4581 words
© copyright 2017 @projectsairaakira seluruh karya di website ini telah didaftarkan dan dilindungi oleh hukum yang berlaku serta mengikat.
Dilarang meniru, menjiplak, mengubah nama tokoh, mengambil ide baik sebagian maupun keseluruhan isi cerita yang berada di dalam website ini. Jika Anda menemukan plagiat karya kami di wattpad, mari bantu dengan melakukan report copyright voiolance pada pihak wattpad. Kami sangat mengapresiasi laporan atau temuan dari vitamins menyangkut usaha plagiat baik keseluruhan maupun sebagian dari karya-karya ProjectSairaAkira yang dipublish di website ini, silahkan hubungi admin kami di [email protected] ^^
[responsivevoice voice=”Indonesian Female” buttontext=”Dengarkan cerita ini”]
Lalu seolah ada keajaiban, cahaya terang seorang dewi melingkupi tubuh Sang Ibu, warna rambutnya berubah berkilauan dan wajahnya yang juga berubah menjadi sangat cantik dengan kecantikan seorang dewi yang terpatri jelas di wajahnya.
Ya, dia bukanlah ibu kandung Minerva. Ibu Kandung Minerva telah meninggal ketika melahirkan anak itu ke dunia ini.
Dirinya adalah seorang dewi yang terpanggil untuk melindungi Minerva karena suatu alasan yang sangat penting berhubungan dengan prinsipnya sebagai sosok yang menaungi cinta. Pada hari kelahiran Minerva, dirinya turun ke bumi, menyamar sebagai seorang Dayana atau bidan desa dalam wujud perempuan tua yang membantu Ibu kandung Minerva melahirkan anaknya. Dan ketika Sang Ibu kandung meninggal karena tubuhnya yang lemah tidak mampu menanggung beban melahirkan, Sang Dewi mengambil alih tugas untuk melindungi Minerva, merubah wujudnya menjadi manusia, menjadi sosok serupa Ibu Minerva yang selalu mendampingi dan menyembunyikan anak itu dari pengelihatan Sang Penuai.
Ketika Minerva keluar dari kamarnya dengan mengenakan pakaian oranye khusus yang diikat dengan tali rami di pinggangnya, matanya terpaku ke sekeliling ruangan. Ibundanya telah memasang bunga-bunga yang dipetiknya itu ke seluruh penjuru ruangan, terlebih di depan jendela maupun di sudut-sudut tempat angin bertiup sepoi-sepoi dan membawa kesejukan ke dalam ruang rumah mereka yang sederhana tetapi sejuk.
Bunga itu memiliki aroma yang khas, seperti harum minyak wewangian penghangat yang dioleskan ke tubuh bayi yang baru lahir, menjaganya supaya tetap aman dan terlindungi dari cuaca dingin malam pedesaan yang kadang menggigilkan tubuh.
Masyarakat sering menyebut bunga ungu itu dengan nama bunga morea, yang artinya adalah ‘ungu nan harum’, sebuah nama yang sangat mewakili. Bunga Morea hanya tumbuh di musim panen seperti ini, bersamaan dengan hari kelahiran Minerva, karena itulah di setiap hari ulang tahunnya, Sang Ibunda selalu memintanya untuk memetik sekeranjang penuh bunga morea untuk diletakkan di seluruh penjuru rumah.
Ibundanya selalu berkata bahwa bunga morea bisa disebut dengan bunga kelahiran Minerva. Sang Ibu juga bercerita bahwa pada malam Minerva dilahirkan, seolah menjadi takdir, serumpun raksasa bunga morea tumbuh mekar di depan jendela kamar tempat Minerva lahir, memenuhi seluruh ruang malam dan menghembuskan aroma harum nan memikat yang meliputi seluruh tubuh Minerva dan melindunginya.
Minerva tidak mengerti maksud ibundanya dengan perkataan ‘aroma nan melindungi’, tetapi dia berpikir mungkin saja aroma bunga itu menyamarkan bau bayi yang baru lahir dari incaran binatang buas yang memiliki penciuman tajam.
Hingga sampai dengan sekarang, di ulang tahunnya yang ke sembilan, ibunya masih melakukan ritual yang sama, menebarkan bunga morea ke seluruh penjuru rumah untuk mengenang masa lalu dan juga memberikan perlindungan bagi Minerva.
Entah kenapa, mungkin hanya halusinasi anak-anak yang terbawa oleh cerita dongeng, Minerva selalu merasa bahwa aroma bunga morea memang selalu melingkupi dirinya, tercium samar meski tak kentara sepanjang tahun dan menenangkan hatinya. Mungkin hanya Minerva sendiri yang bisa mencium aroma tersebut, tetapi ketika dia menceritakan hal itu dengan polos kepada ibundanya, Sang Ibu hanya tersenyum, mengelus kepalanya lembut dan berkata bahwa aroma itulah yang akan selalu menjadi penjaga dirinya.
Dan Minerva selalu mempercayai apa yang dikatakan oleh ibundanya. Karena itulah hatinya tenang, merasa selalu aman dan terlindungi.
Minerva hanya hidup berdua dengan ibunya, di sebuah rumah mungil yang terletak di ujung desa dan sedikit tersembunyi. Rumah itu diceritakan oleh ibundanya adalah peninggalan dari ayahnya yang telah pergi ke dunia keabadian karena menderita sakit tak tersembuhkan. Dibangun dari kayu keras dan bebatuan sebagai pondasi dasar yang disusun rapi dengan pasak kuat sehingga tetap kokoh berdiri meskipun usianya bahkan lebih tua dari usia Minerva sendiri.
Untuk menghidupi mereka berdua, ibundanya bekerja sebagai Dayana. Dayana adalah sebutan penduduk desa bagi perempuan-perempuan yang pandai meramu obat dan memiliki keahlian spesial untuk membantu perempuan melahirkan. Banyak bayi-bayi yang terlahir dengan selamat dengan bantuan ibundanya. Sebagai ganti jasa Sang Dayana, biasanya penduduk desa memberikan bahan makanan, rempah-rempah bahkan kadang hewan ternak yang bisa digunakan oleh mereka menyambung hidup.
Mereka hidup sederhana, tetapi tenang dan bahagia. Sejak kecil Minerva sudah diajari untuk hidup mandiri, karena memang mereka hanya hidup berdua. Kadang-kadang, ketika ibundanya harus pergi ke pedalaman nan jauh yang membutuhkan waktu beberapa hari untuk membantu perempuan desa melahirkan, dia tidak membawa Minerva dan meninggalkan Minerva sendirian di rumah.
Tetapi, meskipun usianya baru sembilan tahun, Minerva sudah sangat terlatih untuk anak seusianya. Dia sudah bisa menyalakan tungku perapian untuk menjerang susu hangat dan bubur gandum sendiri. Dan ketika ditinggalkan sendirian, Minerva juga tidak pernah lupa memasang palang pintu di malam hari untuk melindungi diri dari apapun yang ada di kegelapan luar sana. Minerva termasuk anak yang cerdas, mandiri dan mudah menyerap pelajaran apapun.
Mungkin karena ibunya telah mendidik dirinya dengan baik, mungkin pula karena kesadaran Minerva sendiri bahwa mereka berdua harus bisa saling mengandalkan satu sama lain.
Rambut Minerva yang kini telah berwarna hitam legam tampak setengah mengering, masih lembab tetapi sebentar lagi akan tergerai sempurna dengan indahnya. Aroma bunga morea yang khas sepertinya telah menyusup ke sana, membuat wanginya yang khas menguar dari seluruh tubuh Minerva.
“Apakah kau sudah siap?”
Suara pertanyaan lembut ibundanya yang khas membuat Minerva menolehkan kepala dan langsung tersenyum lebar. Ibunya tampak cantik, mengenakan gaun dari bahan oranye terang yang sama dengan pakaiannya, dan mengikat rambutnya ke atas dalam sanggul tinggi yang rapi, khas wanita pedesaan.
Sesuai dengan janji ibunya, di usianya yang kesembilan, Minerva boleh pulang sedikit malam dan bermain bersama teman-temannya di pesta perayaan panen dan kesuburan yang sangat meriah malam ini. Orang-orang dewasa akan sibuk menyantap makanan, berpesta, menari dan berdansa dengan suara riuh rendah. Sementara anak-anak akan berkumpul di sebuah lapangan khusus yang menyatu dengan tempat pesta, bermain bersama dan saling bercanda di tengah terangnya cahaya bulan yang seolah ikut menatap pesta mereka dengan senang hati dari kejauhan.
Ulang tahun Minerva memang selalu bersamaan dengan pesta panen, dan pada ulang tahun- ulang tahunnya yang sebelumnya, Minerva diperbolehkan ikut datang ke pesta, tetapi diharuskan mengikuti kemana ibundanya pergi. Tangan Sang Ibu akan selalu menggenggam tangan Minerva erat, tidak membiarkan anak gadisnya lepas dari pegangan. Kemudian, biasanya Sang Ibu akan memilih pulang lebih cepat, meninggalkan pesta yang tengah berlangsung dengan alasan Minerva yang masih kecil harus mematuhi jam tidurnya dengan tepat.
Malam ini berbeda. Ibunya jelas mengatakan bahwa Minerva bebas bermain dengan anak-anak lain di lapangan, dan yang lebih menyenangkan, mereka boleh pulang lebih malam dari biasanya. Itu berarti malam ini Minerva akan lebih puas bermain bersama teman-temannya. Lyra dan Nimedes mengatakan bahwa mereka berdua sudah menunggunya di sana dengan teman-temannya yang lain, dan mereka akan melakukan permainan melompat dan berdansa serta petak umpet yang menyenangkan. Hal itulah yang membuat Minerva tidak sabar untuk segera pergi ke pesta.
Didongakkannya kepalanya, matanya yang bening dan telah berubah gelap sekarang berbinar terang dengan kepolosan anak-anak yang menggemaskan. Lalu Minerva menganggukkan kepala kuat-kuat penuh semangat untuk menjawab pertanyaan ibundanya.
“Aku sudah siap, Ibu.” serunya dengan suara tak kalah bersemangat.
Senyum Minerva menular ke bibir Sang Ibu. Perempuan itu lalu mengambil jaket tebal dari wool kulit domba ternak yang ditenunnya sendiri dan memakaikannya ke tubuh Minerva yang mungil. Setelah itu, tangannya terulur untuk menggenggam tangan mungil Minerva dan mengajaknya keluar rumah kayu sederhana mereka.
Ibu dan anak itu kemudian berjalan menyusuri jalan setapak, menuju hiruk pikuk pesta yang telah menanti.
***
Malam sudah beranjak semakin larut ketika Minerva berlari ke pinggir lapangan dengan napas terengah. Dia hendak mengambil air minum berupa cairan segar dari nektar bunga dan madu manis yang khusus diramu untuk anak-anak yang mengikuti pesta. Minuman untuk kaum dewasa dan anak-anak memang dibedakan, bagi kaum dewasa, disediakan berbagai jenis anggur dan fermentasi buah-buahan yang mengandung alkohol, sedangkan untuk anak-anak, tersedia limun jeruk maupun madu manis yang diletakkan dalam mangkuk besar warna-warni nan khas.
Mereka semua telah memainkan segala permainan anak-anak yang bisa mereka lalukan di bawah sinar bulan di tengah lapangan berumput empuk yang menyenangkan. Udara malam nan dingin sama sekali tidak mengganggu karena mereka sibuk bergerak kesana kemari, melempar, melompat, saling mengejar bahkan bersembunyi dan mencari dalam permainan yang mereka mainkan dengan hati riang seolah tanpa ujung.
Pada akhirnya, ketika anak-anak beristirahat sejenak dengan mencari orang tua mereka masing-masing dan duduk bersama mereka mengelilingi api unggun nan hangat sambil mendengarkan orang dewasa bercakap-cakap dengan riang, Minerva memilih untuk menuju meja minuman dan mengambil minuman nektar bunga dan madu kesukaannya dengan gelas besar yang telah disediakan.
Keringat masih membasahi dahi Minerva, hasil dari gerakan berlarinya barusan, beruntung sebelum bermain tadi, Minerva sempat menguncir rambut hitam panjangnya dengan gaya ekor kuda sehingga dia tidak terlalu gerah. Lagipula, udara malam yang menghembuskan angin sepoi-sepoi cukup membantu untuk membuat keringatnya mengering dengan cepat.
Minerva meneguk minumannya dalam satu tegukanbesar, lalu melatakkan gelasnya yang telah tandas di keranjang khusus untuk bekas makanan dan minuman kotor. Seusai pesta nanti, para perempuan desa yang ditugaskan membereskan sisa pesta, akan mengambil gelas dan piring kotor tersebut dan menucinya sampai bersih.
Seluruh penduduk desa sudah terbiasa melaksanakan perayaan panen ini dengan terkoordinasi dan rapi, karena itulah, esok pagi ketika matahari menyapa dan sinar terangnya menjejak tanah untuk mengecupinya dengan kehangatan, tempat diadakan pesta ini sudah terlihat beres, bersih seolah-olah tidak ada pesta besar-besaran sebelumnya. Segala macam peralatan akan dibereskan malam itu juga, pun dengan sampah dan bekas perapian, semuanya akan dibersihkan tanpa tersisa hingga esok hari ketika penduduk desa melakukan rutinitas keseharian mereka, segala sesuatu sudah tampak sama seperti hari-hari sebelumnya.
Mata Minerva menyapu ke sekeliling hiruk pikuk pesta, mencoba menembus kumpulan orang dewasa yang asyik berdansa dengan iringan musik dari kelompok penyanyi dan pemain musik yang memainkan lagu-lagu riang. Ketika tidak menemukan apa yang dicarinya, matanya menyasar ke arah sekelompok besar manusia yang duduk mengelilingi api unggun dengan percakapan riuh rendah yang memenuhi udara. Tetapi dia tidak bisa menemukan sosok ibundanya.
Dimana ibundanya?
Tadi sebelum melepaskan Minerva untuk pergi ke lapangan dan bermain bersama anak-anak seusianya, Sang Ibu berpesan jika Minerva sudah selesai, maka dia tinggal menunggu ditempat minuman anak-anak disediakan dan Sang Ibu akan menemukannya. Tetapi sekarang Minerva sudah selesai minum dan sosok ibunya belum ada.
Minerva mendongakkan kepala, menatap ke atas langit dan menemukan bulan yang bersinar terang benderang yang membuat suasana pesta tampak cerah meskipun pencahayaan mereka minim.
Mungkin memang belum terlalu malam dan ibundanya sedang asyik menikmati pesta bersama penduduk desa lainnya…
Suara anak-anak kecil yang telah kembali berkumpul di lapangan untuk kembali bermain terdengar menyambar ke telinga Minerva, membuat pencariannya akan Sang Ibu teralihkan
Minerva menghela napas panjang, lalu memutuskan untuk kembali menuju lapangan ke tempat anak-anak bermain tadi. Dia akan bermain lebih lama lagi, sedikit lebih malam lagi dan kemudian setelah puas akan kembali menunggu ibunya di tempat ini.
***
Dadilja baru saja melangkahkan kaki dengan wujud aslinya ke bagian atas langit. Di area ini, terdapat istana mungil yang penuh bunga bermekaran yang sangat indah menggetarkan hati dan memanjakan mata. Tempat ini adalah istana khusus yang digunakan sebagai tempat tinggal Dadilja. Dia adalah Sang Dewi pemelihara, yang ditakdirkan untuk menggantikan tugas Dewa Atspere atau sekarang lebih dikenal dengan nama Yazza, Sang Dewa Kematian.
Sesuai dengan tugas yang diembannya sebagai Dewi pemelihara, tempat ini mencerminkan wujud pemeliharaan yang nyata. Segalanya serba indah, serba terawat dan begitu damai. Dadilja memang selalu memberikan berkatnya pada makhluk hidup baik hewan, manusia yang bernyawa maupun berbagai jenis tumbuhan yang menyelimuti bumi dengan segala keanekaragaman dan keindahannya. Itu adalah tugasnya.
Karena itulah Dadilja tidak bisa menolak permintaan untuk melindungi anak kecil yang menanggung takdir mengerikan, dibunuh sampai seratus kali sampai tidak bisa terlahirkan kembali hanya karena sebuah ramalan yang belum terwujud bahwa anak itu akan menjadi kunci penghancur Dunia Ametyst.
Mengemban tugas rahasia untuk menyamar ke dunia manusia dan menjadi manusia demi melindungi Minerva sampai batas usianya yang keempat belas tahun, membuat Dadilja sangat jarang mengunjungi tempat tinggal ini ini. Beruntung hal itu tidak membuat yang lain curiga, terutama Asaka Sang Alam Semesta yang harus dihindarinya, karena ada kekuatan yang lebih tinggi dan lebih kuat yang menjaganya, membuat para dewa lain mengira bahwa dia sedang menjalankan tugas pemeliharaan ke seluruh penjuru bumi untuk mempercantik Dunia Ametyst.
Dadilja memejamkan mata sejenak sebelum kemudian memusatkan diri untuk menghirup aroma manis nan menyenangkan yang dirindukannya. Aroma ini adalah aroma khas dunia langit, tempat tinggal para dewa yang murni dari segala hal yang menyangkut kemanusiaan, seperti tempatnya berkutat selama ini.
Lalu sebuah aroma lain menyeruak ke dalam inderanya, aroma kegelapan yang bertolak belakang dengan pembawaan dirinya, hingga membuat Dadilja membuka mata dengan waspada dan menoleh ke arah sumber kecurigaannya.
Tebakannya benar, Vejas Sang Dewa Perusak sedang berdiri agak jauh di depannya. Lelaki itu berteduh di bawah pohon besar yang menjulang serupa gerbang raksasa menuju istana mungil Dadilja yang indah.
Mata Dadilja mengawasi sosok Vejas, lalu beralih ke pemandangan di sekeliling Vejas hingga keningnya berkerut semakin dalam. Vejas adalah Dewa Perusak, sebuah kekuatan yang bertentangan dengan Dadilja yang merupakan Dewi Pemelihara. Ketika Dadilja ditakdirkan menjaga apapun yang ada di dalam Dunia Ametyst, terutama makhluk hidup, dan memeliharanya supaya terhindar dari kerusakan, Vejas melakukan yang sebaliknya, Sang Dewa Perusak akan menghancurkan apapun yang perlu dihancurkannya atas nama keseimbangan.
Ya, atas nama keseimbangan. Karena terang akan selalu diseimbangkan oleh gelap, panas selalu diseimbangkan oleh dingin, kebaikan akan selalu diseimbangkan oleh kejahatan, pun dengan pemeliharaan yang harus diseimbangkan dengan perusakan. Semua fungsi baik yang terlihat baik maupun jahat, semua memegang peranan penting untuk perputaran Dunia Ametyst, demi menjaga keseimbangannya supaya tidak terjatuh di satu sisi karena berat sebelah.
Dadilja mengamati bunga-bunga yang tertunduk layu seolah ketakutan dengan kehadiran Vejas. Sebagai Dewa Perusak, para makhluk hidup, bahkan serangga kecil yang hampir tak kasat mata, selalu melayu dan menunduk takut kepadanya. Mereka semua takut dihancurkan dan dirusak oleh Sang Dewa Perusak yang seolah selalu membawa kerusakan yang selalu mengikuti bagaikan bayangan. Hal itu membuat Dadilja cemberut dan menunjukkan hal itu terang-terangan di depan Vejas.
“Apa yang kau lakukan di area istanaku ini? Tidak tahukah kau bahwa tempat ini penuh dengan berkat pemeliharaan dan kau bisa memudarkan berkat ini hanya dengan kehadiranmu?”
Suara pertanyaan Dadilja yang ketus itu tidak memancing kemarahan atau rasa tersinggung Vejas. Dirinya terlalu senang bisa melihat wajah Dadilja kembali setelah rentang waktu lama yang terasa begitu panjang. Kalangan para dewa mengetahui bahwa Dadilja tengah mengemban tugas untuk melakukan pembaharuan keindahan dan pemeliharaan menyeluruh di dunia manusia, yang menyebabkannya hanya bisa pulang ke dunia langit setahun sekali pada saat-saat seperti ini. Biasanya Dadilja baru akan tiba di istananya ketika larut malam menjelang dini hari, sehingga Vejas akan menghabiskan waktu cukup lama untuk menunggu. Tetapi entah kenapa kali ini, larut malam bahkan belum menjelang, tetapi Dadilja sudah datang.
Vejas memang sengaja menunggu di tempat ini, didorong oleh perasaan rindu yang tak pernah terungkapkan karena keadaan. Ya, baik Vejas maupun Dadilja sendiri, diketahuinya sama-sama menyimpan perasaan tertarik satu sama lain. Tetapi mereka menahan rasa itu sekuat tenaga. Bukan karena cinta mereka yang terlarang, tetapi karena keadaan merekalah yang tak memungkinkan untuk bersatu.
Dadilja adalah dewa pemelihara, dimana apa yang disentuhnya atau terkena berkatnya akan selalu terjaga dalam lestari, sementara Vejas adalah apa yang menjadi kebalikan dari diri Dadilja, sebagai Dewa Perusak, sudah ditakdirkan bahwa berkatnya adalah merusak serta mematikan benda-benda.
Akan lebih mudah jika Vejas jatuh hati kepada Dewi yang sejalan dengannya misalnya Dewi Slimiba, Sang Dewi racun dan penyakit. Tetapi, selain Dewi Slimiba sudah menjadi pasangan takdir dari Kars Ulthor Sang Dewa Perang yang melengkapinya, hati Vejas sudah terlanjur terpaku pada tempat yang salah, pada Dewi Dadilja Sang Dewi Pemelihara.
Karena itulah, meskipun tahu bahwa mereka tidak akan bisa bersatu, Vejas menjaga hatinya tetap setia. Sebab hanya dengan melihat Dewi Dadilja saja hatinya sudah bahagia. Vejas yakin bahwa Dewi Dadilja menyimpan rasa yang sama dengannya, dan karena berada dalam dilema yang sama, Sang Dewi memilih bersikap memusuhi untuk melindungi hatinya. Karena itulah Vejas sama sekali tidak pernah merasa tersinggung dengan sikap ketus Sang Dewi yang dia yakin hanyalah di permukaan saja.
“Aku menduga bahwa kau akan pulang hari ini ke dunia langit meskipun hanya sebentar. Dan aku sengaja menunggumu untuk melihat wajahmu.” Vejas menjawab dengan jujur. Yah, meskipun Dewi Dadilja memilih menutupi perasaannya sekuat tenaga, Vejas memilih melakukan yang sebaliknya. Dia tidak pernah menutupi perasaannya dan membiarkan seluruh dunia melihatnya.
Perkataan Vejas membuat Dadilja ternganga sejenak sementara pipinya sedikit memerah, tetapi Sang Dewi berhasil memasang ekspresi datar bercampur curiga sebagai benteng dirinya.
“Dan apa tujuanmu melihat wajahku?” tanya Dewi Dadilja dengan tatapan menyelidik.
Vejas terkekeh, lalu dengan sengaja melangkah meninggalkan pohon besar tempatnya tadi bersandar serta meunggu. Seketika itu juga, ketika bayangan dirinya melepaskan naungan dari bebungaan di sekitar kakinya, bunga-bunga yang tadi menunduk serta melayu kembali tegak berseri-seri seolah-olah lega telah dilepaskan dari bayangan Sang Dewa Perusak yang mengerikan.
“Karena aku merindukanmu. Kau hanya kembali ke dunia langit setahun sekali disebabkan oleh tugasmu di dunia manusia. Aku sudah mencarimu di dunia manusia, tetapi penyamaranmu sungguh bagus hingga aku tidak bisa menemukanmu. Satu-satunya harapanku adalah melihatmu di tempat ini, meskipun hanya sejenak, setahun sekali.”
Perkataan Vejas adalah sepenuhnya rayuan yang dimaksudkan membuat wajah Dewi Dadilja menjadi merah tersipu malu. Tetapi rupanya ada kalimat yang membuat Dewi Dadilja terkejut hingga ekspresinya malahan berubah semakin waspada, sementara langkahnya mundur seolah menjaga diri agar Vejas tidak mendekatinya.
“Kau… kau mencari penyamaranku di dunia manusia?” seru Dewi Dadilja kemudian.
Vejas mengerutkan kening mendengar pertanyaan itu. Bibirnya yang sudah mengumpulkan kalimat lembut rayuan berikutnya menutup, menelan kembali seluruh kata-kata yang hendak dilemparkannya kepada wanita pujaan hati. Mata tajamnya menelusuri seluruh ekspresi wajah Dewi Dadilja dengan ketidakmengertian yang pekat.
“Memangnya apa yang salah dengan aku mencari penyamaranmu di dunia manusia? Seorang Dewa ataupun Dewi akan selalu menyamar ketika berada di dunia manusia, bukan? Dan kau bukanlah pengecualian. Kebetulan beberapa waktu yang lalu aku sedang melakukan tugas untuk membereskan sisa pertikaian di beberapa wilayah dunia manusia dan aku berpikir untuk mencarimu, sayangnya aku tidak bisa menemukanmu. Kau pasti sedang melakukan tugas di tempat yang jauh hingga aku tidak bisa mengendus keberadaanmu.”
Dadilja menelan ludah untuk menenangkan diri. Dia tahu pasti bahwa Vejas tidak bisa menemukan dirinya, bukan karena mereka berada berjauhan, tetapi karena ada kekuatan besar yang melindunginya hingga bahkan para dewa kelas tinggi pun tidak akan bisa menemukannya. Beruntung selama ini apa yang dilakukannya tidak mencolok dan tugas yang dilakukannya di dunia manusia dipandang sebagai tugas keseharian biasa, hingga Asaka, Sang Alam Semesta yang ditakutinya tidak akan repot-repot mengintip keberadaan Dadilja melalui bejana takdir yang menentukan.
Sebab jika Sang Alam Semesta tiba-tiba terpikir untuk menemukan Dadilja dengan bejana takdir dan tidak bisa menemukannya, Asaka yang cerdas akan menaruh kecurigaan. Sebab hanya kekuatan yang lebih tinggi yang bisa menutup pengelihatan bejana takdir. Karena itulah Dadilja berusaha supaya dirinya tidak mencolok, hingga luput dari pengawasan Asaka.
Sayangnya Dadilja lupa bahwa ada dewa lain yang menaruh perhatian lebih dari Sang Alam Semesta. Dewa itu adalah Vejas, yang selama ini terang-terangan menunjukkan perhatian padanya, sudah tentu akan mencarinya ketika Sang Dewa Perusak sedang ada di dunia manusia. Dadilja akan lebih berhati-hati di masa depan, dia harus membicarakan ini nanti. Tetapi, sekarang sebaiknya dia berusaha mengalihkan perhatian Vejas terlebih dahulu.
“Aku sedang melakukan tugas pemeliharaan ke seluruh penjuru Dunia Manusia. Aku selalu bergerak dari satu tempat ke tempat yang lain, mungkin karena itulah kau tidak menemukanku. Lagipula kau tidak boleh dekat-dekat denganku di dunia manusia. Bisa-bisa seluruh berkat pemeliharaan yang kuanugerahkan dengan susah payah kepada makhluk hidup di sana, menjadi luntur dengan kehadiranmu.” jawab Dadilja dengan cepat.
Vejas langsung terkekeh karenanya. Berkebalikan dengan takdirnya sebagai Dewa Perusak, sifat Vejas memang selalu hangat dan menyenangkan. Tidak ada kemuraman mengerikan seperti halnya julukannya, yang ada malahan kedamaian menyenangkan yang mengecoh hingga kadang-kadang Dadilja berpikir bahwa Vejas tidak cocok menyandang tugas sebagai dewa yang membawa kerusakan.
“Karena itulah aku memilih menemuimu di sini.” suara Vejas berubah lembut penuh perhatian, dan itu membuat Dadilja lega karena perhatian Sang Dewa Perusak pada keberadaannya di dunia manusia telah teralihkan, “Bagaimana keadaanmu? Apakah kau akan segera pergi lagi? Berapa lama lagikah kau menjalankan tugasmu di dunia manusia?” tanya Vignya kemudian.
Dadilja menelan ludah sekali lagi, berusaha memikirkan kata-kata yang pas yang bisa membuat Vejas puas dan tidak bertanya-tanya lagi.
“Aku hanya mampir sebentar di sini karena aku harus berkeliling ke dunia manusia kembali untuk membagikan berkat pemeliharaan. Kau tahu bahwa tugas ini masih membutuhkan waktu bertahun-tahun lamanya.” jawabnya dengan suara tenang terkendali, berusaha meyakinkan Vejas supaya bisa pergi dengan puas hati.
Ekspresi Vejas meredup mendengar jawaban Dadilja lalu Sang Dewa perusak menganggukkan kepala.
“Kalau begitu aku akan mengunjungimu lagi nanti di waktu yang sama, setahun lagi. Sampai tugasmu selesai. Setelah itu…” suara Vejas terhenti sejenak dan lelaki itu malahan menatap Dadilja dengan pandangan misterius, membuat Sang Dewi mengerutkan keningnya bingung.
“Setelah itu apa?” tanya Dadilja kemudian ketika Vejas tak segera memecah keheningan di antara mereka.
Vejas tersenyum, melangkah mendekat ke arah Dewi Dadilja hingga berdiri tepat di depannya. Kepalanya menunduk, menatap Sang Dewi dengan sayang sebelum kemudian membungkuk untuk memberikan kecupan di pucuk rambut Dadilja.
“Kau akan tahu nanti.” bisik Vejas serak ketika melepaskan kecupannya, “Sampai bertemu setahun lagi di tempat ini,” sambung Vejas kemudian, lalu tubuhnya memudar dan menghilang tersapu kabut dari tempat itu hingga Dadilja tidak bisa merasakan keberadaannya lagi.
Dadilja masih termenung beberapa saat sebelum kemudian mengerjap dan menyadari bahwa dia telah menghabiskan waktu untuk melamun di halaman istananya sendiri. Perkara Vejas akan dipikirkannya nanti, sebab saat ini ada sesuatu yang lebih penting. Sesuatu yang membuatnya pulang ke dunia langit ke dalam istananya setahun sekali.
Dadilja segera mempercepat langkahnya dan memasuki ruang istananya yang indah berkilauan penuh dengan cahaya warna warni. Tetapi Dadilja tidak sempat mengagumi keindahan tempatnya itu, apalagi bernostalgia. Langkahnya semakin cepat ketika dia membuka sebuah pintu kecil yang sebelumnya tak terlihat di ujung lorong istananya. Pintu itu menghubungkan sebuah tangga sempit menuju ruang bawah tanah yang gelap, sedikit pengap dan bertolak belakang dengan keindahan warna warni di bagian atas istana kecilnya.
Dadilja terus melangkah hingga sampai di ujung tangga terbawah. Di sana matanya langsung menemukan apa yang telah diduganya. Sosok agung itu mengenakan jubah merah tertutup yang tidak mencolok dan tengah menunggunya sambil memunggungi Dadilja.
Ketika sosok itu menoleh dan membalikkan tubuh menghadap ke arah Dadilja, seketika itu juga Sang Dewi Pemelihara langsung merosot turun, jatuh berlutut di lantai dengan khidmat dan penuh hormat.
“Mohon maaf telah membuat Anda menunggu, wahai Dewi Armenia yang terhormat.” bisik Dadilja sambil menundukkan kepala serendah mungkin, memberikan rasa hormatnya kepada perempuan dengan kedudukan tertinggi di Dunia Ametyst.
***
Ketika Yazza menjejakkan tubuhnya ke dunia manusia, dia langsung mengganti tampilannya supaya menyaru dengan manusia biasa. Penampilan aslinya sebagai seorang dewa terlalu mencolok dan sudah pasti akan membuat manusia-manusia yang kebetulan menatapnya akan menoleh kembali dengan tatapan terpana karena sosok seperti dirinya tidak pernah terlihat sebelumnya dari mata biasa mereka yang fana.
Warna rambut Yazza berubah hitam, masih panjang tergerai dengan matanya yang semula terang menjadi sedikit menggelap. Jubahnya yang panjang berganti dengan pakaian biasa warna oranye terang seperti pakaian penduduk pada umumnya, tetapi Yazza menambahkan mantel gelap yang cukup tebal yang biasanya dipakai oleh pemburu berkuda.
Malam ini adalah malam perayaan panen di seluruh penjuru Dunia Ametyst. Perayaan yang diadakan sejak ratusan tahun lalu untuk bersyukur atas anugerah para dewa yang memberkati tanaman mereka sehingga selalu menghasilkan panen raya yang berlimpah. Dan Yazza datang ke tempat ini bukannya tanpa tujuan.
Dirinya begitu putus asa mencari anak perempuan ke seratus itu untuk segera dituai sebelum waktunya habis. Ini sudah sembilan tahun, hanya tinggal lima tahun lagi yang menentukan apakah Yazza akan terbebas dari hukuman, atau jatuh dalam kutukan kegelapan selamanya. Dan sekarang, dalam keputusasaannya, Yazza berharap bisa mengendus setitik saja jenak anak perempuan itu untuk menemukan petunjuk.
Malam ini seluruh penduduk berkumpul tanpa terkecuali. Wanita-wanita, kaum laki-laki, anak-anak yang sibuk bermain, bahkan bayi-bayi yang baru dilahirkan yang dipeluk erat dalam gendongan ibunya masing-masing. Semuanya berkumpul untuk merayakan pesta tanpa terkecuali.
Yazza telah mengunjungi pesta-pesta perayaan panen lainnya di seluruh penjuru Dunia Ametyst tanpa petunjuk, dan ini adalah tempat terakhir yang dikunjunginya.
Jika nanti dia tidak bisa menemukan petunjuk juga, bagaimana dia akan menemukan anak ke seratus itu? Apakah mungkin anak itu ternyata tidak dilahirkan kembali di dunia manusia seperti yang diramalkan oleh Asaka?
Akan menjadi lebih sulit jika anak itu dilahirkan di dunia langit, misalnya. Apalagi menjadi anak para dewa. Sebab ada aturan khusus yang melarang pembunuhan anak para dewa ataupun keturunannya. Selain itu, kekuatan Yazza sebagai Dewa Kematian pencabut nyawa, hanya mencakup kekuatan untuk mencabut dan menuai nyawa kaum manusia. Yazza tentu tidak ingin dihadapkan pada takdir membunuh kaum dewa kembali, itu sama saja mengulang dosa lama sebab sudah dua dewa yang mati di tangannya dengan hukuman kutukan nan berat dan mengerikan. Dengan membunuh kaum dewa kembali, sama saja Yazza akan terjebak dalam lingkaran hukuman serta kutukan yang tak berujung.
Yazza memandang sekeliling, ke tengah hiruk pikuk pesta dan menyadari bahwa meskipun penampilannya sudah mirip manusia, dia tetap saja tidak bisa membaur. Langkah kakinya kemudian membawanya untuk berlindung di bawah bayangan pepohonan di samping lapangan datar nan terang, berusaha supaya tidak mencolok.
Yazza memutuskan untuk menghabiskan sisa malamnya di sini dan mengamati dengan hati-hati sambil berusaha menemukan petunjuk. Jika nanti dia tidak menemukannya, barulah Yazza akan menemui Asaka untuk mengatakan keraguannya bahwa anak perempuan yang keseratus itu kemungkinan besar tidak dilahirkan di dunia manusia, sebab Yazza tidak bisa mengendus keberadaannya di tempat ini. Asaka mungkin akan memberikan bantuan dan sama bertanya-tanyanya dengan Yazza, tetapi setidaknya ada jalan lain dimana mereka bisa melangkah maju bukannya berjalan di tempat seperti ini padahal waktu mereka sudah hampir habis.
Mata Yazza terpaku ke arah anak-anak yang sedang bermain di lapangan, mereka semua tampak berpencar hingga tersisa satu anak yang tampak mencari-cari dengan penuh semangat. Bibir Yazza mengulaskan senyum tipis ketika menyadari bahwa anak-anak itu sedang bermain petak umpet dimana salah satu bertugas mencari sementara yang lainnya berpencar dan bersembunyi dalam waktu yang ditentukan sampai anak yang bertugas mencari menemukan mereka satu-persatu atau bahkan menyerah karena tidak bisa menemukan yang bersembunyi.
Pemandangan itu menimbulkan ironi di benak Yazza. Situasi anak yang bertugas mencari itu seperti dirinya, yang terus berusaha menemukan petunjuk dengan putus asa hingga sampai di satu titik pasrah pada takdir.
Akankah dia bernasib baik dan menemukan apa yang dicarinya? Ataukah dia kalah seperti dalam permainan anak-anak itu hingga menyerah sampai batas waktu yang ditentukan?
Mata Yazza memindai seluruh area, menemukan lokasi persembunyian anak-anak itu satu demi satu. Bahkan anak yang bertugas mencari itupun tidak lolos dari pemindaiannya. Sayangnya, meskipun usia anak-anak itu cocok, tidak ada satupun dari mereka yang membangunkan insting Yazza akan petunjuk keberadaan anak yang keseratus. Mereka semua tidak cocok.
Yazza menggeserkan tubuh, hendak pergi dari bawah pohon tempatnya berdiri dan melangkah pergi ke area lain yang lebih banyak penduduk dan berharap menemukan anak-anak lain berusia sembilan tahun yang memiliki ciri anak ke seratus yang dicarinya, tetapi sebuah suara menahan tubuhnya bergerak lebih lanjut. Suara seorang anak-anak yang polos yang anehnya, sama sekali tidak disadari keberadaannya oleh Yazza padahal posisi mereka begitu dekat.
“Kumohon bantuan Anda. Jangan bergerak sebentar saja. Aku sedang bersembunyi di balik bayangan tubuh Anda supaya anak yang bertugas mencari itu tidak menemukanku.”
Suara itu penuh permohonan seperti kata-kata yang diucapkannya. Yazza mengawasi dengan waspada, masih terkejut akan kenyataan bahwa dia lengah dan tidak menyadari kehadiran anak itu. Matanya menyapu sosok mungil bertubuh kurus dengan rambut dan mata hitam pekat yang menatapnya polos. Anak kecil itu berdiri di sisi belakang pohon tempat Yazza berdiri sejak lama, dan kemudian, aroma lembut bunga ungu langsung menyapa indra penciuman Yazza dengan sapaan yang keras dan bersemangat
Bersambung ke Part berikutnya
[/responsivevoice]
Follow instagram @projectsairaakira untuk mendapatkan pengumuman/pemberitahuan jika kebetulan web sedang eror atau tidak bisa diakses.
- 🔐Reaper’s Destiny Part 57: Hukuman Berat ( Baca gratis 04 Mei 2023 | Baca sekarang dengan 21 PSA Point)
- 🔐Reaper’s Destiny Part 56: Tersangka Utama ( Baca gratis 27 April 2023 | Baca sekarang dengan 21 PSA Point)
- 🔐Reaper’s Destiny Part 55: Badai Petir Merah ( Baca gratis 20 April 2023 | Baca sekarang dengan 21 PSA Point)
- 🔐Reaper’s Destiny Part 54: Malam Penyatuan ( Baca gratis 13 April 2023 | Baca sekarang dengan 21 PSA Point)
- 🔐Reaper’s Destiny Part 53: Sihir Kulsu Emas ( Baca gratis 06 April 2023 | Baca sekarang dengan 21 PSA POIN)
- Reaper’s Destiny Part 52: Buah Pengikat Jiwa
- Reaper’s Destiny Part 51: Persiapan Pesta Pernikahan
- Reaper’s Destiny Part 50: Air Mata
- Reaper’s Destiny Part 49: Pesan Selamat Tinggal
- Reaper’s Destiny Part 48: Kabar Pernikahan
- Reaper’s Destiny Part 47: Lentera Hitam
- Reaper’s Destiny Part 46: Musuh Tersembunyi
- Reaper’s Destiny Part 45: Sosok Asing
- Reaper’s Destiny Part 44: Teman Dansa
- Reaper’s Destiny Part 43: Aku Milikmu
- Reaper’s Destiny Part 42: Kobaran Cemburu
- Reaper’s Destiny Part 41: Rencana Satu Tahun
- Reaper’s Destiny Part 40: Budak Ketampanan
- Reaper’s Destiny Part 39: Permintaan Menikah
- Reaper’s Destiny Part 38: Setelah Lima Tahun
- Reaper’s Destiny Part 37: Menjejak Bumi
- Reaper’s Destiny Part 36: Sirelis dan Moses
- Reaper’s Destiny Part 35: Tunangan Minerva
- Reaper’s Destiny Part 34: Ayah Pelindung
- Reaper’s Destiny Part 33: Bangkit Berubah
- Reaper’s Destiny Part 32: Murka Azhura
- Reaper’s Destiny Part 31: Selamat Tinggal
- Reaper’s Destiny Part 30: Tanda Kematian
- 🆓Reaper’s Destiny Part 29: Berubah Pikiran
- 🆓Reaper’s Destiny Part 28: Penglihatan Buruk
- Reaper’s Destiny Part 27: Apakah Sepadan?
- Reaper’s Destiny Part 26: Permintaan Kesepakatan
- Reaper’s Destiny Part 25: Tamu Penting
- Reaper’s Destiny Part 24: Sumpah Minerva
- Reaper’s Destiny Part 23: Pilihan Yazza
- Reaper’s Destiny Part 22: Perbedaan Penglihatan
- Reaper’s Destiny Part 21: Api Ungu
- Reaper’s Destiny Part 20: Cara Lain
- Reaper’s Destiny Part 19: Tuan Dewa Tampan
- Reaper’s Destiny Part 18: Mengubah Takdir
- Reaper’s Destiny Part 17: Perbandingan Usia
- Reaper’s Destiny Part 16: Anak Liar
- Reaper’s Destiny Part 15: Tak Sampai Hati
- Reaper’s Destiny Part 14: Makan Bersama
- Reaper’s Destiny Part 13 : Adu Cerdas
- Reaper’s Destiny Part 12 : Rasa Lapar
- Reaper’s Destiny Part 11 : Anak Perempuan Kuat
- Reaper’s Destiny Part 10 :Terperangkap
- Reaper’s Destiny Part 9 : Monster Mimpi
- Reaper’s Destiny Part 8 : Darah Pertama
- Reaper’s Destiny Part 7 : Kemerdekaan Membunuh
- Reaper’s Destiny Part 6 : Mencari Sekutu
- Reaper’s Destiny Part 5 : Kebenaran Tersingkap
- Reaper’s Destiny Part 4 : Wajah Sang Dewa Kematian
- Reaper’s Destiny Part 3 : Pertemuan Ke 100 ( bagian 2 )
- Reaper’s Destiny Part 2 : Pertemuan Ke 100 ( Bagian1 )
- Reaper’s Destiny Part 1 : Membutakan Sang Penuai
- Reaper’s Destiny Prolog
- Reaper’s Destiny Teaser
Loopee semua
Oh iya dewi pemelihara pengganti atspere itu dewi dadilja.
Wah…ternyata ada campur tangan dewi armenia, bagus.
Semoga takdir yazza & minerva berakhir baik & bahagia
Omg armeniaa ganyangkaaa… Akhirnya yazza ketemu minerva
Finally..
Omg