Coretan By Chocovado

8. Cloud, Drizzle, and You

Bookmark
ClosePlease login

No account yet? Register

9 votes, average: 1.00 out of 1 (9 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

 

Baca Parts Lainnya Klik Di sini

 ==========

fc88177c4beddb532ebe4c01f7877fc1--gays

Ketika itu langit berangsur-angsur berubah kelabu, berarak dari selatan menuju ke utara, kemudian meluas. Tanpa adanya awan cumolonimbus yang bergulung-gulung seperti kapas kotor atau awan sirus yang terseok-seok angin di lapisan ozon entah ke berapa.

Hanya kelabu, kelabu yang perlahan-lahan berubah menjadi pekat.

Aku menatap langit abu-abu itu dari kaca bus yang tengah kunaiki. Perlahan benda besar beroda empat ini membawaku pada tempat pertemuan kita, menembus membelah angin dingin pertengahan musim gugur yang tak bersahabat. Tak berapa lama, jendela-jendelanya mulai berkabut. Tampaknya, Tuhan telah bosan dengan kelabu, sehingga diperasnya awan kelabu itu hingga punah dan lebur saat menjatuhkan air dari langit-langitnya.

Tak deras, hanya berupa gerimis yang kemudian menyebar jatuh entah ke mana. Gerimis yang melembabkan baju kita saat percikannya terserap habis dan meninggalkan setitik noda pekat yang menggayuti dalam dingin.

Seharusnya sekarang kau sedang berteduh entah di mana, karena gerimis itu kian deras, berubah menjadi hujan hingga permukaan kaca di sampingku basah oleh percikannya.

Seharusnya kau sedang menunggu dia di tempat semestinya.

Gerimis belum jua berhenti saat aku telah sampai di tempat pertemua kita dan aku pun turun dari benda besar itu. Aku memperhatikan, jalanan telah ramai, festival musiman memang selalu menarik banyak pengunjung untuk datang. Sekonyong-konyong aku teringat akan janji pertemuan kita. Kutolehkan kepala ke arah halte bus yang hanya diisi oleh segelintir manusia; sepasang kekasih, seorang pria tua paruh baya, dan seorang ibu menggandeng anak perempuannya yang telah siap menghadiri festival.

Aku menatap nanar pada mereka. Kau memang semestinya telah pergi, dan aku harus menerima itu.

Kutarik napas dalam dan kubusungkan dada

Tidak apa-apa, ini hanya festival, akan ada banyak orang yang kukenal jika aku berjalan lebih jauh. Aku hendak pergi ketika benda di tanganku tiba-tiba bergetar.

Panggilan darimu. Kugeser ikon hijau di layar ponselku dan kutempelkan segera di telinga.

Yang kudengar pertama adalah suara gemeresik gerimis dan disusul suara baritonmu yang selalu membuat napasku tercekat sesaat.

[Jangan hanya berdiri di sana.] katamu.

Aku mengerut kedua alisku. “Di mana kau?”

[Tepat di sampingmu.]

Sesegera mungkin kutoleh kepala ke samping dan kudapati kau dengan cengiran khas yang membuat napasku tersekat serta pikiranku tercabut dari tempatnya sebentar.

Sweater berpadu celana jeans yang kau kenakan lembap karena hujan, bahkan telah basah di beberapa tempat, membuatku mengira-ngira, berapa lama kau berada di bawah gerimis? Rambutmu—yang barangkali baru dipotong—tampak melembap pula, bahkan kaca mata yang membingkai matamu sedikit berembun di sisi-sisinya.

Haruskah aku berdebar seperti ini?

“Terpesona?” Suaramu terdengar dekat.

Aku terlonjak kaget dan sesegera mungkin memalingkan wajah, menyembunyikan rautku yang panas karena malu. Tetapi kau malah tertawa. Sial!

Lalu kau memimpin langkah, membaur ke dalam festival itu dan aku terengah, baru saja aku berlatih ala latihan militer tetapi sepertinya itu tak membantu staminaku untuk mengimbangimu. Berjalan bersamamu sungguh melelahkan, aku harus mempercepat langkahku untuk menyamai langkahmu yang lebar-lebar, jauh lebih cepat dan terasa lebih tergesa-gesa. Sungguh, itu membuatku lelah. Terlebih ketika harus berjalan di antara orang-orang yang semakin lama semakin berdesak-desakan ini. Aku takut kehilangan jejakmu dan tersesat di antara orang-orang ini.

“Bisakah kau berjalan lebih pelan? Kakiku sakit dan aku tak bisa mengejarmu seperti biasa, baju ini memperlambatku,” tegurku suatu ketika.

Kau hanya tertawa, tapi tak menghiraukanku setelahnya. Kau tetap berjalan seperti biasa. Menyebalkan!

“Aku janji bertemu pukul delapan, seharusnya. Aku akan terlambat kalau tidak cepat-cepat,” katamu saat itu.

Kemudian aku sadar tentang alasan kenapa aku ada di sini. Aku di sini untuk menemanimu datang menemui gadis itu. Bodohnya aku. Kau yang menghubungiku malam itu untuk pergi ke festival sekaligus bertemu dengan seorang gadis kenalanmu. Awalnya aku setuju, toh hanya menemaninya. Tapi ketika aku memikirkan kau akan menemui gadis itu, jujur. Ada rasa sesak di dada sebelah kiriku, ada ketidaksukaan yang merongrong, kesal bercampur penasaran—seperti apakah gadis itu? Kenapa dia bisa begitu menarik perhatianmu?

Aku kembali mengeluh bahwa kakiku sakit dan memaksa berhenti untuk  sekadar beristirahat. Namun, ketika kumenengadahkan wajah, aku tidak bisa menemukanmu di manapun. Mungkin kau menghilang bersama-orang-orang, atau akulah yang tertelan dan terseret arus menjauh oleh orang-orang ini.

“Tenanglah, tenanglah.” Aku menggumam sendiri, berusaha menenangkan hatiku.

Aku mengambil ponsel di tanganku, menekan ikon panggil di sana. Saat itu aku menepi dan berdiri di samping tenda penjual jajanan dengan musik yang disetel cukup keras.

Panggilan tersambung.

“Halo? Kau di mana? … Halo?”

[Halo…]

....”

Aku menurunkan benda itu dari telingaku saat mataku kebetulan lebih dulu menangkap sosokmu di antara orang-orang itu, di antara kerumunan beberapa gadis, dan tampak jelas ada seorang gadis berambut cokelat sewarna rambut jagung yang berdiri dekat di depanmu.

Ia tampak malu-malu, kau pun sama. Kalian berbicara dan kau tampak memutuskan panggilanku secara otomatis karena perhatianmu terfokus hanya kepada gadis itu.

Aku memandang kalian berdua dengan tatapan menerawang. Saat itu juga aku sadar, bahku tak seharusnya ada di sini, menyaksikan semua hal menyakitkan yang membuatku ingin merobohkan diri kehilangan kekuatan.

Kusimpan benda di tanganku ke dalam tas tangan, kemudian kutinggalkan tempat itu.

Tampaknya kau tak perlu aku untuk bertemu dengannya.

Aku berusaha menyingkirkan rasa sakit itu. Namun, yang sudah terlanjur bersarang di sana, tak bisa lagi aku tinggalkan.

Aku tersedu-sedu di tangga menuju sebuah taman. Tempat itu sepi, cukup jauh dari tempat festival diadakan. Karena tidak ada tempat yang bisa aku kunjungi di tengah hiruk pikuk bahagia yang berlawanan denganku, aku hanya mengikuti kehendak kakiku yang memimpin langkah.

Kemudian, saat aku berada dalam dekap sepi, tubuhku roboh sekatika.

Tak perlu aku tahan lagi, aku menangis tersedu-sedu sekeras mungkin hingga kepalaku terasa pusing.

Tampaknya, Tuhan belum juga selesai memeras kain kelabu di atas sana, sehingga gerimis masih saja turun ke bumi tanpa lelah. Mungkin mereka sengaja turun untuk ikut berpesta pora di antara orang-orang yang datang ke festival, atau memang hanya ingin menyapa untuk menambah warna.

Mungkin, aku salah satu yang ingin mereka sapa malam ini.

Bajuku tak lagi lembap tapi sudah hampir basah saat aku menandaskan tangisku. Dan tampaknya Tuhan terlalu cepat menarik waktu sehingga tanpa sadar, nuansa larut mulai menjelang.

Kuputuskan untuk pulang, barangkali tak ada yang bisa kulakukan atau aku tunggu di sana selain menengadah dalam kesepian sambil mendengar sapa ramah rinai gerimis.

Aku berjalan sedikit terseok. Orang-orang pun tampaknya telah beranjak pulang.

Oh, berapa lama aku menangis tadi? Barangkali tadi aku juga ketiduran karena lelah menangis?

Bagaimana aku sekarang?  Apakah aku harus mencarimu? Namun, Ah, biarlah, lebih baik aku tak memedulikanmu lagi, toh kau tidak mungkin datang lagi, jika sekadar untuk–

“Oh!”

–menemuiku.

Seharusnya sekarang kau sedang berteduh entah di mana, karena gerimis kian derasnya hingga mataku ikut berkabut. Seharusnya kau menemaninya di tempat semestinya. Seharusnya…

“Kau dari mana saja?”

“Kau … kau….” Entah kenapa, aku jadi gugup.

“Aku mencarimu,” tambahmu lagi.

Aku mengerut kening. “Kenapa kau ada di sini?” tanyaku bingung

Dan kau lakukan hal yang sama, mengerutkan keningmu seolah kau tak memahami kenapa aku bertanya seperti itu.

“Kau ini aneh sekali. Tentu saja mengantarmu pulang,” sahutmu cepat.

Aku mendekus pelan. “Tak perlu kau antar, aku bisa pulang sendiri.”

Kau mengerut kening lagi, reaksi khamu ketika sedang meragu. “Kau yakin?” tanyamu pelan.

Aku mengangkat bahu, berpura-pura tegar.

“Aku bukan anak kecil. Lagipula … kau masih punya urusan, bukan?”

“Urusan apa?” sambarmu cepat.

“Tentu dengan kekasihmu.”

“Yang mana?” Kau menyambar lagi, tanpa rasa bersalah.

Aku mengembuskan napas dramatis. Astaga. Ini mulai terasa melelahkan.

“Yang baru saja kau temui! Tidak kahkau tahu? Aku pulang karena aku tak ingin mengganggu kalian, aku bahkan menunggu di taman sembari menghitung seberapa banyak gerimis menyapaku, walau kakiku sakit dan aku tak mengharapkan kau … ada di sini … untuk mengantarku pulang,” suaraku menghilang saat aku menyadari bahwa aku telah meluncurkan kata terlalu banyak, lebih daripada yang seharusnya.

Kau terkejut. Tentu saja. Begitu jelas di wajahmu. Kau benar-benar terkejut.

Aku memperhatikan lebih jelas. Rambutmu telah lepek, mungkin karena terlalu sering gerimis menyapanya, sweatermu setengah basah, begitu pula dengan jeans yang kau kenakan, kacamatamu juga tampak masih mengembun.

Apa yang kau lakukan? Apakah kau berdiri di tengah hujan dengan sengaja? Seberapa bodohkah dirimu?

“Kenapa kau basah seperti ini?” Aku menegur tanpa menyadari bahwa kondisiku sama persis dengannya. “Setidaknya, jika gerimis turun seperti ini, berteduhlah di tempat beratap, bukan bersandar di sini,” cicitku lagi setengah menggerutu.

Kemudian kau terkekeh. Aku sebal dengan tawa jenakamu. Menganggap lelucon segala ucapanku di saat yang tidak tepat. Tapi saat aku hendak berbalik pergi, kau tiba-tiba menangkap bahuku agar tetap berada di sana.

“Seharusnya kau bilang dari awal, kalau kau tidak menyukai gerimis dan….” Kau mencondongkan wajah di sisi wajahku lalu berbisik dengan nada penuh arti. “Katakan saja bahwa kau cemburu. Sebab, jika aku tahu itu, dengan senang hati aku akan membantumu melewatkan sisa gerimis ini dengan lebih baik.”

Dan bibirmu mendarat di bibirku.

November 22, 2017 (22:53) 

guilherme-araujo-final-chibi-port-removebg-preview

-edited by @author7 Project Sairaakira

2 Komentar

  1. farahzamani5 menulis:

    Gengsi dah emang ye klo ngomong cemburu tuh hihi