Vitamins Blog

MERITOCRACY 9 : Ablation

Bookmark
ClosePlease login

No account yet? Register

 

 

45 votes, average: 1.00 out of 1 (45 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

Happy Reading!


“Aku diserang… hingga terseret ke tempat di mana pun kau menemukanku.”

Kala itu Anna masih berusaha untuk memahami, memang tidak ada satu orang pun yang dengan senang hati langsung bercerita kepada orang asing ketika diberi pertanyaan yang serupa, termasuk Anna. Dan ia pun tidak begitu peduli penyebab mengapa pemuda itu bisa sekarat di wilayah dekat tempat tinggalnya.

“Aku berada di selatan?”

Dienvidos memang jarang sekali mendapat kunjungan dari masyarakat luar wilayah selatan. Hanya karena stigma bodoh yang mengatakan bahwa kerajaan kecil di selatan ini hanya terdiri dari petani dan tukang kebun yang tidak mengetahui apa pun tentang dunia. Namun dari keterkejutan yang tampak di wajah Eric semakin menegaskan bahwa selatan adalah benar-benar wilayah yang tidak pernah sekalipun terpikirkan akan dipijaknya.

“Bagaimana mungkin tidak ada budak dalam suatu wilayah?”

Ungkapan itu mengerucutkan puluhan pertanyaan yang Ada di dalam kepala Anna. Tidak adanya perbudakan di Dienvidos menjadi penguat stigma tentang betapa membosankannya negeri agraris ini. Lemah dan tidak memiliki rasa dominan. Begitulah anggapan kerajaan lain terhadap Dienvidos. Bagaimana bisa Eric tidak mengetahui hal tersebut? Atau minimal mendengar rumor terkait itu? Mustahil sekali rasanya, mengingat seorang bangsawan mestinya mendapat pelajaran tentang sejarah kerajaan-kerajaan yang ada di Halstead dalam pendidikan formal sejak kecil. Atau mungkin sebenarnya Eric tahu, namun selama ini tidak pernah mendapat jawaban atas pertanyaannya itu, maka dengan spontan ia bertanya pada Anna. Segala asumsi kini berputar di kepalanya dan membuat Anna semakin pusing.

“Yah, bukan salah mereka. Bakat itu tidak dimiliki semua orang.”

Eric tidak memberikan reaksi yang berarti ketika Anna mengejeknya tentang utara. Tetapi ia langsung memberikan pembelaan saat Anna merendahkan Voreia. Anna sudah memiliki sedikit dugaan. Namun mendengar langsung pernyataan yang baru saja keluar dari bibir pemuda di hadapannya ini, Anna tiba-tiba merasa sesak. Mengapa? Rasa frustrasi menyeruak dalam tubuhnya. Saat ini pun Anna berusaha sekuat mungkin untuk menahan tangannya agar tidak menarik belatinya dan langsung menancapkannya pada nadi di leher Eric.

Si Lintah Utara adalah bangsawan Voreia.

Kini Anna tengah mempertimbangkan apakah sebaiknya ia langsung membunuh Eric ketika ia sudah mendapat semua jawaban yang diinginkannya, atau tetap membantu pemuda itu untuk pulang ke asalnya.

“Annalise,”

Detik berikutnya Anna mengerjap, menyadarkan diri bahwa panggilan itu ditujukan padanya. Apa ia terlihat melamun di mata Eric? Kemudian untuk menutupi rasa tidak menyenangkan dalam benaknya, Anna mengalihkan pandangan sembari meneguk minuman di tangannya yang sudah hampir tidak bersisa.

“Tempat yang sangat jauh rupanya. Perlu kau ketahui biaya untuk ke sana tidaklah murah.” Anna berkomentar.

“Hm, sangat jauh.” Eric membeo.

Sepertinya minuman keras di dalam tubuhnya mulai menunjukkan reaksi. Eric merasakan matanya sangat berat, ia bahkan tidak tahu harus bagaimana membalas ucapan Anna.

“Kau seorang bangsawan, bukan? Apa yang kau kerjakan saat ini?” Anna mencoba bertanya dengan santai dan fokus menatap api. Karena ia tahu, jika ia menghadapkan tubuhnya pada pemuda itu, bukannya fokus mendengarkan jawaban, Anna justru akan sibuk mengagumi mata biru yang terlihat sangat indah karena terkena pantulan cahaya api itu.

“Aku… membantu pekerjaan ayahku.” Ujar Eric.

Kini Anna menoleh pada Eric. Raut wajahnya datar namun sebelah alisnya terangkat seakan bertanya pekerjaan-macam-apa-itu? Akan tetapi Eric yang saat ini setengah sadar sepertinya tidak memahami arti tatapan Anna hanya mampu mengedipkan mata polos.

Anna sedikit frustrasi melihat tatapan itu. Ia harus mulai dari mana untuk memancingnya? Jika dibandingkan dengan Voreia yang merupakan kekasiaran—bentuk dari gabungan kerajaan-kerajaan yang berhasil ditaklukkan dan memiliki macam-macam bangsawan, Dienvidos hanya kerajaan kecil yang kebanyakan bangsawannya bekerja untuk pemerintahan. Atau memiliki usaha tertentu sebagai pemilik tanah yang biasanya diolah menjadi lahan untuk bercocok tanam, seperti keluarga Rei contohnya maupun lahan perekonomian, seperti pasar-pasar yang tersebar di penjuru negeri.

“Ayahmu bekerja untuk pemerintahan?” Akhirnya Anna memutuskan untuk menggunakan referensi umum itu.

Eric melirik sebentar pada api unggun sebelum mengangguk. “Semacam itu,”

Seberapa banyak kah ‘bantuan’ yang Eric berikan untuk ayahnya? Apa Eric tahu sesuatu tentang apa yang sebenarnya dilakukan oleh orang-orang dalam istana? Karena Eric dan ayahnya sudah pasti bekerja di dalam istana, bukan?

“Jadi, tadinya kau sedang melaksanakan perintah untuk mengerjakan sesuatu di luar wilayah dan kemudian kau diserang?” Anna memilih untuk berhenti sejenak melakukan konfrontasi tentang Voreia, dan lebih mempertanyakan penyebab Eric bisa duduk di sampingnya saat ini. Eric boleh saja terkesan mabuk, tetapi Anna setidaknya sedikit berjaga-jaga untuk tidak menimbulkan kecurigaan dari pertanyaan-pertanyaannya.

“Bukan,” jawabnya cepat. Ia menunduk menatap rumput seakan berpikir apakah suatu hal baik jika ia mengatakan alasannya pada Anna.

Anna yang sudah bersiap melontarkan pertanyaan lain tiba-tiba membatalkan niatnya ketika Eric kembali berucap, “Aku pergi untuk mencari seseorang.”

“Bukankah wilayah utara luar biasa luas? Mengapa kau mencarinya hingga ke Entshona? Kau sangat yakin orang yang kau cari itu berada di sana?” Cerocos Anna. Dan sayangnya Eric sama sekali tidak menjawab semua pertanyaan itu. Sial, sepertinya interogasi ini sangat sia-sia.

Anna meluruskan kaki, menyanggah tubuhnya dengan kedua tangan di belakang tubuh kemudian kembali bersuara. “Apa yang kau lakukan hingga kekasihmu melarikan diri?”

“Kekasih?” Ada sedikit nada kebingungan dalam suara Eric. Kekasih siapa yang mereka bicarakan saat ini? Eric tidak merasa menyebut-nyebut kekasih sepanjang ia berbicara.

“Yah, menurutku untuk pergi sejauh itu dengan alasan mencari seseorang, seseorang itu sudah pasti kekasih atau paling tidak seorang buronan. Jadi, seseorang yang kau cari itu masuk ke dalam kategori yang mana?”

Alis tebal Eric mengerut mendengar alasan Anna yang terdengar aneh di telinganya. Apakah karena ia sedikit mabuk, maka dari itu ia jadi kesulitan memahami balasan Anna?

“Bukan, bukan keduanya.” Kata Eric.

Anna mengangkat sebelah alis seolah bertanya lalu-apa?

Eric menghela napas panjang sebelum mengubah posisinya persis seperti posisi Anna. “Kakakku, aku mencari kakakku.”

Astaga, apakah Anna harus mendengarkan kisah pilu milik keluarga Eric sebelum akhirnya mendapat jawaban yang benar-benar diinginkannya? Anna tidak terlalu suka mendengarkan drama keluarga orang lain. Karena keluarganya sendiri sudah penuh drama. Mulai dari ayahnya yang berhati batu, kakak sulungnya yang selalu membuatnya gemetar ketakutan, kakak keduanya yang sangat cerewet melebihi sang ibu, dan jangan lupakan kakak ketiganya yang sudah seperti perwujudan roh jahat karena tingkahnya yang selalu membuat Anna sakit kepala. Satu-satunya yang membuat Anna sedih saat memutuskan untuk tinggal sendirian di pondok adalah ibunya yang lemah lembut. Tetapi gambaran besarnya, memang sudah keputusan yang sangat tepat untuk meninggalkan rumah.

“Dia seorang buronan atau apa?” Celetuk Anna.

“Tentu saja bukan,” Eric mengelak cepat. “Aku memahami alasan kepergiannya, tetapi menurutku ini sudah terlalu lama. Semua orang yang diperintahkan untuk mencarinya selalu kembali dengan pesan bahwa ia belum ingin pulang. Kemudian aku berpikir, jika aku yang pergi mencarinya dan mengajaknya untuk pulang, apakah hasilnya akan berbeda?”

Siapa pun sosok kakak yang dibicarakan oleh Eric ini, ia adalah sosok yang sangat beruntung memiliki seseorang yang mau mencarinya sejauh itu hanya untuk memintanya kembali. Apakah Anna harus mengikuti jejaknya? Pergi dalam waktu yang lama agar seseorang datang mencarinya dan memintanya untuk pulang? Karena selama ini, setiap Anna kembali dari perjalanannya, selalu hanya ada hukuman yang siap menyambutnya. Mungkin ada baiknya Anna pergi lebih lama dari yang kemarin.

“Jadi, ayahmu menyuruh dirimu untuk mencarinya?”

“Tidak, aku berbohong padanya bahwa aku memiliki suatu urusan di Entshona agar bisa melewati perbatasan.” Ungkap Eric.

“Ayahmu tidak mengizinkanmu untuk pergi mencarinya? Aku rasa sepertinya kakakmu itu tidak terlalu penting baginya.”

“Ayahku berpikir seharusnya aku fokus saja melakukan tugasku, dan biarkan orang lain yang mencarinya.” Eric menghela napas sejenak. “Dan kau salah,” ia tersenyum tipis dengan tatapan menerawang jauh. “Bagi semua orang, kakakku memang sepenting itu.”

Anna melirik pada Eric, mencoba menilai ekspresi apa yang ditunjukkan oleh wajah tampan tak bercela itu. Anna mendengar ada nada ironi di sana, seperti rasa kekalahan—pengakuan yang dengan berat hati diucapkan kepada seseorang lebih hebat dari dirinya. Tetapi dibanding kekesalan, yang Anna tangkap justru seperti kekecewaan kepada diri sendiri.

Berhentilah, tidak usah pedulikan. Anna mengingatkan dirinya sendiri.

“Yah, mungkin akhirnya ia sadar dan memilih untuk pergi meninggalkan negeri penuh tirani itu. Menurutku kerajaan seperti itu bukan tempat yang baik untuk membangun keluarga dan membesarkan anak.” Ujar Anna penuh penghakiman.

“Maaf?” Eric bertanya lamat-lamat.

“Apa? aku hanya berbicara fakta.” Sahut Anna menantang. Mungkin Anna tidak seharusnya melakukan itu. Bagaimana kalau Eric murka dan mereka berakhir bertarung satu sama lain? Pemuda itu mabuk, sudah pasti emosinya sangat tidak stabil. Tak perlu ambil pusing, sekalipun harus bertarung Anna yakin ia yang akan menang, saat ini yang terpenting adalah Anna harus mendapatkan jawaban yang ia inginkan sebelum Eric kehilangan kesadarannya.

“Asumsimu sangat tidak berdasar,” Eric memalingkan wajah, merasa enggan memperlihatkan raut tersinggungnya.

“Oh, kalau begitu tolong katakan padaku bahwa Voreia tidak memaksa penduduk miskin dan menjadikan mereka budak, kemudian memperketat perbatasan hanya untuk para bangsawan dan penduduk tingkat menengah.” Anna berucap panjang lebar.

Eric kembali menoleh dan menatap Anna tajam. “Dari mana kau mendengar itu?”

Bodoh, harusnya Anna tidak mengonfrontasi dengan informasi itu. Valos bahkan sangat berhati-hati dalam menyampaikannya. Dalam hati ia merutuk kesal. “Selalu ada informasi antar rekan sesama bandit.” Anna sedikit berharap Eric akan termakan dengan kebohongannya ini.

“Kau bukan bandit.” Eric mendengus.

Sial, sangat sial.

Tunggu? Mengapa Anna harus panik? Padahal kemungkinan besar Eric tidak akan mengingat percakapan ini keesokan harinya.

“Aku bukan bandit? Asumsimu sangat tidak berdasar.” Anna mengembalikan ucapan Eric. Ternyata tuan bangsawan setengah bisu ini tidak terlalu bodoh. Anna kira, ia akan selamanya percaya kalau Anna seorang bandit.

Memilih untuk menghiraukan ejekan Anna, Eric berkata, “Aku tidak tahu apa yang ada di kepalamu, akan tetapi Voreia tidak seburuk yang kau pikirkan.”

“Ternyata menaklukkan tiga kerajaan dan meruntuhkan salah satunya bukanlah hal buruk,” Anna mendengus keras-keras seolah ia sedang menahan tawa.

“Halstead tidak akan bertahan dengan tujuh kerajaan yang memiliki ideologi berbeda-beda. Seseorang pasti akan maju dan merasa bahwa ideologi miliknya adalah yang paling benar. Zuvnich adalah kerajaan yang memulai dan ketika Voreia menjadi pihak yang menang, semua orang justru berbalik menyerang. Padahal kalian tidak tahu apa yang bisa Zuvnich lakukan jika mereka berhasil menjadi pemimpin kekaisaran.” Eric berucap kesal, merasa bahwa tuduhan penuh kebencian dari Anna adalah hal yang sangat konyol.

Anna nyaris kehabisan kata-kata. Yang benar saja, Voreia merasa menjadi pihak korban? Jadi, semua yang terjadi hingga hari ini adalah bentuk pembelaan diri Voreia yang menganggap Zuvnich adalah pihak yang memulai perseteruan? Demi Halstead dan kejayaannya, semesta pasti bercanda.

“Yah, coba katakan itu pada ribuan korban yang terkubur di bawah puing-puing Arathra. Kurasa mereka akan memahami alasan kalian mendirikan kekaisaran dan kemudian membantai mereka.” Geram Anna.

“Arathra mengkhianati kesepakatan dalam perjanjian utara. Mereka pantas mendapatkannya, Voreia bertindak sesuai hukum yang berlaku.” Tukas Eric. Penuturannya sangat santai seakan-akan sudah ribuan kali ia mengungkapkan jawaban tersebut.

Arathra memang bagian dari utara tetapi bukan bagian dari Voreia.

Kalimat yang Anna ucapkan pada Rei di kedai Frittman kala itu memang bukan sekadar asumsi, itu sebuah deklarasi konkret yang kemudian dituliskan dalam perjanjian utara setelah Noarden resmi menjadi kerajaan taklukan kekaisaran Voreia. Hanya membela diri katanya? Sebenarnya Voreia sedang mencoba membodohi siapa? Voreia tidak lebih dari bajingan oportunis nan serakah.

“Hukum? Sepertinya kau dan aku memahami hukum yang berbeda.” Anna mendecih muak. Arathra pantas mendapatkannya katanya? Anna bersumpah tidak ada satu kerajaan pun yang pantas dihancurkan secara harfiah seperti itu selain Voreia.

Voreia benar-benar bedebah manipulatif. Apa yang sebenarnya Caesar Delano IX katakan pada rakyatnya? Hukum apa yang Caesar Delano I ajarkan pada keturunannya? Budak di Entshona bahkan tahu bahwa Arathra adalah satu-satunya kerajaan yang tidak boleh disentuh. Keberadaannya menjadi pemegang bukti sejarah Halstead dan seluruh pengetahuan yang dianut tujuh kerajaan. Bagian mana dalam hukum yang membenarkan pengancuran kerajaan akibat pengkhianatan. Secara pribadi, Anna bahkan ragu pengkhianatan itu benar-benar nyata terjadi.

“Apa yang sebenarnya ingin kau katakan?” Tanya Eric dengan raut datarnya.

“Apa yang sebenarnya kalian lakukan?” Sahut Anna tak kalah datar.

“Kami tidak memaksa penduduk miskin untuk menjadikan mereka budak, kami mempekerjakan mereka dengan layak. Kami butuh mereka untuk membangun Alnord.” Eric menjelaskan singkat.

Cukup, hanya itu yang perlu Anna dengar.

***

“Pergilah ke atas, Rei. Jika kau tertidur di sini, aku akan melemparmu ke kandang ternak.” Lozard mendesah malas saat menegur Rei yang nyaris tertidur di mejanya.

Kedai sedang ramai pengunjung. Di akhir pekan seperti ini orang-orang pasti akan singgah hingga matahari memunculkan diri. Beberapa pengunjungnya bahkan ada yang tidak mendapatkan kursi apalagi meja, tetapi Rei dengan santainya memejamkan mata di depannya. Lagi pula ia pikir Rei akan singgah di tempat Anna. Tetapi saat malam telah melewati puncaknya, bocah Solas ini tiba-tiba datang dan merecoki pekerjaannya sebelum akhirnya terduduk lesu.

Saat Lozard membuka mulutnya dan hendak kembali menegur Rei, seorang pemuda lain datang dan menepuk pundak Rei dengan keras. Bocah Solas itu mungkin akan langsung terjatuh jika pundaknya tidak dicengkeram erat oleh pemuda di belakangnya. Namun sebagai gantinya Rei menjerit keras kala merasakan tulang bahunya nyaris retak akibat cengkeraman tersebut. Kantuknya seketika menghilang, dengan kasar ia menampik tangan yang bertengger di pundaknya dan segera berbalik untuk mengumpat pada siapa pun yang melakukan itu padanya.

“Dasar berengs—”

“Sudah lama ya, Solas.” Sapa pemuda itu ramah.

Umpatan Rei langsung tertelan begitu saja ketika melihat sosok tinggi yang berdiri di depannya. Sungguh, jika saat ini Rei berdiri, tubuhnya masih tidak ada apa-apanya dibanding sosok itu, apalagi saat ini ia duduk. Kalau Rei meluruskan pandangannya, ia hanya akan bertemu rusuk pemuda tersebut. Rei sangat tidak suka melihat senyum dan sapaan ramah itu. Karena mau berapa kali Rei mendengarnya, sapaan itu sama sekali tidak ramah. Suara berat dengan aksen yang diseret itu justru membuat sapaannya terdengar menyeramkan. Ia seperti mendengar malaikat maut yang baru saja menyapanya.

“Sudah setahun, bukan?” Pemuda itu kembali berkata.

Rei menelan ludah kasar sebelum mengangguk dan menyunggingkan senyum tipis. Entah mengapa sulit sekali mengeluarkan kata-kata. Rei harus menenangkan diri sebelum mengeluarkan suara, karena kalau tidak, bisa jadi hanya cicitan yang keluar dan itu akan jadi sangat memalukan.

“Beruntung sekali aku bisa langsung bertemu denganmu di sini, di mana dia?” Pemuda itu mengambil duduk di sebelah Rei setelah meminta kursi dengan baik-baik pada pengunjung yang duduk di sana sebelumnya.

Ya, meminta baik-baik. Dalam artian meminta dengan kalimat penuh intimidasi. Rei merutuk dalam hati, memang seharusnya ia tidak meninggalkan Anna berdua saja dengan si lintah utara itu. Lihatlah apa yang saat ini terjadi. Rei melirik pada Lozard, memohon untuk diselamatkan. Namun entah Lozard memang memiliki dendam pribadi padanya atau apa, laki-laki tua itu hanya melengos dan justru tersenyum pada pemuda di sebelah Rei.

“Senang melihatmu kembali, Brane.” Sapa Lozard.

Pemuda yang disapa Brane itu mengangguk sopan, “senang bisa kembali, Lozard. Buatkan yang biasa untukku.”

Rei memejamkan mata frustrasi melihat interaksi tersebut. Lelaki tua bangka, sialan! Matanya yang runcing mendelik kesal mengikuti pergerakan Lozard.

“Jadi, di mana dia?” Brane kembali bertanya.

“Apa?” Rei menoleh terkejut saat mendengar Brane kembali bicara padanya.

“Aku tidak akan bertanya tiga kali.” Tukas Brane.

Entah perasaan Rei saja atau memang suara Brane kini terdengar lebih berat? Apa pertanyaannya?! Rei menjerit dalam hati. Dia siapa yang dimaksudnya?

“Kalau kau tidak ingin menjawabnya, tidak masalah. Kita bisa minum-minum saja.” Brane menarik sudut bibirnya—menganggap itu sebagai senyuman. “Dan setelah itu kau harus membawaku di punggungmu sampai ke ibu kota.”

Demi Halstead dan seluruh kekayaannya. Rei tidak akan pernah melakukan itu. Ia tertawa sedikit meringis menanggapi ucapan Brane. Kejadian di masa lampau tiba-tiba menghampiri, punggungnya bahkan tiba-tiba terasa panas. Terakhir kali Rei membawa Brane di punggungnya, ia harus rela berbaring tiga hari karena ototnya mengalami kejang. Benar-benar pengalaman penuh trauma. Rei belum pernah sebegitu terlukanya.

“Ah, maksudmu Anna?” Rei berusaha menyahut santai.

Brane mengangkat sebelah alis menanti jawaban Rei.

“Memangnya anak itu sudah kembali? Kudengar ia sedang melakukan perjalanan.” Kata Rei. Lozard menggelengkan kepala melihat kebohongan itu. Harusnya Rei jujur saja.

Brane tertawa rendah. “Kau harus membawaku di punggungmu sampai ke istana kalau begitu.”

Mata Rei membelalak, “Apa?!”

“Anak itu kabur dari pernikahannya, ia bukan sedang melakukan perjalanan.” Brane memilih untuk mengikuti alur kebohongan Rei untuk sementara.

“Lalu? Mengapa aku harus tetap membawamu di punggungku?” Rei mengeluh kesal.

Brane menyeringai. “Kau tahu kenapa,”

Melihat seringai yang membuat bulu kuduknya merinding itu, Rei segera menggagalkan sandiwaranya. Memang harusnya ia jujur saja. “Dari mana kau tahu? Aku bertemu Chero sekali dan ia bilang kau sedang menjalankan tugas di Arevell sampai waktu yang tidak ditentukan.”

“Valos yang memberitahuku.” Ungkap Brane santai setelah meneguk minumannya.

Satu lagi tua bangka sialan! Jadi, Valos pergi ke Arevell? Untung saja lelaki tua itu tidak mengatakan ke mana perginya pada Anna, bisa-bisa perempuan itu akan pergi menyusulnya dan pertemuannya dengan Brane sudah pasti tidak terelakkan. Rei enggan membayangkan bagaimana situasinya jika itu sungguh terjadi. Rei menghela napas. “Maka dari itu kau kembali?”

“Tidak, aku kembali karena tugasku sudah selesai.”

Apa yang Rei harapkan? Tentu saja Brane akan menjawab seperti itu.

“Hukuman untuknya belum dilaksanakan, bukan?” Brane menatap Rei penuh intimidasi.

Rei mengerjap pelan. Bagaimana ia bisa menghilangkan ketakutannya pada Brane kalau orang itu selalu saja bicara seperti ia mengetahui segala hal. “Bagaimana kau bisa tahu?”

“Bagaimana tidak? Mereka memang sengaja menungguku kembali agar bisa melaksanakannya.”

Demi Halstead—Rei merasa sesak sampai tidak mampu menyumpah. Ia berjanji akan pergi ke kuil pagi ini dan memanjatkan doa. Memohon untuk selalu dijauhkan dari Brane, kemudian memohon keselamatan dan kesehatan untuk Anna karena memiliki saudara seperti Brane.

***

“Maaf,”

Anna baru saja selesai mengganti lilin di meja yang ada di samping tempat tidurnya ketika mendengar suara itu. Ia menoleh pada Eric yang berdiri di ambang pintu. Ia tidak menyadari pemuda itu mengikutinya ke dalam pondok. Setelah interogasi itu berakhir, Anna sebenarnya tidak tahu akan melakukan apa. Meninggalkan Eric sendirian seperti yang sudah-sudah? Karena sepertinya memang hanya itu ide terbaik yang bisa ia temukan. Akhirnya Anna pergi ke dalam pondok untuk mengambil jubahnya. Namun saat melihat lilin-lilin di dalam sana sudah hampir habis, leleh termakan panasnya api, entah mengapa Anna berinsiatif mengganti lilin-lilin tersebut. Sejak dulu, Anna tidak terlalu membutuhkan lilin di pondoknya, karena sepanjang malam ia jarang sekali di sana dan lebih sering menghabiskan malam di tempat Lozard, bertukar kisah dengan para pendekar bayaran yang tidak pernah untuk tidak singgah ke kedai itu. Dan dalam beberapa hari belakangan ini, pondoknya jelas sekali membutuhkan banyak lilin.

“Maaf untuk apa?” Anna menyahut. Ia sedikit tidak paham dengan ungkapan maaf Eric.

“Aku tidak seharusnya berbicara seperti itu,” jelasnya.

Anna mengerjap sebelum menarik seringai penuh ironi. “Tidak seharusnya kau mengungkapkan semua itu pada orang asing dari selatan, begitu maksudmu?”

Eric mengernyit. “Apa? Tidak. Bukan itu maksudku.”

“Lalu?”

“Maaf karena aku terkesan menyalahkan semua pendapatmu dalam pembicaraan tadi. Aku harusnya paham, semua orang tidak melihat dari sudut pandang yang sama.” Eric berucap pelan.

Jika Eric berbicara dengan nada itu sekali lagi, Anna tidak yakin bisa segera meninggalkan pondok ini. Genggaman pada jubahnya mengerat. Anna berdeham, menghilangkan sesuatu yang terasa mengganjal di kerongkongannya. “Tidak masalah, kau hanya mengatakan apa yang menurutmu benar. Kau juga sedang tidak sepenuhnya sadar.”

Eric mengangguk dan menghela napas, seakan beban yang bercokol di benaknya baru saja menghilang. “Kau benar, terima kasih.”

Sembari berjalan ke arah pintu, Anna mengangguk. Sudah selesai, tidak ada yang perlu dibicarakan lagi. Namun sepertinya ia salah, karena Eric baru saja menarik tangannya—membuat Anna seketika menahan langkahnya. Rasa panas itu kembali hadir, telapak tangan Eric menyentuh langsung kulitnya yang tidak tertutup lengan kemeja. Dan seperti yang sudah-sudah, rasa panas itu semakin terasa menyengat.

“Kau akan pergi?” Tanya Eric.

Anna menjawab setelah berhasil melepaskan tangannya dari genggaman Eric. “Sudah jelas, bukan?”

“Kau sungguh tidak tidur di malam hari?”

Dua pasang mata itu kini saling menatap. “Tidak,”

Eric mengernyit saat tidak memahami maksud dari jawaban Anna.

Baiklah, lagi pula ia tidak akan ingat, ia terlalu mabuk. Anna menghela napas saat pemikiran itu hadir. “Lebih tepatnya aku tidak bisa tidur saat gelap.”

“Kenapa? Kau hanya perlu memberikan penerangan.”

“Tidak seperti itu cara kerjanya. Suasana saat malam juga jadi pengaruh. Salah satu kakakku seorang tabib, ia bilang itu sebuah penyakit. Aku tidak tahu apa penyebabnya.” Anna menjawab sekenanya. Toh, ia tidak sepenuhnya berbohong, Chero berkata karena hal ini sudah lama terjadi, kebiasaannya jadi disebut penyakit.

“Kau…” Eric menyipitkan matanya seperti sedang menilai Anna. “Merasakan lumpuh saat tidur, ya?”

Anna baru saja merasakan jantungnya terjun dan terlepas dari tempatnya. Tidak ada yang tahu kecuali Chero, tidak Rei, tidak siapa pun. Mereka hanya menganggapnya sebagai kebiasaan. Mereka menganggap bahwa terlalu banyak yang Anna kerjakan saat siang hari, maka dari itu ia hanya bisa bersenang-senang di malam hari.

“Bagaimana—” Anna tergagap.

“Kakakku mengalami hal yang serupa,” Ungkapnya. “Tetapi ia tetap bisa tidur di malam hari.”

Kini gantian Anna yang mengenyit. Bagaimana bisa? Ia memang pernah diberi ramuan khusus oleh Chero, dan ia berhasil tidur setelah mengonsumsinya. Namun setelah sekian lama penggunaan, ramuan yang seharusnya menjadi penolongnya justru menjadi salah satu hal yang merusak tubuhnya. Ramuan itu memang hanya diperbolehkan untuk digunakan sesekali, namun karena kondisi Anna yang pada saat itu mengkhawatirkan, ia terpaksa harus menelan ramuan itu setiap hari. Setelah beranjak lebih dewasa, Anna tidak lagi meminumnya.

“Ia bilang, yang dibutuhkan hanya pengalihan agar rasa takutnya menghilang.” Eric melanjutkan.

Dibanding takut, Anna lebih merasa tidak nyaman. Bodoh, tentu saja rasa takut bisa menjadi penyebab perasaan tidak nyaman. Anna telah menyangkal itu selama bartahun-tahun. Ia jelas tidak akan membiarkan dirinya tenggelam dalam ketakutan itu. Dan Eric—atau kakaknya—benar. Yang dibutuhkan memang hanyalah pengalihan, itulah mengapa terkadang Anna memaksakan diri untuk mabuk, memaksakan diri untuk banyak melakukan pekerjaan. Ia harus memaksa dirinya untuk lelah jika ingin tidur di malam hari.

“Jadi, apa kau membutuhkannya?” Eric kembali bersuara.

Anna tersentak, pikirannya kembali ke masa kini, “Apa?”

“Pengalihan,”

Anna terkekeh malas. “Itulah yang hendak kulakukan. Karena sepertinya aku belum cukup mabuk hanya dengan minuman yang tadi,”

“Kau bisa mendapatkannya di sini,”

Ada apa dengan Eric? Anna mengernyit kesal mendengar perkataannya yang berputar-putar. Ia malah lebih bodoh karena menanggapi lanturan pemuda setengah sadar ini. Tunggu, sejak kapan jarak mereka hanya sebatas satu langkah?

“Kau sangat cantik.”

“Apa?” Anna ikut melirih ketika mendengar gumaman Eric. Sedari tadi ia sibuk menunduk dan mempertanyakan jarak tubuhnya dengan Eric. Namun saat mendongak untuk bertanya, iris biru itu ternyata sudah berpaku pada wajahnya.

“Kau perempuan tercantik yang pernah kulihat.”

Anna tidak yakin dengan apa yang didengarnya, karena fokusnya mendadak menghilang saat pandanganya tertutup oleh wajah Eric. Ada sesuatu yang bergerak di bibirnya dan menarik seluruh napasnya. Anna mengerjap, jubahnya lepas dari genggaman. Rasa panas dari usapan jari diwajahnya mulai menjalar perlahan ke bagian tubuhnya yang lain. Ia menutup mata sejenak, mencoba mengembalikan kesadarannya, napasnya yang terlepas kini kembali. Dan ketika matanya terbuka, Anna berhadapan langsung dengan langit-langit pondok beserta bayangan dari pantulan cahaya lilin. Anna tidak ingat kapan ia merebahkan tubuhnya. Usapan lembut diwajahnya kembali hadir, sedangkan tangan Anna semakin erat menarik kain kemeja sosok diatasnya. Matanya menatap kosong, napasnya bergetar ketika suara halus itu menelusuk ke telinganya yang baru saja terasa dikecup.

“Tidurlah…”


MERITOCRACY©️2021

28 Komentar

  1. Tks ya kak udh update.

  2. oviana safitri menulis:

    :sebarcinta lanjoottt kak

  3. nurul ismillayli menulis:

    Apakah akan jatuh cinta pada Eric?

  4. Paragraf terakhir sampe dibaca berulang ulang :terlalutampan :kauhebatsay :menantiadegankiss :menantiadegankiss :idihkokbikinemosi

    1. Lah tikel emosinya nyangkut😅

  5. Makasih kak udah update :kauhebatsay

  6. Jejak

  7. 💞💞

  8. Paris India menulis:

    :DUKDUKDUK

  9. ArinaRisaDewi menulis:

    Penawar imsomnia annalise cuma eric…wahai mbak author mohon utk rajin update cerita ini + updatenya banyak2 yaa….terima kasih :menor

  10. famelovenda menulis:

    Seru!!!! :sebarcinta

  11. Indah Narty menulis:

    :DUKDUKDUK :sebarcinta

  12. Seru