi di rumahnya tidak bisa dihindari. Terakhir kali Melody melihat orangtuanya sedang tersenyum ke arahnya saat Melody di rumah sakit, lalu beberapa jam orangtuanya meninggalnya di rumah sakit, kabar menyakitkan itu datang, menyentaknya begitu dalam.
Melody tidak bersekolah. Ibu dan ayahnya sudah memilihkan guru terbaik untuk program home schooling untuknya. Kadang Melody mengiginkan sekolah, menginginkan kehidupan remaja pada umumnya. Tapi sakitlah yang membuatnya tidak seperti itu. Dia harus bolak-balik ke rumah sakit hanya untuk memeriksa penyakitnya. Sejak pembunuhan orangtuanya, Melody sempat bingung akan tinggal di mana. Seluruh pelayannya mengundurkan diri, karena kehilangan sang majikan. Beruntung bibi Karen, ibu Jessie, membawanya ke rumah ini, bahkan akan menyekolahkan dia ke sekolah umum.
Banyak yang menyebut dirinya aneh, termasuk Jessie, sepupunya sendiri menganggapnya seperti itu. Bukannya dia aneh, tapi dia tidak terbiasa berbicara dengan orang asing. Jantungnya akan berdebar jika orang lain berdekatan dengannya, apalagi sampai bercakap bersamanya. Ditambah fisik Melody yang lemah, jika keluar rumah dan terpapar sinar matahari, kulitnya akan memerah dan terasa terbakar. Oleh sebab itu orangtuanya tidak memperbolehkan lagi untuk keluar rumah dan bermain seperti kebanyakan.
Angin masih membelai kulit pucat Melody. Dirasa angin semakin kecang dan dingin, dirinya lantas menutup jendela. Saat menutup jendela, terdengar suara musik menghentak-hentak keras dari bawah. Melody mengerutkan kening. Siapa yang menyalakan musik di jam seperti ini? Dirinya menimbang, akhirnya dia berjalan keluar kamar melupakan selendang penutup kepalanya yang biasa ia pakai jika keluar rumah.
Melody menuruni tangga secara pelan. Tubuhnya dibalut dengan piyama berjenis rok selutut berwarna putih. Di pijakan terakhir, Melody mengernyit. Suara itu berasal dari ruang keluarga. Dengan langkah pelan Melody menghampiri ruangan itu.
Ruangan itu sangat gelap. Sinar yang yang dihasilkan tidak dapat memperlihatkan yang ada di sini. Banyak orang yang berdansa di ruangan ini dengan goyangan tak beraturan yang terlihat sedang… mabuk? Terlihat walau samar di tangan orang menari tersebut tergenggam botol minuman dan gelas berkaki. Meski baru mengetahui bahwa orang mabuk itu seperti itu, tapi Melody dapat menyadari bahwa mereka sedang mabuk.
Entah dorongan dari mana, Melody melangkah masuk ke dalam ruangan itu. Dia menutup kedua telinganya karena suara itu jika semakin dekat semakin keras. Melody berjalan kikuk ke tengah-tengah ruangan, ke tengah orang berjingkrak menari. Akibat tubuhnya yang kecil, dan pemabuk itu samakin menjadi, tiba-tiba sebuah tubuh menubruk dirinya. Sontak tubuhnya yang kurus ambruk dan limbung ke depan lalu jatuh terjerembab ke lantai.
Hening.
Musik dihentikkan, terlebih semua pasang mata menatap Melody mengernyit dan ada pula yang mencemooh, sampai ada yang mendesis tajam.
“Kau ingin berpesta Gadis Botak?”
***
Jessie berada di sudut ruangan, tepatnya di sebuah sofa di ruang keluarga. Di samping kirinya kini tengah merangkulnya, Mike yang dengan mesra sambil sesekali mengecup bibirnya panas. Sedangkan di sisi kanannya, duduk dua sahabat baiknya bernama Jill dan Chloe. Sengaja mereka belum mabuk berat, karena mereka ingin menikmati dulu pesta di sini.
Chloe yang berwajah kecil imut dan bersuara cempreng berucap, walau teredam musik yang berdentum, “Malam ini kau tidak akan teler, Jess?”
Sambil mengeratkan tangan Mike di pinggangnya, Jessie menjawab, “Hmm, mungkin tidak. Aku tuan rumah di sini, demi menyalami mereka ketika pulang, ada baiknya aku tidak teler malam ini.”
Jill yang berkulit coklat eksotis dengan bibir tebal sensual berkata, “Kau tau, Jess. Pesta ini sangat menakjubkan.” lalu tatapan Jill beralih pada Mike yang tengah menenggelamkan kepalanya di lekukan leher Jessie. “Ngomong-ngomong, selamat atas jadian kalian. Semoga kalian tetap bersama.”
Jessie tersenyum. Setelah itu tidak ada yang bersuara lagi selain dentuman keras musik DJ. Namun, detik berikutnya tiba-tiba hening. Jessie mengerutkan kening. Bertanya-tanya kenapa musik dimatikan. Tetapi di tengah ruangan terlihat orang-orang seperti membuat lingkaran kecil mengerubun. Tak lama, orang-orang itu terdengar mecemooh seseorang yang sekilas…
“Kau ingin berpesta Gadis Botak?”
“Kemana rambutmu?”
“Hai Cantik.”
“Aw… aw… siapa yang datang ini, Gadis Lugu yang Cantik.”
Kerutan di dahi Jessie semakin dalam. Siapa yang sedang dicemooh mereka? Jessie menyipitkan mata. Terlihat seseorang menggunakan piyama tidur putih terduduk di lantai pesta, dikelilingi orang-orang. Saat ada salah seorang yang bergeser di kerumunan itu, akhirnya Jessie dapat melihat dengan jelas siapa orang itu, yang ternyata Melody, sepupunya.
Terlihat di kegelapan Melody sedang terduduk tidak berdaya dikerumun orang-orang. Masa bodoh dengan gadis itu di sana, dia tidak peduli. Semoga dengan ini gadis itu cepat pergi dari rumahnya, jadi dia tidak perlu repot menjaganya.
Namun, tatapan jernih berlensa biru itu menatapnya lekat, membuat Jessie tertegun. Tatapan memohon amat tersiksa. Dengan cepat Jessie memalingkan wajahnya, dia tidak boleh terpengaruh dengan tatapan itu.
Tidak boleh.
Karena tidak ada kata kasihan dalam kamus hidupnya.
Setelah baca wajib komen yak, butuh masukan kalian.
Melody Cousin [Prolog]
13 Februari 2017 in Vitamins Blog
Prolog
Genre: Teenfi-Fantasy
Pulau Rosenberg, adalah pulau yang baru-baru ini Amerika resmikan. Pulau buatan pertama yang melibatkan teknologi canggih dan beberapa orang penting yang terlibat di dalamnya. Pulau ini terbagi dari beberapa kota. Tidak ada desa di pulau ini, semua wilayah yang luasnya ratusan kilo meter ini hanya diperuntukan untuk pembuatan kota saja.
Pulau ini sudah dilengkapi dengan gedung-gedung, pertokoan, perumahan dan berbagai macam perlengkapan penataan kota lainnya, membuat pulau ini layaknya pulau sungguhan di Amerika sendiri. Semua kebutuhan baik sandang, pangan maunpun papan, dikirim langsung dari Amerika, karena kondisi tanah di pulau ini belum stabil, masih belum bisa membudidayakan berbagai sayuran dan bahan pokok.
Tujuan pembuatan pulau ini tak lain untuk mengurangi jumlah penduduk yang ada di Amerika yang semakin hari semakin bertambah. Dengan dibangunnya pulau ini pemerintah berharap bisa meciptakan tatanan baru di dunia kecil di bawah naungan pemerintah amerika itu sendiri.
Pemilihan wali kota pertama di pulau ini tidak berjalan mulus. Wali kota tersebut dipilih langsung oleh pemerintah pusat, tanpa melalui pemilihan umum bagi rakyat, membuat kepemimpinan di pulau tersebut menjadi sembraut. Banyak pengedar narkoba berkeliaran di pulau ini, bahkan ada pabrik pembuatannya yang tidak diketahui di mana, namun ada di pulau Rosenberg ini. Selain pengedar narkoba, para teroris dan pemberontak terjadi di sini. Tidak hanya itu, moral remaja sudah merosot akibat tidak dibarengi paham keagamaan, karena di pulau ini hanya menekankan pemahaman tentang ilmu umum saja. Dan sangat jarang sekali tempat ibadah di pulau ini, mungkin dapat dihitung dengan jari gereja-gereja di seluruh kota yang telah dibangun.
Meski begitu, masyarakat Rosenberg tetap betah dan menghormati tampuk kepemimpinan sang wali kota. Mereka hidup tentram layaknya tak ada gangguan, padahal di luar sana aksi kejahatan, korupsi, bahkan banyak lagi kasus kriminal lainnya terjadi.
Dan dari pulau inilah, dongeng kita dimulai….
Coba-coba post novel nih. Kalo mau baca blurbnya cari aja di watty dg judul sama, di akun anisanurazizah.
Luka Manisku
5 Januari 2017 in Vitamins Blog
Hai, penoreh luka hatiku
Apa kabar?
Aku disini tengah mencoba tegar
Merawat luka yang selalu segar
Dengan rasa yang semakin hambar
Hai, penoreh luka hatiku
Bagaimana rasamu?
Aku disini tengah merunduk malu
Menyembunyikan luka yang tak kunjung sembuh
Tanpa seorangpun mampu mengukur
Hai, penoreh luka manis dihatiku
Terimakasih
Karenamu, aku mengerti betapa sakit rasa hati yang tak dihargai
Rasa perih yang kian menjadi saat kau tak disini
Rasa kehilangan, kecewa tanpa menimbulkan benci
Hai, pengukir kenangan dalam ingatanku
Terimakasih, telah sudi membaginya padaku
Maaf, tiada kenangan manis dariku untukmu
Cukup aku yang rasakan perihnya, membekukan kalbu
Menikmati luka manisku, yang kerap menusuk, menghujam, tanpa tahu waktu
Hujatan Mereka
5 Januari 2017 in Vitamins Blog
Hmm, ini puisi rada-rada diary dikit. Ini puisi ku ciptakan dulu ketika aku oleh teman-teman dekatku dijauhi karena hal sepele. Huh malah curhat, gpp deh.
Happy Reading…
Ketika kesalahan muncul sekali
ku hanya diam menyadari
ku tahu semua orang menghujatku
menghukumku dengan kata tabu
Ku dengar mereka menghina
ku dengar itu tampak nyata
ku dengar hati menderita
ku dengar hati bilang tak apa
Semua tak sama
orang salah ku tak apa
kenapa ku dicaci dan dihina?
kenapa ku ditinggal mereka?
Kalian tak tau apa-apa
kalian tak tau alasannya
kalian membenarkan kata orang
tak peduli itu terjadi atau tidak
Buka mata kalian sekarang!
lihat, berita itu tak benar
seolah kalian datang membenarkan
seolah kalian tau segalanya
Kritik dan saran ditunggu…
Perjuangan Kartini
4 Januari 2017 in Vitamins Blog
Ini puisi udh lama banget didraft. Sebelumnya, puisi ini pernah diikutin lomba Hari Kartini di sekolah, alhamdulillah juara satu, dan sekarang aku coba2 post di sini.
Gemuruh riuh menyambar harapan
pejuang terbalas jiwa terkorban
hari bangsa bergulat asa
hari di mana semua tak lagi sama.
Wanita idaman datang juga
datang selamat mengantar jiwa
Wanita yang patut ditoreh jasanya
Wanita yang kini sudah tak lagi ada.
Perjuangan pengorbanan kau torehkan
demi mengantar jiwa wanita pilihan
dunia tak lagi pandang wanita kiasan
semua wanita patut diacungkan.
Kartini membawa secercah harapan
harapan yang kini patut diperjuangkan
semua wanita, semua bahagia
tak ada iba, tak ada berbeda.
Kritik dan saran ditunggu…