Oh My Fake Bo(ss)yfriend || Serigala dalam Kolong Meja

16 Desember 2019 in Vitamins Blog

35 votes, average: 1.00 out of 1 (35 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...
ChocovadoLoading…

Seberapa besar nyali lo minta restu bos buat ijin sehari lagi padahal kemarin udah ijin. Ngakunya sakit tapi ternyata ketemuan sama gebetan. Hmm…” @Ryyhaju

“Nay, lo dipanggil sama bos tuh,” kata mba Sri dari atas kubikelku.
Aku menghela napas frustasi. “Ngapain sih, Mam? Kan gue udah ngapel pagi, masa sekarang udah kangen lagi.”
Mba Sri terkekeh. “Tau tuh si bos.”
Aku cemberut kesal. Kenapa sih gue terus yang kena? Kan yang lagi nganggur di sini banyak! Kenapa gue terus sih yang kena, elah.
Mba Sri menepuk bahuku lembut. “Udah, kamu temui aja. Siapa tau mau ngasih bonus.”
“Amiiin, kalo iya ngasih bonus. Lah ini biasanya ngasih kesusahan?”
“Jangan gitu ah, terlalu benci nanti cinta loh.”
Aku melotot. “IIIH! OGAH!”
Mba Sri hanya tertawa geli. Mba Sri ini paling senior di sini, bahkan sebelum pak Yuhda menjabat di sini. Makanya, kita-kita kadang memanggilnya ‘Mommy‘. Tidak berlebihan, mba Sri ini memang selalu perhatian, tidak pernah marah walau ditekan atau dimarahin sama bos, sikapnya tetap tenang, teratur, tegas dan disiplin yang tinggi. Itu yang kadang membuat kami para Jungjar alias junior kurangajar, merasa segan pada mba Sri.
Aku ketuk pintu tiga kali sampai terdengar dedemit–makusnya si bos–menyahut dari dalam.
“Permisi, bapak manggil saya?”
“Ya,” sahutnya singkat.
Aku masuk lalu menunggu sementara si doi sedang mengetik sesuatu di ponselnya. Kali ini aku menunggu sambil berdiri dong ya, karena kemarin si doi sudah kode keras tidak boleh duduk sampe disuruh, dan sebagai kacung yang penurut harus patuh sama atasan.
Tetapi, rasanya si bos ini tidak tahu diri memang, tahu ada yang menunggu harusnya dipersilahkan duduk dulu kek, lah ini malah sibuk main ponsel.
Aku mendengus, sialnya malah didengar bos yang langsung mendongak.
“Kenapa kamu?”
Aku menggeleng pura-pura bego. “Enggak, cuman ngerasa de javu aja sama kalimat ini loh, Pak.” Aku berdeham sementara Dimas menunggu sambil kembali memainkan ponselnya. Good! “‘Saya tidak mau melihat karyawan di sini lebih sibuk main ponsel di jam kantor. SP 1, buat kalian yang melanggar.’ Hmm….” Aku bersedekap sambil memiringkan kepalaku, berpura-pura berpikir. “Kalimat siapa ya itu? Bapak tahu enggak itu kata siapa?”
Dimas mengembuskan napas sebelum meletakkan kembali ponselnya di atas meja dan sekarang ia bersandar di kelapa kursi sambil bersedekap. Masih tanpa bicara dan muka yang masih sama datarnya dengan jalan tol Cipali, Dimas sepenuhnya memperhatikanku.
“Jadi, mau kamu apa?”
Aku menyeringai kemenangan. Good boy.
“Eh, enggak kebalik, Pak? Harusnya yang nanya itu kan saya. Jadi, bapak ada keperluan apa manggil saya ke sini?”
Lagak lo kayak orang sibuk, Vah, Vah.
Dimas mendengus, ia membenarkan posisi duduknya sekaligus mengembalikan wibawanya sebagai pemimpin di sini. “Saya manggil kam….”
“Pak,” potongku. “Saya enggak disuruh duduk dulu nih?”
Dimas menaikkan sebelah alisnya. “Saya kira kamu lagi wasir makanya enggak duduk. Biasanya kan nyelonong saja sebelum saya suruh duduk.”
Demi dedemiiiiit di semesta alaaaam!! Ini orang nyindir  orang dengan muka selempeng jalan gitu?! Tuhaaaaan!!! Ini gue syok loh ya!
Aku mencibir bibir, menggered kursi di depanku dengan tidak sabar kemudian duduk dengan memasang muka masam.
“Saya manggil kamu ke sini buat minta tolong. Tolong carikan daftar nama-nama nasabah yang sudah difollup oleh tim marketing.”
“Emang daftarnya ada di ma….”
Aku menutup mulutku begitu Dimas mengeluarkan setumpuk kertas dari kolong mejanya lalu menyodorkannya ke hadapanku.
“Nama-namanya udah ada di sini. Saya minta daftar untuk bulan depan. Masing-masing sudah ditandai, jadi tugas kamu hanya menyebutkan nama, usaha, dan pengajuan mereka yang sekarang. Sementara saya yang rekap di sini. Paham?”
Aku masih melongo dengan tumpukan kertas di depanku sedangkan bos sudah minta kepastian. Aku mengerjap beberapa kali untuk mengembalikan kebegoanku. “Pa, paham, Pak. Paham.”
“Sekarang mulai.”
Aku mencari daftar dari bertumpuk-tumpuk kertas yang ada. Sementara Dimas sibuk mengutak-atik komputernya. Setelah mendapatkan dua lembar daftar, kami mulai bekerja.
Suasana di dalam hening, hanya diisi oleh suara dengung CPU, keyboard, dan kertas yang dibolak-balik.
Pikiranku melayang pada malam Minggu kemarin, ketika aku memergoki Dimas dan … seorang wanita tengah asyik berciuman di Misbar. Aku yakini, itu malam paling sial. Untuk apa aku berlama-lama melihat adegan tak senonoh di depan umum seperti itu, sampai ke-gep pula.
Nanti dikira gue nguntitin dia lagi! Iiiih, males banget!
“Kemarin sama siapa?”
Aku yang masih disorientasi ditodong pertanyaan seperti itu hanya bisa menyahut bego. “Gimana, Pak?”
Dimas mengembuskan napas. “Malam Minggu kemarin kamu ke Misbar kan? Sama siapa?”
“Ooh, saya pergi sendiri.”
“Sendiri banget?”
Mohon maaf, itu pertanyaan apa lo lagi ngeledek gue?
Aku mengedik acuh. “Ya, memang kenapa kalo saya pergi ke Misbar sendirian? Itu me time saya setelah seharian bekerja di bawah tekanan bos. Yah, walau enggak ada yang bisa saya peluk atau cium pasnya gerimis dateng.”
Dimas bergumam sambil manggut-manggut persis boneka di dasbor mobil.
Gue nyindir loh, itu tuh. Tapi muka lo kok gitu-gitu aja.
“Bagus lah, saya kira sama anak sini juga. Ternyata … jomblo.”
Aku melotot. “Maksud lo apa?!”
“Saya sudah cukup jadi bahan perbincangan di toilet prihal kerjaan saya, tapi tidak untuk kehidupan pribadi saya.”
Aku menarik sebelah alis. Sejak kapan ini anak jadi protektif gini sama masalah pribadi.
“Emang yang kemarin siapanya?”
Hmm, ternyata ada gunanya juga gue temenan sama si Jengkol. Sekarang gue bisa ngelambeh, korog-korog informasi fresh dari sumbernya. Terlebih sumbernya adalah tetangga lo sendiri.
Udah mirip bu ibuk rumpis kan.
Dimas melirik dari ujung matanya. Menyelidik.
Hmn, belum aja gue colok pake sumpit mie ayam.
“Nanya doang duuuh, lo kayak enggak tau gue aja,” selorohku. Kali ini kulepas jubah kesopananku, tidak ada lagi kata bos dan anak buah, yang ada hanya antar tetangga.
“Kamu kan sudah lihat. Kenapa masih tanya?” jawabnya acuh tak acuh, setelahnya kembali pada layar komputer.
Aku mencebik. “Ya kan siapa tau cuma temen.”
I can’t kiss her, kalau dia bukan siapa-siapa.”
Yes, you do it. Mungkin aja lo lagi khilaf.” Aku mengedik bahu asal.
“Maksud kamu seperti ini?”
Dalam sepersekian detik, Dimas beringsuk ke depan meja. Mencondongkan tubuh ke depan, sebelah tangan panjangnya terjulur ke belakang kepalaku, menariknya hingga mendekat, dan belum sempat aku berreaksi, wajah Dimas sudah di depan wajahku. Refleks aku memejam mata, tidak mau melihat kejadian selanjutnya. Dalam hati aku menghitung.
Tiga.
Dua.
Satu.
Tapi tidak ada yang terjadi.
“Kenapa kamu merem? Berharap saya menciummu?”
Aku segera membuka mata, melotot, begitu tahu Dimas masih ada di posisi semula–tepat di depan wajahku. Pria tersebut menyeringai kemenangan.
Sialan, gue dikibulin.
“Saya bukan pria kurang ajar yang seenaknya mencium perempuan yang bukan siapa-siapa saya. Sekalipun saya ingin, tapi saya akan menahannya.”
Seperti anak kecil yang sedang dinasehati, aku diam mendengarkan ocehan Dimas. Dengan jarak sedekat ini, aku bisa memperhatikan wajah dimas dengan leluasa.
Mata kurang ajarku malah menelusuri setiap inci wajah Dimas; matanya yang sayu namun menenangkan, jejak kacamata yang dulu pernah membingkai masih tersisa di sana. Hidung mancung seperti prosotan, bibir tipis yang menggemaskan untuk dicium. Pikiranku terlempar lagi pada malam minggu di Misbar.
Ketika wanita itu mencium Dimas dengan posesif, sedangkan Dimas meladenin dengan menahan diri. Kalau bukan di depan umum, kalau bukan disaksikan banyak mata, bagaimana pria ini akan meladeninya?
Hmn, gue penasaran.
Aku tarik dasi Dimas dengan dua tangan, hingga tidak tersisa jarak di antara kami. Bibirku mendarat sempurna di bibir Dimas, kukecup kuat-kuat bibir pria itu sebisa mungkin, dan aku tersenyum mendapat reaksi Dimas yang lama membeku mulai terpancing. Begitu Dimas mulai melumat bibirku, sekuat mungkin kudorong jidat lebar Dimas hingga terduduk kembali.
Wajah syok Dimas adalah pemandangan paling memuaskan dalam permainan ini.
“Srigala dalam kolong meja,” ucapku. “Lo enggak bisa nipu gue!”

***

13 tahun lalu.
“Nay! Nay!”
“Apa, Mih?” sahut Arivah malas.
“Anterin ini ke rumah tatu Maya, ya.”
Arivah menerima rantang yang diberikan wanita tersebut dengan alis terangkat. “Apaan isinya, Mih?”
“Nasi sama lauk buat a’Dimas. Kan tatu Maya sama om Ridwan lagi ke Bekasih, kasian kan kalo harus cari makan di luar.”
Wajah remaja perempuan tersebut segera berubah cemberut, menaruh asal rantang yang diterimanya di atas meja. “Males, ah Mih, kalo mesti ketemu sama  Dimas.” Arivah membanting tubuh kembali ke atas sofa kembali menonton acara favoritnya, Doraemon. “Kenapa enggak Amih aja yang kasih?”
“Iih, Amih kan mau jemput adek kamu.”
“Ya kan sekalian, Mih. Lagian enggak jauh ini.”
Wanita tersebut menjawil dagu anaknya gemas. “Justru karena enggak jauh makanya Amih suruh kamu. Udah cepetan sana, kasian loh a’Dimas nanti kelaperan.”
“Bodo amat ah.”
“Emang kenapa sih kamu sentimen gitu sama a’Dimas? Awas loh kelewat benci jadinya suka.”
Arivah bangkit terduduk dengan cepat. “Idih! Amit-amit suka sama si Dimas itu, Mih! Mending aku sama si Jordi daripada sama Dimas!”
“Husss, sembarangan! Ucapan adalah doa loh, Nay. Emang kamu mau nikah sama kucing!”
Arivah semakin cemberut. “Ya abisnya! Naya kan enggak suka sama Dimas! Cowok kok letoy gitu, kalah lagi kalo berantem sama Naya! Giamana mau lindungin Naya kalo berantem aja enggak bisa!”
Wanita itu tersenyum kemudian duduk di samping putri sulungnya. Diusapnya rambut Arivah dengan sayang. “Justru bagus dong, Nay, kalo a’Dimas kayak gitu….”
“Bagus di mananya sih, Mih?”
“Berarti dia enggak bakalan nyakitin kamu. A’Dimas itu bukannya enggak bisa ngelawan kamu, cuman dia ngalah sama anak perempuan badung kayak kamu.”
“Amiiih….” Arivah merengek sambil bergelayut di lengan ibunya. Memohon untuk sekali lagi.
“Terus kamu mah nikah sama si Jordi?”
“Daripada sama Dimas.”
“Aa Dimas, Naya. Dia lebih tua tiga tahun dari kamu.”
“Enggak mau!”
Sang ibu mengembus napas pasrah dengan kelakuan anaknya. “Terus, kalo kamu beneran sama si Jordi emang kamu mau? Amih sih enggak yakin. Soalnya, pasnya kamu besar kan enggak tahu si Jordi masih idup apa enggak. Kan kucing enggak idup selama manusia, Naya. Kalo ternyata si Jordi udah mati duluan, kamu bakal jomblo seumur idup dong. Kamu tetep mau nikah sama kucing?”
“Iiiiih, Amiiiiiih!!!!! Itu namanya nyumpahin anaknya enggak ketemu jodoh!”
“Loh, bukannya kamu yang minta? Itu baru ‘andaikan’ loh, Nay. Kamu udah ketakutan duluan.” Wanita itu terkekeh geli.
“Enggak gitu jugaaa!”
“Udah, sekarang … anterin ini ke a’Dimas. Ngeladenin kamu mah enggak kelar-kelar. Anterin, ya, Nay. Amih mau berangkat dulu. Awas kalo enggak dianterin, Amih potong uang jajan kamu.”
Arivah berdecak sebal namun tetap menyahut. “Iyaaa. Asal pulangnya beliin Naya es krim.”
“Iya.”
Sepeninggal ibunya, Arivah remaja menjinjing rantang di tangan sambil bersenandung ringan menuju rumah bercat hijau pastel. Didepannya ditanami bebungaan yang dirawat dengan apik oleh pemiliknya. Sebuah motor terparkir di halamannya yang rapih, Arivah mengenalinya sebagai motor si penghini rumah. Ya, siapa lagi kalau bukan Dimas.
Arivah hendak mengetuk pintu namun ternyata pintunya tidak dikunci, dengan seenaknya Arivah nyelonong masuk. Rumahnya sepi, tidak terdeteksi tanda-tanda makhluk lain selain dieinya di dalam rumah yang cukup megah itu.
Biasanya jam segini orangnya masih molor sih.
Arivah ngeluyur menuju dapur, lebih baik ia taruh di dapur. Kalo dingin tinggal panasin sendiri. Remaja perempuan itu memang sudah bisa keluar masuk rumah tersebut, tapi tidak sesepi ini. Biasanya ada tatu Maya atau Ambar–adik Dimas.
Kalo sepi begini, rasanya kayak masuk rumah hantu.
Ketika tinggal tiga langkah memasuki dapur, Arivah mendengar suara-suara ganjil. Bahkan sama asingnya dengan suara lain yang ada di dalamnya. Ia yakin tidak ada orang lain di dalam sana selain dirinya dan si penghuni rumah. Rasa penasaran remaja tersebut mengalahkan rasa takutnya, dengan mengendap-endap Arivah melangkah menuju dapur.
Begitu ia samlai di pintu dapur, barulah ia membeku di tempat. Di sana, di atas meja makan keluarga Wirmansyah duduk seorang gadis dengan kondisi yang … berantakan? Sedangkan di depannya seorang lelaki tengah memeluknya sedangkan kepalanya menyusup ke lekukan leher si gadis, ia adalah salah satu penghuni rumah ini. Dimas Wimansyah.
Bagi remaja berumur 14 tahun seperti Arivah, apa yang tengah dilakukan oleh kedua orang tersebut harunysa hanya dilakukan oleh orang dewasa. Amihnya selalu bilang, ‘jangan pernah membiarkan lelaki dan perempuan berduaan di ruang tertutup. Karena kalau sudah begitu, yang ketiga adalah sayton.’ Dan Amihnya akan melanjutkan, ‘jangan pernah memperbolehkan seorang pria menyentuhmu sebelum jadi muhrimnya, yang boleh menyentuhmu adalah dia yang sudah menjadi imam halalmu, atau suamimu.’
Lalu, apa yang sebenarnya dua orang di depannya ini lakukan? Mereka bahkan belum menikah, bukan juga pasangan suami istri.
Mata polos Arivah berseliroh dengan gadis yang tengah bercumbu mesrah tersebut. Merasa ketahuan, Arivah sesegera mungkin bersembunyi di balik tembok dapur. Remaja itu membekap mulutnya agar tidak mengeluarkan suara apapun, dengan mengendap-endap Arivah meninggalkan rumah tersebut.
Sesampainya di rumah, Amih dan adiknya sudah kembali. Arivah segera masuk ke dalam kamar dan tidak keluar hingga waktu makan malam. Begitu makan malam tiba, Arivah keluar dengan pikiran linglung. Amihnya menanyakan soal makanan di rantang yang bahkan sempat terlupakan oleh Arivah, ia lupa dimana ia tinggalkan benda tersebut.
Ketika Arivah menjawab ragu-ragu dan siap mendapat ocehan dari Amihnya, bersamaan dengan itu pintu rumahnya diketuk. Hukuman Arivah tertunda, hingga Amihnya kembali diikuti oleh orang yang siang ini ia pergoki tengah bercumbu di dapur rumah tetangganya, Dimas.
“Ternyata kamu beneran kasihin ke a’Dimas. Maaf ya, Amih kira kamu makan sendiri.”
Dalam keadaan normal, sudah pasti Arivah akan membantah mati-matian. Tetapi kali ini, Arivah hanya diam. Seluruh perhatiannya tertuju pada Dimas. Dari Dimas datang, mengembalikan rantang, duduk di depannya, bahkan makan bersama mereka. Tidak akan satu gerakkanpun yang lolos dari Arivah. Anehnya, Dimas benar-benar bertindak normal, seolah-olah tidak terjadi apa-apa.
Bahkan, setelah aksi terang-terangannya tersebut dipergoki oleh Dimas, Arivah tetap menantangnya.
“Kenapa, Nay? Ada nasi di wajah aa?”
Arivah menyipit, Dimas benar-benar amnesia, atau dia yang salah lihat?
Tapi tadi itu beneran Dimas!
“Enggak,” sahut Arivah datar.
Hari-hari berikutnya Arivah baru paham, ternyata Dimas tidak sebegitu polos yang orang lain lihat. Ia bisa menjadi srigala buas yang siap menerkam mangsa mana saja.

“Lo enggak bisa nipu gue Dimas Wirmansyah.”

TBC??

P.s

Thanks yang udah mau baca cerita abal-abal saya dan udah mau kasih dungungan vote n komen. Ini untuk kalian ?

Oh My Fake Bo(ss)yfriend || Kayak Pernah Kenal

28 November 2019 in Vitamins Blog

28 votes, average: 1.00 out of 1 (28 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

ChocovadoLoading…

Yang sayang-sayang sama bos tuh, mumpung doi masih ada n masih ngasih lo bonus. Tar giliran ditinggal, lo malah minta balikan kek mantan pacar. Huhuhuu #gagalmoveon #sorryimissu” @ JejenSyah05

Akhir bulan itu, waktunya lepas kepala lo buat mikir sedangkan badan lo milih rebahan di rumah–leye-leye sambil kipasan pake lembaran gajian lo.
Tapi si bos yang tertjintaku ini sedang sensitif sama karyawannya yang leye-leye, akhir bulan adalah waktunya sparta berperang. Bos semakin galak, kerjaan bertambah setiap menitnya, dan teriakan, tangisan, jeritan frustrasi terdengar di setiap kubikel….
Baiklah aku tau itu berlebihan.
Tapi aku tidak berlebihan juga karena seminggu ini kantor benar-benar kacau balau dan hanya satu orang yang harusnya bertanggung jawab atas seluruh kekacauan ini, siapa lagi kalo bukan bos tertjinta.
Meski begitu, menurut primbon Jelita Syahab alias Jeje–yang masih jadi misteri hingga sekarang, bentuk itu primbon. Pasal 32 Ayat Perlambean, menyatakan:
Sesibuk-sibuknya elo sama kerjaan, jangan pernah tinggalin dunia perlambean kalo gak mau jadi orang ter-kudet sejagat kantor.’
Jadi, selagi yang lain masih rungsing  dengan segala bentuk tetek bengek kerjaan, karyawati yang satu ini malah asik bergosip. Di mana lagi tempat gosip selain lapak penjual sayur kompleks, juga acara arisan kalo bukan toilet. Ya, toilet. Tempat sejuta umat wanita untuk berkeluh kesah bahkan berbagi gosip paling hot.
Untuk gosip paling hot yang menghiasi bibir saat ini adalah rumor mutasinya si bos tertjinta kami.
“Usut punya usut, cabang di sana lagi kolaps banget makanya bos dipindah lagi ke sana,” ucap Jeje di satu siang.
“Waduh, pulang kampung dong doi,” timpal Reyhan. Dimana ada bakso bulat di sanalah Reyhan berada.
“Kalo pak bos dipindah siapa dong yang gantiin doi di sini?” komentarku.
“Bener juga,” Jeje mengela napas dramatis. “Yaah, hiburan pagi gue juga ilang dong.”
“Maksud lo apa, Je?”
“Maksud Jeje, enggak ada lagi yang drama pertjintaan amtara babu dan bosnya.”
“Singkatnya lo udah bebas dari perbabuan si bos. Enggak perlu lagi tuh lo buatin kopi, beliin makan, ambilin ini-itu, ngeprint ini-itu, diajakin lembur, sampe diajakin makan malem … upss.”
Aku melotot pada Jeje yang malah cekikikan. Ingin sekali kusumpal mulut bocornya itu dengan bakso mercon dari mangkukku. Satu-satunya yang tahu bahwa si bos pernah satu-dua kali mengajakku makan malam adalah si lemes Jeje–sialnya, aku lupa bahwa mulutnya ini sudah seperti ember bocor yang luber kemana-mana. Untung saja Rayhan tidak begitu memperhatikan ocehan setan, dia malah sibuk membalas pesan di ponselnya.
“Kalo gantinya si bos gue dah denger,” mulai Rayhan. “Katanya dia pindahan dari cabang di Kalbar,” jelas Rayhan.
“Demi apa?! Serius lo?!” seruku dan Jeje berbarengan.
Sambil menyedot es jeruknya, Rayhan menggut-manggut mengiyakan. “Demi sempak gue yang belum dicuci, gue seriusan.”
“Iuuuh, jorok banget sih lo. Pasti sekarang lo pake lagi tuh sempak,” tuduhku dan jawaban Rayhan membuat aku menyesal mengatakannya.
“Iyalah, yang lain belum sempet gue bawa ke tempat londry.”
Aku dan Jeje menganga. Hilang sudah napsu makanku, pemirsa. Sallllut buat lo Ray.
“Tau dari mana lo?”
Nah, kalau sudah keluar kalimat mujarap yang satu ini, artinya radar perlambean Jeje sudah aktif. Sudah dipastikan Jeje memasang telinga dengan baik dan meyakinkan bahwa berita yang didengarnya ini benar-benar fresh asli dari sumbernya.
“Apanya? Sempak gue? Ya gue yang make, ya tau lah.”
Jeje segera melempar gulungan tisu bekas di sebelahnya ke arah Rayhan yang sayangnya meleset.
“Bangkek! Gua enggak peduli ya, masalah lo sama sempak lo, atau penyakit kelamin lo karena lo jorok enggak pernah ganti sempak!” geram Jeje.
Baiklah, lapak bakso ini akan segera berubah menjadi medan pertempuran, pemirsa.
Dikeadaan normal, jika kedua biangkerok ini sudah menunjukan taring dan cakar mereka aku akan menggeser duduk sejauh mungkin dari mereka dan menonton keributan mereka dengan khitmat. Padahal Reyhan ini berbeda dua tahun dari Jeje sedangkan aku dan Rayhan berbeda tiga tahun, terlebih Rayhan lebih senior dibanding kami berdua.
“Bangkek, lu nyumpahin gue!”
“Daripada lu, kunyuk.”
“Duuh, tuh mulut enggak pada punya saringan napa ya,” komentarku. Tapi khusus hari ini, rupanya aku harus berkawan dengan mereka. Bukan apa-apa, hanya saja ini di lapak bakso dan mulai banyak pasang mata yang memperhatikan kami. Berada di antara dua biangkerok ini lama-lama, harga pasaranku bisa jatuh dari langit.
“Tau si Ray nih.”
“Teros aja gue disalah-salahin, kucing lo lahiran gue juga yang disalahin.”
Sebelum mulut pedas Jeje kembali berkicau dengan kalimat kotornya, aku segera menyela. “Guys, bisa gak kita lanjutin ini nanti? Sekarang kita mesti balik ke kantor, sebelum bos tertjinta kita ngamuk dan makan orok orang.”
“Setuju!” seru keduanya berbarengan, tanpa kata mereka keluar dari warung bakso masih bersungut-sungut.
Aku menghela napas frustrasi, lama-lama berkawan sama mereka bisa-bisa aku tua mendadak. Mana aku ditinggalin lagi, kurang kapret apa lagi mereka?
“Mba mba.”
“Iya?”
“Bayar dulu, Mba. Jangan main nyelonong aja.”
Aku mengerut kening. “Saya udah bayar kok, Mang.”
Si Mamang bakso tersenyum. “Iya si mbanya emang udah bayar, tapi kan yang lainnya belum?”
Aku melotot. “Mereka belum bayar?!” sungutku syok.
“Iya, Mba. Ini totalnya.”
Si Mamang bakso menyodorkan secarik kertas, aku menerimanya yang adalah total makanan yang harus dibayar.
Aku melotot, tanpa perlu ditahan aku meraung. “Si kampreeeeeeeet!!!! Weduuuus gembeeeeel!!!! Tak pites koeeeee!!!”

***

Hari ini aku ingin pulang lebih cepat, aku menyelesaikan chase in dengan anak lapangan pukul enam. Memastikan antara kas yang diterima bagian lapang sesuai dengan kas yang diterima oleh sistem. Setelah dipastikan balenc, aku mengurus lain-lainnya, setelah itu aku bergegas membereskan barang-barangku sebelum ke-gab si bos.
“Buru-buru amat neng, mau kemana lo?” kulihat Jeje yang masih setia mantengin layar komputernya.
“Pulang dong.”
Alis ulet bulu Jeje berkerut. “Lo enggak ikut acara makan-makan hari ini?”
“Makan-makan? Eh, eh, eh, kok gue enggak dikasih tau sih.”
“Lah, gue belum ngomong ya?”
Ya, begitulah nasib temenan sama orang tulalit. “Acara terakhir bareng si bos ya?”
“Iyee, lo ikut kan? Lumayan kan bisa makan enak, gratis lagi. Gue tau lo enggak bakal nolak, secara lo kalo di kostan makannya cuma mie doang,” kata Jeje penuh percaya diri.
“Sembarangan lo! Siapa bilang gue ikut? Gue mau pulang cepet, mandi, maskeran, leye-leye di kamer sambil nonton drama. Urusan perut, sori gue lagi diet karbo.”
“Halah, gak usah sok-sokan diet deh, acara diet lo tuh paling cuma sejam dua jam, kesananya lo korog-korog dapur buat masak mie sama telor.”
Duuuh, itu mulut gak bisa amat di sumpel gitu ya.
“Lagian ya, kalo lo nggak ikut, nanti si bos nanyain lo mulu. Terus neror gue buat tanya-tanya elo, males lah,” lanjut Jeje.
Aku mengibas sebelah tangan. “Halah, karyawan sebanyak ini, kalo satu ilang gak bakal ketauan. Asal lo jangan ngebacot, beres urusan.”
“Duuuh, lo kayak enggak tau radar si bos aja. Doi tuh peka. Dia bakal mencium bau-bau busuk kebohongan anak buahnya, satu ilang bakal dicarinya. Apa lagi kalo yang ilang lo, Vah.”
“Siapa yang hilang?”
Tuh kan … kalo kayak gini ceritanya, bisa panjang urusan.
“Eh, bapak.”
“Kamu mau ke mana, Rivah? Kok bawa-bawa tas? Acaranya kan nanti jam 8.”
Nah loh, mau ngomkng apa lo sekarang? “Emm, nganu pak….”
“Ivah mau kabur tuh, pak,” adu Jeje.
Kampreeeet!!
“Kabur?” pak Bos mengerut alis seksinya. “Kamu enggak ikut acara saya?”
Ooooh, jangan, jangan, jangan wajah memelas ituuuuu!!! Tuhaaaan, tolooong jelaskan kenapa muka si bos makin ganteng pas lagi memelas gini???
“Kamu enggak mau ikut acara perpisahan saya?”
“Enggak mau pisah sama bos kali, si Arivah ini.”
Bakar terus, Je, bakar. Belum aja ini kompor meledak.
“Apa kamu udah ada janji lain? Sama … pacar kamu, mungkin.”
Duuuh, kenapa si bos jadi mello gini sih? “E,enggak pak….”
“Bapak gimana sih, si Arivah ini jomblo dari lahir mana mungkin punya pacar. Ibaratnya nih, kalo Arivah punya pacar dunia demit juga ikut gempar.”
“Je, kayaknya mulut lo minta disambelin deh. Sini lo.”
Bukannya takut, setan yang satu ini malah cekikikan.
“Di kantor saya yang baru nanti, enggak ada lagi yang buatin kopi buat saya tiap pagi. ”
“Ada OB kali, pak,” celetukku.
Si bos tersenyum manis. “Enggak seenak buatan kamu, Rivah. Mungkin karena kamu buat kopinya dari hati, jadi rasanya enak.”
“UHUUUK!”
Seketika ambyaaaar, pemirsah!
Jeje sudah seperti tersedak bemo di balik kubikelnya. Sedangkan aku melongo ditempat, mendadak strok.
Lama-lama gue curiga sama si hati ini, kayaknya doi gak cuma jualan kopi, kalo si bos minta makan juga dia sediain warteg.

***

Senin pagi, Jakarta macet seperti biasa, jobdesk semakin gila selepas bos tertjinta pergi meninggalkan kacung-kacungnya, sedangkan rekening-rekening masih seret jauh dari kata ‘makmur’. Ngomong-ngomong tentang bos tertjinta, aku tetap tidak ikut acara malam terkhir bersama si bos. Begitu semua rombongan kumpul dan mengantre masuk ke mobil, diam-diam aku menyelinap dari barisan, berpura-pura ke toilet padahal nemuin mamas ojol yang nunggu ganteng di bawah pohon depan jalan.
Sebagai gantinya, si bos terus menghubungiku, tapi tidak sekalipun aku jawab atau kubalas pesannya. Sombong? Masa bodo! Aku hanya ingin menikmati sabtu malamku dengan setumpuk folder anime yang belum sempat aku tonton. Hingga senin pagi, rasanya si bos ini kapok menghubungiku.
Begitu sampai di office, Jeje sudah nangkring cantik di kubikelnya. Kata pak Raji–satpam depan–si Jeje udah dateng dari pukul setengah tujuh. Bau-baunya, ada hubungannya sama spesies baru yang akan menghuni ruangan si bos. FYI, kata pak Iman, bos baru–yang belum jelas wujud dan batang hidungnya, tapi sudah jadi buah perlambean sejagat kantor–ini akan datang hari ini. Gosip punya gosip, dari aliansi lambe di kantor sebelumnya, si calon bos ini ganteng gak ketulungan, badannya bagus kayak om-om binaragawan, bahunya sandareble, senyumnya bahkan mampu menjebol hati kaum bucin.
Tapi aku yakin semuanya hanya ‘hiperbola’ para fans yang ada di sana. Enggak ada manusia sempurna di dunia ini, yang sempurna cuma satu, hanya Tuhan yang Maha Sempurna. Eaaak.
“Pagi, Je.”
“Hmn.”
“Rajin amat, Neng. Kesambet pohon mana lagi lo?”
Jeje mendelik sebal padaku yang mengganggu ritualnya, namun kemudian ia tetep menjawab. “Ini tuh udah mau tahun baru, gue juga mesti punya target baru. Gak mungkin dong tahun baru kali ini gue lewatin lagi sama di Joni.”
Si Joni ini kucing Jeje, yang diambil dari pat shop delapan belas bulan yang lalu. Jangan salah, biar dipanggil Joni, kucing ras Persia ini adalah kucing betina. Dasarnya aja si majikannya sableng, yang harusnya Joanita malah dipanggil Joni.
“Nah, berhubung si bos baru mau dateng hari ini, sekalian aja gue tes make up baru gue, jadi gak sia-sia kan. Pas banget gak sih?” Jeje mengedip centil ke arahku.
“Pas-pas dari Honolulu! Itu mah udah rencana lo dari kemarin! Sok sokan rajin, tapi ternyata ada udah dibalik bakwan.” Kulempar sembarang bolpoin ke arah Jeje namun gagal.
“Apa sih, sirik aja.” Jeje menyipit begitu aku duduk di kubikelku.
“Napa lo liatin gue kayak gitu? Belum aja gue colok mata lo pake tusuk cilok.”
Jeje mencibirkan bibir. “Enak ya sekarang, gak ada pak Yudha bisa leye-leye dulu di kasur terus berangka pas matahari lagi nusuk-nusuknya di mata. Gue yakin notif email sama WhatsApp lo penuh sama omelan anak marketing.”
“Bo-do-am-at!” cebikku tanpa suara. Kemuduan ngeluyur ke bagian pantry. It’s coffee time.
Pukul sembilan pagi, rombongan pak Iman datang diikuti seorang pria asing yang membuat sebagian kubikel yang didominasi kaum hawa ini ramai dan mendadak jadi paduan suara. Bahkan Jeje terang-terangan menggeser kursi ke kubikelku hanya untuk menioel-noel ganjen.
“Pagi semuanya!”
Serentak menjawab sambil pasang senyum malu-malu, aku sampai berpikir kalau-kalau ini bukan lagi bagian backoffice tapi kontes Burung Nuri.
Heran, pada salah makan apa sih pada?
“Pak, nganu … itu mamas yang di belakang bapak siapa?”
Ya, pemirsah. Pertempuran sudah dimulai oleh Hanin si Anak Bawang yang bahenol.
“Elah, ganjen bener ini anak,” cebik Jeje.
Pak Iman tersenyum. “Berhubung Hanin udah kepo sama mamas yang ada di belakang ini. Sekalian saja saya kenalkan pada kakian. Silahkan pak.”
“Selamat pagi….”
“Eeeh, bentar pak. Ulang. Tadi saya cuma foto, sekarang sekalian nge-live.”
Aku melotot.
“Eh, buset ini bocah ya. Alay amat sih lo, dikit-dikit nge-live, bumerang, Tik-Tok,” sembur Jeje sebal.
“Iih, ya biarin sih. Bapaknya juga gak ngelarang iya kan, pa….”
“Hapus,” tukas sebuah suara datar.
Semua orang hening. Semua orang menoleh pada pria berwajah datar di belakang pak Iman. “Gimana pak?” ulang Hanin kali-kali kupingnya mendadak tuli.
“Saya bilang ‘hapus’. Ini bank bukan kantor Google atau Facebook.”
Seketika, seluruh dedemit bersorak.
“Ma-maaf, Pak.” Hanin sesegera mungkin menyimpan kembali phonselnya.
“Terima kasih. Untuk kedepannya, saya tidak mau melihat karyawan di sini lebih sibuk main ponsel di jam kantor. SP 1, buat kalian yang melanggar. Saya mau target setiap bulan Aplus, enggak ada lagi target kurang. Setiap pagi, saya minta nama-nama nasabah lama yang bisa kita tarik lagi untuk menambah target. Datang pukul tujuh tepat, saya enggak mau liat ada yang telat dengan alasan A-PA-PUN. Riasan tidak perlu terlalu tebal, karena kalian di sini kerja bukan mau kondangan. Tinggi sepatu cukup lima centi, terlalu tinggi kemungkunan terlalu berisik….”
Aku tercengang, sampe separu dipermasalahkan?
“Gilaaa, belum apa-apa gue udah ngerasa ada di camp militer tau gak,” bisik Jeje.
“Dan, tidak ada yang bergosip di jam kerja.”
Hump!
Pelan-pelan Jeje menggeser kursinya kembali ke kubikelnya.
Dirasa semuanya kondusif, di bos tersenyum jemawah. “Terima kasih atar perhatiannya, saya harap kedepannya … LEBIH baik lagi. Nama saya Dimas Wirmansyah, manager baru di sini.”
Seperti kata-kata legen Katara, ‘semua berubah setelah Negara Api memyerang.’
“Eh, bentar. Kok diliat-liat mirip….”

***

“Gilaaaak, gilaaak. Belum apa-apa udah minta dilemparin kursi ini orang,” sembur Jeje begitu sampai di dalam toilet.
“Ssst, jangan keras-keras lo. Nanti ada yang denger laporan lagi ke si bos.”
“Lo liat gak sih, Vah!! Mukanya pas ngomong ‘dan tidak ada yang bergosip di jam kerja.'”
Aku terpingkal-pingkal begith Jeje meniru pak Dimas.  “Gue udah ngerasa keluar dari kandang kucim masuk kandang dedemit.”
“Mending pak Yudha kemana-mana kali. Jadi kangen pak Yudha.”
Aku mencibir. “Liat siapa yang kangen doi sekarang?”
Jeje manyun. “Yuk lah, nanti si bos macan ngomel lagi.”
Di lorong, kami berpapasan dengan pak bos. Semakin dekat jarak kami, aku semakin mengenal orang tersebut. Aku mendadak berhenti membuat Jeje yang sedang mengapit lenganku keheranan.
“Eh, buset kenapa ini boceh tiba-tiba berenti.”
Aku terus menatap pria yang semakin mendekat ke arah kami.
“Vah, sadar oi. Lo kesambet setan wc ya?”
Lima langkah.
“Vah, ayo dong balik. Ada si bos tuh.”
Tiga langkah.
Dua.
Satu.
“Dimdim!”
Si bos berhenti di belakangku. Aku berbalik untuk melihat lebih jelas. “Lo apaan sih, Vah,” cicit Jeje gemeteran.
“Elo … Dimas kan? Dari SMA Tunas Bangsa?”
Pria tersebut berbalik, alisnya sudah tertarik sebelah. Aku menyeringai, melipat tangan didepan siap menantang.
“Lama ya enggak ketemu.”
“Maaf, Anda….”
“Arivah Inayati, X Iis 3, anak kesayangan pak Omar.” aku maju selangkah lagi cukup sampai Jeje tidak mendengar. “Sekaligus … tetangga lo.”
Begitu mendongak ternyata ekspresi si pak bos ini tidak beribah, pemiersah.
Kemudian dengan datar doi menjawab, “Oh. Pantes … kayak pernah kenal.”
Hmfffft!”
Aku syok di tempat.
What the fuck!

TBC

12. Lily

19 November 2019 in Coretan By Chocovado

9 votes, average: 1.00 out of 1 (9 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

 

Baca Parts Lainnya Klik Di sini

==========

0e413c244463af3d836f0ea4f4ed95c4

Ia terhuyung-huyung berdiri, pukulan yang dilayangkan padanya cukup membuatnya terjengkang. Ia merasakan panas di pipinya, yakin bahwa disana akan timbul bekas kebiruan keesokan harinya. Ia merasakan anyir di seluruh mulutnya dan ada sesuatu seperti menggelinding di lidahnya, terasa juga ada bagian yang lepas dari salah satu deret gigirnya. Ia mendorongnya keluar, seperti orang meludah dan biji gigi itu meluncur seperti peluru menghantam aspal jalan.

“Huh, payah,” cibirnya sambil menyeka mulutnya dengan punggung tangan.

Cibiran itu ditujukan pada ketiga anak laki-laki yang sekarang berdiri menantang di depannya. Ketiganya memiliki model yang sama, seragam yang lecek dengan selurung kancingnya terbuka, wajah sangar, rambut diwarna terang, serta kelakuan kasar yang menunjukan bahwa mereka adalah preman sekolah.

“Masih ingin melawan, huh?” salah satunya yang bertubuh kekar itu adalah pemimpinnya.

“Sepertinya dia sudah mulai payah. Apa perlu kita menghajarnya lagi sampai jera?” tanya seorang anak buahnya yang bertubuh kurus.

“Hahaha, kupikir dia tangguh sampai berani berulah seperti itu. Ternyata dia payah, dasar bedebah kecil,” kata si pendek dan gempal—salah satu anak buahnya yang lain.

Hmppfufufu….” tiba-tiba ia tergugu.

“Berengsek! Apa yang kau tertawakan? Kau meledek kami, huh!” teriak si pendek marah.

“Berani-beraninya kau tertawa di depan bos, dasar sampah!” cibir si kurus.

“Hah, berengsek? Bedebah kecil? Payah? Sampah? Hah … hahahaa….”

Tawanya semakin menggelegar, membuat geram ketiga preman sekolah tersebut, lalu tiba-tiba ia berhenti tertawa. Sambil bersandar pada pagar besi di belakangnya ia menatap ketiga anak lelaki itu, menghafal wajah-wajah mereka satu per satu.

“Apa yang kau lihat?!” bentak si kurus.

“Masih ingin dihajar?” timpal si gempal.

“Huh, …cut,” gumamnya tidak jelas.

“Haa? Apa kau bilang?”

“Pengecut! Kalian hanya sekumpulan pecundang, berengsek, dan sampah!” teriaknya dengan lantang dan menantang.

“DASAR BERENGSEK KAU!!”

Hal berikutnya yang terjadi di jalan sempit itu adalah suara hantaman dan bantingan benda keras. Tidak ada satu pun yang mendengarnya, tidak ada satu pun yang ingin melihat peristiwa mengerikan itu, tidak ada satupun yang menginginkan hal itu.

Tidak, terkecuali ia sendiri.

Ketika dia bangun keesokan harinya, dia merasa tubuhnya remuk. Sakit ditulang rusuknya, wajahnya, juga kaki dan telapak tanganya, bahkan dia merasa sesak di ulu hatinya.

Dia merangkak bangun meski harus terhuyung-huyung, dia beranjak ke kamar mandi, membersihkan diri dari sisa darah yang mengering kaku di sudut bibirnya. Lebam dan luka sobek tertinggal membengkak di pelipis matanya, juga punggung tangannya.

Kemarin ia berhasil melumpuhkan ketiga preman pengecut itu sendirian. Seperti dugaannya, mereka hanya pecundang yang bersembunyi di balik penampilan sangar mereka saja.

Sialnya, meskipun dia menang, satu lawan banyak orang sekaligus tetap saja bukanlah pertarungan yang adil. Dia cukup kepayahan menghadapi mereka, dan ini bukan kali pertama baginya.

Percayalah, dia sudah melalui hal-hal semacam ini berkali-kali, sering dia hampir mati dihajar oleh orang-orang yang sama, orang-orang brengsek, payah, bedebah, pecundang, dan sampah. Jenis orang yang sesungguhnya sama sepertinya.

Tapi baginya, rasa sakit di sekujur tubuhnya tidaklah sesakit apa yang dia rasakan selama ini.

Hari ini ia enggan ke sekolah, ia tahu jika dia datang ke tempat itu. kemungkinan besar ia berakhir di kantor guru bimbingan konseling, mendengar ceramah, dan menunggu orang tuanya datang.

Namun, seperti sudah diketahui sebelumnya, gurunya tidak akan lama menunggu orang tuanya datang untuk menjemputnya, karena ia tahu orang tuanya tidak akan mau repot-repot datang hanya untuk mengurus masalahnya.  Ia paling hanya diberikan surat peringatan entah keberapa kalinya, surat yang hanya akan berakhir membusuk dan tak dibaca. Jadi, akan lebih baik jika dia tak usah pergi.

Ya, lagi pula ada tempat yang lebih penting yang ingin ia kunjungi hari ini.

Ketika dia keluar dari tempat busuk itu, matanya harus bereaksi dengan cepat karena cahaya matahari menyapa retina matanya lebih dulu. Netranya itu membutuhkan penyesuaian sesaat sebelum ia benar-benar bisa melihat hamparan gedung yang disuguhkan oleh kota itu setiap harinya.

Dengan tatapan menerawang dia menatap hamparan gedung itu, penuh kebosanan yang konstan. sebelum akhirnya dia menggerakkan tubuhnya pergi menuruni tangga.

Kota itu masih sama, udara, ingar bingarnya, orang-orangnya, dan segala hal di dalamnya. Tapi baginya kota itu tak pernah sama lagi di matanya, setidaknya di dalam dirinya sendiri. Ada yang hilang dari kota itu, bagian yang sangat kecil yang tidak semua orang mengetahuinya. Bagian itulah yang kemudian juga  membawa perasannya pergi, membuat hatinya seperti kota mati.

Dia membebat tangannya dengan perban baru, luka di pelipis dan sudut bibirnya ia tutup dengan plester sewarna kulit, sedang memar di pipinya hanya dia olesi dengan salep luka. Jalannya masih sedikit terhuyung karena menahan sakit di perutnya.

Saat ia akan berbelok, ia melewati seorang penjual bunga di tepi jalan.

“Kau ingin bunga, Nak?” tanya si penjual wanita itu sambil menyodorkan sebuket bunga mawar padanya.

Ia hanya menatapnya lalu menggeleng samar. kemudian berlalu. Ia memang tak terlalu membutuhkan bunga.

Lagi pula bunga-bunga itu tidak akan tumbuh di tempat itu dan orang itu tidak membutuhkannya.

Aku suka lili–

“Bahkan aku masih bisa mendengar suaranya,” gumamnya lirih menahan pedih, berbicara kepada dirinya sendiri.

Dia sampai di sebuah jalan yang sepi di pinggiran kota. Tempat itu berpagarkan jaring kawat besi. Dia menggenggam sebuket bunga yang disiapkannya sendiri di tangan kanannya, lili putih yang cantik.

Tempat itu terlihat sama seperti sebelumnya. Ada rasa sesak yang menghimpit dadanya sejak ia masuk ke jalan itu dan emosinya kembali pada kejadian tiga tahun lalu.

Dia berhenti melangkah saat dia tiba di belakang sebuah pabrik dengan mesin berdengung keras.

Dia menengadah menatap langit yang hari ini tampak cerah seperti biasanya.

Lalu ia menunduk dan mengawasi sekeliling.

Tempat itu sudah bersih.

Dua tahun lalu, saat ia mengunjungi tempat itu, sisa-sisa peristiwa itu masih ada. Namun, sekarang jejaknya sudah menghilang.

Dia meletakkan buket bunga itu di bawah pagar, lalu dia berdoa dalam hati, mungkin seperti orang berziarah pada umumnya.

“Semoga kau selalu bahagia di sana.”

Setelah berdoa dia masih berdiri di sana, pikirannya kembali pada kejadian tiga tahun yang lalu. Ketika ia menemukan seorang gadis sekarat di sana dengan tubuh penuh luka dan gadis itu adalah orang yang sangat ia cintai.

Tak ada saksi mata yang melihat apa yang terjadi pada gadis itu, tidak ada. Pelakunya pun masih berkeliaran.

Dan satu hal yang membuatnya murka adalah dirinya yang tak bisa melakukan apa pun saat itu.

“Apa kabarmu? Kuharap kau baik-baik saja.”

Tentu saja tak ada yang menjawab pertanyaan itu. Keheningan di sana hanya diisi oleh suara deru keras dari mesin dan angin musim semi yang membawa sesak di dadanya.

“Kau tahu? Aku baru saja menghajar tiga bajingan kemarin. Mereka preman sekolah yang payah. Dan inilah hasilnya.” Dia menyentuh bekas lukanya.

“Jangan khawatir, aku baik-baik saja. Sekarang … aku tidak seperti dulu lagi, aku tidak lemah seperti dulu lagi.”

Dia duduk sambil bersandar pada pagar besi di belakangnya, dia menengadah ke atas lagi.

Pada saat-saat tertentu mata itu memancarkan kesepian dan duka yang teramat dalam.

Kemudian ia kembali teringat dengan peristiwa itu, hatinya mulai terisi lagi.

“Andai saja, andai saja saat itu aku datang lebih cepat. Andai saja aku lebih kuat seperti sekarang, kau … pasti bisa aku lindungi.”

Dasar bodoh. Payah. Tolong aku–

Tanpa bisa ditahan lagi sungai yang telah ia bendung sedemikian rupanya tak dapat ditahan lagi. Hujan menyapa wajahnya. Dia meringkuk di sana, dengan kesedihan yang teramat menusuk, dengan kesunyian yang memasung hatinya, dengan sakit hati yang mengurung jiwanya, juga duka yang memadamkan seluruh asa di hatinya.

Dia bawah langit musim semi, di samping sebuah buket lili yang mulai layu, bersandar pada sebuah pagar besi, dan di atas jalan yang senyap itu, dia menangis, meraung menjeritkan segala kesedihannya, ketidak berdayaannya, rasa bersalahnya, juga rasa hancur yang menyiksa dirinya.

Dia meluapkan semuanya, meski dia tak akan pernah bisa benar-benar lupa. Selamanya.

April 11, 2017 (18:33).

 

guilherme-araujo-final-chibi-port-removebg-preview

-edited by @author6 Project Sairaakira

DayNight
DayNight