Vitamins Blog

MERITOCRACY 11 : Inertia

Bookmark
ClosePlease login

No account yet? Register

35 votes, average: 1.00 out of 1 (35 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

 


Caesar Delano X.

Generasi ke-10 dari Caesar Delano, orang pertama yang mendirikan kekaisaran. Membantai Zuvnich untuk menyelamatkan Voreia. Begitu katanya.

Tahu apa yang lebih mengejutkan? Caesar Delano tidak memiliki darah kerajaan di tubuhnya. Dulu Anna pernah membaca satu paragraf di dalam Kitab Gogledd—sebuah pakta yang disinyalir tercipta ketika daratan Halstead diberi nama Halstead oleh para Keluarga Pendiri.  Paragraf itu menorehkan nama-nama. Tujuh nama para Keluarga Pendiri.

Laurels, Rojava, Enzatsy, Gundogar, Severno, Alshamal, Kaskazni.

Tidak ada Delano.

Hingga dewasa ini, Anna selalu mengingat kedudukan para Keluarga Pendiri di tujuh kerajaan di Halstead. Masing-masing keluarga menjadi tombak pemerintahan. Mereka adalah keluarga kerajaan yang diakui dari darah dan namanya. Hingga pada suatu masa, Caesar Delano menjadi kaisar pertama di daratan Halstead. Kemudian menyematkan seluruh namanya pada penerusnya.

Tak lama lagi, Caesar Delano X akan memimpin kekaisaran. Melalui Purvation, pendampingnya akan dipilih langsung oleh sistem yang menentukan siapa yang terbaik dari para peserta. Sebuah sistem pemilihan yang digunakan untuk menyebar teror.

Purvation selalu berlangsung lama. Dalam agenda yang mengatasnamakan ‘persahabatan antar kerajaan’, acara tersebut bisa berlangsung hingga berbulan-bulan. Jika Anna tidak salah mengingat, Purvation Caesar Delano V menghabiskan waktu sepanjang musim panas. Entah apa yang terjadi selama kompetisi itu berlangsung. Anna sedikit beruntung dilahirkan di masa yang berbeda. Benarkah? Apa itu memang suatu keberuntungan?

Purvation periode ini dilaksanakan pada musim dingin. Pada saat jatuhnya salju pertama di Halstead, Purvation akan resmi berlangsung. Anna sedikit tidak sabar untuk melihat bagaimana perwakilan dari utara akan berlomba-lomba mendekati Sang Putra Mahkota dan menjilat keluarga kerajaan. Mereka pasti akan terlihat bodoh sekali.

Anna pernah mendengar alasan mengapa Purvation periode ini dilaksanakan pada musim dingin adalah karena Caesar Delano X lahir pada bulan pertama. Bulan pertama di sepanjang tahun memang diselimuti musim dingin, Anna tidak heran jika itu benar alasannya. Purvation selalu dilaksanakan di musim yang berbeda sesuai generasinya dengan alasan yang berbeda-beda pula. Anna tidak peduli soal itu.

Ironis sekali. Anna selalu suka musim dingin. Ia lahir pada malam titik balik matahari musim dingin. Malam terpanjang dalam setahun. Tahun ini ia harus melewati malam istimewanya itu di utara. Hanya dengan mengingatnya saja sudah membuatnya mengerang kesal. Tapi, jika ingin melupakan Voreia untuk sejenak, Anna justru merasa hari kelahirannya tahun ini akan terasa istimewa daripada sebelum-sebelumnya. Jika ia bisa pergi ke kuil kesukaannya itu—andai saja Anna bisa lebih keras kepala pada ayahnya untuk membiarkan dirinya pergi ke utara.

Kemudian sebuah kesadaran menghantamnya. Lagi-lagi ia berandai-andai jika tempat itu masih ada, tidak rata dengan tanah seperti yang lainnya. Tapi, tidak ada yang tahu. Tempat itu terlalu jauh, bangsa penjajah itu tidak akan terpikirkan untuk menghancurkan sebuah kuil di desa terpencil.

Langkah Anna terus berderap di koridor istana sambil pikirannya terus mengulas sejarah-sejarah Voreia, Caesar Delano, dan Purvation yang menjadi topik pembahasannya dengan Zee. Tadi malam ia singgah ke area Zee dan berakhir tidur di sana—di perpustakaan yang khusus dibangun atas permintaan Sang Putri di wilayah peristirahatannya. Ternyata gadis itu sudah meminta ramuan penidur pada Chero untuk Anna. Kakaknya itu tidak bertanya banyak, mungkin hanya sedikit bertanya-tanya lewat tatapannya apakah Anna sudah menjelaskan gangguan tidurnya pada Zietha.

Tentu saja tidak.

Di saat Zietha sudah terlalu lelah dengan pembicaraan mereka seputar Purvation, gadis itu bertanya mengapa Anna tidak terlihat lelah sama sekali. Dan Anna hanya mampu menjawab kalau sebenarnya ia sudah lelah, namun dalam beberapa akhir ini ia mengalami kesulitan tidur. Begitulah kejadiannya, hingga akhirnya Chero datang membawa teh herbal kesukaan Zee dan juga ramuan penidur untuknya.

Dan anehnya, Anna tidak bermimpi apa pun.

Anna sedikit bergidik ketika angin pagi menerpa tubuhnya. Ia benar-benar menepati perintah Brane untuk datang ke lapangan barak sebelum fajar. Lebih tepatnya, itu perintah dari Jenderal. Anna bisa saja tidak perlu memenuhi perintah tersebut sebagai wujud aksi pemberontakannya. Ia masih kesal bukan main dengan ayahnya itu.

Anna menunduk menatap kakinya yang dibalut sepatu kulit dengan sol tebal yang kini melangkah di atas rumput. Pemandangan itu kembali membuatnya merenungkan pembicaraannya dengan Zee semalam.

“Apa yang kau ingat tentang keluarga kerajaan Voreia?” Anna bertanya sambil membuka lembaran buku di tangannya.

“Hanya informasi biasa yang memang seharusnya diketahui oleh masyarakat umum.” Zee menjawab acuh tak acuh.

“Apa saja?”

Zietha berpikir sedikit keras hingga bibirnya mengerucut. “Caesar Delano IX punya seorang adik laki-laki, kemudian satu permaisurioh, dua, salah satu selirnya menggantikan permaisuri yang sebelumnya.”

“Benar-benar penuh skandal.” Anna mendecih penuh cemooh.

“Hm, sebenarnya aku masih tidak tahu tentang keabsahan Caesar Delano X sebagai Putra Mahkota,” Zee melanjutkan.

“Apa yang perlu dipertanyakan? Namanya saja sudah menunjukkan keabsolutnya gelarnya.” Anna menyela.

“Maksudkukau tahu, Caesar Delano X merupakan putra dari permaisuri yang baru. Kita tidak tahu apakah Permaisuri Voreia itu hamil di saat kedudukannya masih menjadi selir atau ketika sudah diangkat menjadi permaisuri.” Zietha menjabarkan dengan sikap suspensi.

“Lalu?” Anna menyahut dengan nada bosan. Sebenarnya ia juga penasaran, ia bahkan pernah punya pemikiran yang sama. Tapi, bersikap jahil pada Sang Putri sepertinya terdengar menyenangkan.

Zietha sedikit merengut mendengar balasan seperti itu. Namun, tak urung ia mengemukakan pendapatnya pada Anna. “Lalu, kalau begitu bukankah itu berarti kedua putranya sama-sama tidak ada yang mendapatkan gelar Putra Mahkota sebagai hak lahir mereka?”

“Yang artinya, keduanya diperbolehkan bersaing untuk mendapatkan hak tersebut,”

“Eh? Benar bisa begitu?” Zietha justru kebingungan.

Anna menghela napas. Bukan masalah. Zietha memang tidak pernah belajar politik secara mendalam. “Itu bisa saja terjadi. Tetapi, jika kasusnya seperti itu, ada kemungkinan seorang raja justru memilih untuk memiliki anak lagi dari permaisuri yang baru. Ia pastinya tidak akan repot-repot menciptakan intrik di dalam keluarga kerajaan. Apalagi kerajaan besar semacam Voreia. Raja mereka punya banyak wilayah yang bisa dibagikan untuk anak-anaknya.”

Zietha mengangguk sembari mencerna ucapan Anna. “Atau bisa jadi, karena Sang Raja tidak ingin repot-repot menciptakan intrik di dalam kerajaan, maka dari itu ia langsung memberikan gelar Putra Mahkota pada Caesar Delano X sebagai hak lahirnya?”

“Hm, itu bisa saja terjadi. Kita tidak tahu apa pun kecuali rumor, ‘kan?” Anna mengangguk menyetujui.

Mereka terdiam, kembali menekuni bacaan masing-masing hingga Zietha kembali bersuara. “Kau tahu sesuatu tentang Kharel Delano?”

Jemari Anna batal membalikkan halaman ketika mendengar pertanyaan tersebut. Anna sedikit bingung memilih kalimat yang pas untuk menjawab pertanyaan Zietha. Apakah ia mengetahui sesuatu tentang Kharel Delano? Tidak juga. Sekali lagi, ia terkadang tidak tahu apa pun kecuali rumor. Sumber informasi terbaiknya—Valos, juga tidak pernah berkata banyak tentang sosok itu. Anna hanya tahu satu hal terkait sosok tersebut, itu pun masih ia ragukan kebenarannya.

Kharel Delano adalah bayangan Sang Raja.

Jika ada yang bisa lebih kejam dari para leluhur Delano, maka Kharel Delano ‘lah orangnya. Anna hanya beberapa kali mendengar rumor tentang sosoknya, dan yang terdengar hanyalah bagaimana kejinya manusia itu. Lewat selentingan yang Anna dengar, putra sulung Caesar Delano IX itu bahkan disebut sebagai dewa kehancuran.

“Tidak banyak yang aku tahu selain fakta bahwa ia putra pertama Caesar Delano IX.” Anna menjawab diplomatis.

“Aku pun sama. Tidak ada catatan atau informasi yang jelas tentang sosoknya. Bahkan deskripsi tentang bagaimana perangainya pun simpang siur. Apa kita akan bertemu dengannya di Purvation nanti?” Zietha berujar lemah penuh tanya.

Anna melirik Zietha, mempelajari eskpresi yang ditampilkan. “Kenapa? Kau berharap bertemu dengannya di sana?”

Zietha sontak melotot pada Anna. “Yang benar saja! Aku bahkan tidak berminat menemui Caesar Delano X. Aku benar-benar setengah hati membayangkan duduk bersama keluarga kerajaan itu.”

Ingatan akan pembicaraan itu menciptakan pertanyaan dalam benak Anna. Kharel Delano, apa perlu ia mencari tahu lebih dalam tentang sosoknya?

“Wah, aku benar-benar tak percaya kau sungguh ada di sini. Kupikir kau melarikan diri untuk menikah dengan orang lain.” Celetuk sebuah suara.

Tunggu, Anna sudah tiba di lapangan barak? Berapa lama ia melamun? Beruntung sekali ia tidak tersandung selama perjalanannya. Anna mendongak dan menolehkan kepalanya, mencari si pemilik suara. Dan di sanalah sosok itu berada, bergelayut di atas pohon tanpa beban. Seolah tubuhnya menjadi bagian dari tubuh pohon itu sendiri.

“Delen, bukankah seharusnya kau lebih sopan sedikit?” Anna menyahut sedikit jengkel. Ia masih merasa sensitif dengan topik tersebut. Apalagi akhir-akhir ini Javias dan orang-orang di sisinya selalu bertingkah hingga membuatnya sebal.

Pria kurus bernama Delen itu segera melompat dan menapaki tanah. “Hanya karena kau seorang Cuvari, bukan berarti kau bisa bersikap sok tua di hadapanku. Kau setahun lebih muda dariku, ingat itu.” Delen memicing penuh peringatan yang dibuat-buat.

“Ah, sekarang kau sangat bangga menjadi tua?” Anna balas mengejek.

Balasan itu segera mendapat pelototan dari Delen. Tetapi, mau bagaimanapun pemuda itu mencoba bertingkah dengan penuh intimidasi, ia hanya terlihat semakin lucu di mata Anna. Tubuhnya bahkan tidak lebih tinggi dari Anna. Namun, jangan salah. Meski bukan seorang Cuvari dan bertubuh kecil, prajurit satu itu tetap mematikan. Ia bisa tiba-tiba menodong leher seseorang bahkan sebelum seseorang itu menyadarinya. Yah, selain bakat bertarungnya yang mematikan, sikap menyebalkannya juga sangat mematikan. Rei harus menarik kata-katanya perihal Anna adalah manusia paling menyebalkan. Karena Delen adalah sosok yang cocok dengan julukan itu. Sama sekali tidak mengherankan, karena ia adalah sahabat baik Arwen—kakak Anna yang paling muda. Secara praktis mereka kembar. Mereka lahir di tahun yang sama dan punya sifat yang sama, mereka nyaris tak terpisahkan. Mereka sama-sama jelmaan roh jahat yang entah bagaimana bisa terlahir ke dunia ini.

Delen mengakhiri perang saraf tersebut dan memilih untuk memeluk pundak Anna. Ia mengajak Anna untuk menghampiri para prajurit yang tengah melakukan pemanasan. Itu salah satu cara paling efektif untuk meninggalkan kantuk. Sesampainya di hadapan sekumpulan laki-laki itu, Anna mendapat salam penghormatan yang benar sebelum siulan menggoda menggantikan salam hormat itu.

“Rambut yang sangat bagus, Nona.” Sahut salah satu prajurit. Anehnya, Anna sama sekali tidak tersinggung dengan sikapnya itu.

“Tentu saja. Siap untuk taruhan seperti biasa?” Delen menyahut di samping Anna sambil menggodanya.

Tentu saja rambutnya menjadi bahan perbincangan. Tadi saat terbangun, Anna tidak dapat menemukan tali yang biasa ia gunakan untuk mengikat rambutnya. Jadi, ia membiarkannya tergerai untuk saat ini. Mungkin nanti ia akan meminta pada salah satu pria di hadapannya ini untuk mencarikan sesuatu yang bisa ia gunakan untuk mengikat rambutnya.

“Akan kupastikan kalian akan langsung mencium belatiku jika berani menyentuhnya biarpun hanya sehelai.” Anna mendesis penuh ancaman setengah geli. “Hentikan itu, Anak-Anak. Buat barisan!” Lanjutnya mengambil komando.

Tidak ada penolakan. Brane tidak ada di hadapan mereka, dan jabatan Anna lebih tinggi dari mereka. Komando itu mutlak dan harus dipatuhi meski perintah tersebut keluar dari bibir seorang perempuan. Latihan yang diawali dengan berlari berlansung lancar. Anna menemani mereka dengan memimpin di posisi paling belakang. Pasukan ini merupakan pasukan inti kerajaan. Mereka berlatih setiap hari kala fajar belum menyingsing hingga beberapa jam. Brane yang selain ditugaskan menjadi tangan kanan Javias, bertanggung jawab dengan pelatihan pasukan inti ini. Karena pada siang hari hingga menjelang malam, pasukan inti ini akan melatih pasukan-pasukan yang lain.

Hampir semua dari mereka mengenal identitas Anna. Putri bungsu Jenderal Reese. Seorang Cuvari pertama yang berjenis kelamin perempuan. Beberapa dari mereka bahkan ada yang pernah menjadi mentornya saat Anna pertama kali datang ke istana untuk bergabung ke dalam pasukan. Sebagiannya lagi merupakan teman seangkatan Anna yang bergabung ke dalam pasukan di waktu yang sama seperti Anna. Delen contohnya.

Sayangnya, pemuda itu bukan berasal dari keluarga bangsawan—maka dari itu dia tidak bisa mengikuti ujian untuk menjadi seorang Cuvari. Ia bahkan bukan warga asli Dienvidos. Kisahnya cukup rumit. Intinya, ia dulu hanyalah anak laki-laki yang tersesat di perbatasan, hingga seorang pedagang Dienvidos menemukannya kemudian merawatnya. Sebagai imbalan atas kebaikan dari pria tua itu, Delen memutuskan untuk bergabung ke dalam pasukan istana. Menjadi prajurit selalu memiliki prospek yang bagus, kehidupan yang nyaman sudah pasti jadi jaminannya. Delen bertemu dengan Anna di tahun yang sama. Mereka saling belajar dan mengajari satu sama lain. Selain Rei, mungkin Delen juga termasuk salah satu orang terdekatnya. Di saat orang lain menyebut Anna gila karena mengikuti ujian Cuvari hingga tiga kali percobaan, Delen selalu mendukungnya. Pemuda itu secara tidak langsung berjasa atas jabatan yang Anna miliki sekarang. Yah, meskipun Anna juga harus mengapresiasi dirinya karena masih bisa bertahan dengan sikap Delen yang membuat sakit kepala.

“Apa Arwen sering memberimu kabar?” Anna bertanya pada Delen yang sedang mengasah pedangnya.

Delen mengedikkan bahu. “Tidak terlalu sering, aku hanya tahu kalau saat ini ia tengah berada di Entshona.”

“Kapan anak itu bisa dewasa,” Anna mengeluh pelan.

“Hei, dia kakakmu.” Delen menyahut sembari terkekeh.

“Usia hanyalah serangkaian angka.” Kata Anna. Tak lama, ia mengerang kesal karena salah satu prajurit yang ia suruh mencari tali untuk mengikat rambutnya tak kunjung kembali. Kali ini Anna harus menggulung rambutnya, karena latihan yang selanjutnya adalah melatih kemampuan menggunakan pedang. Anna sedikit tidak suka melakukan latihan ini. Ia memang petarung jarak dekat, tapi pedang terasa tidak cocok di tangannya. Anna dulu sempat berpikir apakah kelebihannya ada di kemampuan bertarung jarak jauh. Jawabannya juga tidak memuaskan. Ia kurang menguasai busur dan panah, tetapi pisau atau belati yang dilemparnya selalu mengenai tepat sasaran. Segala jenis pisau memanglah separuh jiwanya.

“Baiklah, kalian akan bertarung secara berpasangan. Aku akan—” Anna menghentikan perintah yang hendak ia ucapkan ketika para pria di hadapannya serentak berdiri tegap dan menunduk hormat. Tunggu, ada apa? Tindakan itu hanya dilakukan jika ada seorang prajurit yang pangkatnya lebih tinggi. Bisa saja itu Brane yang ditampuk menjadi jenderal selanjutnya, atau bisa jadi itu adalah Jenderal sendiri.

Tidak ingin menebak-nebak lebih lanjut. Anna menolehkan kepalanya dan matanya menemui sosok itu. Hebat sekali, ayahnya datang entah untuk memberikan kesialan apalagi untuknya.

“Jenderal,” Anna menyapa hormat menundukkan kepala.

Jenderal hanya mengangguk pelan sebagai penerimaan salam hormat itu. Sosok paruh baya itu kemudian mendekati salah satu prajurit yang terlihat gugup. Menyadari kalau sosok Jenderal yang paling disegani di seantero kerajaan bergerak ke arahnya.

Anna hanya mengernyit bingung ketika ayahnya menadahkan telapak tangan kanannya seolah meminta sesuatu dari prajurit yang malang itu. Anna tidak heran kalau prajurit itu juga kelihatan kebingungan.

“Pedangmu,” Ujar Sang Jenderal.

Tanpa basa-basi, prajurit itu segera memberikan pedang yang baru saja diasahnya ke tangan Jenderal. Sembari mengamati pedang itu lamat-lamat, Sang Jenderal melirik sebentar pada Anna sebelum berkata, “Ambil pedangmu, Prajurit.”

Anna terkesiap pelan. Ia memang belum menyiapkan pedangnya—pedang umum milik kerajaan yang disiapkan untuknya. Anna memang punya pedang pribadi, tapi ia tak pernah membawa benda itu ke mana-mana. Anna menelan ludah gugup sebelum melirik ke segala arah. Ia harus mencari pedang ke mana?

Kemudian satu sosok menghampirinya. Itu Delen. Pemuda itu memaksakan sesuatu untuk Anna genggam. Ketika Anna menyadarinya, sesuatu itu ternyata sebilah pedang. Delen meminjamkan pedangnya untuk Anna. Sama seperti Anna, pasukan inti kerajaan rata-rata memiliki pedang pribadi. Sebilah pedang yang ditempa sesuai keinginan mereka, baik dari komposisinya hingga bentuk pedang itu sendiri. Menggunakan pedang Delen akan memberikan keuntungan untuknya. Pedang itu dibentuk menyesuaikan postur tubuh Delen yang hampir mirip dengan Anna. Ia menghela napas penuh terima kasih pada teman seperjuangannya itu.

“Kurasa sebelum menyuruh mereka untuk berlatih bertarung, ada baiknya kau memberikan contoh yang baik.” Suara Jenderal yang penuh ketegasan dan aura dingin membelah keheningan pagi. Sepasukan prajurit yang baru saja berlari sebagai awal latihan tadi tiba-tiba enggan menunjukkan raut wajah lelah mereka. Kehadiran Jenderal yang sangat tidak biasa ini benar-benar menimbulkan ketegangan.

Di saat Anna sibuk membaca sekitar, posisi mereka sudah berubah sepenuhnya. Kini ia berdiri berhadapan dengan ayahnya, sedangkan para prajurit berkerumun di pinggir lapangan membentuk lingkaran.

Anna merasakan tangannya gemetar. Ia mengeratkan pedang di tangannya, mencoba mengusir kegusarannya. Ini adalah momen langka. Mungkin para prajurit itu penasaran setengah mati bagaimana Sang Jenderal akan menjatuhkan putrinya ke lapangan barak yang penuh lumpur.

Anna boleh saja berhasil menjadi Cuvari setelah tiga kali melewati ujian serupa neraka yang enggan diikuti oleh sebagian prajurit. Anna boleh saja berhasil menjatuhkan Randal Guney di hadapan semua orang. Tetapi, apakah kemampuan Anna sebanding dengan Sang Jenderal?

Demi Halstead, apa yang ada di dalam kepala Pak Tua itu? Anna mengerang dalam hati.

Anna menyiapkan kuda-kuda terbaiknya. Tangan kanannya menghunus pedang, sedangkan tangan yang lain mengepal di belakang tubuh. Ini posisi bertarung yang formal. Di depan sana, Jenderal Reese hanya berdiri tegap dengan bertumpu pada pedang yang menancap di tanah.

Kemudian dentang dua besi yang beradu memekak di udara. Anna menyerang, gerakannya secepat angin dan sehalus bulu. Langkahnya beberapa kali goyah karena ia masih kesulitan untuk mengatasi kegusarannya. Sejauh ini Jenderal tidak menyerang. Gerakannya jauh lebih santai dari Anna. Mungkin baginya, serangan Anna sama sekali bukan ancaman. Hingga kemudian Jenderal melakukan gerakan tak terduga. Menggunakan keuntungan dengan tubuhnya yang besar, pria paruh baya itu menangkis serangan Anna dengan kuat hingga Anna hampir terjungkal. Dari situ semuanya berubah. Anna meringis ngeri.

Ayahnya sudah merasa cukup bermain-main.

Erangan kesakitan keluar dari bibir Anna ketika ayahnya menghantamkan gagang pedang di salah satu belikatnya setelah melesat menghindari serangan Anna. Keduanya berjalan pelan sambil saling membaca gerakan. Para prajurit pun tak kalah tegang, beberapa ada yang terkesiap, beberapa lagi ada yang terlihat menahan napas. Ini pukulan pertama yang melukai salah satu di antara mereka.

Anna tidak setangguh itu hingga baru bisa dilukai setelah cukup lama pedang mereka beradu. Ayahnya memang sengaja memilih untuk bermain-main dulu dengannya. Sengaja menghabisi tenaganya.

Jenderal Reese menatap datar putrinya sebelum mengambil langkah untuk melayangkan serangan pertama, ini berbeda dengan sebelumnya. Seperti yang sudah Anna duga, ia jadi sering terjatuh. Tubuhnya penuh peluh, tangan dan wajahnya penuh tanah lumpur. Namun, belum ada luka serius.

Anna harus berhati-hati dengan ucapannya meskipun itu hanya dalam hati. Karena pada detik selanjutnya, ia mengumpat kasar ketika pedang ayahnya itu menciptakan sayatan di lengan kirinya. Lagi-lagi ia terjatuh dan amarah tiba-tiba membakarnya. Matanya perih akibat beberapa tetes keringatnya yang masuk ke dalam mata. Ia masih tidak tahu apa tujuan ayahnya melakukan ini padanya.

Dengan cepat ia kembali menggenggam erat pedang Delen di tangannya dan menyerang Jenderal lebih dulu. Namun, Jenderal memang bukanlah tandingannya. Bukannya berhasil menyentuh Jenderal dengan pedangnya, sayatan justru kembali ia terima di paha kanannya. Sial, rasa sakitnya sangat menyengat. Anna bahkan sampai jatuh dengan posisi merangkak.

Ia harus bisa lebih kepala pada ayahnya. Itu yang Anna tanamkan pada pikirannya.

Anna bangkit tertatih. Tangannya kembali mengayunkan pedang, dan lagi-lagi ia mendapatkan luka. Air mata amarah menggenang di matanya. Wajah dan tubuhnya pasti sudah sangat tidak enak dipandang. Sedetik sebelum Jenderal melayangkan pedang untuk mengiris pinggang kirinnya, Anna melihat dua sosok yang sebelumnya tidak ada di pinggir lapangan. Kedua kakaknya berdiri di sana sambil melipat kedua tangan di dada, melihat pertarungan antara Anna dan ayah mereka. Brane dengan ekspresi kerasnya sedangkan Chero dengan raut khawatirnya. Namun, bukan itu yang membuatnya marah hingga ingin meneteskan air mata. Ayahnya, Sang Jenderal Besar, mendesiskan satu kata cemooh yang merobek harga dirinya.

“Tidak beradab,”

Dengan raungan kesal, Anna kembali mencoba menyerang Sang Ayah dengan tendensi melukai. Ia ingin ayahnya punya luka yang sama dengannya. Tetapi, goresan tipis yang baru saja diberikan oleh Jenderal di pipinya membuat Anna lengah hingga akhirnya menjatuhkan Anna untuk kesekian kalinya. Persetan dengan pendapat para prajurit yang menyaksikan pertarungan ini. Mereka pasti malah merasa heran melihat Anna yang bertahan cukup lama setelah mendapat serangan sebanyak ini.

“Liar.” Jenderal kembali berdesis pelan. “Kau pikir kau bisa pergi ke utara dengan sikap seperti itu?” Tanya Jenderal penuh kesinisan.

Luka-luka ditubuhnya mulai menunjukkan reaksi. Entah sudah berapa banyak darah yang hilang dari tubuhnya. Kini ia hanya bisa menunduk untuk menyembunyikan air matanya. Tidak, ia tidak sedih. Ia hanya merasa sangat marah karena merasa tidak adil dengan pertarungan yang sangat tiba-tiba ini. Anna yang sedang merutuki ayahnya tiba-tiba merasa tegang ketika merasakan kehadiran seseorang di punggungnya. Anna mendongak dan tidak menemukan Sang Jenderal di depannya. Ia hanya mampu melirik sedikit kalau sosok di belakang tubuhnya itu ternyata ayahnya.

“Tidak!” Anna menjerit pilu.

Ia melemparkan pedang di salah satu tangannya dan mengangkat kedua tangannya yang sama-sama kesakitan ke belakang kepala—ke arah tangan Sang Jenderal yang telah mengumpulkan rambut Anna ke dalam satu genggaman besarnya. Anna tahu apa yang akan dilakukan ayahnya. Ia memberontak serampangan sambil terus meneriakkan penolakan. Kepalanya terasa sangat sakit karena ia mencoba memaksakan diri lepas dari cengkeraman Sang Ayah. Kedua tangannya terus berusaha menyingkirkan tangan dan pedang ayahnya yang berada tepat di tengkuknya.

“Ayah! Aku mohon!” Anna terus menjerit dan memberontak.

Hingga akhirnya semua usahanya itu hanya berakhir sia-sia. Ayahnya berhasil memotong sebagian besar rambutnya. Anna hanya bisa berlutut pasrah dan membiarkan rambutnya perlahan menyampu pipinya. Pandangannya kosong. Anna bahkan tidak mampu berpikir ketika suara ayahnya kembali terdengar.

“Itu hukumanmu.”

Hukuman. Kata yang sering dijadikan candaan oleh Rei. Topik besar yang menanti kepulangannya setelah sebelumnya ia melarikan diri. Semua tebakannya salah. Ia tidak menjalani masa hukuman selama enam bulan seperti masa pelariannya. Ia hanya menjalaninya dalam sehari—bahkan hanya dalam hitungan jam. Anna roboh. Sakit yang ditimbulkan dari luka-luka mulai menguasai tubuhnya. Ia bahkan sudah tidak punya tenaga untuk melemparkan umpatan kasar pada ayahnya. Anna tidak tahu berapa lama ia berbaring di hamparan tanah itu hingga akhirnya ia merasakan seseorang membopong tubuhnya dengan cepat seolah Anna hanya seringan kapas.

Samar-samar, Anna bisa mendengar suara dari sosok yang menggendongnya. “Kau yang memberi ide kepada Ayah untuk mengahajar Anna dan memotong rambutnya?” Itu suara Chero. Nadanya penuh tuduhan.

“Tidak. Aku hanya bilang aku akan menghajar gadis nakal itu sebagai bentuk hukumannya.” Suara berat lain menjawab. Itu suara Brane.

“Perihal rambut?” Chero kembali bertanya.

“Aku sama sekali tidak tahu.”

Anna menyembunyikan wajahnya di dada kakaknya. Tubuhnya nyaris mati rasa. Teguran kasar dari Sang Ayah sukses menggelayuti pikirannya.

Tidak beradab.

Liar.

Kau pikir kau bisa pergi ke utara dengan sikap seperti itu?

Kemudian sebagian rambutnya hilang.

Anna mengerang dalam hati. Ayahnya memang tidak akan membiarkannya pergi ke utara.

***

Suara riuh itu hampir tidak mampu menjaga kesadaran Anna untuk tetap berada di tubuhnya. Ia bahkan tak mampu meringis ketika Chero dan para asistennya menekan luka-luka Anna—mencoba mengehentikan pendarahannya. Ia tidak akan mati, ‘kan?

Ayahnya memang berhati batu. Ia mungkin terkesan tidak akan segan untuk membunuh anaknya sendiri. Tetapi, rasanya aneh sekali jika seorang Jenderal mengambil tindakan yang tidak bermoral seperti itu. Ayahnya itu jelas punya reputasi yang harus dilindungi.

Pipi Anna berkali-kali ditepuk oleh kakaknya. Menjaganya untuk tetap sadar sampai laki-laki itu berhasil mengobatinya. Brane sudah tidak tahu di mana rimbanya. Mungkin ia sedang menyambangi ruang kerja Sang Ayah untuk mengucapkan selamat atas kesuksesannya menghajar Anna. Rasanya sakit sekali ketika kau dihajar oleh seseorang yang selama ini kau pedulikan.

“Anna, tetaplah bersamaku.” Chero dengan napas terengah terus memperingati Anna.

Ia tidak akan mati.

Anna tidak mau mati.

Tidak sebelum semua usahanya terbalas.

Tidak sebelum ia membayar kehidupan yang ia dapatkan dari ribuan orang yang telah berkorban untuknya.

Anna memejamkan mata sembari terus mengingatkan pikarannya untuk tetap sadar. Apa pun. Ia harus memikirkan apa pun supaya bisa tetap sadar. Kilasan mata biru menghampirinya.

Kilasan itu membuat Anna terkejut. Apa yang baru saja ia pikirkan?

Lalu, tanpa diminta, kenangan itu mendatanginya. Bagaimana bingungnya Anna ketika terbangun pagi itu di tempat tidurnya sendiri. Dan ketika ia menolehkan kepalanya, rambut hitam nan halus mengusap pipinya. Seketika Anna tahu apa yang telah terjadi. Meski mereka tidur berdekatan—mungkin karena sama-sama mencari kehangatan di dinginnya malam tadi—pemuda itu tidak meletakkan tangannya di atas tubuh Anna. Ia justru meringkuk di dekatnya seperti anak kecil. Pemuda itu memang bocah. Satu kalimat yang langsung terlintas di pikiran Anna saat itu. Kemudian pikiran lain menamparnya.

Bocah macam apa yang mampu mencumbunya seperti itu?

Di tengah kesakitannya, Anna mengingat bagaimana jantungnya berdebar saat pertanyaan itu muncul di pikirannya. Sial, Lintah Utara itu benar-benar sudah mempengaruhinya. Anna mengerang, air mata menetes dari sudut matanya ketika ada sesuatu yang terasa menyengat di lukanya.

“Tidak apa-apa. Ssshh, kau akan baik-baik saja, Anna.” Ujar Chero menenangkan.

Entah apa yang dilakukan kakaknya itu dalam usaha mengobatinya. Sakit yang ditimbulkan oleh lukanya benar-benar membuatnya pening. Anna yakin sepenuhnya kalau pikirannya pasti sangat kacau ketika ada sedikit penyesalan yang tiba-tiba menyelip di hatinya saat mengingat momennya bersama Eric.

Ia menyesal tidak membalas ciuman Eric.


©️MERITOCRACY, 2021

See you on the next chaps

30 Komentar

  1. Baguss :sebarcinta :sebarcinta

  2. ArinaRisaDewi menulis:

    Setdahh anna masih ada kesempatan utk membalas obat insomnia :otakkugakkuat :lovelove dari eric wkwkwk. Btw kenapa ini gak bapaknya anna gak si brane, kelakuan mirip demit keluarga sendiri kok digituin….barbar sekali. Semoga kedepannya anna bisa lebih tangguh lagi

  3. ArinaRisaDewi menulis:

    See you di chap. selanjutnya miss author favorit :cintakumembarapadamuh :lalayeye

  4. Sbenarnya Ayahanya Anna ini emg gasuka kalau Anna bandel atau emg krna hal lain yaaa🤔🤔🤔
    Brane jg gituu dingin beuttt sama adik sendiri
    Kasian woiiii itu rambutnya dipotong dgn cara sprti itu huhu

    Ericcc mana Ericcccccc🥺🥺

  5. Ivena Almira menulis:

    :sebarcinta

  6. Diiyaninta menulis:

    Makin penasaran lanjutannya, terima kaaih dan semangat author :sebarcinta

  7. Tks y kak udh update.

  8. Indah Narty menulis:

    :DUKDUKDUK

  9. Indah Narty menulis:

    :sebarcinta

  10. oviana safitri menulis:

    :sebarcinta :sebarcinta

  11. Rizki Astari menulis:

    Seru… :kumenangismelepasmu

  12. Si ㄹ Sunny menulis:

    aku balik lagi soalnya udah Juli :DUKDUKDUK masih setia untuk menantimu kembali kak :sebarcinta

  13. Azizah syifa menulis:

    Baguss ceritanya, thanks author!

  14. Wah mewekkk😭😭

  15. Lanjut lagiiii donggg :mataberkilattajam

  16. vara azzahra menulis:

    Ceritanya bagussss …. ini kapan updatenya :nangiskeras :nangiskeras :nangiskeras