12. Lily

9 votes, average: 1.00 out of 1 (9 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

 

Baca Parts Lainnya Klik Di sini

==========

0e413c244463af3d836f0ea4f4ed95c4

Ia terhuyung-huyung berdiri, pukulan yang dilayangkan padanya cukup membuatnya terjengkang. Ia merasakan panas di pipinya, yakin bahwa disana akan timbul bekas kebiruan keesokan harinya. Ia merasakan anyir di seluruh mulutnya dan ada sesuatu seperti menggelinding di lidahnya, terasa juga ada bagian yang lepas dari salah satu deret gigirnya. Ia mendorongnya keluar, seperti orang meludah dan biji gigi itu meluncur seperti peluru menghantam aspal jalan.

“Huh, payah,” cibirnya sambil menyeka mulutnya dengan punggung tangan.

Cibiran itu ditujukan pada ketiga anak laki-laki yang sekarang berdiri menantang di depannya. Ketiganya memiliki model yang sama, seragam yang lecek dengan selurung kancingnya terbuka, wajah sangar, rambut diwarna terang, serta kelakuan kasar yang menunjukan bahwa mereka adalah preman sekolah.

“Masih ingin melawan, huh?” salah satunya yang bertubuh kekar itu adalah pemimpinnya.

“Sepertinya dia sudah mulai payah. Apa perlu kita menghajarnya lagi sampai jera?” tanya seorang anak buahnya yang bertubuh kurus.

“Hahaha, kupikir dia tangguh sampai berani berulah seperti itu. Ternyata dia payah, dasar bedebah kecil,” kata si pendek dan gempal—salah satu anak buahnya yang lain.

Hmppfufufu….” tiba-tiba ia tergugu.

“Berengsek! Apa yang kau tertawakan? Kau meledek kami, huh!” teriak si pendek marah.

“Berani-beraninya kau tertawa di depan bos, dasar sampah!” cibir si kurus.

“Hah, berengsek? Bedebah kecil? Payah? Sampah? Hah … hahahaa….”

Tawanya semakin menggelegar, membuat geram ketiga preman sekolah tersebut, lalu tiba-tiba ia berhenti tertawa. Sambil bersandar pada pagar besi di belakangnya ia menatap ketiga anak lelaki itu, menghafal wajah-wajah mereka satu per satu.

“Apa yang kau lihat?!” bentak si kurus.

“Masih ingin dihajar?” timpal si gempal.

“Huh, …cut,” gumamnya tidak jelas.

“Haa? Apa kau bilang?”

“Pengecut! Kalian hanya sekumpulan pecundang, berengsek, dan sampah!” teriaknya dengan lantang dan menantang.

“DASAR BERENGSEK KAU!!”

Hal berikutnya yang terjadi di jalan sempit itu adalah suara hantaman dan bantingan benda keras. Tidak ada satu pun yang mendengarnya, tidak ada satu pun yang ingin melihat peristiwa mengerikan itu, tidak ada satupun yang menginginkan hal itu.

Tidak, terkecuali ia sendiri.

Ketika dia bangun keesokan harinya, dia merasa tubuhnya remuk. Sakit ditulang rusuknya, wajahnya, juga kaki dan telapak tanganya, bahkan dia merasa sesak di ulu hatinya.

Dia merangkak bangun meski harus terhuyung-huyung, dia beranjak ke kamar mandi, membersihkan diri dari sisa darah yang mengering kaku di sudut bibirnya. Lebam dan luka sobek tertinggal membengkak di pelipis matanya, juga punggung tangannya.

Kemarin ia berhasil melumpuhkan ketiga preman pengecut itu sendirian. Seperti dugaannya, mereka hanya pecundang yang bersembunyi di balik penampilan sangar mereka saja.

Sialnya, meskipun dia menang, satu lawan banyak orang sekaligus tetap saja bukanlah pertarungan yang adil. Dia cukup kepayahan menghadapi mereka, dan ini bukan kali pertama baginya.

Percayalah, dia sudah melalui hal-hal semacam ini berkali-kali, sering dia hampir mati dihajar oleh orang-orang yang sama, orang-orang brengsek, payah, bedebah, pecundang, dan sampah. Jenis orang yang sesungguhnya sama sepertinya.

Tapi baginya, rasa sakit di sekujur tubuhnya tidaklah sesakit apa yang dia rasakan selama ini.

Hari ini ia enggan ke sekolah, ia tahu jika dia datang ke tempat itu. kemungkinan besar ia berakhir di kantor guru bimbingan konseling, mendengar ceramah, dan menunggu orang tuanya datang.

Namun, seperti sudah diketahui sebelumnya, gurunya tidak akan lama menunggu orang tuanya datang untuk menjemputnya, karena ia tahu orang tuanya tidak akan mau repot-repot datang hanya untuk mengurus masalahnya.  Ia paling hanya diberikan surat peringatan entah keberapa kalinya, surat yang hanya akan berakhir membusuk dan tak dibaca. Jadi, akan lebih baik jika dia tak usah pergi.

Ya, lagi pula ada tempat yang lebih penting yang ingin ia kunjungi hari ini.

Ketika dia keluar dari tempat busuk itu, matanya harus bereaksi dengan cepat karena cahaya matahari menyapa retina matanya lebih dulu. Netranya itu membutuhkan penyesuaian sesaat sebelum ia benar-benar bisa melihat hamparan gedung yang disuguhkan oleh kota itu setiap harinya.

Dengan tatapan menerawang dia menatap hamparan gedung itu, penuh kebosanan yang konstan. sebelum akhirnya dia menggerakkan tubuhnya pergi menuruni tangga.

Kota itu masih sama, udara, ingar bingarnya, orang-orangnya, dan segala hal di dalamnya. Tapi baginya kota itu tak pernah sama lagi di matanya, setidaknya di dalam dirinya sendiri. Ada yang hilang dari kota itu, bagian yang sangat kecil yang tidak semua orang mengetahuinya. Bagian itulah yang kemudian juga  membawa perasannya pergi, membuat hatinya seperti kota mati.

Dia membebat tangannya dengan perban baru, luka di pelipis dan sudut bibirnya ia tutup dengan plester sewarna kulit, sedang memar di pipinya hanya dia olesi dengan salep luka. Jalannya masih sedikit terhuyung karena menahan sakit di perutnya.

Saat ia akan berbelok, ia melewati seorang penjual bunga di tepi jalan.

“Kau ingin bunga, Nak?” tanya si penjual wanita itu sambil menyodorkan sebuket bunga mawar padanya.

Ia hanya menatapnya lalu menggeleng samar. kemudian berlalu. Ia memang tak terlalu membutuhkan bunga.

Lagi pula bunga-bunga itu tidak akan tumbuh di tempat itu dan orang itu tidak membutuhkannya.

Aku suka lili–

“Bahkan aku masih bisa mendengar suaranya,” gumamnya lirih menahan pedih, berbicara kepada dirinya sendiri.

Dia sampai di sebuah jalan yang sepi di pinggiran kota. Tempat itu berpagarkan jaring kawat besi. Dia menggenggam sebuket bunga yang disiapkannya sendiri di tangan kanannya, lili putih yang cantik.

Tempat itu terlihat sama seperti sebelumnya. Ada rasa sesak yang menghimpit dadanya sejak ia masuk ke jalan itu dan emosinya kembali pada kejadian tiga tahun lalu.

Dia berhenti melangkah saat dia tiba di belakang sebuah pabrik dengan mesin berdengung keras.

Dia menengadah menatap langit yang hari ini tampak cerah seperti biasanya.

Lalu ia menunduk dan mengawasi sekeliling.

Tempat itu sudah bersih.

Dua tahun lalu, saat ia mengunjungi tempat itu, sisa-sisa peristiwa itu masih ada. Namun, sekarang jejaknya sudah menghilang.

Dia meletakkan buket bunga itu di bawah pagar, lalu dia berdoa dalam hati, mungkin seperti orang berziarah pada umumnya.

“Semoga kau selalu bahagia di sana.”

Setelah berdoa dia masih berdiri di sana, pikirannya kembali pada kejadian tiga tahun yang lalu. Ketika ia menemukan seorang gadis sekarat di sana dengan tubuh penuh luka dan gadis itu adalah orang yang sangat ia cintai.

Tak ada saksi mata yang melihat apa yang terjadi pada gadis itu, tidak ada. Pelakunya pun masih berkeliaran.

Dan satu hal yang membuatnya murka adalah dirinya yang tak bisa melakukan apa pun saat itu.

“Apa kabarmu? Kuharap kau baik-baik saja.”

Tentu saja tak ada yang menjawab pertanyaan itu. Keheningan di sana hanya diisi oleh suara deru keras dari mesin dan angin musim semi yang membawa sesak di dadanya.

“Kau tahu? Aku baru saja menghajar tiga bajingan kemarin. Mereka preman sekolah yang payah. Dan inilah hasilnya.” Dia menyentuh bekas lukanya.

“Jangan khawatir, aku baik-baik saja. Sekarang … aku tidak seperti dulu lagi, aku tidak lemah seperti dulu lagi.”

Dia duduk sambil bersandar pada pagar besi di belakangnya, dia menengadah ke atas lagi.

Pada saat-saat tertentu mata itu memancarkan kesepian dan duka yang teramat dalam.

Kemudian ia kembali teringat dengan peristiwa itu, hatinya mulai terisi lagi.

“Andai saja, andai saja saat itu aku datang lebih cepat. Andai saja aku lebih kuat seperti sekarang, kau … pasti bisa aku lindungi.”

Dasar bodoh. Payah. Tolong aku–

Tanpa bisa ditahan lagi sungai yang telah ia bendung sedemikian rupanya tak dapat ditahan lagi. Hujan menyapa wajahnya. Dia meringkuk di sana, dengan kesedihan yang teramat menusuk, dengan kesunyian yang memasung hatinya, dengan sakit hati yang mengurung jiwanya, juga duka yang memadamkan seluruh asa di hatinya.

Dia bawah langit musim semi, di samping sebuah buket lili yang mulai layu, bersandar pada sebuah pagar besi, dan di atas jalan yang senyap itu, dia menangis, meraung menjeritkan segala kesedihannya, ketidak berdayaannya, rasa bersalahnya, juga rasa hancur yang menyiksa dirinya.

Dia meluapkan semuanya, meski dia tak akan pernah bisa benar-benar lupa. Selamanya.

April 11, 2017 (18:33).

 

guilherme-araujo-final-chibi-port-removebg-preview

-edited by @author6 Project Sairaakira

11. Kaleidoskop

10 votes, average: 1.00 out of 1 (10 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

 

Baca Parts Lainnya Klik Di sini

===========

anime-couple-romance-train-station-bicycle-balloons-school-uniform

2 Juni

Musim panas baru akan dimulai, matahari tak lagi terasa hangat di awal hari, suhu meningkat drastis, dan sebentar lagi libur panjang akan dimulai.  Namun, berbeda dengan sore ini. Dalam beberapa jam terakhir menjelang sekolah tutup, matahari terasa hangat.

Berkas-berkas cahaya menyelinap lihai di antara gedung-gedung perkantoran, menembus tirai yang terpasang di jendela tiap-tiap ruangan, bergelayut manja di antara dedaunan, dan diam-diam mendengarkan kita yang berjalan beriringan di jalan yang berbeda; aku di trotoar jalan dan kau berayun sepeda di jalurnya.

Ya, kadang kita memang seperti itu, tapi kadang pula kau memilih menuntun sepedamu dan berjalan bersama, atau terkadang kita tidak harus bersama sama sekali.

Yah, begitulah kemudian kita saling mengenal, yang kutahu kau adalah anak lelaki di sebelah kelasku dan paling pendiam—ah, kupikir tidak juga— sebab, terkadang kau juga banyak bicara dan membuat setidaknya satu dua keonaran dalam seminggu. Dan kupikir, kau mengenalku seperti apa yang kau lihat; lugu, tak banyak bicara, dan terkadang kutu buku.

Kita tidak saling tahu pada awalnya, sebelum kau lebih dahulu mengajakku berbicara pada satu sore yang hangat di awal musim semi. Kegiatan klub baru saja usai, lorong-lorong mulai sepi dan senja yang berkibar di awal musim semi lebih indah daripada musim mana pun; pink kemerah-merahan, amat cantik.

Perlu beberapa meter untuk mencapai halte bus terdekat. Angin sore itu sungguh menyenangkan. Aku masih mengenakan baju hangatku meski cuaca sebenarnya sudah tidak terlalu dingin, dan kau yang sekonyong-konyong mengejarku untuk mengembalikan gantunganku yang terjatuh. Aku masih ingat, saat itu kau membawa sepeda tapi kau tidak menaikinya.

“Kau menjatuhkan ini,” katamu.

Ketika itu, aku terlalu polos hingga bukannya kata ‘terima kasih’ yang keluar, aku malah bertanya,

“Kau membawa sepeda, tetapi kenapa kau malah berlari?”

Lalu kau menoleh pada sepeda yang kau tuntun berlari dan kemudian meringis penuh ironi.

Detik berikutnya kita malah tertawa bersamaan. Itu adalah awalnya.

Obrolan kita kemudian tidak lagi sebatas kehiatan sekolah, namun juga bertambah merambah pada kehidupan sehari-hari kita.

Kemudian tanpa tahu sejak kapan, perasaan ini muncul. Namun, sepertinya kita saling sadar bahwa perasaan kita tidak bisa lagi dihitung dengan jarak antara trotoar jalan dan jalan pesepeda, kita tahu perasaan kita melampaui kedua hal tersebut.

Namun, entah bagaimana, tanpa kata kita menjaga agar semua tetap pada jalurnya yang biasa tanpa mau mengubah apa pun yang pernah kita buat sebelumnya, kita akan tetap saling diam dan memilih menyimpan rasa.

Hingga hari ini.

Kegiataan klub usai sekitar sepuluh menit yang lalu. Aku agak terlambat hari ini karena ketua klubku memberiku tambahan kegiatan ekstra, sungguh melelahkan menjadi komite sekolah seperti ini. Aku berlari-lari kecil di antara lorong-lorong yang mulai sunyi, sementara senja di ufuk barat mulai terbenam perlahan-lahan, dan aku … takut.

Takut kau sudah terlalu lama menungguku.

Setelah berhasil keluar dari gedung sekolah, aku berlari-lari kecil menuju parkiran sepeda. Biasanya kau akan menunggu di sana. Tetapi….

Kau tidak ada di sana.

Mungkin kau sudah pulang.

Atau kau tidak lagi menungguku.

Atau seperti kataku…

Kita tidak harus bersama.

Jalanan yang kulalui sore itu terasa amat panjang, pohon-pohon sakura telah berubah hijau kembali, cahaya matahari menyelinap di antara dedauan, bunga cosmos biru tumbuh di bawah pohon-pohon dan menghiasi sekelilingnya, sementara angin berembus menambahkan nyaman nuansa penuh harmoni yang mendamaikan. Lalu, suaramu memanggilku.

Kau mengayun sepedamu terlalu terburu-buru. Peluh membanjiri dahimu, dan tampaknya kau tidak berniat mengganti seragam olahragamu seperti yang biasa kau lakukan sebelum pulang sekolah. Bahkan, sepatumu pun kau gantungkan dengan asal-asalan di setang sepedamu.

Dan wajahmu… kau tampak cemas.

“Kupikir kau sudah pulang,” kataku.

Kau mengatur napasmu yang tersengal baru kemudian bisa menjawab.

“Maaf, aku agak terlambat,” Kau menghela napas keras-keras. “Ketuaku itu cukup menyebalkan,” gerutumu pelan.

Aku terkekeh. “Kupikir semua ketua memang ditakdirkan untuk menjadi menyebalkan,” sahutku riang.

Lalu kita kembali mengoceh tanpa arah yang terasa menyenangkan. Jalanan itu tiba-tiba berubah menjadi terang dan membahagiakan, udara yang kuhirup menjadi lebih segar, dan senja yang kulihat hari ini menjadi amat benderang; berkilau-kilau seperti permata musim panas.

Sementara itu, kita masih saja berada bersisian di dua jalan yang berbeda.

Aku melihat halteku berada di jarak lima meter di depan.

Ah, ini terlalu cepat, aku masih ingin lebih lama lagi bersamamu.

Aku melirik ke arahmu. Kau masih mengayuh pelan sepedamu di sisiku.

Tiba-tiba jantungku menjadi tidak karuan. Bagaimana ini?

“Em … libur musim panas akan segera dimulai,” katamu memecah keheningan.

“Ya.”

“Kemana kau akan menghabiskannya?”

“E-entahlah….”

Aku gugup. Ada nuansa takut ketika membayangkan aku tak bisa melihatnya selama liburan musim panas. Rasanya … seperti….

“Kalau begitu….”

Suara karet rem dan roda sepeda terdengar membuat telingaku ngilu, ketika aku menoleh, kau tidak lagi mengayunkan sepedamu, dan aku terpana.

Senja berwarna pink kemerah-merahan berkibar gagah di belakangmu, kau yang membelakangi senja tampak seperti lukisan, berdiri menghadang di hadapanku.

Jantungku semakin berdebar, kepalaku mendadak pusing, dan aku merasa jarak yang terbentang antara trotoar untuk pejalan kaki dan jalur sepeda itu tidak lagi ada dan tidak lagi bisa memisahkan kita

“Kau … ingin menghabiskan libur musim panasmu bersamaku?” tanyamu kemudian.

Kaleidoskop musim semi.

 

Juny 2, 2018 (23:49). :week  

guilherme-araujo-final-chibi-port-removebg-preview

-edited by @author9 Project Sairaakira

10. What Are You Doing Now?

5 votes, average: 1.00 out of 1 (5 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

 

Baca Parts Lainnya Klik Di sini

==========

f666c1304350d28f5115946ab0ef993f

Apa yang sedang kau lakukan di sana?

Aku membayangkan, apa yang kau lakukan di sana. Mungkin, kau lebih sering duduk di sebuah balkon, di sebuah surau atau di depan kamarmu dengan sebuah buku di tangan, mungkin.

Sering kali aku bertanya-tanya, buku apa yang tengah kau baca? Kisah apa yang kau selami? Dapatkah kau menangkap maknanya? Bagaimana pendapatmu tentang buku di tanganmu? Kepada siapa saja kau membagi kisahmu? Atau, apa yang kau pikirkan selagi kau membaca? Seperti apa sinar di matamu? Berkilau seperti biasakah atau lebih cerah dari sebelumnya?

Aku tidak pernah memikirkan sebelumnya. Tidak, sebelum akhirnya kau memutuskan untuk pergi.

Sekarang, malam-malamku menjadi semakin panjang, dalam sekejap aku memikirkan banyak hal.

Seperti, apa yang kau lakukan di sana? Siapa saja yang sering kau temui? Tempat apa yang sering kau kunjungi?

Atau, masihkah kau mengingat tentang aku?

Di satu malam, sehari setelah kau memutuskan untuk pergi. Aku mulai membayangkan kau di sana. Kurang lebih seperti ini;

Menjelang subuh kau bangun, mulai membersihkan diri, sementara segala pujian berkumandang di langit. Bersama dengan yang lain kau pergi ke surau dalam langkah pasti, memulai laporan pagimu dengan sang pencipta. Kuyakin setelahnya kau tidak tidur, mungkin kau akan kembali ke kamarmu, mempersiapkan alat tempurmu hari itu.

Menjelang pagi, kau mulai menyiapkan diri, mengenakan seragammu, sedikit parfum yang sering kau gunakan, mungkin. Hanya untuk membuatmu tampak segar di pagi hari, walau kuyakin semalaman kau masih tidak bisa tidur di tempat barumu. Ketika fajar sukses di seret keluar dari peraduan, kau sudah siap memulai hari pertamamu.

Kegiatan pagimu … dengan anak-anak, siang kau bertemu dengan anak-anak, menjelang sore…

Aku tidak akan membayangkan bagaimana kau didepan mereka, bukan karena aku tak menyukai itu. Hanya saja, aku takut cemburu. Cemburu karena mereka akan lebih sering bertemu, sedangkan aku….

Jadi, kubayangkan kau di siang hari, menjelang istirahat mungkin. Usai dengan ibadahmu, tentu saja, tempat makan menjadi tujuanmu. Yah, kau akan pergi dengan beberapa rekan kerjamu yang lain, mungkin. Atau bisa saja kau pergi dengan beberapa pemuda yang sama umurnya denganmu, mungkin. Bercengkerama dengan beberapa anak-anakmu, meski aku tak tahu seberapa suka kau terhadap mereka.

Setelah itu, kau akan kembali ke rutinitasmu hingga menjelang sore.

Di sore hari, kau akan kembali ke kamarmu. Membersihkan diri sebelum kembali melapor pada pemciptamu. Setelahnya, mungkin kau akan disibukan dengan kegiatan yang ada, kubayangkan kau tetap berada di surau, atau kembli masuk ke dalam ruangan, sementara anak-anak menunggu dengan gelisah di tempat duduk mereka. Atau bisa saja ternyata tidak ada kegiatan semacam itu, sehingga kau bebas kembali ke kamarmu, berada di sana lebih lama, lebih merenung, lebih….

Menjelang malam, setelah laporan terakhirmu dan mensyukuri nikmatNya hari ini, kau akan merangkak ke peraduanmu. Membaringkan tubuh lelahmu, melemaskan segala otot-ototmu yang tegang, juga pikiranmu yang mulai penat.

Dan sekali lagi, kubayangkan kau membaca bukumu.

Terkadang, aku pun membayangkan kau beradu cerita dengan malam. Di malam-malam yang kau habiskan, kau duduk-duduk di teras kamar dengan seorang kawanmu yang juga bekerja di sana. Duduk sembari memetik gitar. Secangkir kopi pahit milik temanmu, sedangkan kau, secangkir teh manis hangat, itu cukup. Karena memang kau tidak suka kopi. Sesekali, kau melamun, sedangkan kawanmu mulai bercerita.

Kau akan menghabiskan waktumu seperti itu, seperti kebiasanmu, atau kau sibuk dengan game di ponselmu, atau kau sibuk dengan menggambar sesuatu, atau kau … sibuk membaca bukumu, lagi.

Aku tidak ingin membayangkan kemungkinan terburuknya, aku tidak ingin membayangkan bagaimana jika seseorang di sana, menarik perhatianmu. Seseorang yang amat cocok denganmu, seseorang yang sempurna, baik di matamu, atau Tuhanmu.

Aku tidak ingin membayangkan itu.

Jadi, kuakhiri kisahku di sini, berhenti di titik di mana hatimu masih sendiri.

 

July 11, 2019 (23:23).

guilherme-araujo-final-chibi-port-removebg-preview

-edited by @author6 Project Sairaakira

9. The Rain

13 votes, average: 1.00 out of 1 (13 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

 

Baca Parts Lainnya Klik Di sini

==========

download (1)

Ketika aku membuka mata, hal tertama yang kulihat adalah hujan dan … kau.

Jutaan air jatuh menghunjam bumi, membasahi jalan-jalan, dedaunan, membasahi unsur hara, memberi kehidupan. Aroma tanah nan kering bercampurkan air menyeruak dalam indra penciumanku, lalu riuh rendah mulai terdengar di atas kepalaku, terdengar pula suara orang-orang mendesah—mungkin karena kesal—juga derap cepat sepatu orang-orang mulai terdengar nyata di telingaku, menarikku kembali untuk sadar bahwa waktu masih berjalan.

Dan kau berdiri di bawah sana, bersama hujan yang menerjang di sekitarmu.

Kuingat hari itu masih musim panas, atau bisa kukatakan penghujung musim panas. Hujan membuat tekanan udara berubah seketika, lebih sejuk tapi masih tetap hangat. Tidak lembap tidak pula panas, tidak kering tidak juga basah. Meski begitum nuansa sejuknya tidak lantas membuatku mendingin. Tetapi kau berbeda, kau telah siap dengan baju hangatmu, hijau muda garis-garis putih.

Sebuah payung bening menaungimu, melindungimu dari serangan hujan yang kian menderu. Sepatumu telah setengah basah—tidak heran karena kau berdiri di atas genangan air. Namun, kau seolah tidak peduli, kau malah asyik menikmati hujan yang turun hari itu.

Tanganmu lalu menengadah, keluar dari lindingan payungmu, menjulur sengaja dan membiarkan hujan membasahi langan bajum yang meskipun sebenarnya telah kau gulung, tetapi tetap basah karena angin mengembuskan rintik hujan ke arahmu.

Sesekali kau berlari kecil, melompat-lompat dari genangan satu ke genangan yang lain, persis seperti anak kecil yang baru mengenal nikmatnya hujan, berputar-putar seolah-olah  tengah berada di sebuah lantai dansa kerajaan dan asyik menari waltz dengan musik latar nan lembut. Lalu akhirnya kau bersorak riang sambil melempar tanganmu tinggi-tinggi ke udara, hingga sekarang kau tidak lagi dalam naungan payung kesayanganmu.

Bagaimana aku bisa tahu? Mungkin karena kantung kecil yang kau gantungkan di gagang payungmu. Entah apa itu. Jimat keberuntungan … mungkin.

Aku masih memerhatikan dari tempatku, mengawasi senyum yang mengembang di bibirmu mampu membuatku ikut mengangkat sedikit sudut-sudut bibirku. Sekadar ikut bahagia dengan tingkamu yang—aku tidak yakin bagaimana aku harus mengatakannya– sedikit memalukan.

Ah, bahkan aku tahu nama atau asalmu. Namun, entah kenapa aku merasa bahwa senyum yang tunjukan itu … hanyalah kepalsuan.

Seolah-olah, kau sedang menutup sesuatu yang bercokol dalam kegelapan hatimu.

Seolah-olah, kau hanya sedang menghibur dirimu sendiri.

Seolah-olah, kau tidak benar-benar berada di sana.

Seolah-olah … kau sedang melarikan diri….

Sepertiku.

Aku menatap ujung-ujung sepatuku yang kurasa kian melembap, kemudian aku menengadah, menatap bulir-bulir yang kian deras. Sepertinya mereka tidak berencana akan segera reda.

Embusan angin membuat udara kian turun, aku bahkan mulai merasa merinding kedinginan, sementara kau … masih berdiri di bawah hujan.

Kau telah menurunkan payungmu, membiarkan hujan membasahimu. Tentu dengan senang hati hujan lebih deras menimpamu saat kau membuka diri seperti itu, mengguyurmu sampai tak ada lagi ruang kering di tubuhmu.

Wajahmu bahkan kian memucat, aku sampai takut kau terkena flu, rambutmu telah basah kuyup, meneteskan bulir-bulir air di ujung-ujung rambutmu. Senyum yang tadi mengembang di bibirmu telah memudar. Matamu kian sendu, bibirmu tertekuk ke bawah, dan tubuhmu mulai gemetaran.

Dan aku tidak yakin air yeng mengalir di sudut matamu itu adalah air hujan atau … tangisanmu?

Lalu aku kembali menatap ujung-ujung sepatuku. Bus yang harusnya kutumpangi telah datang, satu per satu orang meninggalkan halte. Yang tersisa di sana hanyalah aku … juga hujan yang masih turun.

Aku mendengar suara deru mesin yang meninggalkanku tak mau sekadar menunggu calon penumpang yang tak juga beranjak naik.

Sekarang aku bisa mendengar hujan yang turun dengan khidmat;

Suara hujan yang menimpa dedaunan,

Hujan yang menimpa ranting-ranting,

Hujan menimpa batang pohon,

Hujan menimpa atap-atap rumah,

Hujan menimpa atap-atap halte,

Hujan menimpa kaca-kaca,

Hujan menimpa bahu-bahu jalan,

Hujan menimpa aspal-aspal jalan,

Hujan menimpa genangan-genangan air,

Dan, hujan menimpamu….

“Kau sedang apa?” Aku tak tahu darimana datangnya keberanianku untuk menegurmu.

Dia terkejut.

“Kau akan sakit kalau terus berdiri di sini.” Aku menegur lagi.

Dia menoleh.

Wajahmu benar-benar pucat, bibirmu yang tadinya mungkin merah sekarang berubah pink pucat setengah membiru dan tampak bergetar kedingina. Matamu—kurasa kau memang menangis—telah memerah dengan menyedihkan. Tanganmu tampak terkepal di samping tubuhmu, meremas kuat baju hangat yang kau kenakan hingga keluar airnya Aku sampai khawatir kuku-kukumu bisa melubangi bajumu sendiri.

Aku menaungkan payung yang sebelumnya kau geletakkan. Payung itu sekarang telah kembali menaungimu, tentu saja dengan bantuanku.

Hari itu penghujung musim panas, hujan turun tiba-tiba, udara berubah drastis, aku berdiri di bawah hujan dengan sebuah payung transparan di tanganku, mendengarkan hujan turun di atas kepalaku, dan kau yang menatapku terkejut sekaligus senang.

Hari itu, seperti sebuah gerakan slow motion dalam film bisu. Seperti hanya ada kami di sana, seperti hujan menjadi suara latarnya.

Lalu kau berbisik dengan suara samar nyaris tak terdengar.

“Aku … kamu.”

October 15, 2018. (18:55).

 

guilherme-araujo-final-chibi-port-removebg-preview

-edited by @author9 Project Sairaakira

8. Cloud, Drizzle, and You

9 votes, average: 1.00 out of 1 (9 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

 

Baca Parts Lainnya Klik Di sini

 ==========

fc88177c4beddb532ebe4c01f7877fc1--gays

Ketika itu langit berangsur-angsur berubah kelabu, berarak dari selatan menuju ke utara, kemudian meluas. Tanpa adanya awan cumolonimbus yang bergulung-gulung seperti kapas kotor atau awan sirus yang terseok-seok angin di lapisan ozon entah ke berapa.

Hanya kelabu, kelabu yang perlahan-lahan berubah menjadi pekat.

Aku menatap langit abu-abu itu dari kaca bus yang tengah kunaiki. Perlahan benda besar beroda empat ini membawaku pada tempat pertemuan kita, menembus membelah angin dingin pertengahan musim gugur yang tak bersahabat. Tak berapa lama, jendela-jendelanya mulai berkabut. Tampaknya, Tuhan telah bosan dengan kelabu, sehingga diperasnya awan kelabu itu hingga punah dan lebur saat menjatuhkan air dari langit-langitnya.

Tak deras, hanya berupa gerimis yang kemudian menyebar jatuh entah ke mana. Gerimis yang melembabkan baju kita saat percikannya terserap habis dan meninggalkan setitik noda pekat yang menggayuti dalam dingin.

Seharusnya sekarang kau sedang berteduh entah di mana, karena gerimis itu kian deras, berubah menjadi hujan hingga permukaan kaca di sampingku basah oleh percikannya.

Seharusnya kau sedang menunggu dia di tempat semestinya.

Gerimis belum jua berhenti saat aku telah sampai di tempat pertemua kita dan aku pun turun dari benda besar itu. Aku memperhatikan, jalanan telah ramai, festival musiman memang selalu menarik banyak pengunjung untuk datang. Sekonyong-konyong aku teringat akan janji pertemuan kita. Kutolehkan kepala ke arah halte bus yang hanya diisi oleh segelintir manusia; sepasang kekasih, seorang pria tua paruh baya, dan seorang ibu menggandeng anak perempuannya yang telah siap menghadiri festival.

Aku menatap nanar pada mereka. Kau memang semestinya telah pergi, dan aku harus menerima itu.

Kutarik napas dalam dan kubusungkan dada

Tidak apa-apa, ini hanya festival, akan ada banyak orang yang kukenal jika aku berjalan lebih jauh. Aku hendak pergi ketika benda di tanganku tiba-tiba bergetar.

Panggilan darimu. Kugeser ikon hijau di layar ponselku dan kutempelkan segera di telinga.

Yang kudengar pertama adalah suara gemeresik gerimis dan disusul suara baritonmu yang selalu membuat napasku tercekat sesaat.

[Jangan hanya berdiri di sana.] katamu.

Aku mengerut kedua alisku. “Di mana kau?”

[Tepat di sampingmu.]

Sesegera mungkin kutoleh kepala ke samping dan kudapati kau dengan cengiran khas yang membuat napasku tersekat serta pikiranku tercabut dari tempatnya sebentar.

Sweater berpadu celana jeans yang kau kenakan lembap karena hujan, bahkan telah basah di beberapa tempat, membuatku mengira-ngira, berapa lama kau berada di bawah gerimis? Rambutmu—yang barangkali baru dipotong—tampak melembap pula, bahkan kaca mata yang membingkai matamu sedikit berembun di sisi-sisinya.

Haruskah aku berdebar seperti ini?

“Terpesona?” Suaramu terdengar dekat.

Aku terlonjak kaget dan sesegera mungkin memalingkan wajah, menyembunyikan rautku yang panas karena malu. Tetapi kau malah tertawa. Sial!

Lalu kau memimpin langkah, membaur ke dalam festival itu dan aku terengah, baru saja aku berlatih ala latihan militer tetapi sepertinya itu tak membantu staminaku untuk mengimbangimu. Berjalan bersamamu sungguh melelahkan, aku harus mempercepat langkahku untuk menyamai langkahmu yang lebar-lebar, jauh lebih cepat dan terasa lebih tergesa-gesa. Sungguh, itu membuatku lelah. Terlebih ketika harus berjalan di antara orang-orang yang semakin lama semakin berdesak-desakan ini. Aku takut kehilangan jejakmu dan tersesat di antara orang-orang ini.

“Bisakah kau berjalan lebih pelan? Kakiku sakit dan aku tak bisa mengejarmu seperti biasa, baju ini memperlambatku,” tegurku suatu ketika.

Kau hanya tertawa, tapi tak menghiraukanku setelahnya. Kau tetap berjalan seperti biasa. Menyebalkan!

“Aku janji bertemu pukul delapan, seharusnya. Aku akan terlambat kalau tidak cepat-cepat,” katamu saat itu.

Kemudian aku sadar tentang alasan kenapa aku ada di sini. Aku di sini untuk menemanimu datang menemui gadis itu. Bodohnya aku. Kau yang menghubungiku malam itu untuk pergi ke festival sekaligus bertemu dengan seorang gadis kenalanmu. Awalnya aku setuju, toh hanya menemaninya. Tapi ketika aku memikirkan kau akan menemui gadis itu, jujur. Ada rasa sesak di dada sebelah kiriku, ada ketidaksukaan yang merongrong, kesal bercampur penasaran—seperti apakah gadis itu? Kenapa dia bisa begitu menarik perhatianmu?

Aku kembali mengeluh bahwa kakiku sakit dan memaksa berhenti untuk  sekadar beristirahat. Namun, ketika kumenengadahkan wajah, aku tidak bisa menemukanmu di manapun. Mungkin kau menghilang bersama-orang-orang, atau akulah yang tertelan dan terseret arus menjauh oleh orang-orang ini.

“Tenanglah, tenanglah.” Aku menggumam sendiri, berusaha menenangkan hatiku.

Aku mengambil ponsel di tanganku, menekan ikon panggil di sana. Saat itu aku menepi dan berdiri di samping tenda penjual jajanan dengan musik yang disetel cukup keras.

Panggilan tersambung.

“Halo? Kau di mana? … Halo?”

[Halo…]

....”

Aku menurunkan benda itu dari telingaku saat mataku kebetulan lebih dulu menangkap sosokmu di antara orang-orang itu, di antara kerumunan beberapa gadis, dan tampak jelas ada seorang gadis berambut cokelat sewarna rambut jagung yang berdiri dekat di depanmu.

Ia tampak malu-malu, kau pun sama. Kalian berbicara dan kau tampak memutuskan panggilanku secara otomatis karena perhatianmu terfokus hanya kepada gadis itu.

Aku memandang kalian berdua dengan tatapan menerawang. Saat itu juga aku sadar, bahku tak seharusnya ada di sini, menyaksikan semua hal menyakitkan yang membuatku ingin merobohkan diri kehilangan kekuatan.

Kusimpan benda di tanganku ke dalam tas tangan, kemudian kutinggalkan tempat itu.

Tampaknya kau tak perlu aku untuk bertemu dengannya.

Aku berusaha menyingkirkan rasa sakit itu. Namun, yang sudah terlanjur bersarang di sana, tak bisa lagi aku tinggalkan.

Aku tersedu-sedu di tangga menuju sebuah taman. Tempat itu sepi, cukup jauh dari tempat festival diadakan. Karena tidak ada tempat yang bisa aku kunjungi di tengah hiruk pikuk bahagia yang berlawanan denganku, aku hanya mengikuti kehendak kakiku yang memimpin langkah.

Kemudian, saat aku berada dalam dekap sepi, tubuhku roboh sekatika.

Tak perlu aku tahan lagi, aku menangis tersedu-sedu sekeras mungkin hingga kepalaku terasa pusing.

Tampaknya, Tuhan belum juga selesai memeras kain kelabu di atas sana, sehingga gerimis masih saja turun ke bumi tanpa lelah. Mungkin mereka sengaja turun untuk ikut berpesta pora di antara orang-orang yang datang ke festival, atau memang hanya ingin menyapa untuk menambah warna.

Mungkin, aku salah satu yang ingin mereka sapa malam ini.

Bajuku tak lagi lembap tapi sudah hampir basah saat aku menandaskan tangisku. Dan tampaknya Tuhan terlalu cepat menarik waktu sehingga tanpa sadar, nuansa larut mulai menjelang.

Kuputuskan untuk pulang, barangkali tak ada yang bisa kulakukan atau aku tunggu di sana selain menengadah dalam kesepian sambil mendengar sapa ramah rinai gerimis.

Aku berjalan sedikit terseok. Orang-orang pun tampaknya telah beranjak pulang.

Oh, berapa lama aku menangis tadi? Barangkali tadi aku juga ketiduran karena lelah menangis?

Bagaimana aku sekarang?  Apakah aku harus mencarimu? Namun, Ah, biarlah, lebih baik aku tak memedulikanmu lagi, toh kau tidak mungkin datang lagi, jika sekadar untuk–

“Oh!”

–menemuiku.

Seharusnya sekarang kau sedang berteduh entah di mana, karena gerimis kian derasnya hingga mataku ikut berkabut. Seharusnya kau menemaninya di tempat semestinya. Seharusnya…

“Kau dari mana saja?”

“Kau … kau….” Entah kenapa, aku jadi gugup.

“Aku mencarimu,” tambahmu lagi.

Aku mengerut kening. “Kenapa kau ada di sini?” tanyaku bingung

Dan kau lakukan hal yang sama, mengerutkan keningmu seolah kau tak memahami kenapa aku bertanya seperti itu.

“Kau ini aneh sekali. Tentu saja mengantarmu pulang,” sahutmu cepat.

Aku mendekus pelan. “Tak perlu kau antar, aku bisa pulang sendiri.”

Kau mengerut kening lagi, reaksi khamu ketika sedang meragu. “Kau yakin?” tanyamu pelan.

Aku mengangkat bahu, berpura-pura tegar.

“Aku bukan anak kecil. Lagipula … kau masih punya urusan, bukan?”

“Urusan apa?” sambarmu cepat.

“Tentu dengan kekasihmu.”

“Yang mana?” Kau menyambar lagi, tanpa rasa bersalah.

Aku mengembuskan napas dramatis. Astaga. Ini mulai terasa melelahkan.

“Yang baru saja kau temui! Tidak kahkau tahu? Aku pulang karena aku tak ingin mengganggu kalian, aku bahkan menunggu di taman sembari menghitung seberapa banyak gerimis menyapaku, walau kakiku sakit dan aku tak mengharapkan kau … ada di sini … untuk mengantarku pulang,” suaraku menghilang saat aku menyadari bahwa aku telah meluncurkan kata terlalu banyak, lebih daripada yang seharusnya.

Kau terkejut. Tentu saja. Begitu jelas di wajahmu. Kau benar-benar terkejut.

Aku memperhatikan lebih jelas. Rambutmu telah lepek, mungkin karena terlalu sering gerimis menyapanya, sweatermu setengah basah, begitu pula dengan jeans yang kau kenakan, kacamatamu juga tampak masih mengembun.

Apa yang kau lakukan? Apakah kau berdiri di tengah hujan dengan sengaja? Seberapa bodohkah dirimu?

“Kenapa kau basah seperti ini?” Aku menegur tanpa menyadari bahwa kondisiku sama persis dengannya. “Setidaknya, jika gerimis turun seperti ini, berteduhlah di tempat beratap, bukan bersandar di sini,” cicitku lagi setengah menggerutu.

Kemudian kau terkekeh. Aku sebal dengan tawa jenakamu. Menganggap lelucon segala ucapanku di saat yang tidak tepat. Tapi saat aku hendak berbalik pergi, kau tiba-tiba menangkap bahuku agar tetap berada di sana.

“Seharusnya kau bilang dari awal, kalau kau tidak menyukai gerimis dan….” Kau mencondongkan wajah di sisi wajahku lalu berbisik dengan nada penuh arti. “Katakan saja bahwa kau cemburu. Sebab, jika aku tahu itu, dengan senang hati aku akan membantumu melewatkan sisa gerimis ini dengan lebih baik.”

Dan bibirmu mendarat di bibirku.

November 22, 2017 (22:53) 

guilherme-araujo-final-chibi-port-removebg-preview

-edited by @author7 Project Sairaakira

7. Silent Story About Spring

11 votes, average: 1.00 out of 1 (11 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

 

Baca Parts Lainnya Klik Di sini

==========

ec338fdea86ca63dfd8b34913911200d

Saat itu adalah musim semi yang bahkan tak bisa kunikmati sama sekali. Tahun ajaran baru, kelas baru, murid baru, disibukkan dengan demo ekskul, dihiasi bunga sakura yang bermekaran.

Banyak yang membuatku bosan dalam segala hal, kelas, guru, bau kapur di papan tulis, suara berisik dari klub olah raga, suara tawa renyah di tengah tugas yang berbelit, suara keluh orang-orang, juga dia yang hanya termangu menatap langit musim semi seolah itu adalah … sebuah kiamat.

Oh, aku tahu ini sedikit mengerikan mengatakan hal itu tapi aku berkata jujur kali ini. Dia menatap langit setiap hari dengan tatapan yang seolah-olah menyiratkan kalimat ‘Ah, aku sudah tidak punya harapan’ atau ‘Duniaku sudah hancur’ atau ‘Masa bodoh dengan hidup’.

Aku tidak mengerti kenapa bisa aku menyimpulkan semua hal itu? Namun, setiap kali aku melihat dia yang hanya termangu menatap jendela setiap harinya, entah kenapa membuatku sedikit sebal.

Karena sikapnya itulah, dia tidak pernah tahu jika bukan hanya ada orang itu. Bukan hanya ada orang itu yang bernapas di dunia ini, bukan hanya ada orang itu yang hidup di dunia ini.

Ah, cinta masa muda.

Aku mengatakannya bukan berarti karena aku sudah tua. Tidak! tentu saja.

Sebenarnya aku tidak terlalu mengerti dengan cinta semacam itu, aku pikir itu hanya sebuah fiksi, omong kosong yang terus diperbarui dari era lama hingga menjejak ke era baru, dari zaman nenek atau kakek moyang yang diteruskan hingga ke zaman cucu-cicit mereka.

Aku tidak mengerti semua kisah klise itu. Aku tidak mengerti, aku juga tidak mengerti dengan dia.

Dengan segala hal yang dia lihat, hal yang dia rasakan, juga hal yang membuat dia begitu larut dalam dunianya sendiri. Aku pikir ini seperti sebuah literatur klasik dari era Victoria atau zaman kerajaan dulu. Namun, kembali lagi, ini kisahku. Kisah yang bahkan aku tidak menyangka bahwa aku akan bisa mengalaminya.

Hanya … sebuah kisah omong kosong, klise, dan … entahlah.

Entah bagaimana, hari-hari itu berlalu dengan cepat, tanpa tahu kapan aku bisa berhenti melakukan hal konyol ini. Aku terus melakukannya berulang-ulang, berhari-hari, berjam-jam, bermenit-menit, bahkan di setiap detiknya.

Aku sempat bertanya, ada apa dangan diriku saat ini?

Tapi kemudian aku sadar aku baru saja mengalami fase yang sangat klise dan menyebalkan itu.

Aku jatuh cinta padanya.

Ingin tahu kisah awalnya? Tidak? 

Bukan masalah karena aku tetap akan memaksa menceritakannya.

Aku, hanya bertemu dengannya sekalim ketika itu di kelas bahasa. Ada beberapa hal yang tidak aku suka dalam kelas ini. Selain guru yang membosankan, juga ada beberapa anak yang pernah satu sekolah denganku ketika SD dulu dan mereka sungguh menyebalkan, mereka suka mengorek-ngorek informasi pribadi demi kesenangan, lalu bangga saat berhasil membongkar beberapa rahasia kecil kami yang memalukan kepada seluruh anak di kelas. Menjengkelkan.

Di kelas bahasa itu, aku bertemu dengan seorang gadis berambut panjang yang mata yang menyorotkan kesepian di saat senja di musim gugur tahun lalu. Sekali dua kali aku melihatnya termangu di dekat jendela setiap senja datang, lalu aku juga mendengar beberapa gosip tidak mengenakan dari beberapa siswa di kelas bahwa beberapa waktu lalu … bahwa kekasihnya meninggal karena sakit.

Sejak saat itu aku mengerti kenapa dia begitu menyedihkan. Aku mulai menatapnya sinis karena aku tak paham bagaimana bisa manusia memilih terus menjejak pada sesuatu yang telah tiada dan berkubang di sana tanpa mau menyelamatkan diri? Namun, kemudian aku sadar kalau ternyata, tatapan mataku kepadanya itu lebih dari perasaan sinis. Ternyata… itu adalah tatapan iri.

Iya, aku iri pada orang mati itu, aku iri karena masih ada yang begitu mencintainya bahkan setelah dia tiada, ternyata masih ada yang begitu berharap jika semua kisah kepergiannya itu hanyalah sebuah mimpi buruk dalam tidur dan hanya sebuah ilusi. Aku iri.

Beberapa saat lalu aku mulai mencoba bicara dengannya, berbicara tentang apa pun. Dia memang menyahut, tapi tatapan mata itu tidak pernah bersinar, tidak pernah seperti berkilauan lagi. Lagi? Ya, jujur saja aku memang pernah melihatnya dengan berhias senyum merekah di bibirnya. Sungguh seperti berlian asli, sangat cantik.

Beberapa kali aku mengajaknya mengobrol seperti itu, lalu aku jadi jengkel sendiri. Kenapa? Tentu saja karena dia tidak pernah menganggap lawan bicaranya ada, tidak pernah menatapku, tidak pernah mengubah tatapan kosong itu dengan tatapan yang bersinar seperti dulu. Dia telah menganggap semuanya mati, bahkan hatinya.

Cemburu?

Ah, mungkin benar. Aku cemburu pada orang mati itu, pada awan kelabu selepas hujan yang dipandanginya dengan sendu, bahkan pada jendela yang kenyataannya lebih sering dia lihat setiap menit dan detik waktunya dibandingkan diriku. Itu memang konyol. Sebab, bagaimana bisa aku cemburu pada benada-benada itu—termasuk orang mati itu?

Namun, begitulah kenyataannya. Aku cemburu.

Begitulah kisah kliseku, kisah yang terlalu tersembunyi dari riuh kelas, dari tatapan tajam guru, dari bisik-bisik menjengkelkan orang-orang, juga dari rasa berkabung seseorang. Kemudian diam-diam aku akan melupakannya membiarkan awan kelabu menghancurkan semuanya, meleburkannya menjadi tetes-tetes rinai hujan yang akan jatuh entah ke mana setelahnya, lalu hanyut samar dan menghilang tanpa jejak.

Inilah kisahku, kisah cinta pertama yang klise, tragis, sekaligus ironis. Karena aku tidak lebih dari seorang pengecut kecil yang tidak mampu mengungkapkan perasaannya pada seorang gadis yang berhiaskan tatapan menyedihkan dalam setiap harinya.

Ini kisah masa mudaku, kisah mengenaskan dari sisi musim semi yang menghangatkan, tetapi ternodai oleh hati berdarah karena cinta tak berbalas.

 Desember 23, 2015 (20:56).

 

guilherme-araujo-final-chibi-port-removebg-preview

-edited by @author6 Project Sairaakira

 

6. First Time I Meet…

18 votes, average: 1.00 out of 1 (18 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

 

Baca Parts Lainnya Klik Di sini

==========

952860c08e81c34bd298ebdb7089c17c

Hari itu adalah sore di musim panas yang terik. Kelas sudah bubar sekitar setengah jam yang lalu ketika aku bertemu dengan seorang gadis di dalam kelas di lantai dua, gedung sebelah barat.

Masih segar di pikirank, ketika itu kelas sudah kosong, lorong-lorong mulai sepi, cahaya matahari masuk dari jendela. Dia berdiri di dekat jendela yang terbuka, dekat tirai yang melambai tertiup angin, berselubung cahaya keemasan dari senja. Samar-samar, terdengar suara sorak-sorak klub olahraga di lapangan, menguarkan bau debu dari tanah kering ke udara. Juga mata yang menyimpan kesepian.

Aku terpaku di depan pintu masuk kelas 2-3, menatap tubuh kecil yang tertimpa cahaya senja. Hidungku menghidu aroma asing yang dibawa oleh angin yang masuk melalui jendela terbuka.

Tubuh itu tampak kecil, lebih tepatnya kurus, dan seolah sangat rapuh. Sampai aku berpikir ingin mendekapnya. Bahunya merosost beriringan dengan suara hela napas halus yang dia keluarkan ketika mengembuskan napas.

            “Hiks.”

Aku menahan napas begitu mendengar suara isakan pelan lepas dari bibirnya, ada yang terasa menusuk ulu hatiku. Aku hendak pergi diam-diam tanpa di ketahui olehnya. Namun seolah terhipnotis, aku malah melangkah masuk ke dalam kelas tersebut, lebih sialnya lagi, aku malah menyenggol bangku barisan paling belakang, menimbulkan suara cukup keras hingga dia terkejut dan menoleh.

Saat itulah… aku melihat air mata mengalir dari sudut-sudut matanya.

Hari itu adalah sore di musim panas yang terik. Kelas sudah bubar sekita 35 menit yang lalu ketika aku bertemu dengan seorang gadis di kelas 2-3. Lantai dua, gedung sebelah barat. Tubuh kurus dan rapuh yang tertimpa cahaya senja itu seolah-olah merasa kesepian, mata yang menyiratkan kesendirian, juga air mata yang mengalir dari sudut-sudut matanya.

Hari itu untuk pertama kalinya…

Aku … jatuh cinta.

 

November 10, 2015 (23:02)

 

guilherme-araujo-final-chibi-port-removebg-preview

-edited by @author6 Project Sairaakira

5. I Know!!!

18 votes, average: 1.00 out of 1 (18 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

 

Baca Parts Lainnya Klik Di sini

==========

7017c4f9351ff801e79c4809fddbbab0

Saat itu tepat musim semi, musim yang hangat, udara sejuk, embus angin yang menenangkan dengan kelopak bunga berguguran, juga suara lonceng yang menggema.

Lonceng-lonceng pernikahan.

Harusnya ini adalah hari bahagia, harusnya ini adalah musim penuh cinta.

Harusnya … aku membiarkannya saja dari awal.

Aku memperhatikan lagi dress yang aku kenakan, terusan selutut yang cantik. Aku juga mengenakan riasan tipis, rambutku kugerai dan menambah pesona cantik alamiku, aku juga mengenakan sepatu yang cantik yang dia berikan padaku.

Ya, dia. Aku tak datang sendirian, aku datang bersamanya.

“E-em.” Aku berdeham untuk menarik perhatiannya kepadaku.

Dia yang sebelumnya melamun akhirnya menoleh, matanya tajam menatapku.

“Oh, kau sudah selesai?” tanyanya.

Aku mengangguk.

“Iya. Maaf kalau aku lama.

“Apa maksudmu? Kau tidak lama. Ayo, sepertinya acaranya akan dimulai.”

“E-em,” gumamku pelan.

Dia berjalan mendahuluiku, aku mengekor di belakangnya. Lorong itu tak begitu terang, tetapi juga tak begitu gelap, lampu-lampu di sepanjang lorong jelas cukup untuk penerangan. Dari belakangnya, aku bisa melihat bahunya yang lebar, tubuhnya yang tinggi, kakinya yang jenjang, juga bagian belakang rambutnya yang mulai panjang, menyentuh kerah bajunya.

Aku mempercepat langkahku sedikit sampai kami hampir berjalan beriringan. Setelahnya, aku melirik dari ujung mataku, memandang diam-diam ke arahnya. Bisa aku lihat lekuk wajahnya, frame hitam yang membingkai kaca matanya, juga manik mata yang menyimpan kesedihan tersembunyi.

Dan kesedihan itu menular.

Aku tahu itu. Aku tahu.

Lonceng-lonceng berdentang memenuhi ruangan, dipenuhi orang-orang yang tampak rapi dengan pakaian terbaik pilihan dari yang bisa mereka kenakan.

“Kau tidak ingin melihat pengantinnya?” tanyaku memberanikan diri.

Dia tampak berpikir, tak lama sampai dia kemudian hanya menggeleng lemah. Bibirnya lalu tertarik ke atas dengan lengkungan getir, membentuk sebuah senyuman. Senyum kepedihan.

“Tidak, kita akan melihatnya juga saat mereka di altar nanti.”

Matanya meredup seolah menerawang, lalu kilat senyum itu seketika menghilang.

Harusnya aku tahu, harusnya aku mengerti. Tapi untuk kali ini aku egois.

“Ayolah, kita tidak akan bisa mengobrol dengan mereka kalau mereka sudah di altar. Ayolah sebentar saja,” Sebentar saja agar kau tahu bahwa gadis itu bahagia, dengan begitu kau akan mudah melupakannya.

Jahat. Aku benar-benar jahat. Ya, itu semua karena aku diam-diam membenci gadis itu. Dan karena aku mencintai lelaki ini.

Lelaki itu pasrah, seperti sapi yang digiring ke ruang pejagalan. Aku sendiri mempersiapkan senyumku saat dekat dengan ruang pengantin. Berusaha memberikan wajah ceria terbaikku, sandiwaraku yang paling hebat.

“Lihat, siapa yang berwajah tegang ini?” seruku, menyapa dalam tawa saat memasuki ruangan.

“Astaga, kalian datang. Dan lihat siapa yang datang berduaan di sini!”

Suara bersemangat lembut yang menyahuti itu membuat bukan hanya mataku, tetapi juga matanya terpaku ke arah sang pemilik suara.

Gadis itu terlihat cantik, wajahnya yang dirias dengan riasan natural membuatnya kecantikannya semakin menonjol. Dia memakai gaun berwarna putih tulang yang terlihat mengembang besar seperti gaun seorang putri ketika dia duduk.

Gaun yang indah dan gadis itu sangat cantik. Jauh lebih cantik dariku.

Aku mengerucutkan bibir pura-pura merajuk ke arahnya.

“Jadi kau ingin kami datang terpisah? Dia tidak akan datang tepat waktu jika bukan aku yang menyeretnya.”

Gadis itu tertawa.

Pfft, kau sudah seperti ibunya.”

Aku mengangkat daguku, tersenyum lebar.

“Itulah sebabnya kalian harus patuh padaku,” kataku sambil berkacak pinggang.

“Baiklah, Bu. Maafkan aku.” Gadis itu membalas candaku, membuat wajah sedih yang dibuat-buat, tapi kemudian seringaian penuh tawa terukir di bibirnya.

Aku mendengus dan berpura-pura menggerutu.

“Lupakan. Aku menarik kata-kataku tadi. Rasanya aku jadi terdengar sudah tua dengan panggilanmu itu.”

“Hahaha.” Gadis itu terbahak keras, suaranya renyah memenuhi ruangan.

“Apa seorang pengantin tertawa seperti itu? Kau bahkan tidak cocok memakai gaun feminin semacam itu.”

Dia tiba-tiba berucap menyela candaan kami, membuatku langsung melirik padanya. Lelaki itu mengatakan kalimatnya dengan wajah yang tenang, tak terbaca.

“Oh, lihat siapa yang bicara di sini. Apa kau mengenalnya?” Gadis itu memutar bola matanya, setengah mengejek sebagai tanggapan.

“Kurasa tidak.” Aku ikut membantu sang pengantin, melawan lelaki itu berduaan.

Cih.”

“Hahahaa.”

Rasanya aneh, benar-benar aneh, ketika suara tawa kami memenuhi ruangan kecil itu. Rasanya seperti kau ditarik pada masa-masa yang asing dalam ruang atmosfir tak dikenal. Semuanya asing, padahal kami dulu tidak pernah mempermasalahkannya.

Atau hanya aku yang merasakannya, karena sekarang aku diam-diam sudah tahu sejarah mereka.

“Aku rasa aku akan melihat pengantin prianya dulu dan menyapa. Apa kalian keberatan jika aku meninggalkan kalian sebentar?” tanyaku pelan, menatap dua wajah itu dengan tatapan ingin tahu.

“Tentu saja tidak, pergilah dan sapa dia, dia pasti sangat gugup di sana.” Gadis itu terkekeh, matanya bercahaya saat menyebut tentang pengantin prianya. Lalu, dia menambahkan dengan nada berhati-hati. “Lagi pula … ada banyak hal yang ingin  kubicarakan dengannya.” Sang pengantin menyahuti dengan riang tanpa beban, menatap ke arah dia yang tak membantah ataupun menolak.

“Itu bagus, teman lama memang harus saling berbincang sebelum upacara penting. Baiklah! Selamat berbincang-bincang.” Aku menganggukkan kepala dengan senyuman tipis, menyembunyikan getir.

Aku berbalik, untuk sejenak aku berusaha berjalan lambat-lambat, memberinya kesempatan.

Betapa inginnya aku supaya dia memanggilku, mengejarku dan mengikutiku pergi. Betapa inginnya aku supaya dia memilihku. Namun, itu tidak terjadi. Rupa-rupanya dia sudah menetapkan untuk tinggal di sana bersama gadis itu.

Aku memaksa diriku, mempercepat langkah meninggalkan mereka berdua dan keluar dari ruangan itu. Rasanya berat dan menyesakkan. Rasanya menyakitkan. Ketika aku berada di luar, aku menghentikan langkahku dan bersandar di dinding.

Pintu di sampingku tak sepenuhnya kututup jadi aku bisa mendengar apa yang mereka katakan.

Sungguh rendah diriku. Namun, untuk kali ini saja, untuk kali ini saja, aku ingin mendengarkan pembicaraan  mereka.

“Bagaimana kabarmu?” gadis itu memulai pembicaraan.

“Seperti yang kau lihat. Aku baik-baik saja.” Kali ini suara berat pria itu menjawab pertanyaan si gadis.

“Baguslah. Bagaimana hubungan kalian?”

“Ah? Untuk saat ini, kami hanyalah teman.”

Teman. Hanyalah teman.

Refleks, tanganku menyentuh dadaku dengan pedih mendengar kata sederhana yang menusuk jantungku.

“Kau tahu dia tidak merasa seperti itu padamu.”

Hening.

“Aku tahu. Aku tahu itu.”

“Lalu kenapa kau tidak—“

“Apa kau tidak merindukanku?” Dia menyela gadis itu seolah tak ingin mendengar nasihat lagi, suaranya mendesak perih.

Sementara itu aku masih berdiri di sini menahan sakit. Rasanya seperti dihantam sesuatu yang besar, rasanya kakiku seperti kehilangan kekuatan, perutku sakit seolah ada belati menusuk berkali-kali.

“Iya… aku merindukanmu–” Gadis itu menjawab

“Kalau begitu–“

Dulu.” Gadis itu menyelesaikan ucapannya dengan nada dingin nan lembut.

Hening lagi.

“Dulu aku merindukanmu. Sebelum kamu menghilang lalu kembali dengannya sebagai orang terdekatmu, yang ternyata adalah sepupuku sendiri. Pada saat itu, aku juga sudah menyerah menantimu dan membuka hatiku untuk menerima orang lain.” Gadis itu berucap lagi dengan nada getir.

“Aku tahu. Maafkan aku.” Suaranya terdengar penuh penyesalan.

Helaan napas terdengar kemudian.

“Kau tahu.” Entah kenapa ada nada sinis di dalam suara gadis itu. “Ya, kau tahu. Aku yakin kau juga tahu kalau yang kau lakukan sekarang ini, menyakitinya.”

“Ya, aku tahu.” Pria itu menyahuti getir.

Deg!

Jantungku berdenyut kuat ketika tidak mendengar nada penyesalan di sana untukku.

Air mataku sukses membanjiri pipiku.

Harusnya aku tidak terkejut, harusnya aku sudah menyadarinya dari dulu. Dari pertemuan yang kukira pertemuan pertama kami bertiga, yang tiba-tiba berubah menjadi canggung saat ternyata itu bukanlah pertemuan pertama. Aku tahu…

“Kau jahat…”

“Karena aku mencintaimu.” Pria itu menyahuti cepat.

“Itu dulu, dan sekarang aku akan menikah.”

“Ya kau benar…” Hening sejenak. “Dan kau cocok dengan gaun itu. Sangat cantik,” tambahnya parau, mengoreksi ucapannya sebelumnya.

“Terima kasih.”

Hening lagi.

“Boleh aku memelukmu? Untuk terakhir kali.” Pria itu berucap dengan suara bergetar, memohon seolah hidupnya bergantung pada jawaban sang gadis.

Aku tak sanggup lagi mendengar.

Harusnya aku tahu, harusnya aku tidak egois dan memilih berpura-pura tak tahu.

Pemikiran itu membuatku berlari meninggalkan tempat itu, melangkah pergi untuk mencari tempat di mana aku bisa menangis sepuas-puasnya tanpa gangguan.

Ketika aku kembali setelah merapikan riasanku untuk menutupi mata sembabku, mereka tampak biasa, menjaga jarak dengan kaku seolah tak terjadi apa-apa.

Senyum itu terpatri di bibirnya. Meski mata itu menyimpan isyarat tersembunyi, aku tahu kemana ia menatap.

Lonceng-lonceng semakin menggema, orang-orang sudah berkumpul di aula, mereka duduk dengan khidmat sembari menunggu sang mempelai wanita. Kami sendiri duduk bersebelahan di jajaran bangku belakang, tidak ada yang bicara setelah kami keluar dari ruang pengantin.

Tidak ada. Sepatah kata pun, tidak ada.

“Kau baik-baik saja?” tanyaku memulai pembicaraan.

Dia diam sejenak sebelum menjawab,

“Ya. Tentu saja.”

Pembohong.

Sesaat setelah itu pintu di belakang kami terbuka, menampakan iring-iringan pengantin wanita yang berbahagia. Gadis itu terlihat cantik dan rona bahagia jelas terpancar dari wajahnya, aku juga ingin dia melihatnya. Kerudung pengantin itu menutupi wajahnya namun semua orang pasti dapat melihat senyum manis dari bibir gadis itu, jelas menandakan kebahagiaannya. Ujung-ujung bibirku pun ikut terangkat terbawa aura magis  dari nuansa pernikahan yang sakral dan mengharukan.

Lalu entah bagaimana suara-suara itu semakin jauh, semakin menghilang, dan seperti gerakan slow motion, semuanya terasa berhenti.

Saat itulah, aku terdorong untuk menoleh dan menatapnya. Aku melihat dia tengah menatap gadis itu dengan tatapan lekat seorang kekasih yang mendamba.

Aku tahu, harusnya aku sudah tahu itu….

Tuhan, aku mohon, buat ia melupakan gadis itu dan mencari kebahagiaannya sendiri … denganku.

Setelah itu suara-suara lonceng terdengar lagi, suara-suara musik pengiring, juga suara pendeta yang akan memulai memberkati mereka, meresmikan mereka sebagai pasangan suami-istri mulai membahana memenuhi ruangan.

Ketika aku melirik kembali dari ujung mataku, aku tahu dia masih menatap gadis itu. Matanya menyiratkan kesedihan, seolah dunianya telah lenyap, seolah tak ada hari esok untuknya, dan seolah hanya gadis itu yang memiliki hak untuk terpantul di  bola mata mata beningnya.

Lalu tiba-tiba aku melihat senyum di bibirnya, sebuah senyum kepedihan, senyum untuk menertawakan dirinya sendiri. Aku pun ikut tersenyum masam dalam kesunyian, ikut menertawakan diriku sendiri.

Ini benar-benar lucu bukan?

Sepasang anak manusia dalam pesakitan.

“Ayo,” katanya.

“Kemana?”

“Pergi … kemana pun kau mau.”

“Kau tidak ingin memberi selamat kepada mereka?”

Hening. Dia kembali menoleh pada sepasang pengantin yang berbahagia itu, matanya sejenak menerawang kemudian teralihkan lagi pada kenyataan.

“Tidak, yang terpenting adalah doa, bukan ucapan selamat. Aku yakin mereka sudah bahagia sekarang.”

Aku menarik bibirku ke atas sedikit, lalu menganggukkan kepala.

“Kau benar. Ayo kita pergi.”

Aku tersentak tatkala tanganku digenggam oleh tangan dingin miliknya. Aku menatap jalinan jemari tangan kami, mulutku hampir saja terbuka namun suaraku segera tertahan di tenggorokan manakala aku masih melihat kilat muram di matanya.

Iris matanya masih saja memantulkan gadis itu, masih terpaku pada dunianya yang runtuh saat gadis itu termiliki oleh lelaki lain.

“Ayo.”

“Em.”

Aku mengekor di belakangnya dengan tangan kami yang masih bertautan, mengabaikan riuh keramaian di belakang kami. Aku juga hanya menatap dari jauh ketika acara pelemparan bunga dari sang pengantin wanita. Diam-diam aku berharap mendapatkan bunga dari sang pengantin.

Matahari musim semi mulai tinggi, semakin menampakkan cahayanya yang hangat. Tiba-tiba, aku merasa sesak, membuatku menengadahkan wajah. Di saat seperti itu pun, aku mengutuk mataku yang masih bisa menangkap muram di wajahnya.

Tidak, aku sudah tidak kuat lagi.

Hikss.

Loh … loh, kenapa aku menangis?”

Aku tahu, harusnya aku membiarkan mereka. Aku jahat, aku tahu itu.

“Kau tahu, dulu aku ingin menjadi bagian bahagia dari hari yang seperti ini. Musim semi yang hangat, di mana bebungaan mekar, dan aku mendengar lonceng-lonceng berdentang. Hari dimana aku berdiri di depan altar dan menunggu seseorang untuk datang kepadaku dari lorong berhias bunga.” Dia tiba-tiba berucap dengan suara menerawang, memecahkan keheningan di antara kami.

Aku juga ingin mendengar lonceng-lonceng berdentang bersahutan seperti suara Tinkerbell, aku ingin berjalan di altar dengan senyum seperti halnya berjalan di antara pohon-pohon sakura, dan merasakan lagi musim penuh kehangatan seperti halnya ketika aku makan kue penuh krim atau pai apel buatan sendiri. Dalam hatiku, aku menyanggah penuh kepedihan.

“…Aku pernah menyukainya,” tambahnya getir, membuat pengakuan tentang cinta lalu yang belum benar-benar berlalu.

Aku tahu itu.

“Sekarang, aku sangat ingin berdiri bersama orang itu seperti hari ini. Mengucapkan janji pernikahan sehidup semati di altar.”

Aku tahu!

Mataku sembab, aku tidak peduli. Suaraku hilang, aku tidak peduli. Kakiku gemetaran, aku tidak peduli. Angin menertawakanku pun aku tidak peduli dan dia menatapku dengan senyum penuh kasih, aku tetap tak peduli. Aku tak mau peduli lagi.

“Aku ingin orang itu bersamaku mulai sekarang. Karena dialah satu-satunya yang bertahan mencintaiku sepenuh hatinya.”

Angin musim semi berembus kencang di antara kami, membawa kelopak sakura yang gugur. Mataku masih basah dan buram, berkabut air mata sampai aku tidak bisa melihat dengan jelas.

Apa yang sedang dia lakukan?

Lelaki itu berdiri di depanku, dengan sebuah kotak kecil di tangannya. Dia kemudian menyodorkannya padaku.

Bibirnya masih menyunggingkan senyum. Senyum itu tertarik melengkung semakin lebar, semakin nyata di mataku.

“Maafkan aku terlambat menyadari bahwa kau adalah orang yang paling mencintaiku selama ini. Aku ingin kau di sisiku … Menikahlah denganku.”

“Hah?”

Juni 22, 2016 (12:04). 

guilherme-araujo-final-chibi-port-removebg-preview

 

 

-edited by @author7 Project Sairaakira

 

4. Sst…

17 votes, average: 1.00 out of 1 (17 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

 

Baca Parts Lainnya Klik Di sini

===========

28484266-256-k605339

Untuk beberapa saat yang lama, aku termangu saat mataku menatap pada sosok yang terbaring di atas sofa. Kakinya yang panjang diselonjorkan hingga naik ke atas lengan sofa. Manik mata yang selalu menatap tajam itu kini terpejam sempurna, suara dengkur halus yang keluar dari mulutnya terdengar seperti irama  lagu menenangkan. Wajahnya terlihat damai dalam tidurnya.

Permen stroberi di dalam mulutku mencairkan nuansa masam manis yang menyenangkan menyelubungi lidahku, tetapi aku tak fokus menikmati rasanya, terlalu fokus kepada dia yang merenggut semua perhatianku.

Entah sejak kapan sekarang aku sudah ada di sana, di atas kepalanya. Aku membungkuk untuk bisa melihatnya lebih jelas. Aku mengamati setiap inci wajahnya, menelisik setiap lekuknya, juga mencium lebih leluasa harum tubuhnya.

Sosok itu, sosok yang selalu membuatku berdebar setiap kali melihatnya, setiap kali berbicara dengannya, dan setiap kali aku mendengar suaranya.

Abaikan pikiran gilaku ini.

Aku tersenyum tatkala lenguhan halus keluar dari bibirnya, tubuhnya lalu menggeliat pelan seolah mencari posisi yang nyaman.

Sudut mataku berhenti pada bibir itu. Bibir merah ranum yang membuatku selalu terbuai.

Lalu terbesit dalam benarkku, sesuatu yang gila. Sesuatu yang … melibatkan hal-hal yang berhubungan dengan bibirnya. Aku berpikir, bagaimana kalau aku mengecupnya diam-diam dalam tidurnya? Apakah dia akan tahu?

Pemikiran itu membuat tubuhku bergerak sendiri, seolah sang tubuh lebih percaya diri dibandingkan dengan sang otak. Secara perlahan, aku mencondongkan tubuhku, lebih mendekatkan wajahku pada wajahnya. Begitu dekat, sampai aku bisa merasakan napas halusnya menerpa wajahku. Beberapa saat aku sempat ragu, tapi tak lama karena detik berikutnya aku sudah hampir menyentuh bibirnya.

Ah, tidak, tidak, tidak! Apa yang aku lakukan?

Aku baru saja akan menjauh dari wajah pria itu, namun secara tiba-tiba dan tak disangka-sangka lengan panjang pria itu menahan kepalaku. Dan sepersekian detik berikutnya bibir kami bersentuhan.

Tubuhku membeku tak bisa bergerak, aku terlalu terkejut. Lalu dengan gerakan pelan bibirnya mengecup bibirku, lembut tapi membuatku tergoda untuk membalasnya. Kami saling mencicipi dengan bibir kami. Dan dalam sekejap kecupan itu menjadi ciuman yang manis.

Untuk beberapa lama ciuman itu masih berlanjut, lebih dalam dan lebih menggoda, hingga aku merasa lengan pria itu bergerak merosot jatuh dan pagutan kami terhenti.

Saat itulah aku sadar.

Mataku menatapnya yang tampak kembali tertidur pulas, seolah-olah dia tak pernah terjaga dan membalas ciumanku.

“Ah!”

Aku menutup mulutku rapat-rapat, aku merasa sekujur tubuhku merinding, juga ada rasa panas yang mengalir hingga wajahku.

Rasanya ini memalukan, bagaimana bisa, bagaimana bisa aku … dan dia…. Astaga!

°°°

Ketika kami bertemu keesokan harinya, dia tak berkata apa pun tentang seorang gadis yang menciumnya diam-diam saat dia sedang tidur, seolah-olah dia memang tak ingat apa-apa. Mungkin, dia menganggap itu hanyalah sebuah mimpi. Namun, lebih sialnya, aku tidak bisa merasakan hal yang sama dengannya, karena aku masih bisa mengingat dengan jelas rasa bibirnya yang menempel di bibirku.

Tidak, tidak, tidak!

“Apa yang kau lakukan?”

Aku menahan napas tatkala suara orang itu menggema dekat di telingaku. Aku menoleh dan menemukan wajahnya yang sangat dekat dengan wajahku.

Bagaimana dia bisa tiba-tiba begitu dekat tanpa suara?

“A-ak, aku, aku … ak—hwaa!”

Aku mungkin akan terjengkang seperti orang bodoh jika saja dia tidak cepat menangkapku, tepat di pinggang. Dia melingkarkan tangannya yang kokoh untuk menjagaku, menahanku agar aku tidak terjatuh.

Sial untukku karena aku harus menahan napasku lebih lama dan merasakan jantungku seperti dipukul lebih keras. Kontak fisik seperti ini nyatanya mampu membuat segala sesuatu dalam otakku menjadi lambat.

“Bodoh! Apa yang kau lakukan?”

Aku tidak bisa berkata-kata saat itu. Bagaimana bisa kalau posisi kami terlalu dekat seperti ini? Beberapa saat kami bertahan dalam posisi canggung itu hingga akhirnya dia melepaskanku.

Lalu dengan misterius pria itu melengkungkan senyumnya, tak lama kemudian dia terkekeh.

Aku mengerjap mata tidak mengerti akan perubahan sikapnya yang tiba-tiba.

Sambil masih tersenyum, tangan pria itu bergerak menyelipkan helaian rambutku yang terjuntai panjang menutup pipiku untuk kembali ke belakang telingaku. Pria itu kemudian berucap, masih dengan senyum tersungging di bibirnya.

“Lain kali, aku ingin rasa melon. Aku tidak terlalu suka rasa stroberi yang asam.”

Setelah itu dia berbalik meninggalkanku. Aku masih termangu mencermati kalimat yang baru saja dikatakannya. Butuh tiga menit sampai aku mengerti maksudnya.

Saat itu juga aku merasa panas luar biasa di wajahku, membuat kedua telapak tanganku langsung terangkat, menutup wajah maluku yang memerah.

Dia sudah tahu!!!

 Mei 23, 2016 (23:27)

 

guilherme-araujo-final-chibi-port-removebg-preview

-edited by @author6 Project Sairaakira

3. Aroma

19 votes, average: 1.00 out of 1 (19 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

 

Baca Parts Lainnya Klik Di sini

===========

i_love_your_scent_by_qianqianheo_d9trmbe-300w

Mungkin aku sudah gila!

Begitulah yang aku pikirkan sekarang.

Bagaimana tidak? Dia membuatku mabuk.

Jangan salah! Bukan karena dia mencekokiku minuman beralkohol dan semacamnya, tetapi dia memabukkanku dengan aroma tubuhnya.

Aku tak tahu kapan kebiasaan ini muncul, tetapi kurasa ini sudah menjadi candu. Lebih memabukkan dari zat adiktif yang membuat ketagihanmu menggila, lebih parah dari efek alkohol yang membuatmu teler, dan lebih kuat dari pengaruh narkoba yang membuatmu overdosis.

Yang jelas … dia benar-benar memabukkan, dan aku selalu ingin menghirupnya lagi, lagi, dan lagi.

Lantas bagaimana aku berkonsentrasi kalau dia ada di dekatku seperti ini? Karena ketika distimulasi terlalu kuat, otakku malah berasa kosong; tak tahu apa yang harus aku lakukan.

Aromanya telah memenuhi isi kepala dan pikiranku, seperti racun yang menyebar dengan cepat. Dan parahnya, seringkali setelah dia pergi pun, aroma itu masih tertinggal di dalam otakku, menyihirku dengan kuat dalam waktu lama.

Oh, ayolah aku tak sedang berlebihan! Aku sungguh merasakannya!

Aku tak pandai mendeskripsikan sesuatu, tapi kurasa, aromanya itu unik. Seperti perpaduan bau sabun, shampo, parfum dan bau lain yang enak, tetapi aku tak tahu itu apa. Bau tubuhnya, mungkin?

Semua itu berpadu menjadi satu, menciptakan aroma segar dan menggoda untuk kuhirup. Aku tak yakin, tetapi itu seperti aroma parfum alami darinya yang tanpa kusadari, telah aku klaim sebagai aroma favoritku.

“Kau mendengarku?”

Ukh!”

Aku tersentak dari lamunanku, mataku melebar, menoleh ke arahnya

Tidak! Tidak sama sekali! Kau membuatku mabuk, bagaimana mungkin orang mabuk bisa berkonsentrasi untuk mendengarmu?

Aku berteriak dalam hati, jantungku terasa disambar petir, detik berikutnya debaran tak normal menghantamku, lalu disusul dengan kepalaku yang tiba-tiba terasa pening, dan perutku terasa mual.

Sepertinya aku benar-benar gila.

“Kau sakit? Wajahmu merah. Apa kau demam?”

Aku tidak sakit! Aku mabuk! Dan itu karenamu!

Dia mendekatiku, dan aku berteriak dalam hati.

Tidak! Jangan mendekat!

Ini seperti alarm tanda bahaya, karena kurasakan perlahan-lahan bahwa otakku semakin hilang kendali.

Aroma itu semakin kuat tercium dan sialnya, dari jarak sedekat ini, ada tambahan menyenangkan yang tak sengaja kuhidu; sedikit aroma manis seperti gula dan juga nuansa segar dari mint bau seperti habis mandi— dan semua itu semakin memenuhi kepalaku.

Aku menggeleng kuat-kuat, berusaha agar semua pengaruh mabuk aroma itu menghilang.

“Kau tidak demam, lalu kenapa wajahmu memerah?”

Aku semakin menahan napas tatkala tangan lembutnya menyentuh keningku, rasanya aku ingin mati saja.

Dengan jarak seperti ini, aku bisa melihat rambutnya setengah basah. Sepertinya benar dia habis mandi, ada sisa busa tipis di anak rambutnya. Dia memang ceroboh dalam hal mandi, tetapi itu adalah satu hal yang membuatnya makin menarik.

Aku menelan ludahku dengan susah payah. Ini benar-benar membuatku gila. Jantungku semakin abnormal dan pikiranku….

Dia semakin mendekat dan aku semakin mendorong tubuhku mundur ke belakang guna menghindarinya.

Sayangnya, aku tak bisa kemana-mana karena kursi itu menahanku!

Ini darurat!

“Aku tidak apa-apa!” teriakku refleks. “Aku benar-benar tidak apa-apa, j-jadi … jauhkan wajahmu dariku!” seruku parau.

Aku melihat senyum jenaka di wajahnya dan aku tahu dia menggodaku.

Sialan! Dia menjebakku!

Dia kemudian menjauhkan wajahnya, dan aku buru-buru membenarkan dudukku.

Aku mendekus kasar, lega karena kali ini dia meloloskanku. Walau terkadang aku membenci pria ini, tetapi apa daya aku sudah terjebak dalam perangkapnya tanpa bisa keluar lagi.

Ya! Aku jatuh cinta setengah mati padanya. Aku sudah gila bukan?

“Hey.”

Aku menoleh ketika dia menegurku, dan mataku langsung melebar karena terkejut. Sebab, wajahnya tiba-tiba saja hanya berjarak tiga sentimeter saja jauhnya dari wajahku.

Terlalu dekat!

Aku benar-benar ingin pingsan sekarang juga. aroma yang menguar dari tubuhnya membuatku mabuk, nyaris tak sadarkan diri.

Tuhan, jangan siksa aku!

Hal selanjutnya yang kurasakan adalah kecupan lembut dari bibirnya yang menempel di bibirku. Tidak bisa kutolak karena satu lagi yang membuatku selalu mabuk saat bersama pria ini, adalah ciumannya.

Dia candu, dia memabukkan dan membuatku gila. Meski begitu, aku tak pernah bosan untuk terus menghirup, menikmati, dan merasakannya lagi, lagi, dan lagi.

Aku memejamkan mata, membiarkan indraku makin terjaga. Kurangkulkan tanganku mengelilingi lehernya, siap berpesta pora dalam perayaan aroma favorit yang memabukkan.

 

Mei 21, 2015 (14:05)

guilherme-araujo-final-chibi-port-removebg-preview

-edited by @author7 projectsairaakira-

2. Would You?

24 votes, average: 1.00 out of 1 (24 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

 

Baca Parts Lainnya Klik Di sini

 ===========

classroom-windows

Saat itu musim semi. Sakura mulai mekar di sepanjang jalan menuju sekolah, pepohonan mulai hijau, bunga-bunga mulai bermekaran, dan saatnya memulai tahun ajaran baru.

Namun, musim semi juga adalah waktu di mana langit musim seminya yang khas berkibar gagah dengan warna merah, waktu di mana suara burung gereja pulang dan waktu di mana aku memilih tetap tinggal di dalam kelas, tak segera beranjak pulang.

Bukan tanpa alasan aku berada di sini, di hadapanku terbentang buku juga kertas-kertas laknat yang membuatku sakit kepala setiap kali melihat tulisan pada lembarannya, dan ada juga dia yang terus sibuk dengan semua rumus-rumus dalam kertas laknat itu. Mengabaikanku yang tengah dalam kondisi yang mengenaskan.

Bagaimana tidak? Baru saja aku diputuskan oleh kekasihku.

Ya, walau sejujurnya aku tidak peduli dengan mereka. Aku tidak peduli dengan gadis yang mencampakanku atau mencintaiku, aku tidak peduli jika aku dikhianati atau ditinggalkan. Namun, entah bagaimana aku tak bisa berpura-pura tak peduli jika dia yang mengabaikanku seperti ini.

Ck!

“Kenapa?” Aku berhasil menarik perhatiannya karena dia segera bertanya.

“Aku baru saja diputuskan oleh kekasihku,” jawabku cepat.

Hmm,”

Hanya itu? Kau serius?

“Aku tidak mengerti kenapa mereka bisa melakukan ini? Ini sudah kelima kalinya aku dicampakan? Menurutmu bagaimana? Apa yang salah?”

“Entahlah.”

“Padahal aku sudah sangat baik, aku juga selalu menuruti semua kemauan mereka, aku bahkan rela meluangkan waktuku untuk mereka. Kau pikir, akulah yang salah?”

“Mungkin.”

“Apa mereka tidak berpikir? Aku tampan, tinggi, murah senyum, manis, juga baik. Apa kurangnya aku? Ya, aku tahu aku tidak populer atau pintar. Tapi aku tampan dan berkharisma. Kau setuju, kan?”

Hmm.”

“Katakan sesuatu atau katakan hal lain selain gumaman singkat itu. Aku membutuhkan pendapatmu,” gerutuku bersungut-sungut.

Gadis itu menghela napas panjang sebelum akhirnya mendongak dan langsung menatap lurus mataku.

Tatapan mata itu tetap sama, terlihat datar dan beku. Tatapan mata yang terkadang terlihat sangat kesepian dan kedinginan.

Menerima tatapan mata itu, entah kenapa aku tiba-tiba saja aku merasa gugup merambati jiwaku.

Apakah mengganggunya dan mengajaknya bicara seperti ini serta memaksanya menanggapiku, adalah sebuah kesalahan?

“A-aku, aku tidak bermaksud mengganggu belajarmu sungguh. Ma-maaf,” seruku terburu-buru.

Gawat, apa dia marah?

Gadis itu memasang ekspresi tak peduli mendengar ucapan maafku.

“Apakah menurutmu ….” Dia tiba-tiba berucap, mengejutkanku. “Menurutmu, kriteria apa yang kau tetapkan saat kau memutuskan bahwa orang itu cukup penting bagimu?”

Pertanyaan tak disangka itu benar-benar membuatku tertegun. Aku mengedip dua kali sembari memikirkan apa yang baru saja dia katakan padaku.

“Ha?” tanyaku seperti orang bodoh.

Gadis itu menipiskan bibir, tetapi dia tak keberatan untuk mengulang.

“Bagaimana kriteriamu saat kau menganggap seseorang itu penting bagimu? Bagaimana kau mengklaim jika orang itu penting? Apa karena dia banyak meluangkan waktu untukmu? Atau karena dia dekat denganmu? Atau karena dia mengerti dirimu? Aku … ingin tahu semua itu.”

Sesaat setelah kalimat itu terucap dari bibirnya, angin musim semi masuk dari jendela membawa kelopak sakura berhamburan di dalam ruang kelas, berpadu dengan suara riuh rendah suara anak klub baseball di lapangan. Entah kenapa telingaku bisa menangkap suara halus daun jendela terbuka yang tertiup angin, juga bau pelicin pakaian dari seragam kami.

Dan yang paling terpatri adalah pemandangan indah helai halus yang berkibar dari surai lembut hitam yang digoda tiupan angin, bersimponi dengan tatapan datar dari seorang gadis bermata gelap yang seolah mengisapku ke kedalamannya.

Saat itulah degup jantung seseorang terdengar di antara kami.

Aku tidak tahu, degup itu milik … siapa?

Ah! Ya! …  dasar bodoh, ini milikku. itu suara jantungku sendiri …

Aku tidak tahu sebenarnya seberapa penting gadis-gadis itu? Mereka datang dan pergi, berlalu tanpa meninggalkan jejak di hatiku. Namun, gadis ini berbeda. Yang kutahu pasti, aku tidak tahu kenapa aku bisa kehilangan minatku pada hal lain ketika aku sedang bersama gadis ini. Aku tidak tahu kenapa aku tidak suka ketika dia mengabaikanku. Dan aku tidak tahu … kenapa di setiap detiknya, ternyata aku … selalu memikirkan gadis ini.

Bodoh! Bodoh! Bodoh! Karena sesungguhnya aku … aku sudah tahu, tetapi aku bersikeras untuk berpura-pura tak tahu.

“A-anu…”

Suaraku tersekat saat aku mencoba berbicara dan aku menelan ludahku dengan susah payah. Untuk pertama kalinya aku merasa gugup, ini adalah pengalaman pertamaku di mana aku merasakan hal seperti ini.

Tidak seperti sebelum-sebelumnya, jantungku berdegup dua kali lipat dari biasanya.

Kenapa? Padahal ini sudah biasa, padahal kami selalu bertemu seperti ini di akhir jam sekolah, di kelas yang sama dan melakukan hal-hal sederhana yang sama.

Tapi untuk pertama kalinya hari ini … ada yang aneh dari diriku.

Debaran jantungku semakin keras, tetapi sekarang aku yakin bahwa aku ingin tahu. Aku ingin tahu apa yang sebenarnya aku rasakan saat ini? Apa yang sebenarnya aku rasakan selama ini? Apakah perasaan ini nyata?

“Aku … aku…”

Aku mengepalkan tanganku kuat-kuat dan telapak tanganku berkeringat saking gugupnya. Aku menarik napas panjang-panjang sebelum akhirnya bicara parau ke arahnya.

“Kau sendiri… jika aku memintamu, apakah kau bersedia menjadi seseorang yang penting untukku?”

Ketika itu suara angin musim semi berembus di sisi kananku, lalu mata yang teduh itu seketika melebar karena terkejut.

Saat itu senja berkibar gagah dengan warna merah, menembus kaca tiap-tiap kelas, lorong terlihat sepi, suasana terasa damai. Ya, damai dan tenang, hatiku jelas terasa riang dilingkupi kelegaan yang entah sudah sejak lama aku rindukan.

Aku yakin dengan apa yang aku katakan sekarang.

“Aku … menyukaimu!” ungkapku penuh keyakinan kemudian.

Gadis itu ternganga, dan seketika itu juga, topeng dingin, berjarak serta kaku di wajahnya runtuhlah sudah

Ha?”

October 02, 2015 (20:01)

 

guilherme-araujo-final-chibi-port-removebg-preview

-edited by @author9 projectsairaakira-

 

1. Summer and Blue

 

9 votes, average: 1.00 out of 1 (9 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

 

==========

tumblr_mj3qirRSIr1qb30dwo1_500

Musim panas.

Yang kuingat tentang musim panas adalah; suhu meningkat panas, kembang api, festival, pantai, dan pemuda itu. Pria dengan manik biru jernih serta kulit pucat miliknya.

Itu adalah kejadian lama, jika diingat itu sudah dua tahun yang lalu. Cukup lama, tetapi aku tak pernah melupakannya. Dia adalah pria musim panas.

Ketika itu adalah malam musim panas, tetapi udara tetap saja dingin.

Terlebih lagi aku berada di hutan … dan sedang tersesat.

Itu sangat buruk, tapi aku tidak ingat kenapa aku sampai bisa tersesat di sana. Yang aku ingat adalah aku berteriak pada si berengsek itu, kemudian aku  berlari pergi meninggalkannya.

Aku lelah, terlalu lelah untuk berjalan, bersuara, berpikir atau bahkan bernapas. Aku tak berpikir apa pun sebelum aku berlari masuk ke dalam hutan. Yang aku pikirkan hanyalah hatiku yang sakit terluka.

Dan aku hanya berakhir meringkuk di bawah pohon setelah kelelahan tak menemukan jalan. Aku … benar-benar tersesat.

Kemudian…

BUK!

SRRAK!

“A-apa itu?”

Aku beranjak dari tempatku dan mencari tahu apa yang jatuh itu, rasa penasaranku membunuh rasa takutku.

Lalu samar-sama kulihat bayangan seseorang dan sempat aku berharap jika itu adalah tim pencari yang datang secara ajaib untuk menolongku.

Namun, …

Arrgh!”

Aku menahan langkahku tepat sebelum hutan di depanku habis, aku melihat seorang pria dengan keadaan mengenaskan tengah merintih di tanah.

Dia sangat kacau, terlebih lagi ada bekas sayatan di lengan, wajah, kaki, dan bahunya yang semuanya mengucurkan darah.

Didorong oleh keinginan alami untuk menolong sesama yang terluka, aku hendak menghampirinya, tetapi…

BUK!

Aku dikejutkan dengan sosok lain yang muncul. Percaya atau tidak, dia seperti meluncur dari langit dan tiba-tiba saja mendarat di tanah, menghantam pria yang terluka itu dan langsung mencekiknya. Wajahnya tak begitu jelas karena tiba-tiba saja keadaan menjadi gelap di sekeliling kami. Namun, satu hal yang kutahu, kondisi pria itu pun tak jauh berbeda dengan pria yang pertama. Mereka seperti habis bertarung, hanya saja kondisi pria yang kedua tampak jauh lebih baik dibanding yang pertama.

Tubuhku membeku. Aku hanya mempu bersembunyi di balik pohon, dan menyaksikan pria itu dieksekusi.

“K-kau … penghianat! Aku … tahu itu. Akan kupastikan kau … tidak akan mendapatkannya!”

“Huh.” Pria kedua itu tersenyum sinis. “Kau sudah tahu tapi kau membiarkanku? Bodoh sekali. Coba katakan itu dengan lantang jika kau bisa lolos dariku.”

AKH!!

Aku menahan napas tatkala ia mencekik pria itu dengan mudah, bahkan aku bisa mendengar suara tulang pria itu yang mungkin remuk, berderak menusuk telingaku.

Sekujur tubuhku langsung menggigil hebat, rasanya semua tulangku hilang kekuatan, dan kakiku tak mampu menopang. Aku hampir saja berteriak, tetapi suaraku juga hilang entah kemana.

Setelah itu … aku ambruk, rubuh di tanah.

Pria itu ternyata menyadari kehadiranku. Dia menoleh kepadaku dan kemudian ia berjalan ke arahku.

Tubuhku semakin menggigil, saat itu aku pikir mungkin saja aku jatuh gila atau aku bahkan sedang bermimpi, tetapi… ini jelas nyata.

Di saat itulah aku berpikir … bahwa kemungkinan besar, aku akan bernasib sama dengan orang itu, mati dengan leher remuk secara mengenaskan.

Dari pria itu … ciri yang kuingat adalah manik mata yang berwarna biru terang seolah berpendar di kegelapan.

Lalu, entah bagaimana, keadaan di sekeliling kami tiba-tiba saja kembali terang.

Akhirnya aku bisa melihat dengan jelas sosok itu, walau aku melihatnya dengan keadaan masih shock, takut, dan setengah sadar. Napasku naik turun tatkala dia bersimpuh di depanku. Manik birunya terlihat dengan jelas dari jarak seperti ini.

Dan fakta yang tidak bisa di pungkiri adalah bahwa dia tampan dengan caranya sendiri. Astaga! Apakah aku sudah gila karena menganggap bahwa calon pembunuhku adalah lelaki yang tampan?

“Kau … tak perlu takut. Aku … tidak akan menyakitimu.”

Ketika suara pria itu berubah menjadi nada lembut berbisik rendah, seluruh tubuhku malah jadi merinding. Dan aku tidak bisa percaya dengan apa yang akhirnya bisa aku temukan saat aku mendapatkan kesempatan melihat lebih dekat.

Pria itu… dia berbeda. Dia bukan manusia!

Aku tidak tahu makhluk apa sebenarnya dia, kulitnya pucat seperti mayat, matanya biru jernih, gigi taringnya lebih panjang dari orang kebanyakan, dan kukunya… kukunya tampak panjang di jari jemarinya yang lentik.

“J-jangan … jangan bunuh aku. Kumohon,” cicitku pada akhirnya, menyuarakan keputusasaan yang gelisah.

Mendengar kalimat permohonanku itu, wajahnya tetap sama,  hampir tanpa ekspresi, tetapi tatapan mata itu seolah menghipnotisku, bahkan aku tak sadar jika dia tengah membelai pipiku, gerakannya seolah ingin menenangkanku.

Dingin.

Ya, kulitnya sangat dingin.

Setelah itu aku merasa jika kepalaku berputar, semua di sekitarku bergerak, lalu pandanganku berkunang-kunang, dan akhirnya gelap datang melingkupiku tanpa aku bisa mempertahankan kesadaranku lagi.

Aku tidak tahu apa yang terjadi setelahnya, tetapi yang kutahu, aku baru bangun di keesokan harinya saat nuansa terang benderang telah melingkupiku.

“Kau tidak apa-apa?”

“…”

Orang pertama yang kulihat adalah pria brengsek itu, tetapi kali ini tatapannya tampak penuh penyesalan. Di sisinya ada beberapa orang lainnya yang tampak menunggu dengan cemas di sekeliling tempat tidur. Mereka mengatakan bahwa mereka menemukanku tertidur dengan sangat lelap di pinggir hutan, seperti orang pingsan tetapi bernapas tenang, seolah aku tenggelam dalam mimpi yang dalam. Dan aku tak terbangun sampai lama. Bahkan ketika aku diselamatkan dan diangkut kemari, aku terus tak sadarkan diri sampai berjam-jam kemudian.

Aku tidak tahu apa yang terjadi pada diriku saat itu. Namun, ada kepedihan asing saat aku menyadari bahwa aku tidak menemukan orang itu lagi.

Pria misterius itu telah pergi.

Dan meskipun masih ada rasa ngeri tersisa … hati kecilku tahu, bahwa aku ingin bertemu dengannya lagi.

Mei 24, 2015 (21:48)

 

guilherme-araujo-final-chibi-port-removebg-preview

-edited by @Author9 Project Sairaakira