Langit untuk Jingga (Sembilan)
15 Februari 2017 in Vitamins Blog
Sudah hampir satu minggu tapi Langit tidak menemuiku lagi. Terakhir kalinya kami bertemu waktu di JN’s dan sedang mengasuh Varo. Setelah itu dia tidak memberi kabar apapun, dia benar-benar memberikanku waktu untuk berpikir ternyata. Pertemuan terakhir kami kurasa juga tidak cukup baik. Penuh kecanggungan dan itu membuatku tidak nyaman sama sekali.
Tapi aku juga tidak ada waktu untuk mengurusi itu sekarang. Pekerjaanku sedang menumpuk. Apalagi kurang dari tiga minggu pernikahan Inggit akan digelar yang berarti aku dan Nada sedang sibuk-sibuknya mengurus semuanya. Mulai mengkoordinasi semua vendor terbaik yang bekerjasama dengan JN’s. Kali ini aku terlibat lebih banyak, bahkan aku turun tangan langsung mengurusi pernikahan Inggit karena ini adalah pernikahan sepupuku sendiri.
Bukan berarti pada klien lainnya aku tidak ikut mengurusi, hanya saja aku dan Nada sudah sepakat untuk fokus pada bidang dan keahlian masing-masing. Nada penanggung jawab terbesar merangkap sebagai Bridal Consultan di JN’s WO. Sedangkan aku sebaliknya, penanggung jawab JN’s Boutique paling besar berada di pundakku. Biasanya untuk masalah konsultasi pelanggan dan pemilihan konsep semuanya Nada yang mengarahkan kepada pelanggan. Aku akan mem-backup semuanya saat pilihan sudah fix dan mulai pada pelaksanaan konsep dan mulai menghubungi para vendor.
Aku menuruni tangga untuk menghampiri Nada di bawah. Kulihat Nada sedang berkutat dengan ponselnya. Aku melirik sekilas kearah ponsel itu dan rentetan chat dari Mr.Hans terpampang jelas. Pantas saja dia senyum-senyum sendiri dari tadi.
Akhir-akhir ini memang Nada semakin dekat dengan lelaki itu. Hans adalah sahabat sekaligus atasan Billy-suami Vanya. Kami mengenalnya saat acara akikah Bilva, saat itu dia juga menghadiri acara akikah yang diadakan di rumah kedua orangtua Billy. Kami berkenalan dengannya tentu saja atas bantuan Billy. Nada yang paling antusias dan paling menunjukkan ketertarikannya secara terang-terangan ke Hans.
Embel-embel mister tentu saja hanya geng kami yang memberinya.
Hans bisa dikatakan tampan. Sangat tampan malah, dengan wajah blasteran Indonesia-Turki yang khas dan jambang tipis memenuhi sisi rahangnya yang tegas dan kokoh, aku yakin tidak ada satu wanitapun yang tidak terkesima saat melihatnya.
Termasuk aku.
Tapi tentu saja hanya ketersimaan biasa tanpa melibatkan perasaan. Atau seperti kata Alya, hanya sebagai cuci mata untuk kami para wanita. Hahaha.
Nada yang baru menyadari keberadaanku langsung menjauhkan ponselnya. Aku menyengir singkat. “Sorry, nggak sengaja lihat,” ucapku dengan cengiran tanpa dosa.
“Kampret lo!” semburnya kemudian. Aku hanya tertawa mendengar omelannya. “Udah berani ngajak hangout berdua ya sekarang,” godaku dan ternyata berhasil membuat dia salah tingkah. Sumpah! Baru kali ini aku melihat Nada yang begajulan terlihat salah tingkah karena godaanku.
“Haha, lo beneran serius emang sama Mr.Hans?” tanyaku penasaran. Bukan apa-apa, tapi aku tidak menyangka kalau Nada serius ingin mendekati Hans.
“Serius nggak serius sih.”
“Nah, kok….”
“Gue takut aja, secara dia itu sempurna banget J! Masa iya dia gua ajak hangout langsung mau, lo inget kan waktu kita kenalan dulu dia gimana?” Nada menggebungkan pipi, dan sedikit mengerucutkan bibirnya. Aku mengingat-ingat waktu pertama kali kami berempat bertemu dengan Hans. Dia memang waktu itu sangat cuek, bahkan dia hanya tersenyum sopan saat Nada secara frontal menunjukkan ketarikannya pada lelaki itu , yang tentu saja membuat aku, Vanya dan Alya menahan tawa geli.
“Dia aja cueknya minta ampun, sekarang berubah jadi care banget, kan gue jadi curiga J.”
“Yaelah, dia cuek karena kita berempat jadi dia pura-pura jaim gitu kali. Mungkin dia nervous juga dikerubungin empat wanita cantik, hahahah.”
“Aishh, gue jadi penasaran tahu nggak. Dia itu susah banget ditebak, gue jadi tertantang nih,” ucap Nada sambil matanya berbinar, seperti mendapatkan mainan menarik untuk kali ini.
“Elahh, tertantang gimana sih maksud lo.”
“Ya gitu lah, gue tertantang aja pengen deket sama dia.”
“Jangan main-main mulu Nad, kena karma tau rasa lo.”
“Gue nggak main-main, siapa tahu beneran bisa dapetin hatinya, how a lucky i’am.”
“Iya deh gue doain pdkt lo lancar, biar gue nggak lihat lo nge-jomblo terus,” ucapku sambil menyeringai melihat kedua mata Nada yang mendelik kesal.
“Ngaca kali J!” teriaknya menyindirku. Aku hanya tertawa menanggapi ucapan Nada.
“Sample undangannya katanya udah jadi Nad? Gimana, lihat dong,” tanyaku setelah duduk di depan kursi Nada. Dia langsung bergerak mencari sample undangan itu di laci meja kerjanya.
“Nih,” Nada menyodorkan sebuah kartu undangan berwarna peach kepadaku.
“Wow, keren banget jadinya. Warnanya jadi kelihatan lebih soft dan nyatu sama foto mereka.” Aku membuka undangan itu dan melihat keseluruhan isinya.
“Iya, gue juga suka banget sama konsep mereka. Sesuai banget sama Inggit-Andika. Mereka serasi abis sumpah, bikin jealous tahu nggak.”
“Haha, habis ini stok cuci mata lo berkurang satu Nad.”
“Iya nih, njir. Andika beneran di hak paten sama Inggit abis ini, itu berarti Andika udah masuk blacklist dan haram buat gue modusin.”
“Hahaha gapapa Nad, Andika hilang Mr.Hans datang.”
“Hahaha amiiiiin,” jawab Nada bersemangat. Aku hanya terkikik geli melihat tingkah Nada yang seperti anak abg yang sedang gencar mendekati gebetannya.
Ting!
Kurasakan ponsel dalam genggamanku bergetar. Sebuah pesan masuk dari.., Langit? Aku membuka pesan itu dengan segera.
From: Langit Biru
Lagi di butik kan? Makan siang mie Cakalang mang Pras mau? Kangen pengen kesana sama kamu J
Aku juga kangen kesana sama kamu Lang, kangen kita yang seperti dulu.
“Eh iya, siang ini Inggit minta ketemuan di caffe lantai bawah gedung kantornya, dia nanti ada metting dadakan jadi nggak bisa ke butik. Lo mau ikut nggak?”
“Helloooow, lo ikut nggak?” aku mengerjapkan mata saat Nada menggerakkan tangannya di depan wajahku.
“Mmm eh, sorry gue nggak ikutan ya. Langit mau ngajak gue keluar,” ucapku kikuk.
“Ehh dia mau ngajak kemana emang?”
“Langit ngajak makan mie cakalang mang Pras,”
“Hmm, nah sekalian deh itu masalah kalian rampungin juga.”
“Menurut lo harus banget ya ngomongin masalah itu sekarang Nad?” tanyaku pelan.
“Jinggaaa, kalau nggak sekarang lo mau bilangnya kapan?” jeda Nada. “Gue bilangin ya J, kalau lo ngegindar terus kapan masalah lo sama Langit bakalan kelar? Lo mau emang hubungan kalian makin berantakan?” tanya Nada setengah menasehatiku. Aku sendiri hanya menggeleng pelan sebagai jawaban atas pertanyaannya.
“Mangkanya buruan di omongin. Kalaupun lo masih belum bisa nerima pengakuan Langit, setidaknya kalian masih bisa kayak dulu lagi,” tutur Nada kepadaku.
“Iya iya, nanti gue omongin sama Langit. Lo ketemu sama Inggit sendiri nggak papa?”
“Nggak papa lah, cuman ngasih sample undangan sama ngobrolin persiapan gedung aja sih. Hampir clear semua juga kan?”
“Iya, tapi masih banyak yang perlu di konfirmasi lagi sama Inggit, kasih tahu dia juga masalah katering, ada menu dessert baru yang kemarin katanya mbak Nila enak. Nah coba deh tawarin Inggit siapa tahu mau nambah menunya. Eh bentar,” ucapku terputus saat melihat ponselku berbunyi tanda panggilan masuk. Aku segera mengangkatnya saat kutahu sebuah panggilan masuk dari Langit.
“Waalaikumsalam.”
“….”
“Umm iya lagi di butik. Mau kok, udah lama juga aku nggak kesana,” jawabku menanggapi ucapan Langit di seberang telepon.
“….”
“Oke, aku tunggu. Bye.”
Tut. Aku mematikan telepon dan melihat Nada yang memasang muka bete.
“Nanti gue *maksi sama siapa ya,” ucap Nada tiba-tiba sambil menangkup pipinya sendiri.
“Ajak Hans coba deh,” usulku.
“Kan nanti malem mau hangout, masa iya makan siannya juga mau ditemenin,”
“Ya terus kenapa, katanya pengen ada yang nemenin maksi.”
“Iya sih, tapi masa iya ngajak Hans.”
“Mending lah dari pada ngajak suami orang.”
“Jinggaaaaaa!!”
***
#Maksi : makan siang
Langit untuk Jingga (Delapan-B)
30 Januari 2017 in Vitamins Blog
Setelah berhasil membungkam mulut Vanya dan Nada dengan mengancam aku tidak akan melanjutkan ceritaku jika mereka terus mengoceh sendiri, akhirnya kedua orang itu mau diam juga. Membiarkanku bercerita hingga selesai.
“Ughh apa gue bilang. Gue dari dulu udah firasat kalau Langit ada perasaan sama lo J,” ujar Vanya.
“Kasihan banget Langit J, selama ini berarti cinta dia bertepuk sebelah tangan. Dia rela nutupin perasaannya demi tetep bisa deket terus sama lo,” lanjut Vanya.
“Terus menurut kalian, gue sekarang harus bersikap gimana ke Langit?” tanyaku.
“Bagaimanapun kalian itu pernah dekat, bahkan sangat-sangat dekat. Nggak akan sulit buat merubah kedekatan kalian selama ini,” ujar Alya memberi saran.
Nada menganggukkan kepala. “Gue sih setuju sama saran Rizal, nggak ada salahnya lo buka hati lo buat Langit. Nggak usah yang terlalu muluk lah, cukup lo buka hati buat Langit, biarin waktu yang jawab semuanya gimana baiknya, setidaknya hubungan kalian minimal bisa kayak dulu lagi,” Nada menimpali.
“Coba aja J, ini saran kita-kita sebagai sahabat lo. Kita nggak mau lihat lo merana terus, buktiin kalau meskipun lo janda, lo masih bisa bahagia dan bisa dapet perjaka J,” ucapan Alya membuat Vanya dan Nada tergelak. Mereka terus tertawa, membuatku ingin melempar mereka dari monas sekarang!
“Hehh yang jomblo bukan gue aja kali! Mending gue udah pernah laku. Noh, dia malah ngarepin-”
“Ehh kampret!” Nada menyumpal mulutku dengan secakup kentang goreng. Aku membelalakkan mata dan merusaha menelan semua kentang goreng yang masuk kedalam mulutku.
“Apa J? Nada masih ngarepin suami orang ya, hahaha.” celetuk Vanya melanjutkan kalimatku yang terputus. Kami tertawa senang saat melihat Nada misuh-misuh tidak jelas karena godaan kami.
“Ehh bentar deh, gue kesana dulu. Itu Bilva bikin ulah lagi deh kayaknya,” ucap Vanya terburu-buru setengah panik dan berjalan cepat mendekati tempat Bilva bermain.
Aku kembali menyeruput Esspresso-ku lagi dan kembali meresapi semua ucapan sahabat-sahabatku.
Sekarang sedikit keraguanku mulai pudar, aku tidak akan bisa mengetahui bagaimana kedepannya jika aku tidak mengambil keputusan sekarang. Membuka hati untuk Langit?
Aku akan mencobanya.
***
Lama ngga posting, hayuk masih ada yang nunggu kelanjutannya nggak nih?
Langit untuk Jingga (Delapan-A)
30 Januari 2017 in Vitamins Blog
Jalanan penuh, sesak, panas, dan macet sudah menjadi hal yang biasa di Jakarta. Apalagi hari Senin seperti ini, rasa-rasanya aku ingin mencekik leherku sendiri gara-gara frustasi akan kemacetan yang semakin menggila. Sejak se-jam yang lalu mobilku hanya melaju tak sampai 20 meter membuatku jengkel sendiri.
Aku melirik kearah Nada yang duduk disampingku dengan headset menempel dikedua telinga dengan menyandarkan punggung di jok dengan santainya.
“Nanti jadi mampir pet shop nggak Nad?” tanyaku pada Nada saat lampu merah menyala.
“Jadi lah, besok aja anterin ke Vet, gue nggak mau bawa Max sekarang. Bisa-bisa Max di cekik sama Bilva saking gemasnya itu bocah sama kucing gue,” gerutu Nada dan kubalas dengan tawa.
“Besok Inggit jadi ke JN’s sama calonnya kan?” tanya Nada.
“Iya jadi, kenapa emang?”
“Yes! Ketemu Andika ganteng, hahahaha.” Tawa Nada terdengar sangat bahagia.
“Sableng, orang udah mau kawin masih aja lo taksir,” ucapku tak habis pikir, sempat-sempatnya dia mengagumi calon istri orang. Aku hanya menggeleng-gelengkan kepala melihat tingkah ajaib Nada.
“Pria beristri itu kadar ketampanannya meningkat.”
“Oke lo nyindir abang gue nih.”
“Anjirrr nggak lah! Kecuali Rizal deh gue rasa, ughh.”
“Haha yakiiiin?” tanyaku menggodanya. Kulihat dia mencebik kesal. Aku terkikik pelan. Bukan rahasia umum jika nada pernah mengejar-ngejar bang Rizal dulu. Kurasa sampai sekarang dia masih ada rasa dengan abang. Tapi Nada selalu menyembunyikannya dengan baik dengan sikap acuhnya.
Setelah setengah jam berlalu akhirnya mobil kami sampai juga di parkiran mall.
Aku segera turun dari mobil setelah itu disusul Nada. Kami segera masuk ke area taman bermain, karena Vanya dan Alya sudah sampai disana bersama baby mereka.
Aku mengedarkan pandangan saat sampai di taman bermain, kulihat Vanya sedang membuntuti Bilva yang berlarian sana-sini juga diikuti baby-sitter.
“Hai Guys!!” sapaku dan Nada hampir bersamaan. Vanya mengacungkan jempol dengan tampang sedikit kelelahan sambil memegangi Bilva yang hendak naik ke arah perosotan.
Aku berjalan mendekati Alya yang sedang menggendong Varo. Tampak wajah Varo penuh air mata, pipinya terlihat memerah dan anak itu masih meringik kecil di bahu Alya.
“Baby Varo kenapa?” Nada mendekati Varo dan hendak menggendong anak itu tapi Varo langsung menepisnya dan tangisnya kembali pecah.
Alya menenangkan anak itu sambil menggoyang-goyangkan tubuh Varo ke kanan dan ke kiri.
“Kenapa sih Al?” tanyaku sambil mengusap kepala Varo pelan.
“Mainannya Varo direbut sama Bilva, dibilangin adek Bilvanya pinjem, eh Varo-nya gak ngebolehin. Yahh akhirnya mereka rebutan, Bilva nyubit pipinya Varo sampe merah. Nangis deh nggak mau diem.” Alya kembali menenangkan Varo karena anak itu terus menangis. Pantas saja, aku tidak membayangkan bagaimana Bilva mencubit pipi gembil Varo sampai memerah seperti itu.
“Baby Varo mau ikut onty J? Nanti onty beliin es cream loh.” Aku menoel-noelkan tanganku ke hidung mancung anak itu, tapi tidak seperti biasanya dia langsung menggelengkan kepala dan menolak ajakanku.
“Dia masih badmood kayaknya J, yaudah kita duduk dulu disana yuk. Nanti biar gue pesenin minum buat kalian,” ajak Nada sambil berjalan ke arah tempat duduk sebuah kafe yang paling dekat dengan taman bermain. Aku mengikuti langkah Nada disusul Alya.
“Nanti biarin Vanya nyusul, yakin dah Bilva gak bakalan mau di ajak duduk diem aja dengerin emak-emak ngoceh,” gumam Alya.
“Harusnya Vanya punya dua nanny buat jagain Bilva. Hadeh ampun deh sama tingkahnya itu bocah, gue nggak kebayang gimana kalau gue yang jadi emaknya,” Nada mengangkat tangan dengan raut wajah seolah menyerah dengan tingkah hiperaktif Bilva. Aku dan Alya tertawa cekikikan.
Alya memberikan botol susu kepada Varo. Anak itu langsung meminumnya pelan dan matanya mulai terpejam masih dalam gendongan Alya. Kasihan Varo, sepertinya anak itu sudah kelelahan menangis.
Nada berpamitan untuk memesan minuman dan makanan ringan seperti biasanya untuk kami berempat. Tinggal aku dan Alya yang duduk di kursi sambil menunggu Vanya juga yang masih membujuk Bilva untuk ikut dengannya dan meninggalkan tempat bermain.
“Nih minumnya.” Nada meletakkan sebuah nampan berisi empat minuman kesukaan kami masing-masing di atas meja. Latte Green-tea kesukaan Nada, Hazelnut Signature Chocolate kesukaan Alya, Espresso double Shots kesukaanku dan Vanya.
“Muka lo kusut banget J,” celetuk Alya tiba-tiba membuyarkan lamunanku saat aku tak sadar hanya memainkan sendok kopi di meja. Aku sedikit tergagap saat Alya dan Nada menatapku sambil memicingkan mata.
“Curhat aja,” kata Alya. “Iya J, lo kenapa sih tumben. Abis ketemu Alfath sama pacar barunya ya?” ucap Nada asal bicara. Aku memelototinya sebal, dan dia malah tertawa cengengesan.
“Huaahh,” teriak kecil Vanya yang tiba-tiba saja sudah duduk di sampingku. Dia berhasil meninggalkan Bilva dengan nanny-nya, terlihat anak itu sekarang di area menggambar dan duduk disana dengan tenang, meskipun dengan peralatan yang sudah ia acak-acak sedemikian rupa.
“Haus nih, minum dong.” Vanya menyeruput minuman yang paling dekat dengan jangkauannya.
“Nyaa!! Kenapa minuman gue lo minum!” teriak Nada membuat Alya melototinya karena tidur Varo sedikit terusik. Kulihat bocah itu meringik lagi, tapi dengan cepat Alya menepuk bokong Varo pelan dan anak itu kembali tidur.
“Sttt, itu suara pelanin dikit napa!” gerutu Alya.
“Hehe sorry Al,” Nada mengacungkan tangan membentuk tanda peace dengan kedua jarinya. Alya mencebik kesal dan mengabaikan Nada. Sekarang Alya menatapku dan menaik-naikan alis. Aku tahu kalau dia pasti mau menagih penjelasan tentang kemunculan Langit beberapa hari yang lalu, dan sekarang dia benar-benar ingin aku untuk menceritakannya. Padahal aku sedang tidak ingin menceritakannya sekarang, apalagi ada Nada dan Vanya. Pasti nanti mereka berdua yang paling heboh mendengar ceritaku nanti.
“Ini udah pada ngumpul semua, sekarang ceritain semuanya J.” Uhh, kan. Ini Alya langsung to the poin banget. Aku memijit pangkal hidungku pelan, apalagi saat melihat tatapan bingung dan ingin tahu berlebih dari Vanya dan Nada.
“Lo nyimpen rahasia dari kita J?” tanya Vanya langsung memajukan kursinya mendekat ke arahku. Iya kan? Belum apa-apa mereka sudah heboh sendiri. Aku mengambil napas panjang sebelum memulai cerita.
“Langit come back.”
“What!!!?”
“Langit Biru?!!!”
“Kok bisa?!!!”
“Lo nemuin dia dimana?!!”
Bla bla bla..
Aku memijat kepalaku pelan sambil menyeruput pelan Espresso-ku.
See?
***
Langit untuk Jingga (Tujuh)
26 Desember 2016 in Vitamins Blog
Deanada: besok rumpi cantik aja nih gaes?
Alya: eh udah balik lo Nad?
Alya: lo bawain nggak pesenan gue?
Deanada: dah
Deanada: ada satu, buat gue doang tapi
Alya: serius? Mana-mana liat! Bulunya lebat nggak? ?
Alya: eh Jingga engga lo bawain juga, kejam lo Nad
Deanada: iya bulunya lebat banget, lembut, enak di elus-elus deh pokoknya!
Deanada: iya biar nanti gue bagi ke Jingga juga. Satu untuk bersama
Alya: Ughh nggak genit kan? Tau tau lo bawa yang kayak Drew
Alya: anjiir kirain martabak bisa dibagi-bagi. Sarap lo! ?
Deanada: kagak tenang aja, ini nggak gak se-gahar Drew kok, agak jinak kalo ama cewek ?
Deanada: wkwkwk
Aku membuka chat grup Whatsapp dan terkikik geli saat membaca chat absurd Alya dan Nada. Aku duduk di bar kitchen sambil mencomot tahu isi buatan mama.
Rumah agak sepi karena KeyMoz sedang tidur siang. Papa mama juga sedang istirahat di kamarnya. Ozi kurasa dia sedang menonton TV di ruang tengah dengan abang dan mbak Seva. Jadi aku memutuskan untuk ke dapur nyari cemilan sambil membuka chat grup.
Jingga: persia ato anggora Nad?
Deanada: *Persimed J
(*Persimed = jenis kucing persia medium)
Jingga: yaaah nggak pesek dong
Deanada: lumayan sih, tapi lucu J. Ekornya kayak rambut lo, ombreng. Haha
Jingga: asem! Coba liat potonya.
Deanada sent a picture

Alya: ewrr ganteeeeng, cocok sama Luuvy nih ??
Jingga: kayaknya agak kurusan ya Nad
Alya: gapapa Luuvy suka yang sixpack gitu
Deanada: iya J, mangkanya besok anterin gue ke Vet dong.
Deanada: yakali, Max belum puber! Masih nam bulan Al ?
Alya: eh namanya Max?
Alya: halah alesan
Jingga: snack nya Max apa?
Deanada: ini sih dibawain whiskas sama sepupu gue
Jingga: coba lo ganti Pro lan dicampur Royal canin. Itu bikin kucing jenis persia yang kurus biar tambah gemuk sama bikin bulunya tambah lebat nggak gampang rontok.
Jangan tanya kenapa aku tahu semua itu. Aku dulu memang pecinta kucing. Sangat. Tapi semenjak Milo -kucing kesayanganku- meninggal, aku sekarang belum berniat memelihara makhluk lucu itu lagi.
Deanada: oke deh, besok bantuin ngurus keperluan Max pokoknya!
Deanada: Mom Vanya kemana nih?
Vanya: nina boboin suami
Alya: sambil chat gitu? Ughh awas diintip Nada lewat lubang hapenya.
Deanada: ogah ngintipin Vanya!
Vanya: bilang aja kepengen
Deanada: gak deh
Vanya: sama Mr.Hans
Deanada: mauuuu *langsungterkam*
Vanya: Mr.Hans nya yg kagak mau
Deanada: ?
Aku terus terkikik membaca chat mereka. Pada gesrek semua otaknya memang. Haha.
“Ngapain ketawa sendirian gitu,” aku terperanjat hampir menjatuhkan ponselku melihat bang Rizal yang tiba-tiba saja sudah duduk disampingku.
“Ihh kagetin aja lo bang!”
“Lo nya aja yang terlalu serius. Emang lagi chat sama siapa sih, seru banget kayaknya,” kata abang sambil mengambil tahu isi di piring.
“Biasa lah, chat sampah nya Vanya, Alya, Nada.”
“Oh,” gumam abang.
Deanada: besok kayak biasa jam 9 harus nyampe.
Deanada: Bilva sama Varo ikut kan?
Alya: baby Varo selalu ikut.
Vanya: Bilva juga ikut
Deanada: baby sitter-nya dibawa juga, kita berempat masih kurang buat jagain Bilva.
Vanya: iyeeeeee, elah segitu petakilannya ya anak gue
Alya: mirip emaknya hahaha
Alya: oh iya J, lo punya hutang cerita ke gue.
Ah iya, aku hampir melupakan kalau besok mau tak mau aku harus menceritakan tentang kemunculan Langit kepada sahabat-sahabatku. Aku tak bisa membayangkan, pasti Nada yang paling heboh mendengar ceritaku nanti.
“Langit balik J.”
Aku terkesiap saat nama disebut. Aku menatap abang dengan penuh selidik. Jadi abang sudah tahu kalau Langit sudah kembali?
“Beberapa hari yang lalu dia ngajak abang ketemu, waktu dia di Bandung pulang kerumah yangti.”
“Dia…, dia cerita alasan dia pergi nggak?” tanyaku sedikit tergagap entah kenapa.
Abang meletakkan tahu isi kembali ke piring dan tidak jadi memakannya. Dia berbalik menatapku.
“Dia nggak ceritapun gue tahu alasannya,” ucap abang lirih. Aku membeku seketika. Maksudnya abang tahu semuanya tentang hal besar yang di sembunyikan Langit?
“Maksud abang?”
“Gue tahu semuanya J, tentang perasaan dia selama ini ke lo.”
Aku membisu. Menatap abang dengan pandangan tidak percaya.
“Abang tahu tapi kenapa nggak bilang?” aku tak habis pikir abang dan Langit sudah membodohiku selama ini.
“Semua ada alasannya J. Dan gue yakin kalau gue bilang ke lo dulu, lo pasti bakal nyalahin diri lo sendiri.”
Apa yang dikatakan abang memang benar. Kalau aku tahu kenyataannya sejak dulu, aku yakin pasti tidak bisa untuk tidak menyalahkan diriku sendiri karena menyebabkan Langit pergi ke Ausie.
“Tapi emang kenyataannya gue kan yang salah, udah buat Langit pergi ke Ausie.”
Abang terdiam, mengembuskan napas pelan.
“Langit cinta sama lo,” ucap abang mau tak mau membuat hatiku sedikit terusik tak nyaman.
“Iya, abang tahu sejak kapan?”
“Sejak dulu, gue cowok J. Gue tahu perhatian Langit udah berlebihan ke lo, gue yang nyadari itu duluan, terus akhirnya dia ngaku kalau dia udah jatuh sama adik gue sendiri.”
“Tapi kita sahabatan dari kecil, bang. Dia udah gue anggap saudara gue sendiri selama ini.”
“Gini ya J, nggak ada yang benar-benar murni dalam sebuah persahabatan antara laki-laki dan perempuan. Kita nggak akan tahu siapa yang menganggap sahabat ,siapa yang menganggap lebih. Begitu juga Langit, dia udah terbiasa sayang sama lo, terbiasa bersama, terbiasa ngelindungi lo dari kecil. Dan saat beranjak dewasa, sisi ego dia sebagai lelaki pasti akan berubah pandangan ke lo seiring berjalannya waktu. Apalagi saat dia tahu lo pacaran sama Alfath, dan akhirnya kalian menikah, Langit tentu aja ngerasa kehilangan. Dia kehilangan apa yang sudah ia jaga, kehilangan sahabat kecilnya, kehilangan seseorang yang selalu nemenin dia selama ini,” kata abang menegaskan kembali kenyataan yang beberapa hari ini masih belum bisa kuterima sepenuhnya.
Tak terasa air mataku sudah berjatuhan begitu saja mendengar semua ucapan abang.
“Gue tahu lo sekarang pasti nggak nyaman,” tanya bang Rizal.
Aku menelan air liurku dengan susah payah. “Lebih dari itu bang, gue bingung mau nyikapi Langit kayak gimana.”
“Gue maklumi itu, lo mungkin masih bingung sama kenyataan ini kan?”
Aku mengangguk.
“Perlahan J, Langit berusaha kembali jadi sahabat lo kayak dulu lagi sekarang. Dia nggak mau maksa kehendak lo gitu aja. Tapi saran gue,” abang menggantungkan kalimatnya lalu mengambil napas dengan susah payah.
“Coba lo buka hati lo buat Langit, obati luka masa lalu lo itu mulai sekarang J. Gue nggak mau lo terus-terusan kayak gini. Gue percaya sama Langit, dia cinta banget sama lo, dan dia pasti bisa jagain lo dengan baik.” Jemari abang menyentuh pipiku lembut dan menghapus air mata yang terus berjatuhan dari mataku. Aku tertegun beberapa saat mendengar semua ucapan abang.
Mencoba menerima Langit dan belajar melupakan masa lalu? Aku sempat mencobanya beberapa kali, tapi tetap saja aku masih tidak bisa melupakan mas Alfath dan semua masa lalu itu. Aku tidak yakin dengan aku menerima Langit semua luka itu bisa tertutup lagi. Jika aku gagal kali ini bagaimana? Aku tidak akan siap untuk kehilangan yang berpotensi lebih besar untuk menghancurkanku kali ini.
“Gue masih belum siap bang,” ucapku lirih pada akhirnya.
“Nggak harus terima dia sekarang, yang penting lo buka dulu hati lo, jangan di tutup lagi. Biarin Langit masuk, perlahan. Gue pengen lihat lo dapet kebahagiaan lagi tanpa bayang-bayang laki-laki brengsek yang udah ninggalin lo dulu.”
“Mas Alfath nggak…,”
“Please jangan belain cowok bajingan itu di depan gue J!” kulihat rahang abang sedikit mengeras. Aku sedikit tersentak mendengar suara abang yang meninggi.
“Lo sayang nggak sama Langit?” tanya abang kali ini lebih halus dan sudah bisa mengontrol emosinya lagi.
“Sayang banget.”
“Jangan hindari Langit, dia cinta sama lo, lo sayang sama dia. Nggak nutup kemungkinan suatu saat nanti lo juga bisa cinta sama dia. Cukup buka hati lo pelan-pelan.”
Abang turun dari kursi bar dan mendekat kearahku dan langsung meraup tubuhku kedalam pelukannya, membiarkanku menelaah semua kebimbangan yang kurasakan.
***
Langit untuk Jingga (Enam-B)
23 Desember 2016 in Vitamins Blog
“Ontyyyyy,” teriak dua orang gadis kecil berambut ikal dari arah Ontyyyyy ruang tengah. Mereka berlari menuju ke arahku dengan antusias. Aku menundukkan badan dan menangkap kedua tubuh mungil itu dalam pelukanku.
“Baby KeyMoz!” kukecup pipi kedua ponakan kembarku secara bergantian, mereka langsung tertawa renyah. Asli, kangen banget sama kedua bocah ini.
“Uncle dimana Onty J?” tanya Keyra.
“I’m here baby,” tiba-tiba Ozi sudah berjalan mendekati kami. Keyra dan Moza langsung melepaskan pelukanku dan ganti berhampur ke pelukan Ozi. Kulihat Ozi sedikit kepayahan menggendong kedua bocah itu di masing-masing lengannya.
“Aduh baby Keymoz turun ya, kalian makin berat nih, Uncle nggak kuat.” Ozi pura-pura mau menurunkan mereka berdua tapi dengan sigap kedua bocah itu semakin memeluk Ozi dengan erat, dan menjerit kecil sambil tertawa-tawa. Aku hanya bisa terkekeh pelan melihat tingkah mereka, menggemaskan sekali.
Aku meninggalkan mereka yang masih asik bercanda, kemudian aku berjalan kedalam rumah, tapi di ruang tengah terlihat sepi, sehingga aku langsung menuju ke dapur. Biasanya mama dan mbak Seva -kakak iparku- berada di dapur jam segini. Entah percobaan memasak apa lagi yang akan mereka lakukan kali ini.
“Baru nyampek?” aku menolehkan kepala ke sumber suara. Terlihat mbak Seva membawa sepiring brownies bakar yang sepertinya baru diangkat dari oven.
“Iya mbak, itu masih anget ya browniesnya?” aku melirik kearah brownies yang dibawa mbak Seva dengan minat. “Iyaps, brownies sayur buat KeyMoz,” ucap mbak Seva sedikit berbisik.
“Ughh sayur apa aja emang?” aku tidak menyangka mbak Seva sampai segitunya untuk memanipulasi kedua putrinya untuk makan sayur, aku mengambil satu potong brownies dan mencicipinya. “Enak,” komentarku.
“Cuman wortel, brokoli, sama kacang merah sih. Nggak berasa banget kan sayurnya?”
“Enggak kok mbak, masih tetep dominan cokelat, manis. Yakin deh KeyMoz nggak bakalan bisa ngrasain kalau ini ada campuran sayur yang nggak mereka suka.” Aku mencomot lagi satu potong brownies itu dan melahapnya habis, membuat mbak Seva geleng-geleng kepala.
“Eh ini orang-orang pada kemana mbak, tumben sepi amat rumah,” tanyaku baru menyadari kalau aku belum menemui mama, papa ataupun bang Rizal sedari tadi.
“Abang sama papah lagi fitnes berdua di belakang. Mamah juga nyusul kesana kayaknya, dari tadi ngomel mulu nunggu kalian nggak nyampe-nyampe.” Aku meringis mendengar ucapan mbak Seva.
“Yauda, aku kebelakang dulu mbak.” Aku pamit dan berjalan ke belakang menemui mama, papa, dan bang Rizal.
“Assalamualaikum.”
“Waalaikumsalam,” jawab mereka hampir bersamaaan. Kucium punggung tangan mamah, kemudian papah lalu bang Rizal secara berurutan. Mereka sedang duduk di kursi panjang di dekat area fitnes. Terlihat papah dan bang Rizal yang berkucuran keringat tanda mereka baru selesai melakukan kegiatan rutinnya itu, biasanya sama sih sama Ozi. Berhubung kami datang terlambat, kurasa kali ini Ozi sudah ketinggalan fitnes bersama dengan mereka.
“Kenapa baru nyampe teh?” tanya mamah setelah aku duduk diantara mama papa.
“Ngopi dulu tadi mah sama Ozi, kasian dia masih ngantuk gitu, dia aku supirin nggak pernah mau, jadi ya kita mampir di coffe bar nyari kafein mah, hehe,” jawabku tak sepenuhnya berbohong. Mama hanya mengangguk mengerti. Mama sepertinya tidak berniat mengomeliku, fiuhh syukurlah.
“Ozi mana? Papah tinggal fitnes duluan tadi, keburu siang soalnya.” Giliran papa yang bertanya sambil mengelap wajahnya dengan handuk kecil yang tersampir di pundak. Aku mengalihkan perhatianku dari mama.
“Biasa, di tahan dulu sama KeyMoz. Ozi mulai ngeluh kalau gendong mereka berdua bersamaan gitu,” ceritaku membuat semua tertawa.
“Ozi cuman dua minggu sekali gendongnya J, nah gimana nasib gue coba yang gendong mereka tiap hari,” ucap bang Rizal sambil terkekeh.
“Papah sekarang udah kurangi gendong-gendong mereka berdua, kadang kalau mereka lagi pengen papah gendong ya terpaksa harus satu-satu gendongnya. Pertamanya sih nggak mau, tapi waktu liat papah meringis gara-gara tangannya udah nggak begitu kuat lagi buat gendong mereka, sekarang KeyMoz ngerti kalau akungnya sakit, nggak bisa gendong mereka berdua barengan lagi.” Cerita papa. Di usia KeyMoz yang mau menginjak lima tahun empat bulan lagi, mereka terlihat lebih besar daripada teman seumurannya mengingat bang Rizal yang jangkung dan mbak Seva yang tinggi berisi, sudah pasti gen itu menurun ke putri mereka.
“Mamah gendong salah satu aja ngos-ngosan. Badannya udah kelihatan bongsor-bongsor sekarang,” ujar mama menimpali.
Lalu kami mengobrol sebentar sampai papa pamit ke dalam untuk bersiap-siap mandi. Aku juga hendak masuk kedalam tapi mama sudah dulu angkat bicara.
“Bulan depan Inggit mau nikah teh.” Informasi dari mama tak begitu mengejutkanku. Sepupuku itu sudah memberi kabar beberapa pekan yang lalu karena dia juga memakai jasa JN’s Wedding Organizer. Kurasa tante Vina sudah memberi tahu mama, kalau pernikahan Inggit pakai jasa WO di JN’s. Kenapa mama memberitahuku lagi?
“Iya mah, Jingga udah tahu kok. Kan semua persiapan pernikahan Inggit, JN’s yang persiapin.”
“Nanti kamu bawa pasangan ya teh kesananya.”
Oemji mamah!
Sudah bisa kutebak, pasti ada maksud terselubung dari ucapan mama tadi.
Aku menatap ke arah bang Rizal yang hanya mengangkat bahu tak peduli sambil menegak air mineral dari botol minumnya.
Haishhh!!
Mood-ku kembali turun kurasa.
***
Langit untuk Jingga (Enam-A)
23 Desember 2016 in Vitamins Blog
“Riana minta break,” gumam Ozi. Kami akhirnya berhenti di sebuah coffe bar pinggiran kota sambil dan menikmati hangatnya kopi di pagi hari. Masih jam 7. Setengah jam lagi mungkin nggak masalah, sehingga kami nggak terlalu terlambat sampai ke Bandung nanti.
“Just ‘break’?” tanyaku sambil mengangkat alis.
“Iya, tapi tetep aja dia ada niat buat akhiri hubungan ini teh.”
“Oke, masalahnya apa sampai dia mau break sama lo,” tanyaku lagi sambil menyesap espresso pesananku.
“Dia cuma bilang nggak mau di gantungin. Gara-gara gue nggak nglamar-nglamar dia juga sampe sekarang. Padahal gue udah bilang ke mamah kalau gue mau nglamar Riana dalam waktu dekat, eh tapi Riana keburu bilang gitu. Gue bujuk tetep nggak mau, gue kasih pengertian kalau gue serius sama dia, beneran mau ngabisin hidup sama dia, tapi percuma dia tetep ngotot minta break.”
“Terus?”
“Yaudah sekalian aja gue bilang putus.”
“Sinting!” aku menoyor kepala Ozi tanpa perasaan. “Lo nya yang oon atau gimana sih, kenapa malah bilang putus? Pertahanin dulu kek!” ucapku sedikit keras.
Ozi mengusap kepalanya pelan. “Buktinya dia langsung setuju. Gue yakin masalahnya nggak sekadar masalah gue yang nggak buruan nglamar dia. Gue pernah bahas masalah ini sama dia, dan waktu itu dia nggak masalah sama keputusan gue yang nggak mau buru-buru merit disaat gue baru kerja. Dan kemarin gue coba mancing bilang putus dia langsung setuju, itu bikin gue tambah yakin kalau ada masalah lain yang disembunyiin sama Riana,” ucap Ozi. Aku tahu dia sedang menahan gejolak dihatinya, terlihat rahangnya sedikit mengeras.
“Gini ya, Zi. Cewek itu..,” belum juga aku menyelesaikan kalimatku, Ozi lebih dulu memotong ucapanku dengan cepat. “Iya iya gue tahu, cewek maunya dimengerti, gitu kan? Gini ya teh, sekarang aja dia gampang banget bilang break ke gue tanpa alasan yang masuk akal, nggak nutup kemungkinan dilain waktu dia bisa ngucapin kalimat pisah lainnya apalagi kalau gue beneran nikah sama dia, gue nggak mau kata se-sakral ‘cerai’ terucap dengan mudahnya di pernikahan gue nanti.”
Jleb!
Kalimat terakhir Ozi seolah menamparku keras. Mengingatkanku akan pernikahanku dulu yang sudah berakhir bahkan di usia pernikahanku yang baru satu bulan. Demi apapun, ini sudah berjalan dua tahun! Tapi kenapa sulit sekali melupakan semua itu?
Ucapan Ozi memang benar, kata-kata pisah memang sangat berbahaya apalagi dalam sebuah pernikahan. Ck! Aku memalingkan muka dan memainkan sendok di meja.
Aku mendongakkan kepala lagi saat Ozi melanjutkan ucapannya. “Dia udah mulai nyembunyiin sesuatu dari gue, mulai ambil kesimpulan sendiri, dan yang paling fatal ada niatan akhirin hubungan ini. Coba apa yang bakal lo lakuin? Kalo gue, mumpung belum sampe ke tahap pernikahan, mending gue akhiri aja sekalian.”
“Hal yang paling fatal dalam suatu hubungan itu cuma ada satu, yaitu adanya orang ketiga. Itu adalah bentuk penghianatan yang paling tidak bisa ditoleransi. Berhubung nggak ada orang ketiga diantara kalian, saran gue sih lo dinginin kepala lo dulu, kalau udah lo bisa omongin masalah itu lagi sama Riana. Gue yakin hubungan kalian masih bisa diselamatkan.”
Aku menyampaikan sedikit saran untuk masalah Ozi, aku berharap dia mau menekan egonya dan berpikir lebih jernih. Aku tidak ingin dia nanti menyesali keputusan yang sudah dia buat sendiri.
Ozi menyesap kopinya yang tinggal sedikit dengan sekali teguk lalu meletakkannya kembali ke meja.
“Kata siapa, gue pernah lihat Raina jalan sama cowok di Coffe Garden deket rumah sakit dua minggu yang lalu,” ucapnya tenang, tapi tatapannya berubah dingin. Aku membekap mulutku tak percaya mendengar ucapan Ozi.
“Itu alasannya gue malah bilang putus ke dia. Cuman mau mastiin satu hal. Gue mencium ada hal yang enggak beres. Gue mau nyari kebenarannya dulu. Baru setelah itu gue bisa ambil keputusan. Mau perjuangin Riana lagi apa enggak. Jujur aja sih, gue masih cinta banget sama dia, gue nggak rela hubungan ini berakhir gitu aja gara-gara masalah yang masih abu-abu. Tapi kalau kenyataannya emang Riana ada hubungan dengan lelaki lain,” Ozi menghela napas, dan kembali melanjutkan kalimatnya dengan lirih, “gue benar-benar akan lepasin dia.”
Aku menepuk pundak Ozi pelan, mencoba menenangkannya. Aku jadi prihatin sama Ozi, ternyata masalahnya lebih berat daripada masalahku sendiri. Sebenarnya aku tadi juga mau menceritakan tentang kemunculan Langit, tapi kuurungkan. Aku tidak tega menambah pikiran Ozi lagi. Lebih baik aku menceritakan ke bang Rizal saja nanti di rumah.
“Dah nggak usah dipikirin. Sekarang yang penting lo tenangin diri dulu.” Tepat setelah aku mengucapkan kalimat itu. Suara ponselku bergetar keras di atas meja. Sontak aku dan Ozi melihat kearah layar yang terus berkedip-kedip.
Mamah is Calling….
Kami saling berpandangan. “Mampus, bakalan kena omel dah kita!”
***
Langit untuk Jingga (Lima-B)
22 Desember 2016 in Vitamins Blog
Ck! Aku berdecak sebal mendengar ucapan Ozi. Kami terus berbincang hingga lupa akan keterdiaman kita beberapa waktu lalu. Hingga tak sengaja aku membahas tentang omongan mama tempo hari kepadaku, tentang Ozi yang mau melamar Riana yang jujur saja sedikit mengusikku. Bukan apa-apa, aku tidak ingin membuat anggota keluargaku semakin mendesakku jika mengetahui aku dilangkahi oleh adik lelakiku sendiri.
“Oh iya, lo beneran mau nglangkahi gue dulu Zi?” tawa Ozi yang masih tersisa akibat menggodaku terus-terusan tiba-tiba lenyap saat aku selesai mengucapkan kalimat itu. Aku melihat Ozi dan tatapannya berubah sedikit menggelap. Tapi dengan cepat dia menetralkan wajahnya lagi. Tapi tetap saja aku masih bisa melihat tatapan sendunya meskipun samar. Sepertinya dia ada masalah dengan pacarnya, Riana. Karena aku yakin, cuma Riana yang bisa membuat Ozi seperti ini.
“Sorry, lagi ada masalah ya sama Riana?” tanyaku hati-hati.
Bukan menjawab dia malah menepikan mobil di depan sebuah minimarket.
“Teh sarapan dulu yuk, mau bubur ayam nggak?” tawarnya, aku yakin dia hanya ingin mengalihkan pembicaraan.
Aku mengangguk. “Iya deh, kayak biasa nggak pake kacang kedelai,” ucapku, Ozi mengangguk dan melepas setbelt kemudian turun dari mobil dan berjalan menuju gerobak tukang bubur yang sepertinya baru buka terletak tak jauh dari minimarket.
Aku mengambil headset di slingbag milikku, lalu memasang ke ponsel dan mulai mencari list lagu dan memutarnya secara acak.
Lantunan musik One call away-nya Charlie Puth mulai melantun memenuhi pendengaranku.
Aku mengamati Ozi dari dalam mobil, kulihat dia sedang bercengkrama dengan penjualnya. Aku yakin dia sedang menjelaskan pesanan bubur ayam anehnya. Buburnya sedikit, suwiran ayam yang banyak tanpa bawang goreng dan tanpa seledri. Aku memandang Ozi yang memang tampak redup sejak tadi. Tidak seperti biasanya, meskipun tadi dia tertawa dan menggodaku, aku tahu kalau dia sedang ada masalah.
Aku tidak tahu masalah apa yang sedang dialami Ozi dengan Riana, tapi kurasa sepertinya kali ini bukan masalah sepele. Meskipun Ozi jarang menceritakan hubungannya dengan Riana, tapi aku sangat mengetahui betapa besar cinta yang terpancar dari keduanya.
“Aku udah putus sama dia,” gumamnya lirih tiba-tiba sudah duduk disampingku sambil menyerahkan dua kotak sterofoam berisi bubur ayam yang masih hangat. Aku tersentak akan pengakuan Ozi. Mereka putus? Kenapa? Apa yang membuat mereka memutuskan hubungan yang sudah terjalin hampir empat tahun itu? Mengingat betapa serasinya dia dengan Riana selama ini, dan aku juga hampir tidak pernah melihat mereka berdua bertengkar hebat. Hanya melihat sesekali mereka adu argumen biasa yang selalu diakhiri Ozi yang selalu mengalah selebihnya kurasa mereka tidak ada masalah serius.
Aku menatap Ozi dengan pandangan bertanya-tanya tapi dia lebih dulu menyibukkan untuk melahap bubur ayamnya. Aku menghela napas dan akhirnya mengambil kotak sterofoam itu dan ikut menyantap bubur ayam tanpa kedelai kesukaanku dalam diam.
“Cerita aja, gue tahu lo butuh temen curhat.” Ucapku disela suapan bubur ayam. Aku tak tega melihat Ozi dengan tatapan sendunya, kulepaskan headset dari telingaku supaya bisa lebih jelas mendengar cerita Ozi.
“Gue cerita sekarang, kita bakalan telat pulang ke rumah. Mamah pasti ngomel mulu nanti.”
“Nggak papa sekali-sekali,” jawabku enteng.
Kulihat Ozi mengembuskan napas berat, dia meletakkan bubur yang tinggal sedikit di atas dasboard. “Oke, kita nyari tempat yang enak buat ngobrol.” Ozi kembali menyalakan mesin mobil dan mulai melajukannya pelan.
“Nanti kalau mamah ngomel, lo yang urusin.” Lanjutnya.
“Iyah, bawel!”
***
Langit untuk Jingga (Lima-A)
22 Desember 2016 in Vitamins Blog
Aku segera turun ke bawah setelah mengangkat telepon dari Ozi karena dia sudah menungguku di parkiran apartemen. Aku dan Ozi memang sama-sama di Jakarta, tapi dia punya apartemen sendiri yang dekat dengan kantornya.
Aku memang selalu pulang ke Bandung dengan Ozi, kecuali kalau dia sedang ada pekerjaan yang tidak bisa ditinggalkan baru aku ke Bandung sendirian. Dia seorang pengacara publik yang baru merintis karirnya di salah satu Firma Hukum yang cukup terkenal, sehingga akhir-akhir ini dia semakin sibuk dengan pekerjaannya.
Dia sempat bercerita padaku sedang menangani kasus pidana yang cukup berat. Dan kasus berat yang dimaksud Ozi adalah membela klien yang notabenya seorang pembunuh. Bayangkan apa yang dirasakan adikku dan bagaimana tekanan yang dialaminya. Pengacara memang sudah mengetahui dari awal apakah kliennya benar atau salah, dia mengusahakan hak-hak terdakwa sebelum ada bukti kuat untuk menjadikan kliennya sebagai tersangka dan tetap melakukan pembelaan meskipun dia tahu risikonya menjadi public enemy dan public preasure pasti tidak bisa terelakkan.
Meskipun sedikit sableng dan petakilan, aku akui kalau Ozi punya dedikasi tinggi dalam pekerjaan. Dia menikmati pekerjaannya baik maupun buruk dia terima karena memang itu passion-nya. Aku juga sependapat dengan Ozi, melakukan pekerjaan yang sesuai sama passion kita memang enak, sesusah apapun kerja, seburuk apapun resikonya, kita akan tetap berada pada zona nyaman dan tetap bisa menikmatinya. Dari ketiga anak papa, hanya bang Rizal yang mengikuti jejak papa sebagai Dokter, sedangkan aku dan Ozi sama sekali tidak minat mengambil jurusan dibidang kesehatan sama sekali meskipun kedua orang tua kami sama-sama menekuni bidang tersebut, papa menjadi dokter spesialis jantung dan mama seorang bidan. Sedangkan aku lebih memilih disigner sebagai jalan hidupku, dan Ozi memilih ilmu Hukum sebagai dunianya.
Aku masuk kedalam mobil dan dengan menyapa adik kesayanganku itu. Tapi tidak seperti biasa dia hanya menanggapi sapaanku seadanya dan mulai melajukan mobil dalam diam.
Sepertinya ada yang tidak beres dengan Ozi, tapi kulihat dia tidak berniat membaginya denganku. Aku juga tidak memaksa jika memang dia tidak mau bercerita, toh tidak semua masalah bisa kita bagikan kepada orang lain. Aku sendiri sedang banyak pikiran, dan aku juga sedang belum ingin membaginya pada siapapun untuk saat ini.
Lama kami saling diam di mobil, hingga suara Ozi memecah keheningan. “Teteh juga lagi galau ya?” aku menoleh pelan kearah Ozi.
“Hmm lagi banyak pikiran,” gumamku.
“Sama,” balas Ozi cepat. “Tapi nggak usah dipikirin dulu ah, kita pulang ke Bandung kan buat ngalihin pikiran kita teh, bukan malah bawa masalah di Jakarta ikut ke sana juga,” ucap Ozi. Aku terdiam. Apa yang dikatakan Ozi memang benar, seharusnya aku tidak memikirkan masalah itu sekarang.
“Iya sih, tapi dari sono juga nanti mamah kumat Zi, bikin gue tambah pusing,” ucapku sambil mengerucutkan bibir.
Kudengar Ozi malah terkekeh, “tapi lo kan jago berkelit, gue tahu lo nggak bakalan kehabisan ide buat jawab semua desakan mamah nanti teh,” Ozi menahan tawa sambil tetap fokus mengemudi.
“Capek Zi, gue jadi berasa dikejar-kejar rentenir yang nagih calon mantu tahu nggak!” gerutuku membuat Ozi semakin tergelak.
“Ya buruan disetorin lah, biar nggak di tagih terus.”
“Yakali kucing yang mau disodorin ke mamah,”
“Hahaha, itu juga boleh daripada teteh nggak kawin-kawin, rugi banget designer gaji tinggi mantan model tapi nggak laku-laku.”
Apa dia bilang?
Aku memukul bahunya dengan keras membuat dia mengaduh kesakitan, “mulutnya kebiasaan!”
“Hahaha,” Ozi tergelak sambil memegangi perutnya. Begini nih kalau sablengnya lagi kumat, Ozi selalu menjadi orang yang paling menyebalkan di dunia. Mulutnya hampir sama kayak Nada, licin kayak oli.
Aku memutar bola mataku sebal melihat Ozi yang masih tetap tertawa. “Iya ledek aja terus!” sungutku.
Ozi menatapku sambil terkikik. “Mangkanya buruan naik pelaminan.”
“Duduk di pelaminan mah gampang, nyari yang mau diajak bareng yang susah.” Jawabku skeptis.
“Banyak kali, itu fans lo kan banyak teh. Bang Haikal, Ergi, Dodit terus siapa itu yang selalu buntutin lo waktu kuliah,” Ozi tampak berpikir, “Ah iya bang Teki Adi, dia hitsnya kampus aja bisa bertekuk lutut ke elo teh, tapi lo nya aja yang nggak pernah anggep mereka, coba deh lo buka diri, lo sekarang nggak bakal jadi jones, jomblo ngenes. Hahaha.” Ledek Ozi membuatku kesal setengah mati. Ck! Benar-benar adik durhaka!
“Haha. Yaudah lah teh, buruan nyarinya daripada nanti dijodohin mamah, kan enak nyari ndiri.” Lanjut Ozi membuat tubuhku menegang seketika.
Aku mulai menatapnya horor. “Sebentar deh,” jedaku. “Maksud lo apaan deh Zi. Emang mamah bilang kalau mau jodohin gue?”
Kulihat Ozi sedikit gelagapan.
“Eh, mm anu nggak gitu. Tapi mama pernah bilang, kalau teteh ngga bawa calon juga, mamah mau ngenalin teteh ke anaknya tante Hani, yang dokter itu loh teh.”
“What?!” aku benar-benar membulatkan mataku sekarang, yang benar saja mama mau jodohin aku! Ini bukan jaman Siti Nurbaya euy, masih ada saja acara perjodohan segala!
“Lo nggak lagi ngibulin gue kan Zi? Kapan coba mamah ngomongnya?” aku memicingkan mata curiga.
“Minggu kemarin kan gue pulang bentar teh, nah itu mamah tanya-tanya gitu. Udah lihat teteh jalan sama cowok enggak disini, dan gue jawab nggak pernah. Terus nyerocos deh ide mamah yang mau jodohin teteh kalau nggak bawa-bawa pulang pacar buat dikenalin ke mamah papah,” jelas Ozi membuatku semakin sebal.
“Ck, mamah gitu banget deh sama gue, ogah banget lah dijodohin, kiranya gue nggak bisa nyari sendiri apa?!” omelku sedikit berapi-api.
“Nah, emang lo beneran nggak lagi deket sama siapa-siapa teh? Setidaknya gebetan gitu?”
“Menurut lo?”
“Ck! Belum bisa move on teh?” tanya Ozi hati-hati. Aku terdiam beberapa saat. Bingung mau menjawab apa, aku sendiri bingung. Aku memang belum pernah bisa membukakan hati kepada laki-laki manapun sejak perceraianku dua tahun lalu. Ada beberapa lelaki yang mendekatiku, mereka berniat serius denganku tentu saja. Tapi entah kenapa aku masih mendirikan tembok untuk diriku sendiri kepada para lelaki itu, hingga akhirnya tak banyak sebagian dari mereka mudur secara teratur. Apa semua itu bisa dikatakan belum bisa move on? Kalau iya berarti aku sangat menyedihkan sekali kurasa.
“Udahlah teh, jangan mikir masa lalu terus. Dia aja bisa bahagia hidup tanpa lo, tunjukin juga lah kalau lo juga bisa bahagia tanpa dia,” ucap Ozi. Aku masih terdiam masih sambil mengetuk-ngetukkan jari di atas dasboard mobil.
Aku menghela napas berat. “Move on emang semua orang tahu caranya, tapi nggak semua orang bisa melakukannya. Teorinya sih mudah banget, tapi waktu kita ngrasain sendiri, gue yakin semua teori itu hanya bulshit!” ucapku lebih kutekankan pada kalimat terakhirnya.
“Gimana bisa move on kalau lo negative thinking mulu, jodoh itu kayak mancing ikan, nggak di kasih umpan ya nggak bakal dapet. Lagian diluar sana banyak kali yang ngantri buat dapetin lo, kalau lo sendiri nggak pernah buka diri gimana bisa jodohnya nangkring coba.” Ozi mulai menyampaikan wejengan ala Ozi Teguh. Haha.
“Iya iya, elaaah. Berasa diceramahin mamah dedeh gue.” Sungutku pura-pura sebal dengan ceramahan Ozi, meskipun aku banyak membenarkan apa yang dikatakan olehnya.
Ozi tertawa lagi saat mendengarkan gerutuanku. “Hahaha, siap-siap abis ini lo bakalan diceramahin sama mamah dedeh beneran teh. Hahaha.”
Ck! Aku berdecak sebal mendengar ucapan Ozi. Kami terus berbincang hingga lupa akan keterdiaman kita beberapa waktu lalu. Hingga tak sengaja aku membahas tentang omongan mama tempo hari kepadaku, tentang Ozi yang mau melamar Riana yang jujur saja sedikit mengusikku. Bukan apa-apa, aku tidak ingin membuat anggota keluargaku semakin mendesakku jika mengetahui aku dilangkahi oleh adik lelakiku sendiri.
tbc…
Langit untuk Jingga (Empat)
21 Desember 2016 in Vitamins Blog
Kecanggungan sungguh terasa diantara kami. Akhirnya tadi aku mempersilahkan Langit ikut masuk ke ruang tunggu, dan sekarang dia hanya menatapku yang sedang berpura-pura bermain dengan Varo.
“Oty boceen.” Tiba-tiba meletakkan mobil-mobilannya begitu saja di karpet.
“Mau maen apa lagi sayang?” aku membongkar isi tas yang diberikan Alya tadi, kulihat sebuah puzzle bergambar induk bebek dan anak-anaknya.
Aku memperlihatkannya pada Varo. “Main ini mau?” tanyaku.
“Mau, Payo cuka aen cama papa,” ucapnya. Aku membongkar puzzle itu secara asal. Kemudian kulihat Varo menyusunnya dengan serius.
Aku melirik ke arah Langit yang sialnya dia juga sedang menatapku, dengan cepat aku memalingkan muka. Kenapa akward begini sih. Kudengar dia mengembuskan napas berat.
“Kamu masih marah sama aku, J?” akhirnya dia bersuara.
Aku terdiam, bingung mau menjawab apa.
“Maaf, harusnya aku kemarin nggak bilang kenyataannya ke kamu,” ucapnya.
Sekarang giliranku yang mengembuskan napas berat, kutatap wajahnya yang terlihat sendu. “Kamu mau mendam sendiri lagi? Terus bikin aku makin ngerasa bersalah, gitu?”
“Enggak, aku minta maaf. Aku nggak nyalahin kamu, aku yang salah. Kamu ngerasa nggak nyaman gara-gara ucapanku kemarin kan?” tanyanya.
Kenapa dia harus bertanya lagi? Menurut dia aku baik-baik saja dengan pengakuan konyolnya itu?
Aku terdiam, tidak membalas ucapannya.
“Kalau gitu anggep aja kemarin aku nggak bilang apapun. Aku nggak mau kamu ngehindari aku kayak gini.”
“Please, jangan gini J. Aku pengen kita sama-sama lagi kayak dulu. Lupain ucapanku kemarin. Aku janji akan jadi sahabat yang bisa kamu andalin lagi kayak dulu,” ucapnya.
Sesak. Aku tidak tega melihat dia dengan tatapan bersalahnya. Sekarang yang aku pikirkan hanya satu, aku takut menyakitinya karena aku tidak akan mungkin bisa membalas perasaan Langit sampai kapanpun. Tidak, sampai aku membukakan sendiri hatiku secara sengaja untuknya.
Tetapi sepertinya itu terlalu sulit untukku, aku terlalu sayang dengannya. Sayangku kepada Langit sama besarnya seperti sayangku ke abang dan Ozi.
Aku bisa saja melupakan pengakuan Langit kemarin, tapi aku tidak setega itu membiarkan dia larut dengan perasaannya sendiri. Andai saja dia kemarin datang dan tidak mengatakan hal itu padaku, andai saja dia tidak menumbuhkan perasaan itu untukku, mungkin ini semua tidak akan menjadi rumit seperti ini. Jadi katakan bagaimana aku harus menyikapinya sekarang?
“Ihh otyyy,” teriak Varo sambil memukul-mukul puzzle-nya membuat lamunanku teralihkan.
Aku hendak mendekati Varo, tapi Langit lebih dulu mendekati anak itu.
“Bukan gini sayang, sebelah sini.” Langit membantu menyusun kepingan puzzle yang masih terpasang dua keping.
Aku menyipitkan mata. Tumben Varo mau berinteraksi sama orang yang belum dikenalnya. Biasanya anak itu langsung menjaga jarak dengan orang asing.
“Nah ini kepalanya, coba pasang disini.” Langit menyerahkan potongan puzzle ke Varo dan menunjukkan tempat yang pas untuk potongan itu.
Varo menerima potongan dari Langit dan memasang puzzle itu sesuai intruksinya. Langit mengambil lagi potongan yang lain lalu kembali menyerahkannya pada Varo dan menunjukkan dimana tempat yang pas untuk puzzle-nya, begitu seterusnya hingga semua kepingan puzzle itu terpasang semua.
“Yeeeeey, celecai.” Varo bertepuk tangan.
“Give me five!” Langit menyodorkan tangannya ke arah Varo dan bocah itu langsung menepuk telapak tangan Langit dan mereka ber-highfive ria.
Aku melihat mereka jadi ikut tersenyum. Kulihat Langit sedang mengusap kepala Varo pelan.
“Aku masih bingung Lang,” ucapku tanpa sadar membuat Langit menoleh.
“Bingung kenapa?” tanyanya dengan polos.
“Kita udah nggak bisa kayak dulu lagi. Canggung banget tau nggak,” ucapku sedikit ketus.
Kulihat dia menipiskan bibir dan berbalik sepenuhnya menatapku. “Aku kan udah bilang, lupain ucapanku kemarin jika itu yang buat kamu nggak nyaman,” katanya.
“Terus pura-pura lupa ingatan dan bersikap normal kayak biasa?” tanyaku sedikit gemas kearah Langit.
“Iya.” Jawabnya enteng.
Kalau saja diperbolehkan, aku ingin sekali mengetokkan kepala Langit ke pintu.
“Lalu hidup dalam sebuah sandiwara? Penuh kepura-puraan, begitu maksudmu?”
Langit terdiam beberapa saat, tampak berpikir. “Bagian mana yang kamu sebut sandiwara?” tanyanya.
“Ucapanmu kemarin,” lirihku.
“Lupain, anggep aja aku kemarin lagi mabuk.”
“Ck, enteng banget kamu ngomongnya.”
“Terus kamu maunya apa?”
Apa mauku? Itu pertanyaannya Lang! Aku sendiri tidak tahu apa yang harus aku lakukan sekarang! Arrrrgh!
Aku memijat pelipisku pelan. “Kasih waktu aku sebentar. Aku lagi mikir solusinya.”
Dia terdiam beberapa saat. “Oke, take your time.” Dia tak lagi mendebat ucapanku dan dia memilih kembali bermain dengan Varo.
***
“Jelasin ke gue J, itu Langit kenapa bisa tiba-tiba nongol disini?” tanya Alya setelah selesai dengan urusan salon dan kembali ke butik untuk menjemput Varo.
Langit sudah pamit tepat setelah Alya datang ke butik. Alya sempat melihat Langit di parkiran, tapi belum juga dia menyapa Langit, lelaki itu sudah keburu masuk mobil.
“Ceritanya panjang,” jawabku singkat.
“Persingkat kalo gitu.”
“Lo nggak di tungguin sama laki lo Al.”
Dia melihat jam yang menempel di pergelangan tangannya.
“Ck, oke. Lo punya hutang cerita ke gue. Besok gue tagih, dan lo harus ceritain semuanya ke gue serinci-rincinya,” ucapnya tak terbantahkan.
“Besok minggu kali, gue pagi-pagi mau langsung ke Bandung.”
“Sendirian?”
“Nggak, bareng Ozi aja. Besok dia juga mau pulang.”
“Oke kalau gitu Senin aja kayak biasa, Girl’s day out,” tukasnya keukeuh. Aku hanya mengangguk mengiyakan.
“Baby, bangun sayang.” Alya menepuk-nepuk pipi Varo yang sekarang tertidur lelap dengan kepala yang ia rebahkan di bahuku.
“Kasihan ih Al kalau di bangunin. Baru juga tidur dia, kecapekan main deh kayaknya.” Aku mengusap kepala Varo pelan.
“Hmm, nggak dibangunin sekarang juga dia nanti tetep gue bangunin. Gue harus gantiin bajunya dia juga.”
“Ihh lo kok tega sih, lo pulang sendiri aja deh biar Varo disini sama gue. Lo pergi sama Bagas aja.” Aku menepuk kembali bokong Varo saat dia mulai menggeliatkan badannya, mencari posisi lebih nyaman dalam gendonganku, setelah nyaman dia kembali terlelap.
“Nanti gue yang diomelin sama bapaknya,” omel Alya.
“Kagak, nanti pulang dari kondangan lo jemput Varo kesini sama Bagas. Daripada nanti dia kalau kebangun malah rewel. Nggak jadi berangkat dah ujung-ujungnya,” tuturku dan dia mulai menimbang-nimbang ucapanku.
“Hmm, yaudah deh. Tapi nanti kalau dia nangis nyari gue, elo yang tanggung jawab!” todongnya.
“Gak bakalan rewel dia kalau sama gue, tenang aja. Lagian lo harusnya bersyukur, gue kasih waktu buat berduaan sama laki lo. Satu ronde quickly sebelum berangkat kan lumayan,” ucapku sontak membuat pipi Alya memerah, membuatku ingin tertawa dan semakin ingin menggodanya.
Dia memang paling pemalu dari semua sahabatku padahal dia yang nikahnya duluan. Sementara Nada dan Vanya yang paling sableng diantara kami berempat. Terutama Vanya, aku malah berpikir dia bahkan mungkin sudah kehilangan sebagian urat malunya.
“Ngasal tahu nggak!”
“Halah sok-sokan bilang gitu, nyampe apartemen langsung deh nyosor duluan.” Aku berusaha menahan tawaku supaya tidak mengusik Varo.
Kulihat Alya semakin sebal, dia mengabaikan ucapanku dan mengecup puncak kepala Varo.
“Udah ah gue balik, males jadi bully-an orang yang gak taken-taken.” Aku menatapnya horor, tapi dengan cepat dia melesat keluar butik sebelum aku mengeluarkan aksiku.
Sialan!
***
Pengennya apdet besok. Tp besok lg ada urusan, jd aku apdet skrg aja dah, hweheee. Happy reading ^^
Langit untuk Jingga (Tiga-A)
21 Desember 2016 in Vitamins Blog
Alya: lo lagi sibuk nggak? Gue minta tolong dong.
*Read*
Aku baru membaca chat dari Alya yang ternyata sudah sejak setengah jam yang lalu. Aku tadi sedang melayani pelanggan yang mau konsultasi masalah pernikahan dan segala macam tete bengek gaun dan perlengkapan lainnya.
Sebenarnya ini pekerjaan Nada sebagai Bridal consultant, berhubung dia masih di Bali, jadi tugas ini sementara waktu aku yang mengerjakannya.
Jadi beginilah, tanggung jawabku semakin banyak dan tentunya semakin melelahkan. Bukan hanya mengurus JN’s Boutique, aku dan Nada juga buka jasa Wedding Organizer yang masih kuberi nama sama dengan butik kami, JN’s Wedding Organizer, J yang berarti namaku-Jingga-, dan N berarti Nada.
Tetapi aku lebih fokus ke JN’s Boutique daripada JN’s WO, begitu sebaliknya. Nada juga lebih fokus ke JN’s WO, karena dia tipe anak yang supel dan sedikit petakilan, maka dari itu dia yang ambil alih tugas sebagai Bridal consultant di JN’s WO dan lebih sering berinteraksi dengan pelanggan sedangkan aku hanya mem-backup semuanya dari belakang.
Aku lebih banyak menghabiskan waktu di butik daripada di JN’s WO. Meskipun masih satu gedung JN’s mempunyai ruangan masing-masing, JN’s Boutique berada di lantai dua sedangkan JN’s WO ada di lantai bawah.
Jadi aku lebih sering berada di lantai dua karena aku punya ruangan pribadi, dimana aku bisa menumpahkan semua ide ku untuk mendesain dan merancang gaun dengan tenang.
Aku menyentuh icon kontak di smartphone-ku, kemudian mencari nama Alya di deretan kontak teratas karena inisial ‘A’ pada huruf pertamanya.
….
Adira
Alfathan Adiatma
Alya Rosa Prameswari
“Ckk.” Aku berdecak saat teringat nama Alya berada tepat dibawah nama itu. Acuh, aku segera mendial nomor Alya.
“Halo,” sapa Alya setelah mengangkat teleponku.
“Hai Al, sorry gue baru baca chat lo. Tadi masih ngurusin pelanggan yang konsultasi soalnya,” ucapku.
“Lah emang Nada belom balik?” tanya Alya.
“Nanti malem kayaknya dia baru balik Jakarta, jadi sementara waktu pekerjaan dia gue yang tanganin.”
“Yaaah sibuk banget dong elo sekarang J,” kudengar dia menghela napas diujung sana.
“Mm lumayan sih, emang kenapa Al?”
“Gue mau nitip jagain Varo bentaran dong, gue mau nyalon. Nanti malem diajak Bagas ke pesta pernikahan perak relasi bisnisnya.”
“Oke, gampang. Bentar lagi juga udah kelar kok kerjaan gue. Nanti biar gue serahin ke Reta sisanya.”
“Thanks, J. Lo tahu sendiri kan anak gue nggak mau ikut kalo nggak sama emak-bapaknya, setidaknya dia masih mau nempel sama lo.”
Aku tertawa pelan. Varo memang tidak mau diajak orang lain selain Alya dan Bagas, tapi anehnya saat aku yang mengajak atau menggendong anak itu dia tidak pernah rewel sedikitpun, membuat Alya dan Bagas sempat terperangah. Mangkanya Alya tidak pernah mempekerjakan nanny, toh akan percuma kalau Varo nggak mau ikut sama nanny nya.
“Iya-iya, elaah santai aja kali. Mau ketemu dimana?” tanyaku.
“Eh gue anter Varo ke butik langsung aja, daripada lo nanti bolak-balik. Lagian gue ke Salon Madona kok, searah juga kan sama JN’s.”
“Oh yauda deh. Susu sama diapers nya Varo jangan lupa,” ingatku sebelum mematikan sambungan telepon.
“Haha iya-iya, bye sweetheart.”
“Ck.” Aku mematikan sambungan telepon dan segera menemui Reta di lantai atas dan menyerahkan JN’s WO ke Putri, salah satu karyawan yang membantuku dan Nada.
Kalau di JN’ Boutique aku mempunyai Reta sebagai tangan kananku sedangkan di JN’s WO mempunya Putri untuk membantu Nada, karena di butik selalu ramai apalagi pada sore sampai malam hari, maka dari itu di butik kami memperkejakan lima karyawan dan hanya dua karyawan di bagian Wedding Organizer.
“Put, mba tinggal ke atas ya. Nanti kalau ada apa-apa langsung bilang aja,” ucapku pada Putri.
“Iya mba Ji, mba Alya mau kesini ya?” tanyanya.
“Iya, biasa dia mau nitipin Varo. Yauda aku tinggal dulu Put. Nanti Alya suruh langsung ke atas aja,” pesanku pada Putri.
Aku berjalan menaiki tangga dan segera mencari Reta. Kulihat dia sedang merapikan gaun di etalase bersama Bella.
“Mba Dini kemarin nggak jadi kesini ya, Ret?” tanyaku pada Reta.
“Kesini kok mba, tapi cuman bentar. Katanya nanti sore kesini sama tunangannya sekalian.”
Aku mengangguk ringan, lalu memutuskan untuk membantu mereka merapikan gaun di etalase. Dahiku menyerngit saat kulihat gaun pengantin yang panjangnya menyentuh bagian bawah etalase dan terlihat mencolok dari yang lainnya.
“Bel, ini kenapa ditaruh disini? Bukannya kemarin gaun ini dipasang ke manekin ya? Kok sekarang ditaruh etalase?” kutunjukkan gaun itu ke Bella dan Reta.
“Bukannya emang ini udah dipesen ya, iya kan mba Ret?” Bella balik bertanya kepada Reta.
“Eh iya mbak, itu kemarin mba Dini lihat-lihat lagi, terus dia pengen ini juga. Haduh maaf lupa ngga bilang mba Ji dulu,” ucap Reta merasa bersalah.
“Iya gak papa Ret. Emang gaun yang kemarin kenapa? Udah cocok juga kan?”
“Cocok kok, cuman mba Dini waktu lihat gaun ini juga langsung suka. Terus dia bingung gitu, akhirnya nyuruh saya nyimpen gaun ini. Nanti biar dia tunjukin ke tunangannya kalau mereka kesini,” jelas Reta.
Aku tersenyum. Tidak heran jika mba Dini langsung suka, aku sendiri sangat menyukai gaun ini saat selesai merancangnya. Hampir sama dengan gaun pengantin khas JN’s yang selalu ada bordir bunga mawar putih di sisi leher kombinasi renda dan kain tulle, gaun ini sedikit berbeda karena bagian belakang ekor kuberi pita di sepanjang sisi yang menjuntai, jadi lebih terlihat manis tapi tidak mengurangi kesan elegan gaun itu sendiri.
“Yaudah, jangan taruh sini kalau gitu, nyentuh etalase gaunnya. Taruh di etalase belakang aja Bel,” aku menyerahkan gaun itu ke Bella dan dia segera meletakkannya di etalase belakang, khusus gaun yang sudah dipesan.
Aku kembali merapikan etalase.
“Cowok kemarin yang kesini itu siapa mbak?” tanya Reta tiba-tiba, membuatku menghentikan aktifitas.
“Temen lama,” jawabku singkat.
Reta sepertinya belum puas dengan jawabanku, dia kembali bersuara, “lah mbak J kemarin kayak abis nangis gitu kenapa?”
“Nggak papa, lama nggak ketemu sama dia jadi kebawa perasaan,” gumamku.
“Mantan ya? Kok baper segala.”
“Bukan, dia sahabatku,” ucapku lirih. Aku tidak yakin dengan ucapanku sendiri. Apa Langit masih menanggapku sahabatnya? Entahlah, aku masih terlalu pusing untuk mengingat hal itu lagi.
“Ohh, kirain mantannya mbak Ji. Btw ganteng ya mbak orangnya. Hihi,” Reta tertawa.
“Ck, kamu mah nggak pernah merem kalo liat cowok ganteng dikit, Ret” tuduhku.
“Haha iya lah mbak, ada pemandangan indah ya di nikmati aja.”
“Semprul.”
“Hahaha.”
Aku hanya menggelenggelengkan kepala ringan menanggapi ocehan Reta.
tbc…
***
Part ini sebenarnya cuman 1400 word aja, tp berhubung disini kayaknya dibatasi kalimatnya, muat kira2 1000 word aja, jadilah aku pisah jadi dua bagian Tiga-A dan Tiga-B buat next part…
Selamat menunggu apdetan PSA yak, kalo belom ada melipir baca ini dulu hahaha :p
Langit untuk Jingga (Dua)
21 Desember 2016 in Vitamins Blog
Aku terus menatap Langit yang masih dengan santainya menyantap nasi bakar plus bebek sambal hijau dengan lalapan sebagai pelengkapnya. Dia masih sama, suka bebek goreng dan selalu memesan porsi sambal lebih banyak. Aku masih heran, dia sangat suka makanan pedas, padahal maag nya dulu sering sekali kambuh.
Pernah dulu waktu masih SMA dia makan bakso super pedas di kantin, padahal dari pagi dia belum sarapan apapun. Di kasih tahu malah ngambek, alhasil perutnya langsung sakit, dia langsung drop dan harus opname di rumah sakit selama lima hari karena lambungnya infeksi. Kupikir setelah kejadian itu dia akan kapok dan lebih berhati-hati lagi kalau mau makan apa-apa, tetapi ternyata tetap sama saja nggak pernah bikin dia berubah.
Mungkin karena merasa terus kuawasi dia menoleh ke arahku.
“Nggak usah gitu juga kali kalo ngliat, awas jatuh itu mbak ilernya,” ucapnya ngaco. Aku memutar bola mataku sebal.
Dia terkekeh pelan lalu menyuapkan lagi suwiran daging bebek goreng yang sudah ia cocol terlebih dahulu dengan sambal hijau kesukaannya.
“Maag kamu udah sembuh emang? Itu sambel banyak amat.”
“Yang penting nggak sampe telat makan. Nanti kalau kambuh ya tinggal minum obat. Beres.”
“Giliran nanti perut kerasa perih baru deh tau rasa.”
“Yaelah pendek, kamu kok doanya gitu banget,” gerutunya.
“Please berhenti panggil aku pendek Lang!”
“Emang kamu pendek.”
Kesal, aku melemparnya dengan gulungan tisu. “Ishhh aku udah nggak pendek lagi tau!” kulihat Langit malah tertawa cekikikan.
Memang sih, dulu diantara kami berlima -Aku, bang Rizal, Ozi, Langit, dan Sanaz- aku termasuk paling pendek dan bertubuh paling mungil dari mereka. Sehingga julukan pendek selalu melekat pada diriku, meskipun tubuhku sekarang bisa dikatakan tidak pendek lagi. Dengan tinggi 160 centi, kurasa itu tidak termasuk golongan pendek kan? Tapi sepertinya Langit sangat menyukai julukan itu untukku.
Langit mengambil tisu untuk mengusap keringat yang mulai mengucur di wajahnya. Terlihat wajah itu sedikit memerah karena kepedasan.
Tak tega aku menyodorkan jus apukat milikku kearahnya, karena jus jeruknya sudah tandas sejak tadi. Dia menerima gelas itu dan langsung meneguk hingga hanya menyisakan seperempat gelas.
“Kamu beneran nggak mau makan?” tanya Langit setelah menghabiskan semua makanan di meja kami.
Aku menggeleng.
Aku memang tidak memesan makanan apapun. Bukan karena sedang diet, tapi memang aku sedang tidak nafsu makan. Dia berdiri menuju wastafel di dekat pintu toilet untuk mencuci tangan. Setelah beberapa menit dia kembali duduk di depanku.
“So, sekarang jelasin semuanya.” Aku bersedekap menunggu Langit membuka suara.
“Yaelah J, santai dulu kali jangan tegang gitu, aku jadi berasa mau diinterogasi emak-emak yang kehilangan anak ayamnya nih,” ucapnya mulai ngelantur. Aku mendelik kesal ke arahnya dan mengabaikan gurauan Langit.
“Kamu lagi PMS ya? Cemberut mulu deh,”
“Lang! Ihhh. Jelasin ke aku sekarang!” ucapku tak sabar, membuat Langit terkekeh pelan.
“Iya-iya, cuman aku bingung mau jelasin dari mana.” Dia menatapku seolah memikirkan sesuatu. Kali ini dia menurut untuk tidak bercanda lagi, dia menghentikan tawanya dan mulai mengatur napasnya pelan. Guratan wajah konyol dan menyebalkannya sekarang berubah serius bahkan samar kulihat dia sedikit, gugup? Tangannya selalu bergetar pelan jika dia sedang gugup akan sesuatu, dan Langit akan selalu mengetukkan jarinya ke meja atau apapun untuk menyamarkan kegugupan itu, seperti sekarang.
Entah kenapa tiba-tiba perasaanku menjadi tidak enak.
Kulihat Langit mulai bersuara, kemudian meluncurlah cerita demi cerita yang langsung membuat tubuhku lemas.
Kenyataan apa lagi ini?
***
Sudah pukul satu dini hari, tapi rasa kantuk tidak juga segera menghampiriku. Lelah berbaring, aku memutuskan turun dari ranjang dan mengambil jaket beludru yang tersampir di meja rias.
Menyalakan lampu dapur, aku segera membuka kulkas dan mencari beberapa kotak susu UHT dan beberapa roti cokelat.
Kubawa semua itu menuju balkon dan meletakkannya di meja. Aku duduk di sofa kemudian mengambil satu kotak susu dan segera meminumnya. Dingin susu langsung masuk mengaliri tenggorokanku.
Pikiranku tiba-tiba melayang akan ucapan Langit tadi siang.
—
“Aku pergi ke Ausie.” Oke, dia memang pernah bilang kalau dia ingin lanjut pendidikannya di Ausie. Tapi kenapa dia tidak memberitahu apapun, setidaknya ‘say good bye’ kepada sahabatnya sebelum pergi?
“Lanjut study kesana?”
Dia mengangguk.
“Kenapa nggak bilang? Kenapa pergi gitu aja?” ingin sekali aku langsung bertanya semua pada Langit, apa yang terjadi. Mencecarnya dengan berbagai pertanyaan yang memenuhi kepalaku. Tapi niat itu kuurungkan saat dia mulai berbicara lagi.
“Aku nggak siap kehilangan.”
Ambigu.
Aku masih belum paham apa yang dia maksud. Hingga kalimat yang ia lontarkan selanjutnya membuat aliran darahku seolah berhenti seketika.
“Aku nggak sanggup lihat kamu nikah sama orang lain.”
Aku membeku. Apa maksudnya ini?
“Kamu tahu? Aku hancur saat denger kamu nikah sama Alfath J.”
“Yang aku pikirin saat itu aku udah kehilangan. Aku kehilangan sahabat kecil sekaligus orang yang aku cintai,” lanjutnya.
Deg.
Pernyataan Langit langsung menyentakku. Tak terasa air mataku mulai menetes.
Langit mencintaiku?
Bagaimana bisa? Dia bahkan sudah kuanggap seperti saudaraku sendiri. Aku menyayanginya seperti aku menyayangi bang Rizal dan Ozi. Lalu bagaimana mungkin dia….
“Kamu bercanda kan Lang?” suaraku terdengar lirih. Kuharap dia hanya sedang bercanda dan paling tidak aku bisa melihat dia tertawa jahil seperti biasa.
Namun yang kulihat Langit hanya diam, tak bergerak. Cengiran tengil yang selalu menghiasi wajahnya hilang. Menyisakan keseriusan yang mampu membuatku semakin pias.
Langit kembali menatapku kali ini tatapannya benar-benar sendu, seolah menyiratkan betapa banyak luka yang ia pendam sendirian selama ini.
“Aku beneran cinta sama kamu,” ulangnya lagi.
Tak tahan, aku memejamkan mata. “Kenapa harus aku Lang?” bisikku lirih tanpa sadar.
Langit menggenggam tanganku erat. “Maaf, udah ninggalin kamu tanpa kabar. Maaf, aku nggak ada buat kamu dua tahun ini. Maaf, aku nggak bisa nahan perasaan aku buat nggak jatuh cinta sama sahabat aku sendiri. Maaf, maaf.”
Maaf saja tak bisa mengubah apa yang sudah terjadi. Kupikir dia begitu menjagaku selama ini karena dia berusaha melindungiku seperti apa yang dilakukan abang dan Ozi. Ternyata dugaanku selama ini salah. Dan aku tidak mengerti sekarang aku harus melakukan apa.
“Aku tahu, aku tolol banget, aku….”
“Antar aku pulang,” kupotong ucapannya sambil melepaskan cekalan tangannya dengan cepat. Dia sedikit tersentak, tapi tak urung mengangguk pasrah.
Aku butuh jeda waktu untuk menerima semua kenyataan ini. Meskipun sebenarnya aku banyak berharap Langit besok kembali dan mengatakan kalau apa yang dikatakannya hari ini hanyalah ilusi.
—
Dan sekarang apa yang harus aku perbuat? Aku ingin marah padanya. Tapi untuk apa? Aku tidak bodoh untuk menyalahkan Langit dan semakin membebaninya.
Mengetahui lelaki itu menyimpan perasaan begitu dalam padaku saja sudah membuatku nelangsa, dan aku tahu aku sudah gagal menjadi sahabat lelaki itu jauh sebelum semua ini terjadi.
Aku tersentak saat dentingan musik Flash Light-nya Jassie J terdengar dari smartphone-ku. Kulirik benda persegi panjang itu yang terus berkedip-kedip.
+62812433xxxxx is calling….
Nomor itu lagi. Itu adalah nomor yang sama dengan yang mengirim sms tadi sore, sms permintaan maaf dari Langit. Aku menyerngit, kenapa dia telepon jam segini? Bagaimana dia bisa tahu kalau aku belum tidur sekarang?
Aku hendak mengangkatnya, tapi kuurungkan. Aku tidak ingin berdebat. Aku lelah, aku ingin mengistirahatkan pikiranku dari masalah itu untuk sejenak.
Ponselku terus berkedip-kedip. Tidak ingin di ganggu, aku me-reject panggilan itu.
Kuletakkan kepalaku di lengan sofa lalu meringkuk seperti janin. Kupejamkan mataku rapat-rapat sambil menikmati sapuan angin yang membelai dingin menusuk kulit.
Dan dibawah buaian langit malam, kembali kubiarkan diriku terlelap ke alam mimpi.
***
Langit Untuk Jingga (Satu)
21 Desember 2016 in Vitamins Blog
Part 1
“Iya, nanti aku telepon lagi ya mah. Ini Jingga lagi sibuk banget.”
“Kamu jangan mikir kerjaan terus lah teh. Jangan terlalu capek juga,” pesan mama diujung sana.
“Iya mah.”
“Iya iya mulu kamu kalau dikasih tahu.”
Aku memijat kepalaku ringan.
“Oh iya hari minggu kamu pulang kan? KeyMoz udah nanyain kamu terus teh,” kata mama. Setiap dua minggu sekali aku memang selalu mengusahakan untuk pulang ke Bandung, tapi entah kenapa akhir-akhir ini aku jadi malas pulang. Kalau saja tidak demi kedua keponakan kembarku yang menggemaskan, aku enggan sekali kesana. Aku lebih baik menghabiskan waktu liburku untuk bergelung dibalik selimut sampai siang.
“Iya mah, Jingga usahain weekend nanti pulang ke rumah.”
“Sekalian bawa pacar kamu buat dikenalin ke mamah papah juga ya teh.”
Blam!
Inilah alasannya, kenapa aku jadi malas pulang kerumah kedua orangtuaku.
Aku sedang malas berdebat dengan siapapun, termasuk mama. Kepalaku pusing, pekerjaan numpuk ditambah omelan mama yang terus membicarakan kapan aku ‘taken’ membuatku semakin frustasi.
“Nggak usah mulai deh mah.”
“Masa iya kamu mau dilangkahin dulu sama Ozi sih teh.”
“Iya, nanti pasti ada sendiri waktunya kan mah.”
“Buruan lah teh, biar mamah tenang. Setidaknya kamu ada yang nemenin disana, nggak sendirian lagi gitu.” Oke cukup! Aku tidak tahan jika sudah membahas masalah ini.
“Hmm iya iya, yauda Jingga tutup telponnya ya mah, ini kerjaan lagi numpuk, pelanggan juga lagi ada yang rewel. Bye mah. Assalamualaikum.” Aku langsung mematikan telepon secara sepihak. Membiarkan mamaku yang pasti sekarang sedang mengomel diujung sana.
Kusandarkan punggungku di kursi dan memejamkan mataku sejenak. Mau tak mau ucapan mama sedikit mengusikku. Bukannya aku tidak ingin menjalin hubungan dengan seseorang, tapi aku hanya merasa belum siap. Meskipun sudah dua tahun berlalu, nyatanya aku masih terlalu takut untuk menjalani suatu hubungan yang lebih serius, terutama menyangkut pernikahan.
Kesampingkan masa lalu. Aku tidak ingin kali ini aku gagal lagi. Tak peduli banyaknya anggota keluarga, teman atau orang tuaku sendiri yang selalu saja menanyakan kehidupan asmaraku sekarang. Jika aku yang menjalani memang belum siap, lalu mereka semua bisa apa?
Setelah beberapa waktu aku bergelut dengan pikiranku, rasa kantuk tiba-tiba mulai menyerang. Memang semalam aku hampir tidak bisa tidur. Semalam aku baru bisa terlelap pukul tiga dini hari, dan pukul lima aku sudah terbangun untuk menunaikan ibadah sholat subuh. Setelah itu tidak bisa tidur lagi, sehingga aku memutuskan untuk memasak kemudian menonton TV sambil menunggu waktu buka JN’s Boutique. Butik yang kurintis berdua dengan Nada tiga tahun lalu.
Hampir saja aku masuk kedunia mimpi, saat kudengar pintu ruanganku di ketuk pelan. Dengan berat aku kembali membuka mata.
Pasti Reta yang mengetuknya, karena hari ini Nada tidak datang. Dia sedang menghadiri akikah keponakannya di Bali, mungkin besok dia baru balik ke Jakarta.
“Iya Ret, masuk aja.” Kulihat pintu terbuka dan Reta masuk kedalam ruanganku.
“Maaf mbak ganggu ya,” katanya merasa tidak enak karena melihatku masih setengah terpejam.
“Hmm, nggak papa. Cuman ngantuk aja.”
“Pasti kurang tidur ya mbak, itu kelihatan banget kantung matanya.”
Aku menyentuh kantung mataku, terlihat sekali ya? “Iya, tadi malem nggak bisa tidur.”
“Mau saya buatkan kopi mbak?” tawar Reta, tapi aku menggelengkan kepala. “Nggak usah Ret, nanti aja aku bikin sendiri. Oh iya, emang kamu mau ngomong apa?” tanyaku.
“Eh itu ada yang nyari mbak Jingga di ruang tunggu,” Reta tersenyum. “Cowok loh mbak yang nyari.”
Laki-laki? Abang? Atau mungkin Ozi? Tapi kalaupun mereka berdua yang datang pasti mereka langsung nyelonong masuk ke ruanganku tanpa permisi. Lalu siapa?
“Reta lupa tanya namanya, yang jelas bukan mas Rizal atau mas Ozi mbak. Reta baru kali ini lihat deh kayaknya.” Jelas Reta seolah mengerti apa yang sedang kupikirkan sekarang.
“Oke, suruh tunggu sepuluh menit lagi.”
Reta mengangguk dan langsung pamit keluar untuk menunggu pelanggan yang setengah jam lagi mengambil pesanan gaun yang ia pesan tiga hari lalu.
Kubereskan meja kerjaku yang terlihat berantakan. Banyak coretan sketsa yang entah kali ini tidak satu pun yang berhasil kubuat. Semua ide yang bertebaran di otak seakan kabur semua saat aku mulai menggoreskan pensil di beberapa kertas putih yang sudah kusiapakan.
Aku sedang tidak dalam mood yang baik. Entah karena banyak pikiran atau memang sudah waktunya aku ambil cuti. Sepertinya aku butuh piknik, menjernihkan pikiran dengan snorkeling atau hiking sambil berwisata alam kurasa bukan ide yang buruk.
Nanti aku akan membicarakannya dengan bang Rizal dan Ozi, aku yakin mereka pasti dengan senang hati memenuhi ajakanku.
Aku bergegas membersihkan meja kemudian menutup laptop dengan cepat. Kurapikan bajuku yang terlihat sedikit kusut. Setelah beres, aku segera berjalan keluar untuk menemui tamu yang sudah menungguku dibawah.
***
Aku mengerjapkan mata berulang kali untuk memastikan aku tidak sedang berhalusinasi sekarang.
“Langit Biru?” kulihat lelaki itu mengangguk. Dengan tak sabar, aku langsung menghambur kepelukannya tanpa peringatan, membuat dia terhuyung kebelakang berusaha menahan berat badanku.
Aku tidak peduli, aku terus mengalungkan tanganku dilehernya sambil mendekapnya erat. Melupakan sejenak kenyataan bahwa laki-laki ini telah meninggalkanku tanpa kabar apapun sejak dua tahun terakhir.
“Aduh-J, lepas dulu-ughh ini aku nggak bisa napas,” ucapnya sedikit terbata-bata, aku melihat Langit yang terlihat kepayahan. Akhirnya dengan berat hati aku melepaskan pelukan kami.
Kutatap wajah di depanku. Gurat wajah itu masih sama seperti beberapa tahun silam. Tidak ada yang berubah. Hanya saja di area dagunya sekarang ditumbuhi rambut-rambut halus yang sepertinya belum sempat dicukur.
“Missing me?” dia menaik-naikkan alis dengan cengiran usil andalannya. Astaga, betapa aku merindukan senyum itu. Lagi-lagi aku tidak bisa bersuara. Aku hanya ingin memeluk Langit untuk menyalurkan betapa rindunya aku dengan dirinya.
Dia membalas pelukanku dengan sama erat.
Tak terasa air mataku menetes membasahi kaus yang ia kenakan. Mungkin ia merasakan isakan tangisku, diangkatnya wajahku untuk mendongak kearahnya.
“Yaelah pendek ngapain pake nangis segala sih, makin jelek tau!”
Bugh
Aku memukul dadanya keras.
“Jahat baget kamu Lang!” aku terus memukulinya meskipun kutahu dia sudah mengaduh kesakitan.
“Dua tahun ini kamu kemana aja!”
“Tega banget kamu ninggalin aku!”
“Pergi nggak bilang-bilang, nggak ngasih kabar sama sekali. Kamu anggep aku apa!” cecarku.
Bugh bugh….
Aku semakin gencar memukulinya sambil berusaha menahan sekuat tenaga isakan tangisku untuk tidak pecah. Meskipun aku tahu usahaku sia-sia. Air mataku justru semakin mengalir deras.
“Aduh, aduh pendek udah dong mukulnya, kamu mau bunuh aku ya! Aduh iya iya oke aku akan jelasin semuanya, stop it! Please!” Langit mencekal pergelangan tanganku, membuatku terdiam dengan air mata yang sudah meluber kemana-mana.
“Udah ah, nggak usah nangis,” ucapnya lembut.
Dia melepaskan tanganku dan mengusap air mataku pelan.
“Senyumnya mana,” dia menaikkan kedua sudut bibirku menggunakan ibu jarinya sehingga mau tak mau aku tersedak oleh tawaku sendiri.
“Nah gitu dong.” Langit mengacak-acak rambutku sambil menyeringai.
“Lunch diluar?” tawarnya dan aku hanya bisa mengangguk singkat. Tenagaku sudah habis untuk sekadar menolak.
Aku menghampiri Reta dulu untuk menjaga JN’s Boutique. Kulihat Reta memandangku cemas karena mataku yang mungkin terlihat makin sembab, tapi aku mengabaikannya dan segera menghampiri Langit setelah memberitahu Reta bahwa aku ingin makan diluar.
Baru setelah itu kubiarkan Langit menggiringku keluar butik dan masuk kedalam CR-V-nya, karena aku ingin segera mendengar penjelasan, kemana dia menghilang selama dua tahun ini.
***
Langit untuk Jingga
21 Desember 2016 in Vitamins Blog
Blurb [teaser]
“Sudah.” Aku menyerahkan sebuah berkas yang baru saja kububuhi tanda tangan diatas materai kepada seseorang di depanku dengan tangan yang sedikit bergetar.
Dia menerima surat itu lalu menyimpannya dalam map yang sudah ia sediakan. Kulihat dia masih saja menampakkan ekspresi datarnya seperti biasa. Seolah apa yang barusan kami lakukan adalah bukan hal penting dan sangat mudah untuk dilakukan.
“Aku pamit pulang.” Ucapnya seraya berdiri dari sofa ruang tengah apartemen milikku. Aku mengangguk pelan tanpa bersuara.
Aku mengantarkannya sampai depan pintu. Pikiranku masih berkeliaran kemana-mana hingga aku tak sadar ia sudah menghentikan langkahnya dan berbalik menatapku.
“Maaf.”
Aku tertegun saat dia tiba-tiba memelukku. Aku terdiam, tak menolak, tidak juga membalas pelukannya. Kuhirup harum tubuhnya, dan akan menyimpan baik-baik dalam memoriku. Dadaku terasa sesak dan sekuat tenaga aku menahan air mataku agar tidak tumpah di depannya.
Please jangan nangis sekarang!
Dia mengurai pelukannya dan dapat kurasakan puncak kepalaku dikecup ringan olehnya.
“Jaga diri baik-baik.” Hanya itu pesannya. Kemudian tanpa menoleh lagi, dia pergi meninggalkanku sendirian.
Kutatap terus punggung tegapnya yang semakin menjauh hingga masuk kedalam lift, membuat tubuhnya hilang dan semakin tidak dapat kuraih.
Tes.
Perlahan air mataku mulai berjatuhan. Kali ini tidak perlu kutahan-taham lagi, kulepaskan semua sesak yang sedari tadi kurasakan. Aku segera masuk kedalam rumah. Tubuhku langsung merosot jatuh di depan pintu. Kupeluk lututku sendiri dengan erat dan membenamkan wajahku di antaranya. Tangisku semakin pecah, menggema menyedihkan didalam ruangan.
Selesai sudah. Pernikahan yang baru saja dimulai terpaksa juga harus diakhiri. Ikatan sakral yang seharusnya menjadi titik awal dua insan menyatu membangun kehidupan baru justru kandas bahkan sebelum dimulai. Semua bayangan akan mempunyai keluarga kecil bahagia, musnah hanya dengan sebuah kata ‘cerai’.
Aku sempat berharap dia masih mau mempertimbangkan keputusannya. Tapi ternyata aku berharap terlalu banyak.
Dan aku tahu sebanyak apapun air mataku tumpah dan selama apapun aku menangisinya sekarang, semua itu tidak akan pernah bisa membuat dia kembali lagi padaku.
***
Mau nyoba nulis disini, hohoho. Thanks PSA sudah memberi wadah vitamins buat berkreasi (: