3201 words
© copyright 2017 @projectsairaakira seluruh karya di website ini telah didaftarkan dan dilindungi oleh hukum yang berlaku serta mengikat.
Dilarang meniru, menjiplak, mengubah nama tokoh, mengambil ide baik sebagian maupun keseluruhan isi cerita yang berada di dalam website ini. Jika Anda menemukan plagiat karya kami di wattpad, mari bantu dengan melakukan report copyright voiolance pada pihak wattpad. Kami menyediakan hadiah dan komplimen menarik bagi laporan atau temuan dari vitamins menyangkut usaha plagiat baik keseluruhan maupun sebagian dari karya-karya ProjectSairaAkira yang dipublish di website ini, silahkan hubungi admin kami di [email protected] ^^
[responsivevoice voice=”Indonesian Female” buttontext=”Dengarkan cerita ini”]
Anak kecil itu tanpa dosa, tanpa pertahanan diri dan tanpa prasangka.
Yazza berdiri diam di bawah bayang-bayang pepohonan saat hari menjelang senja di Desa Swabi, salah satu desa kecil yang menjadi bagian dari kerajaan Garaya yang cukup makmur karena menjadi desa pertanian dengan tanaman gandum emas yang melimpah, cukup untuk memenuhi kebutuhan pangan separuh kerajaan Garaya.
Sebagian besar penduduk desa ini menjadi petani gandum, sementara para perempuan membantu suaminya dengan menjual hasil bumi di pasar. Sama seperti sebagian besar penduduk desa di kerajaan Garaya, mereka semua memakai pakaian sewarna orange terang yang memanjang untuk melindungi mereka dari pasir dan debu di siang hari yang panas.
Musim panen telah lewat dan musim kemarau datang menjelang. Pada masa-masa ini, penduduk desa telah menyimpan persediaan gandum emas di lumbung masing-masing. Lumbung itu ada di bagian belakang rumah seluruh penduduk desa, sebuah bangunan kayu beratapkan rumbia yang dibangun di bawah tiang-tiang tinggi untuk menjaga dari serangan amoa, sejenis tikus hutan yang dibenci kaum petani karena sering merusak dan memakan dan persediaan gandum mereka yang berharga. Amoa sangat gesit jika berada di atas permukaan tanah, tetapi hewan itu tidak bisa memanjat. Karena itulah lumbung yang berada di atas tiang tinggi tersebut cukup efektif untuk menahan serangan hama perusak itu.
Pada senja seperti ini, para wanita akan menutup jendela-jendela lumbung yang terbuka untuk mengalirkan udara supaya gandum keluarga mereka tidak lembab atau membusuk di tempat penyimpanan. Sepanjang siang gandum emas yang berharga tersebut diangin-anginkan sebelum kemudian disimpan di dalam ruang tertutup yang terlingkupi oleh udara dingin malam di luar lumbung.
Yazza masih berdiri di tempatnya semula. Tubuhnya yang mematung saat ini terlingkupi oleh jubah hitam bertudung panjang menyasar tanah, menyaru dengan bayangan senja yang telah mulai turun menyapa bumi, merayu Sang Mentari untuk pulang ke peraduan dan lelap dalam pelukan malam.
Kali ini, Yazza tidak perlu menghabiskan tenaga dan waktu untuk mencari yang satu ini. Nyawa ke sembilan puluh sembilan yang harus dituainya untuk memenuhi penggenapan hukuman atas dosa masa lampau yang harus ditebusnya.
Dahulu kala, ketika pertama kali memulai perburuan, Yazza membutuhkan waktu sedikit lebih lama karena dirinya belum terbiasa. Dia membutuhkan seluruh petunjuk yang bisa ditemukannya untuk menemukan nyawa ini, nyawa yang ditakdirkan untuk dia tuai dan dikirim ke dunia kematian yang kelam, nyawa yang diramalkan akan menjadi penentu kehancuran Dunia Ametyst. Dunia mereka, dunia yang menyatukan kemakmuran manusia dengan berkat yang dilimpahkan oleh para dewa.
Ketika menemukan nyawa yang kesatu, wujudnya masih anak-anak berusia lima tahun. Anak perempuan cantik dengan rambut ikal sewarna madu dengan mata senada. Anak itu memandangnya dengan senyum tanpa prasangkanya yang khas, seolah Yazza adalah sahabat dan bukannya makhluk jahat yang dikirim untuk menghabisi nyawanya. Pada tugas pertamanya, pergolakan batin itu begitu kuat, baginya, Seorang Dewa kematian yang ditugaskan menjemput nyawa-nyawa yang ditakdirkan untuk mati, menjemput jiwa murni kanak-kanak yang tak berdosa dengan mata lebarnya yang polos itu terasa begitu berat. Rasa belas kasihan mendominasi dirinya, belas kasihan pada seorang anak yang menanggung takdir begitu kejam, takdir menghancurkan Dunia Ametyst bahkan sebelum anak itu bisa memahami segala sesuatu yang berputar di roda kehidupannya.
Tetapi tugas adalah tugas. Pada akhirnya Yazza tidak memiliki kekuatan lain selain melakukan apa yang diperintahkan kepadanya. Dia meniupkan kabut angro mainu yang mematikan, jenis kabut lain yang tidak mencekik, tetapi menidurkan Sang Anak dengan halus hingga jiwa anak itu tertidur lelap, dalam kondisi melayang ketika dicabut dari tubuhnya. Hanya kebaikan hati itulah satu-satunya yang bisa dilakukan Yazza untuk menebus rasa bersalahnya karena telah merenggut jiwa anak yang tidak berdosa, menuai nyawa dalam kamuflase tidur lelap yang menyenangkan.
Setelah menuai yang pertama, tugas penuaian yang berikutnya terasa begitu mudah. Yazza mulai terbiasa, pun dia telah meningkatkan kemampuannya hingga tidak membutuhkan waktu lama untuk menemukan buruannya. Semakin muda dan tidak berdaya semakin baik. Yazza berusaha membunuh anak yang terlahir kembali berkali-kali tanpa menyerah itu ketika usia Sang Anak masih begitu belia, terlalu muda untuk membalas tatapan matanya dan menghantui malam-malamnya dengan rasa bersalah.
Sekarang, setelah ratusan tahun berlalu, Yazza akhirnya menemukan yang ke sembilan puluh sembilan. Tugasnya telah hampir selesai, penggenapan hukumannya telah hampir tercapai. Setelah dia menyelesaikan yang satu ini, maka tinggal satu lagi yang tersisa. Setelah itu, dia bisa menyelesaikan seluruh masa hukumannya yang menyiksa. Sang Alam Semesta menjanjikannya menjadi Dewa yang bebas setelah ini, sehingga Yazza bisa menjalani kehidupannya dalam damai, meskipun masih tenggelam dalam dunia kegelapan sebagai Sang Dewa Kematian.
Sang Ibu yang telah sejak tadi diamatinya tampak menggandeng seorang anak kecil yang berjalan tertatih tatih mengikuti langkahnya. Anak itu sama seperti yang sebelum-sebelumnya, berambut lebat sewarna madu, dan bahkan dalam senja yang meredupi langit saat ini, Yazza bisa menebak warna matanya yang serupa dengan madu berkilauan dan bening tanpa dosa. Membunuh yang sebelum-sebelumnya membuat Yazza memahami pola yang sama. Anak yang diramalkan sebagai penghancur Dunia Ametyst itu selain memiliki ciri fisik yang sama persis, juga selalu terlahir sebagai anak perempuan pertama, dari seorang ibu muda dimana suaminya telah meninggal atau pergi meninggalkannya. Ya, anak ini seolah ditakdirkan menjadi teman ibunya yang sebatang kara. Sayangnya, karena Yazza selalu menuai anak ini di usianya yang masih sangat muda, maka hanya waktu singkatlah yang dapat dihabiskan oleh Sang Ibu yang malang ini dengan anaknya.
Pola yang sama itu mempermudah Yazza dalam pencariannya. Waktu demi waktu berlalu, semakin singkat waktu yang dibutuhkan oleh Yazza untuk menemukan perwujudan nyawa yang telahir kembali ini. Seperti anak yang sekarang ada di depan matanya, yang baru berumur setahun lebih sedikit.
Mata Yazza tak lepas mengawasi ketika Sang Ibu berjongkok di depan anaknya, memberi nasehat supaya anak itu duduk dan menunggu di dekat tiang besar yang menyangga lumbung gandum, tepat di dekat tangga yang menuju atas.
Seperti dugaan Yazza, Sang Ibu hendak naik ke atas untuk menutup pintu dan jendela lumbung, melakukan tugas harian yang harus dilakukannya sebelum malam menjelang, menjaga supaya persediaan gandum di lumbungnya tetap dalam kualitas yang baik. Sang Ibu hanya hidup berdua dengan adik laki-lakinya yang bertugas mengolah ladang, sementara anak kecil ini terpaksa dibawa kemana-mana karena tidak ada yang mengasuh.
Anak itu sudah terbiasa patuh dan menunggu, duduk di rerumputan tanpa kenal takut, mengoceh sendiri dan larut dalam imajinasi kanak-kanaknya yang pastinya indah. Yazza menunggu sampai Sang Ibu menaiki tapak demi tapak tangga kayu yang terbuat dari batang pohon yang disusun sedemikian rupa dan disatukan dengan ikatan tali rami nan kencang, dan tidak bergerak sampai tubuh Sang Ibu memasuki pintu lumbung, lalu menghilang masuk ke dalam.
Setelah itu Yazza melangkah maju, jubahnya berdesir perlahan menyasar tanah, menimbulkan suara kelam yang mendirikan bulu kuduk bagi siapapun yang sedang sial mendengarnya. Lalu Yazza berdiri tegak di depan anak kecil itu, siap untuk melakukan tugasnya.
Yazza bisa merasakan anak itu mendongak, matanya pasti lebar dan polos, berkilauan menatap sosok asing terselubungi kegelapan yang tiba-tiba berdiri di depannya. Anak itu tidak pernah takut kepadanya, sama seperti yang sebelum-sebelumnya, tidak ada yang takut atau menangis ketika melihatnya untuk pertama kali, entah kenapa. Seolah-olah pertahanan diri anak itu begitu lemah terhadap Yazza, seolah dia tidak berprasangka pada Sang Dewa Kematian yang berulangkali mencabut kehidupannya yang pantang menyerah, yang selalu terlahir kembali setiap nyawanya dituai paksa.
Dan sekarang, meskipun menolak untuk menatap mata anak itu, seperti yang dilakukannya pada tahun-tahun sebelumnya, Yazza tahu bahwa anak itu sedang tersenyum ramah kepadanya, senyum bersahabat seperti menyambut kesayangan, bukan menyambut musuh. Senyum itulah yang dihindarinya karena entah kenapa seperti menancapkan perih rasa bersalah nan tak kunjung pergi.
Yazza memejamkan mata, menolak untuk melihat sementara aroma dupa angro mainu diiringi kabut pekat yang khas muncul menyelubungi tubuhnya, menyelubungi anak itu. Ini adalah kabut penidur, yang akan mencabut nyawa anak itu dengan lembut, tanpa rasa sakit, bahkan tanpa anak itu menyadarinya.
Tiada ada suara, tiada gerakan. Bahkan desau angin yang tadinya asyik menggelitiki dedaunan hingga berjingkat kesana kemari tampak ikut berhenti, seolah takut mengganggu kesyahduan upacara penuaian Sang Dewa Kematian terhadap korbannya.
Yazza merendahkan tatapan matanya, akhirnya berani melabuhkan pandangannya ke sosok anak kecil yang sekarang telah tergolek lunglai di rerumputan, mata terpejam tubuh kehilangan daya, menjadi mayat yang terselubungi kematian nan indah, tampak lelap dalam tidur panjang yang menyenangkan meski sebenarnya sudah tak bernyawa.
Sembilan puluh sembilan sudah selesai, tinggal satu lagi untuk menggenapi…
Yazza membalikkan badan, membiarkan tubuhnya ditelan oleh kabut kegelapan, membuat sosoknya berangsur menghilang, menyatu dengan malam yang telah memijakkan kaki ke bumi.
Masih didengarnya sayup di kejauhan, jeritan kesedihan dari mulut Sang Ibu yang baru menuruni tangga lumbung dan menemukan anak gadis kesayangannya sudah terbaring tak bernyawa…
***
Hari ini adalah hari perayaan panen di kerajaan Garaya. Saat ini di pusat kota, seluruh desa telah bersiap untuk pesta besar. Pepohonan sudah dihias dengan kain-kain orange yang melambai-lambai tertiup angin, diikatkan dengan seksama di seluruh batang rendahnya. Para perempuan saat ini sedang berkumpul di lapangan luas, dengan bahan makanan yang melimpah ruah siap untuk diolah. Tahun demi tahun berlalu, berkat Mahadewa Azhura Kahn begitu melimpah ke seluruh penduduk Dunia Ametyst.
Cerita yang dikenal turun menurun sehingga menjadi legenda banyak terdengar, menceritakan kisah indah antara Sang Mahadewa Azhura Kahn dengan pengantin manusia yang dijemput oleh Beliau pada ulang tahunnya yang ketujuh belas. Para pendeta bercerita bahwa dahulu kala, sebelum Sang Pengantin terlahirkan ke dunia, mereka memiliki upacara khusus yang disebut upacara persembahan, setiap anak cukup umur akan membawa persembahan ke kuil raksasa Mahadewa Azhura Kahn dan meletakkannya di kaki patung Sang Mahadewa yang agung. Sampai akhirnya ada satu persembahan yang hilang, pertembahan dari pengantin Azhura yang menurut legenda telah diangkat ke khayangan, hidup di istana para dewa bersama Sang Mahadewa Azhura Kahn.
Saat ini, setelah ratusan tahun berlalu, upacara persembahan itu telah ditiadakan. Anak-anak gadis tidak lagi harus berbaris untuk memberikan persembahan ke kuil Sang Mahadewa. Upacara itu berganti dengan upacara panen, dimana seluruh penduduk berbondong-bondong datang ke kuil Sang Mahadewa Azhura Kahn, memberikan persembahan dalam bentuk hasil bumi terbaik mereka sebagai ungkapan rasa syukur atas berkat dan panen yang melimpah sepanjang tahun yang telah dianugerahkan oleh Sang Mahadewa Azhura Kahn pada seluruh penduduk.
Pihak kuil yang dipimpin oleh pendeta tertinggi akan menghimpun seluruh persembahan yang jumlahnya melimpah itu. Penduduk Garaya yakin bahwa semakin banyak dan semakin baik persembahan yang mereka berikan, maka semakin banyak dan semakin baik pulalah berkat yang mereka akan terima untuk sepanjang tahun ke depan. Pendeta tertinggi akan memerintahkan para pendeta pelayan untuk mengumpulkan penduduk di lapangan luas untuk mengolah persembahan itu menjadi sajian hidangan pesta rakyat. Para wanita bertugas mengolah bahan makanan menjadi sajian lezat, sementara para lelaki menyiapkan tenda raksasa, meja-meja dan segala sesuatu yang dibutuhkan untuk pesta besar.
Hiruk pikuk pesta perayaan panen ini menjadi tradisi tahun temurun yang ditunggu-tunggu oleh seluruh penduduk. Mereka yang berasal dari pinggiran kota akan datang berbondong-bondong sekeluarga untuk merayakan, tidak ingin ketinggalan kesenangan setahun sekali yang penuh dengan keceriaaan dan suasana pesta.
Mereka semua akan makan hidangan melimpah yang mengalir tiada habisnya, diiringi dengan penyalaan api unggun di tengah lampangan, lalu disambung dengan acara menari dan menyanyi mengelilingi api unggun nan penuh tawa. Anak-anak akan bermain dengan ceria sambil makan kembang gula manis yang hanya mereka dapatkan setahun sekali, tertawa dan diizinkan untuk tidur lebih larut daripada biasanya.
Ketika senja telah hampir tiba, perempuan-perempuan datang berbaris dalam barisan panjang yang tak terlihat ujungnya. Masing-masing membawa nampan besar berisi aneka macam hidangan, buah-buahan, daging panggang berlumur madu yang menggugah selera, olahan gandum emas nan gurih, gula-gula manisan berbagai rasa yang digilai anak-anak, juga kendi-kendi penuh berisi Mekha, minuman emas yang disaring dari air madu dingin bercampur teh bunga krisan yang harum dan menyegarkan tenggorokan.
Seluruh hidangan itu diatas meja raksasa panjang yang menyilang di seluruh lapangan besar ibukota Kerajaan Garaya. Sebentar lagi ketika malam datang, penduduk yang sudah tak sabar untuk berpesta akan datang berbondong-bondong untuk mencicipi hidangan dan bersukaria.
Api unggun sudah dinyalakan, dan para pemain musih sudah memegang alatnya masing-masing, siap memainkan nuansa musik ceria untuk mengiringi tarian dan nyanyian penduduk desa. Semua siap untuk berpesta, kecuali satu.
Satu yang dimaksud adalah sosok perempuan yang tampak begitu kurus, berjalan tertatih-tatih setelah meletakkan nampan besar berisi daging panggang di atas meja. Kondisinya yang sedang hamil besar tidak menghentikan kewajibannya sama seperti perempuan lainnya untuk membantu mempersiapkan hidangan pesta. Perempuan itu tampak pucat, tangannya memegang pinggang sementara keringkihan tubuhnya seolah memprotes beban besar di perutnya yang menggelembung maju berisi bayi yang sudah hampir siap lahir.
Perlahan perempuan itu menuju ke salah satu pohon rindang di pinggir lapangan, menyandarkan tubuh segera setelah berhasil mencapai pohon itu. Napasnya terengah sementara keringat dingin mengalir di dahinya, membuat anak-anak rambutnya yang sewarna madu lengket di kulit dan tidak nyaman.
Perempuan itu menggerakkan tangan kurusnya untuk mengusap wajah, lalu menghela napas panjang ketika matanya menyapu hiruk pikuk penuh antisipasi persiapan pesta di lapangan besar di depan matanya. Mereka semua tampak bahagia, tanpa beban dan begitu mensyukuri berkat Sang Mahadewa Azhura Kahn. Sayangnya kebahagian itu seolah tidak menyentuh dirinya. Dia sebatang kara saat ini, dalam kondisi hamil besar siap melahirkan tetapi tanpa suami yang mendampingi. Suami yang dicintainya, yang menjadi tumpuan hidupnya telah meninggal dunia akibat jatuh dari kuda ketika hendak membawa hasil panen mereka ke kota. Saat ini dirinya sendirian, tidak ada lelaki untuk mengolah lahan sehingga dia tidak punya pemasukan, hanya bergantung pada sumbangan warga yang kasihan kepadanya.
Gerakan di perutnya terasa nyata, membuat perempuan itu refleks menggerakkan jemari untuk mengelus perutnya. Meskipun saat ini dia tidak tahu akan bagaimana nasibnya nanti bersama anak ini dalam kekurangan di masa depan, perempuan itu tetap saja mencintai anak dalam kandungan yang berlum terlahir ini, sesuai kodratnya sebagai calon ibu yang ditakdirkan mencintai bayinya.
Gerakan itu terasa begitu nyata, seiring dengan perutnya yang mengencang hingga terasa sakit. Perempuan itu menahan napas sebelum menghembuskannya lagi untuk meredakan rasa sakit yang menggigit. Perlahan dielusnya kembali perutnya sambil berbisik membujuk.
“Jangan sekarang nak. Malam ini tidak ada dayana yang siap untuk membantu kelahiranmu, mereka semua, tua dan muda sedang berpesta.” ujarnya lirih, meringis ketika rasa tegang di perutnya malahan semakin mengencang.
Ketika rasa sakit sudah tak tertahan lagi, perempuan itu rubuh perlahan-lahan ke tanah, duduk di atas rerumputan dengan punggung bersandar di pohon sambil menahan sakit. Erangan dan desahan permintaan tolongnya tenggelam di antara hiruk pikuk penduduk yang siap untuk berpesta.
Ketika rasa sakit yang sangat kuat datang menghantam, perempuan itu menjerit lemah, memejamkan mata dan hampir tenggelam dalam ketidaksadaran.
Lalu sebuah tangan menyentuhnya. Tangan yang hangat seolah menenangkan, membuat perempuan itu membuka mata sehingga bertatapan langsung dengan seorang perempuan tua yang menatapnya penuh perhatian.
“Saya… saya akan melahirkan,” lirih perempuan itu mengerang, melawan rasa sakit yang tak terkira.
Perempuan tua itu menganggukkan kepala, lalu bergerak menopang membantu perempuan itu berdiri. Tenaganya yang kuat terasa begitu mengejutkan jika dibandingkan dengan penampilan rentanya yang terlihat lemah.
“Aku akan membawamu ke pondokku, tenang saja. Aku seorang dayana.”
Kalimat perempuan itu langsung terasa menenangkan, laksana air dingin penyembuh luka yang mengguyur dan meredakan rasa sakitnya. Seorang dayana adalah perempuan ahli yang bertugas membantu perempuan-perempuan melahirkan di Kerajaan Garaya ini. Mereka ahli meramu obat untuk mempercepat kesembuhan, pandai merawat bayi dan sebagian besar memiliki keahlian untuk meramal masa depan bayi-bayi yang baru lahir. Setiap bayi yang diantarkan ke pelukan ibunya, selalu disertai dengan pesan dan nasehat supaya masa depan Sang Bayi berjalan menuju kebaikan.
Perempuan yang akan melahirkan itu berjalan dalam rengkuhan tangan Sang Dayana, tertatih-tatih melewati rerumputan hingga akhirnya sampai di sebuah pondok kayu sederhana dengan pencahayaan redup yang seolah menanti.
Perempuan tua itu membawanya memasuki pondok, membaringkannya di lantai beralaskan kain linen dengan bantal empuk untuk menyangga kepalanya, lalu tanpa kata bergerak mengambil segala peralatan yang diperlukan untuk mempersiapkan kelahiran sang jabang bayi.
Air hangat, ramuan obat luar, ramuan obat penghenti pendarahan untuk diminum serta dupa wewangian yang menenangkan telah dinyalakan, memenuhi seluruh ruangan dengan nuansa damai yang melegakan.
Sayup-sayup perempuan yang akan melahirkan itu masih bisa mendengar suara musik yang mulai dimainkan dengan kencang di tengah lapangan sana, pertanda bahwa pesta sudah dimulai. Lalu tanpa diduga, rasa sakit menghantamnya begitu kuat, membuatnya menjerit dan meneriakkan kesakitan ketika tubuhnya mengejan secara alami, mendorong bayinya lahir ke dunia.
Tangisan bayi terdengar membahana, memekakkan telinga di tengah pondok yang sunyi senyap. Perempuan itu terengah ketika rasa sakitnya mereda, namun berganti dengan tubuhnya yang seolah melayang ke angkasa, telinganya berdengung hingga dia tidak bisa mendengar tangisan bayinya dengan jelas, matanya mulai meredup dan berkunang-kunang, tetapi dengan sekuat tenaga dia berjuang sehingga masih bisa menyambar sosok anaknya yang telah dibersihkan oleh Sang Dayana, dibungkus kain oranye yang hangat, sedang menangis hingga wajah bayi itu memerah.
“Anak perempuan, yang akan tumbuh dengan rambut dan mata sebening madu yang baru disaring dari lebah hutan yang hanya mengisap bunga Kemoli nan harum.” Seperti yang biasa dilakukannya, Sang Dayana mulai meramal sambil meletakkan bayi itu ke dada ibunya, entah kenapa suaranya yang lembut berubah serius, seolah-olah hendak melontarkan nuansa mengerikan yang tadinya tertahan di tenggorokan, “Anak ini harus disembunyikan. Hidup dalam pelarian hingga usianya mencapai batas aman empat belas tahun. Seorang Dewa Pembunuh tengah mengincar nyawanya, sedang berburu dan mencari untuk mencabut nyawa. Jika anak ini tidak dibawa lari, maka Sang Penuai akan datang menjemput di usianya yang masih belia untuk menghabisi.”
Keterkejutan memenuhi mata Sang Ibu muda mendengar ramalan mengerikan dari Sang Dayana tua mengenai bayi perempuan cantik yang baru dilahirkannya, napasnya tercekat, tetapi seiring dengan itu semua, kegelapan telah lebih dulu menyambar, menelan dirinya hingga meluncur jatuh ke dunia kegelapan.
[/responsivevoice]
Follow instagram @projectsairaakira untuk mendapatkan pengumuman/pemberitahuan jika kebetulan web sedang eror atau tidak bisa diakses.
- 🔐Reaper’s Destiny Part 47: Lentera Hitam ( Baca gratis 23 Februari 2023 | Baca sekarang dengan 21 PSA Point)
- 🔐Reaper’s Destiny Part 46: Musuh Tersembunyi ( Baca gratis 16 Februari 2023 | Baca sekarang dengan 21 PSA Point)
- 🔐Reaper’s Destiny Part 45: Sosok Asing ( Baca gratis 09 Februari 2023 | Baca sekarang dengan 21 PSA Point)
- 🔐Reaper’s Destiny Part 44: Teman Dansa ( Baca gratis 02 Februari 2023 | Baca sekarang dengan 21 PSA Point)
- Reaper’s Destiny Part 43: Aku Milikmu
- Reaper’s Destiny Part 42: Kobaran Cemburu
- Reaper’s Destiny Part 41: Rencana Satu Tahun
- Reaper’s Destiny Part 40: Budak Ketampanan
- Reaper’s Destiny Part 39: Permintaan Menikah
- Reaper’s Destiny Part 38: Setelah Lima Tahun
- Reaper’s Destiny Part 37: Menjejak Bumi
- Reaper’s Destiny Part 36: Sirelis dan Moses
- Reaper’s Destiny Part 35: Tunangan Minerva
- Reaper’s Destiny Part 34: Ayah Pelindung
- Reaper’s Destiny Part 33: Bangkit Berubah
- Reaper’s Destiny Part 32: Murka Azhura
- Reaper’s Destiny Part 31: Selamat Tinggal
- Reaper’s Destiny Part 30: Tanda Kematian
- 🆓Reaper’s Destiny Part 29: Berubah Pikiran
- 🆓Reaper’s Destiny Part 28: Penglihatan Buruk
- Reaper’s Destiny Part 27: Apakah Sepadan?
- Reaper’s Destiny Part 26: Permintaan Kesepakatan
- Reaper’s Destiny Part 25: Tamu Penting
- Reaper’s Destiny Part 24: Sumpah Minerva
- Reaper’s Destiny Part 23: Pilihan Yazza
- Reaper’s Destiny Part 22: Perbedaan Penglihatan
- Reaper’s Destiny Part 21: Api Ungu
- Reaper’s Destiny Part 20: Cara Lain
- Reaper’s Destiny Part 19: Tuan Dewa Tampan
- Reaper’s Destiny Part 18: Mengubah Takdir
- Reaper’s Destiny Part 17: Perbandingan Usia
- Reaper’s Destiny Part 16: Anak Liar
- Reaper’s Destiny Part 15: Tak Sampai Hati
- Reaper’s Destiny Part 14: Makan Bersama
- Reaper’s Destiny Part 13 : Adu Cerdas
- Reaper’s Destiny Part 12 : Rasa Lapar
- Reaper’s Destiny Part 11 : Anak Perempuan Kuat
- Reaper’s Destiny Part 10 :Terperangkap
- Reaper’s Destiny Part 9 : Monster Mimpi
- Reaper’s Destiny Part 8 : Darah Pertama
- Reaper’s Destiny Part 7 : Kemerdekaan Membunuh
- Reaper’s Destiny Part 6 : Mencari Sekutu
- Reaper’s Destiny Part 5 : Kebenaran Tersingkap
- Reaper’s Destiny Part 4 : Wajah Sang Dewa Kematian
- Reaper’s Destiny Part 3 : Pertemuan Ke 100 ( bagian 2 )
- Reaper’s Destiny Part 2 : Pertemuan Ke 100 ( Bagian1 )
- Reaper’s Destiny Part 1 : Membutakan Sang Penuai
- Reaper’s Destiny Prolog
- Reaper’s Destiny Teaser
Kapan dlanjutkan lagi cerita Yazza?
Kangen Yazza,, semoga tetep joroh sama yg ke-99 ini
Ceritanya udh lama hiatus,,,
Kapan dilanjutin thor??
Cerita yazza
Yazza.. oh.. Yazza..
Udah kangen dengan yazza
Cerita yazza
terharu, yazza is back😭😭😭
Aku juga terharu
Cerita Yazza
Akhirnyaaaa berlanjuttt
Senang nya
yazza is backj
Senang nya comback
Baca ulang
Akhir nya yazza comback
Suka dengan cerita ini
Suka…..
Bahagia nya bisa baca ini lagi
OMGGGG
Huwaa RDbis BACKKK
Yazza
Baca ulang lagi
Sembunyi ayo sembunyi
Asekk
Baru mulai.. tapi kapan ada lanjutannya ya?
Ulang baca lagii, ga update” soalnya ☹️☹️
Jadi takdir jodoh ya Yazza diasuh oleh nenek dayana yg membantu persalinan itu?
Baru di mulai…..
Waaaah penasaran siapa kah Dayana nya itu ?
yazza semoga di cerita ini happy ending
Really love this story💕