MERITOCRACY 15 : Bizu

9 Juni 2022 in Vitamins Blog

9 votes, average: 1.00 out of 1 (9 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

Anna punya pengakuan.

Ia adalah sosok yang keras kepala. Apabila ia sudah membuat satu keputusan, tidak akan ada hal di dunia ini yang mampu menghalanginya. Kecuali kematian, gumamnya dalam hati. Dan apakah Anna sering menyesali sifat keras kepalanya? Tidak sering, namun tidak jarang pula. Salah satunya adalah saat ini.

Read the rest of this entry →

MERITOCRACY 14 : Loomus

9 Juni 2022 in Vitamins Blog

6 votes, average: 1.00 out of 1 (6 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

Di saat gelap hadir
Dan lewat ikatan takdir
Semesta tak luput menjadi saksi
Kala Anak-Anak Alam menapakkan kaki
Menyambut hidup yang tak lagi abadi
Menikmati kefanaan sepenuh hati

Menatap langit
Mencumbu permukaan
Meraba mentari
Memeluk rembulan
Meredup mati
Mencacah kehidupan
Merajut damai
Menjagal kekacauan

Read the rest of this entry →

MERITOCRACY 13: Agentive

25 Mei 2022 in Vitamins Blog

7 votes, average: 1.00 out of 1 (7 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

Jantung Rei berdegub kencang setelah mendengar pernyataan dari salah satu pengawal kediamannya. Anna tumbang akibat berduel dengan Jenderal. Apa seseorang sedang melucu? Baru beberapa hari ia meninggalkan Anna sendiri dan kini ada kabar bahwa sahabatnya tumbang? Jenderal tidak akan mungkin membuat putrinya terbunuh, bukan? 

Read the rest of this entry →

MERITOCRACY 12: Sequitur

25 Mei 2022 in Vitamins Blog

9 votes, average: 1.00 out of 1 (9 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

Read the rest of this entry →

MERITOCRACY 11 : Inertia

28 Mei 2021 in Vitamins Blog

35 votes, average: 1.00 out of 1 (35 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

 


Caesar Delano X.

Generasi ke-10 dari Caesar Delano, orang pertama yang mendirikan kekaisaran. Membantai Zuvnich untuk menyelamatkan Voreia. Begitu katanya.

Tahu apa yang lebih mengejutkan? Caesar Delano tidak memiliki darah kerajaan di tubuhnya. Dulu Anna pernah membaca satu paragraf di dalam Kitab Gogledd—sebuah pakta yang disinyalir tercipta ketika daratan Halstead diberi nama Halstead oleh para Keluarga Pendiri.  Paragraf itu menorehkan nama-nama. Tujuh nama para Keluarga Pendiri.

Laurels, Rojava, Enzatsy, Gundogar, Severno, Alshamal, Kaskazni.

Tidak ada Delano.

Hingga dewasa ini, Anna selalu mengingat kedudukan para Keluarga Pendiri di tujuh kerajaan di Halstead. Masing-masing keluarga menjadi tombak pemerintahan. Mereka adalah keluarga kerajaan yang diakui dari darah dan namanya. Hingga pada suatu masa, Caesar Delano menjadi kaisar pertama di daratan Halstead. Kemudian menyematkan seluruh namanya pada penerusnya.

Tak lama lagi, Caesar Delano X akan memimpin kekaisaran. Melalui Purvation, pendampingnya akan dipilih langsung oleh sistem yang menentukan siapa yang terbaik dari para peserta. Sebuah sistem pemilihan yang digunakan untuk menyebar teror.

Purvation selalu berlangsung lama. Dalam agenda yang mengatasnamakan ‘persahabatan antar kerajaan’, acara tersebut bisa berlangsung hingga berbulan-bulan. Jika Anna tidak salah mengingat, Purvation Caesar Delano V menghabiskan waktu sepanjang musim panas. Entah apa yang terjadi selama kompetisi itu berlangsung. Anna sedikit beruntung dilahirkan di masa yang berbeda. Benarkah? Apa itu memang suatu keberuntungan?

Purvation periode ini dilaksanakan pada musim dingin. Pada saat jatuhnya salju pertama di Halstead, Purvation akan resmi berlangsung. Anna sedikit tidak sabar untuk melihat bagaimana perwakilan dari utara akan berlomba-lomba mendekati Sang Putra Mahkota dan menjilat keluarga kerajaan. Mereka pasti akan terlihat bodoh sekali.

Anna pernah mendengar alasan mengapa Purvation periode ini dilaksanakan pada musim dingin adalah karena Caesar Delano X lahir pada bulan pertama. Bulan pertama di sepanjang tahun memang diselimuti musim dingin, Anna tidak heran jika itu benar alasannya. Purvation selalu dilaksanakan di musim yang berbeda sesuai generasinya dengan alasan yang berbeda-beda pula. Anna tidak peduli soal itu.

Ironis sekali. Anna selalu suka musim dingin. Ia lahir pada malam titik balik matahari musim dingin. Malam terpanjang dalam setahun. Tahun ini ia harus melewati malam istimewanya itu di utara. Hanya dengan mengingatnya saja sudah membuatnya mengerang kesal. Tapi, jika ingin melupakan Voreia untuk sejenak, Anna justru merasa hari kelahirannya tahun ini akan terasa istimewa daripada sebelum-sebelumnya. Jika ia bisa pergi ke kuil kesukaannya itu—andai saja Anna bisa lebih keras kepala pada ayahnya untuk membiarkan dirinya pergi ke utara.

Kemudian sebuah kesadaran menghantamnya. Lagi-lagi ia berandai-andai jika tempat itu masih ada, tidak rata dengan tanah seperti yang lainnya. Tapi, tidak ada yang tahu. Tempat itu terlalu jauh, bangsa penjajah itu tidak akan terpikirkan untuk menghancurkan sebuah kuil di desa terpencil.

Langkah Anna terus berderap di koridor istana sambil pikirannya terus mengulas sejarah-sejarah Voreia, Caesar Delano, dan Purvation yang menjadi topik pembahasannya dengan Zee. Tadi malam ia singgah ke area Zee dan berakhir tidur di sana—di perpustakaan yang khusus dibangun atas permintaan Sang Putri di wilayah peristirahatannya. Ternyata gadis itu sudah meminta ramuan penidur pada Chero untuk Anna. Kakaknya itu tidak bertanya banyak, mungkin hanya sedikit bertanya-tanya lewat tatapannya apakah Anna sudah menjelaskan gangguan tidurnya pada Zietha.

Tentu saja tidak.

Di saat Zietha sudah terlalu lelah dengan pembicaraan mereka seputar Purvation, gadis itu bertanya mengapa Anna tidak terlihat lelah sama sekali. Dan Anna hanya mampu menjawab kalau sebenarnya ia sudah lelah, namun dalam beberapa akhir ini ia mengalami kesulitan tidur. Begitulah kejadiannya, hingga akhirnya Chero datang membawa teh herbal kesukaan Zee dan juga ramuan penidur untuknya.

Dan anehnya, Anna tidak bermimpi apa pun.

Anna sedikit bergidik ketika angin pagi menerpa tubuhnya. Ia benar-benar menepati perintah Brane untuk datang ke lapangan barak sebelum fajar. Lebih tepatnya, itu perintah dari Jenderal. Anna bisa saja tidak perlu memenuhi perintah tersebut sebagai wujud aksi pemberontakannya. Ia masih kesal bukan main dengan ayahnya itu.

Anna menunduk menatap kakinya yang dibalut sepatu kulit dengan sol tebal yang kini melangkah di atas rumput. Pemandangan itu kembali membuatnya merenungkan pembicaraannya dengan Zee semalam.

“Apa yang kau ingat tentang keluarga kerajaan Voreia?” Anna bertanya sambil membuka lembaran buku di tangannya.

“Hanya informasi biasa yang memang seharusnya diketahui oleh masyarakat umum.” Zee menjawab acuh tak acuh.

“Apa saja?”

Zietha berpikir sedikit keras hingga bibirnya mengerucut. “Caesar Delano IX punya seorang adik laki-laki, kemudian satu permaisurioh, dua, salah satu selirnya menggantikan permaisuri yang sebelumnya.”

“Benar-benar penuh skandal.” Anna mendecih penuh cemooh.

“Hm, sebenarnya aku masih tidak tahu tentang keabsahan Caesar Delano X sebagai Putra Mahkota,” Zee melanjutkan.

“Apa yang perlu dipertanyakan? Namanya saja sudah menunjukkan keabsolutnya gelarnya.” Anna menyela.

“Maksudkukau tahu, Caesar Delano X merupakan putra dari permaisuri yang baru. Kita tidak tahu apakah Permaisuri Voreia itu hamil di saat kedudukannya masih menjadi selir atau ketika sudah diangkat menjadi permaisuri.” Zietha menjabarkan dengan sikap suspensi.

“Lalu?” Anna menyahut dengan nada bosan. Sebenarnya ia juga penasaran, ia bahkan pernah punya pemikiran yang sama. Tapi, bersikap jahil pada Sang Putri sepertinya terdengar menyenangkan.

Zietha sedikit merengut mendengar balasan seperti itu. Namun, tak urung ia mengemukakan pendapatnya pada Anna. “Lalu, kalau begitu bukankah itu berarti kedua putranya sama-sama tidak ada yang mendapatkan gelar Putra Mahkota sebagai hak lahir mereka?”

“Yang artinya, keduanya diperbolehkan bersaing untuk mendapatkan hak tersebut,”

“Eh? Benar bisa begitu?” Zietha justru kebingungan.

Anna menghela napas. Bukan masalah. Zietha memang tidak pernah belajar politik secara mendalam. “Itu bisa saja terjadi. Tetapi, jika kasusnya seperti itu, ada kemungkinan seorang raja justru memilih untuk memiliki anak lagi dari permaisuri yang baru. Ia pastinya tidak akan repot-repot menciptakan intrik di dalam keluarga kerajaan. Apalagi kerajaan besar semacam Voreia. Raja mereka punya banyak wilayah yang bisa dibagikan untuk anak-anaknya.”

Zietha mengangguk sembari mencerna ucapan Anna. “Atau bisa jadi, karena Sang Raja tidak ingin repot-repot menciptakan intrik di dalam kerajaan, maka dari itu ia langsung memberikan gelar Putra Mahkota pada Caesar Delano X sebagai hak lahirnya?”

“Hm, itu bisa saja terjadi. Kita tidak tahu apa pun kecuali rumor, ‘kan?” Anna mengangguk menyetujui.

Mereka terdiam, kembali menekuni bacaan masing-masing hingga Zietha kembali bersuara. “Kau tahu sesuatu tentang Kharel Delano?”

Jemari Anna batal membalikkan halaman ketika mendengar pertanyaan tersebut. Anna sedikit bingung memilih kalimat yang pas untuk menjawab pertanyaan Zietha. Apakah ia mengetahui sesuatu tentang Kharel Delano? Tidak juga. Sekali lagi, ia terkadang tidak tahu apa pun kecuali rumor. Sumber informasi terbaiknya—Valos, juga tidak pernah berkata banyak tentang sosok itu. Anna hanya tahu satu hal terkait sosok tersebut, itu pun masih ia ragukan kebenarannya.

Kharel Delano adalah bayangan Sang Raja.

Jika ada yang bisa lebih kejam dari para leluhur Delano, maka Kharel Delano ‘lah orangnya. Anna hanya beberapa kali mendengar rumor tentang sosoknya, dan yang terdengar hanyalah bagaimana kejinya manusia itu. Lewat selentingan yang Anna dengar, putra sulung Caesar Delano IX itu bahkan disebut sebagai dewa kehancuran.

“Tidak banyak yang aku tahu selain fakta bahwa ia putra pertama Caesar Delano IX.” Anna menjawab diplomatis.

“Aku pun sama. Tidak ada catatan atau informasi yang jelas tentang sosoknya. Bahkan deskripsi tentang bagaimana perangainya pun simpang siur. Apa kita akan bertemu dengannya di Purvation nanti?” Zietha berujar lemah penuh tanya.

Anna melirik Zietha, mempelajari eskpresi yang ditampilkan. “Kenapa? Kau berharap bertemu dengannya di sana?”

Zietha sontak melotot pada Anna. “Yang benar saja! Aku bahkan tidak berminat menemui Caesar Delano X. Aku benar-benar setengah hati membayangkan duduk bersama keluarga kerajaan itu.”

Ingatan akan pembicaraan itu menciptakan pertanyaan dalam benak Anna. Kharel Delano, apa perlu ia mencari tahu lebih dalam tentang sosoknya?

“Wah, aku benar-benar tak percaya kau sungguh ada di sini. Kupikir kau melarikan diri untuk menikah dengan orang lain.” Celetuk sebuah suara.

Tunggu, Anna sudah tiba di lapangan barak? Berapa lama ia melamun? Beruntung sekali ia tidak tersandung selama perjalanannya. Anna mendongak dan menolehkan kepalanya, mencari si pemilik suara. Dan di sanalah sosok itu berada, bergelayut di atas pohon tanpa beban. Seolah tubuhnya menjadi bagian dari tubuh pohon itu sendiri.

“Delen, bukankah seharusnya kau lebih sopan sedikit?” Anna menyahut sedikit jengkel. Ia masih merasa sensitif dengan topik tersebut. Apalagi akhir-akhir ini Javias dan orang-orang di sisinya selalu bertingkah hingga membuatnya sebal.

Pria kurus bernama Delen itu segera melompat dan menapaki tanah. “Hanya karena kau seorang Cuvari, bukan berarti kau bisa bersikap sok tua di hadapanku. Kau setahun lebih muda dariku, ingat itu.” Delen memicing penuh peringatan yang dibuat-buat.

“Ah, sekarang kau sangat bangga menjadi tua?” Anna balas mengejek.

Balasan itu segera mendapat pelototan dari Delen. Tetapi, mau bagaimanapun pemuda itu mencoba bertingkah dengan penuh intimidasi, ia hanya terlihat semakin lucu di mata Anna. Tubuhnya bahkan tidak lebih tinggi dari Anna. Namun, jangan salah. Meski bukan seorang Cuvari dan bertubuh kecil, prajurit satu itu tetap mematikan. Ia bisa tiba-tiba menodong leher seseorang bahkan sebelum seseorang itu menyadarinya. Yah, selain bakat bertarungnya yang mematikan, sikap menyebalkannya juga sangat mematikan. Rei harus menarik kata-katanya perihal Anna adalah manusia paling menyebalkan. Karena Delen adalah sosok yang cocok dengan julukan itu. Sama sekali tidak mengherankan, karena ia adalah sahabat baik Arwen—kakak Anna yang paling muda. Secara praktis mereka kembar. Mereka lahir di tahun yang sama dan punya sifat yang sama, mereka nyaris tak terpisahkan. Mereka sama-sama jelmaan roh jahat yang entah bagaimana bisa terlahir ke dunia ini.

Delen mengakhiri perang saraf tersebut dan memilih untuk memeluk pundak Anna. Ia mengajak Anna untuk menghampiri para prajurit yang tengah melakukan pemanasan. Itu salah satu cara paling efektif untuk meninggalkan kantuk. Sesampainya di hadapan sekumpulan laki-laki itu, Anna mendapat salam penghormatan yang benar sebelum siulan menggoda menggantikan salam hormat itu.

“Rambut yang sangat bagus, Nona.” Sahut salah satu prajurit. Anehnya, Anna sama sekali tidak tersinggung dengan sikapnya itu.

“Tentu saja. Siap untuk taruhan seperti biasa?” Delen menyahut di samping Anna sambil menggodanya.

Tentu saja rambutnya menjadi bahan perbincangan. Tadi saat terbangun, Anna tidak dapat menemukan tali yang biasa ia gunakan untuk mengikat rambutnya. Jadi, ia membiarkannya tergerai untuk saat ini. Mungkin nanti ia akan meminta pada salah satu pria di hadapannya ini untuk mencarikan sesuatu yang bisa ia gunakan untuk mengikat rambutnya.

“Akan kupastikan kalian akan langsung mencium belatiku jika berani menyentuhnya biarpun hanya sehelai.” Anna mendesis penuh ancaman setengah geli. “Hentikan itu, Anak-Anak. Buat barisan!” Lanjutnya mengambil komando.

Tidak ada penolakan. Brane tidak ada di hadapan mereka, dan jabatan Anna lebih tinggi dari mereka. Komando itu mutlak dan harus dipatuhi meski perintah tersebut keluar dari bibir seorang perempuan. Latihan yang diawali dengan berlari berlansung lancar. Anna menemani mereka dengan memimpin di posisi paling belakang. Pasukan ini merupakan pasukan inti kerajaan. Mereka berlatih setiap hari kala fajar belum menyingsing hingga beberapa jam. Brane yang selain ditugaskan menjadi tangan kanan Javias, bertanggung jawab dengan pelatihan pasukan inti ini. Karena pada siang hari hingga menjelang malam, pasukan inti ini akan melatih pasukan-pasukan yang lain.

Hampir semua dari mereka mengenal identitas Anna. Putri bungsu Jenderal Reese. Seorang Cuvari pertama yang berjenis kelamin perempuan. Beberapa dari mereka bahkan ada yang pernah menjadi mentornya saat Anna pertama kali datang ke istana untuk bergabung ke dalam pasukan. Sebagiannya lagi merupakan teman seangkatan Anna yang bergabung ke dalam pasukan di waktu yang sama seperti Anna. Delen contohnya.

Sayangnya, pemuda itu bukan berasal dari keluarga bangsawan—maka dari itu dia tidak bisa mengikuti ujian untuk menjadi seorang Cuvari. Ia bahkan bukan warga asli Dienvidos. Kisahnya cukup rumit. Intinya, ia dulu hanyalah anak laki-laki yang tersesat di perbatasan, hingga seorang pedagang Dienvidos menemukannya kemudian merawatnya. Sebagai imbalan atas kebaikan dari pria tua itu, Delen memutuskan untuk bergabung ke dalam pasukan istana. Menjadi prajurit selalu memiliki prospek yang bagus, kehidupan yang nyaman sudah pasti jadi jaminannya. Delen bertemu dengan Anna di tahun yang sama. Mereka saling belajar dan mengajari satu sama lain. Selain Rei, mungkin Delen juga termasuk salah satu orang terdekatnya. Di saat orang lain menyebut Anna gila karena mengikuti ujian Cuvari hingga tiga kali percobaan, Delen selalu mendukungnya. Pemuda itu secara tidak langsung berjasa atas jabatan yang Anna miliki sekarang. Yah, meskipun Anna juga harus mengapresiasi dirinya karena masih bisa bertahan dengan sikap Delen yang membuat sakit kepala.

“Apa Arwen sering memberimu kabar?” Anna bertanya pada Delen yang sedang mengasah pedangnya.

Delen mengedikkan bahu. “Tidak terlalu sering, aku hanya tahu kalau saat ini ia tengah berada di Entshona.”

“Kapan anak itu bisa dewasa,” Anna mengeluh pelan.

“Hei, dia kakakmu.” Delen menyahut sembari terkekeh.

“Usia hanyalah serangkaian angka.” Kata Anna. Tak lama, ia mengerang kesal karena salah satu prajurit yang ia suruh mencari tali untuk mengikat rambutnya tak kunjung kembali. Kali ini Anna harus menggulung rambutnya, karena latihan yang selanjutnya adalah melatih kemampuan menggunakan pedang. Anna sedikit tidak suka melakukan latihan ini. Ia memang petarung jarak dekat, tapi pedang terasa tidak cocok di tangannya. Anna dulu sempat berpikir apakah kelebihannya ada di kemampuan bertarung jarak jauh. Jawabannya juga tidak memuaskan. Ia kurang menguasai busur dan panah, tetapi pisau atau belati yang dilemparnya selalu mengenai tepat sasaran. Segala jenis pisau memanglah separuh jiwanya.

“Baiklah, kalian akan bertarung secara berpasangan. Aku akan—” Anna menghentikan perintah yang hendak ia ucapkan ketika para pria di hadapannya serentak berdiri tegap dan menunduk hormat. Tunggu, ada apa? Tindakan itu hanya dilakukan jika ada seorang prajurit yang pangkatnya lebih tinggi. Bisa saja itu Brane yang ditampuk menjadi jenderal selanjutnya, atau bisa jadi itu adalah Jenderal sendiri.

Tidak ingin menebak-nebak lebih lanjut. Anna menolehkan kepalanya dan matanya menemui sosok itu. Hebat sekali, ayahnya datang entah untuk memberikan kesialan apalagi untuknya.

“Jenderal,” Anna menyapa hormat menundukkan kepala.

Jenderal hanya mengangguk pelan sebagai penerimaan salam hormat itu. Sosok paruh baya itu kemudian mendekati salah satu prajurit yang terlihat gugup. Menyadari kalau sosok Jenderal yang paling disegani di seantero kerajaan bergerak ke arahnya.

Anna hanya mengernyit bingung ketika ayahnya menadahkan telapak tangan kanannya seolah meminta sesuatu dari prajurit yang malang itu. Anna tidak heran kalau prajurit itu juga kelihatan kebingungan.

“Pedangmu,” Ujar Sang Jenderal.

Tanpa basa-basi, prajurit itu segera memberikan pedang yang baru saja diasahnya ke tangan Jenderal. Sembari mengamati pedang itu lamat-lamat, Sang Jenderal melirik sebentar pada Anna sebelum berkata, “Ambil pedangmu, Prajurit.”

Anna terkesiap pelan. Ia memang belum menyiapkan pedangnya—pedang umum milik kerajaan yang disiapkan untuknya. Anna memang punya pedang pribadi, tapi ia tak pernah membawa benda itu ke mana-mana. Anna menelan ludah gugup sebelum melirik ke segala arah. Ia harus mencari pedang ke mana?

Kemudian satu sosok menghampirinya. Itu Delen. Pemuda itu memaksakan sesuatu untuk Anna genggam. Ketika Anna menyadarinya, sesuatu itu ternyata sebilah pedang. Delen meminjamkan pedangnya untuk Anna. Sama seperti Anna, pasukan inti kerajaan rata-rata memiliki pedang pribadi. Sebilah pedang yang ditempa sesuai keinginan mereka, baik dari komposisinya hingga bentuk pedang itu sendiri. Menggunakan pedang Delen akan memberikan keuntungan untuknya. Pedang itu dibentuk menyesuaikan postur tubuh Delen yang hampir mirip dengan Anna. Ia menghela napas penuh terima kasih pada teman seperjuangannya itu.

“Kurasa sebelum menyuruh mereka untuk berlatih bertarung, ada baiknya kau memberikan contoh yang baik.” Suara Jenderal yang penuh ketegasan dan aura dingin membelah keheningan pagi. Sepasukan prajurit yang baru saja berlari sebagai awal latihan tadi tiba-tiba enggan menunjukkan raut wajah lelah mereka. Kehadiran Jenderal yang sangat tidak biasa ini benar-benar menimbulkan ketegangan.

Di saat Anna sibuk membaca sekitar, posisi mereka sudah berubah sepenuhnya. Kini ia berdiri berhadapan dengan ayahnya, sedangkan para prajurit berkerumun di pinggir lapangan membentuk lingkaran.

Anna merasakan tangannya gemetar. Ia mengeratkan pedang di tangannya, mencoba mengusir kegusarannya. Ini adalah momen langka. Mungkin para prajurit itu penasaran setengah mati bagaimana Sang Jenderal akan menjatuhkan putrinya ke lapangan barak yang penuh lumpur.

Anna boleh saja berhasil menjadi Cuvari setelah tiga kali melewati ujian serupa neraka yang enggan diikuti oleh sebagian prajurit. Anna boleh saja berhasil menjatuhkan Randal Guney di hadapan semua orang. Tetapi, apakah kemampuan Anna sebanding dengan Sang Jenderal?

Demi Halstead, apa yang ada di dalam kepala Pak Tua itu? Anna mengerang dalam hati.

Anna menyiapkan kuda-kuda terbaiknya. Tangan kanannya menghunus pedang, sedangkan tangan yang lain mengepal di belakang tubuh. Ini posisi bertarung yang formal. Di depan sana, Jenderal Reese hanya berdiri tegap dengan bertumpu pada pedang yang menancap di tanah.

Kemudian dentang dua besi yang beradu memekak di udara. Anna menyerang, gerakannya secepat angin dan sehalus bulu. Langkahnya beberapa kali goyah karena ia masih kesulitan untuk mengatasi kegusarannya. Sejauh ini Jenderal tidak menyerang. Gerakannya jauh lebih santai dari Anna. Mungkin baginya, serangan Anna sama sekali bukan ancaman. Hingga kemudian Jenderal melakukan gerakan tak terduga. Menggunakan keuntungan dengan tubuhnya yang besar, pria paruh baya itu menangkis serangan Anna dengan kuat hingga Anna hampir terjungkal. Dari situ semuanya berubah. Anna meringis ngeri.

Ayahnya sudah merasa cukup bermain-main.

Erangan kesakitan keluar dari bibir Anna ketika ayahnya menghantamkan gagang pedang di salah satu belikatnya setelah melesat menghindari serangan Anna. Keduanya berjalan pelan sambil saling membaca gerakan. Para prajurit pun tak kalah tegang, beberapa ada yang terkesiap, beberapa lagi ada yang terlihat menahan napas. Ini pukulan pertama yang melukai salah satu di antara mereka.

Anna tidak setangguh itu hingga baru bisa dilukai setelah cukup lama pedang mereka beradu. Ayahnya memang sengaja memilih untuk bermain-main dulu dengannya. Sengaja menghabisi tenaganya.

Jenderal Reese menatap datar putrinya sebelum mengambil langkah untuk melayangkan serangan pertama, ini berbeda dengan sebelumnya. Seperti yang sudah Anna duga, ia jadi sering terjatuh. Tubuhnya penuh peluh, tangan dan wajahnya penuh tanah lumpur. Namun, belum ada luka serius.

Anna harus berhati-hati dengan ucapannya meskipun itu hanya dalam hati. Karena pada detik selanjutnya, ia mengumpat kasar ketika pedang ayahnya itu menciptakan sayatan di lengan kirinya. Lagi-lagi ia terjatuh dan amarah tiba-tiba membakarnya. Matanya perih akibat beberapa tetes keringatnya yang masuk ke dalam mata. Ia masih tidak tahu apa tujuan ayahnya melakukan ini padanya.

Dengan cepat ia kembali menggenggam erat pedang Delen di tangannya dan menyerang Jenderal lebih dulu. Namun, Jenderal memang bukanlah tandingannya. Bukannya berhasil menyentuh Jenderal dengan pedangnya, sayatan justru kembali ia terima di paha kanannya. Sial, rasa sakitnya sangat menyengat. Anna bahkan sampai jatuh dengan posisi merangkak.

Ia harus bisa lebih kepala pada ayahnya. Itu yang Anna tanamkan pada pikirannya.

Anna bangkit tertatih. Tangannya kembali mengayunkan pedang, dan lagi-lagi ia mendapatkan luka. Air mata amarah menggenang di matanya. Wajah dan tubuhnya pasti sudah sangat tidak enak dipandang. Sedetik sebelum Jenderal melayangkan pedang untuk mengiris pinggang kirinnya, Anna melihat dua sosok yang sebelumnya tidak ada di pinggir lapangan. Kedua kakaknya berdiri di sana sambil melipat kedua tangan di dada, melihat pertarungan antara Anna dan ayah mereka. Brane dengan ekspresi kerasnya sedangkan Chero dengan raut khawatirnya. Namun, bukan itu yang membuatnya marah hingga ingin meneteskan air mata. Ayahnya, Sang Jenderal Besar, mendesiskan satu kata cemooh yang merobek harga dirinya.

“Tidak beradab,”

Dengan raungan kesal, Anna kembali mencoba menyerang Sang Ayah dengan tendensi melukai. Ia ingin ayahnya punya luka yang sama dengannya. Tetapi, goresan tipis yang baru saja diberikan oleh Jenderal di pipinya membuat Anna lengah hingga akhirnya menjatuhkan Anna untuk kesekian kalinya. Persetan dengan pendapat para prajurit yang menyaksikan pertarungan ini. Mereka pasti malah merasa heran melihat Anna yang bertahan cukup lama setelah mendapat serangan sebanyak ini.

“Liar.” Jenderal kembali berdesis pelan. “Kau pikir kau bisa pergi ke utara dengan sikap seperti itu?” Tanya Jenderal penuh kesinisan.

Luka-luka ditubuhnya mulai menunjukkan reaksi. Entah sudah berapa banyak darah yang hilang dari tubuhnya. Kini ia hanya bisa menunduk untuk menyembunyikan air matanya. Tidak, ia tidak sedih. Ia hanya merasa sangat marah karena merasa tidak adil dengan pertarungan yang sangat tiba-tiba ini. Anna yang sedang merutuki ayahnya tiba-tiba merasa tegang ketika merasakan kehadiran seseorang di punggungnya. Anna mendongak dan tidak menemukan Sang Jenderal di depannya. Ia hanya mampu melirik sedikit kalau sosok di belakang tubuhnya itu ternyata ayahnya.

“Tidak!” Anna menjerit pilu.

Ia melemparkan pedang di salah satu tangannya dan mengangkat kedua tangannya yang sama-sama kesakitan ke belakang kepala—ke arah tangan Sang Jenderal yang telah mengumpulkan rambut Anna ke dalam satu genggaman besarnya. Anna tahu apa yang akan dilakukan ayahnya. Ia memberontak serampangan sambil terus meneriakkan penolakan. Kepalanya terasa sangat sakit karena ia mencoba memaksakan diri lepas dari cengkeraman Sang Ayah. Kedua tangannya terus berusaha menyingkirkan tangan dan pedang ayahnya yang berada tepat di tengkuknya.

“Ayah! Aku mohon!” Anna terus menjerit dan memberontak.

Hingga akhirnya semua usahanya itu hanya berakhir sia-sia. Ayahnya berhasil memotong sebagian besar rambutnya. Anna hanya bisa berlutut pasrah dan membiarkan rambutnya perlahan menyampu pipinya. Pandangannya kosong. Anna bahkan tidak mampu berpikir ketika suara ayahnya kembali terdengar.

“Itu hukumanmu.”

Hukuman. Kata yang sering dijadikan candaan oleh Rei. Topik besar yang menanti kepulangannya setelah sebelumnya ia melarikan diri. Semua tebakannya salah. Ia tidak menjalani masa hukuman selama enam bulan seperti masa pelariannya. Ia hanya menjalaninya dalam sehari—bahkan hanya dalam hitungan jam. Anna roboh. Sakit yang ditimbulkan dari luka-luka mulai menguasai tubuhnya. Ia bahkan sudah tidak punya tenaga untuk melemparkan umpatan kasar pada ayahnya. Anna tidak tahu berapa lama ia berbaring di hamparan tanah itu hingga akhirnya ia merasakan seseorang membopong tubuhnya dengan cepat seolah Anna hanya seringan kapas.

Samar-samar, Anna bisa mendengar suara dari sosok yang menggendongnya. “Kau yang memberi ide kepada Ayah untuk mengahajar Anna dan memotong rambutnya?” Itu suara Chero. Nadanya penuh tuduhan.

“Tidak. Aku hanya bilang aku akan menghajar gadis nakal itu sebagai bentuk hukumannya.” Suara berat lain menjawab. Itu suara Brane.

“Perihal rambut?” Chero kembali bertanya.

“Aku sama sekali tidak tahu.”

Anna menyembunyikan wajahnya di dada kakaknya. Tubuhnya nyaris mati rasa. Teguran kasar dari Sang Ayah sukses menggelayuti pikirannya.

Tidak beradab.

Liar.

Kau pikir kau bisa pergi ke utara dengan sikap seperti itu?

Kemudian sebagian rambutnya hilang.

Anna mengerang dalam hati. Ayahnya memang tidak akan membiarkannya pergi ke utara.

***

Suara riuh itu hampir tidak mampu menjaga kesadaran Anna untuk tetap berada di tubuhnya. Ia bahkan tak mampu meringis ketika Chero dan para asistennya menekan luka-luka Anna—mencoba mengehentikan pendarahannya. Ia tidak akan mati, ‘kan?

Ayahnya memang berhati batu. Ia mungkin terkesan tidak akan segan untuk membunuh anaknya sendiri. Tetapi, rasanya aneh sekali jika seorang Jenderal mengambil tindakan yang tidak bermoral seperti itu. Ayahnya itu jelas punya reputasi yang harus dilindungi.

Pipi Anna berkali-kali ditepuk oleh kakaknya. Menjaganya untuk tetap sadar sampai laki-laki itu berhasil mengobatinya. Brane sudah tidak tahu di mana rimbanya. Mungkin ia sedang menyambangi ruang kerja Sang Ayah untuk mengucapkan selamat atas kesuksesannya menghajar Anna. Rasanya sakit sekali ketika kau dihajar oleh seseorang yang selama ini kau pedulikan.

“Anna, tetaplah bersamaku.” Chero dengan napas terengah terus memperingati Anna.

Ia tidak akan mati.

Anna tidak mau mati.

Tidak sebelum semua usahanya terbalas.

Tidak sebelum ia membayar kehidupan yang ia dapatkan dari ribuan orang yang telah berkorban untuknya.

Anna memejamkan mata sembari terus mengingatkan pikarannya untuk tetap sadar. Apa pun. Ia harus memikirkan apa pun supaya bisa tetap sadar. Kilasan mata biru menghampirinya.

Kilasan itu membuat Anna terkejut. Apa yang baru saja ia pikirkan?

Lalu, tanpa diminta, kenangan itu mendatanginya. Bagaimana bingungnya Anna ketika terbangun pagi itu di tempat tidurnya sendiri. Dan ketika ia menolehkan kepalanya, rambut hitam nan halus mengusap pipinya. Seketika Anna tahu apa yang telah terjadi. Meski mereka tidur berdekatan—mungkin karena sama-sama mencari kehangatan di dinginnya malam tadi—pemuda itu tidak meletakkan tangannya di atas tubuh Anna. Ia justru meringkuk di dekatnya seperti anak kecil. Pemuda itu memang bocah. Satu kalimat yang langsung terlintas di pikiran Anna saat itu. Kemudian pikiran lain menamparnya.

Bocah macam apa yang mampu mencumbunya seperti itu?

Di tengah kesakitannya, Anna mengingat bagaimana jantungnya berdebar saat pertanyaan itu muncul di pikirannya. Sial, Lintah Utara itu benar-benar sudah mempengaruhinya. Anna mengerang, air mata menetes dari sudut matanya ketika ada sesuatu yang terasa menyengat di lukanya.

“Tidak apa-apa. Ssshh, kau akan baik-baik saja, Anna.” Ujar Chero menenangkan.

Entah apa yang dilakukan kakaknya itu dalam usaha mengobatinya. Sakit yang ditimbulkan oleh lukanya benar-benar membuatnya pening. Anna yakin sepenuhnya kalau pikirannya pasti sangat kacau ketika ada sedikit penyesalan yang tiba-tiba menyelip di hatinya saat mengingat momennya bersama Eric.

Ia menyesal tidak membalas ciuman Eric.


©️MERITOCRACY, 2021

See you on the next chaps

MERITOCRACY 10 : Clearance

28 Mei 2021 in Vitamins Blog

 

30 votes, average: 1.00 out of 1 (30 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

Double Chapter! Spesial untuk yang masih setia nungguin hehe. Happy reading!


 

Gelap…

Tapi tak ada rasa gelisah yang menghampiri. Ia tidak terlempar ke dalam lubang yang selama ini menyekapnya dalam tidur. Yang ada hanya rasa hangat, sunyi, dan damai. Kapan terakhir kali ia mendapatkan tidur semacam ini?

Ia tidak bisa melihat apa pun—salah, ia tidak bisa melihat dengan jelas. Seakan ada tudung hitam yang menutupi penglihatannya. Namun, samar-samar ia dapat melihat lentera di beberapa sudut.

Kalau bukan di lubang yang selalu menyiksa, ada di mana ia sekarang?

Setelah beberapa saat, ia mulai bisa mendengar suara yang sayup-sayup memenuhi udara. Ia mendapati dirinya duduk malas berhadapan dengan sosok besar yang berdiri di belakang meja. Ia merasa familiar, apa kah ia berada di rumah minum?

“Kali ini kau dapat bayaran bagus?” Si sosok besar di belakang meja membuka suara.

Tudung hitam yang menyelubungi penglihatannya ternyata juga menutupi pendengarannya. Suara yang tersampaikan rasanya jauh sekali, padahal sosok besar itu jelas-jelas berdiri tidak jauh darinya.

Kemudian ia mendapati dirinya membalas ucapan itu tanpa niat. “Imbalan apa lagi yang bisa kau dapatkan dari mengantarkan seorang pandai besi? Ia menawariku sebilah pedang, tetapi aku tidak tertarik. Jadi, aku hanya meminta beberapa mata panah.”

Tunggu, itu bukan suara miliknya. Mengapa suaranya jadi berbeda? Suara berat itu jelas-jelas hanya dimiliki orang seorang pria! Apa di dalam mimpinya ini ia tidak menjadi dirinya sendiri?

Sosok besar itu tertawa ringan. “Lalu, apa yang kau keluhkan?”

Ia merasa dirinya menarik napas panjang seakan mencoba melepaskan kekesalan. “Tidak ada yang perlu dikeluhkan. Karena seperti yang kau katakan, Kawanku. ‘Berikan nama dan budimu, maka suatu saat kau akan mendapatkan kekayaanmu.’

Sosok besar itu kembali tertawa. “Terus saja lakukan itu, tetapi jangan salahkan aku bila kau kesulitan memiliki waktu untuk menemukan apa yang kau cari.”

“Jelas tidak. Anggap saja sambil menyelam minum air. Dan—” tiba-tiba tubuhnya terasa panas seolah terbakar tekad. “—aku pasti akan menemukannya…”

Deg.

Anna terkesiap pelan kala jantungnya terasa berhenti dalam sepersekian detik. Suara dalam mimpinya itu terasa menggelitik dalam hal tertentu. Itu bukan mimpi yang aneh sebenarnya. Bukan hanya sekali ia mendapati dirinya melayang dalam mimpi ke tempat-tempat yang belum pernah ia datangi sebelumnya. Tetapi, untuk pertama kalinya ia sadar, ternyata ia selalu melihat mimpinya lewat mata sosok lain.

“Aneh sekali rasanya melihatmu berkeliaran di saat matahari sedang terang temara seperti sekarang ini.” Ucap seseorang.

Suara yang terdengar familiar itu mengembalikan Anna yang sebelumnya tenggelam dalam lamunan. Ia sedikit tidak percaya dengan pendengarannya ketika menangkap suara sosok yang hampir bersisihan melewatinya itu. Namun, ternyata Randal Guney memang baru saja menyapanya. Ya, Anna akan menganggap itu sebuah sapaan–terlepas dari sapaan itu diucapkan dengan penuh kesinisan.

“Randal, Kawanku. Sudah lama sekali ya rasanya.” Anna membalas ramah. Dan seperti perkiraannya, Randal hanya memberikan respon datar. Randal memang selalu terkesan seperti duri dan memusuhi semua orang, tetapi sepertinya ia membenci Anna sebesar ia membenci orang-orang utara. “Hendak pergi ke suatu tempat?”

Hanya dengusan yang terdengar dari lelaki jangkung tersebut dan tanpa memberikan jawaban lebih lanjut ia melangkah pergi.

Sekarang atau tidak sama sekali!

“Randal, aku butuh bicara denganmu—”

“Lupakan saja,” Randal memotong sadis.

Anna memang sudah menebak jawaban itu yang akan dilontarkan oleh Randal, namun entah mengapa rasanya tetap saja tidak menyenangkan ditolak seperti ini.

“Randal, aku tahu kau mendapatkan sesuatu—”

Randal berhenti melangkah dan berbalik menatap tajam Anna. “Aku tidak akan memberi tahumu apa pun, Prajurit. Kau bisa bertanya pada Jenderal.” Setelah mengucapkan balasan setajam bilah pedang, Randal benar-benar pergi meninggalkan Anna.

Bertanya pada Jenderal? Itu namanya bunuh diri. Anna mengepalkan kedua tangan menahan kesal. Randal memanggilnya dengan sebutan prajurit seakan-akan jabatannya lebih tinggi dari Anna. Cara pengucapannya seolah menegaskan bahwa ia lebih unggul dari Anna. Cih! pemuda itu hanya beruntung karena Jenderal lebih menyukainya ketimbang Anna. Anna menghela napas panjang, mencoba menahan keinginannya menyeret Randal ke lapangan barak dan menantangnya untuk bertarung.

Sambil mencoba melupakan sikap bedebah Randal barusan, Anna berjalan dengan langkah lebar menuju area taman istana. Gadis itu pasti ada di sana saat ini, menikmati hangatnya matahari yang jarang kali hadir di musim gugur sambil merasakan manisnya makanan penutup jamuan makan siangnya.

Anna membalas sapaan beberapa pengawal yang berjaga di sana dengan mengangguk singkat. Ia berdiri tegap di depan meja taman yang diduduki oleh gadis kesayangan kerajaan. Anna bisa saja langsung duduk di kursi yang tersedia di sana, tetapi mengingat pertemuan terakhirnya dengan Sang Putri tidak terlalu menyenangkan, Anna jadi memilih untuk menyapa dengan formal terlebih dahulu.

“Salam Hormat kepada Putri Zietha.” Anna membungkuk dan memberi penghormatan sebelum kembali berdiri tegak sambil menundukkan pandangan dengan sopan selayaknya abdi di hadapan tuannya.

Tidak ada suara. Bahkan sepertinya alam memilih untuk tidak bersuara sampai Sang Putri mengeluarkan titahnya. Anna hanya mendengar helaan napas pelan sebelum beberapa derap langkah terdengar pergi menyisakan Sang Putri bersama kepala pengawalnya. Anna melirik dengan hati-hati mencoba menilai ekspresi Putri Zietha. Sang Putri ternyata sedang menatapnya datar.

“Maaf…”

“Maaf,”

Keduanya berucap bersamaan sebelum kembali saling tatap dan menciptakan keheningan. Namun, keheningan itu tidak bertahan lama karena kemudian suara kekehan sama-sama keluar dari bibir indah dua gadis tersebut. Anna menghampiri kursi yang berseberangan dengan Zietha kala gadis itu memberikan perintah tanpa suara.

“Zee, maafkan aku… aku tahu aku telah bersikap buruk dengan meninggalkanmu tanpa kabar—”

“Tidak apa-apa, aku juga minta maaf karena besikap kekanakan tempo hari.” Zietha menggumam pelan sambil menunduk, enggan menatap Anna. Anna sudah seperti kakak perempuan yang selama ini ia inginkan, tetapi bukannya mencoba memahami tindakan Anna, ia justru meluapkan kekesalan dengan melemparkan kata-kata buruk. Ia merasa itu bukan sikap yang bijak entah sebagai seorang putri atau adik. Anna benar, Javias dan semua orang boleh saja marah dan benci padanya, tetapi Zietha harus bisa lebih baik untuk memahami Anna.

Rencana pernikahan Javias dan Anna sebenarnya pun memang sedikit kurang jelas. Zietha sibuk dengan pikirannya, menyusun kronologi kejadian yang menyebabkan Anna bisa mendapatkan hukuman.

“Apakah Rei sudah datang menemuimu?” Anna bertanya.

Pertanyaan itu menyadarkan Zietha dari lamunannya. Ah, Rei Solas, bagaimana kabarnya pemuda itu? Zietha hanya menggeleng sebagai jawaban. Kegundahan yang ditampilkan oleh raut wajah Zietha membuat Anna seketika menyesali tindakannya. Apa pun yang terjadi antara Sang Putri dengan sahabatnya memang sangat abu-abu. Yah, Anna tidak bisa menyalahkan siapa-siapa untuk hal itu. Ralat, Anna menyalahkan Voreia atas hal itu.

Rei adalah putra bangsawan kelas atas. Strata sosialnya mendukung dirinya untuk bisa bersanding dengan Sang Putri. Hanya saja, takdir seakan mempermainkan mereka. Tanpa Anna, Rei tidak akan bisa berinteraksi dengan Zietha. Dan setelah semua usahanya selama ini, mereka harus mendapatkan kesialan lebih lanjut karena Zietha cukup umur untuk mengikuti Purvation. Bukan masalah besar sebenarnya, karena sudah lama sejak beberapa periode, perwakilan Dienvidos tidak memenangkan kompetisi tersebut. Namun, membayangkan perempuan yang kau puja masuk ke dalam pilihan untuk menjadi pendamping laki-laki lain tentu saja membuat dongkol sekaligus takut. Hanya karena perwakilan Dienvidos tidak terpilih, bukan berarti Rei bisa tenang-tenang saja. Anna meringis dalam hati mengasihani kisah cinta sahabatnya itu.

“Baiklah, lupakan soal laki-laki. Mereka hanya akan membuat kepala kita sakit karena tingkah mereka.” Anna menyahut tegas seolah ingin menghibur Zietha. Namun, entah mengapa ia sedikit tersentil dengan perkataannya sendiri. Ya, laki-laki memang merepotkan. “Mari kita bahas Purvation.”

Dahi Zietha mengerut halus. “Membicarakan Purvation artinya membahas putra mahkota Voreia, membahas putra mahkota sama saja dengan membahas laki-laki, kan?”

Anna memejamkan mata karena tak habis pikir. Benar, yang diucapkan Zietha memang tidak salah. Anna yang seharusnya mencoba untuk memahami. “Purvation bukan hanya tentang putra mahkota, mari kita bahas tentang tantangan yang diadakan.” Anna menjawab dengan sabar.

“Tunggu, sebelum membahas itu aku ingin memastikan satu hal.”

“Apa?”

“Pilihannya hanya kau dan aku, bukan? Kudengar kau berencana menggantikanku.”

Anna mengangguk dengan pandangan menerawang. Sebenarnya ada beberapa lubang di dalam rencananya. Pertama, Anna tidak bisa menggantikan Zietha karena gadis itu tidak punya alasan yang kuat untuk tidak berpartisipasi—Zee tidak terikat dengan siapa pun. Anna mengutuk Rei untuk itu. Harusnya Rei tidak perlu pergi ke Alnord dan segera mengajukan lamaran setelah perayaan debut kedewasaan Zietha. Jika itu terjadi, sudah pasti ia bisa dengan mudah menggantikan Zee. Karena Rei sudah kembali, Anna bisa saja menyuruhnya untuk segera melamar Zietha dan mengikatnya dengan pertunangan. Masih ada sedikit waktu untuk melakukan itu dan kemudian rencananya akan tetap terkendali. Sayangnya, Jenderal sudah pasti menjadi batu penghalangnya. Laki-laki paruh baya itu memang cukup manipulatif. Awalnya mengajak Anna menjadi bagian dari rencana, bahkan mendengarkan sebagian rencana yang Anna miliki. Namun, tiba-tiba menolak saat Anna berkata dengan tegas akan menggantikan Zee. Sebenarnya apa yang ada di dalam kepala pak tua itu? Maka dari itu, Anna memutar rencana awalnya—rencana untuk memasuki perbatasan utara yang dijaga ketat. Jika ia memang tidak diizinkan untuk menggantikan Zee, ia akan tetap pergi dengan menjadi pengiring Zee.

“Aku punya firasat buruk, tempo hari mereka secara halus menolak gagasan itu.” Ucap Anna.

“Aku punya firasat mereka akan mengirimku bersama orang lain. Entah mengapa mengirimmu ke utara sepertinya bukan ide yang baik—setidaknya begitulah yang mereka pikirkan.” Zietha mengangguk menyetujui pernyataan Anna.

Anna terkekeh penuh ironi. Jenderal, Javias, bahkan Sang Raja bersikap seakan mereka menganggap Anna adalah bagian dari mereka. Anna pikir mereka sengaja melakukan itu untuk membuatnya diam dan tetap ada di bawah kendali mereka. Terutama Sang Jenderal.

Zietha menyentuh punggung tangan Anna yang ada di atas meja ketika melihat kilatan kesal muncul di iris madu itu. Anna dan segala sikap pemberontaknya, gadis itu pasti merasa kesal karena terkesan disepelekan. “Anna, percayalah. Apa pun yang mereka lakukan, itu untuk kebaikanmu, untuk kebaikan kita semua.”

“Anna, percayalah bahwa apa pun pilihan yang ada, dan pilihan yang kau ambil—sekalipun itu terpaksa, adalah suatu hal yang baik”

Ucapan Chero kembali terngiang di kepalanya. Hal Baik. Anna tidak melihat kebaikan dari sesuatu yang dibatasi. Anna merasa terbatas. Terkekang. Orang-orang yang berjanji untuk menolongnya justru mengurungnya. Tidak memberikannya pilihan. Tidak mendengarkannya.

“Aku akan mencoba mengajukanmu untuk jadi pengiringku. Aku akan mengusahakannya, Anna.” Seakan melihat kegelisahan Anna, Zietha berucap penuh pengertian.

Diberi tatapan seperti itu, Anna menghela napas. Zietha memang tidak pernah tahu banyak, tetapi gadis itu punya kadar empati yang sangat tinggi hingga selalu mengusahakan yang terbaik untuk semua pihak. Anna merenung, dengan kualitas seperti ini Zee sudah pasti tidak akan terpilih menjadi pemenang Purvation, bukan? Voreia butuh seseorang yang sama kejamnya dengan Raja penuh tiran itu untuk melanjutkan tiraninya. Zietha jelas tidak masuk ke dalam kualifikasi tersebut.

“Baiklah.” Ujar Anna setelah menekan ego kuat-kuat.

Mengingat tentang penolakan yang akhir-akhir ini sering Anna dapatkan membuat kepalanya pening dan udara yang dihirupnya terasa pengap seketika. Dengan gusar Anna menarik kerah pakaian yang entah mengapa terasa mencekik. Padahal biasanya ia merasa nyaman-nyaman saja dengan seragam khusus prajuritnya. Dan lucu sekali rasanya ia bisa merasakan pengap di cuaca musim gugur seperti ini.

“Demi Halstead—”

Anna menghentikan kegiatannya dan menatap Zietha heran. Ia mengernyit bingung ketika melihat ekspresi Zietha yang amat terkejut. Gadis itu bahkan hampir menyumpah jika saja tidak segera menutup mulutnya dengan kedua tangan.

“Ada ap—”

“Anna, apa yang telah kau lakukan?” Zietha berseru lirih. Membuat Anna semakin bingung dibuatnya.

“Apa maksudmu?” Tanya Anna dengan linglung.

“Aku tahu soal kehidupan bebasmu. Tapi, apa kau benar-benar sampai berani melakukan itu?”

Melakukan itu? Melakukan apa?

Melihat ekspresi linglung Anna yang tak berubah, Zietha kembali berkata, “Kau melakukannya dengan siapa?”

“Bicaralah dengan jelas, Zee.” Anna menyahut jengkel.

Zietha mengerjap pelan sebelum memperbaiki posisi duduknya. “Ada sesuatu di lehermu…” ia bergumam pelan seolah takut akan ada orang lain yang mendengar.

“Apa?” Anna terkejut sekaligus bingung.

“Ada bekas kemerahan di sana.” Zietha menjelaskan, ekspresinya penuh tuduhan.

Anna mengerjap mencoba memahami. Tangannya secara reflek mengusap lehernya yang terekspos karena hari ini ia memilih untuk menggulung tinggi rambut panjangnya. Dengan kebingungan Anna mengusap hingga ke perpotongan lehernya yang terlihat akibat tarikannya pada kerah seragamnya.

“Di tempat Lozard banyak sekali serangga yang membuat kulit gatal-gatal.” Jawab Anna. Ia menelan ludah gugup setelah berdeham pelan.

Zietha memicing pada sesuatu yang membuatnya terkejut itu. Anna sedang mencoba membodohi siapa? Usia Zietha memang jauh lebih muda dari Anna. Tetapi, ia sudah melakukan debut kedewasaannya. Seumur hidupnya ia dipersiapkan untuk menjadi istri yang sempurna, Zietha telah dewasa secara mental. Ia tak perlu bertanya pada orang lain untuk mengetahui kebohongan yang dilontarkan Anna.

Ucapan Zietha yang benar-benar tidak disangkanya itu melemparkan ingatan Anna pada kejadian yang setengah mati ingin ia lupakan. Dalam hati ia merutuk kesal karena melewatkan kesempatan untuk menatap diri di cermin sebelum ia bertolak ke ibu kota.

Lintah utara sialan. Belum cukup ia memberikan bekas yang mengerikan di ingatannya, ternyata ia juga memberikan bekas di tubuhnya.

Tanpa bisa Anna tahan, ingatan itu kembali membanjirinya. Bagaimana lumpuhnya tubuh Anna saat itu akibat terkejut. Napas terengah yang saling bertubrukan dan membuat tubuhnya gemetar kala suara parau itu menelusup ke telinganya. Bagaimana secara ajaib Anna menerima perintah tersebut di bawah kukungan lengan besar itu. Membiarkan sosok itu mengantarnya menuju alam mimpi lewat kecupan di seluruh wajah. Jantung Anna berdebar kencang kala mengingat bagaimana suara-suara aneh terlepas dari bibirnya saat sesuatu yang basah tiba-tiba menyengat kulit lehernya. Teringat bagaimana rambut gelap itu terasa halus di tangannya ketika sentuhan yang membakar itu beralih ke tempat—

“Wajahmu terbakar.”

Anna terkesiap. Ia hampir mengumpat kasar pada Zietha yang mengejutkannya. Matanya mengerjap cepat mencoba menghiraukan ingatan-ingatan tersebut dari kepalanya.

“Aku—”

Anna tidak dapat melanjutkan ucapannya. Bukan karena ia ta berani lagi mengucapkan kebohongan pada Zietha. Namun, wajahnya yang merah dan ekspresi gugupnya sudah menjadi kebenaran mutlak di hadapan Zietha.

***

Langkah Anna mengiringi Zietha menuju ruang rapat yang terletak di aula singgasana. Setelah menjelaskan situasi yang mecengangkan tadi, akhirnya Anna pamit untuk menemui para petinggi kerajaan. Namun, sepertinya Zietha punya pemikiran lain. Alih-alih kembali ke areanya untuk melakukan aktivitasnya yang lain, gadis itu justru memiliki ide untuk menemani Anna ke ruang rapat. Jelas saja itu bukan tujuan yang sebenarnya, Zietha masih merasa belum cukup dengan jawaban Anna. Gadis itu masih setia merundungnya dengan berbagai pertanyaan yang pada akhirnya terdiam setelah Anna menjawab dengan tegas.

“Aku mabuk, aku tidak tahu siapa yang membuat tanda itu. Tapi aku bisa meyakinkanmu bahwa tidak ada yang terjadi.”

Yah, Anna tidak sepenuhnya berbohong. Ia memang sedikit mabuk dan ia memang bisa memastikan bahwa tidak ada yang terjadi, namun Anna jelas tau siapa yang meninggalkan tanda kemerahan sialan ini di tubuhnya.

“Kau tahu, aku bisa menemui mereka sendiri.” Anna berucap jengah di samping Zietha.

“Dan membiarkan Javias mengejekmu kemudian membiarkan Jenderal menolak semua idemu? Aku tidak akan membiarkan semua itu terjadi.” Tukas Zietha.

Anna memutar mata malas. Sang Putri dan sabdanya. Siapa yang bisa melawan?

Tak lama kemudian, sampailah mereka di ruang rapat. Penjaga pintu ruangan itu membungkuk hormat pada Zietha dan Anna sebelum membukakan pintu. Anna sudah berkali-kali masuk ke ruangan ini, namun tak pernah sekalipun ia tak mengagumi interior di dalamnya. Ada meja besar di tengah ruangan, dinding yang tidak ditempeli peta Halstead berukuran besar dan kertas-kertas penuh catatan, penuh dengan buku.

Kedua gadis itu reflek membungkuk hormat pada para petinggi kerajaan yang sudah berada di dalam sana. Dari sudut matanya, Anna melihat Raja Harav berdiri di kepala meja bersama Javias di sebelah kanannya. Tanpa perlu melihat, Anna tahu Sang Jenderal pasti ada di sisi kirinya.

“Zee, apa yang kau lakukan di sini?” Suara Javias menjawab salam hormat dari Anna dan Zietha.

“Ada sesuatu yang ingin aku diskusikan terkait Purvation.” Zietha menjawab. Anna yang enggan menatap Javias dan Jenderal masih setia menundukkan pandangan.

Anna mendengar dengusan keluar dari Javias. “Apa gadis itu yang memberikan ide diskusi tersebut padamu?”

“Kakak!”

“Javias,”

Raja Harav dan Zietha sontak menegur Javias secara bersamaan. Anna mengeluh dalam hati, mengapa banyak sekali yang tidak suka padanya? Belum cukup Randal membuatnya kesal hari ini, Javias juga tidak mau kalah rupanya? Anna mendongak hendak menantang Javias dengan tatapannya. Ia memang tidak pernah takut dengan putra mahkota Dienvidos itu. Javias memang selalu terlihat kekanakan di matanya. Sayangnya, Anna salah perhitungan. Alih-alih berhasil menantang Javias, ia justru ketakutan setelah mengangkat pandangannya. Netra madunya berpaku pada iris gelap yang berdiri di sebelah Jenderal. Anna tanpa sadar menelan ludah pahit.

Melihat ekspresi penuh teror di wajah Anna, sosok itu melengkungkan senyum tipis yang bahkan lebih cocok disebut seringai iblis. Anna tidak tahu harus mengalihkan pandangan ke mana. Maka dari itu, raut wajah datar si penasihat kerajaan menjadi satu-satunya pelarian Anna.

Sial, sial, sial! Mau sampai kapan ia terus ketakutan ketika berhadapan dengan sosok itu?!

“Bukankah seharusnya kau menyapa kakakmu, Anna? Sudah lama sekali kalian tidak bertemu, ‘kan?” Javias kembali bersuara.

“Anna,” Sosok itu menyapa lebih dulu. Suara beratnya terdengar mengerikan meskipun sapaan itu luar biasa datar.

Anna berdeham pelan sebelum membalas sapaan itu. “Brane,” kepalanya mengangguk sedikit sebagai bentuk kesopanan.

Anna mengumpat dalam hati. Bukankah Chero berkata Brane sedang berada di luar wilayah? Anna sudah menduga kalau kakak sulungnya itu tidak akan kembali hingga ia berangkat ke utara. Anna tidak pernah suka dengan pertemuan mereka. Lalu mengapa kini laki-laki itu sudah ada di tempat ini bahkan sebelum Anna mengetahuinya?

“Baiklah, Zee. Apa yang ingin kau diskusikan?” Harav Enzatsy memecah ketegangan antara kakak-beradik itu.

Zieth maju mendekati meja dan menatap ayahnya. “Aku ingin Anna menjadi pengiringku di Purvation.”

Tidak ada yang menyahut setelahnya. Hingga kemudian kekehan Javias melayang di udara. “Jadi, kau sudah menentukan pilihanmu, Anna?”

“Ya, Yang Mulia.” Anna menjawab malas.

“Kukira kau akan berkeras untuk menggantikan Zee.”

“Ia lebih menyayangi prestasinya lebih dari apa pun. Jabatannya sebagai Cuvari dilucuti jelas bukan ide yang bagus baginya.” Brane menyahut sadis.

Hebat, semua orang kini menantangnya.

“Ayah…” Zietha menyela pelan, mencoba menghentikan usaha Javias dan Brane yang terus mengejek Anna.

“Kalian sudah mendiskusikan ini sebelumnya?” Suara Raja Harav yang penuh wibawa mengalihkan seluruh atensi. Zietha dan Anna mengangguk sebagai jawaban dari pertanyaan tersebut. “Apa menurutmu itu ide yang bagus, Zee?”

Zietha mengangguk. “Seseorang yang ditugaskan menjadi pengiring bisa berasal dari sanak saudara seorang perwakilan yang berpartisipasi atau keluarga bangsawan yang mendapat kehormatan untuk menjadi pengiring. Keluarga kerajaan hanya terdiri dari Ayah, Kakak, dan aku. Kakak sudah pasti tidak bisa menjadi pengiring karena ia seorang laki-laki, lagi pula Kakak tidak boleh meninggalkan Kerajaan dalam waktu lama—begitu pun dengan Ayah. Maka, Anna adalah pilihan yang tepat.”

“Pilihan yang tepat?” Javias menyela.

“Ya, pilihan yang sangat tepat. Anna adalah putri bangsawan kelas atas, reputasinya di luar istana dianggap lebih dari sekadar sahabatku, kami dekat seperti saudari. Anna juga ditugaskan sebagai kepala pengawalku, hal itu sudah pasti sangat efektif karena para pengawal tidak perlu kesulitan untuk melindungi dua gadis payah. Anna bisa melindungi dirinya sendiri, sekaligus melindungiku.” Zietha menjelaskan panjang lebar.

Tidak ada jawaban. Raja Harav hanya bertukar pandangan dengan Jenderal. Mereka seperti berkomunikasi lewat pikiran, karena tiba-tiba saja Raja Harav mengangguk seolah paham padahal ekspresi Jenderal tidak berubah sedikit pun. Jantung Anna berdegup penuh antisipasi. Entah penolakan macam apa lagi yang akan diberikan oleh Jenderal.

“Baiklah, kami akan bicarakan lagi tentang saranmu, Zee. Kau bisa kembali ke areamu sekarang.” Ujar Raja Harav.

Zietha sedikit mematung, tidak menyangka hanya itu jawaban yang diterimanya. “T-tapi, aku ingin berdiskusi—”

“Zee, kembalilah ke tempatmu.” Kali ini Javias menyahut.

“Ayah…” Zietha semakin kebingungan.

“Zee,” Harav menegur pelan putrinya.

Diberi tatapan tegas seperti itu bukan hanya dari ayahnya, melainkan dari semua orang di ruangan itu, membuat Zee semakin gentar. Zietha bukan Anna yang sering kali bertukar pikiran atau bahkan perang saraf dengan orang-orang penting ini. Apalagi membicarakan hal-hal berat. Ini bukan medannya, Zietha tidak tahu bagaimana harus bertahan di sini. Zietha mendongak ke samping, menatap Anna yang memang lebih tinggi darinya dengan pandangan penuh permohonan maaf.

“Tidak apa-apa. Pergilah, Zee.” Anna tersenyum tipis berusaha menenangkan Zee yang mungkin merasa usahanya telah gagal. Setidaknya Sang Putri sudah berusaha.

Ketika punggung Zee sudah tak lagi terlihat, Anna kembali memaku tatapannya pada para pria yang sangat dihormati di kerajaannya ini. Anna tidak peduli jika sikap sembrononya mengundang teguran atau bahkan hukuman. Seumur hidupnya Anna memang lebih sering ditemani dengan hukuman-hukuman yang mengahantam jiwa dan raganya.

“Jadi, sampai di mana kita?” Suara Javias membelah keheningan.

Mengabaikan Javias, Anna justru menatap jengkel ke arah Sang Jenderal. “Kau tidak akan membiarkanku pergi ke utara, bukan?”

Ucapan Anna yang penuh amarah itu mengundang perhatian orang-orang di sana. Penasihat Kerajaan bahkan sampai tak bisa menjaga ekspresi datarnya. Mungkin ia bertanya-tanya bagaimana Anna bisa tidak sesopan itu pada jenderalnya.

“Apa aku pernah berkata begitu?” Sang Jenderal menyahut datar, seakan tidak terpengaruh oleh sikap Anna yang kurang sopan.

Anna mengepalkan kedua tangannya. “Tidak, kau memang tidak pernah mengucapkannya. Tapi, pernyataanmu tempo hari bisa dianggap penolakan, ‘kan? Sepertinya kau juga tidak akan menyetujui saran dari Putri Zietha.”

“Lebih tepatnya, saran darimu yang kau tanamkan ke Putri Zietha.” Brane menyahut.

Anna sepenuh hati menahan diri untuk tidak melemparkan umpatan kasar ke wajah kakaknya itu. “Jadi? Apa kau benar-benar tidak akan membiarkanku pergi ke utara?” Anna mengulang pertanyaannya.

“Apa yang akan kau lakukan jika aku tidak mengizinkanmu?” Jenderal menantang.

“Ayah!” Jerit Anna.

Lupakan soal keluarga kerajaan yang ada di sana bersamanya. Ayahnya benar-benar sudah kelewatan. Pria paruh baya itu memang berhati beku. Ia selalu saja mendorong Anna untuk menjauh. Napas Anna memburu dilahap amarah. Ia bahkan melupakan ketakutannya pada Brane yang kini menatapnya seolah ingin menelan Anna.

“Javias, kuharap kau bisa meninggalkan ruangan bersama Anna dan Brane. Ada yang perlu aku bicarakan pada Josiah.” Harav Enzatsy memberikan perintah final untuk menghentikan perdebatan seorang ayah dan anak gadisnya.

Anna hanya bisa pasrah kala Javias memutar tubuhnya dengan paksa, memutus tatapan Anna yang menghunus pada Sang Jenderal. Napasnya masih memburu, di sudut hatinya yang paling dalam, Anna tidak pernah merasa sekecewa itu pada ayahnya. Anna tidak pernah meminta apa pun, bahkan jabatannya sebagai Cuvari benar-benar Anna dapatkan dengan usahanya sendiri tanpa mengemis pada ayahnya itu. Meski kebanyakan prajurit masih berpikir Anna menjadi Cuvari karena ia adalah putri dari jenderal mereka.

Setelah menjauh dari aula singgasana, Brane yang berjalan bersama Javias di depannya menolehkan kepala. “Besok pagi, sebelum fajar, datanglah ke lapangan barak.”

Anna yang sudah tak lagi dirundung emosi hanya melirik sebentar pada Brane, rasa takut itu hadir kembali. “Memangnya ada apa?” Anna membalas pelan.

“Jenderal menyuruhmu untuk menggantikanku memimpin latihan pagi.” Brane membalas tanpa minat.

“Apa? Kenapa Ayah—”

“Aku masih butuh istirahat setelah perjalanan jauh.” Brane menyela. “Kalau begitu saya pamit, Yang Mulia.” Ia mengangguk hormat pada Javias sebelum menghilang di tikungan yang mengarah pada tempat tinggalnya di istana.

Anna memang masih sedikit bingung dengan perintah kakaknya itu. Tapi, bukan berarti ia tidak awas dan lengah dengan apa yang terjadi di hadapannya beberapa detik lalu. Bagaimana Javias menyebut nama Brane sebagai balasan izin pamit yang diucapkan oleh putra sulung Sang Jenderal. Kemudian bagaimana Javias yang terlihat sedikit kikuk kala Brane menatapnya saat hendak pamit. Lalu bagaimana Sang Putra Mahkota itu terdiam di tempatnya sambil menatap punggung Brane yang semakin menghilang. Anna melihat itu semua. Jika Anna hanyalah orang asing, mungkin Anna tidak akan menyadarinya. Namun, Anna bukanlah orang asing. Ayahnya adalah tangan kanan Sang Raja, ia dan kakak-kakaknya tumbuh besar bersama keluarga kerajaan. Ia mengenal mereka sebagaimana mereka mengenal Anna.

“Javias, aku berharap kau akan mendapatkan teman hidup yang kau benar-benar kau inginkan. Bukan aku.” Anna mengulang kembali ucapannya pada Javias di dalam kepalanya. Meski pada saat itu Javias menyahutinya dengan pelan, tetapi Anna masih bisa mengingatnya dengan jelas sampai detik ini.

“Kau akan terkejut jika tahu siapa yang aku inginkan.”

Anna baru bisa mendapat kesimpulannya saat ini meskipun ia sudah menduga hal ini sejak lama. Kini semuanya sejelas kristal dan entah mengapa Anna tidak terkejut. Javias menginginkan kakaknya. Sang Putra Mahkota menginginkan Sang Calon Jenderal.

Javias Enzatsy mencintai Branicio Reese.

“Javias,”

Laki-laki itu menoleh dan menatap Anna tanpa minat. Anna tidak terpengaruh dengan tatapan itu.

“Aku tidak terkejut mengetahui siapa yang kau inginkan.” Anna berucap penuh pengertian. Sedikit melupakan sikap Javias yang terkadang sinis padanya. Javias tidak membalas. Tapi, dari tatapannya, Anna tahu pria itu paham akan ucapannya. Ia pasti mengingat hal yang sama dengan Anna, mengingat percakapan mereka tempo hari di barak saat Anna hendak kembali ke pondok.

Tanpa memberikan balasan, Javias hanya mendecih pelan sebelum pergi meninggalkan Anna yang sama sekali tidak tersinggung dengan tingkahnya barusan. Karena untuk pertama kalinya setelah sekian lama, Anna kembali melihat kerapuhan di mata zamrud Javias.


©️MERITOCRACY, 2021

MERITOCRACY 9 : Ablation

13 April 2021 in Vitamins Blog

 

 

45 votes, average: 1.00 out of 1 (45 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

Happy Reading!


“Aku diserang… hingga terseret ke tempat di mana pun kau menemukanku.”

Kala itu Anna masih berusaha untuk memahami, memang tidak ada satu orang pun yang dengan senang hati langsung bercerita kepada orang asing ketika diberi pertanyaan yang serupa, termasuk Anna. Dan ia pun tidak begitu peduli penyebab mengapa pemuda itu bisa sekarat di wilayah dekat tempat tinggalnya.

“Aku berada di selatan?”

Dienvidos memang jarang sekali mendapat kunjungan dari masyarakat luar wilayah selatan. Hanya karena stigma bodoh yang mengatakan bahwa kerajaan kecil di selatan ini hanya terdiri dari petani dan tukang kebun yang tidak mengetahui apa pun tentang dunia. Namun dari keterkejutan yang tampak di wajah Eric semakin menegaskan bahwa selatan adalah benar-benar wilayah yang tidak pernah sekalipun terpikirkan akan dipijaknya.

“Bagaimana mungkin tidak ada budak dalam suatu wilayah?”

Ungkapan itu mengerucutkan puluhan pertanyaan yang Ada di dalam kepala Anna. Tidak adanya perbudakan di Dienvidos menjadi penguat stigma tentang betapa membosankannya negeri agraris ini. Lemah dan tidak memiliki rasa dominan. Begitulah anggapan kerajaan lain terhadap Dienvidos. Bagaimana bisa Eric tidak mengetahui hal tersebut? Atau minimal mendengar rumor terkait itu? Mustahil sekali rasanya, mengingat seorang bangsawan mestinya mendapat pelajaran tentang sejarah kerajaan-kerajaan yang ada di Halstead dalam pendidikan formal sejak kecil. Atau mungkin sebenarnya Eric tahu, namun selama ini tidak pernah mendapat jawaban atas pertanyaannya itu, maka dengan spontan ia bertanya pada Anna. Segala asumsi kini berputar di kepalanya dan membuat Anna semakin pusing.

“Yah, bukan salah mereka. Bakat itu tidak dimiliki semua orang.”

Eric tidak memberikan reaksi yang berarti ketika Anna mengejeknya tentang utara. Tetapi ia langsung memberikan pembelaan saat Anna merendahkan Voreia. Anna sudah memiliki sedikit dugaan. Namun mendengar langsung pernyataan yang baru saja keluar dari bibir pemuda di hadapannya ini, Anna tiba-tiba merasa sesak. Mengapa? Rasa frustrasi menyeruak dalam tubuhnya. Saat ini pun Anna berusaha sekuat mungkin untuk menahan tangannya agar tidak menarik belatinya dan langsung menancapkannya pada nadi di leher Eric.

Si Lintah Utara adalah bangsawan Voreia.

Kini Anna tengah mempertimbangkan apakah sebaiknya ia langsung membunuh Eric ketika ia sudah mendapat semua jawaban yang diinginkannya, atau tetap membantu pemuda itu untuk pulang ke asalnya.

“Annalise,”

Detik berikutnya Anna mengerjap, menyadarkan diri bahwa panggilan itu ditujukan padanya. Apa ia terlihat melamun di mata Eric? Kemudian untuk menutupi rasa tidak menyenangkan dalam benaknya, Anna mengalihkan pandangan sembari meneguk minuman di tangannya yang sudah hampir tidak bersisa.

“Tempat yang sangat jauh rupanya. Perlu kau ketahui biaya untuk ke sana tidaklah murah.” Anna berkomentar.

“Hm, sangat jauh.” Eric membeo.

Sepertinya minuman keras di dalam tubuhnya mulai menunjukkan reaksi. Eric merasakan matanya sangat berat, ia bahkan tidak tahu harus bagaimana membalas ucapan Anna.

“Kau seorang bangsawan, bukan? Apa yang kau kerjakan saat ini?” Anna mencoba bertanya dengan santai dan fokus menatap api. Karena ia tahu, jika ia menghadapkan tubuhnya pada pemuda itu, bukannya fokus mendengarkan jawaban, Anna justru akan sibuk mengagumi mata biru yang terlihat sangat indah karena terkena pantulan cahaya api itu.

“Aku… membantu pekerjaan ayahku.” Ujar Eric.

Kini Anna menoleh pada Eric. Raut wajahnya datar namun sebelah alisnya terangkat seakan bertanya pekerjaan-macam-apa-itu? Akan tetapi Eric yang saat ini setengah sadar sepertinya tidak memahami arti tatapan Anna hanya mampu mengedipkan mata polos.

Anna sedikit frustrasi melihat tatapan itu. Ia harus mulai dari mana untuk memancingnya? Jika dibandingkan dengan Voreia yang merupakan kekasiaran—bentuk dari gabungan kerajaan-kerajaan yang berhasil ditaklukkan dan memiliki macam-macam bangsawan, Dienvidos hanya kerajaan kecil yang kebanyakan bangsawannya bekerja untuk pemerintahan. Atau memiliki usaha tertentu sebagai pemilik tanah yang biasanya diolah menjadi lahan untuk bercocok tanam, seperti keluarga Rei contohnya maupun lahan perekonomian, seperti pasar-pasar yang tersebar di penjuru negeri.

“Ayahmu bekerja untuk pemerintahan?” Akhirnya Anna memutuskan untuk menggunakan referensi umum itu.

Eric melirik sebentar pada api unggun sebelum mengangguk. “Semacam itu,”

Seberapa banyak kah ‘bantuan’ yang Eric berikan untuk ayahnya? Apa Eric tahu sesuatu tentang apa yang sebenarnya dilakukan oleh orang-orang dalam istana? Karena Eric dan ayahnya sudah pasti bekerja di dalam istana, bukan?

“Jadi, tadinya kau sedang melaksanakan perintah untuk mengerjakan sesuatu di luar wilayah dan kemudian kau diserang?” Anna memilih untuk berhenti sejenak melakukan konfrontasi tentang Voreia, dan lebih mempertanyakan penyebab Eric bisa duduk di sampingnya saat ini. Eric boleh saja terkesan mabuk, tetapi Anna setidaknya sedikit berjaga-jaga untuk tidak menimbulkan kecurigaan dari pertanyaan-pertanyaannya.

“Bukan,” jawabnya cepat. Ia menunduk menatap rumput seakan berpikir apakah suatu hal baik jika ia mengatakan alasannya pada Anna.

Anna yang sudah bersiap melontarkan pertanyaan lain tiba-tiba membatalkan niatnya ketika Eric kembali berucap, “Aku pergi untuk mencari seseorang.”

“Bukankah wilayah utara luar biasa luas? Mengapa kau mencarinya hingga ke Entshona? Kau sangat yakin orang yang kau cari itu berada di sana?” Cerocos Anna. Dan sayangnya Eric sama sekali tidak menjawab semua pertanyaan itu. Sial, sepertinya interogasi ini sangat sia-sia.

Anna meluruskan kaki, menyanggah tubuhnya dengan kedua tangan di belakang tubuh kemudian kembali bersuara. “Apa yang kau lakukan hingga kekasihmu melarikan diri?”

“Kekasih?” Ada sedikit nada kebingungan dalam suara Eric. Kekasih siapa yang mereka bicarakan saat ini? Eric tidak merasa menyebut-nyebut kekasih sepanjang ia berbicara.

“Yah, menurutku untuk pergi sejauh itu dengan alasan mencari seseorang, seseorang itu sudah pasti kekasih atau paling tidak seorang buronan. Jadi, seseorang yang kau cari itu masuk ke dalam kategori yang mana?”

Alis tebal Eric mengerut mendengar alasan Anna yang terdengar aneh di telinganya. Apakah karena ia sedikit mabuk, maka dari itu ia jadi kesulitan memahami balasan Anna?

“Bukan, bukan keduanya.” Kata Eric.

Anna mengangkat sebelah alis seolah bertanya lalu-apa?

Eric menghela napas panjang sebelum mengubah posisinya persis seperti posisi Anna. “Kakakku, aku mencari kakakku.”

Astaga, apakah Anna harus mendengarkan kisah pilu milik keluarga Eric sebelum akhirnya mendapat jawaban yang benar-benar diinginkannya? Anna tidak terlalu suka mendengarkan drama keluarga orang lain. Karena keluarganya sendiri sudah penuh drama. Mulai dari ayahnya yang berhati batu, kakak sulungnya yang selalu membuatnya gemetar ketakutan, kakak keduanya yang sangat cerewet melebihi sang ibu, dan jangan lupakan kakak ketiganya yang sudah seperti perwujudan roh jahat karena tingkahnya yang selalu membuat Anna sakit kepala. Satu-satunya yang membuat Anna sedih saat memutuskan untuk tinggal sendirian di pondok adalah ibunya yang lemah lembut. Tetapi gambaran besarnya, memang sudah keputusan yang sangat tepat untuk meninggalkan rumah.

“Dia seorang buronan atau apa?” Celetuk Anna.

“Tentu saja bukan,” Eric mengelak cepat. “Aku memahami alasan kepergiannya, tetapi menurutku ini sudah terlalu lama. Semua orang yang diperintahkan untuk mencarinya selalu kembali dengan pesan bahwa ia belum ingin pulang. Kemudian aku berpikir, jika aku yang pergi mencarinya dan mengajaknya untuk pulang, apakah hasilnya akan berbeda?”

Siapa pun sosok kakak yang dibicarakan oleh Eric ini, ia adalah sosok yang sangat beruntung memiliki seseorang yang mau mencarinya sejauh itu hanya untuk memintanya kembali. Apakah Anna harus mengikuti jejaknya? Pergi dalam waktu yang lama agar seseorang datang mencarinya dan memintanya untuk pulang? Karena selama ini, setiap Anna kembali dari perjalanannya, selalu hanya ada hukuman yang siap menyambutnya. Mungkin ada baiknya Anna pergi lebih lama dari yang kemarin.

“Jadi, ayahmu menyuruh dirimu untuk mencarinya?”

“Tidak, aku berbohong padanya bahwa aku memiliki suatu urusan di Entshona agar bisa melewati perbatasan.” Ungkap Eric.

“Ayahmu tidak mengizinkanmu untuk pergi mencarinya? Aku rasa sepertinya kakakmu itu tidak terlalu penting baginya.”

“Ayahku berpikir seharusnya aku fokus saja melakukan tugasku, dan biarkan orang lain yang mencarinya.” Eric menghela napas sejenak. “Dan kau salah,” ia tersenyum tipis dengan tatapan menerawang jauh. “Bagi semua orang, kakakku memang sepenting itu.”

Anna melirik pada Eric, mencoba menilai ekspresi apa yang ditunjukkan oleh wajah tampan tak bercela itu. Anna mendengar ada nada ironi di sana, seperti rasa kekalahan—pengakuan yang dengan berat hati diucapkan kepada seseorang lebih hebat dari dirinya. Tetapi dibanding kekesalan, yang Anna tangkap justru seperti kekecewaan kepada diri sendiri.

Berhentilah, tidak usah pedulikan. Anna mengingatkan dirinya sendiri.

“Yah, mungkin akhirnya ia sadar dan memilih untuk pergi meninggalkan negeri penuh tirani itu. Menurutku kerajaan seperti itu bukan tempat yang baik untuk membangun keluarga dan membesarkan anak.” Ujar Anna penuh penghakiman.

“Maaf?” Eric bertanya lamat-lamat.

“Apa? aku hanya berbicara fakta.” Sahut Anna menantang. Mungkin Anna tidak seharusnya melakukan itu. Bagaimana kalau Eric murka dan mereka berakhir bertarung satu sama lain? Pemuda itu mabuk, sudah pasti emosinya sangat tidak stabil. Tak perlu ambil pusing, sekalipun harus bertarung Anna yakin ia yang akan menang, saat ini yang terpenting adalah Anna harus mendapatkan jawaban yang ia inginkan sebelum Eric kehilangan kesadarannya.

“Asumsimu sangat tidak berdasar,” Eric memalingkan wajah, merasa enggan memperlihatkan raut tersinggungnya.

“Oh, kalau begitu tolong katakan padaku bahwa Voreia tidak memaksa penduduk miskin dan menjadikan mereka budak, kemudian memperketat perbatasan hanya untuk para bangsawan dan penduduk tingkat menengah.” Anna berucap panjang lebar.

Eric kembali menoleh dan menatap Anna tajam. “Dari mana kau mendengar itu?”

Bodoh, harusnya Anna tidak mengonfrontasi dengan informasi itu. Valos bahkan sangat berhati-hati dalam menyampaikannya. Dalam hati ia merutuk kesal. “Selalu ada informasi antar rekan sesama bandit.” Anna sedikit berharap Eric akan termakan dengan kebohongannya ini.

“Kau bukan bandit.” Eric mendengus.

Sial, sangat sial.

Tunggu? Mengapa Anna harus panik? Padahal kemungkinan besar Eric tidak akan mengingat percakapan ini keesokan harinya.

“Aku bukan bandit? Asumsimu sangat tidak berdasar.” Anna mengembalikan ucapan Eric. Ternyata tuan bangsawan setengah bisu ini tidak terlalu bodoh. Anna kira, ia akan selamanya percaya kalau Anna seorang bandit.

Memilih untuk menghiraukan ejekan Anna, Eric berkata, “Aku tidak tahu apa yang ada di kepalamu, akan tetapi Voreia tidak seburuk yang kau pikirkan.”

“Ternyata menaklukkan tiga kerajaan dan meruntuhkan salah satunya bukanlah hal buruk,” Anna mendengus keras-keras seolah ia sedang menahan tawa.

“Halstead tidak akan bertahan dengan tujuh kerajaan yang memiliki ideologi berbeda-beda. Seseorang pasti akan maju dan merasa bahwa ideologi miliknya adalah yang paling benar. Zuvnich adalah kerajaan yang memulai dan ketika Voreia menjadi pihak yang menang, semua orang justru berbalik menyerang. Padahal kalian tidak tahu apa yang bisa Zuvnich lakukan jika mereka berhasil menjadi pemimpin kekaisaran.” Eric berucap kesal, merasa bahwa tuduhan penuh kebencian dari Anna adalah hal yang sangat konyol.

Anna nyaris kehabisan kata-kata. Yang benar saja, Voreia merasa menjadi pihak korban? Jadi, semua yang terjadi hingga hari ini adalah bentuk pembelaan diri Voreia yang menganggap Zuvnich adalah pihak yang memulai perseteruan? Demi Halstead dan kejayaannya, semesta pasti bercanda.

“Yah, coba katakan itu pada ribuan korban yang terkubur di bawah puing-puing Arathra. Kurasa mereka akan memahami alasan kalian mendirikan kekaisaran dan kemudian membantai mereka.” Geram Anna.

“Arathra mengkhianati kesepakatan dalam perjanjian utara. Mereka pantas mendapatkannya, Voreia bertindak sesuai hukum yang berlaku.” Tukas Eric. Penuturannya sangat santai seakan-akan sudah ribuan kali ia mengungkapkan jawaban tersebut.

Arathra memang bagian dari utara tetapi bukan bagian dari Voreia.

Kalimat yang Anna ucapkan pada Rei di kedai Frittman kala itu memang bukan sekadar asumsi, itu sebuah deklarasi konkret yang kemudian dituliskan dalam perjanjian utara setelah Noarden resmi menjadi kerajaan taklukan kekaisaran Voreia. Hanya membela diri katanya? Sebenarnya Voreia sedang mencoba membodohi siapa? Voreia tidak lebih dari bajingan oportunis nan serakah.

“Hukum? Sepertinya kau dan aku memahami hukum yang berbeda.” Anna mendecih muak. Arathra pantas mendapatkannya katanya? Anna bersumpah tidak ada satu kerajaan pun yang pantas dihancurkan secara harfiah seperti itu selain Voreia.

Voreia benar-benar bedebah manipulatif. Apa yang sebenarnya Caesar Delano IX katakan pada rakyatnya? Hukum apa yang Caesar Delano I ajarkan pada keturunannya? Budak di Entshona bahkan tahu bahwa Arathra adalah satu-satunya kerajaan yang tidak boleh disentuh. Keberadaannya menjadi pemegang bukti sejarah Halstead dan seluruh pengetahuan yang dianut tujuh kerajaan. Bagian mana dalam hukum yang membenarkan pengancuran kerajaan akibat pengkhianatan. Secara pribadi, Anna bahkan ragu pengkhianatan itu benar-benar nyata terjadi.

“Apa yang sebenarnya ingin kau katakan?” Tanya Eric dengan raut datarnya.

“Apa yang sebenarnya kalian lakukan?” Sahut Anna tak kalah datar.

“Kami tidak memaksa penduduk miskin untuk menjadikan mereka budak, kami mempekerjakan mereka dengan layak. Kami butuh mereka untuk membangun Alnord.” Eric menjelaskan singkat.

Cukup, hanya itu yang perlu Anna dengar.

***

“Pergilah ke atas, Rei. Jika kau tertidur di sini, aku akan melemparmu ke kandang ternak.” Lozard mendesah malas saat menegur Rei yang nyaris tertidur di mejanya.

Kedai sedang ramai pengunjung. Di akhir pekan seperti ini orang-orang pasti akan singgah hingga matahari memunculkan diri. Beberapa pengunjungnya bahkan ada yang tidak mendapatkan kursi apalagi meja, tetapi Rei dengan santainya memejamkan mata di depannya. Lagi pula ia pikir Rei akan singgah di tempat Anna. Tetapi saat malam telah melewati puncaknya, bocah Solas ini tiba-tiba datang dan merecoki pekerjaannya sebelum akhirnya terduduk lesu.

Saat Lozard membuka mulutnya dan hendak kembali menegur Rei, seorang pemuda lain datang dan menepuk pundak Rei dengan keras. Bocah Solas itu mungkin akan langsung terjatuh jika pundaknya tidak dicengkeram erat oleh pemuda di belakangnya. Namun sebagai gantinya Rei menjerit keras kala merasakan tulang bahunya nyaris retak akibat cengkeraman tersebut. Kantuknya seketika menghilang, dengan kasar ia menampik tangan yang bertengger di pundaknya dan segera berbalik untuk mengumpat pada siapa pun yang melakukan itu padanya.

“Dasar berengs—”

“Sudah lama ya, Solas.” Sapa pemuda itu ramah.

Umpatan Rei langsung tertelan begitu saja ketika melihat sosok tinggi yang berdiri di depannya. Sungguh, jika saat ini Rei berdiri, tubuhnya masih tidak ada apa-apanya dibanding sosok itu, apalagi saat ini ia duduk. Kalau Rei meluruskan pandangannya, ia hanya akan bertemu rusuk pemuda tersebut. Rei sangat tidak suka melihat senyum dan sapaan ramah itu. Karena mau berapa kali Rei mendengarnya, sapaan itu sama sekali tidak ramah. Suara berat dengan aksen yang diseret itu justru membuat sapaannya terdengar menyeramkan. Ia seperti mendengar malaikat maut yang baru saja menyapanya.

“Sudah setahun, bukan?” Pemuda itu kembali berkata.

Rei menelan ludah kasar sebelum mengangguk dan menyunggingkan senyum tipis. Entah mengapa sulit sekali mengeluarkan kata-kata. Rei harus menenangkan diri sebelum mengeluarkan suara, karena kalau tidak, bisa jadi hanya cicitan yang keluar dan itu akan jadi sangat memalukan.

“Beruntung sekali aku bisa langsung bertemu denganmu di sini, di mana dia?” Pemuda itu mengambil duduk di sebelah Rei setelah meminta kursi dengan baik-baik pada pengunjung yang duduk di sana sebelumnya.

Ya, meminta baik-baik. Dalam artian meminta dengan kalimat penuh intimidasi. Rei merutuk dalam hati, memang seharusnya ia tidak meninggalkan Anna berdua saja dengan si lintah utara itu. Lihatlah apa yang saat ini terjadi. Rei melirik pada Lozard, memohon untuk diselamatkan. Namun entah Lozard memang memiliki dendam pribadi padanya atau apa, laki-laki tua itu hanya melengos dan justru tersenyum pada pemuda di sebelah Rei.

“Senang melihatmu kembali, Brane.” Sapa Lozard.

Pemuda yang disapa Brane itu mengangguk sopan, “senang bisa kembali, Lozard. Buatkan yang biasa untukku.”

Rei memejamkan mata frustrasi melihat interaksi tersebut. Lelaki tua bangka, sialan! Matanya yang runcing mendelik kesal mengikuti pergerakan Lozard.

“Jadi, di mana dia?” Brane kembali bertanya.

“Apa?” Rei menoleh terkejut saat mendengar Brane kembali bicara padanya.

“Aku tidak akan bertanya tiga kali.” Tukas Brane.

Entah perasaan Rei saja atau memang suara Brane kini terdengar lebih berat? Apa pertanyaannya?! Rei menjerit dalam hati. Dia siapa yang dimaksudnya?

“Kalau kau tidak ingin menjawabnya, tidak masalah. Kita bisa minum-minum saja.” Brane menarik sudut bibirnya—menganggap itu sebagai senyuman. “Dan setelah itu kau harus membawaku di punggungmu sampai ke ibu kota.”

Demi Halstead dan seluruh kekayaannya. Rei tidak akan pernah melakukan itu. Ia tertawa sedikit meringis menanggapi ucapan Brane. Kejadian di masa lampau tiba-tiba menghampiri, punggungnya bahkan tiba-tiba terasa panas. Terakhir kali Rei membawa Brane di punggungnya, ia harus rela berbaring tiga hari karena ototnya mengalami kejang. Benar-benar pengalaman penuh trauma. Rei belum pernah sebegitu terlukanya.

“Ah, maksudmu Anna?” Rei berusaha menyahut santai.

Brane mengangkat sebelah alis menanti jawaban Rei.

“Memangnya anak itu sudah kembali? Kudengar ia sedang melakukan perjalanan.” Kata Rei. Lozard menggelengkan kepala melihat kebohongan itu. Harusnya Rei jujur saja.

Brane tertawa rendah. “Kau harus membawaku di punggungmu sampai ke istana kalau begitu.”

Mata Rei membelalak, “Apa?!”

“Anak itu kabur dari pernikahannya, ia bukan sedang melakukan perjalanan.” Brane memilih untuk mengikuti alur kebohongan Rei untuk sementara.

“Lalu? Mengapa aku harus tetap membawamu di punggungku?” Rei mengeluh kesal.

Brane menyeringai. “Kau tahu kenapa,”

Melihat seringai yang membuat bulu kuduknya merinding itu, Rei segera menggagalkan sandiwaranya. Memang harusnya ia jujur saja. “Dari mana kau tahu? Aku bertemu Chero sekali dan ia bilang kau sedang menjalankan tugas di Arevell sampai waktu yang tidak ditentukan.”

“Valos yang memberitahuku.” Ungkap Brane santai setelah meneguk minumannya.

Satu lagi tua bangka sialan! Jadi, Valos pergi ke Arevell? Untung saja lelaki tua itu tidak mengatakan ke mana perginya pada Anna, bisa-bisa perempuan itu akan pergi menyusulnya dan pertemuannya dengan Brane sudah pasti tidak terelakkan. Rei enggan membayangkan bagaimana situasinya jika itu sungguh terjadi. Rei menghela napas. “Maka dari itu kau kembali?”

“Tidak, aku kembali karena tugasku sudah selesai.”

Apa yang Rei harapkan? Tentu saja Brane akan menjawab seperti itu.

“Hukuman untuknya belum dilaksanakan, bukan?” Brane menatap Rei penuh intimidasi.

Rei mengerjap pelan. Bagaimana ia bisa menghilangkan ketakutannya pada Brane kalau orang itu selalu saja bicara seperti ia mengetahui segala hal. “Bagaimana kau bisa tahu?”

“Bagaimana tidak? Mereka memang sengaja menungguku kembali agar bisa melaksanakannya.”

Demi Halstead—Rei merasa sesak sampai tidak mampu menyumpah. Ia berjanji akan pergi ke kuil pagi ini dan memanjatkan doa. Memohon untuk selalu dijauhkan dari Brane, kemudian memohon keselamatan dan kesehatan untuk Anna karena memiliki saudara seperti Brane.

***

“Maaf,”

Anna baru saja selesai mengganti lilin di meja yang ada di samping tempat tidurnya ketika mendengar suara itu. Ia menoleh pada Eric yang berdiri di ambang pintu. Ia tidak menyadari pemuda itu mengikutinya ke dalam pondok. Setelah interogasi itu berakhir, Anna sebenarnya tidak tahu akan melakukan apa. Meninggalkan Eric sendirian seperti yang sudah-sudah? Karena sepertinya memang hanya itu ide terbaik yang bisa ia temukan. Akhirnya Anna pergi ke dalam pondok untuk mengambil jubahnya. Namun saat melihat lilin-lilin di dalam sana sudah hampir habis, leleh termakan panasnya api, entah mengapa Anna berinsiatif mengganti lilin-lilin tersebut. Sejak dulu, Anna tidak terlalu membutuhkan lilin di pondoknya, karena sepanjang malam ia jarang sekali di sana dan lebih sering menghabiskan malam di tempat Lozard, bertukar kisah dengan para pendekar bayaran yang tidak pernah untuk tidak singgah ke kedai itu. Dan dalam beberapa hari belakangan ini, pondoknya jelas sekali membutuhkan banyak lilin.

“Maaf untuk apa?” Anna menyahut. Ia sedikit tidak paham dengan ungkapan maaf Eric.

“Aku tidak seharusnya berbicara seperti itu,” jelasnya.

Anna mengerjap sebelum menarik seringai penuh ironi. “Tidak seharusnya kau mengungkapkan semua itu pada orang asing dari selatan, begitu maksudmu?”

Eric mengernyit. “Apa? Tidak. Bukan itu maksudku.”

“Lalu?”

“Maaf karena aku terkesan menyalahkan semua pendapatmu dalam pembicaraan tadi. Aku harusnya paham, semua orang tidak melihat dari sudut pandang yang sama.” Eric berucap pelan.

Jika Eric berbicara dengan nada itu sekali lagi, Anna tidak yakin bisa segera meninggalkan pondok ini. Genggaman pada jubahnya mengerat. Anna berdeham, menghilangkan sesuatu yang terasa mengganjal di kerongkongannya. “Tidak masalah, kau hanya mengatakan apa yang menurutmu benar. Kau juga sedang tidak sepenuhnya sadar.”

Eric mengangguk dan menghela napas, seakan beban yang bercokol di benaknya baru saja menghilang. “Kau benar, terima kasih.”

Sembari berjalan ke arah pintu, Anna mengangguk. Sudah selesai, tidak ada yang perlu dibicarakan lagi. Namun sepertinya ia salah, karena Eric baru saja menarik tangannya—membuat Anna seketika menahan langkahnya. Rasa panas itu kembali hadir, telapak tangan Eric menyentuh langsung kulitnya yang tidak tertutup lengan kemeja. Dan seperti yang sudah-sudah, rasa panas itu semakin terasa menyengat.

“Kau akan pergi?” Tanya Eric.

Anna menjawab setelah berhasil melepaskan tangannya dari genggaman Eric. “Sudah jelas, bukan?”

“Kau sungguh tidak tidur di malam hari?”

Dua pasang mata itu kini saling menatap. “Tidak,”

Eric mengernyit saat tidak memahami maksud dari jawaban Anna.

Baiklah, lagi pula ia tidak akan ingat, ia terlalu mabuk. Anna menghela napas saat pemikiran itu hadir. “Lebih tepatnya aku tidak bisa tidur saat gelap.”

“Kenapa? Kau hanya perlu memberikan penerangan.”

“Tidak seperti itu cara kerjanya. Suasana saat malam juga jadi pengaruh. Salah satu kakakku seorang tabib, ia bilang itu sebuah penyakit. Aku tidak tahu apa penyebabnya.” Anna menjawab sekenanya. Toh, ia tidak sepenuhnya berbohong, Chero berkata karena hal ini sudah lama terjadi, kebiasaannya jadi disebut penyakit.

“Kau…” Eric menyipitkan matanya seperti sedang menilai Anna. “Merasakan lumpuh saat tidur, ya?”

Anna baru saja merasakan jantungnya terjun dan terlepas dari tempatnya. Tidak ada yang tahu kecuali Chero, tidak Rei, tidak siapa pun. Mereka hanya menganggapnya sebagai kebiasaan. Mereka menganggap bahwa terlalu banyak yang Anna kerjakan saat siang hari, maka dari itu ia hanya bisa bersenang-senang di malam hari.

“Bagaimana—” Anna tergagap.

“Kakakku mengalami hal yang serupa,” Ungkapnya. “Tetapi ia tetap bisa tidur di malam hari.”

Kini gantian Anna yang mengenyit. Bagaimana bisa? Ia memang pernah diberi ramuan khusus oleh Chero, dan ia berhasil tidur setelah mengonsumsinya. Namun setelah sekian lama penggunaan, ramuan yang seharusnya menjadi penolongnya justru menjadi salah satu hal yang merusak tubuhnya. Ramuan itu memang hanya diperbolehkan untuk digunakan sesekali, namun karena kondisi Anna yang pada saat itu mengkhawatirkan, ia terpaksa harus menelan ramuan itu setiap hari. Setelah beranjak lebih dewasa, Anna tidak lagi meminumnya.

“Ia bilang, yang dibutuhkan hanya pengalihan agar rasa takutnya menghilang.” Eric melanjutkan.

Dibanding takut, Anna lebih merasa tidak nyaman. Bodoh, tentu saja rasa takut bisa menjadi penyebab perasaan tidak nyaman. Anna telah menyangkal itu selama bartahun-tahun. Ia jelas tidak akan membiarkan dirinya tenggelam dalam ketakutan itu. Dan Eric—atau kakaknya—benar. Yang dibutuhkan memang hanyalah pengalihan, itulah mengapa terkadang Anna memaksakan diri untuk mabuk, memaksakan diri untuk banyak melakukan pekerjaan. Ia harus memaksa dirinya untuk lelah jika ingin tidur di malam hari.

“Jadi, apa kau membutuhkannya?” Eric kembali bersuara.

Anna tersentak, pikirannya kembali ke masa kini, “Apa?”

“Pengalihan,”

Anna terkekeh malas. “Itulah yang hendak kulakukan. Karena sepertinya aku belum cukup mabuk hanya dengan minuman yang tadi,”

“Kau bisa mendapatkannya di sini,”

Ada apa dengan Eric? Anna mengernyit kesal mendengar perkataannya yang berputar-putar. Ia malah lebih bodoh karena menanggapi lanturan pemuda setengah sadar ini. Tunggu, sejak kapan jarak mereka hanya sebatas satu langkah?

“Kau sangat cantik.”

“Apa?” Anna ikut melirih ketika mendengar gumaman Eric. Sedari tadi ia sibuk menunduk dan mempertanyakan jarak tubuhnya dengan Eric. Namun saat mendongak untuk bertanya, iris biru itu ternyata sudah berpaku pada wajahnya.

“Kau perempuan tercantik yang pernah kulihat.”

Anna tidak yakin dengan apa yang didengarnya, karena fokusnya mendadak menghilang saat pandanganya tertutup oleh wajah Eric. Ada sesuatu yang bergerak di bibirnya dan menarik seluruh napasnya. Anna mengerjap, jubahnya lepas dari genggaman. Rasa panas dari usapan jari diwajahnya mulai menjalar perlahan ke bagian tubuhnya yang lain. Ia menutup mata sejenak, mencoba mengembalikan kesadarannya, napasnya yang terlepas kini kembali. Dan ketika matanya terbuka, Anna berhadapan langsung dengan langit-langit pondok beserta bayangan dari pantulan cahaya lilin. Anna tidak ingat kapan ia merebahkan tubuhnya. Usapan lembut diwajahnya kembali hadir, sedangkan tangan Anna semakin erat menarik kain kemeja sosok diatasnya. Matanya menatap kosong, napasnya bergetar ketika suara halus itu menelusuk ke telinganya yang baru saja terasa dikecup.

“Tidurlah…”


MERITOCRACY©️2021

MERITOCRACY 8 : Inquire

14 Maret 2021 in Vitamins Blog

 

46 votes, average: 1.00 out of 1 (46 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

 

“Kau ingin menukar itu dengan apa?” Tanya Lozard pada Rei yang duduk di konter berseberangan dengannya.

Sosok yang ditanya sedang melakukan peregangan pada lengannya yang hampir mati rasa karena menyeret hasil buruannya. Anna memang bedebah tidak punya hati, perempuan itu bahkan tidak sedikit pun menawarkan bantuan. 

“Rum,” Rei tersenyum pada Lozard. “Tambahkan dengan bir juga boleh. Jadikan 5 botol, aku berniat meracuni seseorang.” Ujarnya dengan berapi-api.

“5? Apakah itu cukup untuk berpesta? Kau bisa dapat lebih banyak dari itu.” Pungkas Lozard penuh tanya.

“Ah, berikan juga beberapa daging itu untukku. Jangan lupa katakan pada Tyvan untuk membumbuinya.” Rei meletakkan tangannya ke atas konter dan memandang Lozard dengan penuh keyakinan. “Aku akan membunuh seseorang jika memberikannya lebih dari 5 botol rum.” 

Lozard terkekeh dan mengangguk paham. “Baik, baiklah.” 

“Ke mana si tua Valos?” Rei bertanya setelah menenggak air yang diberikan Lozard, rasanya cukup menyegarkan. 

“Dia pergi untuk beberapa hari,” Lozard mengedikkan bahu karena ia pun tidak tahu ke mana perginya Valos. Lelaki paruh baya itu hanya menitipkan pesan apabila Anna mencarinya, Lozard hanya perlu mengatakan itu.

Rei mengangguk, malas melanjutkan basa-basi itu. Pemuda itu memandang sang pemilik kedai dengan menimbang-nimbang sebelum akhirnya berkata, “apakah Anna pernah kemari bersama seorang laki-laki?” 

Atensi Lozard yang sebelumnya fokus mengelap gelas segera beralih pada Rei. “Ya,” 

“Bisakah kau beri tahu aku bagaimana ciri-cirinya?” Rei bertanya penuh semangat. Ia harus tahu hal ini.

Lozard mengerutkan dahi, seakan mencoba mengingat sesuatu. “Ya, dia tinggi dan ramping,” 

“Dan?” Sahut Rei tak sabar.

“Dia cukup menarik untuk dilihat,” lanjut Lozard. 

Rei memejamkan mata mencoba sabar. Baiklah, Rei. Ini demi keselamatan Anna, ia harus benar-benar mencari tahu siapa sosok yang bersama Anna itu. 

“Cukup ciri-ciri fisiknya saja, Lozard. Bisa kau lanjutkan?” 

“Ya, dia cukup menarik. Itu juga termasuk ciri-ciri, bukan?” Elak Lozard tanpa ingin disalahkan. 

“Baiklah, selanjutnya?” Rei menghela napas dan membiarkan dirinya untuk mengalah pada orang tua.

“Dia punya mata yang runcing, kulit putih tapi tidak pucat, dan rambutnya coklat terang.” 

Baiklah, ini dia. Mari cocokkan dengan kejadian beberapa jam sebelumnya. Sosok itu tinggi, ramping, kulit putih tetapi tidak pucat? Seingat Rei pemuda itu sepucat porselen. Baiklah, selanjutnya mata yang runcing? Kemudian rambut coklat terang?

“Tunggu, kenapa aku merasa bahwa kau sedang menjabarkan diriku?” Tanya Rei penuh kebingungan.

“Itu memang kau.” Jawab Lozard dengan santai. 

Rei sontak memukulkan kepalan tangannya ke atas konter hingga gelas bekas ia minum pun bergetar. Tidak terlalu keras, hanya mencoba menyalurkan kekesalan. 

“Yang kumaksud adalah laki-laki selain diriku, Lozard.” Rei berucap dengan rahang terkatup. 

“Kau tidak menyebutkan itu dari awal.” Sahut Lozard.

Baiklah, memang salahnya. Ia yang salah karena tidak bertanya dengan rinci. Rei Solas, kesabaranmu memang tidak ada duanya. 

“Jadi?” 

Lozard menggelengkan kepala. “Anna tidak pernah kemari bersama laki-laki selain kau dan Valos.” Ungkapnya.

Rei mengangguk, “terimakasih, Lozard. Kau benar-benar membantu.” Ujarnya penuh penekanan dan sindiran yang kental.

“Bukan masalah.”

Entah berapa lama waktu berlalu saat Rei sedang berdialog dengan pikirannya hingga Lozard menyenggolnya dan memberikan kantung besar yang Rei yakini adalah pesanannya. Ia menghela napas, mencoba menghalau pertanyaan-pertanyaan tentang siapa sosok itu karena ia yakin Anna pasti akan segera memberitahunya. Ia mengambil kantung itu dan pamit pada Lozard untuk pergi. Saat ini ada seseorang yang butuh diberi kesenangan sebelum neraka menjemputnya lusa. 

***

Hutan tidak begitu gelap karena malam ini bulan bersinar terang. Rei baru saja menyeberangi sungai lewat perairan yang dangkal ketika dirinya dikejutkan dengan kemunculan sosok berambut panjang yang menatapnya datar. Ia terlonjak dan sontak mengusap dada. Sial, Rei mengira ia baru saja bertemu dengan salah satu roh penunggu hutan. 

“Kupikir kita punya janji untuk bertemu di pondok sebelum gelap.” Anna berucap kesal pada Rei yang baru saja tiba di hadapannya. 

“Tidak, kau bilang saat gelap, bukan sebelum gelap.” Elak Rei sambil menunjuk wajah Anna. “Dan aku baru saja melakukan percakapan yang luar biasa menyenangkan dengan Lozard.” 

“Hanya dengan Lozard? Valos tidak ada di sana?” Anna bertanya dan ikut menyusuri langkah Rei yang mendahuluinya.

“Ya, Lozard bilang Valos pergi untuk beberapa hari.” 

“Apakah ia mengatakan ke mana perginya?” 

“Tidak,” 

Dahi Anna berkerut heran. Tidak biasanya Valos pergi tanpa kabar. Entahlah, mungkin ia merahasiakan kepergiannya agar Anna tidak bersikap bodoh dan pergi menyusulnya. “Baiklah, apa yang kau bawa?” 

“Ada daging dengan bumbu lezat—”

Sebelum Rei mampu menyelesaikan kalimatnya, Anna memotong dengan cepat. “—tolong katakan padaku Tyvan yang membumbuinya,” ungkapnya penuh antipati.

“Ya, Tyvan yang membumbuinya.” Rei menjawab malas.

“Syukurlah. Terakhir kali aku makan sesuatu yang dibumbui oleh pekerja Lozard selain Tyvan, aku muntah seharian.” Benar-benar pengalaman yang buruk. Kejadiannya tepat di saat Anna berencana melarikan diri dari pernikahan bodohnya dengan Javias. Entah apakah pekerja itu tahu bahwa ia adalah calon pengantin yang berniat kabur atau bagaimana, pekerja itu memberinya makanan yang meracuni pencernaannya. Ia muntah seharian hingga kekurangan cairan. Anna terpaksa berbaring 2 hari dengan perawatan Valos. 

“Ugh, aku sangat menyesal mendengar itu.” Sahut Rei dengan nada prihatin yang sangat dibuat-buat.

“Cecunguk bodoh itu sepertinya sengaja memasukan rempah yang salah pada makananku.” Pada saat itu Anna berniat sekali menuntut pekerja itu dengan tuduhan yang jelas. Hanya saja Lozard segera menengahi dan berkata bahwa pekerja itu memang terkadang ceroboh dan Anna dipinta untuk sebisa mungkin memahaminya. Anna sangat berharap Lozard sudah memecat cecunguk bodoh itu, sayangnya ia belum sempat bertanya di pertemuan mereka sebelumnya.

“Yah, dia mungkin salah satu dari sekian banyak orang yang tidak menyukaimu, Musang Kecil.” 

Berusaha menghilangkan pengalaman buruk akan keracunan makanan, Anna beralih menanyakan hal lain. “Kupikir kau akan meracuniku dengan minuman keras,” 

“Oh, sudah pasti. Aku bawa rum.” 

“Kau pasti bercanda,”

Rei tersenyum menenangkan, seolah membuat sahabatnya mabuk parah adalah hal yang wajar. “Ada bir juga. Tenang, aku tidak berniat membunuhmu.”

Gadis bersurai legam itu mengangguk pelan sebelum tersenyum tipis. “Bagus, aku butuh rum itu untuk si lintah utara.” 

“Bicara tentang lintah utara, omong-omong kau belum menjelaskan apa pun.” Rei memulai. Padahal ini bukan topik sensitif. Tapi Anna adalah Anna. Ia mungkin tidak akan berbohong pada Rei, hanya saja gadis itu pasti akan memutar-mutar pernyataannya hingga hanya memberikan penjelasan umum yang terkesan tidak mencurigakan. Musang kecil manipulatif.

“Aku menemukannya di dekat titik pemantauan, kupikir usahaku untuk menolongnya akan berakhir sia-sia karena dia tidak akan bertahan dan mati, ternyata tidak. Kau bisa tebak sendiri bagaimana kelanjutannya.” Ungkap Anna lugas. 

Lihat? Rei memang sangat mengenal sahabatnya ini.

“Kapan kau menemukannya?” 

“Tepat di hari yang sama kita bertemu saat kau baru kembali,” 

“Demi Halstead yang Agung! Kau menyimpan seorang laki-laki di pondokmu selama hampir sepekan?!” 

“Jangan berlebihan. Menyimpan? apa maksudnya itu?” 

“Kau tahu maksudku.” Rei menggeram pelan. “Anna, dia dari utara. Dan kalau kutebak dia terlihat seperti seorang bangsawan.” 

“Dia memang seorang bangsawan.” 

“Kenapa kau melakukannya?” Rei menyerah. Memang sulit sekali mengonfrontasi Anna. 

“Melakukan apa? Membuatmu kesal atau menolongnya?” 

Kalau ada orang yang paling menyebalkan di dunia, Rei akan menjawab Annalah orangnya. Meskipun Rei sedikit penasaran dengan jawaban dari pertanyaan yang pertama, tapi itu bisa lain kali. “Aku lebih memilih jawaban untuk yang kedua.”

“Aku ingin bicara dengan Randal.” 

“Apa? Kau bercanda. Dia tidak akan mau bertemu denganmu apalagi bicara denganmu. Lagipula, apa urusannya Randal dengan lintah utara itu?” Rei mengernyit heran. Alih-alih menjawab pertanyaannya dengan jelas, mengapa Anna membawa Randal ke dalam percakapan mereka?

“Lihat, kan? Itulah alasan kenapa aku menolong Eric.” Ucap Anna santai seolah mengetahui jawaban apa yang akan diberikan Rei.

Keduanya terdiam, sama-sama berpikir. Rei memikirkan pertanyaan apa yang selanjutnya ia lontarkan, sedangkan Anna memikirkan jawaban yang aman untuk ia berikan pada Rei.

Anna mendesah sebelum berucap pelan, seolah takut pepohonan dan bebatuan di sekitar mereka dapat mendengar dan membocorkan pengakuannya ke seluruh penjuru Halstead. “Sebenarnya ini bukan rencanaku. Rencanaku adalah menunggumu dan Randal kembali dari pekerjaan kalian di utara. Aku memang berniat menolong Eric, tapi kupikir setelah ia sadar aku bisa membawanya ke desa atau kota terdekat agar ia bisa kembali—atau setidaknya pergi dariku. Aku tidak tahu ternyata kau kembali di hari yang sama denganku—di hari yang sama di mana aku menemukan Eric. Pada saat itu aku sempat berpikir aku harus segera bertemu dengan Randal, hingga kemudian aku sadar bahwa itu sedikit mustahil, maka dari itu aku membiarkan Eric untuk tinggal lebih lama.” 

Rei mengangguk sembari memproses kalimat Anna. “Yah, selain karena Randal membencimu, ia akan tetap merahasiakan apa pun yang ia dapatkan dan hanya melaporkannya pada Jenderal.” 

“Setidaknya aku harus mencoba. Kau tahu, mungkin dia akan bicara karena kita rekan sesama Cuvari.” Sahut Anna jemawa. 

“Randal tetap membencimu,” Rei berucap ketus. Sepertinya kerajaan melakukan kesalahan dengan menjadikan Anna Cuvari. 

Anna mengangkat kedua tangan seakan tidak merasa memiliki kesalahan di pundaknya. “Aku tidak mengerti apa masalahnya.” 

“Yah, kurasa aku mengerti apa masalahnya.” Wajah Rei meringis masam. Hal itu biasa dilakukannya ketika melihat atau mengingat suatu hal yang sedikit mengkhawatirkan. Kenangan itu seketika menghampirinya. Di hari perayaan panen tiga tahun lalu, Pertarungan Sunyi, Anna menghajar Randal dengan telak di arena kerajaan. 

Dienvidos memiliki satu hari raya di mana semua kegiatan diberhentikan untuk berdoa dan mengucap syukur atas panen yang berlimpah pada tahun tersebut. Hari Menyepi yang dilakukan setiap tahun. Setiap orang akan berdiam di rumah untuk berdoa dan membuat persiapan untuk pesta perayaan di malam hari. Pertarungan Sunyi adalah salah satu kegiatan dalam perayaan Hari Menyepi yang dilakukan ketika menjelang senja. Seluruh rakyat baik bangsawan atau rakyat biasa selalu bersemangat berbondong-bondong melihat pertarungan tersebut. Kala itu Anna baru berusia tujuh belas tahun ketika menjadi lawan Randal dalam pertarungan tersebut. Randal adalah kandidat terbaik calon Cuvari di tahun itu, dan Anna satu peringkat di bawahnya. Pertarungan Sunyi memang bukan penentu siapa yang tahun itu akan dikukuhkan menjadi Cuvari, namun pertarungan tersebut adalah pertarungan sakral di mana seluruh keluarga kerajaan hadir untuk melihat dan memberikan kehormatan untuk mengakui pemenang sebagai salah satu prajurit terbaik di Dienvidos. Benar-benar pertarungan bergengsi, dan Anna berhasil menjatuhkan Randal di arena.

Dalam Pertarungan Sunyi, petarung akan ditutup matanya dan penonton di arena tidak diperkenankan untuk mengeluarkan suara. Para petarung akan menggunakan seluruh indra mereka kecuali penglihatan dan senjata. Pertarungan tangan kosong. Dan karena kondisi yang sunyi tersebut, jadi sekecil apa pun pergerakan yang dilakukan oleh petarung pasti akan terdengar di tanah arena yang penuh akan pasir kasar dan bebatuan. Ketika pertarungan berhasil dimenangkan, semua penonton bersorak pada sosok ramping yang berdiri tegas di tengah arena. Penampilan Anna pada saat itu… Rei bahkan tidak bisa membayangkannya pada sosok Anna yang sekarang. Rambutnya dulu masih sangat pendek untuk ukuran seorang perempuan dan hampir menyerupai potongan laki-laki hanya saja sedikit panjang dan mencuat ke mana-mana. Karena semenjak bergabung ke dalam pasukan dan berani menantang kawan-kawan prajuritnya, Anna sering kali mengikuti pertarungan kecil sesama rekan prajurit di mana rambut menjadi taruhannya. Para prajurit itu senang-senang saja dengan Anna karena melihat ada banyak rambut yang bisa mereka potong. Mereka tidak melakukannya secara berlebihan sebab hal itu hanya mereka anggap sebagai lelucon sekaligus latihan, jadi ketika seseorang kalah, mereka hanya harus kehilangan beberapa senti rambutnya. Karena alasan itulah, tidak ada yang tahu bahwa Randal berhasil dijatuhkan oleh seorang gadis pada Pertarungan Sunyi. Anna terlalu terlihat serampangan untuk dianggap sebagai seorang gadis. 

“Ia benar-benar bodoh kalau masih menyimpan dendam karena hal itu.” Ucap Anna seolah mengerti apa maksud perkataan Rei. “Lagi pula sekalipun aku yang menang, pada akhirnya ia yang diangkat menjadi Cuvari pada tahun itu.”

Benar, seperti yang dikatakan. Pertarungan Sunyi tidak akan mempengaruhi penilaian peringkat Cuvari. Walaupun sebenarnya Rei sedikit curiga, sekalipun Anna menjadi yang terbaik dalam peringkatnya, Jenderal seperti terkesan tidak mau memberikan jabatan itu untuk Anna. Padahal tidak ada ketentuan hanya seorang laki-laki yang boleh menjadi Cuvari. Rei pernah membagi pemikiran itu dengan Anna dan keesokan harinya gadis itu mendapat hukuman untuk membersihkan istal sendirian karena ketahuan menyumpahi Jenderal. 

Menyudahi percakapan mereka terkait Randal karena Rei sudah lelah mendengar Anna merutuki betapa bodohnya Randal, ia bertanya, “Jadi kau akan membuat si lintah utara mabuk kemudian menginterogasinya?”

“Yap, memang itu rencananya.” Sahut Anna riang. 

Rei sedikit merenung, kalau begitu ia tidak bisa mencekoki Anna dengan minuman keras seperti yang sudah ia rencanakan sebelumnya karena gadis itu sepertinya sudah memiliki agenda tersendiri. Mungkin sedikit meracuni orang asing dan ikut mencari jawaban yang diinginkan Anna juga bukan hal buruk. “Kalau begitu aku akan bantu,” 

“Tidak, kau kembali ke tempat Lozard.” Anna menggeleng tegas. 

Rei sontak berhenti melangkah dan menatap Anna tak habis pikir. Dalam hati ia berteriak kesal, memangnya ia seorang kurir?! Saat ini Rei ingin sekali melempar kantung di tangannya ke wajah Anna dan membenturkan wajah cantik itu ke batang pohon. 

“Wah, aku tahu ekspresi itu,” sahut Anna cepat setelah melihat perubahan ekspresi di wajah sahabatnya. “Tahan, aku punya alasannya.”

“Sebaiknya kau berikan alasan yang paling bagus untuk itu.” Geram Rei. 

Anna menepuk bahu Rei beberapa kali sambil menatap pemuda itu tepat di mata, seakan tengah memberikan pemahaman pada bocah yang merajuk. “Eric tidak menyukaimu, dan kalau kau ingin semua ini berhasil, aku harus melakukannya sendiri.” 

“Mengapa harus seperti itu?” Rei mengernyit tidak suka. Terlepas dari fakta bahwa ia langsung tidak disukai oleh seseorang pada pertemuan pertama mereka, Rei benar-benar mengingatkan diri bahwa Anna meminta untuk ditinggal sendirian bersama seorang pemuda yang mabuk. “Anna, dia seorang laki-laki!” Rei gemas sekali ingin menjambak rambut panjang Anna. 

“Dia seorang bocah,” Anna bersahut datar. 

“Kau tidak tahu itu!” Sengit Rei.

“Aku cukup tahu.” 

Rei berkeras. “Kalau begitu kau bersalah karena meracuni bocah dengan minuman keras!” 

“Apa masalahnya? Dia orang utara, kita semua benci orang utara.” Sahut Anna seolah itu bukan hal besar kemudian melanjutkan langkahnya. 

“Ya, baiklah terserah kau saja. Tapi aku tidak akan langsung pergi setelah sampai pondok. Aku bukan jasa pengantar.” Ucap Rei bersungut-sungut.

“Cukup adil.” Anna tersenyum pada Rei yang merengut di sampingnya. “Lagi pula, aku butuh kau untuk membakar daging.” 

Anna tidak terlalu ingat apa yang Rei lakukan sebab ia baru saja hampir terjungkal jika saja refleksnya tidak bagus. Ah, selalu menyenangkan berurusan dengan Rei Solas yang kekanakan. 

***

Eric tidak tahu harus merasa senang atau tidak karena alih-alih dikurung di dalam pondok kini ia justru duduk di rumput bersama sepasang sahabat dan ditemani api unggun yang menghangatkan tubuh. Mereka duduk setengah melingkar dan Anna condong mendekatkan diri dengan sahabatnya yang dipanggil Rei itu. Benar, mereka lebih terlihat seperti saudara ketimbang pasangan kekasih. Mereka tidak bertukar pandangan penuh cinta dan lebih banyak membentak, melakukan perilaku kasar seperti mencubit, menoyor, dan sebagainya. Tiba-tiba Eric seperti diingatkan dengan kejadian serupa. Ia mengerjap menolak kenangan tersebut mengendalikan emosinya dan fokus menatap tawa satu-satunya gadis di antara mereka. 

Gadis itu tertawa terbahak-bahak, entah lelucon apa yang dilemparkan Rei hingga ia tertawa sekeras itu. Apa pun yang menghuni hutan ini seolah tidak keberatan dengan tawa yang terkesan mengganggu itu dan justru menikmatinya. Seperti yang dilakukan Eric saat ini. Satu pekan mengenal Annalise, ia bisa mengatakan betapa angkuhnya gadis itu. Seperti perempuan yang seumur hidup tinggal di istana menurutnya. Tetapi penampilan, tempat tinggal, dan kemandiriannya justru berkata lain. Gadis penatu yang dijumpainya tadi siang memanggil Anna dengan sebutan Nona. Sepanjang perjalanan menuju desa, ia memperhatikan langkah gadis itu. Santai namun tegas, dagunya selalu terangkat seolah menunjukkan bahwa dunia sekalipun tidak akan mampu menundukkannya. Sembari tersenyum tipis, kepalanya terkadang mengangguk sopan pada mereka yang menyapanya, dan tutur katanya selalu menyesuaikan kapan ia harus berucap sopan nan ramah pada yang lebih tua dan berucap santai seolah teman lama pada para pemudi-pemuda. 

Gadis itu seorang bangsawan. 

Kecantikannya paripurna, gerak tubuhnya menguarkan aura, dan tutur bahasanya mengesankan bahkan ketika ia bersumpah serapah. Ia bangsawan yang bebas. Terlepas dari aturan keluarga dan penghakiman masyarakat. Setidaknya begitu menurut Eric. 

Anna bukannya tidak sadar akan tatapan Eric yang ditujukan padanya. Pemuda itu kembali menjadi tuan bangsawan setengah bisu semenjak kehadiran Rei. Ia hanya sesekali menanggapi obrolan mereka dan karena itu Anna lebih banyak menawarkan daging dan minuman, dan Eric sama sekali tidak menolaknya. 

Perut dan rahangnya terasa kram karena mentertawakan lelucon Rei. Sebenarnya lelucon itu sangat buruk, tetapi karena Rei yang mengucapkannya, apa pun jadi terasa lucu. Rei sedikit melirik pada pemuda selain dirinya yang tengah menatap Anna. 

“Berapa usiamu?” Rei bertanya pada Eric. Hal itu terus mengganjal dalam pikirannya karena ia masih tidak ingin meninggalkan Anna sendirian dengan pemuda asing ini.

“Berapa usiamu?” Eric justru menanyakan hal yang sama pada Anna. 

Anna melirik malas pada Eric. Ah, dasar Rei dengan segala paranoidnya. “Tidak setua yang kau pikirkan dan tidak semuda yang kita inginkan.” 

“Itu bukan jawaban. Berapa usiamu?” Eric mengalihkan pertanyaannya pada Rei. 

Rei memejamkan mata sejenak, berusaha mengenyahkan rasa kesal hanya karena pertanyaan singkat terkait usia yang justru berputar-putar. Baiklah, mungkin Eric tipikal yang akan menjawab jika sudah diberikan jawaban serupa. “Sembilan belas.” 

“Nah, itu baru jawaban.” 

Anna mengedikkan dagu pada Eric yang berusaha mengonfrontasinya. “Jadi, berapa usiamu?” 

Eric mendesah pelan. “Delapan belas,”

Dan begitulah pertanyaan terkait usia yang berakhir tanpa berhasil mengungkap usia Anna. Rei bisa saja melakukannya, tapi ia enggan ketika melihat betapa penasarannya Eric dengan usia Anna. Tak terasa sudah lewat tengah malam dan mungkin beberapa jam lagi matahari akan segera memunculkan diri. Seperti yang sudah mereka rencanakan, Rei bangkit dari duduknya dan sedikit malakukan peregangan karena terlalu lama duduk. 

“Kau akan pergi?” Dengan penuh kebohongan Anna bertanya. 

“Tentu saja, aku tidak mau menemani kebiasaan anehmu yang tidak tidur di malam hari,” Rei menjawab pongah. 

Eric sedikit melirik Rei sebelum kembali menatap Anna. “Jadi, benar kalau kau tidak tidur di malam hari?” 

“Seperti yang kubilang, tidak ada untungnya berbohong padamu.” Anna berucap sinis mengarah pada percakapan mereka tempo hari. 

“Ya, ya, ya, bertengkarlah saat aku sudah pergi.” Rei sedikit merapikan bajunya sebelum menunjuk Eric. “Kau juga sebaiknya pergi jika tidak ingin menyesal.” 

“Bukan masalah. Aku akan tinggal menemani Annalise,” sahut Eric datar. 

Dalam sepersekian detik Anna dan Rei saling melemparkan pandangan ini-tidak-akan-sulit. “Baiklah, kalau begitu. Berhati-hatilah.” Ucap Rei dengan nada misterius yang dibuat-buat. 

Anna memutar mata merasa malas dengan Rei yang sangat drama sedangkan Eric merasakan panas di telinganya ketika mendengar penuturan Rei. Mereka jelas mendengar kalimat tersebut dengan arti yang berbeda. 

Kertak kayu yang dilahap api menemani kesunyian di antara mereka selepas perginya Rei. Anna sedikit menenggak minuman keras di tangannya dan Eric pun melakukan hal serupa hingga akhirnya sadar tidak ada setetes pun yang keluar dari botol miliknya. 

“Ini,” Anna menyodorkan botol di tangannya pada Eric yang serta-merta ditolak pemuda itu. 

“Tidak usah, itu milikmu.” 

“Kalau begitu kita bisa berbagi.” Ucapnya final sambil menuangkan minumannya ke botol yang lain sebelum memberikannya pada Eric. 

Pemuda itu terlihat sedikit mabuk, matanya memerah dan sering kali berkedip seakan butuh usaha yang banyak untuk memfokuskan pandangan. Tetapi merasa segan untuk menolak minuman dari Anna karena tawaran Anna pun tegas seperti enggan untuk ditolak. Di antara mereka memang Eric yang lebih banyak minum, entah pemuda itu merasa kuat atau memang bodoh. 

“Itu tadi pribahasa, kan?” Eric berucap pelan. 

Anna menoleh menatap pemuda yang matanya terpaku pada api kecil di hadapan mereka. “Yang mana?” 

“Yang kau ucapkan saat kita pergi ke desa.” Jawab Eric tanpa mengalihkan pandangannya. 

Anna mengerjap beberapa kali untuk menemukan jawabannya. Kepalanya sedikit berat, ia memang tidak begitu terpengaruh dengan alkohol, ia hanya sedikit lelah dengan semua hal yang ada di dalam pikirannya. “Ah, yang kukatakan tentang Voreia?” 

Eric mengangguk. “Apa artinya?” 

Kekehan pelan keluar dari bibir Anna. “Sebaiknya kau cari tahu ketika kau sudah pulang ke tempat asalmu. Nilai pelajaran kebahasaanmu pasti buruk sekali.” 

“Pulang?” Gumam Eric, lebih seperti bertanya pada diri sendiri.

Ia benar-benar melantur. Rei memang berbakat membuat seseorang mabuk. Pikir Anna.

“Hm, pulang. Kau akan pulang, bukan?” Anna bertanya ringan seolah-seolah bukan hal kejam ia terkesan mengusirnya.

“Ya, aku akan pulang.” Eric berucap pelan, matanya menerawang. “Kau akan mengantarku pulang?” 

Wah, dari mana asalnya sikap percaya diri itu? Ah, benar, lintah utara itu mabuk. Ia tidak akan berani bertanya seperti itu bila dalam keadaan sadar. Anna mengangkat bahu dan mendengus pelan. “Mungkin aku akan mencarikanmu kendaraan jika kau mau menungguku kembali.” 

Pemuda itu akhirnya menoleh menatap Anna. “Kau akan pergi lagi?” 

Anna mengangguk. “Aku ada urusan di ibu kota. Jadi, kalau kau mau menunggu, aku bisa mencarikanmu kendaraan. Tetapi untuk itu kau harus memberitahuku di mana daerah tempat tinggalmu.” 

Setelah Anna mengucapkan itu, keduanya kembali terdiam. Sejujurnya Anna sedikit gelisah kalau ternyata Eric tidak semabuk itu untuk mau membeberkan apa yang Anna ingin ketahui darinya. Walaupun Anna sudah bersikap sebiasa mungkin tanpa memberi kesan tertarik, ia tetap merasa ada sedikit kegelisahan dalam hatinya. 

“Atau kau bisa pergi sendiri tanpa perlu menunggu—”

“Aku,” Eric menyela hingga Anna tidak jadi memberikan alasan. Mereka bertatapan dan seperti pertama kali, tidak ada yang sanggup berpaling karena sibuk mengagumi. Anna menganalisis dalam kepalanya. Pahatan wajah itu, usia, dan penampilan. Apakah Eric salah satu cendekiawan Alnord? Atau murid dari Imam Besar di Noarden? Anna harus— “Voreia… aku berasal dari sana.”

Anna harusnya tahu kalau iris biru sedingin lautan dalam itu lahir dari kekejaman Voreia. 

—————

MERITOCRACY©️2021

Author’s Note:

Hai! untuk update MERITOCRACY mending dijadwalin atau tetap random? Btw, makasih yaa untuk semua supportnya, and happy reading!

MERITOCRACY 7 : Aphorism

8 Maret 2021 in Vitamins Blog

31 votes, average: 1.00 out of 1 (31 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

 

“Pakaian ini milik siapa?” 

Jemari Anna yang sibuk mengikat tali-tali sepatunya mendadak berhenti mendengar pertanyaan tersebut. Gadis itu menoleh ke sumber suara sambil menyelipkan rambutnya yang tergerai ke belakang telinganya.

“Bisakah kau tidak mempertanyakan segala hal?” Jawab Anna setengah kesal.

“Apakah ini milik bedebah tadi?” 

Anna menghela napas kasar, mengikat tali sepatunya asal dan berdiri menghadap Eric. “Rei adalah sahabatku, dan satu-satunya bedebah di sini adalah dirimu. Tolong pahami itu,” 

Eric menipiskan bibir sambil mengedikkan bahu. “Pemuda itu terlihat seperti penjahat.” 

“Dan apakah seharusnya aku khawatir tentang hal itu?” Sahut Anna malas.

“Aku yang khawatir akan hal itu.” Jawaban Eric terdengar seperti pembelaan untuk dirinya sendiri.

“Maka, kau juga harus khawatir dengan diriku. Karena pemuda yang kau sebut terlihat seperti penjahat itu sudah seperti saudara untukku.”

Setelah perdebatan mereka yang sedikit tak penting itu, akhirnya Anna memimpin jalan mereka untuk berangkat ke tempat tujuan. Langkahnya tegas, bahkan Eric sempat heran melihat perempuan itu bersikap biasa saja saat dirinya manghalau ranting dan daun pepohonan di sekitar mereka. 

“Menurutmu kita ada di arah yang benar?” Ucap Eric membelah kesunyian di antara mereka. 

“Ya,” sahut Anna singkat.

Eric sedikit sangsi akan hal itu. Ia memandang ke sekeliling, dan sejauh mata memandang hanya ada pohon dan beberapa hewan kecil seperti tupai dan burung-burung yang menemani langkah mereka. Tatapannya pun beralih ke tanah dan ia tidak melihat ada bekas apa pun kecuali daun kering yang berserakan. 

“Tidak ada jejak apa pun, kau yakin kita tidak tersesat?” Eric kembali bertanya.

Anna menghela napas dan tanpa berhenti melangkah ia menjawab. “Itu karena aku tidak pernah menggunakan rute yang sama untuk datang dan pergi. Dan, aku mengenal hutan ini hampir setengah umur hidupku.” 

Pemuda dengan iris biru itu menatap punggung perempuan yang berjalan di depannya. Rambut gadis itu dibiarkan tergerai separuh, dan separuhnya lagi digulung kemudian disematkan dengan besi panjang kecil. Tatanan rambut yang cukup aneh menurut Eric. 

“Memangnya berapa usiamu?” 

“Apakah itu sebuah pertanyaan?” Sahut Anna. 

Alis pemuda tampan itu mengerut. Kenapa gadis ini selalu membuatnya berpikir untuk membalas perkataannya?

“Mungkin?” Terdengar keraguan dalam nada bicara Eric.

“Kau terlalu banyak bertanya.” Anna menjawab dengan lalu.

Eric mendengus kesal. “Baiklah, lupakan saja.” 

Mereka melewati sungai, yang kalau Eric lihat mungkin aliran sungai yang sama dengan sungai yang berada di dekat pondok gadis yang ia anggap sebagai bandit itu. Tidak ada jembatan, tetapi banyak bebatuan besar dan kecil yang membuat sungai itu cukup dangkal dan mudah dilewati. Dan beberapa saat kemudian mereka sampai di sebuah rumah. 

Anna mendekat dan memanggil Sezya yang sedang menjemur kain. Gadis dengan perawakan mungil itu sedikit terkejut kemudian tersenyum melihat siapa yang memanggilnya.

“Nona, kukira kau tidak akan datang lagi hari ini.” Ujar Sezya. Senyumnya sedikit menghilang ketika melihat sosok lelaki di belakang Anna. Ia sedikit bertanya-tanya, tetapi memilih untuk diam. 

“Maaf, aku tidak bisa datang kemarin,” Ujar Anna dengan sedikit penyesalan. “Apa aku sudah bisa mengambilnya?”

“Sepertinya tertumpuk dengan yang lain, kau ingin menunggu di sini atau ikut denganku ke dalam rumah?” Jawab Sezya sambil mengingat-ingat. 

“Ya,” Anna menoleh dan berucap ketus pada Eric. “Kau, diam di sini.” 

“Memangnya aku bisa ke mana,” Sahut Eric dengan memutar kedua bola matanya. 

Anna mengikuti langkah Sezya ke dalam rumah. Sesampainya di sana, ia melihat gadis yang baru beranjak remaja itu mencari sesuatu di tumpukan pakaian. 

“Aku baru tahu kau punya teman selain Tuan Rei,”

Pandangan Anna yang sebelumnya fokus pada pakaian yang menumpuk di dalam rumah keluarga Sezya langsung beralih. Ia memandang Sezya penuh tanya sebelum berkedip menyadari arah pertanyaannya. “Oh, ia bukan temanku.” 

“Tidak diragukan. Apa pakaian ini milik pemuda itu?” Sezya menyerahkan pakaian Eric ke tangan Anna sambil menatapnya dengan penuh arti.

“Apa?” Anna sedikit risih dengan tatapan Sezya. “Berhenti memandangku seperti itu, ia bukan siapa-siapa.” 

Sezya tersenyum hingga memeperlihatkan barisan giginya yang rapi. “Kau tidak menjawab pertanyaanku, Nona.” 

Anna memutar kedua bola matanya malas dan lebih memilih untuk melemparkan sebuah kantung kecil ke arah Sezya hingga isinya berdencing. 

“Nona, kupikir ini terlalu banyak.” Sezya membulatkan kedua matanya mencoba membayangkan ada berapa banyak uang di dalam kantung itu. 

“Anggap saja itu biaya perbaikan,” Anna membalas dengan santai. “Dan, ada hadiah untukmu di dalamnya.” 

Sezya tercengang mendengar itu, dengan cepat ia membuka kantung itu dan mengeluarkan isinya ke atas telapak tangannya. Ia terkesiap melihat isinya, itu bukan hanya uang. Anna memang memberikan uang lebih, tapi benda mengkilap lain di atas telapaknya ini bukan uang. 

“Terakhir kali aku kemari, ibumu berkata bahwa kau berniat membuat gaun mewah. Saat aku pergi beberapa waktu lalu, aku tiba-tiba teringat akan hal itu. Kemudian aku berpikir, untuk membuat gaun mewah, kau harus menambahkan sesuatu yang berkilau, kan?” Anna menjelaskan. “Meskipun itu tidak seberapa, tapi aku harap kau menyukainya.” 

Benda itu adalah kulit kerang yang dipoles dan diberi warna hingga mengkilap. Sezya berkaca-kaca menatap benda itu, ketika menatap Anna, binar kebahagiaan sangat terpancar dari kedua matanya. 

“A-aku tidak tahu apa aku layak menerimanya. Nona, ini terlalu banyak.” 

Anna tersenyum dan memandang Sezya lembut. “Kau sangat layak untuk menerimanya, aku memberikan itu khusus untukmu.”

“Te-terimakasih, Nona. Aku tidak tahu harus membalasnya dengan apa.” Sezya berucap dengan suaranya yang serak, ia hampir menangis. 

“Mungkin aku bisa dapat pelayanan cuci bebas biaya untuk satu bulan ke depan?” Sahut Anna penuh canda. 

Mereka tertawa akan lelucon itu. Ya, mungkin Anna akan benar-benar mendapatkan itu untuk satu bulan ke depan. Ia berpamitan pada Sezya sebelum berjalan ke arah Eric yang sedang melakukan sesuatu dengan lengannya. 

“Ada apa dengan lenganmu?” Celetuk Anna. 

Pemuda itu menoleh pada Anna yang sudah berdiri tak jauh darinya. “Hanya melakukan peregangan. Aku harus sering melakukannya agar tidak terlalu sakit lagi nantinya.”

Anna menatap pundak Eric sebelum menatap matanya. “Sekarang masih terasa sakit?” 

Eric menggeleng sambil menatap balik Anna. Gadis itu telihat seperti tidak peduli, tetapi semua percakapan terkait lukanya sangat berkebalikan dengan ekspresi dan nada suaranya.

“Ini,” Anna melempar pakaian Eric kepada pemiliknya. “Satu lagi utangmu padaku.” 

Eric menatap pakaian di tangannya dengan heran. “Aku kira kau membuangnya.” 

“Sempat terpikir hal itu,” Anna mengedikkan bahunya acuh. “Masukkan ke dalam tas bodoh itu, aku tidak menyuruhmu membawanya tanpa alasan.” 

Meskipun perintah Anna terdengar menyebalkan di telinganya, Eric tetap patuh melaksanakannya. Perempuan itu memang menyuruhnya membawa sebuah tas berbahan kulit, ia tidak tahu apa isinya hingga ia meletakkan pakaiannya ke dalam sana. Eric mengernyit ketika menemukan kain berwarna gelap. 

“Apa kain ini tidak sengaja tertinggal di dalam sini?” Tanya Eric.

Anna menggeleng. “Aku sengaja membawanya.” 

“Untuk apa?” Eric kembali mengernyit merasa kebingungan. 

Dengan sabar Anna menjawab, “kau akan tahu sendiri nanti.” 

Eric kembali berjalan mengikuti Anna yang sudah lebih dulu melenggang di depannya. Ia sibuk memandangin sekitar hingga akhirnya suara Anna terdengar menegurnya.

“Hei, apa kau pesuruh?” Tanya Anna.

“Apa?” 

“Apa kau pesuruh?” Anna kembali bertanya dengan tegas. 

“Tentu saja bukan,” elak pemuda itu. Harga dirinya tercoreng disebut seperti itu.

“Kalau begitu percepat langkahmu, jangan berjalan di belakangku.” Anna berucap datar penuh penekanan.

Pemuda itu terkekeh menyadari maksud Anna. Perempuan itu selalu punya cara aneh untuk menyampaikan sesuatu. Kemudian ia berlari kecil menghampiri Anna sebelum perempuan itu berbalik kembali melanjutkan langkahnya. 

Senja merajai langit, tak jauh dari tempat sebelumnya kini mereka sampai di pemukiman desa. Eric tidak pernah melihat sebuah pemukiman kecil seasri ini. Mengapa perempuan itu lebih memilih untuk membangun pondok dan tinggal di tengah hutan?

“Apa desa ini terletak di pinggiran ibu kota?” Tanya Eric.

Anna mendengus sambil menyeringai kemudian menatap Eric di sebelahnya. “Tidak, kita berada sangat jauh dari ibu kota.” 

Di depan sana, terdapat hiruk pikuk yang memanjakan mata. Ada para pedagang yang baru menjajakan barang dagangannya, kemudian para pembeli yang lebih banyak berdiskusi, dan masih banyak lagi. 

“Apakah kau tidak pernah melihat desa semacam ini, wahai Tuan Bangsawan Utara?” Tanya Anna dengan tujuan menyindir Eric.

“Ya, sedikit aneh.” Jawab Eric pelan karena masih merasa takjub. 

“Ini bukan hal aneh di Dienvidos.” 

“Dienvidos?” Cicit Eric. Ia kembali melihat ke sekeliling dengan cepat sebelum menoleh ke arah Anna. “Kita berada di Dienvidos?” 

Anna menatap Eric penuh antisipasi. “Sebenarnya ini Empuma, tapi seingatku desa ini masih milik Dienvidos. Jadi…” ia mengangkat sebelah alisnya. “Ya, kita berada di Dienvidos.” 

Eric membelalak. “Aku berada di selatan?” 

“Ya, sangat jauh dari rumah, bukan?” Anna menyeringai. 

Eric mengerjap dengan cepat dan menghela napas panjang. Anna sedikit bertanya-tanya dalam hati, jadi selama ini pemuda itu tidak sadar bahwa ia ada di wilayah selatan? 

Mereka sampai ke penjual lilin yang selalu Anna datangi. Setelah memilih banyak, Anna meminta kain yang sebelumnya ada di dalam tas dan menunjukkan fungsi sebenarnya dari kain tersebut. Lilin-lilin itu ditumpuk di atas kain, kemudian tiap ujung kain tersebut disatukan dan diikat hingga Anna bisa membawanya dengan tangan. Untuk Eric yang baru melihat hal tersebut, ternyata sangat praktis.

“Masih takjub dengan keadaan sekitar?” Tanya Anna ketika melihat Eric yang tidak bisa mengalihkan pandangannya dari sekitar.

“Aku tidak melihat ada satu pun yang merasa tertindas.” Eric berucap ragu. Kondisi pasar benar-benar damai tanpa ada keributan. 

Anna terkekeh. “Tidak ada budak di Dienvidos.” 

“Apa?” 

“Kenapa kau terus membuatku mengulang kembali kata-kataku?” Dengus Anna.

“Aku hanya sedikit meragukan pendengaranku. Bagaimana mungkin tidak ada budak di suatu wilayah? Apakah itu juga berlaku di ibu kota?”

“Itu berlaku di semua wilayah kekuasaan Dienvidos.” Anna berujar dengan bangga. “Bangsawan di tiap daerah melakukan tugasnya dengan baik, menaungi masyarakat kecil, memberi mereka pekerjaan dan memberi mereka upah. Jika mereka sudah memiliki cukup kekayaan untuk membuka usaha sendiri, mereka diizinkan untuk melakukannya. Seperti yang kau lihat di tempat ini, rata-rata usaha milik keluarga. Dan kerajaan bertanggung jawab untuk membuat segalanya tetap stabil.” 

Eric mencoba memahami setiap kata yang keluar dari mulut Anna. “Bagaimana dengan yang tidak mampu bekerja? Dan juga apakah mereka semua membayar pajak pada kerajaan?” 

“Tergantung,” Anna mengedikkan bahu. “Pertanyaannya adalah, apakah orang itu benar-benar tidak mampu atau hanya malas untuk bekerja. Untuk lansia dan anak-anak yang hidup sebatang kara, ada orang-orang khusus yang bekerja melayani mereka. Intinya, semua orang di kerajaan ini bekerja dengan semestinya tanpa perlu ada perbudakan.” Jelas Anna. 

“Seperti Arathra,” gumam Eric. 

“Apa kau bilang?” Tanya Anna memastikan. 

“Aku bilang, Dienvidos sama seperti Arathra.” 

Anna menatap Eric penuh sangsi. “Bukankah kau terlalu muda untuk mengetahui Arathra?” 

“Sudah kukatakan, aku lebih tua dari yang terlihat.” Balas Eric kesal. 

Anna terkekeh pelan. “Arathra jauh lebih menakjubkan dari Dienvidos. Dari yang aku dengar, bahkan seorang pedagang kue di sana jauh lebih pintar daripada cendekiawan di Voreia.” 

Eric ikut terkekeh meski terlihat sedikit meringis. “Yah, bukan salah mereka. Bakat itu tidak dimiliki semua orang” 

“Voreia…” Anna memandang lurus sambil berucap, “angkuh terbawa, tampan tinggal.” Seringai penuh ejekan muncul tanpa bisa ia tahan. 

“Maaf?” Kata Eric.

Anna menoleh pada Eric dan mendengus pelan dengan senyuman tipis di sudut bibirnya. “Ah, aku lupa kalau kau si lintah utara. Jangan tersinggung, aku hanya asal bicara.” 

————

MERITOCRACY©️2021

MERITOCRACY 6 : Floating

3 Oktober 2020 in Vitamins Blog

40 votes, average: 1.00 out of 1 (40 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

 

 

“Semoga akhir pekanmu menyenangkan,” 

Anna tersentak dan langsung berbalik ketika mendengar suara berat di dekatnya. Diturunkan kembali tudung jubah yang sudah ia kenakan sebelum menatap sang lawan bicara. 

“Apa yang kau inginkan, Javias?” Ujar Anna malas. Ia benar-benar ingin pergi dari tempat ini secepatnya. 

Javias menatap intens tepat di iris madu Anna, walaupun ia tahu itu sama sekali tidak mempengaruhi Anna. Gadis itu terlalu kuat untuk dapat dihancurkan dengan tatapan. 

“Sebuah jawaban.” Lugas si laki-laki. 

Lirih tawa terlepas dari mulut Anna saat menyadari maksud dari perkataan Javias. “Kau sungguh jatuh cinta padaku, ya?” 

Tak ayal Javias mendengus dan dengan menohok berkata, “kau harus berhenti menyanjung dirimu sendiri, Anna.” 

“Ouch,” Anna mengaduh, seakan kalimat dari Javias membuatnya tersinggung.

“Baiklah, tidak ada yang memaksamu untuk menjawabnya.” Javias berujar seraya membalikkan tubuh untuk keluar dari barak. “Ah, omong-omong, aku masih tidak menyukai si bocah Solas. Kau bisa katakan pada sahabatmu itu agar berhenti menguntit Zee sebelum kuperintahkan penjaga untuk menangkapnya.” Lanjutnya. 

Anna mendecih. “Kau tidak punya hak untuk ikut campur dalam kisah cinta adikmu, Javias. Ayahmu bahkan tidak mengusiknya.” 

“Hanya berusaha menjadi seorang kakak yang baik.” Sahut Javias cepat dan melangkah keluar. 

“Javias,” 

Laki-laki itu berhenti dan melirik Anna lewat bahunya. Anna menghela napas sebelum mengutarakan apa yang sejak dulu ada di pikirannya. 

“Kau kakak yang baik,” ujar Anna. “Aku menyayangimu karena itu. Dan sebagai adik selayaknya Zee, aku berharap kau mendapatkan teman hidup yang benar-benar kau inginkan. Bukan aku.” Lanjutnya pelan. 

Keduanya terdiam setelah Anna berhenti bicara. Tubuh Javias terlihat kaku, kemudian ia berkata sambil lalu, “kau akan terkejut jika tahu siapa yang aku inginkan.”

 

•••

 

Kabut belum sepenuhnya menghilang ketika Anna tiba di pondoknya. Tempat tinggalnya itu terlihat gelap, dan Anna mengernyit merasakan kejanggalan. Langit masih terhitung gelap, dan seharusnya lilin-lilin itu masih menyala. 

Anna berderap dengan langkah cepat dan berusaha untuk tidak mengeluarkan bunyi, tangannya sudah berada di atas belatinya yang masih tersembunyi di dalam tempatnya.

Sesampainya di beranda, Anna melangkah dengan perlahan agar ketukan sepatu dan lantai kayu di bawahnya tidak menciptakan kegaduhan.

Tanpa banyak pertimbangan, Anna menggenggam gagang belatinya kemudian membuka pintu. Terkejut mendengar pergerakan yang sangat dekat dari posisinya, Anna spontan menarik belatinya dan bersiap untuk menyerang siapa pun sosok yang dicurigainya. 

Belum sempat belati itu menembus sesuatu, tangannya yang menggenggam belati seketika ditangkap, kemudian tubuhnya berputar mengikuti tangannya yang dipaksa diletakkan di perutnya, bersamaan dengan suara penuh keterkejutan yang menyebut namanya. 

“Annalise!” 

Anna menghela napas dan kemudian memejamkan mata. Ia belum sembuh total, tubuhnya masih lemah. Dan kini jelas sekali ia sangat mudah untuk dilumpuhkan. Tetapi mendengar pekikan itu, ada sedikit kelegaan. Itu artinya Anna tidak harus menghabisi siapa pun sepagi ini. 

Beberapa saat berlalu posisi keduanya masih seperti itu. Tangan besar yang menahan tangan Anna masih setia di depan perut. Secara teknis, Eric seperti tengah memeluknya dari belakang. Hingga kemudian Anna mendengar napas laki-laki itu mulai tenang. Mungkin Eric sudah mulai merasa tenang karena tidak jadi diserang. 

Dan hal itu membuat Anna melakukan hal yang mustahil sekali perempuan itu lakukan ketika tubuhnya sehat dan berada dalam pikiran yang jernih. Ia melonggarkan pegangan pada belatinya dan tanpa sadar menyandarkan kepalanya ke dada bidang sosok di belakangnya. Astaga, rasanya nyaman sekali. 

Detak jantung yang tak beraturan, napas hangat di pucuk kepalanya, dan genggaman erat disekitar pergelangan tangannya entah menjadi reaksi baik atau buruk dari tindakan Anna tersebut. 

“Annalise, apakah kau sakit?” Eric berucap rendah di telinganya. 

Seakan baru tersadar, Anna segera melepaskan diri dari dekapan Eric dan bergerak menjauh beberapa langkah. Setelah mengembalikan belatinya, Anna mengarahkan matanya menatap sekeliling pondoknya. 

“Kenapa gelap sekali? Apa kau tidak dapat menemukan lilin-lilin itu lagi?” Anna yang sedang tak fokus justru bertanya kembali. 

Eric menghela napas sebelum menjawab, “kau lupa mengisi kembali persedian lilinmu sebelum kau pergi. Dan aku tak bisa menemukan jalan keluar dari hutan ini untuk mencarinya.”

Anna hanya mengerutkan alis kemudian mengangguk bodoh tanpa membalas jawaban dari laki-laki di depannya. Keduanya berdiri canggung tanpa mengucapkan sepatah kata. Sedangkan pikiran keduanya berkecamuk atas peristiwa sebelumnya. 

“Baiklah, kurasa aku akan pergi ke desa nanti siang untuk mendapatkan lilin-lilin itu.” Ucap Anna pada akhirnya.

“Akan aku temani,” sahut Eric.

Anna memandang Eric penuh pertanyaan meski ia yakin laki-laki itu tidak bisa melihat ekspresinya saat ini. Kemudian ia hanya mengangguk mengiyakan. 

Baru saja ia ingin meninggalkan Eric, tiba-tiba saja sebuah telapak tangan menghampiri keningnya yang serta-merta Anna tepis seketika. 

“Apa yang kau lakukan?”

“Kau demam.” Lugas Eric. Kali ini ia sepenuhnya yakin tanpa perlu bertanya. 

Anna mendelik sebelum menjawab dengan lalu, “aku baik-baik saja,” 

“Kau berjanji tidak akan berbohong padaku.” 

“Aku tidak ingat pernah berkata seperti itu.” Jawab Anna tanpa minat. “Aku ingin tidur, kau pergilah kemana pun kau mau.” 

Anna beranjak ke arah ranjang dan duduk di pinggirnya seraya melepas jubah dan sepatunya. Matanya melirik pada lilin kecil di atas meja ketika ia meletakkan sabuk belatinya di sana. 

Beberapa detik setelahnya, ia sedikit tersentak ketika merasakan dingin di telapak tangannya. Dan sontak menoleh, melihat sosok laki-laki yang selama ini cukup menyulitkannya berlutut dengan satu kakinya di hadapan Anna sambil membasuhkan kain basah. Sejak kapan Eric menyiapkan semua itu?

“Sebenarnya kau sedang apa?” Tanya Anna penuh keheranan sambil berusaha menarik tangannya dari genggaman Eric.

“Tenanglah, aku bukan sedang berusaha untuk menyetubuhimu,” Ujar Eric sambil terus mengusap telapak tangan Anna dengan kain basah. 

Anna membelalak, kemudian dengan tegas ia menghentakkan tangannya. 

“Kenapa? Aku pikir itu salah satu leluconmu.” Api dari lilin kecil di atas meja terlihat membayang di mata biru Eric ketika laki-laki itu mendongak menatap Anna. 

Anna mengatupkan rahang mendengar ucapan penuh sindiran tersebut. “Sangat lucu,” desisnya. 

Tanpa perdebatan lebih lanjut, Anna membiarkan Eric untuk melanjutkan kegiatannya. Kulitnya yang besentuhan dengan kulit lelaki pucat itu terasa panas, sama seperti sebelum-sebelumnya. Pikir Anna menjawab, mungkin karena demam. 

“Bahumu,” gumam Anna. 

Eric kembali mendongak. “Jauh lebih baik dari sebelumnya. Aku tidak tahu obat apa yang kau berikan padaku, tapi itu jelas sangat membantu.”

Anna mendecih dan menarik tangannya dari genggaman Eric. “Jelas sekali kau tidak setengah bisu.” 

“Jelas sekali demam tidak mengehentikan mulut kasarmu itu.” Sahut Eric. 

Anna melirik sadis. “Maaf?” 

“Percayalah, tidak akan ada pria yang mau mencium bibir pedasmu itu jika kau terus mengeluarkan kata-kata yang menyinggung ego mereka.” 

“Oh, maafkan aku, apa aku baru saja menyinggungmu?” Tanya Anna meremehkan. 

“Aku tidak bisa dijadikan contoh.” Jawab Eric diplomatis.

“Ah, aku baru ingat. Kau bukan pria,” Anna tersenyum manis penuh ejekan. “Kau anak laki-laki.” 

Eric menatap tajam Anna. “Tidak. Itu karena aku tetap akan menciummu, bahkan saat kau mengucapkan sumpah serapah sekali pun.” 

Ia bersumpah merasakan jantungnya berhenti berdetak sepersekian detik ketika Eric mengucapkan itu. Senyuman penuh ejekan Anna hilang tergantikan dengan wajah datarnya dalam usaha mengatur kekacauan dalam hatinya.

“Bedebah,” sahut Anna spontan.

Eric menyeringai. “Kau benar-benar ingin membuktikannya, ya?” 

“Coba saja.” Tantang Anna pada akhirnya. Ia tidak akan kalah dengan lelucon seperti ini.

Penerangan dari lilin kecil itu benar-benar tidak membantu. Iris Eric terlihat lebih gelap dan penuh rahasia. Anna terjebak dalam mata itu hingga napas hangat Eric yang menerpa wajahnya pun tak ia sadari. Anna berkedip ketika hidung mereka hampir bersentuhan. 

“Kau tidak lupa aku punya senjata, bukan?” Bisik Anna. 

Eric tersenyum lebar saat merasakan sentuhan benda tajam di pinggangnya. Ia memang bermain dengan orang yang salah. Matanya melirik turun pada bibir Anna sebelum kembali menatap manik madu perempuan di hadapannya. 

“Kau memang selalu berburuk sangka padaku,” Eric menjawab geli dan kemudian bangkit dari posisinya. Jubah Anna sudah ada dalam genggaman tangannya. 

Dan hal itu pun tak lepas dari perhatian Anna. Ia terkekeh dan meletakkan kembali belatinya ke atas meja. Bocah itu sukses menjahilinya. 

“Kalau tidak keberatan, aku butuh istirahat. Terima kasih.” Ujar Anna berusaha mengakhiri interaksi mereka. 

“Aku akan di luar kalau begitu.” Ucap Eric sambil menggantung jubah Anna di pintu. 

“Ya, pergilah ke hutan. Kumohon, tersesatlah.” Sahut Anna malas. 

“Kau tau, aku sedikit serius dengan ucapanku sebelumnya.” 

Anna bersandar pada kepala ranjang dan meluruskan kakinya. “Bagian yang mana?” 

“Kau tahu maksudku.” 

Jawaban Eric membuat Anna memandang kesal pada pintu yang sudah tertutup, melenyapkan Eric dan bayangannya yang melangkah keluar. Ia mendekatkan kepalanya pada lilin kecil di atas meja. Sedikit berpikir sebelum akhirnya memadamkannya. 

Demi Halstead, apa ia baru saja saling menggoda dengan Eric si lintah utara itu?

 

•••

 

Tanpa ragu, langkah itu terus berderap di atas lantai marmer yang berkilap. Sisa-sisa musim panas bahkan tidak cukup menghilangkan dinginnya lantai tersebut. Ia sedikit menunduk, mengungkapkan salam tanpa ucapan kepada penjaga pintu ganda besar di depannya. 

Pintu besar itu terbuka, menampilkan ruang singgasana megah dengan jendela-jendela besar. Singgasana Fajar. Tepat 10 tahun yang lalu ia berlutut di depan singgasana tersebut, memohon untuk nyawa seseorang yang ia kasihi. 

Dan kini, ia kembali berlutut untuk memohon hal yang sama. 

“Valos, sudah lama sekali rasanya.” Ucap sosok yang duduk di singgasana tersebut. 

Valos bangkit dari posisi berlututnya dan berdiri dengan sikap sempurna sebelum menghadapkan wajahnya pada sang pemilik kerajaan. 

“Yang Mulia,” sapa Valos. 

Dwyrain Gundogar terkekeh di singgasananya. “Berhentilah bersikap canggung, Kawan. Itu membuatmu terlihat semakin tua.” 

Valos tak tahan untuk tidak tertawa. Ia berjalan mendekat ke arah singgasana bersamaan dengan sang Raja yang berjalan ke arahnya. Mereka berpelukan, saling menepuk penuh kerinduan yang sarat akan persaudaraan. 

“Tubuhmu masih bugar sekali, apa kau tidak berniat mati dan menyerahkan takhta untuk putramu?” Ejek Valos.

“Ia masih belum siap untuk takhta, jadi aku harus sehat dan tetap hidup untuk menjaganya.” Balas Dwyrain frustrasi. 

Mereka tertawa menanggapi lelucon itu.

“Pilihkan ia wanita yang tepat, dengan itu ia akan siap menerima takhta.” Balas Valos. 

Dwyrain menghela napas. “Ia semakin menolak ketika mengetahui Javias membatalkan pernikahannya.” 

Valos meringis.

“Bagaimana keadaan gadis itu?” Tanya Dwyrain pada akhirnya. 

Valos tersenyum ketika wajah itu melintas dalam pikirannya. “Dia baik-baik saja, Josiah merawatnya dengan baik.” 

Dwyrain ikut tersenyum mendengarnya. “Syukurlah, itu artinya Austur tidak perlu menyeretnya kembali dan menyekapnya di istana ini.” 

Mereka berdua berjalan ke salah satu jendela besar. Melihat pegunungan-pegunungan tinggi yang puncaknya diselimuti salju jauh di sana. Pemandangan kerajaan Arevell memang tidak ada tandingannya. Namun, perlu usaha yang besar bagi para pendatang luar untuk menghampiri kerajaan timur ini. 

“Kau tidak mungkin melakukan perjalanan jauh kemari hanya untuk bertukar sapa denganku, bukan?” Dwyrain yang pertama kali membuka suara setelah lama mereka terdiam menikmati pemandangan. 

“Sejujurnya, perjalanan kemari tidak terlalu jauh.” Valos mengedikkan bahu, ada sedikit kesombongan dalam suaranya. 

“Kau dan keahlian berpetualangmu itu,” Dwyrain menggeleng dan menyeringai geli.

“Titik balik musim dingin, aku ingin kau menyiapkan semuanya tepat pada hari itu.” Ungkap Valos pada akhirnya. 

Dwyrain menyipitkan mata, pandangannya menerawang, memperlihatkan kerutan di sudut-sudut matanya. “Kau sebegitu yakinnya hanya karena undangan Purvation sudah disebarkan?” Gumam Dwyrain. 

“Purvation adalah langkah awal, Dwyrain. Dienvidos sudah mempersiapkan untuk ini.” Balas Valos. 

“Valos, hal ini bahkan jauh lebih besar dari Arevell atau Dienvidos sendiri. Apakah kau sungguh-sungguh memohon padaku untuk menyelamatkan dirinya?” 

Valos menghela napas panjang. Kembali memandang pengunungan yang membentang di depan sana. Melihat matahari menyorot kilauan hamparan salju di puncaknya. Dan itu membuat Valos menyadari ironi yang menamparnya. Sekali lagi, di musim dingin. Halstead akan mengapung di lautan darah.

“Aku memohon padamu, untuk membantunya menyelamatkan Halstead.”

 

•••

 

Tidak ada yang lebih menyegarkan selain menenggelamkan kepala ke dalam air. Anna mengeluarkan kepalanya dari air dan menarik napas panjang. Tubuhnya yang sebelumnya sekaku batang pohon kini terasa ringan. Demam sialan. Lintah utara sialan. 

Anna sontak menggelengkan kepala, mengenyahkan bayangan Eric dari kepalanya sebelum akhirnya memutuskan untuk keluar dari air. Meskipun baru memasuki musim gugur, air sungai mulai terasa dingin. Ia tidak akan membayangkan hawa air sungai itu pada musim dingin. 

Hal itu membuat Anna yang sedang mengikat kemejanya menjadi terhenti. Musim dingin tahun ini akan ia lewati di utara. Entah akan bagaimana perbedaannya. 

Setibanya di pondok, Anna seperti tercekik rambut panjangnya sendiri ketika melihat pemandangan yang selama ini berusaha ia hindari. 

Eric dan Rei berdiri berhadapan di depan pondoknya. 

Demi Halstead, apa yang harus Anna katakan?

“Rei?” Entah kenapa hanya itu yang bisa Anna keluarkan dari mulutnya. 

Kedua laki-laki itu menoleh padanya dengan ekspresi penuh tuntutan yang sama. Dengan sedikit ragu, Anna menghampiri Rei. 

“Aku tak tahu kau datang untuk singgah,” ujar Anna. 

Rei menarik tangan Anna untuk ia genggam ketika Anna tiba di sampingnya. Dan hal itu pun tak lepas dari pandangan Eric. 

“Aku berpikir untuk berburu dan berpesta denganmu sebelum—kau tahu,” Rei mengedikkan bahu, menggantungkan kalimatnya. Memberikan pesan tersirat yang hanya diketahui oleh keduanya. 

Anna yang sebelumnya heran menatap genggaman Rei di tangannya, kini mendelik kesal pada si bocah Solas. Kenapa ia senang sekali mengungkit-ungkit tentang hukuman Anna? Sahabat macam apa dia?

“Kau sudah mendapatkan buruanmu?” Tanya Anna. 

“Tentu saja, aku akan menjualnya sebagian pada Lozard. Menukarnya dengan menu pesta kita.” Jawab Rei dengan senyum bodohnya. Sial, Rei berniat mengajaknya untuk mabuk-mabukan. 

Dehaman seseorang membuat percakapan keduanya terhenti. Anna sedikit membatu melihat Eric. Laki-laki itu terlihat berbeda di siang hari. Eric di siang hari adalah jelmaan batu intan. Kulit pucatnya berkilauan, dan kemeja tipis yang digunakannya tidak mampu menutupi betapa liatnya tubuhnya. Rambut hitamnya terlihat cocok sekali di kulitnya yang terlampau putih. 

Anna benar-benar terlihat seperti kotoran jika berdiri berdampingan di bawah matahari bersamanya. 

Genggaman di tangannya mengerat, menyadarkan Anna dan kembali menoleh melihat Rei. 

“Ini Rei, dan Rei, ini lintah—maksudku, Eric.” Anna tidak tahu apa yang baru saja ia ucapkan. 

“Aku tidak tahu kau punya teman selain diriku,” gumam Rei di telinga Anna. 

“Akan kujelaskan nanti.” Bisik Anna. 

Melihat Eric yang tidak menunjukkan reaksi yang berarti, Anna mendorong Rei menjauh dan melepaskan genggamannya. “Kau pergilah ke tempat Lozard, aku akan ke desa bersama Eric untuk mengisi persediaan pondok. Kembalilah saat gelap.” 

Tanpa mengucapkan sepatah kata, Rei berbalik pergi setelah melemparkan tatapan tajam pada Eric yang dibalas dengan tatapan yang sama dari pemuda utara tersebut. 

Anna menghela napas. Mengapa ia bertingkah seperti perempun yang ketahuan bermain api di belakang kekasihnya? Tampaknya ia memang belum sembuh sepenuhnya. Demam sialan. 

“Kau harus memakai pakaian lain sebelum pergi, kupikir aku memiliki beberapa yang cocok untukmu.” Ujar Anna sambil melangkah melewati Eric. 

Pemuda itu beranjak mengikuti langkah Anna dan berjalan di sampingnya. “Dia kekasihmu?”

“Siapa? Rei?” Anna menghentikan langkahnya dan menghadap Eric. “Semesta pasti bercanda,” lanjutnya sambil terkekeh geli. 

Eric yang ikut berhenti dan menatap Anna hanya mengedikkan bahu mendengar jawaban Anna. “Baguslah kalau begitu,” 

Apa?

Anna mengernyit kemudian menatap punggung Eric yang melangkah jauh setelah mengucapkan itu. Sepertinya ada yang salah dari mereka. Anna menyesal memaksakan pulang di saat kondisinya seperti ini. Harusnya ia menuruti perkataan Rei kemarin. Benar-benar demam sialan.

©️MERITOCRACY, 2020

MERITOCRACY 5 : Ceasefire

25 September 2020 in Vitamins Blog

36 votes, average: 1.00 out of 1 (36 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

 

 

 

Berkali-kali Anna mencoba untuk tidak meringis, namun tetap saja tidak bisa. Kepalanya serasa habis ditabrak dengan kereta barang, pusing bukan main. Tetapi Anna tetaplah Anna dengan segala watak keras kepalanya, dengan gerakan perlahan ia bangkit dari posisi berbaringnya.

“Apa kau serius?” Bentak seseorang.

Anna mendongak, melihat apakah bentakan itu ditujukan untuknya. Dan ketika melihat orang yang membentak itu, Anna langsung menyesal. 

“Chero? Apa yang kau lakukan di sini?” Gumam Anna, matanya menyipit ke arah laki-laki yang tertanya memang membentaknya barusan.

“Pertanyaannya adalah apa yang sebenarnya kau lakukan hingga kau pingsan, Sis?” Chero bertanya, kakinya melangkah mendekati ranjang Anna. 

“Berapa lama aku pingsan?” Melihat matahari yang menyorot dari luar, Anna tebak hari sudah menjelang siang—atau lebih buruknya menjelang sore. 

“Hampir seharian,” ujar Chero.

Anna memejamkan mata sejenak. “Apa Ibu tahu aku di sini?” 

“Kau bahkan belum menjawab—”

“Apa yang lain tahu aku di sini?” Tuntut Anna.

Chero mengehela napas kasar. “Kau benar-benar tidak mendengarku, ya? Berhentilah berbicara, kau dehidrasi.” 

Ya, Anna baru sadar sekarang. Kerongkongannya perih, ia tak akan terkejut kalau seseorang mengatakan wajahnya kini seputih kertas. 

Anna memang kelelahan sejak pulang dari pelariannya. Ia tidak makan atau istirahat dengan terartur, kemudian dengan ditambah merawat orang lain yang sekarat membuat ia bergerak ekstra di saat waktunya ia harus beristirahat. 

Chero duduk di pinggir ranjang kemudian ikut menarik Anna untuk mendekat padanya. Tubuh Anna diputar hingga memunggungi kakaknya tersebut. 

Anna menurut tanpa banyak bicara ketika rambut panjangnya dirapikan dengan lembut oleh Chero. Tangan besar yang terampil itu mengikat rambut Anna dan mulai membuatnya menjadi satu kepangan. 

Ia masih tak menyangka harus bertemu dengan kakaknya dalam kondisi yang seperti ini. Walaupun bukan hal aneh mengingat Chero adalah seorang tabib kerajaan. 

“Apakah Brane tahu? Seharusnya ia sudah tahu, kan? Namun aku belum melihatnya sejak aku tiba di sini.” Kata Anna, suaranya pelan dan serak. 

“Brane sedang ditugaskan keluar wilayah. Percayalah, jika ia sudah mendengar kabar bahwa kau kembali, kepalamu akan digunduli.” 

Anna terkekeh berat. “Bagaimana dengan Arwen?” 

“Bedebah kecil itu telalu sibuk melukis gadis-gadis telanjang di Plaza Sprevest.” 

Anna bersumpah bisa merasakan seringai di wajah Chero dari suaranya. Ya, Entshona dan segala kebebasannya. Anna jadi membayangkan sebrutal apa kondisi di utara, apakah lebih buruk dari kerajaan barat itu atau sebaliknya. 

“Arwen ada di Entshona?” Anna sontak berbalik menatap kakaknya.

Chero mengedikkan bahu dan menarik garis tipis di bibirnya. “Dia bertahan satu bulan sejak kepergianmu, setelah itu ia ikut meninggalkan rumah. Dan dari surat terakhir yang ia kirimkan, rupanya anak itu tengah berada di sana.” 

“Sejak kapan?”

“Sekitar beberapa minggu yang lalu,” 

Anna terdiam sejenak sebelum kembali memunggungi Chero. “Aku heran ia tidak menemukanku,” 

“Memangnya kenapa?” 

“Aku ada di Plaza Sprevest sehari sebelum melakukan perjalanan pulang,” ujar Anna. 

“Benarkah?” 

“Ya, tapi hanya sebentar. Askar menemukanku dan kami pergi makan malam di istana.” 

“Luar biasa, calon pengantin Putra Mahkota Dienvidos kabur untuk pergi makan malam dengan Pangeran Entshona.” 

Anna berdecak kesal. “Dia bukan sekadar pangeran, kau tahu.” 

Chero menyelesaikan kepangan rambut Anna dan menyampirkannya ke pundak gadis itu. “Ya, aku tahu. Jadi kau lebih memilih calon raja Entshona yang seksi itu?” 

Anna mengedikkan bahu santai dan berbalik menghadap Chero. “Kau sendiri yang bilang, dia seksi. Dan aku tidak bisa menolak yang semacam itu.” 

Chero terbahak. Bukan tipikal yang membuat telinga berjengit tidak nyaman. Suara Chero berat dan halus, Anna bersumpah bahwa suara Chero mendayu-dayu, membuat siapa pun betah untuk terus mendengarnya. Dari ketiga saudara laki-laki Anna, hanya Chero yang memiliki kepribadian lembut—tetapi bukan berarti ia tidak bisa membentak dan memarahi Anna. Dia benar-benar pria idaman para gadis. Dan bukan hanya sekali ia melihat gadis-gadis melemparkan diri pada Chero. 

“Berhentilah sejenak dari pikiran-pikiran yang membebanimu, kepalamu yang kecil itu tidak akan sanggup menanggungnya.” Ujar Chero ketika melihat Anna yang tiba-tiba saja melamun. 

“Kau tidak bermaksud mengaturku, kan?” 

“Tentu saja tidak, aku hanya mengkhawatirkanmu.” 

Anna mendesah. “Ya, mereka juga mengatakan hal serupa, namun aku merasa bahwa mereka mengatur hidupku.” 

“Anna—”

“Kukira aku bisa memilih—aku memang bisa memilih, tetapi aku tidak bisa memilih untuk keluar dari pilihan-pilihan itu dan mewujudkan apa yang sebenarnya ingin kupilih.” 

“Kau tidak—Anna, percayalah bahwa apa pun pilihan yang ada, dan pilihan yang kau ambil—sekalipun itu terpaksa, adalah suatu hal yang baik.” Chero mengusap punggung Anna pelan. 

“Meskipun menurutku hasilnya bukan hal baik?” Anna bergumam. 

“Selalu ada proses di balik hasil, dan menurutku tidak semuanya akan berjalan buruk. Kau hanya perlu memahami dan mengambil hal yang baik-baik. Aku tahu ini bukan hal bagus tapi…” Chero terdiam sejenak. “Entah baik atau buruk, keduanya terkadang sama-sama memiliki keuntungan.” 

Anna menghela napas panjang mendengar penjelasan Chero. 

“Mereka hanya masih kesal denganmu, secara tidak langsung kau menghina mereka—kau beruntung karena tidak langsung menerima hukuman.” Ujar Chero.

Mendengar kata hukuman, tiba-tiba kepala Anna dihantam suatu pemikiran. “Keluarga kita baik-baik saja, kan?” 

“Raja bukanlah orang yang seperti itu. Apa pun yang kau lakukan, kau satu-satunya yang akan bertanggung jawab.” 

Anna mendengus. “Senang rasanya mengetahui bahwa aku satu-satunya yang menerima tiket gratis menuju neraka.” Senyum kecil tersungging di bibir tipisnya.

“Kupikir itu surat rekomendasi untuk menemui malaikat maut.” Balas Chero.

Anna meringis mendengar humor kakaknya itu.

“Omong-omong, mereka akan membebaskanmu selama akhir pekan ini sebelum memintamu kembali ke sini—aku pikir itu sebuah gencatan senjata. Apa kau ingin tinggal di rumah? Aku yakin Ibu akan senang.” 

“Siapa yang memberitahumu?” 

“Seorang prajurit membawakan pesan dari Jenderal.” 

Anna memutar bola matanya. “Dia benar-benar membenciku rupanya.” 

“Selain karena kau menghina keluarga kerajaan? Dia marah karena kau meninggalkan tugasmu.” 

Anna berkilah. “Secara teknis aku tidak meninggalkan tugasku, sebelum pergi aku memberi perintah kepada beberapa prajurit untuk menggantikanku.” 

Chero mendesah. “Ya, anggap saja aku percaya pada semua alasanmu.” 

“Berengsek.” Desis Anna sambil menyikut rusuk kakaknya itu.

“Setelah akhir pekan berakhir dan kau kembali ke sini, kurasa selain untuk mendiskusikan Purvation, mereka juga akan membuatmu melakukan salah satu tugas Brane selama ia masih di luar wilayah.” 

Anna mendengus. “Yang benar saja, mereka ingin aku melakukan apa? Mereka tidak akan membiarkanku dekat-dekat dengan Javias setelah semua ini. Lagi pula calon raja itu hanya akan membuatku terbunuh dengan cercaannya.”

Chero tertawa pelan mendengar keluhan Anna. “Mungkin memberi pelatihan pagi hari pada prajurit?” 

Astaga, jangan itu! Itu sama saja menyiksanya. Kalau begitu kapan Anna memiliki waktu untuk tidur?

Kemudian Anna menatap kesal pada kakaknya ketika menyadari sesuatu. “Dan lagi, mengapa kau menganggapnya sebagai gencatan senjata? Satu-satunya pihak yang tegang di sini adalah mereka, kau pikir aku kembali untuk meledakkan mereka semua karena sudah membuatku merasa terkurung?”

Chero melipat kedua tangannya sambil berkata, “Kau bisa saja melakukannya. Jadi, bagaimana? Sudah memutuskan untuk kembali ke rumah?” 

Anna terdiam, matanya menerawang. 

“Tidak, kalau memang aku hanya memiliki akhir pekan untuk merasakan kebabasanku yang tersisa, kupikir aku akan tinggal di tempat lain.” 

•••

Setelah dipaksa untuk istirahat dan makan berbagai macam makanan oleh Chero, Anna pergi membersihkan diri dan keluar dari istana ketika langit sudah menggelap. Sakit kepalanya sudah mereda dan wajahnya sudah tidak sepucat sebelumnya. Kakinya terus melangkah hingga sampai ke tempat tujuannya. 

Kedai Lozard memang nyaman dan menyenangkan, tetapi kedai Frittman benar-benar menakjubkan. Tidak mengherankan karena memang terletak di Plaza. Berbagai macam makanan dan minuman ada di sana, tempat yang cocok untuk melepas penat. 

Seperti kedai minuman pada umumnya, tempat ini dipenuhi kaum adam. Beberapa wanita juga ada, setia tertawa nakal dan menggelayut pada para pria. 

Ia hanya tersenyum kecil menanggapi sapaan dari orang-orang yang mengenalnya—rata-rata rekan sesama prajurit dan beberapa Cuvari yang lain, serta beberapa pria bangsawan yang tidak melepaskan pandangannya dari Anna. Termasuk pria bangsawan yang tengah duduk di salah satu sudut ruangan. 

Anna memberi isyarat pada salah satu pelayan Frittman yang mengenalnya untuk membawakan pesanannya selagi kakinya berjalan menghampiri laki-laki yang kini mulai sadar akan kehadirannya. 

“Apa-apaan—kau di sini?” Pekik laki-laki itu. 

Anna tahu maksud dari ‘di sini’ adalah di ibu kota. Ia memang tidak mengatakan pada laki-laki itu beberapa hari yang lalu tentang niatnya kemari.

Rei tidak berhenti memelototi Anna bahkan sampai perempuan itu kini duduk di depannya. 

“Bola matamu akan jatuh ke dalam gelas jika kau terus seperti itu,” ujar Anna.

“Apa kau baru saja tiba?” 

Anna mengangguk berterima kasih pada seorang pelayan yang membawakan pesanannya sebelum membalas, “Aku tiba kemarin pagi,” 

Rei kembali memelotot. “Dan kau baru menemuiku sekarang?” 

Anna mengernyit. “Apa seharusnya aku menemuimu terlebih dahulu ketika tiba di sini?” 

“Tentu saja! Lagi pula kenapa kau baru menemuiku sekarang?”

“Ada hal yang lebih penting untuk dilakukan dari pada itu,” cetus Anna. “Percayalah, aku berniat menemuimu kemarin malam,” 

“Lalu?” 

“Tetapi Jenderal memanggilku untuk membawakan laporanku.” 

“Itu tidak bisa jadi alasan, kau punya semalaman penuh untuk menemuiku setelah itu. Tidak mungkin enam bulan di pulau kecil bisa merubah kebiasaanmu yang tidak tidur di malam hari.” 

Kini Anna mendelik kesal. “Aku pingsan sepanjang hari karena ia memberi perintah untuk membacakan laporan sialan itu! Bayangkan berapa banyak laporan yang kutulis selama enam bulan melarikan diri, dan aku harus membacakannya satu demi satu. Dan itu belum termasuk dengan tanya jawab di setiap laporannya!” 

“Kau pingsan hanya karena membacakan laporan?” 

“Sialan, Rei. Ia tidak memberiku kesempatan untuk minum dan sialnya lagi belum ada makanan sedikit pun yang masuk ke dalam perutku hari itu.” 

“Jadi, maksudmu Jenderal menyiksamu dengan menahanmu semalaman untuk membacakan laporan tanpa makan, minum, apa lagi istirahat. Dan kau pingsan?”

Anna memejamkan mata dan menghela napas beberapa kali seakan mencoba menenangkan diri. 

“Kau sudah menemui Zee?” Tanya Anna pada akhirnya. Ia harus keluar dari pembicaraan itu sebelum ia murka dan membuat keributan di sini.

Rei kini enggan menatap Anna. “Belum, aku tidak tahu harus mengatakan apa jika bertemu dengannya.” 

Anna mengangguk pelan. “Kupikir kita harus menemuinya bersama-sama, mungkin dengan begitu ia akan kebingungan untuk memilih siapa yang akan ia bunuh terlebih dahulu.” 

“Aku bertaruh dia akan membunuhmu lebih dulu,” ujar Rei. 

“Dia harus mengantre kalau begitu.” 

Rei tertawa. “Itu jelas sekali.” 

Hening. Bukan suasana kedai, hanya meja yang mereka tempati. 

“Apa kau baik-baik saja jika Zee mengikuti Purvation?” Tanya Anna pelan.

Rei menegang. “Purvation? Pemilihan Putri Mahkota Voreia?” 

Anna mengangguk. “Ya, walaupun aku yakin kita tidak akan menang, bukankah itu tetap terasa tidak nyaman?”

Rei berjengit. “Aku tidak punya hak untuk ikut campur tentang hal itu,” 

“Maksudku, dia kekasihmu. Aku hanya ingin mendengar pendapatmu.” 

Rei tertawa pelan, nyaris tak terdengar. “Kekasihku? Aku bahkan tak tahu apakah ia juga menyukaiku.” 

“Kau bercanda? Tentu saja dia menyukaimu,” sergah Anna.

Topik sensitif, Anna tidak seharusnya melakukan itu. Tetapi hal itu tak bisa ia simpan begitu saja di kepalanya. Ia juga tengah kebingungan akibat percakapan di ruang rapat kerajaan tempo hari. 

“Maafkan aku, Rei. Hanya saja kepalaku rasanya hampir pecah.” Lirih Anna. Sebelah tangannya mengusap sepanjang kening hingga pelipisnya.

Rei menatap iba. “Apa kau akan menghabiskan akhir pekan di sini untuk melakukan masa hukumanmu?”

Anna mengerjap dan kembali menatap Rei. “Tidak, mereka membiarkanku bebas selama akhir pekan ini, dan memintaku kembali setelahnya.”

“Aku yakin mereka melakukannya untuk merencanakan pelaksanaan hukumanmu,” 

Anna menyeringai. “Apakah enam bulan bukan waktu yang cukup untuk merencanakan hal itu?” 

“Jangan terlalu menyanjung dirimu, kau tidak sepenting itu untuk mereka pikirkan selama enam bulan.” Hilang sudah rasa iba untuk Anna dari raut wajah tampannya.

Anna menghela napas. “Yah, walaupun begitu setidaknya aku punya kenangan musim panas yang bagus.” Ujarnya santai. “Ingat baik-baik karena aku hanya mengatakan ini sekali, hal terbaik yang bisa dilakukan untuk menghabiskan musim panas adalah dengan pergi berwisata ke pantai.” 

Rei mendengus. “Secara harfiah kau menjadi penduduk lokal di sana, bukan hanya sekadar berwisata.” 

“Berengsek.” 

“Berhentilah mengumpat. Kau seorang Lady bukan bandit.” 

Gerakan Anna yang mengangkat gelas ke mulutnya berhenti ketika mendengar perkataan Rei. Pikirannya melayang jauh ke tempat tinggal persembunyiannya di dalam hutan. 

“Tidak ada bandit di Dienvidos,” gumam Anna. Entah mengapa ia tak mampu menaham senyumnya. 

“Memang, tapi itu tak termasuk di perbatasan.” 

“Benar-benar kerajaan kecilku yang sangat damai.” Ujar Anna. “Aku membayangkan bagimana keadaan Voreia jika dibandingkan dengan wilayah yang lain. Entshona juga termasuk buruk, kan?” 

Rei mendengus. “Entshona jauh lebih baik dari pada utara.” 

Anna melipat kedua tangannya di meja dan sedikit mendekatkan jaraknya pada Rei. “Kau belum bercerita tentang itu padaku, kau tahu. Mengingat akan ada Purvation, bukankah sebaiknya kau memberikan sedikit cerita pengalaman?”

“Aku serius, setelah kupikir-pikir kau mungkin tidak ingin mendengarnya.” 

“Apakah itu sebabnya kau bilang aku tidak akan percaya dengan apa yang akan kau ceritakan?” Ingatan percakapan Anna dengai Rei di hutan tempo hari tiba-tiba kembali.

“Kau tidak akan percaya karena itu memang jauh dari apa pun yang kau bayangkan.” 

“Coba saja,” tantang Anna. 

Rei terdiam sejenak. “Sebenarnya tak banyak yang aku ketahui karena secara teknis aku tidak berada di Voreia,” 

Ya, Anna ingat. Rei dan kelompoknya melakukan pekerjaan di Alnord, salah satu kota besar milik Voreia yang terletak di daerah yang sebelumnya merupakan ibu kota kerajaan Arathra. Anna tak begitu memahami mengapa Voreia menghapus kerajaan Arathra dan menggantikannya dengan kota Alnord. Sudah cukup buruk kerajaan itu hancur, namanya pun ikut dilucuti dan diganti, benar-benar para bedebah opurtunis.

Hal itu juga sedikit menyadarkan Anna. Itu berarti hanya ada enam perwakilan yang akan mengikuti Purvation mengingat kerajaan Arathra yang sudah kehilangan eksistensinya. 

“Tapi bisa jadi keadaan di Voreia jauh lebih baik karena—kau tahu, Alnord baru berdiri sekitar satu dekade. Masih butuh beberapa penyesuaian yang harus dilakukan untuk bisa menjadi salah satu bagian kekaisaran Voreia seutuhnya.” Lanjutnya. “Sebenarnya, itu yang membuatku sedikit heran. Mengapa harus banyak penyesuaian? Bukankah pada awalnya kerajaan Arathra memang sudah menjadi bagian dari utara?” 

“Arathra memang bagian dari utara tetapi bukan bagian dari Voreia.” Ucap Anna tegas. “Layaknya kerajaan yang lain, mereka punya prinsip dan kebiasaan sendiri untuk menjalankan pemerintahan. Aku yakin sebelum ditaklukan oleh Voreia, Noarden dan Zuvnich juga punya ideologinya masing-masing.” 

Alis Rei terangkat menatap Anna. 

“Apa?” Tanya Anna datar. “Aku suka sejarah.” 

“Aku tidak ingat kau suka sejarah.” 

Anna memutar mata malas. “Lanjutkan ceritanya. Apa benar mereka memaksa masyarakat miskin untuk diperbudak?” 

“Di Alnord? Benar. Itu sungguh mengerikan. Aku terbiasa hidup dengan melihat wajah-wajah bahagia para rakyat kecil, bahkan perbudakan di Entshona tidak seburuk itu, jadi aku benar-benar meringis ketika melihat mereka yang ada di sana. Tetapi sekali lagi, aku tak tahu bagimana yang ada di Voreia atau kerajaan-kerajannya utara lainnya.” 

Tidak, Rei. Mereka semua mengalami hal serupa. Anna meringis dalam hati. 

“Aku tahu kau pasti akan menemani Zee ke sana, jadi berdasarkan cerita pengalamanku, kupikir kau tidak perlu begitu takut pergi ke Voreia.” Rei memajukan tubuhnya ke arah Anna. “Mereka masih manusia, dan sebagai manusia mereka juga punya aturan. Selama kau mengikuti peraturannya, kau akan baik-baik saja. Buktinya aku bertahan selama setahun dan pulang dalam keadan utuh serta baik-baik saja.”

Keadaan mentalmu yang tidak baik-baik saja, bodoh.

Anna jadi teringat sesuatu. “Sebenarnya apa yang kau lakukan di sana? Demi Halstead, kau tinggal di sana selama setahun.” 

“Membantu mengembangkan pertanian gandum mereka. Tahun ini memang sudah bagianku, apa aku tidak memberitahumu sebelumnya?” 

“Tidak, kau tidak memberitahuku.” 

Rei tersenyum masam. “itu berarti aku hanya mengatakannya pada Zee. Memangnya apa lagi yang kulakukan di sana selain melakukan pekerjaan keluargaku?” 

Benar, keluarga Rei adalah salah satu bangsawan yang memiliki usaha pertanian gandum yang cukup besar di Dienvidos. Hampir separuh penduduk desa di sebelah kediamannya menjadi pekerja keluarganya. Hubungan perdagangan antar wilayah memang masih berjalan cukup lancar sebenci apa pun selatan pada utara. Memutus hubungan dengan mereka hanya akan membawa petaka, dan bukan tidak mungkin bagi Voreia untuk menjadikan Dienvidos seperti Arathra. Walaupun akan ada pertimbangan karena hanya orang-orang Dienvidos yang berbakat dalam salah satu bidang pangan, tetap saja faktor itu tidak cukup membantu menyelamatkan mereka dari kehancuran yang diciptakan Voreia. 

“Omong-omong, untuk ukuran orang yang akan ditinggal kekasihnya untuk jadi calon milik orang lain kau terlihat baik-baik saja.” 

“Aku tidak mungkin mengajak Zee untuk melarikan diri, itu sama saja menghina keluarga kerajaan dan sayangnya aku tidak sebodoh itu untuk melakukannya.” Ujar Rei.

Anna menyipitkan mata sambil berpikir. Ini hanya perasaanya saja atau Rei memang tengah menyindirnya? 

“Aku menawarkan diri untuk menggantikannya asal kau tahu” 

Rei nyaris terjungkal dari kursinya. “Kau serius?” 

Anna mengangguk. “Tapi mereka mengancam akan mencabut jabatanku sebagai Cuvari jika aku benar-benar ingin pergi menggantikan Zee.” 

Rei terkesiap. “Aku tahu Javias membencimu, tapi aku tak menyangka ia sekejam itu.” 

Anna tertawa pelan penuh ironi. “Sebenarnya, itu saran dari Jenderal. Aku bersumpah melihat Javias sedikit berjengit ketika mendengarnya. Mungkin ia tiba-tiba teringat neraka macam apa yang harus kulalui untuk mendapatkan itu.” 

Rei mengangguk penuh pemahaman. “Itu menjelaskan kenapa kau bisa pingsan seharian.” 

“Bedebah.” 

Kemudian mereka tertawa. Sebelum Rei pergi melakukan tugasnya, inilah malam-malam yang mereka lewati untuk menemani Anna—walaupun terkadang Rei tiba-tiba tertidur karena tak mampu menahan kantuknya. Lebih sering di kedai Lozard yang terkadang ikut ditemani Valos, dan terkadang mereka membuat api unggun di tepi danau yang jaraknya cukup jauh dari pondok Anna. 

“Kau berniat mengahabiskan akhir pekan ini di rumah?” Tanya Rei. 

“Entahlah,” 

“Kau bisa ke rumahku jika kau mau.” 

Anna menyeringai dan memberikan senyum menggoda pada Rei. “Apakah itu sebuah undangan?” 

“Tentu saja itu sebuah undangan. Ibuku mungkin akan menangis saat melihatmu.”

“Bawa Ibumu ke rumahku, kupastikan ia dan Ibuku akan bersahut-sahutan menjerit saat melihatku.” 

Rei tertawa sebelum kembali bertanya, “Jadi kau akan kembali ke pondok.” 

Anna mengedikkan bahu. “Kupikir begitu.” 

Rei mendesah, seakan sudah tahu jawaban yang akan diberikan Anna. “Baiklah, kau mau berkuda atau harus kucarikan tumpangan?” 

“Aku belum lama sadar setelah seharian pingsan, kurasa kembali dengan mengendarai kuda hanya akan mempercepat kematianku.” 

Kernyitan muncul di dahi Rei. “Kau ingin kembali malam ini?” 

Anna mengangguk. “Kalau bisa jangan lewat tengah malam, kau akan jadi sulit mencarikan tumpangan.” Ia bangkit dari kursinya. “Kalau begitu temui aku di tempat biasa, aku harus kembali ke barak untuk mengambil barang-barangku.” 

Anna memang meninggalkan semuanya di barak tempatnya  jatuh pingsan sekaligus beristirahat—tentu saja kecuali sabuk belatinya. Ia melepas seragam prajurit miliknya dan berganti dengan pakaiannya sehari-hari. Rambutnya masih berbentuk seperti terakhir kali Chero merapikannya. 

“Mengapa harus malam ini?” Rei masih menatap Anna heran sekaligus khawatir. Ia sadar bahwa sahabatnya itu masih terlihat sedikit pucat. “Kau tidak ingin beristirahat lebih lama? Kau bisa kembali besok pagi.” 

Anna menghela napas. “Astaga, itu hanya beberapa jam perjalanan, Rei.” 

“Banyak hal yang bisa terjadi dalam beberapa jam,” 

“Seperti?” Anna mengangkat sebelah alis, menantang.

“Kau bisa saja mati dalam perjalanan ke sana, aku tidak mau kau mati tanpa tersiksa dengan masa hukumanmu.” 

“Berengsek.” Anna mendesis sambil menendang kaki meja.

“Kenapa harus malam ini?” 

Anna berhenti mengganggu Rei dan menatap pria itu. Matanya sedikit beralih ketika berpikir sebelum akhirnya kembali menatap Rei.

“Aku harus segera membersihkan lintah di ranjangku.”

©️MERITOCRACY, 2020

MERITOCRACY 4 : Invitation

25 September 2020 in Vitamins Blog

45 votes, average: 1.00 out of 1 (45 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

 

 

Malam meleburkan Anna bersama jubah gelapnya yang menyaru dalam kegelapan. Langkahnya cepat dan tegas, dan sesekali kepalanya menunduk menyembunyikan wajahnya—walaupun sebetulnya tidak perlu, mengingat tidak ada penduduk desa yang keluar di tengah malam hari. Ia sedikit bersyukur hari ini tidak hujan, suhu malam ini jadi tidak terlalu menusuk tulang, dan sepatunya pun terhindar dari lumpur. 

“Greshwalt!” Pekik Anna dalam bisiknya. Senyumnya melebar ketika menemukan seseorang yang dicarinya. 

Seseorang yang dipanggil Greshwalt itu menoleh, memberikan atensi yang sebelumnya mengikat kereta barangnya ke kuda kini beralih ke arah gadis berkenakan jubah gelap yang ukurannya hampir menenggelamkan gadis itu. 

Anna berlari kecil dan menghampiri orang tua itu. “Syukurlah aku datang tepat waktu,” Ujarnya riang.

Greshwalt terkekeh. “Lama tak berjumpa, Lady.”

Gadis itu merengut sebagai aksi yang menunjukkan ketidaksukannya dengan panggilan itu. 

Greshwalt adalah salah satu penduduk Empuma yang mengetahui identitas Anna. Orang tua itu seorang pemasok pasar induk di ibu kota, dalam seminggu ia akan pulang-pergi dari desa ke ibu kota selama dua kali. Ia salah satu orang yang Anna sewa jasanya. Jasa mengantar untuk ke ibu kota jika Anna sedang malas berkuda. 

“Siap kembali ke ibu kota?” Goda Greshwalt. Tangan yang hampir dipenuhi keriput itu terlihat sangat cekatan mengikatkan kereta barangnya ke kuda. 

“Yah, aku pikir mendapat hukuman lebih baik dari pada hidup miskin di jalanan.” Anna menghela napas panjang.

Greshwalt tertawa pelan sambil menggelengkan kepala. “Kau tahu bahwa kau tetap tidak akan hidup miskin di jalanan sekalipun kau terus kabur, bukan?” Ia menoleh dan berbisik pada Anna. “Kau terlalu pintar untuk itu.” 

“Sok tahu, aku tidak sepintar itu, Old Man. Aku penasaran dari mana kau dan Valos mendapatkan sifat itu? Kalian jelas tidak ada kaitan keluarga.” 

“Ya, tapi kami jelas berkaitan dengan dirimu. Sudah terjawabkah rasa penasaranmu itu?”

Anna mengedikkan bahu santai. “Lumayan,” 

“Aku akan memanggil Dervo keluar, kau yakin tidak butuh pakaian yang lebih hangat?” 

“Tidak, aku baik-baik saja.” Anna mengerutkan hidung sambil merapatkan jubahnya. 

Gadis itu berbalik dan menatap kuda jantan kesayangan Greshwalt. Ketika menatap mata kuda itu, entah mengapa kenangan tentang tatap-menatap tidak mengenakan sore hari tadi kembali menghantamnya.

Anna dapat merasakan sinar matahari menyorot ke wajahnya lewat kaca jendela. Bukan tanpa alasan ia mengatur dengan posisi tertentu barang-barang di pondoknya. Salah satu contohnya ranjang yang letaknya berhadapan langasung dengan jendela, mau bagaimana pun posisi tidurnya, ketika sore tiba cahaya matahari akan menyorot lewat kaca jendela yang tirai penutupnya dibiarkan terbuka.

Bulu matanya mengerjap dan matanya membuka perlahan sembari menyesuaikan cahaya sore yang tertangkap retinanya. Ia benar-benar tidur seharian tanpa terganggu—atau mungkin Anna memang benar-benar kelelahan hingga tidak merasakan apa-apa saat tidur. Ia mengerang saat meregangkan tubuhnya, merasakan nikmat pada tubuhnya yang sudah teristirahatkan dengan baik dan—

“Sial!” Pekik Anna. “Apa yang kau lakukan?”

Anna sangat berharap yang kini beradu tatap dengannya adalah Rei Solas. Tetapi justru tuan bangsawan tampan setengah bisu yang tiba-tiba berubah menjadi cerewet dan menyebalkan—Anna yakin sekali selamat dari kematian bisa merubah seseorang, yang duduk di tepi ranjang sambil menatap Anna. Tidak ada ekspresi yang berarti selain datar, ia bahkan terlihat tidak ada niatan menjawab Anna.

“Berhentilah melakukan itu!” Desis Anna.

“Melakukan apa?” 

Anna melotot. “Menatapku seakan-akan aku adalah seseorang yang bisa menyembuhkan tanganmu dan mengirimmu pulang secara ajaib.” 

“Kau memang menyembuhkan tanganku.” Ujar Eric tanpa melepaskan tatapannya pada Anna.

Sial, pemuda itu benar-benar ingin menenggelamkan Anna ke dalam lautan biru di matanya.

Helaan napas kasar keluar dari mulut Anna. “Sejak kapan kau ada di situ?” Anna boleh saja mencerca Eric, tetapi ia sama sekali belum bangkit dari posisi berbaringnya. Sebab ia takut. Takut tidak mampu mengontrol emosinya yang meluap-luap karena bangun tidur dan membuat luka Eric makin parah yang pada akhirnya menjadikan laki-laki itu tinggal lebih lama. Itu sama saja menciptakan neraka baru namanya.

“Beberapa jam mungkin,”

Anna memberikan ekspresi seakan-seakan ia mendengar hal tergila yang belum pernah terjadi di dunia ini.

Eric masih menatapnya lurus dan tanpa perasaan bersalah berkata, “Kenapa? Mereka bilang itu romantis,”

“Itu menyeramkan!” Anna menyerah. Ingin sekali rasanya mendorong Eric hingga terjungkal. Tapi sepertinya ada hal lain yang perlu dilakukan. 

Ditatap berjam-jam ketika tidur? Anna bahkan tidak pernah membayangkannya. Dan apa pula maksudnya itu? Tingkah menatapnya disebut romantis?

Demi ribuan ladang gandum Dienvidos, lempar saja Anna ke tebing.

“Kau tahu? Aku berubah pikiran. Apakah kasar jika aku mengusirmu pergi—”

“Itu sangat kasar.” Sela Eric.

“Terserah!” Geram Anna. Ia turun dengan cepat dari ranjang dan menggulung rambut panjangnya sambil menyumpah serapah. “Dasar lintah darat utara!”

Anna ingat ia sedikit memberi ancaman pada pemuda itu kalau-kalau ia mengikuti Anna ke sungai. Dalam hati ia bertanya apakah sebaiknya ia berlama-lama di ibu kota dan membiarkan laki-laki itu membusuk di pondoknya? 

Ingatan itu buyar ketika Anna menyadari kedatangan Greshwalt bersama satu orang lainnya. Pemuda tampan bernama Dervo Greshwalt, alias si bungsu keluarga Greshwalt. Tidak hanya sekali Anna membandingkan wajah si tua Greshwalt dan si bungsu. Jelas ketampanan itu bukan berasal dari si tua Greshwalt.

“Berhentilah memelototi putraku,” Tegur Greshwalt pelan. 

“Maaf, sudah kebiasaan.” Anna meringis.

“Kukira kau kabur untuk memperbaiki kebiasaan itu, Anne.” Sahut Dervo.

Alis Anna sontak terangkat. “Oh, halo, D. Aku baik-baik saja, terima kasih sudah tidak bertanya.” 

Kedua Greshwalt itu tertawa. “Tajam seperti biasa. Kuperhatikan kau masih terlihat seperti… kau,” Ujar Dervo dengan tatapan mengejek ke arah Anna.

Anna mendengus. “Kau harus melihatku di siang hari, kawan.” 

Kini alis Dervo yang terangkat. “Aku tebak itu hal yang bagus, bukan?” 

“Kurasa kini aku bisa menjadi penduduk resmi Entshona.” 

“Ya, kurasa kau cocok di sana.” Sahut Greshwalt.

Anna memutar kedua matanya. “Sudah cukup basa-basinya. Ayo berangkat, aku mempunyai ajal yang harus segera dijemput di ibu kota.” 

•••

Tidak ada warna yang berbeda baik di kota ataupun di desa kerajaan Dienvidos. Ya, hanya saja, ibu kota lebih mewah dengan pernak-pernik yang menyilaukan. Walau begitu, Dienvidos tetap menjunjung kesederhanaan, warna utama mereka menyesuaikan julukan kerajaan. Negeri Agraris. Hijau, cokelat, dan warna padi yang menguning. Cerah sekaligus menyejukkan mata. 

Untuk ukuran seseorang yang sudah hampir menjelajahi separuh Halstead—anggap saja begitu, karena Anna selalu berkelana baik bersama Rei atau sendiri, Anna bisa mengatakan bahwa terdapat perbedaan mencolok di tiap wilayah, dan Dienvidos menjadi kerajaan paling sederhana baik dari penampilan ataupun kebiasaan. 

Tempat yang menjunjung tinggi perdamaian. Semua berusaha untuk menganggap setara, semua berusaha untuk saling mendengarkan. Sebuah demokrasi yang anehnya berjalan di tengah hukum monarki.

Anna dengan bangga menyatakan bahwa tidak ada perbudakan di Dienvidos. Rakyat rendahan dipekerjakan dengan upah yang sesuai dengan pengabdiannya. Kesetiaan menjadi penegak dan penggerak kerajaan kecil ini. 

Sangat jauh untuk dapat dipengaruhi utara, dan cukup jauh untuk dapat dipengaruhi timur dan barat. Anna tidak ingin mengakui bahwa mereka cukup terisolasi akibat geografi, karena geografi kerajaan Arevell di timur jauh lebih menyedihkan. Tidak mengherankan perjalanan dari utara ke selatan dan begitu sebaliknya lebih mudah dilalui lewat barat. Karena kerajaan yang demografinya tidak lebih besar dari Dienvidos itu terisolasi oleh pegunungan. Hanya Tuhan dan para pendiri Halstead yang mengetahui mengapa kerajaan itu bisa berdiri.

Anna tidak tahu mana yang lebih baik, terisolasi hutan atau pegunungan yang puncaknya bahkan dilapisi es.

Anna tiba di istana ketika pergantian jadwal penjagaan istana. Satu kesialan kecil yang mengawali harinya di ibu kota. Mereka menatap Anna dengan raut terkejut dan penuh penasaran. Penjaga yang bertugas di gerbang istana pun sempat melongo sebelum sadar dan segera membukakan gerbang untuknya.

Hari masih pagi, ia bersama para Greshwalt sampai ke pasar induk ibu kota ketika matahari mulai muncul di langit. Dan seperti biasa ketika diantar oleh mereka, Anna turun di dekat Plaza Debubi yang jaraknya satu atau dua jam dari istana jika berjalan kaki. 

Jubahnya ia lepas dan tergenggam erat di tangan kiri sementara tangannya yang lain berlabuh di sabuk yang terpasang di luar pakaian resminya sebagai prajurit, sebuah setelan berbahan kulit tebal berwarna gelap yang mengikuti lekuk tubuhnya. Anna sengaja tidak menggulung rambutnya, membiarkan mereka melihat sepanjang apa rambut hitamnya telah tumbuh. Suatu pengingat berapa lama ia meninggalkan tempat ini. Rambut di kedua sisi wajahnya ditarik ke belakang dan dijepit sederhana. Sebuah penampilan indah yang penuh kontradiktif. 

Anna beberapa kali menampilkan senyum simpul kepada mereka yang mengangguk penuh penghormatan. Langkahnya dengan gesit melewati lorong-lorong istana seakan ia telah hidup di sana sepanjang hidupnya. Beberapa langkah lagi ia sampai ke tempat tujuannya jika saja netranya tidak bersinggungan dengan sosok tegap yang berdiri di ujung lorong yang akan dilaluinya. 

Sial, ini bukan rencananya. 

Rencananya adalah menemui sang Putri, kemudian Jenderal, dan yang terakhir adalah Paduka Raja. Orang ini bahkan tidak termasuk ke dalam rencannya, tetapi Anna bertaruh sosok itu akan menjadi penyebab utama rencananya hancur berantakan. Harusnya Anna berhenti merutuk dan mulai berdoa. 

“Yang Mulia.” Anna menyapa sambil membungkuk sopan. 

Javias Enzatsy, Putra Mahkota Dienvidos. Bolehkah Anna menyebutnya sebagai mantan tunangan? Bagaimana bisa laki-laki itu masih berada di area peristirahatan? Bukanlah saat ini seharusnya ia sudah berada di ruang kerjanya? Anna tidak yakin kebiasaan telat bangun boleh dimiliki oleh seorang calon raja. 

“Saya ingin melapor—” 

“Simpan laporanmu untuk Jenderalmu.” 

Setelah menyela kata-kata Anna, ia pergi melewati Anna begitu saja. Gadis itu menelan ludah sebelum mengangkat kepalanya dan kembali mengambil langkah untuk ke ruangan yang ditujunya. 

“Masuk!” Perintah seorang gadis dari dalam kamar setelah Anna mengetuk pintu. 

Sebenarnya Anna tidak tahu harus mengucapkan kata-kata apa, yang ia pikirkan hanyalah sederet permintaan maaf tetapi entah mengapa yang terucap justru, “Percayalah tidak akan ada yang mau menikahimu jika kau masih di tempat tidur saat matahari sedang berjuang memunculkan diri.” 

“Kau benar-benar gadis jahat, dasar penyihir!” Pekik seorang gadis dari ranjangnya sedangkan Anna kini bersandar pada pintu yang telah ia tutup. 

“Aku tahu aku sedikit jahat, tapi aku masih tidak paham dengan ungkapanmu yang bilang bahwa aku seorang penyihir. Lagi pula seorang Putri tidak seharusnya mengutuk.” Ujar Anna santai.

“Apa kau sadar dengan apa yang kau katakan? Lebih baik kau keluar.” 

Anna mendesah lelah. “Zee, ayolah. Aku bisa menerima tatapan benci dari semua orang—termasuk kakakmu, tetapi tidak dengan kau.” 

“Tidak denganku? Apa aku tidak boleh marah? Apa aku harus menerimanya lapang dada?” Seru Zietha. “Aku tahu kau tidak akan pernah menerima pernikahan konyol itu, aku paham bahwa kau pasti akan kabur karena melarikan diri memanglah salah satu sifatmu yang sangat menjengkelkan! Yang tidak aku pahami adalah apa kau benar-benar perlu pergi selama itu? Kau meninggalkanku tanpa berkata apa-apa! Tidak ada surat, tidak tanda sedikit pun. Rei mungkin tidak akan mengatakannya jadi biarkan aku yang bicara! Lupakan kesempurnaan yang telah kau bangun, kau hanyalah gadis jahat berpikiran sempit yang sangat egois!” 

Anna bersumpah melihat air mata menetes ke pipi Zietha yang mulus. Ya, benar. Lupakan kesempurnaan, ia memang hanya bedebah kecil yang gemar melarikan diri dari suatu masalah. Lalu apa yang harus ia lakukan? Ikut menangis dan meratapi kesalahannya? Tidak, itu sama sekali bukan dirinya. 

“Maafkan aku, setelah kau tenang aku akan membawa Rei  kemari dan kita bisa bicarakan semuanya bersama. Sekarang tolong pergilah sarapan dan lakukan aktivitasmu.” 

“Kau tidak berada dalam kuasa yang mampu memberiku perintah.” 

Anna membatu. Tubuhnya yang bersandar kini ia tegakkan dan setelah itu ia membungkuk sopan. “Kalau begitu saya pamit undur diri, Putri Zietha.” 

Ya, yang bisa Anna lakukan hanya melarikan diri, lagi dan lagi. 

•••

Jika tebakan Anna tidak salah, saat ini harusnya sang Raja dan para petinggi kerajaan sudah berada di ruang rapat untuk membahas undangan Purvation yang telah sampai. 

Mengabaikan tatapan terperangah dari penjaga yang bertugas di depan ruang rapat, Anna melangkah dengan penuh percaya diri masuk ke sana setelah pintu dibukakan. 

Ternyata tidak seramai yang Anna kira. Hanya ada Raja, Javias, Jenderal, dan penasihat kerajaan. Dan mereka semua kini menatap Anna. Semua terpaku kecuali Javias. 

“Sudah selesai bersenang-senang di pantai bersama Askar?” Suara Javias memecah keheningan. 

Harav Enzatsy menatap putranya penuh peringatan. Benar, itu bukan kata-kata yang pantas untuk dilemparkan kepada seorang gadis. Untungnya Anna setengah barbar, ucapan itu tidak akan mempengaruhinya. Tetapi kalau bisa Anna ingin sekali mencongkel mata zamrud Javias yang tak berhenti menatapnya tajam.

Anna tersenyum manis dan berkata, “Putra Mahkota Entshona terlalu sibuk untuk dapat ditemui, aku mencoba untuk tidak kecewa karena harus bersenang-senang sendiri.” Persetan dengan kesopanan, yang berbicara itu bukan pangerannya, tetapi teman sekaligus mantan tunangannya. 

Kali ini sang Jenderal yang menatap Anna penuh peringatan. Sebelum terjadi perang adu mulut yang tidak diinginkan, Harav menginterupsi. “Senang melihatmu kembali, Anna.” 

“Terima kasih, Yang Mulia.” Ucap Anna setelah mengalihkan tatapannya dari Javias dan membungkuk sopan pada rajanya. 

“Kurasa ada hal yang lebih penting untuk kita diskusikan saat ini,” Tegas Harav.

Benar, bertengkar dengan Javias bisa dilakukan nanti.

“Aku tebak kau kembali karena undangan Purvation, Anna?” 

Anna terdiam sejenak. “Benar, Yang Mulia.” 

“Jadi, apa yang kau sarankan?” 

“Saya akan menggantikan Putri Zietha, Yang Mulia.” 

Hening. 

Kemudian terdengar suara dengusan. “Kau menolak untuk menikah denganku, tapi kini kau mengajukan diri untuk ikut dan menggantikan Zee dalam kompetisi pemilihan Putri Mahkota Voreia?” 

Ya, Anna memang sudah gila rupanya. 

Purvation adalah sebuah ajang pemilihan calon ratu kekaisaran Voreia. Diikuti oleh perwakilan masing-masing kerajaan yang ada di Halstead baik itu seorang Putri atau pun gadis bangsawan yang direkomendasikan oleh kerajaan. Ratu Voreia yang sekarang berasal dari Voreia, ia adalah putri bangsawan yang paling berpengaruh di sana. 

Tidak mengirimkan perwakilan adalah sebuah penghinaan untuk Voreia. Dan demi menghindari kemurkaan yang bisa saja meluluhlantakkan sebuah kerajaan—seperti kerajaan Arathra di utara, mau tak mau mereka harus mengikuti perintahnya. 

Dienvidos boleh saja damai, tetapi bayangan akan dikuasi oleh Voreia suatu saat nanti adalah ketakutan yang tak bisa dihindari, dan Voreia dengan senang hati melahap ketakutan itu.

“Itu akan membawa citra buruk bagi keluargamu.” Ujar Harav setelah memikirikan saran Anna.

Tentu saja, siapa yang tidak? Anna menolak menjadi calon ratu Dienvidos agar bisa mengikuti kompetisi pemilihan calon ratu Voreia yang kekuatannya tak mengundang keraguan bagi mereka yang mengetahui. Mana mungkin itu jadi citra yang bagus untuk keluarganya? 

“Kalau Yang Mulia bersedia dan memberikan perintah untuk itu, saya pikir mereka tidak akan bisa menolak.” Kata Anna.

“Apa kau membuang otakmu ke laut?” 

“Javias!” Tegur Harav. 

Anna mengabaikan sindiran Javias dan menatap lurus pada sang raja agar menyetujui sarannya. Ia harus pergi ke utara, dan Purvation adalah cara paling aman untuk bisa melewati perbatasan utara dengan menjadi dirinya sendiri tanpa perlu penyamaran yang mungkin akan menyulitkan dirinya.

Voreia dan paranoidnya. Mereka memblokade wilayah utara dengan membangun dinding serta gerbang di beberapa titik perbatasan setelah kerajaan Arathra resmi jatuh ke tangan mereka hampir satu dekade yang lalu. Mereka tahu bahwa kerajaan semacam Arevell dan Dienvidos sangat tidak menyukasi sistem pemerintahan Voreia yang dijalankan dengan penuh tirani. 

Bahkan Rei dan anggota kelompoknya terjebak di sana selama setahun penuh sebelum kembali kemari. Padahal Anna yakin apa pun pekerjaan yang dilakukan Rei dan kelompoknya di sana sangat-sangat tidak mungkin menghabiskan waktu sebanyak itu. Apa Rei disiksa? Diberi doktrin utara? Tidak ada yang tahu.

“Kami akan memikirkan saranmu, tetapi ada baiknya kau juga memikirkan saran kami.” Ujar sang Jenderal yang sejak tadi tak bersuara. 

Mereka semua mengernyit menatap Jenderal. 

“Kami akan mencabut posisimu dari pasukan dan sebagai Cuvari. Kau jelas harus mengikuti Purvation sebagai seorang Lady bukan prajurit.” Ucap Jenderal dengan tegas yang membuat Anna membatu.

Bukan, bukan begini niatnya. Tidak, mereka tidak boleh mengambil hal yang sangat Anna inginkan dan sudah susah payah ia dapatkan. Demi apa pun, Anna bahkan harus melewati neraka terlebih dahulu sebelum berhasil mendapatkan itu.

“Tidak, kalian tidak bisa. Aku sudah ditandai, itu artinya selamanya aku akan menjadi seorang Cuvari. Dan aku memang seorang Lady, jadi tidak ada yang perlu dicabut di sini.” 

Anna berusaha menahan amarahnya. Ia bersumpah bisa merasakan panas pada punggung sebelah kirinya, tempat di mana tanda pengabdian seorang Cuvari miliknya dicap dengan besi panas setahun yang lalu. 

“Kami bisa lakukan apa pun untuk menghilangkannya, baik berkas atau pun tandanya.” 

“Tidak ada saran lain?” Sergah Anna.

“Atau… kau bisa menemani Zee dengan menjadi pelayan atau pun pengawal pribadinya.” Balas Javias.

“Aku tidak bisa membiarkan Zee melakukannya, ini tugasku. Kalian menjadikanku Cuvari untuk ini, bukan?” Desis Anna.

Ya, ada gerakan terselubung dibalik mengirimkan perwakilan kerajaan untuk mengikuti Purvation. Mereka akan memata-matai Voreia, mencari kelemahannya untuk bisa menghentikan kejahatan apa pun yang direncanakan atau dilakukan oleh Voreia. Jatuhnya kerajaan Arathralah yang membuat mereka memiliki keberanian ini. Sudah cukup Voreia mencoreng hukum untuk membiarkan tujuh kerajaan di Halstead berdiri dengan kekuasaan yang setara, mereka melanggarnya dengan menaklukan kerajaan lain dan mendirikan kekaisaran. Kemudian satu dekade yang lalu mereka berani membumi hanguskan Arathra dan membuatnya menghilang dari catatan sejarah yang tengah mereka tulis ulang. 

Arathra adalah kerajaan di wilayah utara yang berisi para cendekiawan. Tanah mereka menyimpan ilmu pengetahuan dan sejarah Halstead. Hukum menuliskan bahwa para Pendiri dengan tegas berikrar bahwa tidak ada satu kerajaan pun yang boleh mengusik Arathra, apalagi menghancurkannya. Dan Voreia dengan senang hati meludahi hukum itu. Arathra dihancurkan dengan tuduhan pengkhianatan dan niat menghancurkan Voreia, nama kerajaannya dihapuskan, takhtanya terkubur bersama reruntuhan istana. Kini hanya tersisa kota Alnord yang diklaim menjadi milik Voreia—kota cendekiawan yang mengajarkan cara-cara Voreia. Tidak ada lagi yang namanya kerajaan Arathra.

Sejarah ditulis oleh mereka yang memiliki kekuasaan.

Voreia berambisi memiliki dunia, dan Anna meyakini dalam hatinya bahwa para cendekiawan Alnord kini menjadi penulis buku harian Voreia yang suatu saat nanti akan diagungkan menjadi sejarah sekaligus hukum di Halstead.

“Tidak ada pilihan lain, kau boleh kembali menemuiku setelah menentukan pilihanmu.” Ucap Jenderal final.

Anna menatap sebuah kertas dengan cap kerajaan Voreia di permukaannya. Andai saja amarahnya bisa membakar undangan itu, Anna juga berharap amarahnya bisa membakar Voreia hinga rata dengan tanah. 

“Rambut yang bagus,” Sahut Javias.

Anna medengus. “Aku sengaja memanjangkannya agar bisa kugunakan untuk mengikat Caesar Delano ke tiang gantungan.” Ia mendelik ke setiap orang di dalam ruangan sebelum berbalik dan pergi tanpa memberikan penghormatan kepada siapa pun.

©️MERITOCRACY, 2020

MERITOCRACY 3 : Internee

25 September 2020 in Vitamins Blog

42 votes, average: 1.00 out of 1 (42 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

 

 

Keheningan mereka diisi oleh suara kertak kayu yang dilahap api. Anna berusaha untuk tetap menjaga napas tenang ketika menyadari kenekatannya berada pada jarak yang berbahaya dengan pemilik netra biru yang terlihat setenang lautan. 

“Kau tidak akan menjawabnya?” Bisik Anna.

Laki-laki itu mengerjap merasakan napas Anna di wajahnya. Tidak ada jawaban.

Anna melebarkan jarak mereka namun tetap berada di poisisinya. Gadis itu menghela napas pendek dan kembali berkata, “Kau benar-benar punya masalah dengan kepercayaan, ya?” Ia menampilkan senyum separuh. “Baiklah, Tuan—”

“—Eric,” Kata laki-laki itu.

Anna kembali menatap dan menaikkan alis, merasa heran sekaligus menantang. 

“Senang mengetahui kau masih punya rasa tahu diri,” Ujar Anna. 

Laki-laki itu—Eric mendengus. “Kau bisa saja membunuhku dan melemparku ke tebing jika kau mau, bukan begitu?” 

“Entahlah, mungkin aku sengaja merawatmu agar kau punya cukup kesadaran ketika aku menyiksa dan menguliti dirimu secara perlahan hingga kau mati.” Anna menunjukkan senyuman manis yang sama sekali tidak cocok dengan tatapannya. 

“Apa kau selalu seperti ini?” 

“Seperti apa?” 

“Berbicara dengan sarkas,” 

Anna tertawa pelan. “Hanya salah satu bakat yang kupunya.” 

“Oh ya? Apa lagi bakat yang kau punya?”

“Aku juga punya bakat yang sama denganmu,” Ujar Anna yang mengundang kerutan di dahi Eric. “Pandai mengalihkan pembicaraan.” Lanjutnya.

Eric terdiam cukup lama. “Bagaimana kau tahu aku berasal dari utara?” 

Anna tersenyum masam. “Kau menyebutku seorang bandit, ingat? Anggap saja aku tahu masing-masing karakter setiap wilayah di Halstead.” 

Tidak sepenuhnya bohong dan Anna hanya menebak separuhnya. Pakaian serta gaya bicara laki-laki itu berbeda. Anna pernah melihat dan mendengarnya di Entshona—mengingat wilayah itu selalu ramai dikunjungi berbagai macam orang dari wilayah yang berbeda-beda. 

“Aku diserang,” Ujar Eric. Ada sedikit keraguan dalam nada bicaranya. Sekiranya ia menimbang-nimbang apakah gadis yang berperan sebagai penyelamatnya itu dapat di percaya atau justru membuat nasibnya bertambah buruk. “Hingga terseret ke tempat di mana pun kau menemukanku.” Lanjutnya. 

Penjelasan yang singkat. Penuh rahasia. Anna menggeram dalam hati. Memang seharusnya ia tenggelamkan saja pemuda ini.

“Baiklah, aku tidak akan bertanya apakah kau diserang sekawanan serigala atau domba.” Anna berucap penuh pengertian dengan sarkasme yang kental. 

Demi Halstead, siapa pun akan tahu bahwa laki-laki yang sekarat dan penuh luka di tengah hutan pasti karena diserang. 

Memang bukan urusannya. Dan Anna sama sekali tidak ingin terlibat dengan apa pun masalah Eric. Ia menghela napas dan mengakhiri percakapan. Mereka kembali bertatapan dalam diam seolah saling menilai. Anna menilai apakah Eric benar-benar seorang yang pendiam atau laki-laki itu hanya sengaja membuat jarak dan waspada terhadapnya.

“Apa yang kau lakukan?” Tanya Eric waspada. Matanya terus mengawasi Anna yang kembali mendekat dan menyentuhkan jari pada pada kancing tuniknya. 

“Tenang, aku tidak tertarik menyetubuhi laki-laki yang baru saja lepas dari sekarat.” 

Eric melongo mendengar penuturan Anna. Sedikit tidak percaya dengan kata-kata yang diucapkannya secara gamblang. 

“Lagi pula kau terlihat belum cukup umur untuk melakukannya.” Lanjut Anna dengan santai yang membuat Eric semakin melongo. 

Itu memang benar. Di mata Anna, Eric terlihat begitu muda sekali pun tubuhnya tegap dan terdapat otot-otot tubuh di tempat yang seharusnya. Wajahnya mulus tak bercela jika saja memar-memarnya menghilang.

Eric tertawa lirih. “Aku lebih tua dari yang terlihat.” 

Anna menatap Eric malas setelah selesai membuka seluruh kancing tunik laki-laki tersebut. “Aku bertaruh kau tidak lebih tua dariku.” 

Bukan tanpa alasan Anna berani melakukan tindakan itu—walaupun ia memang sedikit menikmati pemandangan tubuh tegap tersebut. Anna bersyukur jarinya tidak gemetar ketika melakukannya atau itu akan jadi sangat melakukan jika Eric menyadarinya. Bahu kiri laki-laki itu terlihat menyedihkan, terdapat luka menganga di sana. Cukup parah hingga Eric terlihat kesulitan untuk menggerakan tangan kirinya, maka dari itu Anna membantu. 

Anna membantu Eric untuk duduk tanpa bersandar hingga laki-laki itu sempat meringis merasakan nyeri, sementara ia bergerak menjauh untuk mengambil segala keperluannya. 

Ketika ia kembali, Anna melihat Eric sudah terduduk menyilangkan kakinya di atas ranjang. Tatapannya tak lepas dari Anna yang sedang bergerak ke sana kemari dan hal itu sedikit membuat Anna merasa tak nyaman. 

Anna meletakkan barang-barang yang diambilnya dan ikut duduk menyilangkan kaki di hadapan Eric. Ia merasakan darahnya mendidih ketika tatapan Eric tidak beralih dari dirinya yang tengah membantu laki-laki itu melepaskan pakaian atasnya. Tunik dan kemeja tipisnya yang penuh bercak darah di lepas, menyisakan kulit pucat yang tak sengaja bersentuhan langsung dengan jari-jari Anna. 

Sial, ini begitu intim. Anna merutuk dalam hati.

Sebenarnya bukan hal baru bagi Anna untuk mengobati orang-orang yang terluka. Anna bahkan pernah melihat dan menyentuh lebih dari sekadar tubuh bagian atas. Hanya saja, suasana saat ini—Anna bahkan merasa dadanya sesak. Pondok ini hal paling pribadi baginya, tidak ada yang pernah masuk selain dirinya dan Rei. Kemudian kini ia berada di dalamnya bersama laki-laki asing yang sialnya tampan dan membagi ranjangnya untuk ditempati. Anna bertanya dalam hati apakah ada yang lebih buruk dari pada ini.

Anna bergerak membersihkan tubuh tegap yang penuh luka itu dengan kain basah. Mulai dari leher, kemudian tubuh bagian depan, belakang, bahu yang tidak terluka hingga kedua lengan kokohnya—Anna tidak berani membantu Eric membersihkan wajahnya. Ada gelenyar aneh yang terasa ketika kulit mereka saling bersentuhan, menghantarkan hawa panas yang sama seolah mereka sama-sama terbakar akan sentuhan-sentuhan itu. Anna tidak yakin mampu menahan dirinya untuk tidak merona. 

Berulang kali Anna menguras kain itu hingga air di dalam wadah terlihat gelap dipenuhi darah dan kotoran. Ia bahkan turun beberapa kali dari ranjang untuk mengganti airnya dengan air hangat yang bersih. 

Tubuhnya sedikit menegang ketika pergelangan tangannya yang memegang kain tiba-tiba dilingkupi sebuah tangan kasar. Anna menaikkan pandangan menatap mata biru Eric dan melihat rasa nyeri di sana ketika Anna bergerak membersihkan luka di bahunya. Tidak ada yang lebih parah dari itu, bagian lain tubuhnya hanya memar. Mungkin laki-laki itu sekarat karena nyaris kehabisan darah dari luka di bahunya. Eric sedikit terkejut dan melepaskan genggamannya pada Anna, membiarkan gadis itu merawat lukanya. 

Anna bahkan memberikan Eric kemeja putih tipis yang baru dan bersih kemudian membantu memakaikannya juga setelah luka dibahunya diberi obat. Ia tidak tahu apa tujuan Rei meletakkan beberapa potong pakaiannya di pondok Anna, tapi ia bersyukur karena itu. 

Gadis itu membereskan segala hal yang diperlukan untuk mengobati Eric dan menjauh dari ranjang. Pakaian Eric tak lupa ia bawa dan ia letakkan di atas tumpukan pakaian kotor miliknya. 

Ia kembali ke ranjang dan membawa kain yang cukup panjang di tangannya. Dengan hati-hati ia menggerakkan lengan kiri Eric hingga laki-laki itu mendesis. Anna menarik kedua ujung kain itu dan berlutut untuk membawa kedua tangannya melingkari leher Eric.

Anna bersumpah mendengar pemuda itu tercekat.

“Dari mana kau belajar merawat luka?” 

Anna meremang mendengar suara rendah Eric di telinganya. Posisi kepala mereka begitu dekat, Anna bahkan merasakan rambut Eric sedikit menyentuh pipinya. 

Kain itu tersimpul di tengkuk Eric dan menyangga lengan kirinya yang tertekuk. Setidaknya itu membantu meringankan nyeri luka di bahunya. 

Anna kembali ke posisinya semula sebelum menjawab, “Ketika kau menjalani hidup dengan penuh luka, kau akan mampu merawat luka itu dengan sendirinya.” 

“Jadi, kau sering terluka.” Itu sebuah pernyataan.

“Salah satu risiko dari pekerjaanku.” Anna mengedikkan bahu.

Eric menyipitkan mata. “Kau benar-benar seorang bandit?” 

Alih-alih memberikan jawaban, Anna justru mengangkat sebelah alis, menantang laki-laki itu untuk mencari sendiri jawaban dari pertanyaannya. 

“Beristirahatlah, besok pagi kau perlu membersihkan bagian tubuhmu yang lain.” Ujar Anna sambil turun dari ranjang. 

Ia melangkah ke perapian dan menambahkan kayu bakar ke dalamnya. 

“Kau akan tidur di mana?” 

Anna menoleh dan melihat keraguan di mata Eric. “Jika kau ingin aku berbaring di sampingmu, aku minta maaf karena mengecewakanmu. Tetapi aku tidak akan tidur.” 

“Kenapa?” 

“Tidak ada alasan, aku hanya tidak tidur di malam hari.” 

“Kau tidak—apa?” Eric nyaris tersedak ludahnya sendiri.

Anna mendengus. “Aku baru tahu bahwa selamat dari kematian bisa membuatmu tuli.” 

Ia melangkah kembali ke arah ranjang dan meletakkan nampan berisi semangkuk sup dan segelas air ke hadapan Eric. 

“Lalu, apa yang kau lakukan?” 

Anna bersedekap. “Apa pun yang bisa dilakukan di malam hari, seperti… kau tahu,” Ia mengedikkan bahu sambil mengangkat sebelah alis menggoda Eric. Seringai nakal terbit di bibir tipisnya. 

Melihat Eric yang terdiam Anna berbalik dan mengambil pakaian kotor Eric kemudian menyambar jubahnya yang tergantung di pintu. “Makan, kemudian beristirahatlah, dan kalau kau ingin pergi besok—atau pun malam ini, silakan. Tetapi kuberi tahu satu hal, kau tidak akan selamat sampai utara dengan kondisi seperti itu. Butuh sekitar beberapa hari hingga kau bisa menggerakkan tangan kirimu itu.” 

“Terima kasih… kau baik sekali.” 

Anna mengenakan tudung jubahnya kemudian menatap sekali lagi dan memberikan senyum mengejek ke arah pemuda yang duduk di atas ranjangnya sebelum membuka pintu.

“Masih berpikir aku seorang bandit?”

•••

Tangan ramping itu bergerak merapatkan gaun tidurnya sambil berjalan ke arah pintu rumah yang diketuk. Matanya sontak membelalak melihat sosok yang berdiri di depan pintu rumahnya yang kini terbuka. 

“Maaf, aku tahu ini sudah larut—”

“Nona Annalise?!”

Sosok di depan rumah itu—Anna—meringis melihat reaksi dari si pemilik rumah. “Hai Sezya.” 

“Aku tidak melihatmu selama musim panas! Ya Tuhan, maafkan aku—apa kau ingin masuk, Nona?” 

Anna tertawa pelan. “Tidak, terima kasih. Aku hanya ingin mengantarkan sesuatu.” Ujar Anna sambil mengulurkan pakaian kotor milik Eric ke Sezya. “Apa kau bisa memperbaikinya?” 

Gadis yang ditanya menunduk untuk memeriksa pakaian di tangannya. “Ya, aku akan mencobanya.” 

Keluarga Sezya adalah pemilik usaha penatu di daerah hilir sungai seberang hutan tempat tinggal Anna. Daerah ini bersebelahan dengan desa kecil bernama Empuma—kedai milik Lozard ada di desa itu. Daerah yang cukup jauh dari ibu kota, butuh waktu beberapa jam berkendara untuk bisa sampai ke sana.

Daerah yang cukup tenang dan nyaman untuk ditinggali, namun Anna tidak ingin mengambil risiko dengan menetap di daerah secara permanen. Maka dari itu Anna membangun pondoknya sendiri di tengah hutan, dan pergi ke daerah sekitar sini jika memerlukan sesuatu. 

Mereka mungkin akan menganggap Anna sebagai pekerja serabutan apabila tidak dapat menilai cara Anna bergerak dan gaya bahasa yang digunakannya. 

Mereka tahu Anna seorang bangsawan, hanya saja mereka tidak tahu gadis itu putri bangsawan mana. Dan untungnya mereka tidak cukup usil untuk mengorek identitas Anna. Seperti contohnya keluarga Sezya, tak ada seorang pun yang pernah bertanya tiap kali Anna membawa setumpuk pakaiannya yang penuh noda darah dan robek di beberapa bagian. Beberapa kali menggoda namun itu tak jadi masalah.

“Senang melihatmu, Sezya. Maaf mengganggumu selarut ini.” Ujar Anna penuh sesal.

Sezya menggeleng sambil tersenyum lebar. “Aku senang kau datang, Nona. Sebelumnya aku sedikit mengkhawatirkanmu, aku lega bisa melihatmu sekarang” 

“Kapan aku bisa mengambil pakaian itu?” 

“Hm, akan kuselesaikan secepatnya. Kau bisa mengambilnya besok sebelum malam tiba, Nona.” Jawab Sezya. Dahinya mengernyit ketika memandangi pakaian itu. “Pakaian ini mewah sekali. Aku sempat berpikir bahwa kau mencurinya dari seorang bangsawan setelah menghadangnya di tengah jalan, Nona Annalise.” 

Anna terbahak mendengar tuduhan Sezya yang penuh candaan sebelum memutar kedua matanya malas. 

“Sebenarnya, kini bangsawan itu jadi tawananku.” 

•••

Anna benci kabut. Dan ia sedikit menyesali keputusannya untuk pulang dari kedai Lozard ketika fajar baru menyingsing. Harusnya ia menunggu beberapa jam lagi agar ia tidak kesulitan berjalan di tengah hutan dengan kabut menyebalkan yang menyakitkan mata kantuknya.

Tubuhnya meronta untuk diistirahatkan setelah semalaman tertawa bersama sekelompok pendekar bayaran yang menceritakan kisah-kisah konyol mereka. Membayangkan ranjangnya yang nyaman di pondok tercinta—

Sialan, kini ada orang lain di ranjang kesayangannya. 

Anna merutuk merasakan kepalanya berdenyut—entah karena terlalu mengantuk dan dipaksa mencari jalan pulang di tengah kabut atau karena memikirkan pemuda tampan setengah bisu dan bodoh yang sudah dua hari mengklaim ranjangnya miliknya.

Mengingat berita yang dilaporkan Lozard juga tidak membuat pikirannya menjadi sejernih sungai yang baru saja dilewatinya. Lozard yang dini hari tadi baru saja kembali dari penginapan milik salah satu saudaranya membawa kabar yang Anna tidak ketahui statusnya. Baik atau buruk.

Utusan yang membawa undangan Purvation telah sampai di selatan. 

Mengingat utusan itu beristirahat di penginapan milik saudara Lozard yang letaknya di pinggir kota, itu artinya Anna harus berangkat ke istana tengah malam nanti. Membayangkan hal itu Anna memutuskan untuk tidur hari ini hingga matahari terbenam. 

Anna mengernyit setelah melihat wujud pondoknya. Bukan, bukan karena pondok itu tiba-tiba berubah menjadi kastil atau semacamnya. Itu karena ada sosok lain yang sama-sama menuju pondok itu. 

“Kau bisa berjalan?” Ujar Anna sedikit heran.

Laki-laki itu sedikit tersentak karena kemunculan suara yang tiba-tiba. 

“Kurasa aku akan baik-baik saja setelah berbaring dua hari.” 

Anna mengangguk sambil tersenyum masam. Memikirkan kalimat pemuda itu yang mengatakan telah berbaring nyaman di ranjangnya selama dua hari, Anna masih berharap tidak akan menyesal menolongnya. 

Namun ketika melihat penampilan segar pemuda itu dan dari mana arah kemunculannya, ia mengernyit. “Kau dari danau?” 

“Kau menyuruhku untuk membersihkan diri pagi ini, ingat?” 

“Itu—cukup jauh. Kusimpulkan kau tidak tahu ada sungai di dekat sini.” 

Ya, Anna bisa saja memberi tahu pemuda itu sebelum ia pergi. Tetapi rasanya terlalu baik, dan Anna sungguh ingin cepat-cepat pergi dari pondok akibat sesi mengobati pemuda bangsawan tampan yang cukup mendebarkan hingga ia lupa memberitahunya. 

Berpikir bahwa Anna bisa saja memberi tahunya semalam, Eric sudah siap untuk mendebat gadis itu sebelum menyadari raut lelah yang terpampang di wajah cantiknya. “Semalam kau benar-benar tidak tidur?” 

Anna mendengus. “Aku tidak akan mendapat keuntungan dari membohongimu.” 

“Kau benar-benar tidak berbohong?” 

“Apa yang sebenarnya ingin kau katakan?” 

“Jika aku bertanya itu artinya kau tidak akan menjawabnya dengan kebohongan, kan?” 

Anna terdiam. Dan Eric benar-benar jengah ditatap seperti orang bodoh oleh Anna.

“Apa kau benar-benar seorang bandit?” 

“Kau bercanda? Itu yang kau tanyakan?” Anna mendengus.

“Jawab saja.”

“Aku lebih suka pada tuan bangsawan pendiam yang selalu memelototiku dan tidak percaya pada setiap kata-kataku dari pada kau. Ke mana perginya orang itu?” 

“Kau bilang kau tidak akan berbohong.” 

“Aku tidak berbohong.”

“Kau mengalihkannya.” Desis Eric.

Anna mengedikkan bahu. “Memang sudah jadi salah satu bakatku, ingat?” Matanya menatap naik dan turun pada Eric yang terlihat bersih dan segar.

“Apa yang kau lihat?”

“Kau terlihat…” Anna mengerutkan kening seolah berpikir keras. “… seperti manusia,” 

Eric terperangah. “Apa sebelumnya aku tidak terlihat seperti manusia?” Memang mustahil mendapatkan pujian dari seorang Anna.

“Hmm, kau lebih terlihat seperti makan siang sekawanan burung gagak sebelumnya.” Ujar Anna santai. 

“Kau benar-benar tidak akan menjawabnya?” 

“Itu pertanyaan tidak penting yang sudah kau tanyakan sebanyak tiga kali. Kau dengar itu? Tiga kali! Lagi pula apa inti dari pertanyaan itu?!” Astaga, Anna benar-benar sakit kepala sekarang. 

Eric mengedikkan bahu. “Aku hanya ingin tahu apa yang dilakukan penyelamatku agar aku bisa membalasnya dengan sesuai.” 

Anna mendesis. “Bedebah sialan. Simpan saja utang budimu, aku yang berhak memutuskan untuk dibalas dengan apa, bagaimana, kapan, dan di mana.” 

“Kau sebaiknya istirahat.” Ujar Eric pada akhirnya. Berdebat di pagi hari adalah salah satu hal yang ingin ia hindari. Mengawali hari dengan berdebat bisa membawa nasib buruk. 

“Maaf, tetapi aku tidak menerima perintah dari bocah bodoh pesakitan.” 

“Bocah?!” Eric berjengit. “Baiklah, terserah. Sepertinya aku sudah melewati batas sikap sebagai seorang tamu.” Ucapnya datar.

“Kalau kau sadar, kau itu seorang tahanan.” Anna terkekeh penuh ironi. 

“Apa?” 

Mengabaikan Eric yang hampir membuat kepalanya pecah, Anna berjalan ke arah pintu dan hampir membukanya sebelum teringat sesuatu.

“Kau berniat untuk tinggal di sini sampai sembuh?” 

Eric meneleng. “Mungkin,” Katanya. 

Anna terdiam cukup lama. “Aku akan pergi—kemungkinan beberapa hari, kau bisa mengurus dirimu sendiri?” 

Logika Anna tidak dapat menemukan alasan mengapa ia harus memberitahu hal itu pada Eric.

“Aku bukan bayi,” 

Anna menghela napas kasar. “Jangan hancurkan pondok ini sampai aku kembali, atau aku akan memburumu hingga ke ujung dunia jika kau berani melakukannya.” 

Mereka terdiam dan menatap cukup lama hingga akhirnya Eric mengangguk menyetujui. 

“Lihat, kan? Kau itu tawanan.” Anna menutup pintu setelah menyeringai sadis ke arah Eric.

©️MERITOCRACY, 2020

MERITOCRACY 2 : Lost Sapphire

25 September 2020 in Vitamins Blog

54 votes, average: 1.00 out of 1 (54 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

 

 

Hati Rei terenyuh melihat sosok itu lewat tanpa menyadari kehadirannya—atau mungkin memang sengaja mengabaikannya. Hampir satu tahun ia pergi, apakah gadis itu merindukannya juga? Ia ingin sekali menghampirinya, namun terasa seolah-olah ada penghalang tak kasatmata di tengah-tengah mereka. Pembicaraannya dengan Anna kemarin sama sekali tidak membantu. Rei ingin sekali mencekik Anna kalau saja ia tega melakukannya.

“Kau ditugaskan pada bagian apa? Mata-mata? Aku pikir kau ahli di bagian itu, agenda berkelanamu jadi memiliki tujuan.” Ujar Rei.

Anna menatap nyalang dan berkata,” Sialan, tentu saja aku berkelana dengan tujuan. Untuk apa aku melakukannya jika tidak memiliki tujuan? Pelajaran utara memang sama sekali tidak cocok dengan otakmu.” 

“Seorang Lady tidak boleh mengumpat.” Rei memberi tatapan peringatan disertai geli yang terlihat di matanya. “Kau akan menjawab pertanyaanku atau tidak?” 

“Aku bekerja untuk sang Putri,” Anna mendesah. Seakan-akan itu adalah hal yang paling menyebalkan untuk ia kerjakan. 

Rei tidak bisa menahan kekehannya. “Kau melewati neraka hingga bisa ikut ujian itu dan setelah kau menjadi salah satu prajurit paling dihormati, kau hanya ditempatkan ke sisi sang Putri? Jenderal pasti sangat-sangat tidak menyukaimu.” 

Anna kembali menghela napas. Percuma mendebat Rei, semua perkataannya memang benar. “Aku bertekad menuliskan sejarah tetapi pada akhirnya tetap saja menyedihkan.” 

“Hey, namamu tetap akan dijadikan perempuan pertama yang menjadi Cuvari dalam sejarah Dienvidos—atau mungkin Halstead. Itu bagus.” Rei menyemangati. “Aku pikir kerajaan lain belum punya seorang Cuvari perempuan.”

Anna mengangguk dan tersenyum masam. “Tidak begitu membangun, tapi setidaknya kau sudah mencoba menghiburku.” 

“Lalu kau melakukan apa untuknya? Memakaikan gaun… menyisir—”

“Tentu saja tidak!” Sergah Anna. “Aku bertanggung jawab sebagai kepala pengawal pribadinya, bukan sebagai salah satu pelayannya.”

“Itu lumayan—tunggu, kalau begitu kau yang memperketat penjagaannya?” 

“Aku melakukannya karena aku akan melarikan diri dan berusaha memikirkan keselamatannya apabila aku tidak ada di sisinya,” Anna meringis sambil tersenyum seakan-akan tidak ada yang salah.

“Kalau begitu kenapa aku harus menyusun rencana untuk bertemu dia? Kau hanya perlu menyuruh anak buahmu menyingkir.” Ucap Rei berbinar. 

Anna mengerjap menatap Rei seolah baru tersadar akan satu masalah. “Aku pikir itu jadi masalah,” 

“Apa maksudmu?” Rei mengernyit.

“Kau tahu, aku belum bisa masuk ke istana setelah tragedi—pernikahan—melarikan diri. Jadi aku belum bisa memberi perintah apa pun untuk mereka.” Jawab Anna sedikit gugup.

“Kau bisa memberi perintah lewat surat.” 

Anna terlihat berpura-pura berpikir keras. Mencoba menjawab tanpa menyakiti hati sang sahabat. “Karena kehadiranku tidak ada di sana, kemungkinan besar surat itu akan sampai ke tangan Jenderal untuk perihal konfirmasi. Jadi, menghindari terdengarnya kabar bahwa aku sudah kembali ke Dienvidos, untuk saat ini aku tidak bisa—tidak boleh melakukan apa-apa.” 

Rei mengerjap menghilangkan suara menyebalkan Anna dari kepalanya. Ia tidak percaya yang membuatnya dalam kesulitan untuk menemui sosok yang dirindukannya adalah sahabatnya sendiri. 

Kepada semesta Rei memanjatkan doa semoga sahabatnya yang kurang ajar itu segera bertemu cintanya dan mengalami kesulitan yang sama seperti dirinya. 

•••

Suara ricuh terdengar ke penjuru pondok dan Anna tidak peduli tentang itu. Ia sedang berada di tengah-tengah kegiatan membersihkan pondoknya yang terbengkalai selama setengah tahun dan tidak akan ada yang dirugikan. Kecuali para binatang—mungkin ia hanya akan menakuti seekor kelinci yang lewat di sekitar pondoknya.

Ringisan seseorang di atas tempat tidurnya pun tak ia hiraukan. Ranjang berderit dan terdengar suara benturan logam dan kayu. 

“Aku sarankan untuk berpikir kembali sebelum kau melemparkan sendok itu padaku.” Cetus Anna tanpa membalikkan tubuh. Atensinya terpaku pada rangkaian bunga yang baru saja ia buat dan hendak ia tempelkan ke dinding. 

“Siapa kau? Mengapa aku ada disini?” 

“Setidaknya bisakah kau minum air? Suaramu menggangguku.” Sahut Anna.

Anna berbalik setelah menyelesaikan pekerjaannya dan menatap pemuda yang duduk bersandar di atas ranjangnya.

Demi Halstead dan seluruh kekayaannya, ada seorang laki-laki di ranjangnya!

Baiklah, bukan masalah besar. 

Dengan langkah santai Anna berjalan menghampiri ranjangnya dan duduk di pinggirnya. Mata dengan iris madunya yang tajam membalas mata sebiru safir—namun lebih gelap dan lebih terkesan seperti lautan dalam—yang kini menunjukkan kesan menuntut.

Sial, dia tampan. Anna baru sadar akan hal itu.

Pandangan Anna turun pada bibir si pemuda yang terlihat basah, sepertinya ia menuruti perintah Anna untuk minum air yang sudah Anna sediakan. Bibir bawahnya terluka di sudut kanan. Anna sedikit menahan diri untuk tidak menyentuhnya untuk memeriksa apakah masih terasa sakit.

Ayolah Anna berpikir yang benar!

Anna kembali menatap mata biru itu sambil bergerak untuk mengambil sendok yang tergenggam di tangannya dan mengacungkannya tepat di antara wajah mereka.

“Kau tidak akan bisa membunuhku dengan benda ini.” Desis Anna. Namun entah mengapa kalimat selanjutnya terdengar sangat lembut. Astaga, Anna benci mendengar suaranya sendiri. “Tapi benda ini akan membunuhmu apabila kau tidak menggunakannya dengan benar.” 

Ia meletakkan sendok itu ke dalam mangkuk sup yang berada di atas meja kecil di sebelah ranjang. 

Anna berdiri di sisi ranjang dan bersedekap. “Aku tidak akan membantumu, aku rasa kau bisa melakukannya sendiri.” 

“Kenapa kau menolongku?” Suara pemuda itu masih terdengar tajam. 

Kedua bola mata Anna berputar malas. Ia sungguh berbuat sia-sia dengan membuang tenaganya untuk menyeret pemuda yang bobotnya bisa jadi dua kali lebih berat dari berat badan Anna sendiri. Harusnya ia tenggelamkan saja tubuh pemuda itu ketika mereka melewati danau.

“Makan saja makananmu, aku tidak mau kau mati kehabisan tenaga dan membuatku kesulitan membuang mayatmu.” Geram Anna.

“Bagimana aku tahu kau tidak meletakkan sesuatu di dalamnya?” 

Anna masih berharap hatinya tidak akan berkata menyesal menolong pemuda tersebut. 

Anna mendengus dan berkata, “Ya, kau benar. Kau tidak perlu memakannya, ada air liurku di dalamnya.”

Mata pemuda itu beralih memindai penjuru pondok. Anna sedikit bersyukur sempat membereskannya. Tunggu, mengapa ia harus peduli dengan penilaian makhluk kurang ajar yang meragukan kebaikan hatinya? 

“Aku akan pergi, kalau kau masih berpikir ada racun di makanan itu aku justru menyarankan kepadamu untuk memakannya. Itu akan membunuhmu lebih cepat daripada harus menderita dan mati perlahan.” Cerca Anna tajam. 

Gadis itu berbalik dan melangkah menuju pintu mewujudkan niatnya untuk pergi.

“Kau tinggal disini?” Tanya pemuda itu. 

Kini Anna merasa bahwa nada suara laki-laki itu memang selalu terkesan mengancam, sama seperti dirinya yang tak bisa menahan kesinisannya sekalipun ia berusaha ramah dan selalu mengumbar senyum. 

“Ya.” Ujar Anna malas.

“Kau seorang bandit?” 

Anna mengernyit dan mulai memindai pondok serta penampilannya. Berdasarkan semua itu ia memang pantas disebut bandit. Anna berhenti memakai gaun sejak memutuskan masuk ke istana dan berlatih untuk menjadi seorang prajurit. 

“Untuk ukuran seseorang yang hampir mati aku pikir kau terlalu banyak bicara. Simpan saja tenagamu andai kata kau berpikir untuk melarikan diri.” Ujar Anna sinis.

“Siapa kau?” 

“Baiklah, karena kau sekarat dan dalam beberapa jam atau beberapa menit kedepan kau akan berjumpa dengan maut, aku pikir aku bisa memberitahumu” Anna menghela napas jengah. Ia sedikit benci jadi orang baik.

Anna menatap intens pemuda itu sebelum berbalik melangkah keluar pintu.

“Mereka memanggilku Annalise.” 

••• 

Saat melihat Valos memasuki kedai milik Lozard, Anna melancarkan rencananya. Ia membawa gelas besar berisi bir di tangannya dan berjalan pelan ke arah lelaki paruh baya yang sibuk menyapa para pelanggan lain. 

“Oh! Maaf, Nona.” Ucap Valos penuh penyesalan. Ia tak menyadari ada seseorang lewat di hadapannya.

Anna hanya mengangguk, sambil menunduk membersihkan jubah tipisnya yang terkena tumpahan bir dan berjalan ke meja yang berhadapan langsung dengan si pembuat minuman. Valos menyusul dan duduk di sampingnya. Ini sungguh menyenangkan. 

Anna sengaja menggerai rambutnya yang panjangnya kini menyentuh pinggangnya. Rambut hitam lebatnya membantu menutupi wajahnya. Hingga akhirnya di tengah-tengah percakapan Valos dan Lozard ia menyela dengan tenang. 

“Semua orang benar-benar melupakanku, Lozard.” Ucap Anna lesu.

Valos terkejut dan langsung menatap Anna dengan mata membelalak. “Anna?!” 

Anna tertawa dan menyibak rambut yang menutupi wajahnya. “Aku pikir aku pergi terlalu lama. Bukan begitu, Lozard?” Goda Anna pada Lozard di balik meja.

Anna semakin terbahak ketika Valos menariknya ke dalam dekapan hangat. Ia akan mencoret Rei dari daftar orang yang ia rindukan dan menggantinya dengan Valos. 

“Aku merindukanmu, Little Sun.” Keluh Valos. Tangannya tak berhenti mengusap kepala Anna gemas. 

“Aku juga merindukanmu, Valos.” Anna menghela napas panjang. Rasanya seperti berada di rumah. Sangat nyaman.

Valos melepas dekapannya dan menatap Anna dengan berbinar-binar. “Lihat dirimu, kau begitu—”

“Terbakar?” Tanya Anna tanpa melepas senyum lebarnya.

Valos terkekeh. “Keemasan. Kau benar-benar terlihat seperti matahari, Yang Mulia.” 

Anna seketika merengut. “Jangan menggodaku seperti itu.”

Mereka berbincang dengan Lozard sebelum akhirnya ditinggal berdua. Seperti biasa. 

“Bocah Solas menghampiriku tadi malam.” Ucap Valos.

“Rei? Kenapa?” Anna mengernyit.

“Awalnya ia hanya menanyakan tentang… kau tahu—penyebab kau melarikan diri,” 

Pernikahan. Ya, Anna sudah menebaknya.

“Lalu?” 

“Kemudian ia mabuk dan mulai mengeluh tentang betapa jahatnya dirimu yang tak mau membantunya bertemu dengan sang Putri,” Valos terkekeh geli seakan-akan itu hal terlucu yang pernah ia dengar. 

“Aku hanya berusaha jujur.” Balas Anna.

“Dan kemudian ia mulai berbicara hal yang mungkin harusnya ia ceritakan padamu. Aku sedikit bersyukur ia tidak mengatakan itu keras-keras.” 

“Sesuatu yang penting?” Tanya Anna.

Valos mengangguk. “Sedikit. Aku sudah mendapat beritanya sekitar empat hari yang lalu, dan bocah Solas itu membuatku yakin bahwa berita itu konkret.”

“Apa itu?” 

Valos melirik ke sekeliling sebelum berucap pelan dengan berusaha membuat ekspresi yang tidak akan mengundang perhatian. “Voreia semakin berlaku kejam kepada para budak, bahkan masyarakat mereka yang miskin dan yang mereka pikir sudah tidak mampu menghidupi keluarga akan dipaksa untuk bekerja seperti budak. Mereka yang diperlakukan seperti budak ketakutan dan merasa terpenjara, sementara perbatasan semakin dijaga ketat, penduduk utara yang bukan bangsawan atau kelas menengah tidak diperbolehkan keluar wilayah.”

“Apa yang mereka lakukan? Bagaimana nasib anak-anak?” Anna berusaha sekuat mungkin menjaga amarahnya. 

“Sejauh yang aku tahu mereka akan diuji. Yang memiliki pontensi akan dididik menjadi prajurit untuk yang laki-laki, dan yang perempuan akan dijadikan pelayan atau entah apa. Sedangkan yang tidak memiliki potensi—aku rasa kau tidak ingin mengetahuinya.” 

“Itu masalah besar, bukan?” Tanya Anna.

“Itu bisa jadi masalah besar nantinya. Bila terus seperti itu mereka akan kehilangan budak dan prajurit akan semakin terhimpun. Kau tahu apa artinya?”

“Invasi.” Lirih Anna.

“Mereka akan memperbudak kerajaan lain hingga pada akhirnya tidak ada yang tersisa.”

Anna menelan murka. “Ada lagi?”

“Undangan Purvation telah dibagikan.” 

“Aku tahu yang itu.”

“Kau tahu?” 

Anna mengangguk. “Itulah alasan kepulanganku. Aku perkirakan mereka akan sampai ke istana dalam tiga hari—atau lebih. Tergantung bagaimana mereka melakukan perjalanan.”

“Bagaimana kau bisa tahu?” Valos mengernyit.

Anna mendesah. “Aku ada di Plaza Sprevest pada waktu itu, lalu secara kebetulan bertemu Askar dan kami berakhir makan malam bersama keluarganya.” 

“Kau bedebah cilik yang selalu dikelilingi Putra Mahkota, sebenarnya apa yang telah kau lakukan di masa lampau?” Valos terkekeh.

“Percayalah, aku juga masih bertanya-tanya,” Anna mendengus. “Kemudian ia menceritakan pengalamannya di Noarden, kau tahu—Kerajaan di utara yang berisi Pendeta-Pendeta Agung.”

“Para bajingan fanatik.” Desis Valos.

“Begitulah, ia mendengar bahwa undangan Purvation akan dibagikan, dan di malam itu pula aku langsung kembali ke sini. Aku harap prediksiku tidak salah.” Ucap Anna mengedikkan bahu. 

Valos mengangguk. “Kau sudah punya rencana untuk itu?” 

“Aku selalu punya rencana, Old Man.” Balas Anna menyeringai.

Good luck, Little Sun.” 

“Ya, aku memang benar-benar butuh keburuntungan itu.” 

•••

Anna membuka pintu pondoknya dengan perlahan. Dalam hati berharap pemuda—tampan yang sedikit membuatnya goyah—yang ia selamatkan kemarin sudah pergi melarikan diri, atau mati. Meskipun Anna lebih suka pilihan pertama. 

“Annalise?” 

Astaga, orang itu masih disini.

Anna sedikit menelan ludah gugup. Harusnya ia tetap di kedai Lozard sampai pagi dan membiarkan pemuda itu mati membusuk di pondok ini alih-alih pergi menemui seorang tabib dan mencari obat kemudian kembali kemari.

“Kenapa sangat gelap?” Anna mengernyit melihat pondoknya yang remang-remang. Sumber penerangan hanya berasal dari satu lilin yang terletak di atas meja samping ranjang. 

“Hanya ini yang kutemukan.” Jarinya menunjuk lilin yang ia maksud.

Anna bergerak tenang namun cekatan mengambil lilin tanpa terganggu kegelapan. Tinggal di dalam hutan membantunya memiliki kemampuan tersebut. Tanpa menunggu waktu lama, pondok menjadi terang benderang. Pemuda itu masih tetap di posisi seperti yang terakhir Anna lihat. Ia mendekat ke ranjang kemudian pandangannya menubruk pada mangkuk dan gelas kosong. 

“Melihat kau masih bernapas aku bisa menebak sepertinya kau membuang makanan ini.” Cibir Anna sembari merapikan alat makan dan membawanya ke tempat pencucian. Anna jadi teringat untuk mengambil kayu bakar.

“Kau menolongku.” 

Baiklah, itu sebuah pernyataan. Anna masih bersimpuh dan berkutat di depan perapian untuk menghidupkannya. Apakah seharusnya ia memberi respon? 

“Percayalah, sebenarnya aku akan melemparmu dari tebing kalau kau tidak menarikku. Sebelum itu aku bahkan tak ingin repot-repot memperhatikan apakah kau masih bernapas atau tidak.” Ujar Anna.

Keheningan menyapa sebelum akhirnya suara berat itu kembali terdengar.

“Kau tidak tahu siapa diriku,” pemuda itu melirih pelan. Kalau saja Anna bukanlah Anna, mungkin ia tidak akan bisa mendengarnya.

Gadis itu berbalik kembali mendekat ke ranjang dan berdiri di sisinya. 

“Aku tahu siapa kau,” 

Pemuda itu mengerjap dan mendongak menatap Anna tepat di mata. 

Anna bersumpah melihat mata pemuda itu sedikit melebar ketika Anna mengambil langkah dan memberanikan duduk di tepi ranjang. Situasi ini memang cukup berbahaya dalam beberapa hal.

“Jadi, katakan padaku. Kusarankan untuk jujur, karena aku akan tahu jika ada kebohongan—bahkan secuil,” 

Bohong. Anna ragu bisa menebak kebohongan pemuda itu, tapi ancaman adalah hal yang cukup benar untuk dilakukan saat ini.

Gadis itu membungkuk, menatap sejajar wajah tampan di hadapannya dengan begitu dekat. Kehangatan dari perapian sedikit kalah dengan hangat napas yang saling menerpa wajah mereka. Anna tersenyum, menatap tajam mata biru yang berkelip karena api.

“Apa yang menyebabkan seorang bangsawan utara sekarat di wilayah selatan?”

©️MERITOCRACY, 2020

MERITOCRACY 1: Consciences

25 September 2020 in Vitamins Blog

63 votes, average: 1.00 out of 1 (63 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

 

 

 

Anna menghela napas lelah. Manusia memang tak pernah berhenti berbuat ulah. Ia melangkahkan kaki mendekat ke arah tubuh terbujur kaku yang ia yakini sudah tak bernyawa. Tidak ada keraguan dari langkah kakinya, hanya langkah malas dengan ekspresi wajah penuh ironi menatap mayat tersebut.

Untung saja makanan di dalam perutnya tidak meronta-meronta untuk dikeluarkan karena mencium aroma tak sedap yang berasal dari mayat yang kini ditelisiknya. 

Bukan hal asing baginya untuk menemukan mayat. Ini hutan, apa lagi yang bisa ditemukan selain pepohonan, hewan, dan bangkai—hewan atau pun manusia.

Anna sedang tidak ingin berbaik hati pada sekawanan burung gagak karena nuraninya mengambil alih. Ia mengambil berbagai macam benda yang mudah terbakar dan menumpuknya di atas mayat tersebut. Anna menunggu cukup lama—mungkin terlalu lama karena matahari kini berada tepat diatas kepalanya—untuk dapat melihat mayat itu berubah menjadi setumpuk abu. Ketika angin berembus kencang, dalam hati Anna berharap bahwa jiwa yang malang itu bisa mendapat ketenangan dimana pun jiwanya berakhir. 

Ia bukan orang yang begitu beriman. Anna hanya cukup percaya pada hukum alam. Tidak ada yang ingin mati sendirian, tidak seorang pun. Dan Anna berharap kepada siapa pun pemilik dan penggerak semesta ini, agar suatu hari nanti ia tak mati sendirian atau setidaknya akan ada orang yang bersedia memberikan Anna pemakaman yang layak meskipun hanya sekedar dikubur atau dibakar tanpa doa-doa pengiring.

Berbalik meninggalkan tempatnya, Anna melangkah menuju pondok kecil miliknya di seberang danau yang terletak ditengah-tengah hutan belantara ini. Orang waras mungkin tidak akan melakukan tindakan yang dilakukan Anna dengan tinggal di hutan dan terancam mudah terbunuh binatang buas. Tetapi sekali lagi, Anna terlalu pintar dan butuh lebih dari sekadar binatang buas agar dapat mengantarkan ajal padanya.

Semakin mendekat ke pondok seluruh tubuh Anna menegang waspada. Indranya menajam. Ada seseorang yang mengawasinya.

Terdengar suara batang pohon yang berderit tak biasa. Siapa pun yang mengawasinya berada di tengah kerimbaan hutan. Anna sontak mengambil belati di pinggangnya dan bergerak secepat kilat ketika mendengar kerusuhan di pohon sebelah kirinya. Orang itu melompat dan hampir menerjang Anna bila saja gadis itu tidak mengambil langkah menjauh sebelum berbalik dan menodongkan senjatanya kepada siapa pun yang berniat mendekatinya dan merobek kulit—

“Whoa! Tahan! Ini aku, Lady!” Suara berat dengan gelagap penuh kepanikan hadir dari sosok dihadapannya.

Anna mengerutkan kening heran. Ia hampir saja membunuh si bodoh ini karena tingkahnya yang membuat Anna tegang. Sungguh, Anna sedang tidak ingin melukai—apalagi membunuh siapa pun, dan pengalamannya tinggal di pulau kecil di wilayah barat selama enam bulan nyaris menjadikan Anna pendeta yang menekuni kesendirian untuk mendapatkan wahyu. Hatinya sedang cukup bersih untuk kembali ternoda dengan dosa itu—atau setidaknya itulah yang Anna pikirkan.

“Kau tau aku bisa saja membunuhmu, bukan? Apa yang kau lakukan disini?” Ketus Anna sambil mengembalikan belatinya ke tempatnya semula. 

Sosok lelaki tegap itu menengakkan tubuh dan mengambil napas panjang sebelum menjawab. Nyawanya selamat hari ini. “Pertanyaan itu milikku, Lady. Apa yang kau lakukan disini?” 

“Sejauh yang aku ingat pondok ini masih milikku, bukan hal aneh jika aku berada di sini,” Anna mendengus.

Lelaki itu membuka mulutnya hendak membantah, namun ia kembali menelan kalimatnya setelah berpikir bahwa ucapan gadis di hadapannya ini memang benar. 

“Serius, Rei. Apa yang kau lakukan di sini?” Anna kembali bertanya.

Lelaki dihadapannya—Rei hanya menatapnya lama. Kalau saja mereka bukan sahabat sejak kecil Anna bersumpah akan melemparkan belatinya ke wajah tampan menyebalkan itu. Sebelum Anna sempat bertanya lagi, Rei mendekapnya ke dalam pelukan yang bisa saja meremukkan tulangnya apabila Anna hanya gadis rumahan yang selalu dilayani seumur hidup dan tidak punya otot yang membentuk tubuhnya.

“Astaga! Kau tidak tahu betapa aku merindukanmu, Musang Kecil.” Rei melepas dekapannya tetapi kedua tangannya masih mencengkeram pundak Anna dan menatap gadis itu dengan tatapan berbinar. “Kau tidak akan percaya dengan apa yang akan aku ceritakan padamu.”

“Aku memang tidak pernah percaya pada setiap kata yang keluar dari mulutmu,” Balas Anna malas.

Rei meletakkan kembali kedua tangannya di sisi tubuhnya dan merengut. “Sejujurnya, aku yang sedikit tidak percaya akan benar-benar menemukanmu di sini. Aku serius ketika bertanya apa yang kau lakukan di sini, bukankah seharusnya kau berada di istana?” Tuntut Rei dalam sekali tarikan napas. Nyaris satu tahun sejak pertemuan terakhir mereka, Anna hampir lupa betapa menyebalkannya mulut Rei Solas ketika sudah berbicara.

“Apa yang kau bicarakan?” Anna mengernyit.

Rei balas mengernyit. Mereka tampak tengah memerankan lakon si bodoh dan si lebih bodoh.

“Tunggu dulu, jangan katakan bahwa kau tidak—” Rei enggan melanjutkan kalimat yang telah disimpulkannya.

Anna mendesah ketika memahami ke mana arah pembicaraan mereka. “Kau belum tahu, ya?” Tanya Anna sedikit heran.

“Tentu saja aku belum tahu, aku segera kemari bahkan sebelum tiba di rumah.” Rei mengernyit sebal. Entah Anna harus tersanjung mendengarnya. 

“Kau serius tidak tahu? Bukankah rumor lebih cepat merambat daripada api yang membakar hutan?” 

“Kau serius tidak jadi menikahinya?” 

“Kau tahu aku tidak bisa,” Anna mendengus. 

“Aku tahu, tetapi tetap tidak menyangka.” Rei mendesah pelan. “Namun aku sedikit bersyukur,” 

Anna mendelik. “Apa maksudnya kau sedikit bersyukur? Jangan katakan bahwa selama ini kau menyimpan rasa padaku.” Gadis itu berucap sangsi.

Rei menatap Anna tak percaya. “Dienvidos bersyukur tidak jadi memiliki Putri Mahkota seperti dirimu.” 

“Aku setuju dengan yang satu itu,” Kekeh Anna.

“Aku bersyukur karena setidaknya aku tidak akan memanggilmu setiap hari dengan sebutan ‘Yang Mulia’, dan tetap bisa melakukan hal gila bersamamu.”

Anna sedikit tersanjung. “Lihat dirimu, kini pandai sekali memuji. Kutebak ini hasil pelatihanmu memuja dewa-dewi—atau siapa pun yang diTuhankan—orang-orang utara?”

Rei merengut. “Aku berlatih menjadi Cendekiawan, bukan Pendeta. Tolong bedakan itu.”

Anna terbahak. Ah, dia benar-benar merindukan temannya yang satu ini.

“Jadi, waktu itu kau melarikan diri?” Tanya Rei.

“Kata yang cocok untuk mendeskripsikannya adalah melakukan perjalanan untuk mendapatkan ketenangan hati sebelum mengikat janji pernikahan.” Jelas Anna panjang lebar. Satu hal lagi yang membuatnya sama dengan Rei. Mereka sama-sama pandai bersilat lidah.

“Kau pergi ke Entshona?”

“Hanya lewat untuk sampai ke pulau kecil di seberang laut.” 

“Klasik.”

“Kau mengenalku, kawan.” 

Mereka terkekeh pelan menyetujui pernyataan itu. Bersembunyi ke barat memang lebih aman daripada ke timur, selain karena Dienvidos lebih dekat ke arah barat, wilayah Entshona lebih padat karena wilayah itu adalah jalur utama untuk perjalanan antar utara-selatan. Otomatis akan sulit mencari seseorang secara spesifik karena sebagian orang-orang di sana tidak menetap secara permanen.

“Lalu apa yang mereka lakukan padamu ketika kau kembali?” Untuk ukuran orang yang ingin berbagi cerita, Rei justru terkesan lebih penasaran dengan kisah Anna. Sahabatnya itu memang gemar membuat orang di sekelilingnya menggelengkan kepala.

Anna memandang ke segala arah. Keraguan terlihat di wajah cantiknya. “Aku… tidak tahu.” 

“Apa maksudmu kau tidak tahu?”

Jujur, Anna pun tidak tahu apa yang akan dilakukan keluarga kerajaan untuk menyikapi kelakuannya.

“Aku tidak tahu hukuman apa yang akan aku dapatkan karena secara teknis aku belum kembali ke sana,” 

“Apa?” Rei sedikit meragukan pendengarannya.

Anna mengangguk ragu. “Ya, sama seperti dirimu. Aku juga baru kembali dan tiba di sini tadi pagi.” 

“Kau—apa?! Maksudmu kau melarikan diri ke pulau terpencil selama enam bulan?” Rei benar-benar terkejut. Anna memang gemar keluyuran, entah bagaimana Tuhan menciptakannya tetapi gadis itu sungguh tidak betah berdiam di satu tempat, jiwanya seakan ditakdirkan untuk berkelana.

“Pada dasarnya hanya lima bulan tiga belas hari, tapi kurasa itu rincian yang tidak penting.”

“Kurasa tinggal di pulau terpencil selama enam bulan adalah hal yang tidak penting, Nona Annalise.” Sindir Rei. “Itu benar-benar menjelaskan perubahan warna kulitmu.”

Anna sontak menunduk dan meringis menatap punggung tangannya yang sebelumnya putih kini menjadi kecoklatan. Anna yakin sebagian besar tubuhnya pun bernasib sama seperti punggung tangannya. 

Anna tidak pernah benar-benar peduli soal penampilan, di saat anak perempuan bangsawan lain berlomba-lomba untuk mempercantik diri, membuat kulit mereka sepucat rembulan dan sebagainya. Anna justru membiarkan kulitnya terbakar karena menantang matahari. 

Rei sangat tahu bahwa Anna tak pernah sadar secantik dan semenarik apa dirinya. Dengan tubuh ramping tinggi semampai, ia terkadang bisa membuat gadis lain iri. Rambut hitam jelaganya yang panjang dan bergelombang, iris coklat terang sewarna madu menghias di matanya yang tajam, dan kini Anna bahkan terlihat berpendar dengan kulit keemasan di tubuhnya yang keras sarat akan kekuatan yang dimilikinya. 

Dibesarkan sebagai putri bangsawan membuatnya anggun dalam bergerak maupun bertutur kata. Ia bersinar pada segala hal, dan nyaris sempurna. Keluarga kerajaan dan para bangsawan yang mengenalnya menyebut Anna sebagai Gadis Mentari. 

Gadis yang lahir dikecup keagungan matahari.

Gadis itu merobek kepercayaan akan matahari yang melambangkan pria dan rembulan yang melambangkan wanita. 

Sikapnya hangat, mudah tersenyum, dan hatinya luar biasa dermawan. Tetapi tingkah Anna yang terkadang sangat misterius dan tidak mudah ditebaklah yang menjadikannya sangat menarik. Ia gelap sekaligus indah. Rei jarang melihat ada sosok lain seperti Anna. Sosoknya yang bak gerhana. Ada namun tak sering muncul. 

Kalau saja tidak ada gadis lain yang mencuri hati Rei lebih dulu, mungkin ia akan dengan mudah jatuh hati pada Anna. 

“Aku bisa ikut ke rumahmu kalau kau mau,” Usul Rei.

“Untuk apa?”

“Aku akan bilang bahwa kau lari dari pernikahan itu untuk menyusulku ke Alnord.”

“Kau pikir mereka akan percaya?”

“Yah, mereka tahu kau selalu ingin pergi ke utara,” Rei mengedikkan bahu. 

Anna menatap Rei dengan tidak yakin. Sebenarnya itu bukan ide yang buruk. Tetapi Anna sudah punya jalan keluarnya sendiri. 

“Kurasa lebih baik kau memikirkan rencana pertemuanmu dengan sang Putri daripada memikirkan masalahku, aku dengar penjagaannya semakin diperketat.” Ucap Anna.

Rei mengumpat. Anna selalu tahu bagaimana membuat hati Rei sakit meski tanpa ditusuk belati kesayangan gadis itu.

“Kau dengar dari mana? Bukankah kau terjebak selama enam bulan di pulau terpencil?”

Anna mengedikkan bahu dan menyeringai. “Kau mengenalku, kawan.” 

Rei mendesis melihat tingkah Anna yang penuh rahasia. “Bicara soal penjagaan sang Putri, kau sendiri bagaimana? Aku yakin kau pasti lulus ujian untuk bergabung ke pasukan kerajaan, di mana mereka menempatkanmu?” Ujian yang dimaksudnya padahal hanya beberapa minggu setelah jadwal kepergiannya, sayangnya ia tak mampu menahan atasannya untuk mengulur waktu.

Ya, benar. Anna adalah gadis bodoh yang menolak menikah dengan Putra Mahkota Dienvidos tetapi berambisi untuk bergabung menjadi salah satu prajurit kerajaan. 

“Pertama, ujian itu dilakukan bukan untuk bergabung ke dalam pasukan, tetapi untuk mengetahui kualitas seorang prajurit agar bisa diletakkan di tempat yang sesuai dengan kemampuannya. Kedua, kau mungkin tidak akan percaya dengan apa yang akan aku katakan.”

Rei menyipitkan mata. “Benar, aku memang tidak pernah percaya pada setiap kata yang keluar dari mulutmu.” Ia mengucapkan kembali perkataan Anna yang sebelumnya ditujukan untuknya.

Anna mendengus sebelum menyeringai menatap Rei. “Sekarang aku seorang Cuvari.”

Rei merasa rahangnya jatuh. Walaupun sebelumnya ia sudah mengira Anna akan mendapat tempat yang bagus di kelompok prajurit kerajaan, ia tidak menyangka bahwa Anna akan menjadi salah satu Cuvari. 

Cuvari adalah sekelompok prajurit khusus. Tidak seperti posisi Jenderal yang memang diwariskan, posisi Cuvari terbuka untuk semua bangsawan dan tidak untuk diwariskan. Mereka tidak berkewajiban untuk selalu berada di istana. Setiap orang yang menjadi Cuvari memiliki tugas masing-masing yang sudah ditetapkan oleh Jenderal, seperti menjadi mata-mata dan sebagainya. Mereka komando kedua setelah Jenderal. 

“Kau melakukannya dengan baik, Gadis Mentari.” Ucap Rei dengan seringai bangga. 

Dienvidos bukanlah kerajaan dengan pasukan terbaik berdasarkan jumlah. Karena sebagian bangsanya memilih untuk bergelut dengan bidang yang sudah menjadi hak lahir mereka. Bercocok tanam untuk menghasilkan bahan pangan terbaik di Halstead. Penjuru Halstead cukup bergantung pada mereka. Menjadi kerajaan terdamai di Halstead bukan hanya karena pekerjaan mereka yang terkadang dipandang rendah, tetapi juga karena kualitas segala hal di Dienvidos dijunjung tinggi beriringan dengan etika dan moral. 

Rei bersyukur sekaligus khawatir Anna kini menjadi salah satu tombak untuk mejaga perdamaian Dienvidos. Bersyukur karena Dienvidos memilih orang yang benar, dan khawatir karena memikirkan beban berat yang ditanggung sahabatnya tersebut.

Anna sedikit menelengkan kepala melihat reaksi sahabatnya. Ia tahu maksud Rei. Ia melihat apa yang Rei lihat. Mungkin yang pria lihat selama hampir setahun keberadaannya di utara lebih banyak ketimbang dirinya. Tetapi satu hal yang sudah pasti sama-sama mereka ketahui.

Dunia tengah berkecamuk. Seseorang sedang bermain menjadi Tuhan di luar sana. Dan mereka ragu apakah keberuntungan akan datang menyelamatkan mereka.

•••

Setelah mengucapkan perpisahan dengan Rei yang menurut Anna sangat-sangat berlebihan, akhirnya ia melangkah menuju pondoknya dengan sedikit lesu. Ia senang sahabatnya kembali dengan selamat, yang tak ia sukai adalah aura yang dibawa laki-laki itu, entah mengapa sedikit membuatnya gusar. Rei mungkin masih terlihat seperti terakhir kali mereka bertemu satu tahun yang lalu. Selalu mengumbar senyum jenaka yang bodoh dan gurauan yang selalu membuat sakit kepala. Tetapi dari semua itu Anna bisa melihatnya—menebak bahwa ada sesuatu yang membuat laki-laki itu terguncang. Sesuatu yang juga membuat Anna gusar sejak dulu. 

Anna membuka rantai khusus yang dibelinya di pasar gelap perbatasan Entshona dan wilayah utara. Ia benar-benar enggan mengingat tempat itu. Namun tidak dapat dipungkiri tempat itu selalu menyediakan barang bagus yang bahkan tak pernah Anna sangka sebelumnya. Rantai itu sebesar pergelangan tangannya, dan tidak diragukan lagi pasti sangat berat. Anna selalu mengeluh ketika memasang dan membukanya, terkadang terbesit dipikirannya untuk membuang rantai itu ke dasar danau, tetapi hanya berakhir menjadi angan-angan karena rantai itu memang tidak pernah mengecewakannya.

Tidak ada yang lebih melegakan selain mendegar rantai itu terbuka. Anna menarik rantai itu dan membuka pintu seraya masuk ke dalam pondok. Bau kayu menyambutnya. Selain Rei, pondok ini juga menjadi salah satu hal yang paling ia rindukan. Anna membatu tepat setelah pintu tertutup rapat. Ada benda dingin yang menempel di leher sebelah kirinya, dan napas terengah menyusul menyapu tengkuknya yang terpampang karena Anna menggulung tinggi rambutnya.

Orang itu telah sadar.

Dan kini berdiri begitu dekat di belakang Anna. Gadis itu benar-benar lupa keberadaan sosok yang kini menempelkan bilah pisau tepat di dekat urat nadinya. Kegusarannya pada Rei membuatnya lupa. Seharusnya ia ingat mengapa ia memasang rantai itu di luar. 

“Siapa kau?” Desis sosok itu. Suaranya benar-benar parau. 

Anna tidak takut sekalipun nyawanya terancam karena pisau yang menempel di lehernya. Ia hanya takut dalam usahanya membela diri ia justru membunuh sosok lemah di belakangnya dan harus repot-repot membawa jauh mayatnya dari pondoknya. Dan hatinya yang sedang bersih akan kembali ternoda. Menjebak diri sendiri di pulau terpencil memang membawa efek aneh ke dalam dirinya. Anna jadi merasa lebih bodoh dari Rei.

Ingatannya melayang pada kejadian tadi pagi sebelum ia membakar mayat yang ia temukan di seberang danau. 

Anna meringis melihat mayat di hadapannya. Ia memutuskan untuk membakarnya, karena menggali lubang akan terlalu merepotkan. Gadis itu bangkit dan bergerak mengambil ranting pohon yang berjatuhan di tanah. Ia menarik ranting cukup besar yang menyembul dari semak-semak. Ranting itu tersangkut.

Sesuatu menahannya. 

Desahan napas lelah keluar dari mulutnya. Niatnya hanya untuk ke tempat pemantauan dan langsung kembali ke pondok malah berubah total menjadi mengurus mayat yang seharusnya tak perlu Anna pedulikan. Terlalu lama merefleksikan diri di pulau terpencil entah mengapa membuat nuraninya mudah tersentil. Anna berpikir apakah sebaiknya ia pergi Noarden dan mengabdikan diri menjadi Pendeta. Konyol sekali.

Ia bergerak menuju sisi lain semak-semak untuk melihat sesuatu yang menahan ranting pohon yang hendak diambilnya. Semoga saja bukan beruang.

Dan ternyata memang bukan beruang. Anna menatap malas pada mayat laki-laki di dekat kakinya. Ia akan mengurus yang satu ini nanti. Mungkin Anna akan melemparnya dari tebing agar tubuhnya hancur dan bisa lebih mudah dimakan burung gagak. Sekadar informasi, Anna adalah pecinta binatang. 

Anna menggerakkan tubuh laki-laki itu dengan kakinya supaya ia bergeser dan menyingkir dari ranting pohon—demi para aristokrat padahal itu hanya ranting pohon! Anna sepertinya memang harus tidur untuk bisa menjernihkan kepalanya. Kini ia sedikit mengantuk akibat melakukan perjalanan dua hari dua malam tanpa istirahat.

Dengan kasar ia menarik ranting pohon itu dan menatap nyalang mayat di bawahnya, ingatkan Anna untuk melemparnya dari tebing. Anna berbalik dan bersumpah akan menancapkan ranting-ranting pohon ini ke mayat yang satu apabila tidak ada yang mencengkeram kakinya hingga gadis itu hampir tersandung. Ia menoleh dan menatap kaget pada pergelangan kakinya yang diselimuti tangan yang berlumuran darah kering. Matanya beranjak ke wajah si empunya tangan. Mata laki-laki itu masih terpejam, dan mulutnya terbuka seperti hendak mengatakan sesuatu jika saja ia dapat mengatur napasnya sedikit lebih baik. Dan pada titik ia tak dapat lagi menahan kesadarannya, cengkeraman itu mengendur dan kepalanya kembali terkulai ke tanah. 

Sial, dia masih hidup. Ini jauh lebih lebih merepotkan.

Dan akhirnya di sinilah Anna. Meregang nyawa karena tindakan sok pahlawannya yang memilih untuk menyeret makhluk sekarat di balik semak-semak ke pondok tercintanya. Anna mengambil napas dan mengembuskannya pelan. Ia berharap semoga yang dilakukannya ini tidak akan membunuh sosok di balik tubuhnya.

Anna melepaskan rantai besar di tangannya ke lantai kayu. Ia bersyukur tidak menjatuhkannya pada kaki lelaki di belakangnya. Tindakan tersebut mengejutkan laki-laki itu, ia terluka dan masih kurang fokus, suara benturan sekeras itu membuatnya hilang waspada. Dan dengan sigap Anna menyambar tangan yang memegang pisau dan memutarnya dengan tenaga yang sudah ia perkirakan. Laki-laki itu menjerit. Tangannya yang penuh lebam dipelintir. 

Dengan tangan yang berhasil Anna kunci, kini ia berhadapan sepenuhnya dengan laki-laki itu. Sebelum laki-laki itu mampu menyerang balik, Anna memukul ulu hati laki-laki itu dengan kepalan tangannya yang terbebas. Ringis kesakitan keluar dari mulut laki-laki itu hingga tubuhnya membungkuk. Dengan sigap Anna mendorong laki-laki itu hingga berbaring di bawahnya. Dalam hati mengucap maaf sebelum memberi pukulan yang membuat laki-laki tersebut kehilangan kesadarannya. Anna bangkit dari posisinya, mengumpat pelan dan mengembuskan napas kasar. 

Persetan dengan hatinya yang sedang bersih.

©️MERITOCRACY, 2020

MERITOCRACY : Prologue

25 September 2020 in Vitamins Blog

68 votes, average: 1.00 out of 1 (68 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

 


 

Bulan memang primadona langit yang tak ada duanya. Bergelantung dengan cahaya yang menyejukkan mata, membawa keyakinan bahwa akan selalu cahaya di tengah kegelapan, bahwa akan selalu ada harapan di tengah kedukaan.

Anna berdiri ditemani gemercik air kolam dan bermandikan cahaya bulan. Menyesap keheningan dalam kesendirian, melupakan ribuan manusia di dalam aula yang tengah menjajakan kemunafikan.

Ia menarik napas panjang dan mengeluarkannya secara perlahan sebelum berbalik dan melangkah untuk kembali menuju aula. Seseorang pasti akan mencarinya jika ia terlalu lama menghilang dari sana. Terlarut dalam pikiran, Anna tak sengaja menabrak seseorang. Pasti penjaga istana. Pikirnya. 

Hari hampir berakhir namun nasib sialnya masih terus menghantui tanpa akhir. Anna menggelengkan kepala kecil, nyaris tak terlihat.

Fokus!

“Maaf—”  Anna mendongak menatap seseorang yang menjadi korban kecerobohannya. 

Orang itu bukan penjaga istana. Postur tegap dengan jubah beludru megah yang tersampir di bahu seseorang itu jelas sekali menegaskan siapa ia dan apa kedudukannya di istana. 

“Mohon ampun, Yang Mulia! Saya pantas mendapat hukuman untuk itu.” Sergah Anna cepat dengan menundukkan kepala dan bersikap seformal mungkin. Ketahuilah bahwa Putra Mahkota adalah orang terakhir yang ingin ditemuinya di saat suasana hatinya sedang seperti sekarang ini. 

“Angkat kepalamu,” Suara berat itu menebas keheningan malam. 

Alih-alih mematuhi perintah sang Putra Mahkota, Anna justru mengambil satu langkah mundur dan menundukkan kepalanya lebih dalam. 

“Saya benar-benar minta maaf atas kecerbohan saya, Yang Mulia.” Balas Anna. Sungguh ia ingin segera pergi dari tempat ini sekarang juga. 

“Aku akan benar-benar menghukummu jika kau tidak mengangkat kepalamu.” Sang Putra Mahkota terdengar sangat menekan geramnya.

Anna menghela napas pendek sebelum kembali menjawab tanpa memandang si calon raja tersebut. “Kalau begitu saya akan menghadap Anda esok hari, Yang Mulia.”

Tanpa menunggu balasan Putra Mahkota, Anna membungkuk untuk memberi hormat dan langsung berbalik berniat meninggalkan tempatnya.

“Kau sungguh akan terus seperti ini?” 

Anna berusaha menahan diri untuk tidak mendengus dan kembali menghadapkan tubuhnya pada Putra Mahkota sambil sekuat mungkin menjaga ekspresi wajahnya.

“Saya tidak yakin mengerti apa maksud Anda, Yang Mulia.” Jawab Anna sopan.

Putra Mahkota menghela napas kasar dan menatap kesal Anna. Jika orang lain melihat mungkin itu tidak bisa dikatakan kesal, lebih tepatnya frustasi. 

“Kalau begitu saya permisi, Yang Mulia.” Kali ini Anna sungguh menjauh dari tempatnya. Mengabaikan perasaannya yang saat ini sangat ingin meluluh lantakkan istana dengan amarahnya. Ia tak akan termakan apapun.

“Jadi, sekarang kau meninggalkanku?”

Demi apa pun Anna bersumpah, ia benci sekali mendengar lirihan itu. Hatinya terluka, namun pikirannya mengatakan bahwa ini memang hal yang benar untuk dilakukan. Bukan Anna yang bersalah di sini.

Ini harus benar-benar berakhir. 

Dengan cepat Anna membalikkan tubuh dan menatap Putra Mahkota tepat di mata. Membalasnya dengan pandangan yang jauh berbeda seperti sebelumnya. Anna percaya dengan sebuah konsep apabila kau ingin mendapatkan dunia, maka kau tidak bisa mendapatkan cinta, dan begitu juga sebaliknya. 

Keduanya memilih hal yang sama. Mereka mencintai dunia, jauh sebelum mereka saling jatuh cinta.

“Satu-satunya orang yang pergi meninggalkan adalah kau. Jadi, jangan bertingkah seakan dirimu yang paling terluka di dunia ini.” Desis Anna.

Tanpa mengharapkan balasan apapun, Anna melanjutkan niatnya untuk pergi. Bisakah malam ini berakhir lebih buruk lagi?

“Oh,” merasa belum puas menampar sosok itu dengan kata-katanya, Anna kembali menyahut, “maaf, aku lupa mengatakan sesuatu,”

Sang Putra Mahkota memandang Anna gamang. Tidak dapat menebak hinaan apa lagi yang akan dilemparkan oleh perempuan di hadapannya.

“Selamat atas pernikahanmu, Yang Mulia.”

©️MERITOCRACY, 2020

DayNight
DayNight