Vitamins Blog

MERITOCRACY 3 : Internee

Bookmark
ClosePlease login

No account yet? Register

42 votes, average: 1.00 out of 1 (42 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

 

 

Keheningan mereka diisi oleh suara kertak kayu yang dilahap api. Anna berusaha untuk tetap menjaga napas tenang ketika menyadari kenekatannya berada pada jarak yang berbahaya dengan pemilik netra biru yang terlihat setenang lautan. 

“Kau tidak akan menjawabnya?” Bisik Anna.

Laki-laki itu mengerjap merasakan napas Anna di wajahnya. Tidak ada jawaban.

Anna melebarkan jarak mereka namun tetap berada di poisisinya. Gadis itu menghela napas pendek dan kembali berkata, “Kau benar-benar punya masalah dengan kepercayaan, ya?” Ia menampilkan senyum separuh. “Baiklah, Tuan—”

“—Eric,” Kata laki-laki itu.

Anna kembali menatap dan menaikkan alis, merasa heran sekaligus menantang. 

“Senang mengetahui kau masih punya rasa tahu diri,” Ujar Anna. 

Laki-laki itu—Eric mendengus. “Kau bisa saja membunuhku dan melemparku ke tebing jika kau mau, bukan begitu?” 

“Entahlah, mungkin aku sengaja merawatmu agar kau punya cukup kesadaran ketika aku menyiksa dan menguliti dirimu secara perlahan hingga kau mati.” Anna menunjukkan senyuman manis yang sama sekali tidak cocok dengan tatapannya. 

“Apa kau selalu seperti ini?” 

“Seperti apa?” 

“Berbicara dengan sarkas,” 

Anna tertawa pelan. “Hanya salah satu bakat yang kupunya.” 

“Oh ya? Apa lagi bakat yang kau punya?”

“Aku juga punya bakat yang sama denganmu,” Ujar Anna yang mengundang kerutan di dahi Eric. “Pandai mengalihkan pembicaraan.” Lanjutnya.

Eric terdiam cukup lama. “Bagaimana kau tahu aku berasal dari utara?” 

Anna tersenyum masam. “Kau menyebutku seorang bandit, ingat? Anggap saja aku tahu masing-masing karakter setiap wilayah di Halstead.” 

Tidak sepenuhnya bohong dan Anna hanya menebak separuhnya. Pakaian serta gaya bicara laki-laki itu berbeda. Anna pernah melihat dan mendengarnya di Entshona—mengingat wilayah itu selalu ramai dikunjungi berbagai macam orang dari wilayah yang berbeda-beda. 

“Aku diserang,” Ujar Eric. Ada sedikit keraguan dalam nada bicaranya. Sekiranya ia menimbang-nimbang apakah gadis yang berperan sebagai penyelamatnya itu dapat di percaya atau justru membuat nasibnya bertambah buruk. “Hingga terseret ke tempat di mana pun kau menemukanku.” Lanjutnya. 

Penjelasan yang singkat. Penuh rahasia. Anna menggeram dalam hati. Memang seharusnya ia tenggelamkan saja pemuda ini.

“Baiklah, aku tidak akan bertanya apakah kau diserang sekawanan serigala atau domba.” Anna berucap penuh pengertian dengan sarkasme yang kental. 

Demi Halstead, siapa pun akan tahu bahwa laki-laki yang sekarat dan penuh luka di tengah hutan pasti karena diserang. 

Memang bukan urusannya. Dan Anna sama sekali tidak ingin terlibat dengan apa pun masalah Eric. Ia menghela napas dan mengakhiri percakapan. Mereka kembali bertatapan dalam diam seolah saling menilai. Anna menilai apakah Eric benar-benar seorang yang pendiam atau laki-laki itu hanya sengaja membuat jarak dan waspada terhadapnya.

“Apa yang kau lakukan?” Tanya Eric waspada. Matanya terus mengawasi Anna yang kembali mendekat dan menyentuhkan jari pada pada kancing tuniknya. 

“Tenang, aku tidak tertarik menyetubuhi laki-laki yang baru saja lepas dari sekarat.” 

Eric melongo mendengar penuturan Anna. Sedikit tidak percaya dengan kata-kata yang diucapkannya secara gamblang. 

“Lagi pula kau terlihat belum cukup umur untuk melakukannya.” Lanjut Anna dengan santai yang membuat Eric semakin melongo. 

Itu memang benar. Di mata Anna, Eric terlihat begitu muda sekali pun tubuhnya tegap dan terdapat otot-otot tubuh di tempat yang seharusnya. Wajahnya mulus tak bercela jika saja memar-memarnya menghilang.

Eric tertawa lirih. “Aku lebih tua dari yang terlihat.” 

Anna menatap Eric malas setelah selesai membuka seluruh kancing tunik laki-laki tersebut. “Aku bertaruh kau tidak lebih tua dariku.” 

Bukan tanpa alasan Anna berani melakukan tindakan itu—walaupun ia memang sedikit menikmati pemandangan tubuh tegap tersebut. Anna bersyukur jarinya tidak gemetar ketika melakukannya atau itu akan jadi sangat melakukan jika Eric menyadarinya. Bahu kiri laki-laki itu terlihat menyedihkan, terdapat luka menganga di sana. Cukup parah hingga Eric terlihat kesulitan untuk menggerakan tangan kirinya, maka dari itu Anna membantu. 

Anna membantu Eric untuk duduk tanpa bersandar hingga laki-laki itu sempat meringis merasakan nyeri, sementara ia bergerak menjauh untuk mengambil segala keperluannya. 

Ketika ia kembali, Anna melihat Eric sudah terduduk menyilangkan kakinya di atas ranjang. Tatapannya tak lepas dari Anna yang sedang bergerak ke sana kemari dan hal itu sedikit membuat Anna merasa tak nyaman. 

Anna meletakkan barang-barang yang diambilnya dan ikut duduk menyilangkan kaki di hadapan Eric. Ia merasakan darahnya mendidih ketika tatapan Eric tidak beralih dari dirinya yang tengah membantu laki-laki itu melepaskan pakaian atasnya. Tunik dan kemeja tipisnya yang penuh bercak darah di lepas, menyisakan kulit pucat yang tak sengaja bersentuhan langsung dengan jari-jari Anna. 

Sial, ini begitu intim. Anna merutuk dalam hati.

Sebenarnya bukan hal baru bagi Anna untuk mengobati orang-orang yang terluka. Anna bahkan pernah melihat dan menyentuh lebih dari sekadar tubuh bagian atas. Hanya saja, suasana saat ini—Anna bahkan merasa dadanya sesak. Pondok ini hal paling pribadi baginya, tidak ada yang pernah masuk selain dirinya dan Rei. Kemudian kini ia berada di dalamnya bersama laki-laki asing yang sialnya tampan dan membagi ranjangnya untuk ditempati. Anna bertanya dalam hati apakah ada yang lebih buruk dari pada ini.

Anna bergerak membersihkan tubuh tegap yang penuh luka itu dengan kain basah. Mulai dari leher, kemudian tubuh bagian depan, belakang, bahu yang tidak terluka hingga kedua lengan kokohnya—Anna tidak berani membantu Eric membersihkan wajahnya. Ada gelenyar aneh yang terasa ketika kulit mereka saling bersentuhan, menghantarkan hawa panas yang sama seolah mereka sama-sama terbakar akan sentuhan-sentuhan itu. Anna tidak yakin mampu menahan dirinya untuk tidak merona. 

Berulang kali Anna menguras kain itu hingga air di dalam wadah terlihat gelap dipenuhi darah dan kotoran. Ia bahkan turun beberapa kali dari ranjang untuk mengganti airnya dengan air hangat yang bersih. 

Tubuhnya sedikit menegang ketika pergelangan tangannya yang memegang kain tiba-tiba dilingkupi sebuah tangan kasar. Anna menaikkan pandangan menatap mata biru Eric dan melihat rasa nyeri di sana ketika Anna bergerak membersihkan luka di bahunya. Tidak ada yang lebih parah dari itu, bagian lain tubuhnya hanya memar. Mungkin laki-laki itu sekarat karena nyaris kehabisan darah dari luka di bahunya. Eric sedikit terkejut dan melepaskan genggamannya pada Anna, membiarkan gadis itu merawat lukanya. 

Anna bahkan memberikan Eric kemeja putih tipis yang baru dan bersih kemudian membantu memakaikannya juga setelah luka dibahunya diberi obat. Ia tidak tahu apa tujuan Rei meletakkan beberapa potong pakaiannya di pondok Anna, tapi ia bersyukur karena itu. 

Gadis itu membereskan segala hal yang diperlukan untuk mengobati Eric dan menjauh dari ranjang. Pakaian Eric tak lupa ia bawa dan ia letakkan di atas tumpukan pakaian kotor miliknya. 

Ia kembali ke ranjang dan membawa kain yang cukup panjang di tangannya. Dengan hati-hati ia menggerakkan lengan kiri Eric hingga laki-laki itu mendesis. Anna menarik kedua ujung kain itu dan berlutut untuk membawa kedua tangannya melingkari leher Eric.

Anna bersumpah mendengar pemuda itu tercekat.

“Dari mana kau belajar merawat luka?” 

Anna meremang mendengar suara rendah Eric di telinganya. Posisi kepala mereka begitu dekat, Anna bahkan merasakan rambut Eric sedikit menyentuh pipinya. 

Kain itu tersimpul di tengkuk Eric dan menyangga lengan kirinya yang tertekuk. Setidaknya itu membantu meringankan nyeri luka di bahunya. 

Anna kembali ke posisinya semula sebelum menjawab, “Ketika kau menjalani hidup dengan penuh luka, kau akan mampu merawat luka itu dengan sendirinya.” 

“Jadi, kau sering terluka.” Itu sebuah pernyataan.

“Salah satu risiko dari pekerjaanku.” Anna mengedikkan bahu.

Eric menyipitkan mata. “Kau benar-benar seorang bandit?” 

Alih-alih memberikan jawaban, Anna justru mengangkat sebelah alis, menantang laki-laki itu untuk mencari sendiri jawaban dari pertanyaannya. 

“Beristirahatlah, besok pagi kau perlu membersihkan bagian tubuhmu yang lain.” Ujar Anna sambil turun dari ranjang. 

Ia melangkah ke perapian dan menambahkan kayu bakar ke dalamnya. 

“Kau akan tidur di mana?” 

Anna menoleh dan melihat keraguan di mata Eric. “Jika kau ingin aku berbaring di sampingmu, aku minta maaf karena mengecewakanmu. Tetapi aku tidak akan tidur.” 

“Kenapa?” 

“Tidak ada alasan, aku hanya tidak tidur di malam hari.” 

“Kau tidak—apa?” Eric nyaris tersedak ludahnya sendiri.

Anna mendengus. “Aku baru tahu bahwa selamat dari kematian bisa membuatmu tuli.” 

Ia melangkah kembali ke arah ranjang dan meletakkan nampan berisi semangkuk sup dan segelas air ke hadapan Eric. 

“Lalu, apa yang kau lakukan?” 

Anna bersedekap. “Apa pun yang bisa dilakukan di malam hari, seperti… kau tahu,” Ia mengedikkan bahu sambil mengangkat sebelah alis menggoda Eric. Seringai nakal terbit di bibir tipisnya. 

Melihat Eric yang terdiam Anna berbalik dan mengambil pakaian kotor Eric kemudian menyambar jubahnya yang tergantung di pintu. “Makan, kemudian beristirahatlah, dan kalau kau ingin pergi besok—atau pun malam ini, silakan. Tetapi kuberi tahu satu hal, kau tidak akan selamat sampai utara dengan kondisi seperti itu. Butuh sekitar beberapa hari hingga kau bisa menggerakkan tangan kirimu itu.” 

“Terima kasih… kau baik sekali.” 

Anna mengenakan tudung jubahnya kemudian menatap sekali lagi dan memberikan senyum mengejek ke arah pemuda yang duduk di atas ranjangnya sebelum membuka pintu.

“Masih berpikir aku seorang bandit?”

•••

Tangan ramping itu bergerak merapatkan gaun tidurnya sambil berjalan ke arah pintu rumah yang diketuk. Matanya sontak membelalak melihat sosok yang berdiri di depan pintu rumahnya yang kini terbuka. 

“Maaf, aku tahu ini sudah larut—”

“Nona Annalise?!”

Sosok di depan rumah itu—Anna—meringis melihat reaksi dari si pemilik rumah. “Hai Sezya.” 

“Aku tidak melihatmu selama musim panas! Ya Tuhan, maafkan aku—apa kau ingin masuk, Nona?” 

Anna tertawa pelan. “Tidak, terima kasih. Aku hanya ingin mengantarkan sesuatu.” Ujar Anna sambil mengulurkan pakaian kotor milik Eric ke Sezya. “Apa kau bisa memperbaikinya?” 

Gadis yang ditanya menunduk untuk memeriksa pakaian di tangannya. “Ya, aku akan mencobanya.” 

Keluarga Sezya adalah pemilik usaha penatu di daerah hilir sungai seberang hutan tempat tinggal Anna. Daerah ini bersebelahan dengan desa kecil bernama Empuma—kedai milik Lozard ada di desa itu. Daerah yang cukup jauh dari ibu kota, butuh waktu beberapa jam berkendara untuk bisa sampai ke sana.

Daerah yang cukup tenang dan nyaman untuk ditinggali, namun Anna tidak ingin mengambil risiko dengan menetap di daerah secara permanen. Maka dari itu Anna membangun pondoknya sendiri di tengah hutan, dan pergi ke daerah sekitar sini jika memerlukan sesuatu. 

Mereka mungkin akan menganggap Anna sebagai pekerja serabutan apabila tidak dapat menilai cara Anna bergerak dan gaya bahasa yang digunakannya. 

Mereka tahu Anna seorang bangsawan, hanya saja mereka tidak tahu gadis itu putri bangsawan mana. Dan untungnya mereka tidak cukup usil untuk mengorek identitas Anna. Seperti contohnya keluarga Sezya, tak ada seorang pun yang pernah bertanya tiap kali Anna membawa setumpuk pakaiannya yang penuh noda darah dan robek di beberapa bagian. Beberapa kali menggoda namun itu tak jadi masalah.

“Senang melihatmu, Sezya. Maaf mengganggumu selarut ini.” Ujar Anna penuh sesal.

Sezya menggeleng sambil tersenyum lebar. “Aku senang kau datang, Nona. Sebelumnya aku sedikit mengkhawatirkanmu, aku lega bisa melihatmu sekarang” 

“Kapan aku bisa mengambil pakaian itu?” 

“Hm, akan kuselesaikan secepatnya. Kau bisa mengambilnya besok sebelum malam tiba, Nona.” Jawab Sezya. Dahinya mengernyit ketika memandangi pakaian itu. “Pakaian ini mewah sekali. Aku sempat berpikir bahwa kau mencurinya dari seorang bangsawan setelah menghadangnya di tengah jalan, Nona Annalise.” 

Anna terbahak mendengar tuduhan Sezya yang penuh candaan sebelum memutar kedua matanya malas. 

“Sebenarnya, kini bangsawan itu jadi tawananku.” 

•••

Anna benci kabut. Dan ia sedikit menyesali keputusannya untuk pulang dari kedai Lozard ketika fajar baru menyingsing. Harusnya ia menunggu beberapa jam lagi agar ia tidak kesulitan berjalan di tengah hutan dengan kabut menyebalkan yang menyakitkan mata kantuknya.

Tubuhnya meronta untuk diistirahatkan setelah semalaman tertawa bersama sekelompok pendekar bayaran yang menceritakan kisah-kisah konyol mereka. Membayangkan ranjangnya yang nyaman di pondok tercinta—

Sialan, kini ada orang lain di ranjang kesayangannya. 

Anna merutuk merasakan kepalanya berdenyut—entah karena terlalu mengantuk dan dipaksa mencari jalan pulang di tengah kabut atau karena memikirkan pemuda tampan setengah bisu dan bodoh yang sudah dua hari mengklaim ranjangnya miliknya.

Mengingat berita yang dilaporkan Lozard juga tidak membuat pikirannya menjadi sejernih sungai yang baru saja dilewatinya. Lozard yang dini hari tadi baru saja kembali dari penginapan milik salah satu saudaranya membawa kabar yang Anna tidak ketahui statusnya. Baik atau buruk.

Utusan yang membawa undangan Purvation telah sampai di selatan. 

Mengingat utusan itu beristirahat di penginapan milik saudara Lozard yang letaknya di pinggir kota, itu artinya Anna harus berangkat ke istana tengah malam nanti. Membayangkan hal itu Anna memutuskan untuk tidur hari ini hingga matahari terbenam. 

Anna mengernyit setelah melihat wujud pondoknya. Bukan, bukan karena pondok itu tiba-tiba berubah menjadi kastil atau semacamnya. Itu karena ada sosok lain yang sama-sama menuju pondok itu. 

“Kau bisa berjalan?” Ujar Anna sedikit heran.

Laki-laki itu sedikit tersentak karena kemunculan suara yang tiba-tiba. 

“Kurasa aku akan baik-baik saja setelah berbaring dua hari.” 

Anna mengangguk sambil tersenyum masam. Memikirkan kalimat pemuda itu yang mengatakan telah berbaring nyaman di ranjangnya selama dua hari, Anna masih berharap tidak akan menyesal menolongnya. 

Namun ketika melihat penampilan segar pemuda itu dan dari mana arah kemunculannya, ia mengernyit. “Kau dari danau?” 

“Kau menyuruhku untuk membersihkan diri pagi ini, ingat?” 

“Itu—cukup jauh. Kusimpulkan kau tidak tahu ada sungai di dekat sini.” 

Ya, Anna bisa saja memberi tahu pemuda itu sebelum ia pergi. Tetapi rasanya terlalu baik, dan Anna sungguh ingin cepat-cepat pergi dari pondok akibat sesi mengobati pemuda bangsawan tampan yang cukup mendebarkan hingga ia lupa memberitahunya. 

Berpikir bahwa Anna bisa saja memberi tahunya semalam, Eric sudah siap untuk mendebat gadis itu sebelum menyadari raut lelah yang terpampang di wajah cantiknya. “Semalam kau benar-benar tidak tidur?” 

Anna mendengus. “Aku tidak akan mendapat keuntungan dari membohongimu.” 

“Kau benar-benar tidak berbohong?” 

“Apa yang sebenarnya ingin kau katakan?” 

“Jika aku bertanya itu artinya kau tidak akan menjawabnya dengan kebohongan, kan?” 

Anna terdiam. Dan Eric benar-benar jengah ditatap seperti orang bodoh oleh Anna.

“Apa kau benar-benar seorang bandit?” 

“Kau bercanda? Itu yang kau tanyakan?” Anna mendengus.

“Jawab saja.”

“Aku lebih suka pada tuan bangsawan pendiam yang selalu memelototiku dan tidak percaya pada setiap kata-kataku dari pada kau. Ke mana perginya orang itu?” 

“Kau bilang kau tidak akan berbohong.” 

“Aku tidak berbohong.”

“Kau mengalihkannya.” Desis Eric.

Anna mengedikkan bahu. “Memang sudah jadi salah satu bakatku, ingat?” Matanya menatap naik dan turun pada Eric yang terlihat bersih dan segar.

“Apa yang kau lihat?”

“Kau terlihat…” Anna mengerutkan kening seolah berpikir keras. “… seperti manusia,” 

Eric terperangah. “Apa sebelumnya aku tidak terlihat seperti manusia?” Memang mustahil mendapatkan pujian dari seorang Anna.

“Hmm, kau lebih terlihat seperti makan siang sekawanan burung gagak sebelumnya.” Ujar Anna santai. 

“Kau benar-benar tidak akan menjawabnya?” 

“Itu pertanyaan tidak penting yang sudah kau tanyakan sebanyak tiga kali. Kau dengar itu? Tiga kali! Lagi pula apa inti dari pertanyaan itu?!” Astaga, Anna benar-benar sakit kepala sekarang. 

Eric mengedikkan bahu. “Aku hanya ingin tahu apa yang dilakukan penyelamatku agar aku bisa membalasnya dengan sesuai.” 

Anna mendesis. “Bedebah sialan. Simpan saja utang budimu, aku yang berhak memutuskan untuk dibalas dengan apa, bagaimana, kapan, dan di mana.” 

“Kau sebaiknya istirahat.” Ujar Eric pada akhirnya. Berdebat di pagi hari adalah salah satu hal yang ingin ia hindari. Mengawali hari dengan berdebat bisa membawa nasib buruk. 

“Maaf, tetapi aku tidak menerima perintah dari bocah bodoh pesakitan.” 

“Bocah?!” Eric berjengit. “Baiklah, terserah. Sepertinya aku sudah melewati batas sikap sebagai seorang tamu.” Ucapnya datar.

“Kalau kau sadar, kau itu seorang tahanan.” Anna terkekeh penuh ironi. 

“Apa?” 

Mengabaikan Eric yang hampir membuat kepalanya pecah, Anna berjalan ke arah pintu dan hampir membukanya sebelum teringat sesuatu.

“Kau berniat untuk tinggal di sini sampai sembuh?” 

Eric meneleng. “Mungkin,” Katanya. 

Anna terdiam cukup lama. “Aku akan pergi—kemungkinan beberapa hari, kau bisa mengurus dirimu sendiri?” 

Logika Anna tidak dapat menemukan alasan mengapa ia harus memberitahu hal itu pada Eric.

“Aku bukan bayi,” 

Anna menghela napas kasar. “Jangan hancurkan pondok ini sampai aku kembali, atau aku akan memburumu hingga ke ujung dunia jika kau berani melakukannya.” 

Mereka terdiam dan menatap cukup lama hingga akhirnya Eric mengangguk menyetujui. 

“Lihat, kan? Kau itu tawanan.” Anna menutup pintu setelah menyeringai sadis ke arah Eric.

©️MERITOCRACY, 2020

10 Komentar

    1. nabillaruwahastuti menulis:

      :kisskiss

  1. Suka banget dengan ceritanya😘😘
    Ayo semangat terus ya thor nulisnya.. Aku akan setia menunggu kelanjutannya😍 :kisskiss :kisskiss

    1. nabillaruwahastuti menulis:

      Thanks for reading 🥰

  2. Oke,cewek tangguh

  3. Aku suka ceritanya :ayojadian :menor

  4. wuihhh suka suka suka… lanjood baca ahh :ayojadian

  5. oviana safitri menulis:

    lanjutin dong kak plisss … :lovely

  6. ArinaRisaDewi menulis:

    Mereka berdua pintar adu bacot

  7. Tangguh