Vitamins Blog

MERITOCRACY 10 : Clearance

Bookmark
ClosePlease login

No account yet? Register

 

30 votes, average: 1.00 out of 1 (30 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

Double Chapter! Spesial untuk yang masih setia nungguin hehe. Happy reading!


 

Gelap…

Tapi tak ada rasa gelisah yang menghampiri. Ia tidak terlempar ke dalam lubang yang selama ini menyekapnya dalam tidur. Yang ada hanya rasa hangat, sunyi, dan damai. Kapan terakhir kali ia mendapatkan tidur semacam ini?

Ia tidak bisa melihat apa pun—salah, ia tidak bisa melihat dengan jelas. Seakan ada tudung hitam yang menutupi penglihatannya. Namun, samar-samar ia dapat melihat lentera di beberapa sudut.

Kalau bukan di lubang yang selalu menyiksa, ada di mana ia sekarang?

Setelah beberapa saat, ia mulai bisa mendengar suara yang sayup-sayup memenuhi udara. Ia mendapati dirinya duduk malas berhadapan dengan sosok besar yang berdiri di belakang meja. Ia merasa familiar, apa kah ia berada di rumah minum?

“Kali ini kau dapat bayaran bagus?” Si sosok besar di belakang meja membuka suara.

Tudung hitam yang menyelubungi penglihatannya ternyata juga menutupi pendengarannya. Suara yang tersampaikan rasanya jauh sekali, padahal sosok besar itu jelas-jelas berdiri tidak jauh darinya.

Kemudian ia mendapati dirinya membalas ucapan itu tanpa niat. “Imbalan apa lagi yang bisa kau dapatkan dari mengantarkan seorang pandai besi? Ia menawariku sebilah pedang, tetapi aku tidak tertarik. Jadi, aku hanya meminta beberapa mata panah.”

Tunggu, itu bukan suara miliknya. Mengapa suaranya jadi berbeda? Suara berat itu jelas-jelas hanya dimiliki orang seorang pria! Apa di dalam mimpinya ini ia tidak menjadi dirinya sendiri?

Sosok besar itu tertawa ringan. “Lalu, apa yang kau keluhkan?”

Ia merasa dirinya menarik napas panjang seakan mencoba melepaskan kekesalan. “Tidak ada yang perlu dikeluhkan. Karena seperti yang kau katakan, Kawanku. ‘Berikan nama dan budimu, maka suatu saat kau akan mendapatkan kekayaanmu.’

Sosok besar itu kembali tertawa. “Terus saja lakukan itu, tetapi jangan salahkan aku bila kau kesulitan memiliki waktu untuk menemukan apa yang kau cari.”

“Jelas tidak. Anggap saja sambil menyelam minum air. Dan—” tiba-tiba tubuhnya terasa panas seolah terbakar tekad. “—aku pasti akan menemukannya…”

Deg.

Anna terkesiap pelan kala jantungnya terasa berhenti dalam sepersekian detik. Suara dalam mimpinya itu terasa menggelitik dalam hal tertentu. Itu bukan mimpi yang aneh sebenarnya. Bukan hanya sekali ia mendapati dirinya melayang dalam mimpi ke tempat-tempat yang belum pernah ia datangi sebelumnya. Tetapi, untuk pertama kalinya ia sadar, ternyata ia selalu melihat mimpinya lewat mata sosok lain.

“Aneh sekali rasanya melihatmu berkeliaran di saat matahari sedang terang temara seperti sekarang ini.” Ucap seseorang.

Suara yang terdengar familiar itu mengembalikan Anna yang sebelumnya tenggelam dalam lamunan. Ia sedikit tidak percaya dengan pendengarannya ketika menangkap suara sosok yang hampir bersisihan melewatinya itu. Namun, ternyata Randal Guney memang baru saja menyapanya. Ya, Anna akan menganggap itu sebuah sapaan–terlepas dari sapaan itu diucapkan dengan penuh kesinisan.

“Randal, Kawanku. Sudah lama sekali ya rasanya.” Anna membalas ramah. Dan seperti perkiraannya, Randal hanya memberikan respon datar. Randal memang selalu terkesan seperti duri dan memusuhi semua orang, tetapi sepertinya ia membenci Anna sebesar ia membenci orang-orang utara. “Hendak pergi ke suatu tempat?”

Hanya dengusan yang terdengar dari lelaki jangkung tersebut dan tanpa memberikan jawaban lebih lanjut ia melangkah pergi.

Sekarang atau tidak sama sekali!

“Randal, aku butuh bicara denganmu—”

“Lupakan saja,” Randal memotong sadis.

Anna memang sudah menebak jawaban itu yang akan dilontarkan oleh Randal, namun entah mengapa rasanya tetap saja tidak menyenangkan ditolak seperti ini.

“Randal, aku tahu kau mendapatkan sesuatu—”

Randal berhenti melangkah dan berbalik menatap tajam Anna. “Aku tidak akan memberi tahumu apa pun, Prajurit. Kau bisa bertanya pada Jenderal.” Setelah mengucapkan balasan setajam bilah pedang, Randal benar-benar pergi meninggalkan Anna.

Bertanya pada Jenderal? Itu namanya bunuh diri. Anna mengepalkan kedua tangan menahan kesal. Randal memanggilnya dengan sebutan prajurit seakan-akan jabatannya lebih tinggi dari Anna. Cara pengucapannya seolah menegaskan bahwa ia lebih unggul dari Anna. Cih! pemuda itu hanya beruntung karena Jenderal lebih menyukainya ketimbang Anna. Anna menghela napas panjang, mencoba menahan keinginannya menyeret Randal ke lapangan barak dan menantangnya untuk bertarung.

Sambil mencoba melupakan sikap bedebah Randal barusan, Anna berjalan dengan langkah lebar menuju area taman istana. Gadis itu pasti ada di sana saat ini, menikmati hangatnya matahari yang jarang kali hadir di musim gugur sambil merasakan manisnya makanan penutup jamuan makan siangnya.

Anna membalas sapaan beberapa pengawal yang berjaga di sana dengan mengangguk singkat. Ia berdiri tegap di depan meja taman yang diduduki oleh gadis kesayangan kerajaan. Anna bisa saja langsung duduk di kursi yang tersedia di sana, tetapi mengingat pertemuan terakhirnya dengan Sang Putri tidak terlalu menyenangkan, Anna jadi memilih untuk menyapa dengan formal terlebih dahulu.

“Salam Hormat kepada Putri Zietha.” Anna membungkuk dan memberi penghormatan sebelum kembali berdiri tegak sambil menundukkan pandangan dengan sopan selayaknya abdi di hadapan tuannya.

Tidak ada suara. Bahkan sepertinya alam memilih untuk tidak bersuara sampai Sang Putri mengeluarkan titahnya. Anna hanya mendengar helaan napas pelan sebelum beberapa derap langkah terdengar pergi menyisakan Sang Putri bersama kepala pengawalnya. Anna melirik dengan hati-hati mencoba menilai ekspresi Putri Zietha. Sang Putri ternyata sedang menatapnya datar.

“Maaf…”

“Maaf,”

Keduanya berucap bersamaan sebelum kembali saling tatap dan menciptakan keheningan. Namun, keheningan itu tidak bertahan lama karena kemudian suara kekehan sama-sama keluar dari bibir indah dua gadis tersebut. Anna menghampiri kursi yang berseberangan dengan Zietha kala gadis itu memberikan perintah tanpa suara.

“Zee, maafkan aku… aku tahu aku telah bersikap buruk dengan meninggalkanmu tanpa kabar—”

“Tidak apa-apa, aku juga minta maaf karena besikap kekanakan tempo hari.” Zietha menggumam pelan sambil menunduk, enggan menatap Anna. Anna sudah seperti kakak perempuan yang selama ini ia inginkan, tetapi bukannya mencoba memahami tindakan Anna, ia justru meluapkan kekesalan dengan melemparkan kata-kata buruk. Ia merasa itu bukan sikap yang bijak entah sebagai seorang putri atau adik. Anna benar, Javias dan semua orang boleh saja marah dan benci padanya, tetapi Zietha harus bisa lebih baik untuk memahami Anna.

Rencana pernikahan Javias dan Anna sebenarnya pun memang sedikit kurang jelas. Zietha sibuk dengan pikirannya, menyusun kronologi kejadian yang menyebabkan Anna bisa mendapatkan hukuman.

“Apakah Rei sudah datang menemuimu?” Anna bertanya.

Pertanyaan itu menyadarkan Zietha dari lamunannya. Ah, Rei Solas, bagaimana kabarnya pemuda itu? Zietha hanya menggeleng sebagai jawaban. Kegundahan yang ditampilkan oleh raut wajah Zietha membuat Anna seketika menyesali tindakannya. Apa pun yang terjadi antara Sang Putri dengan sahabatnya memang sangat abu-abu. Yah, Anna tidak bisa menyalahkan siapa-siapa untuk hal itu. Ralat, Anna menyalahkan Voreia atas hal itu.

Rei adalah putra bangsawan kelas atas. Strata sosialnya mendukung dirinya untuk bisa bersanding dengan Sang Putri. Hanya saja, takdir seakan mempermainkan mereka. Tanpa Anna, Rei tidak akan bisa berinteraksi dengan Zietha. Dan setelah semua usahanya selama ini, mereka harus mendapatkan kesialan lebih lanjut karena Zietha cukup umur untuk mengikuti Purvation. Bukan masalah besar sebenarnya, karena sudah lama sejak beberapa periode, perwakilan Dienvidos tidak memenangkan kompetisi tersebut. Namun, membayangkan perempuan yang kau puja masuk ke dalam pilihan untuk menjadi pendamping laki-laki lain tentu saja membuat dongkol sekaligus takut. Hanya karena perwakilan Dienvidos tidak terpilih, bukan berarti Rei bisa tenang-tenang saja. Anna meringis dalam hati mengasihani kisah cinta sahabatnya itu.

“Baiklah, lupakan soal laki-laki. Mereka hanya akan membuat kepala kita sakit karena tingkah mereka.” Anna menyahut tegas seolah ingin menghibur Zietha. Namun, entah mengapa ia sedikit tersentil dengan perkataannya sendiri. Ya, laki-laki memang merepotkan. “Mari kita bahas Purvation.”

Dahi Zietha mengerut halus. “Membicarakan Purvation artinya membahas putra mahkota Voreia, membahas putra mahkota sama saja dengan membahas laki-laki, kan?”

Anna memejamkan mata karena tak habis pikir. Benar, yang diucapkan Zietha memang tidak salah. Anna yang seharusnya mencoba untuk memahami. “Purvation bukan hanya tentang putra mahkota, mari kita bahas tentang tantangan yang diadakan.” Anna menjawab dengan sabar.

“Tunggu, sebelum membahas itu aku ingin memastikan satu hal.”

“Apa?”

“Pilihannya hanya kau dan aku, bukan? Kudengar kau berencana menggantikanku.”

Anna mengangguk dengan pandangan menerawang. Sebenarnya ada beberapa lubang di dalam rencananya. Pertama, Anna tidak bisa menggantikan Zietha karena gadis itu tidak punya alasan yang kuat untuk tidak berpartisipasi—Zee tidak terikat dengan siapa pun. Anna mengutuk Rei untuk itu. Harusnya Rei tidak perlu pergi ke Alnord dan segera mengajukan lamaran setelah perayaan debut kedewasaan Zietha. Jika itu terjadi, sudah pasti ia bisa dengan mudah menggantikan Zee. Karena Rei sudah kembali, Anna bisa saja menyuruhnya untuk segera melamar Zietha dan mengikatnya dengan pertunangan. Masih ada sedikit waktu untuk melakukan itu dan kemudian rencananya akan tetap terkendali. Sayangnya, Jenderal sudah pasti menjadi batu penghalangnya. Laki-laki paruh baya itu memang cukup manipulatif. Awalnya mengajak Anna menjadi bagian dari rencana, bahkan mendengarkan sebagian rencana yang Anna miliki. Namun, tiba-tiba menolak saat Anna berkata dengan tegas akan menggantikan Zee. Sebenarnya apa yang ada di dalam kepala pak tua itu? Maka dari itu, Anna memutar rencana awalnya—rencana untuk memasuki perbatasan utara yang dijaga ketat. Jika ia memang tidak diizinkan untuk menggantikan Zee, ia akan tetap pergi dengan menjadi pengiring Zee.

“Aku punya firasat buruk, tempo hari mereka secara halus menolak gagasan itu.” Ucap Anna.

“Aku punya firasat mereka akan mengirimku bersama orang lain. Entah mengapa mengirimmu ke utara sepertinya bukan ide yang baik—setidaknya begitulah yang mereka pikirkan.” Zietha mengangguk menyetujui pernyataan Anna.

Anna terkekeh penuh ironi. Jenderal, Javias, bahkan Sang Raja bersikap seakan mereka menganggap Anna adalah bagian dari mereka. Anna pikir mereka sengaja melakukan itu untuk membuatnya diam dan tetap ada di bawah kendali mereka. Terutama Sang Jenderal.

Zietha menyentuh punggung tangan Anna yang ada di atas meja ketika melihat kilatan kesal muncul di iris madu itu. Anna dan segala sikap pemberontaknya, gadis itu pasti merasa kesal karena terkesan disepelekan. “Anna, percayalah. Apa pun yang mereka lakukan, itu untuk kebaikanmu, untuk kebaikan kita semua.”

“Anna, percayalah bahwa apa pun pilihan yang ada, dan pilihan yang kau ambil—sekalipun itu terpaksa, adalah suatu hal yang baik”

Ucapan Chero kembali terngiang di kepalanya. Hal Baik. Anna tidak melihat kebaikan dari sesuatu yang dibatasi. Anna merasa terbatas. Terkekang. Orang-orang yang berjanji untuk menolongnya justru mengurungnya. Tidak memberikannya pilihan. Tidak mendengarkannya.

“Aku akan mencoba mengajukanmu untuk jadi pengiringku. Aku akan mengusahakannya, Anna.” Seakan melihat kegelisahan Anna, Zietha berucap penuh pengertian.

Diberi tatapan seperti itu, Anna menghela napas. Zietha memang tidak pernah tahu banyak, tetapi gadis itu punya kadar empati yang sangat tinggi hingga selalu mengusahakan yang terbaik untuk semua pihak. Anna merenung, dengan kualitas seperti ini Zee sudah pasti tidak akan terpilih menjadi pemenang Purvation, bukan? Voreia butuh seseorang yang sama kejamnya dengan Raja penuh tiran itu untuk melanjutkan tiraninya. Zietha jelas tidak masuk ke dalam kualifikasi tersebut.

“Baiklah.” Ujar Anna setelah menekan ego kuat-kuat.

Mengingat tentang penolakan yang akhir-akhir ini sering Anna dapatkan membuat kepalanya pening dan udara yang dihirupnya terasa pengap seketika. Dengan gusar Anna menarik kerah pakaian yang entah mengapa terasa mencekik. Padahal biasanya ia merasa nyaman-nyaman saja dengan seragam khusus prajuritnya. Dan lucu sekali rasanya ia bisa merasakan pengap di cuaca musim gugur seperti ini.

“Demi Halstead—”

Anna menghentikan kegiatannya dan menatap Zietha heran. Ia mengernyit bingung ketika melihat ekspresi Zietha yang amat terkejut. Gadis itu bahkan hampir menyumpah jika saja tidak segera menutup mulutnya dengan kedua tangan.

“Ada ap—”

“Anna, apa yang telah kau lakukan?” Zietha berseru lirih. Membuat Anna semakin bingung dibuatnya.

“Apa maksudmu?” Tanya Anna dengan linglung.

“Aku tahu soal kehidupan bebasmu. Tapi, apa kau benar-benar sampai berani melakukan itu?”

Melakukan itu? Melakukan apa?

Melihat ekspresi linglung Anna yang tak berubah, Zietha kembali berkata, “Kau melakukannya dengan siapa?”

“Bicaralah dengan jelas, Zee.” Anna menyahut jengkel.

Zietha mengerjap pelan sebelum memperbaiki posisi duduknya. “Ada sesuatu di lehermu…” ia bergumam pelan seolah takut akan ada orang lain yang mendengar.

“Apa?” Anna terkejut sekaligus bingung.

“Ada bekas kemerahan di sana.” Zietha menjelaskan, ekspresinya penuh tuduhan.

Anna mengerjap mencoba memahami. Tangannya secara reflek mengusap lehernya yang terekspos karena hari ini ia memilih untuk menggulung tinggi rambut panjangnya. Dengan kebingungan Anna mengusap hingga ke perpotongan lehernya yang terlihat akibat tarikannya pada kerah seragamnya.

“Di tempat Lozard banyak sekali serangga yang membuat kulit gatal-gatal.” Jawab Anna. Ia menelan ludah gugup setelah berdeham pelan.

Zietha memicing pada sesuatu yang membuatnya terkejut itu. Anna sedang mencoba membodohi siapa? Usia Zietha memang jauh lebih muda dari Anna. Tetapi, ia sudah melakukan debut kedewasaannya. Seumur hidupnya ia dipersiapkan untuk menjadi istri yang sempurna, Zietha telah dewasa secara mental. Ia tak perlu bertanya pada orang lain untuk mengetahui kebohongan yang dilontarkan Anna.

Ucapan Zietha yang benar-benar tidak disangkanya itu melemparkan ingatan Anna pada kejadian yang setengah mati ingin ia lupakan. Dalam hati ia merutuk kesal karena melewatkan kesempatan untuk menatap diri di cermin sebelum ia bertolak ke ibu kota.

Lintah utara sialan. Belum cukup ia memberikan bekas yang mengerikan di ingatannya, ternyata ia juga memberikan bekas di tubuhnya.

Tanpa bisa Anna tahan, ingatan itu kembali membanjirinya. Bagaimana lumpuhnya tubuh Anna saat itu akibat terkejut. Napas terengah yang saling bertubrukan dan membuat tubuhnya gemetar kala suara parau itu menelusup ke telinganya. Bagaimana secara ajaib Anna menerima perintah tersebut di bawah kukungan lengan besar itu. Membiarkan sosok itu mengantarnya menuju alam mimpi lewat kecupan di seluruh wajah. Jantung Anna berdebar kencang kala mengingat bagaimana suara-suara aneh terlepas dari bibirnya saat sesuatu yang basah tiba-tiba menyengat kulit lehernya. Teringat bagaimana rambut gelap itu terasa halus di tangannya ketika sentuhan yang membakar itu beralih ke tempat—

“Wajahmu terbakar.”

Anna terkesiap. Ia hampir mengumpat kasar pada Zietha yang mengejutkannya. Matanya mengerjap cepat mencoba menghiraukan ingatan-ingatan tersebut dari kepalanya.

“Aku—”

Anna tidak dapat melanjutkan ucapannya. Bukan karena ia ta berani lagi mengucapkan kebohongan pada Zietha. Namun, wajahnya yang merah dan ekspresi gugupnya sudah menjadi kebenaran mutlak di hadapan Zietha.

***

Langkah Anna mengiringi Zietha menuju ruang rapat yang terletak di aula singgasana. Setelah menjelaskan situasi yang mecengangkan tadi, akhirnya Anna pamit untuk menemui para petinggi kerajaan. Namun, sepertinya Zietha punya pemikiran lain. Alih-alih kembali ke areanya untuk melakukan aktivitasnya yang lain, gadis itu justru memiliki ide untuk menemani Anna ke ruang rapat. Jelas saja itu bukan tujuan yang sebenarnya, Zietha masih merasa belum cukup dengan jawaban Anna. Gadis itu masih setia merundungnya dengan berbagai pertanyaan yang pada akhirnya terdiam setelah Anna menjawab dengan tegas.

“Aku mabuk, aku tidak tahu siapa yang membuat tanda itu. Tapi aku bisa meyakinkanmu bahwa tidak ada yang terjadi.”

Yah, Anna tidak sepenuhnya berbohong. Ia memang sedikit mabuk dan ia memang bisa memastikan bahwa tidak ada yang terjadi, namun Anna jelas tau siapa yang meninggalkan tanda kemerahan sialan ini di tubuhnya.

“Kau tahu, aku bisa menemui mereka sendiri.” Anna berucap jengah di samping Zietha.

“Dan membiarkan Javias mengejekmu kemudian membiarkan Jenderal menolak semua idemu? Aku tidak akan membiarkan semua itu terjadi.” Tukas Zietha.

Anna memutar mata malas. Sang Putri dan sabdanya. Siapa yang bisa melawan?

Tak lama kemudian, sampailah mereka di ruang rapat. Penjaga pintu ruangan itu membungkuk hormat pada Zietha dan Anna sebelum membukakan pintu. Anna sudah berkali-kali masuk ke ruangan ini, namun tak pernah sekalipun ia tak mengagumi interior di dalamnya. Ada meja besar di tengah ruangan, dinding yang tidak ditempeli peta Halstead berukuran besar dan kertas-kertas penuh catatan, penuh dengan buku.

Kedua gadis itu reflek membungkuk hormat pada para petinggi kerajaan yang sudah berada di dalam sana. Dari sudut matanya, Anna melihat Raja Harav berdiri di kepala meja bersama Javias di sebelah kanannya. Tanpa perlu melihat, Anna tahu Sang Jenderal pasti ada di sisi kirinya.

“Zee, apa yang kau lakukan di sini?” Suara Javias menjawab salam hormat dari Anna dan Zietha.

“Ada sesuatu yang ingin aku diskusikan terkait Purvation.” Zietha menjawab. Anna yang enggan menatap Javias dan Jenderal masih setia menundukkan pandangan.

Anna mendengar dengusan keluar dari Javias. “Apa gadis itu yang memberikan ide diskusi tersebut padamu?”

“Kakak!”

“Javias,”

Raja Harav dan Zietha sontak menegur Javias secara bersamaan. Anna mengeluh dalam hati, mengapa banyak sekali yang tidak suka padanya? Belum cukup Randal membuatnya kesal hari ini, Javias juga tidak mau kalah rupanya? Anna mendongak hendak menantang Javias dengan tatapannya. Ia memang tidak pernah takut dengan putra mahkota Dienvidos itu. Javias memang selalu terlihat kekanakan di matanya. Sayangnya, Anna salah perhitungan. Alih-alih berhasil menantang Javias, ia justru ketakutan setelah mengangkat pandangannya. Netra madunya berpaku pada iris gelap yang berdiri di sebelah Jenderal. Anna tanpa sadar menelan ludah pahit.

Melihat ekspresi penuh teror di wajah Anna, sosok itu melengkungkan senyum tipis yang bahkan lebih cocok disebut seringai iblis. Anna tidak tahu harus mengalihkan pandangan ke mana. Maka dari itu, raut wajah datar si penasihat kerajaan menjadi satu-satunya pelarian Anna.

Sial, sial, sial! Mau sampai kapan ia terus ketakutan ketika berhadapan dengan sosok itu?!

“Bukankah seharusnya kau menyapa kakakmu, Anna? Sudah lama sekali kalian tidak bertemu, ‘kan?” Javias kembali bersuara.

“Anna,” Sosok itu menyapa lebih dulu. Suara beratnya terdengar mengerikan meskipun sapaan itu luar biasa datar.

Anna berdeham pelan sebelum membalas sapaan itu. “Brane,” kepalanya mengangguk sedikit sebagai bentuk kesopanan.

Anna mengumpat dalam hati. Bukankah Chero berkata Brane sedang berada di luar wilayah? Anna sudah menduga kalau kakak sulungnya itu tidak akan kembali hingga ia berangkat ke utara. Anna tidak pernah suka dengan pertemuan mereka. Lalu mengapa kini laki-laki itu sudah ada di tempat ini bahkan sebelum Anna mengetahuinya?

“Baiklah, Zee. Apa yang ingin kau diskusikan?” Harav Enzatsy memecah ketegangan antara kakak-beradik itu.

Zieth maju mendekati meja dan menatap ayahnya. “Aku ingin Anna menjadi pengiringku di Purvation.”

Tidak ada yang menyahut setelahnya. Hingga kemudian kekehan Javias melayang di udara. “Jadi, kau sudah menentukan pilihanmu, Anna?”

“Ya, Yang Mulia.” Anna menjawab malas.

“Kukira kau akan berkeras untuk menggantikan Zee.”

“Ia lebih menyayangi prestasinya lebih dari apa pun. Jabatannya sebagai Cuvari dilucuti jelas bukan ide yang bagus baginya.” Brane menyahut sadis.

Hebat, semua orang kini menantangnya.

“Ayah…” Zietha menyela pelan, mencoba menghentikan usaha Javias dan Brane yang terus mengejek Anna.

“Kalian sudah mendiskusikan ini sebelumnya?” Suara Raja Harav yang penuh wibawa mengalihkan seluruh atensi. Zietha dan Anna mengangguk sebagai jawaban dari pertanyaan tersebut. “Apa menurutmu itu ide yang bagus, Zee?”

Zietha mengangguk. “Seseorang yang ditugaskan menjadi pengiring bisa berasal dari sanak saudara seorang perwakilan yang berpartisipasi atau keluarga bangsawan yang mendapat kehormatan untuk menjadi pengiring. Keluarga kerajaan hanya terdiri dari Ayah, Kakak, dan aku. Kakak sudah pasti tidak bisa menjadi pengiring karena ia seorang laki-laki, lagi pula Kakak tidak boleh meninggalkan Kerajaan dalam waktu lama—begitu pun dengan Ayah. Maka, Anna adalah pilihan yang tepat.”

“Pilihan yang tepat?” Javias menyela.

“Ya, pilihan yang sangat tepat. Anna adalah putri bangsawan kelas atas, reputasinya di luar istana dianggap lebih dari sekadar sahabatku, kami dekat seperti saudari. Anna juga ditugaskan sebagai kepala pengawalku, hal itu sudah pasti sangat efektif karena para pengawal tidak perlu kesulitan untuk melindungi dua gadis payah. Anna bisa melindungi dirinya sendiri, sekaligus melindungiku.” Zietha menjelaskan panjang lebar.

Tidak ada jawaban. Raja Harav hanya bertukar pandangan dengan Jenderal. Mereka seperti berkomunikasi lewat pikiran, karena tiba-tiba saja Raja Harav mengangguk seolah paham padahal ekspresi Jenderal tidak berubah sedikit pun. Jantung Anna berdegup penuh antisipasi. Entah penolakan macam apa lagi yang akan diberikan oleh Jenderal.

“Baiklah, kami akan bicarakan lagi tentang saranmu, Zee. Kau bisa kembali ke areamu sekarang.” Ujar Raja Harav.

Zietha sedikit mematung, tidak menyangka hanya itu jawaban yang diterimanya. “T-tapi, aku ingin berdiskusi—”

“Zee, kembalilah ke tempatmu.” Kali ini Javias menyahut.

“Ayah…” Zietha semakin kebingungan.

“Zee,” Harav menegur pelan putrinya.

Diberi tatapan tegas seperti itu bukan hanya dari ayahnya, melainkan dari semua orang di ruangan itu, membuat Zee semakin gentar. Zietha bukan Anna yang sering kali bertukar pikiran atau bahkan perang saraf dengan orang-orang penting ini. Apalagi membicarakan hal-hal berat. Ini bukan medannya, Zietha tidak tahu bagaimana harus bertahan di sini. Zietha mendongak ke samping, menatap Anna yang memang lebih tinggi darinya dengan pandangan penuh permohonan maaf.

“Tidak apa-apa. Pergilah, Zee.” Anna tersenyum tipis berusaha menenangkan Zee yang mungkin merasa usahanya telah gagal. Setidaknya Sang Putri sudah berusaha.

Ketika punggung Zee sudah tak lagi terlihat, Anna kembali memaku tatapannya pada para pria yang sangat dihormati di kerajaannya ini. Anna tidak peduli jika sikap sembrononya mengundang teguran atau bahkan hukuman. Seumur hidupnya Anna memang lebih sering ditemani dengan hukuman-hukuman yang mengahantam jiwa dan raganya.

“Jadi, sampai di mana kita?” Suara Javias membelah keheningan.

Mengabaikan Javias, Anna justru menatap jengkel ke arah Sang Jenderal. “Kau tidak akan membiarkanku pergi ke utara, bukan?”

Ucapan Anna yang penuh amarah itu mengundang perhatian orang-orang di sana. Penasihat Kerajaan bahkan sampai tak bisa menjaga ekspresi datarnya. Mungkin ia bertanya-tanya bagaimana Anna bisa tidak sesopan itu pada jenderalnya.

“Apa aku pernah berkata begitu?” Sang Jenderal menyahut datar, seakan tidak terpengaruh oleh sikap Anna yang kurang sopan.

Anna mengepalkan kedua tangannya. “Tidak, kau memang tidak pernah mengucapkannya. Tapi, pernyataanmu tempo hari bisa dianggap penolakan, ‘kan? Sepertinya kau juga tidak akan menyetujui saran dari Putri Zietha.”

“Lebih tepatnya, saran darimu yang kau tanamkan ke Putri Zietha.” Brane menyahut.

Anna sepenuh hati menahan diri untuk tidak melemparkan umpatan kasar ke wajah kakaknya itu. “Jadi? Apa kau benar-benar tidak akan membiarkanku pergi ke utara?” Anna mengulang pertanyaannya.

“Apa yang akan kau lakukan jika aku tidak mengizinkanmu?” Jenderal menantang.

“Ayah!” Jerit Anna.

Lupakan soal keluarga kerajaan yang ada di sana bersamanya. Ayahnya benar-benar sudah kelewatan. Pria paruh baya itu memang berhati beku. Ia selalu saja mendorong Anna untuk menjauh. Napas Anna memburu dilahap amarah. Ia bahkan melupakan ketakutannya pada Brane yang kini menatapnya seolah ingin menelan Anna.

“Javias, kuharap kau bisa meninggalkan ruangan bersama Anna dan Brane. Ada yang perlu aku bicarakan pada Josiah.” Harav Enzatsy memberikan perintah final untuk menghentikan perdebatan seorang ayah dan anak gadisnya.

Anna hanya bisa pasrah kala Javias memutar tubuhnya dengan paksa, memutus tatapan Anna yang menghunus pada Sang Jenderal. Napasnya masih memburu, di sudut hatinya yang paling dalam, Anna tidak pernah merasa sekecewa itu pada ayahnya. Anna tidak pernah meminta apa pun, bahkan jabatannya sebagai Cuvari benar-benar Anna dapatkan dengan usahanya sendiri tanpa mengemis pada ayahnya itu. Meski kebanyakan prajurit masih berpikir Anna menjadi Cuvari karena ia adalah putri dari jenderal mereka.

Setelah menjauh dari aula singgasana, Brane yang berjalan bersama Javias di depannya menolehkan kepala. “Besok pagi, sebelum fajar, datanglah ke lapangan barak.”

Anna yang sudah tak lagi dirundung emosi hanya melirik sebentar pada Brane, rasa takut itu hadir kembali. “Memangnya ada apa?” Anna membalas pelan.

“Jenderal menyuruhmu untuk menggantikanku memimpin latihan pagi.” Brane membalas tanpa minat.

“Apa? Kenapa Ayah—”

“Aku masih butuh istirahat setelah perjalanan jauh.” Brane menyela. “Kalau begitu saya pamit, Yang Mulia.” Ia mengangguk hormat pada Javias sebelum menghilang di tikungan yang mengarah pada tempat tinggalnya di istana.

Anna memang masih sedikit bingung dengan perintah kakaknya itu. Tapi, bukan berarti ia tidak awas dan lengah dengan apa yang terjadi di hadapannya beberapa detik lalu. Bagaimana Javias menyebut nama Brane sebagai balasan izin pamit yang diucapkan oleh putra sulung Sang Jenderal. Kemudian bagaimana Javias yang terlihat sedikit kikuk kala Brane menatapnya saat hendak pamit. Lalu bagaimana Sang Putra Mahkota itu terdiam di tempatnya sambil menatap punggung Brane yang semakin menghilang. Anna melihat itu semua. Jika Anna hanyalah orang asing, mungkin Anna tidak akan menyadarinya. Namun, Anna bukanlah orang asing. Ayahnya adalah tangan kanan Sang Raja, ia dan kakak-kakaknya tumbuh besar bersama keluarga kerajaan. Ia mengenal mereka sebagaimana mereka mengenal Anna.

“Javias, aku berharap kau akan mendapatkan teman hidup yang kau benar-benar kau inginkan. Bukan aku.” Anna mengulang kembali ucapannya pada Javias di dalam kepalanya. Meski pada saat itu Javias menyahutinya dengan pelan, tetapi Anna masih bisa mengingatnya dengan jelas sampai detik ini.

“Kau akan terkejut jika tahu siapa yang aku inginkan.”

Anna baru bisa mendapat kesimpulannya saat ini meskipun ia sudah menduga hal ini sejak lama. Kini semuanya sejelas kristal dan entah mengapa Anna tidak terkejut. Javias menginginkan kakaknya. Sang Putra Mahkota menginginkan Sang Calon Jenderal.

Javias Enzatsy mencintai Branicio Reese.

“Javias,”

Laki-laki itu menoleh dan menatap Anna tanpa minat. Anna tidak terpengaruh dengan tatapan itu.

“Aku tidak terkejut mengetahui siapa yang kau inginkan.” Anna berucap penuh pengertian. Sedikit melupakan sikap Javias yang terkadang sinis padanya. Javias tidak membalas. Tapi, dari tatapannya, Anna tahu pria itu paham akan ucapannya. Ia pasti mengingat hal yang sama dengan Anna, mengingat percakapan mereka tempo hari di barak saat Anna hendak kembali ke pondok.

Tanpa memberikan balasan, Javias hanya mendecih pelan sebelum pergi meninggalkan Anna yang sama sekali tidak tersinggung dengan tingkahnya barusan. Karena untuk pertama kalinya setelah sekian lama, Anna kembali melihat kerapuhan di mata zamrud Javias.


©️MERITOCRACY, 2021

17 Komentar

  1. ArinaRisaDewi menulis:

    OMG….ternyata si putra mahkota javias tiiiiiittttt *sensor, pantas aja keketusannya terhadap anna terlihat berbeda. Terjawab sudah siapa “putra mahkota” yang ada di prolog :kumenangismelepasmu. Penasaran kenapa begitu banyak orang di sekeliling anna yang tidak menginnginkan anna untuk pergi ke utara. Oiyahh tengkyu miss author atas updatenya :sebarcinta

  2. Woooooo jadi Javias…..😲😲😲😲
    Ooookay perlahan2 sdh mulai jelas nihh :menantiadeganmesra :menantiadeganmesra

  3. Diiyaninta menulis:

    Thanks kak sudah update :sebarcinta :sebarcinta

  4. Tks ya kak udh update.

  5. nurul ismillayli menulis:

    Wah, tidak menyangka…

  6. Indah Narty menulis:

    :sebarcinta :sebarcinta

  7. Hmmm ternyataaa :panikshow :sebarcinta