Vitamins Blog

MERITOCRACY 14 : Loomus

Bookmark
ClosePlease login

No account yet? Register

6 votes, average: 1.00 out of 1 (6 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

Di saat gelap hadir
Dan lewat ikatan takdir
Semesta tak luput menjadi saksi
Kala Anak-Anak Alam menapakkan kaki
Menyambut hidup yang tak lagi abadi
Menikmati kefanaan sepenuh hati

Menatap langit
Mencumbu permukaan
Meraba mentari
Memeluk rembulan
Meredup mati
Mencacah kehidupan
Merajut damai
Menjagal kekacauan

“Puisi jenis apa itu?” Suara dari arah pintu perpustakaan membuat Valos tersadar dari lamunannya.

“Maaf?” Ujar Valos. Ia menoleh, melihat ke arah putra mahkota Arevell yang berjalan mendekatinya. Apakah Austur Gundogar baru saja menanyakan sesuatu padanya? Puisi? Puisi apa…? Ah, puisi itu. “Saya tak sadar bahwa saya mengatakannya dengan keras.” Sambungnya.

Austur merengut. “Paman, apa-apaan sikap formalmu itu.”

Valos tertawa dengan respon Austur. Anna selalu menyebut Austur ‘Pangeran Gila’ dan terkadang Valos tak mampu menyangkal hal itu. Austur dengan senang hati memanggilnya paman tanpa pernah ia minta. Akan tetapi Austur selalu menggunakan panggilan buruk pada keluarga istana atau bahkan para kepala keluarga bangsawan yang bekerja di istana.

Memang benar Pangeran Gila.

“Tidak ada puisi di buku ini,” Valos mengangkat buku digenggamannya, memberi unjuk pada Austur. “Tetapi ada sesuatu dalam buku ini yang mengingatkanku pada puisi yang tak kusadari baru saja kuucapkan.”

“Puisi tentang apa itu?” Austur kembali bertanya setelah duduk tak berjauhan dari Valos. Pangeran muda itu bahkan dengan santai mengambil kudapan yang disediakan untuk Valos selama ia berada di perpustakaan istana.

“Romansa.” Balas Valos singkat.

Austur berkedip, membatu sejenak. “Romansa? Aku tak menyangka kau salah satu penggemar romansa.”

“Penggemar besar,” Sahut Valos jenaka dengan mengedipkan sebelah mata. “Puisi tersebut berjudul Lagu Pertama,” Valos mulai menjelaskan. “Puisi tentang kisah lama—kisah dahulu—yang usianya bahkan lebih tua daripada Halstead.”

Lagu Pertama? Judul yang aneh. Itu bukan sebuah lagu, mengapa dijuluki ‘Lagu’?” Austur menelengkan kepalanya merasa bingung.

“Ada yang bilang bahwa larik itu memang awalnya disenandungkan, itulah mengapa mereka menamainya Lagu Pertama. Orang dahulu percaya bahwa lagu itu pertama kali terdengar di malam titik balik matahari musim dingin—malam terlama sepanjang tahun—namun tidak diketahui dari mana suara itu berasal. Hingga pada hari di mana salju tak lagi turun, seorang gadis kecil menemukan tulisan di permukaan dinding gua terlarang. Gua yang sekarang kita ketahui dengan nama Gua Seribu Bintang.”

Merasa teringat dengan sesuatu, Austur menyela cerita Valos dengan pelan. “Jadi, puisi itu berasal dari kisah mitos? Karena Gua Seribu Bintang merupakan tempat mitos yang sampai saat ini tidak diketahui lokasinya. Bahkan tidak sedikit kisah mitos yang menyebutkan tentang Gua Seribu Bintang.”

Valos terkekeh. “Aku percaya itu karena Gua Seribu Bintang merupakan sebuah Omen. Itulah mengapa tidak ada yang pernah menemukannya hingga sekarang.”

“Sebuah Omen? Apa maksudnya…?”

“Omen memiliki arti pertanda. Dapat dimaknai sebagai suatu peristiwa yang muncul sebelum kejadian besar datang. Contohnya seperti bau besi yang terkadang bisa tercium menandai badai akan tiba. Gua Seribu Bintang adalah sebuah Omen.” Jelas Valos. Gua Seribu Bintang memang mitos awam di masyarakat. Tidak sedikit legenda yang menceritakan tentang pahlawan besar Halstead mendapat pencerahan bilamana mereka menemukan Gua Seribu Bintang. Ada yang percaya bahwa senjata-senjata hebat milik para pahlawan berasal dari gua tersebut, ada pula yang percaya bahwa Gua Seribu Bintang merupakan tempat di mana para pahlawan tersebut mendapatkan kekuatan misterius mereka. Dan Lagu Pertama dipercaya sebagai sebuah ramalan.

Austur mengangguk paham. “Lalu, puisi yang ditemukan di gua itu menandakan tentang apa?”

Lagu Pertama menandakan tentang kedatangan Anak-Anak Olemus. Apa kau pernah mendengarnya?”

“Olemus?” Austur berpikir sejenak. “Aku seperti pernah mendengar kata tersebut, tetapi—oh! Bukankah itu bahasa kuno? Artinya… dunia?” Lanjutnya ragu.

Valos tersenyum separuh. “Maksudmu alam?”

“Ya! Itu dia yang kumaksud. Bahasa kuno memang tidak pernah mudah untuk dimengerti.” Sahut Austur penuh antusias yang disambut kekehan dari Valos.

“Benar, mereka biasa disebut Loomus.” Kemudian Valos menuliskan baris puisi ke kertas kosong yang ia temukan sebelum menunjukkannya pada Austur, membiarkan sang Pangeran membaca larik yang ia ucapkan sebelumnya. “Bagaimana menurutmu?” Tanyanya setelah beberapa saat.

“Puisi ini sedikit terdengar seperti kalimat pemujaan. Loomus… apakah mereka semacam titisan Roh Agung?” Austur menatap Valos penuh penasaran sebelum perhatiannya kembali terpaku pada kertas di genggamannya. Tak lama, kernyitan muncul di dahinya. “Yang tidak kupahami adalah mengapa kau menyebut ini jenis puisi romansa.”

“Kau itu pandai, Austur. Bisakah kau melihatnya?” Sahut Valos memancing.

Katakanlah Valos berlebihan dalam mengartikan sesuatu. Mungkin Lagu Pertama memang hanyalah kalimat pemujaan. Tetapi, jika diperhatikan baik-baik, Valos sangat percaya bahwa larik tersebut bukan hanya kalimat pemujaan biasa. Itu sebuah refleksi tentang keseimbangan. Langit dan bumi, bulan dan matahari, hidup dan mati, gelap dan—

“Pria dan wanita,” Sahut Austur dengan kesiap. “Anak-Anak Olemus… mereka sepasang laki-laki dan perempuan?”

Valos tak lagi mampu membendung senyumnya. “Anak-Anak Olemus atau Loomus merupakan dua individu yang memiliki satu jiwa. Mereka adalah pasangan jiwa. Itulah mengapa aku menyebut Lagu Pertama sebagai puisi romansa.”

Austur mendengus, “Larik ini terlalu berat jika hanya menceritakan tentang kisah cinta mereka.”

“Karena itu bukan hanya kisah cinta. Kau tahu, Loomus hanya ada di dunia ini ketika di masa-masa tertentu. Di kala dunia tak lagi seimbang, Loomus hadir sebagai pemimpin yang akan membawa manusia keluar dari masa tersebut.”

“Apa yang membuat mereka istimewa?”

Masih dengan tersenyum, Valos kembali bercerita. “Mereka bukan sekadar manusia, mereka merupakan wadah para Roh Agung.”

Halstead memiliki lebih dari satu kepercayaan. Ada yang percaya pada Dewa-Dewi seperti mayoritas di Haltead karena kepercayaan itulah yang dianut oleh Noarden, ada pula yang percaya pada Roh Agung. Yang tidak mereka ketahui adalah Dewa-Dewi yang Noarden puja merupakan bagian dari Roh Agung. Roh Agung terdiri dari Roh Pencipta dan Roh Pengacau. Mereka disebut Dailrade dan Dazode. Yang kemudian mengatur keseimbangan alam semesta dengan menciptakan roh-roh lain. Roh Alam inilah yang mengatur matahari, bulan, kesuburan, dan lain-lain. Hingga pada akhirnya disebut dengan nama-nama yang berbeda oleh Noarden sampai saat ini. Tetapi mereka tetap entitas yang sama. Dan Arevell merupakan salah satu kerajaan di Halstead yang percaya pada Roh Agung.

“Manusia merupakan makhluk indah andai saja mereka tidak memiliki keserakahan. Namun, itulah yang namanya keseimbangan. Akan tetapi, jika salah satunya lebih berat—katakanlah keserakahn—itu akan membawa kerugian dan meracuni dunia. Baik Roh Agung maupun Roh Alam tidak dapat ikut campur karena dunia mereka dengan dunia kita berbeda. Kekuatan mereka begitu besar dan manusia tidak memiliki kemampuan untuk berkomunikasi dengan para roh. Jika diberikan lebih, maka manusia akan makin serakah. Namun, jika dikurangi, maka eksistensi manusia akan berakhir. Itulah mengapa para roh sepakat untuk menciptakan keseimbangan dari dunia mereka dengan dunia manusia. Dailrade dan Dazode menciptakan entitas dari kekuatan mereka yang kemudian terlahir sebagai sepasang manusia. Satu jiwa yang berisikan dua kekuatan Roh Agung.”

“Mengapa mereka tak mencipatakan dua jiwa?” Sela Austur.

“Kekuatan Roh Agung merupakan kekuatan dahsyat yang tak mampu dibayangkan oleh pikiran manusia. Jika diciptakan dengan dua jiwa, maka satu kekuatan akan melampaui kekuatan yang lainnya. Kalau kau lupa, manusia adalah makhluk dengan nurani yang rapuh. Apabila hal itu benar terjadi, bukannya menyelamatkan keseimbangan dunia, para Loomus justru akan mencoba saling menjatuhkan satu sama lain. Itulah mengapa Roh Agung menciptakan satu jiwa yang kemudian dipecah menjadi dua. Hal itu bertujuan untuk mengikat mereka, karena separuh jiwa tak akan bisa hidup tanpa belahan lainnya, mencegah mereka untuk saling menghancurkan.”

“Jadi, Loomus diciptakan sebagai jembatan para roh dan manusia? Sungguh mengagumkan, mengapa aku belum pernah mendengar kisah ini?” Austur merengut.

“Kisah ini hampir tidak pernah diceritakan dengan alasan untuk melindungi para Loomus. Mereka merupakan ancaman bagi manusia yang serakah, yang takut akan kekuatan yang mereka miliki. Para Loomus boleh saja memiliki kekuatan dahsyat yang berasal dari para Roh Agung, tetapi bukan berarti mereka makhluk abadi.” Valos menelengkan kepala sebelum mengoreksi perkataannya. “Sebenarnya, mereka makhluk abadi—jiwa mereka abadi—yang terpaksa hidup dalam kefanaan dunia kita. Itulah sebabnya jiwa mereka terus lahir ke dunia ini.”

Austur membelalakkan mata. “Mereka selalu bereinkarnasi? Mengerikan sekali rasanya terus-menerus hidup dan mati untuk meredakan kekacauan yang tak ada habisnya.” Tubuhnya bergidik saat membayangkan hal tersebut.

“Ya, memang mengerikan. Namun, setidaknya mereka tidak mengingat kehidupan mereka sebelumnya saat mereka bereinkarnasi. Itu merupakan hadiah sekaligus kutukan. Di setiap kelahiran, mereka perlu mempelajari siapa diri mereka sebenarnya dari sejarah dan kisah yang tertulis.” Valos menghela napas. Tidak ada banyak hal menyenangkan terlahir sebagai Loomus. Jika mereka mencari terlalu dalam, orang-orang akan curiga, dan manusia-manusia serakah yang takut akan kehadiran mereka akan mencari cara untuk segera melenyapkan mereka.

“Apa mereka selalu lahir sebagai orang sama?”

Valos mengangguk pelan. “Loomus selalu lahir dengan penampilan yang serupa dengan kehidupan mereka sebelumnya. Namun terkadang mereka memiliki sifat yang berbeda akibat pengaruh dari lingkungan di mana mereka lahir. Seperti yang sudah kukatakan, sehebat apapun mereka, seistimewa apapun mereka dengan ilham dari para Roh Agung, mereka tetaplah manusia. Mereka bisa keras dan agresif, mereka juga bisa lembut dan penuh kasih.”

“Lalu, apakah Loomus selalu terlahir kembali secara acak?” Austur bertanya dengan penuh semangat.

Kekehan terlepas dari mulut Valos. “Kenapa? Kau berharap bahwa kau seorang Loomus?”

“Itu mungkin saja terjadi. Walaupun sedikit mengerikan, jika itu memang benar mau tak mau aku harus menerima takdirku.” Austur mencebik pelan.

“Oh, aku yakin sekali kalau kau bukan seorang Loomus,” Valos terbahak. “Tidak, para Loomus tidak terlahir kembali secara acak. Mereka selalu lahir dari keluarga yang sama pada generasi yang berbeda. Walaupun keluarga tersebut tak memiliki nama atau status yang sama seperti di kehidupan sebelumnya, Loomus terikat dengan darah keluarga di mana mereka pertama kali lahir di zaman dahulu.”

“Benar, bukan? Itu berarti siapa saja bisa menjadi Loomus?” Austur kembali menodong Valos dengan penuh semangat.

“Tentu saja tidak. Apa kau lupa dengan yang kukatakan? Para Loomus selalu memiliki penampilan yang sama di setiap kehidupan mereka.” Dengan senyum geli Valos menjawab. Tingkah Austur benar-benar persis seperti balita.

“Aku ingat! Yang kumaksud adalah—tunggu, kau bilang para Loomus selalu memiliki penampilan yang sama di setiap kehidupan mereka. Lalu, bagaimana bisa kau mengenali bahwa seseorang merupakan Loomus jika kisah mereka hampir tak pernah diceritakan?” Austur berpikir keras. “Apakah mereka punya ciri-ciri khusus?”

Valos mengangguk.

“Apakah mereka dilukis pada potret sejarah?”

Valos menggeleng.

“Lalu, bagaimana—” Austur menghentikan celotehannya kala melihat senyum Valos semakin melebar.

Masih dengan tersenyum, Valos menghela napas. “Bagi yang mengetahui tentang kisah Loomus, akan sangat mudah mengenali mereka jika kau berjumpa dengan mereka. Loomus selalu memiliki penampilan yang serupa di setiap kehidupan karena pada dasarnya mereka adalah jiwa yang mengalami siklus hidup dan mati tanpa henti,”

“Berjumpa dengan mereka…” Austur menggumam. “Mereka? Dalam artian mereka berdua? Bukan hanya salah satunya?”

“Ya, mereka berdua.” Jawab Valos singkat.

“Mengapa?” Sahut Austur kebingungan. “Jadi, kau harus bertemu dengan mereka berdua untuk mengetahui bahwa mereka adalah para Loomus?”

“Ya, itu cara yang mudah untuk mengetahui seorang Loomus. Karena mereka berdua memiliki penampilan yang serupa.” Jelas Valos hati-hati.

“Kau terus menerus mengatakan hal yang sam—”

Geram dengan kemampuan Austur dalam menangkap kata-katanya, Valos menyela. “Mereka punya wajah dan citra diri yang sama. Bukan hanya sama seperti di kehidupan sebelumnya, akan tetapi serupa satu sama lain pula.”

Valos nyaris tertawa melihat Austur yang kehabisan kata-kata. Tidak ada banyak kesempatan di mana Putra Mahkota Arevell kehilangan kata-katanya. Maka dari itu Valos kembali mengganggu Austur yang masih mencoba mengolah jawabannya.

“Pada dasarnya mereka adalah satu jiwa dalam dua tubuh, apa kau berharap mereka memiliki tampilan yang berbeda?”

***

Entah sudah berapa hari berlalu sejak Anna sadarkan diri. Ia yakin setidaknya sudah lebih dari lima hari. Anna tak diizinkan meninggalkan ruangan tempatnya menerima pengobatan langsung dari kakaknya. Akan tetapi setelah mengeluh dua hari yang lalu ia diizinkan untuk keluar ruangan namun dengan tegas mendapat perintah untuk tidak meninggalkan pusat pengobatan oleh Chero. Anna terjebak dilema ingin pergi jauh dari tempat ini dan tak ingin keluar dari ruangan istirahatnya sama sekali. Kemarin ia keluar sejenak untuk meredakan suntuknya setelah Chero merapikan rambutnya yang kini hanya sebatas tengkuknya. Gaya rambutnya saat ini mengingatkan Anna pada masa-masa saat pertama kali ia bergabung dengan pasukan istana. Jenderal Reese sukses melaksanakan rencananya, kini Anna tidak dapat pergi ke utara sebagai pendamping wanita Zee.

Orang-orang menatap Anna, orang-orang membicarakannya di belakang. Dan untuk pertama kalinya Anna peduli dengan hal itu.

Ia masih bisa masuk istana Voreia, namun sayangnya Anna tidak bisa berangkat bersama rombongan selatan. Itulah mengapa ia membutuhkan Eric. Ia akan pergi dan tiba lebih dulu di utara, kemudian melanjutkan rencananya untuk masuk ke istana Voreia bersama Zee. Terdengar cukup mudah, tetapi luar biasa sulit dilakukan apalagi dengan kondisinya tubuhnya saat ini. Setelah Chero berhasil memeriksanya kembali beberapa hari yang lalu, ia belum mengatakan apapun pada Anna perihal kondisinya. Anna bahkan sedikit curiga ketika Chero bahkan tak menatap matanya kala mereka berbicara akhir-akhir ini.

Semuanya kacau balau dan kini Anna harus menghadapi kenyataan bahwa sepertinya ia benar-benar sekarat.

Situasinya sungguh aneh. Anna yang sebelumnya nyaris tak pernah sakit tiba-tiba saja hampir mati. Tubuhnya dalam sekejap melemah meskipun kemampuan regenerasinya masih tetap lebih cepat daripada orang pada umumnya. Seperti terasa mudah untuk tubuhnya menyembuhkan luka yang berasal dari luar namun tak bisa apa-apa dengan penyakit yang berasal dari dalam.

Rasanya seperti Anna memang ditakdirkan untuk hidup hingga detik ini saja. Ia merasa bahwa dirinya seperti memudar.

Anna berbohong. Anna sedang tidak baik-baik saja. Dan gejala ini dimulai pada beberapa bulan lalu. Lebih tepatnya saat Anna memutuskan untuk pergi dari Dienvidos di malam ia menemukan dirinya memuntahkan darah. Dan akhirnya membatalkan pernikahannya dengan Javias.

Sampai saat ini Anna belum tahu apa yang menyebabkan dirinya sakit. Mungkin karena gangguan tidurnya. Mungkin juga karena kebiasaan minum-minumnya. Aneh sekali rasanya jika ia sudah merasakan dampak dari hal tersebut di usianya saat ini. Ia bahkan bukan seorang pecandu minuman keras.

Setelah bertanya pada salah satu tabib yang ada di pusat pengobatan, Anna tahu hari ini merupakan hari apa. Pekan ketiga pada setiap bulan merupakan mimbar umum di mana para bangsawan yang diberikan tugas untuk mengatur sebuah wilayah memberikan laporan dan mengajukan keluhan yang mereka miliki pada kerajaan. Setiap wilayah memiliki jadwal tersendiri dan Anna tak tahu wilayah mana yang hari ini akan hadir di mimbar umum hari ini.

Langkah kakinya yang sedikit pincang membuat Anna tiba di ruang singgasana lebih lama daripada seharusnya. Pengawal yang menjaga pintu ruang singgasana sedikit kikuk hendak mengizinkan Anna untuk masuk atau tidak. Akan tetapi, mereka tahu jabatan Anna lebih tinggi dibandingkan dengan mereka. Maka dari itu, hanya dengan sedikit tatapan tajam, kedua pengawal tersebut menunduk hormat dan membirkan Anna masuk.

Anna memiliki pendapat bahwa mimbar umum seharusnya dilakukan dengan bercakap-cakap di ruang jamuan ketimbang di ruang singgasana. Kegiatan ini terlihat lebih melelahkan daripada yang Anna kira. Bukankah lebih baik mereka mendiskusikan tentang kondisi kerjaan dengan duduk dan berhidangkan jamuan? Politik memang membosankan, tetapi bukan berarti kita tak bisa menikmatinya.

Dengan perlahan, Anna melangkah ke ujung ruangan, bersembunyi di bayang-bayang permadani indah, mendengarkan salah satu bangsawan yang kini tengah memberikan laporannya. Anna menyiptkan mata mencoba melihat siapakah bangsawan tersebut. Ia memang tidak mengenal semua bangsawan di Dienvidos, namun beberapa bangsawan kelas atas masih dapat Anna kenali. Tuan Briethold, pikir Anna. Keluarganya tidak tinggal di Ibukota, akan tetapi Anna ingat bahwa putra sulung keluraga Briethold sering kali terlihat dengan wanita yang berbeda di plaza. Sayang sekali, padahal Tuan Briethold terlihat seperti panutan yang baik.

“Yang Mulia, dengan berat hati saya sampaikan bahwa Ledina bisa dikatakan tak berhasil panen tahun ini.” Ujar Briethold dengan penuh penyesalan. Ledina merupakan wilayah kecil tak jauh dari Ibukota yang mengelola perkebunan umbi-umbian. Beberapa bangsawan yang berdiri tak jauh dari Briethold menganggukan kepala mendukung pernyataan Briethold. Mereka pasti para bangsawan yang bertanggung jawab atas Ledina bersama Briethold. Setiap wilayah memang tidak hanya diurus oleh satu bangsawan, akan tetapi mereka punya bagian hak milik masing-masing. Katakanlah Briethold memiliki kebun kentang di Ledina, maka bangsawan yang lain bisa saja memiliki kebuh singkong dan jenis umbi-umbian lainnya. Briethold berbicara mewakili Ledina.

“Apakah masih dengan masalah yang sama?” Suara Harav Enzatsy menggema dari posisinya yang duduk di atas singgasana. Anna cinta sekali dengan kerajaannya, tetapi apabila disuruh memilih, Anna lebih menyukai Singgasana Fajar milik Arevell ketimbang singgasana yang saat ini Harav duduki.

“Benar, Yang Mulia. Semuanya terlihat sehat dan para pekebun telah merawat kebun dengan hati-hati, terlebih setelah peristiwa sebelumnya. Tetapi, hasilnya masih tetap sama.” Anna benar-benar tak sanggup melihat raut kesedihan di wajah Briethold. “Hasil panennya tidak mencapai seperempat dari hasil panen yang biasa, Yang Mulia.”

Sang Raja Dienvidos mengangguk pelan, tak ada sahutan beberapa detik hingga akhirnya beliau berkata, “Baiklah, aku akan mengirimkan orang untuk melihat apakah Ledina mampu untuk mengirimkan hasil panennya ke istana atau tidak. Setelah ini kau dapat menemui Tuan Sandres di akademi untuk mendiskusikan kembali cara yang tepat untuk mencegah hal ini agar tidak terjadi lagi di masa mendatang.”

Briethold membungkuk hormat tak lama setelah Harav Enzatsy memberikan titahnya. Mimbar umum terus berlanjut dan Anna tak bisa tak menyadari kerutan di dahi pria paruh baya yang hampir menjadi ayah mertuanya. Anna tahu sekali ekspresi tersebut. Itu adalah ekspresi yang sering kali Anna lihat di wajahnya kala ia bercermin tiap kali ia bangun dari tidurnya. Ekspresi yang dimiliki oleh orang-orang yang memikul beban dunia di pundak mereka. Terlebih saat ini ia paham betul dengan masalah-masalah yang dikeluhkan oleh para bangsawan. Bukan hanya saat ini, tetapi beberapa tahun ini. Terkadang ia hadir di mimbar umum bersama Zee. Terkadang ia hadir ditemani oleh imajinasinya di mana ia berdiri di ruang singgasana yang berbeda, mendengarkan keluhan yang sama, bersama sosok yang ia inginkan.

Sekelompok bangsawan terakhir di ruangan maju menghadap sang Raja. Mengungkapkan keluhan yang tak lagi asing di telinga Anna. Bahkan di kerajaan damai semacam Dienvidos, mereka memiliki masalah yang sama. Sama sekali tidak menyenangkan untuk didengar, namun harus Anna dengar untuk mengubah realitas kehidupannya. Di saat sekelompok bangsawan itu selesai dan membungkuk pamit pada Raja Dienvidos, Anna semakin paham akan kenyataan pahit yang seharusnya tak membuatnya senang. Karena kini bukan hanya Anna yang sekarat.

Halstead pun merasakan hal yang sama.

***

Sosok bertudung itu melangkah cepat setelah berhasil mengelabui beberapa pengawal istana yang menjaga tempat tujuannya. Ia tahu betul tentang risiko yang akan ia hadapi bila ia tertangkap oleh pasukan keamanan. Akan tetapi ia tidak punya waktu untuk memikirkan risiko tersebut. Karena satu-satunya hal yang mampu ia pikirkan saat ini adalah sosok yang telah ia cari selama bertahun-tahun.

Langkahnya yang gesit tanpa suara membuatnya mudah untuk menembus tempat yang digadang-gadang sebagai penjara paling menyeramkan bagi para kriminal di kerajaan. Saat tiba di sel tujuannya, sosok bertudung itu menurunkan tudung jubahnya. Membiarkan sosok dibalik sel penjara tersebut melihat ekspresinya meskipun hampir tak ada cahaya yang mampu menembus tempat ini. Namun, ia tahu. Ia sangat tahu bahwa sosok itu mampu melihatnya.

“Sudah lama sekali…” Suara lembut bernada rendah muncul dari balik sel. Suara yang mustahil ditemukan di tempat semacam ini. Suara yang bahkan mustahil dimiliki oleh manusia di dunia ini. “…Yang Mulia.”

“Di mana dia?” Gertak sosok berjubah.

“Ah, Anda merasakannya, Yang Mulia? Karena saya merasakannya juga—ah tidak, saya merasakan kekuatan yang mempengaruhinya.” Suara itu menjawab pelan. Sosok pemilik suara itu bahkan tak sedikit pun tersentak kala si sosok berjubah memukul keras jeruji besi yang membatasi mereka.

“Hentikan itu,” Tegas sosok berjubah dengan suara tercekat.

Tahanan pemilik suara itu berbisik, “Tak bisa, kau tahu aku tak bisa melakukannya. Aku pun tak tahu di mana ia berada.” Sosok itu menghela napas. “Kau adalah satu-satunya orang yang mampu menemukannya.” Lanjutnya pelan.

“Aku tak bisa menggapainya,” Sahut si sosok berjubah tak kalah pelan.

Ia tak akan mendapatkan jawaban yang ia inginkan dari sosok dibalik jeruji tersebut. Ia tahu. Karena itu adalah sifatnya, seperti itulah caranya berbicara.

“Hey! Siapa di sana?!”

Waktunya telah habis. Para penjaga telah kembali dan jika dalam tiga puluh detik ke depan ia tidak pergi dari tempat ini, ia tak akan punya kesempatan sama sekali untuk pergi. Dengan cepat ia kembali menaikan tudung jubahnya. Tubuhnya baru saja membalik kala suara lembut itu kembali terdengar di telinganya.

“Tetaplah hidup, Nak.” Ujarnya. “Hanya itu yang bisa kau lakukan hingga ia tiba di hadapanmu.”

—————

©️MERITOCRACY, 2022

KONTEN PREMIUM PSA


 

Semua E-book bisa dibaca OFFLINE via Google Playbook juga memiliki tambahan parts bonus khusus yang tidak diterbitkan di web. Support web dan Authors PSA dengan membeli E-book resmi hanya di Google Play. Silakan tap/klik cover E-book di bawah ini.

Download dan install PSA App terbaru di Google PlayWelcome To PSAFolow instagram PSA di @projectsairaakira

Baca Novel Bagus Gratis Sampai Tamat – Project Sairaakira

2 Komentar

  1. Indah Narty menulis:

    :lovelove :lovelove :muach