Vitamins Blog

Melody Cousin [Bab 1]

Bookmark
ClosePlease login

No account yet? Register

 

 

31 votes, average: 1.00 out of 1 (31 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

 

Melody Cousin

Bab 1. Sepupuku Datang

 


 

Malam hari angin berhembus benerbangkan daun-daun hingga bertebaran. Cotle Road tampak lenggang, jalanan kecil yang menghubungkan antara jalanan kota dan jalanan perumahan. Di jalanan yang sepi itu, sepasang kekasih berjalan terseok-seok dengan mulut mereka meracaukan sesuatu. Pasangan itu saling memeluk satu sama lain, dengan mata merah dan rambut terjuntai kusut.

Sang gadis menoleh pada kekasihnya dengan mata merah dan tubuh hampir limbung kalau saja pacarnya tidak menahannya. “Kau tau, aku sangat menyukai pesta tadi. Benar, ‘kan, Mike?”

Lelaki muda yang bernama Mike tersenyum dalam keadaan mabuk, “Yap, Jessie. Aku sangat senang bisa bersamamu di pesta tadi.”

Si gadis, Jessie mencubit hidung kekasihnya yang sudah memerah. “Ah, kau bisa saja.” lalu padangan mata Jessie beralih pada rumah sederhana di depan. Disela berjalan mendekati rumah tersebut, Jessie berujar, “Aku sudah sampai di depan rumah. Sampai bertemu lagi, Mike.”

Jessie melepaskan rangkulan tangan Mike di pingganya. Dia berjalan pada teras rumah sederhana itu diikuti Mike di belakangnya.

“Cium aku dulu, honey,” ucap Mike dengan kedipan mata dan bibir mengerucut.

“Besok saja, Mike. Tidak ada jatah untukmu,” canda Jessie seraya terkekeh. Terlihat Mike memberengut. Lalu dengan cepat Jessie berujar kembali, “Sampai jumpa, Mike.” setelah itu Jessie menutup pintu tersebut cepat.

Di balik pintu, Jessie menyandarkan punggungnya. Dia tersenyum sambil mengigit bibir bawahnya, mengingat kembali pesta tadi yang diselenggarakan di club ternama di Rosenberg. Dari acara tersebut bukan hanya kesenangan saja yang ia dapat, melainkan mendapatkan pacar. Mike tadi di acara tersebut menembaknya langsung saat Jessie sedang minum. Lagi pada saat itu Jessie terpana akan ketampanan Mike, langsung menerimanya sebagai pacar barunya.

Masih menyisakan jejak senyumannya, Jessie menoleh ke depan. Seketika tubuhnya tertegun, kerena di depannya kini telah berdiri ibunya sedang berkacak pinggang dengan pandangan menyipit.

Sang ibu menghampiri Jessie yang masih merapat di pintu, lalu saat sampai di hadapan gadis itu, sang ibu mengangkat dagu. “Setiap hari kau bau alkohol. Ibu tidak suka tindakanmu, Jessie.”

Jessie yang mendengar desisan sang ibu hanya mendengus sambil menyungging senyum mencemooh. “Ibu, biarkan anakmu ini bersenang-senang. Lagi pula aku tidak mau terus di rumah seperti anak gadis cupu. Aku tidak mau ibu.”

Sang ibu menghela nafas, merasa jengkel dengan anaknya ini yang tidak bisa diatur. “Baiklah, apapun alasanmu, ibu hanya memperingatkanmu.” Ibu diam sejenak dengan menarik nafas, “Ibu membawa seseorang ke rumah ini.”

Jessie membelakkan mata dan lansung beridiri tegak. “Seseorang? Siapa itu ibu? Aku tidak mau kalau orang itu sampai merepotkanku.”

Ibu tersenyum, “Yah, mungkin akan sedikit merepotoan,” lalu kepala ibu berbalik pada pintu pembatas ruangan, “kemarilah, Melody.”

Sesosok gadis seumuran dengan Jessie menggunakan gaun selutut putih sederhana keluar dari balik pembatas pintu. Tubuh gadis itu tampak kurus dan berkulit pucat. Namun, yang membuat Jessie terhenyak, adalah kepala gadis itu. Gadis itu tidak mempunyai rambut sama sekali, hanya kepala botak yang terlihat mengkilap terterpa sinar lampu yang menggantung di atasnya.

Gadis itu malu-malu mendekat.

“Dia adalah saudari kita, sepupumu. Ibu membawanya karena kemarin orangtua Melody meninggal akibat perampokan di rumah mewah mereka. Beruntung gadis ini sedang dirawat intensif di rumah sakit karena kanker otak yang menyerangnya, jadi dia tidak sampai terbunuh,” ucap ibunya panjang lebar.

Jessie masih beradaptasi dengan kenyataan. Dia tidak bisa mempercayai ini, sepupunya yang berkepradian aneh akan tinggal di sini. Gadis itu si penyendiri, dan pemurung, akan tinggal bersamanya. Memang orangtua gadis ini berkecukupan, bisa dibilang pengusaha kaya raya. Tapi dengan tinggal di sini, apalagi gadis itu berpenyakit. Oh ini sangat sial.

Jessie menggertakkan giginya, “Ibu, apakah kita akan mengurus gadis berpenyakit ini di rumah kita?”

Dengan cepat ibunya mendesis, “Jaga bicaramu, Jessie! Mau bagaimanapun dia harus tinggal di sini. Dan kau sebagai sepupunya harus menjaga dia.”

“Tapi ibu?”

“Sudah cukup! Besok lusa dia akan bersekolah dengamu, kalau sampai kau tidak menjaganya, bisa dipastikan uang harianmu ibu cabut.”

Jessie masih ingin membantah. Tetapi ucapan ibu menyangkut cabut uang menyurutkan niatnya. Jessie takut kalau sampai itu terjadi, bagaimana dengan pesta, make up, dan perlengkapan lainnya. Tanpa bicara, Jessie menghentakkan kakinya lalu berjalan tergesa melewati ibu dan gadis aneh itu, kemudian dia naik tangga untuk masuk kamarnya.

***

Keesokan harinya di hari minggu, Jessie berjalan menuruni tangga dengan mata yang masih terkantuk-kantuk dan rambut pirang keemasan yang kusut. Gadis yang masih berpiyama dan menggunakan sandal tidur itu terseok-seok memijakkan kaki di anak tangga dengan tangan mengucek mata. Jessie kemudian masuk ke dapur dan diam di sana, di ambang pintu, terlihat ibu sedang memasak entah memasak apa yang pasti baunya sangat tidak enak.

Ibu memang tidak bisa memasak, dulu sebelum ayahnya meninggal karena sakit, ayahnya-lah yang sering membuatkan makanan untuk mereka berdua. Tapi sekarang sudah berbeda, kurun dua tahun ditinggalkan ayah membuat semuanya berubah. Ibunya yang tidak mahir memasak akhirnya terjun juga walau kadang Jessie suka menolak masakannya dan lebih memilih membeli saja.

“Hai Ibu,” sapa Jessie datar yang masih di ambang pintu.

Ibu yang sedang berpekik karena cipratan minyak hanya bergumam dengan nada waspada, “Hai Jessie, duduklah, ibu akan menyiapkan makanan untukmu.”

Jessie menghela nafas. Kaki yang terbalut sandal keroppi dilangkahkan menuju meja makan. Namun, saat Jessie akan duduk di kursi favorit dia yaitu di dekat jendela, ternyata terisi gadis aneh itu. Jessie mengatupkan rahangnya, kedua pipinya memerah tanda dia jika sedang marah. “Gadis Aneh, itu tempatku. Bisa-bisanya yah kau menempatinya. Minggir!” dengan ketus sambil mengibas-ngibaskan tangannya, Jessie mengusir gadis aneh itu.

Tetapi suara ibu mengintrupsi Jessie dan membuatnya bungkam. “Jessie berbagilah, duduk di mana saja, biarkan dia di sana.”

Jessie membantah, “Tapi ibu, dia…”

“Sudah cukup! Duduk di tempat yang lain.”

Jessie menghentakkan kakinya pada lantai, dengan enggan dirinya melangkah ke beberapa bangku menjauhi gadis itu, dan duduk di sana. Satu piring terhidang di hadapan Jessie. Jessie menaikkan sebelah alisnya menatap tanpa selera pada makanan di hadapannya. “Makanan apa ini, Ibu?” Jessie menyendokkan sendok pada makanan itu.

“Itu bubur gandum. Makanlah, ibu hanya bisa membuat ini.” terlihat ibunya berjalan ke ambang pintu lalu menyambar tas selempangnya yang menggantung di sana, “Habiskan. Ibu ada urusan, jaga Melody jangan sampai dia bersedih.” Ibunya berkacak pinggang, menatap malas pada anak semata wayangnya, “Terakhir, jangan berpesta dan mabuk-mabukkan, apalagi sampai teler.” setelah itu ibu pergi menyisakan keheningan mencekam di kedua gadis itu.

Jessie memandang Melody yang sedang menunduk malu-malu di kursi favoritnya. Gadis itu rupanya belum menyentuh makanannya, lalu Jessie berkata, “Makan itu! Kau bukan anak-anak lagi, jadi jangan merepotkanku.”

Ditertunduknya dengan cahaya menerpa kepala botaknya, Melody mengangguk lemah.

***

Malam hari Jessie menatap ruang keluarga yang disulap menjadi ruang pesta yang gelap berkerlip lampu disko. Malam ini dia mengadakan pesta di rumahnya. Pesta yang hanya menyewa DJ dan penata rias saja. Terkesan sederhana tapi sangat berarti. Dia akan mengundang teman-teman dekatnya untuk datang lalu berpesta bersama. Mengingat ibunya sedang pergi, jadi dia bebas melakukan apa saja. Persetan dengan larangan-larangan ibu, dirinya hanya ingin berpesta saja.

Jessie tersenyum puas saat semua dekorasi sudah terpasang, tinggal menunggu sahabatnya saja yang datang. Tiba-tiba bel pintu berbunyi. Jessie langsung berlari ke pintu dan di sana telah berdiri beberapa teman-temannya.

Temannya yang bernama Jill tersenyum sambil menyerahkan minuman botol. “Hai, Jess. Terima kasih atas undangan pestanya. Ngomong-ngomong, yang lainnya belum datang, terjebak macet.” tatapan Jill menyipit, “Kau yakin mengadakan pesta di rumahmu sampai teler, bagaimana dengan ibumu?”

Jessie memutar mata jengah, “Tenanglah, semua sudah diatur. Ibuku sedang pergi. Jadi kita tenang saja sampai teler pun.”

Semua temannya bersorak. Tak lama Jessie membuka pintu lebih lebar mempersilahkan teman-temannya masuk.

***

Melody menatap keluar jendela kamarnya yang diberikan ibu Jessie padanya. Mata biru jernihnya menatap pada pemandangan di depan di lantai dua ini. Meski gelap, tapi Melody sangat suka suasana malam hari: Dingin, sunyi, dan tentunya menenangkan. Melody menyentuh kepalanya, tidak ada rambut di sana. Rambutnya sudah rontok seutuhnya sejak dua minggu yang lalu, karena kanker otak yang dideritanya. Sudah beberapa rumah sakit dan beberapa dokter profesional yang didatanganinya, tapi tetap saja penyakit itu tidak sembuh. Orangtuanya bahkan sudah frustasi dengan penyakitnya.

Memikirkan orangtua membuat Melody kembali sedih. Dulu dia adalah anak semata wayang yang disayangi kedua orangtuanya, tapi peristiwa perampokan dan pembunuhan yang terjadi di rumahnya tidak bisa dihindari. Terakhir kali Melody melihat orangtuanya sedang tersenyum ke arahnya saat Melody di rumah sakit, lalu beberapa jam orangtuanya meninggalnya di rumah sakit, kabar menyakitkan itu datang, menyentaknya begitu dalam.

Melody tidak bersekolah. Ibu dan ayahnya sudah memilihkan guru terbaik untuk program home schooling untuknya. Kadang Melody mengiginkan sekolah, menginginkan kehidupan remaja pada umumnya. Tapi sakitlah yang membuatnya tidak seperti itu. Dia harus bolak-balik ke rumah sakit hanya untuk memeriksa penyakitnya. Sejak pembunuhan orangtuanya, Melody sempat bingung akan tinggal di mana. Seluruh pelayannya mengundurkan diri, karena kehilangan sang majikan. Beruntung bibi Karen, ibu Jessie, membawanya ke rumah ini, bahkan akan menyekolahkan dia ke sekolah umum.

Banyak yang menyebut dirinya aneh, termasuk Jessie, sepupunya sendiri menganggapnya seperti itu. Bukannya dia aneh, tapi dia tidak terbiasa berbicara dengan orang asing. Jantungnya akan berdebar jika orang lain berdekatan dengannya, apalagi sampai bercakap bersamanya. Ditambah fisik Melody yang lemah, jika keluar rumah dan terpapar sinar matahari, kulitnya akan memerah dan terasa terbakar. Oleh sebab itu orangtuanya tidak memperbolehkan lagi untuk keluar rumah dan bermain seperti kebanyakan.

Angin masih membelai kulit pucat Melody. Dirasa angin semakin kecang dan dingin, dirinya lantas menutup jendela. Saat menutup jendela, terdengar suara musik menghentak-hentak keras dari bawah. Melody mengerutkan kening. Siapa yang menyalakan musik di jam seperti ini? Dirinya menimbang, akhirnya dia berjalan keluar kamar melupakan selendang penutup kepalanya yang biasa ia pakai jika keluar rumah.

Melody menuruni tangga secara pelan. Tubuhnya dibalut dengan piyama berjenis rok selutut berwarna putih. Di pijakan terakhir, Melody mengernyit. Suara itu berasal dari ruang keluarga. Dengan langkah pelan Melody menghampiri ruangan itu.

Ruangan itu sangat gelap. Sinar yang yang dihasilkan tidak dapat memperlihatkan yang ada di sini. Banyak orang yang berdansa di ruangan ini dengan goyangan tak beraturan yang terlihat sedang… mabuk?  Terlihat walau samar di tangan orang menari tersebut tergenggam botol minuman dan gelas berkaki. Meski baru mengetahui bahwa orang mabuk itu seperti itu, tapi Melody dapat menyadari bahwa mereka sedang mabuk.

Entah dorongan dari mana, Melody melangkah masuk ke dalam ruangan itu. Dia menutup kedua telinganya karena suara itu jika semakin dekat semakin keras. Melody berjalan kikuk ke tengah-tengah ruangan, ke tengah orang berjingkrak menari. Akibat tubuhnya yang kecil, dan pemabuk itu samakin menjadi, tiba-tiba sebuah tubuh menubruk dirinya. Sontak tubuhnya yang kurus ambruk dan limbung ke depan lalu jatuh terjerembab ke lantai.

Hening.

Musik dihentikkan, terlebih semua pasang mata menatap Melody mengernyit dan ada pula yang mencemooh, sampai ada yang mendesis tajam.

“Kau ingin berpesta Gadis Botak?”

***

Jessie berada di sudut ruangan, tepatnya di sebuah sofa di ruang keluarga. Di samping kirinya kini tengah merangkulnya, Mike yang dengan mesra sambil sesekali mengecup bibirnya panas. Sedangkan di sisi kanannya, duduk dua sahabat baiknya bernama Jill dan Chloe. Sengaja mereka belum mabuk berat, karena mereka ingin menikmati dulu pesta di sini.

Chloe yang berwajah kecil imut dan bersuara cempreng berucap, walau teredam musik yang berdentum, “Malam ini kau tidak akan teler, Jess?”

Sambil mengeratkan tangan Mike di pinggangnya, Jessie menjawab, “Hmm, mungkin tidak. Aku tuan rumah di sini, demi menyalami mereka ketika pulang, ada baiknya aku tidak teler malam ini.”

Jill yang berkulit coklat eksotis dengan bibir tebal sensual berkata, “Kau tau, Jess. Pesta ini sangat menakjubkan.” lalu tatapan Jill beralih pada Mike yang tengah menenggelamkan kepalanya di lekukan leher Jessie. “Ngomong-ngomong, selamat atas jadian kalian. Semoga kalian tetap bersama.”

Jessie tersenyum. Setelah itu tidak ada yang bersuara lagi selain dentuman keras musik DJ. Namun, detik berikutnya tiba-tiba hening. Jessie mengerutkan kening. Bertanya-tanya kenapa musik dimatikan. Tetapi di tengah ruangan terlihat orang-orang seperti membuat lingkaran kecil mengerubun. Tak lama, orang-orang itu terdengar mecemooh seseorang yang sekilas…

“Kau ingin berpesta Gadis Botak?”

“Kemana rambutmu?”

“Hai Cantik.”

“Aw… aw… siapa yang datang ini, Gadis Lugu yang Cantik.”

Kerutan di dahi Jessie semakin dalam. Siapa yang sedang dicemooh mereka? Jessie menyipitkan mata. Terlihat seseorang menggunakan piyama tidur putih terduduk di lantai pesta, dikelilingi orang-orang. Saat ada salah seorang yang bergeser di kerumunan itu, akhirnya Jessie dapat melihat dengan jelas siapa orang itu, yang ternyata Melody, sepupunya.

Terlihat di kegelapan Melody sedang terduduk tidak berdaya dikerumun orang-orang. Masa bodoh dengan gadis itu di sana, dia tidak peduli. Semoga dengan ini gadis itu cepat pergi dari rumahnya, jadi dia tidak perlu repot menjaganya.

Namun, tatapan jernih berlensa biru itu menatapnya lekat, membuat Jessie tertegun. Tatapan memohon amat tersiksa. Dengan cepat Jessie memalingkan wajahnya, dia tidak boleh terpengaruh dengan tatapan itu.

Tidak boleh.

Karena tidak ada kata kasihan dalam kamus hidupnya.

 

 


Setelah baca wajib komen yak, butuh masukan kalian.

 

15 Komentar

  1. Wow wow wow langsung part 1 ny nih hihi
    Vote dlu yak

    1. Iya dilangsungin dulu. Jd biar pembaca tau gambaran cerita ni mau dibawa ke mana.

  2. Waah penasaran lanjutan nya :YUHUIII

    1. Padahal belom baru setengah buat outlinenya juga

  3. :NGEBETT :TERHARUBIRU

  4. Jessie jhat bgt c sama Melody

    1. Aishhh jangan gitu kak, lama2 jd suka kok ama karakter yg kek gituan..

  5. Suka ceritanya… Ini ada di watty ya, dmn..

    1. Makasih kak udh suka. Kalo di watty cari aja Melody Cousin di akun anisanurazizah. Tp masih 2 bab kok sama.

  6. kasian Melody,,

  7. Penasaran lanjutannya

  8. Netx :LARIDEMIHIDUP

  9. fitriartemisia menulis:

    wow, vote duluuu

  10. :semangatyangmembara

  11. Ditunggu kelanjutannyaa