Take Heart 12

1 April 2020 in Vitamins Blog

 

“Mau ke mana kau?” Dewa menghalangi pintu ketika bersamaan Dania akan keluar dari kamarnya. Sudah rapi dengan gaun kuning muda dan tas yang sewarna.

“Bukan urusanmu,” ketus Dania sambil mendorong tubuh Dewa minggir. Namun, tubuh pria itu tak bergerak satu senti pun.

“Kau sudah menjadi seorang istri. Tidak baik seorang gadis sekaligus istri berjalan-jalan saat hari mulai malam tanpa ditemani suami.”

“Kita hanya menikah, Dewa. Bukan mencampur adukkan hidupku dengan hidupmu. Apalagi saling ikut campur urusan masing-masing.”

Tatapan Dewa menajam. Penentangan Dania membuat amarahnya tersulut, tapi ia teringat rencananya. Seketika wajahnya melembut dan tersenyum lembut. “Apa kauingin makan malam di rumah kakakmu?”

Dania tersentak kaget. Bagaimana Dewa bisa tahu?

“Apa kau tidak ingin memperkenalkanku pada kakakmu?”

 

***

 

“Zaf, apa kau sudah menghubungi mamamu?” Ryffa tak membutuhkan sapaan Zaffya ketika panggilan mereka langsung tersambung.

“Aku akan menyiapkan meja makan.” Richard berjalan keluar begitu Zaffya menggeser layar ponsel.

“Sepertinya aku tak perlu memberitahunya. Berita cepat menyebar, bukan?”

“Mamamu baru saja mendatangi apartemen Vynno. Sepertinya ini hari terburuk sepanjang kehidupannya.”

Bahu Zaffya terasa berat, tapi ia tetap menegakkannya. Lalu ponselnya bergetar dan panggilan masuk lainnya muncul di layar ponsel. “Aku harus menutup panggilanmu. Mama menelpon.”

“Baiklah. Semoga berhasil.” Ryffa tetap menyemangatinya dengan suara seperti berkabung.

Zaffya mengambil napasnya dalam-dalam. Mengembuskannya dengan perlahan dan menggeser panggilan Nadia Farick.

“Hallo, Ma.”

“Apa benar yang dikatakan mamanya Dewa? Kau menikah dengan anak itu?” Nadia langsung mendesak Zaffya begitu panggilannya tersambung.

Zaffya sudah memeperkirakan dengan reaksi mamanya, tapi hatinya masih begitu kesal dengan sebutan yang diberikan mamanya pada Richard. “Richard. Namanya Richard, Ma. Sekarang Mama harus terbiasa memanggilnya dengan benar.”

“Mama ada di lobi apartemenmu.”

“Zaffya tidak di sana.”

“Mama akan menunggu.”

“Malam ini, Zaffya tidak bermalam di sana.” Zaffya terdiam sejenak.”Dan mungkin untuk seterusnya.”

Nadia menggeram sebelum memutuskan sambungan.

Zaffya menghembuskan napas. Saatnya menghadapi Nadia Farick.

“Hey, apa kau sudah siap? Sebentar lagi Dania datang.” Richard melongokkkan kepalanya di pintu kamar.

Zaffya mengangguk, meletakkan ponselnya di meja dan bergegas mengikuti Richard keluar kamar. Tak lama bel berdenting dan Richard segera membuka pintu. Zaffya menyusul di belakang dan terkejut ketika menemukan sosok familiar yang berdiri di samping Dania. Selain keberadaannya yang cukup membuatnya dan Richard terpaku, lengan pria itu yang tersampir di pinggang Danialah yang membuat Zaffya mematung dan kehilangan napasnya untuk sesaat.

“Dewa?” Richard bergantian menatap wajah pucat Dania dan wajah datar Dewa. Dua kali berganti-ganti sebelum tatapannya turun ke arah pinggang Dania. “Dan, ada apa ini? Apa yang kaulakukan dengannya di sini?”

Richard dan Zaffya saling pandang. Keduanya memikirkan satu hal yang sama. Tentang dugaan-dugaan tak terkendali dan tak masuk akal yang menyerang pikiran mereka di saat yang bersamaan.

Tidak mungkin!!

Tidak boleh seperti ini.

 

****

 

Bruukkkk …. Satu pukulan telak melayang ke wajah Dewa. Pria itu tersungkur di lantai, lalu Richard mendekat dan menarik kerah bajunya untuk mendaratkan pukulan yang lain.

“Kak, jangan lakukan itu,” mohon Dania. Menahan lengan Richard dengan wajah memelas. Kepalanya menggeleng sekali sebagai isyarat keseriusan permohonannya. “Dania mohon, jangan pukul lagi.”

“Apa kau sadar apa yang telah dia lakukan padamu?” geram Richard. Tak habis pikir adiknya masih membela Dewa setelah apa yang pria pengecut itu lakukan pada Dania. Sungguh cara yang sangat kekanak-kanakkan.

Dania mengangguk. “Ini pilihan Dania.”

Mata Richard terpejam, bernapas dengan kasar dan membanting Dewa kembali ke lantai sebelum bangkit berdiri menjauh dari Dewa.

Dania membantu Dewa bangkit. Berusaha menghapus darah di ujung bibir suaminya dengan sapu tangan yang diambil dari tas. Dewa meringis dengan rasa perih ketika luka di bibirnya bersentuhan dengan sapu tangan Dania. Sungguh, ia bersyukur dengan kebencian yang dilemparkan semua orang pada Dewa, termasuk kebencian yang ia miliki untuk pria itu. Akan tetapi, entah apa yang mendorongnya untuk membela pria itu di hadapan semua kebencian yang dilemparkan pada Dewa. Sudah cukup kebencian Raka dan keluarga Dewa karena pernikahan mereka yang tanpa ijin dari semua orang terdekat pria itu.

Dewa memang pantas medapatkan semua kebencian itu, tapi jika Dania memutar balik kejadian yang sebelum semua kesepakatan mereka dimulai. Semua terjadi dengan sebab musabab yang saling berhubungan. Kakaknya, kak Raka, kak Zaffya, Dewa dan dirinya. Mereka berlima saling berkaitan dan memberikan dampak hingga pernikahannya dan Dewa memang harus terjadi.

Ia tak akan keberatan. Suatu saat, ia akan memahami. Kenapa pernikahannya dan Dewa harus terjadi. Lalu, kakaknya juga akan memahami hal itu. Begitu pun dengan kak Raka.

Bagi Dewa, kehilangan Zaffya adalah titik terendah dalam hidup pria itu. Dania hanya berusaha meyakinkan Dewa bahwa hal itu tidak akan menjadi titik akhir hidup pria itu dengan pernikahan mereka. Kedua orang yang Dania cintailah penyebab penderitaan Dewa. Mungkin ia memang butuh berkorban untuk membayar kesalahan mereka berdua pada Dewa.

 

***

 

“Katakan pada kami dengan jujur, Dania. Apakah kau melakukan ini semua karena kami?” Richard berdiri di seberang meja kaca dengan gusar. Rambutnya kusut karena entah berapa kali ia menyusurkan jemari di sana.

Jujur Dania akan mengangguk sebagai jawaban untuk kakaknya, tapi hal itu akan membuat Richard dan Zaffya semakin mengkhawatirkan keadaannya.

Richard bersumpah akan melemparkan vas di tengah-tengah mereka ke arah Dewa yang duduk di set sofa ruang tamu, tempat terjauh dari mereka bertiga, jika Dania menggelengkan kepala.

“Dewa tidak mencintaimu,” tukas Zaffya

“Dan tidak ada cinta di matamu untuknya,” geram Richard. “Jangan coba-coba berbohong pada kami, Dan.”

“Apa kau sadar dia hanya memanfaatkanmu?”

Dania menoleh pada Richard. Menggeleng atau mengangguk hanya akan membuat kakaknya semakin murka. Ia belum pernah melihat seorang Clarichard Anthony kehilangan kendali. Kakaknya itu selalu tampak setenang air danau dan bijaksana dalam mengambil sebuah keputusan sekecil apa pun. Membuatnya merasakan kasih sayang yang begitu besar dari sang kakak. “Dania menyayangi kakak melebihi apa pun.”

“Dan bukan berarti kau bisa menukar kebahagiaan kakak dengan penderitaanmu!” Richard menggeram murka. Kedua tangannya terkepal. “Ceraikan dia.”

Dania membelalak, lalu menggeleng dengan keras. “Ini pilihan Dania, Kak. Dania yang akan menjalaninya sendiri.”

“Kau tidak tahu apa yang kaulakukan!”

Dania berniat membuka mulutnya untuk menjawab.

“Dan jangan mengatakan kau sudah memikirkannya matang-matang sebelum ….”

“Dania memang sudah memikirkan semua ini dengan baik-baik.”

“Arrgghhhh ….” Richard mengerang. Mengangkat kakinya dan akan melangkah untuk menyeberangi ruangan demi menghajar Dewa. Namun, Dania menghadangnya ssebelum ia sempat mengambil langkah kedua.

“Dania benar-benar tak akan menemui kak Rich lagi jika kakak menyentuh Dewa,” ancam Dania.

Richard terperangah. Tangannya terkepal dengan keras dan melemparkan tatapan penuh badainya ke arah Dewa. Tubuhnya membeku dan terasa seperti akan remuk hanya untuk menahan amarah.

“Maafkan Dania, Kak,” mohon Dania. “Mungkin pernikahan kami diawali dengan cara yang tidak benar, tapi Dania berjanji akan memperbaiki ini semua. Biarkan kami yang menentukan sendiri jalan pernikahan ini di depan.”

Richard berbalik dengan erangan lebih keras, menyalurkan amarah lewat bibirnya. Ia butuh memukul sesuatu, akan lebih baik jika itu kepala Dewa.

Selama beberapa detik mereka membeku dalam keheningan.

“Berikan kami kesempatan.”

“Tidak ada kesempatan apa pun dalam pernikahan kalian.”

“Kakkk…”

Mata Richard terpejam. Tatapan permohonan Dania membuatnya tak berdaya. “Kau bisa memohon padaku, Dania. Untuk apa pun. Kau tahu …”

“Ya.” Dania mengangguk. Maju mendekat dan menggenggam kedua tangan kakaknya. “Kakak akan melakukan apa pun untuk mengabulkannya. Kakak akan mengerahkan segala usaha Kakak untuk Dania. Tapi, kali ini, kakak hanya butuh mempercayakan semua ini pada Dania. Percaya pada Dania bahwa Dania bisa mengatasi dan menyelesaikan semua ini.”

Richard tertegun. Sinar ceria dan senyum cerah yang selalu menghiasi wajah Dania menguap tak bersisa. Hanya ada pengorbanan yang begitu besar dan Richard tak ingin kekecewaan ikut menghiasi wajah mungil itu.

“Tidak bisakah kakak mengucapkan terima kasih untuk semua ini?”

Richard menggusurkan jemari tangannya ke rambut dengan gerakan acak. Ucapan terima kasih? Bagaimana Dania meminta ucapan terima kasih untuk kebahagian yang ia dapatkan dari penderitaan adik kesayangannya?

“Aku akan bicara dengan Dewa.” Zaffya berdiri. Tetapi pergelangan tangannya di tahan oleh Dania.

Dania tak bicara.

“Sebelum masalah ini muncul, aku dan Dewalah yang lebih dulu mempunyai urusan.”

Dania melepaskan tautan tangan mereka. Bukankah ini tujuan Dewa mengikuti acara makan malam ini. Untuk bertemu dengan kakak iparnya.

 

****

 

“Apakah kau benar-benar akan bersikap kekanakan seperti ini?”

Dewa menyeringai.

“Dania sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan permasalahan kita, begitu juga Richard. Apa kau sadar apa yang kaulakukan pada mereka? Padaku?”

“Ya, seharusnya mereka tidak ada masalah dengan pernikahan kita, bukan?” Seharusnya pernikahan ini hanya akan menjadi miliknya dan Zaffya. Tidak seperti saat ini. “Demikianlah seharusnya.”

“Aku benar-benar tak menyangka kau akan bertindak sepengecut ini, Dewa.”

“Lalu kau menyebut apa tindakan yang kau lakukan pada pertunangan kita? Jangan bersikap seolah kau saja yang tersakiti, Zaf.” Dewa berdiri dari duduknya. Mendekat ke arah Zaffya dan mengunci tatapan wanita itu. Melemparkan semua kecamuk yang bersemayam dalam benaknya selama beberapa hari terakhir dan mengacaukan kerja otaknya. “Kau memutuskan pertunangan kita, membatalkan pernikahan kita dan menikah dengannya.”

“Richard sama sekali tidak ada hubungannya dengan putusnya hubungan kita,” tandas Zaffya dengan bibir terkatup rapat.

Dewa mendengkus. “Jangan membuatku tertawa, Zaf.”

“Berpikirlah sesukamu, Dewa. Saat ini, amarah di kepalamu menahan semua kebenaran masuk ke dalam otakmu.”

“Kuharap kau memaklumi hal itu.”

Zaffya menggeleng. Wajahnya lebih dingin dan kali ini bercampur dengan kebencian. Pada satu-satunya orang yang tak pernah ia sangka akan mendapatlan kebencian itu dari dirinya. “Tidak, aku tidak akan memaklumi hal itu darimu. Aku tidak akan memaklumi hal itu dari orang sepertimu.”

Senyum di bibir Dewa semakin tinggi. “Kita akan lihat seberapa tahan kalian dengan penderitaan yang kalian berikan padaku. Di antara kita berempat, Richard, Dania, kau, dan aku. Siapakah yang akan mendapatkan rasa sakit paling dalam. Kita akan mencari tahunya. Kita berempat sudah terikat dalam jeratan derita yang kugariskan untuk kalian. Satu-satunya hal yang bisa kulakukan untuk menyelamatkan diri adalah membawa kalian tenggelam bersamaku.”

“Aku tak menyangka pernah menghabiskan delapan tahun di umurku untuk mencoba mencintai pria sepertimu, Dewa. Kau benar-benar penyesalan terbesar di hidupku.” Zaffya mengakhiri pembicaraan mereka dan berbalik pergi.

 

****

Take Heart 11

22 Januari 2020 in Vitamins Blog

 

Sedetik Dania berpikir untuk mencoba memperbaiki ponselnya yang hancur dan menghubungi kakaknya. Kakaknya pasti mengkhawatirkan ketidakhadirannya. Namun, ponsel itu diraih dari genggamannya dalam sekejap.

“Apa yang kaulakukan, Dewa?” Dania bangkit dari duduknya

“Membantumu meyakinkan diri bahwa keputusanmu tidak salah.” Dewa melepas baterai ponsel Dania dan melemparkannya ke sofa. “Dia hanya akan membuatmu ragu, Dania. Bukankah lebih baik jika seperti ini.”

“Kak Rich pasti mengkhawatirkanku.”

“Tidak ada kabar berarti baik-baik saja, bukan?” Dewa menangkup wajah Dania. Melirik kepalan tangan Dania dan menyeringai tipis. Ia tahu, wanita itu sedang menahan kemarahan. “Tidurlah, sudah malam. Besok kita harus mempersiapkan pernikahan pagi-pagi sekali. Selamat tidur, Dania.”

Dania menarik tubuhnya menjauh ketika Dewa mencondongkan tubuh akan menciumnya. “Kita benar-benar orang asing sebelum pernikahan kita resmi, Dewa. Bersikaplah sopan pada perempuan.”

Seringai Dewa semakin tinggi. “Tidak masalah. Aku bisa bersabar sampai esok malam.”

 

***

 

Setelah pernikahan itu resmi secara agama dan hukum, pada normalnya pengantin baru akan mendapatkan ucapan selamat dari anggota terdekat. Akan tetapi, sebuah tinju keras mendarat di wajah Dewa ketika pendeta meresmikan pernikahan mereka.

“Apa kau sudah gila?!” Raka berteriak dengan wajah merah padam dibakar amarah. “Kakak tahu kau terluka, tapi bukan berarti kau bisa melakukan apa pun.”

“Hentikan, Raka.” Monica yang menyusul di belakang berusaha menghentikan baku hantam antar saudara itu.

“Apa kaupikir perbuatanmu bisa dimaafkan?!”

“Aku tak meminta permintaan maaf atau pun meminta ijin darimu. Kami menikah atas dasar persetujuan kami, kau bisa menkonfirmasi sendiri pada Dania.”

Raka menoleh pada Dania yang berdiri di belakangnya dalam diam. Ekspresi gadis itu datar, dan sangat aneh bagi Raka. Karena tak pernah tak ada senyum di wajah gadis itu selama awal pertemuan mereka dimulai. Bahkan Raka mengira wajah gadis periang itu dipenuhi oleh senyum abadi.

“Katakan Dania, pernikahan ini terjadi bukan karena keterpaksaan yang kupaksakan padamu. Kau menerima pernikahan ini dengan sukarela dan tanpa syarat.” Dewa mengusap bibirnya yang berdarah. Mendorong Dania untuk bersuara.

“Itu tidak mungkin!” sergah Raka tajam. “Dia tak mungkin mencintaimu.”

“Apakah pernikahan harus terjadi hanya atas dasar cinta?”

“Diam kau, Dewa!” Raka siap melayangkan tinjunya.

Dania tak mampu menangisi setiap adegan di hadapannya dengan kesedihan yang begitu mendalam. Tinju Raka mewakili kemarahannya pada Dewa. Namun, di saat yang bersamaan pernikahannya dengan Dewa menyelamatkan kebahagiaan kakaknya.

Raka memegang bahu Dania dan menggoyangkannya seolah menyadarkan gadis itu dari kegilaan, dari kebodohan, atau dari kekhilafan apa pun itu namanya. “Katakan padaku, Dania? Apa yang terjadi?”

“Maafkan Dania, kak Raka.”

“Jangan katakan itu!” Raka menggeleng.

“Ini pilihan Dania.”

“Pernikahan kalian tidak sah. Kau bisa membatalkan, benar, kan?”

“Raka.” Suara putus asa Monica dari arah belakang Raka. Raka berbalik, melihat Monica yang menunjukkan selembar kertas padanya.

Raka menatap nanar sertifikat pernikahan yang sudah dibubuhi tanda tangan kedua mempelai. Jika saja merobek lembaran tersebut bisa membatalkan pernikahan yang sudah mengikat keduanya di hadapan Tuhan.

Dewa menyeringai di antara darah yang melapisi bibirnya. Ia benar-benar sudah merenggut napas kakaknya. Terasa sangat melegakan.

 

***

 

Richard mulai gelisah. Dania tidak menepati janji seperti biasa. Adiknya itu tidak datang di makan malam yang mereka janjikan. Hanya sekali panggilannya masuk tapi tidak diangkat, setelahnya nomor Dania bahkan tak bisa dihubungi.

Hingga pagi ini pun, nomer Dania masih tidak aktif. Mungkinkah adiknya itu sakit? Terlalu sibuk dengan tugas kuliah hingga tidak memiliki waktu semenit pun untuk menghubunginya? Padahal, selama ini Danialah yang selalu cerewet untuk komunikasi keluarga yang tidak lancar karena kesibukan Richard sebagai seorang dokter. Panggilan tak terjawab belasan kali dari Dania yang masuk ke ponselnya bukanlah hal yang aneh. Bahkan sangat aneh jika sampai nomor Dania tidak bisa dihubungi seperti ini.

Tadi malam. Richard berpikir baterai ponsel Dania habis, tapi seharusnya pagi ini sudah bisa dihubungi, bukan?

“Apakah masih tidak ada kabar dari adikmu?”

Richard mengangguk lesu. Rambutnya yang acak-acakan masih basah karena belum sempat ia keringkan.

“Kita bisa mengunjungi apartemennya sebelum ke rumah sakit.” Zaffya membungkuk sambil memilah pakaiannya yang masih di dalam koper.

“Ya. Tapi … apa kau tidak ke kantor?”

“Aku ada pertemuan di sekitar rumah sakit. Vynno menyuruhku memeriksa beberapa hal sebelum kami bertemu klien.”

“Aku bisa pergi sendiri.” Richard memeluk Zaffya dari belakang. Mencium bahu telanjang Zaffya yang tak terbungkus handuk.

“Aku masih punya cukup banyak waktu. Bahkan empat puluh menit untuk sarapan pagi denganmu.” Zaffya memutuskan memakai kemeja putih dan rok pensil nudenya.

Richard mengerut tak suka dengan belahan tengah rok yang dipilih Zaffya. Ia yakin belahan itu akan menampakkan setengah paha Zaffya di setiap langkah istrinya. “Pilihan yang sangat buruk,” komentar Richard.

“Hmm, mungkin kau perlu mengutuk desainerku. Dia suka memamerkan kakiku.”

“Ahh, apa dia tahu kau sudah bersuami?”

“Dia tak akan peduli. Selama aku masih mengenakan pakaian darinya dan beberapa klienku menanyakan ” Zaffya mengurai pelukan Richard dan berpindah ke depan kaca. Melepas handuk, mengenakan setelannya, dan membiarkan Richard mengamatinya dari pantulan kaca.

Pertama kali melihat Zaffya, kebanyakan orang akan mengira istrinya itu seorang model. Kecantikan, bentuk tubuh, dan tingginya yang semampai. Lelaki akan langsung berbisik dan berdecak kagum. Menjadikan tubuh seksinya sebagai obyek seksual dalam imajinasi liar mereka. Merasa cemburu dengan kesempurnaan yang akan dinikmati laki-laki lain, Richard menghembuskan napas gusar.

“Kau perlu bersiap-siap juga.” Zaffya membungkuk ketika memasukkan kedua kakinya bergantian mengenakan roknya.

Richard berharap hari ini tidak kerja dan mengikuti wanita itu pergi ke mana pun. Memastikan tak ada pria yang melemparkan tatapan sensual dan penuh hasrat pada Zaffya. Memberitahu mereka bahwa hanya dialah yang berhak atas keseksian Zaffya. Namun, ia tidak bisa meninggalkan pekerjaannya. Sempat terpikir untuk menumpahkan saus di rok Zaffya ketika mereka sarapan nanti. Richard tertawa, ide konyol.

 

****

Setelah menunggu sepuluh menit dan pintu apartemen Dania tetap tak terbuka. Akhirnya Zaffya dan Richard memutuskan ke rumah sakit dan menunggu kabar dari petugas yang berjaga di lobi.

“Kalian sudah datang?” Mereka berdua bertemu Vynno di basement gedung rumah sakit.

Zaffya mengangguk singkat dan Richard tersenyum ramah. Kemudian berpisah di lift karena Richard berhenti di lantai tiga sedangkan Zaffya dan Vynno menuju lantai paling atas.

Vynno memalingkan muka ketika Richard mencium bibir Zaffya sebagai salam perpisahan.

“Apa kau menghitung, berapa kali kau berciuman dengan Dewa di depan umum?” goda Vynno.

“Tidak, tapi aku bisa menghitung berapa banyak uang milikku yang kauberikan pada wanita-wanitamu?”

Vynno mengunci bibirnya rapat-rapat.

“Ehmm …” Vynno berdeham saat pintu lift terbuka. Menengok reaksi Zaffya dengan hati-hati. “Tentang Dewa …”

Zaffya melirik tajam. Sepupunya satu ini masih saja selalu mengungkit tentang Dewa. Urusan pribadinya dengan Dewa telah usai. Namun, jika berbicara bisnis, mereka punya kerjasama yang masih terhubung. Kecuali jika Dewa mencampur adukkan urusan pribadi mereka ke dalam bisnis.

“Apa Richard berhubungan dengan Raka Sagara?”

Zaffya berhenti sejenak, menatap Vynno dan bertanya lewat matanya.

“Aa … ku hanya mendengar gosip.”

“Kak Raka tidak mengenal Richard. Dan aku juga yakin sebaliknya. Richard tidak mengenal kak Raka.”

“Benarkah?”

“Sepengetahuanku.”

Vynno menggeleng. “Mungkin hanya kecurigaanku saja,” gumamnya pelan pada dirinya sendiri.

“Apa kau sudah menyiapkan berkasnya?” Vynno menanyai wanita mudah dengan penampilan rapi yang membukakan pintu untuk mereka.

Wanita itu mengangguk sopan.”Ya, Tuan.”

Vynno masuk lebih dulu. Zaffya mengambil tempat di set sofa dekat jendela, sedangkan Vynno menuju meja. Mengambil tiga berkas yang siap di mejanya dan mengikuti Zaffya.

“Apa yang kau curigai?” Zaffya tak bisa tak memikirkan kata-kata Vynno. Segala sesuatu tentang Richard memang selalu membuatnya tertarik. Takut jika itu gosip atau kabar buruk yang akan membuat Richard terusik.

“Apa kau ingat aku mencari dokter untuk klinik bagian ibu dan anak? Saat itu aku meminta bantuan beberapa kenalannya, dan secara kebetulan … kau tahu, Richard yang mengisi lowongan itu.”

Zaffya tertegun sejenak. Mengambil berkas yang diletakkan Vynno di depannya sambil menjawab, “Mungkin itu hanya kebetulan.”

“Tapi … pada akhirnya tujuan Richard kembali hanya satu, bukan?”

“Aku tahu. Dia tak menyangkal untuk bagian itu.”

Vynno mendesah kecil. Menyandarkan punggungnya sambil menggerutu, “Ya, beginilah cinta. Deritanya tiada akhir.”

Zaffya membuka berkas teratas dan mulai membacanya.

“Dewa sedang berada dalam masa terkelam hidupnya.” Vynno menatap dinding kaca dengan tatapan mata menerawang. Seolah sedang berkabung. “Terpuruk dalam hubungan percintaan dan keluarganya hanya dalam satu waktu.”

Zaffya tak terusik. Mencoba tak terusik sama sekali. Hubungan pertunangannya dengan Dewa memang karena keluarga, tapi urusan hati pria itu. Zaffya sudah berusaha keras, dan sekarang tak akan merasa harus bertanggung jawab.

“Entah apa yang terjadi, hubungannya dengan Raka  memburuk. Kau tahu, dia begitu mengagumi dan menjadikan kakaknya teladan, bukan?” Vynno bertanya pada Zaffya.

Zaffya tak menjawab.

“Tiba-tiba hubungan mereka sedingin es di kutub utara. Tak bertegur sapa dan seperti berada di dua kubu yang berbeda.”

Zaffya mendongak. Ini satu hal yang ia ketahui. “Apa yang terjadi?”

Vynno menggeleng dan sekali lagi desahan keras lolos dari bibirnya. “Seandainya aku tahu.”

Zaffya pikir itu jawaban paling aman yang harus ia dengar. Atau ketenangannya akan kembali terusik dengan Dewa. Ia tahu perasaan bersalah dan penyesalannya tak akan membuat Dewa lebih baik. Dewa tak meminta itu darinya. Karena apa yang diinginkan Dewa, Zaffya tidak bisa memberikannya pada pria itu.

“Apa kau masih tertarik dengan kabarnya?” selidik Vynno.

Zaffya melemparkan berkas dalam pangkuannya ke arah Vynno. “Jelaskan padaku secara gamblang.”

Vynno membelalak dan langsung melipat mukanya. “Zaafff …” rengeknya.

“Kita tak punya banyak waktu.” Zaffya bersandar sambil menyilangkan kedua kaki dan tangannya. “Aku tak akan menandatanganinya sebelum aku memahaminya dengan benar.”

“Aarrggghhhh ….”

 

***

 

 

“Apa aku harus mengkhawatirkan ini?” Zaffya memperlihatkan bekas lipstik berwarna pink yang tertempel di jas putih Richard. Tepat di kerah. Zaffya tak mau membayangkan bagaimana bekas berbentuk bibir itu bisa tertinggal di sana. Ia memang tak pernah bisa mengendalikan rasa cemburunya. Perasaan panas yang tak mengenakkan yang mendera hatinya sejak Richard kembali ke kehidupannya. Perasaan yang sudah lama tertumpuk di lapisan paling bawah dan tak pernah tersentuh sejak delapan tahun terakhir.

Dengan senyum malaikatnya, Richard menyentuhkan hidungnya di hidung Zaffya dengan gemas. Kecemburuan Zaffya selalu menghangatkan hatinya. Menunjukkan cinta wanita itu tak pernah memudar.

“Kau belum menjawab pertanyaanku, Richard.” Zaffya menarik kepalanya mundur.

“Kau tahu jawabannya, Zaf. Kau hanya menunjukkan bagaimana kau cemburu, dan aku tahu itu.”

“Tapi kau tetap membiarkanku melihatnya.” Harusnya Richard tahu, bibir wanita lain menjadi trauma tersendiri baginya setelah kejadian pagi itu.

“Aku hanya tak menyadarinya itu ada di sana,” sesal Richard. “Maaf.”

“Lain kali, perbaiki penampilanmu sebelum menciumku.”

Richard mengangguk.”Bolehkah aku menciummu sekarang?”

“Seolah kau membutuhkan ijin,” ejek Zaffya. Mendahului Richard mempertemukan bibir mereka.

Richard membiarkan serangan sensual Zaffya mengambil alih. Membalasnya dengan lebih dalam. Dan sebelum mereka jatuh terlalu dalam, Richard mengemukakan akal sehatnya dan menjauhkan diri dari Zaffya. “Kita masih di rumah sakit.”

Zaffya mengerut tak suka sasmbil mengurai pelukannya. “Kita pulang sekarang.”

“Kau tunggu di lobi, aku harus berputar dan menyerahkan ini pada Luna.” Richard mengambil tiga map yang ditumpuk dimeja.

Zaffya mengangguk singkat. Berjalan keluar menyembunyikan ketidaksukaannya. Ia tidak suka Richard bertemu Luna, tapi ia lebih tidak suka mengikuti Richard bertemu wanita itu seolah ia menempel pada Richard. Mungkin, ia harus mulai terbiasa menggantungkan kepercayaannya pada Richard. Jika tidak ingin mati berdiri karena kecemburuan yang menggila.

 

****

 

Lampu merah menyala dan Richard menginjak pedal rem. Satu tangannya menarik tangan Zaffya dan menggenggamnya. “Apa yang kaupikirkan?”

Zaffya membalas genggaman dan tatapan Richard dan bertanya kembali, “Apa?”

“Kau menciumku sambil memikirkan sesuatu yang lain.” Richard mengungkapkan ketidaknyamannya. Ya, meskipun hal itu tidak mengurangi hasratnya pada bibir Zaffya, ia merasa ada yang aneh dengan ciuman Zaffya. Richard berpikir mungkin urusan pekerjaan.

Zaffya terkejut. Richard terlalu peka dengan perasaan dan pikirannya yang melayang. Pembicaraanya dengan Vynno ternyata mengusiknya lebih dari yang ia pikirkan.

“Urusan pekerjaan?”

Zaffya menggeleng. “Semua berjalan lancar seperti seharusnya.”

“Lalu?”

Zaffya terdiam sesaat. Menimbang apakah ia harus memastikan hal tersebut pada Richard sendiri.

Lampu berubah hijau dan Richard kembali berkonsentrasi pada jalanan.

“Apa kau mengenal Raka Sagara?”

Richard tampak berpikir. Raka Sagara? Telinganya terasa familiar dengan nama Raka, tapi ia tidak mengenal siapa itu Raka Sagara. “Tidak.”

Zaffya menyamarkan kelegaannya sambil memutar kepala ke depan.

“Kenapa?”

“Tidak.”

“Siapa dia?”

“Bukan siapa-siapa.”

Hening kembali.

“Bagaimana Dania?” Zaffya mengubah topik pembicaraan yang lebih aman sebelum Richard menyadari hubungan Sagara antara Raka dan Dewa kemudian menanyainya lebih lanjut.

Kali ini wajah Richard berubah cerah. “Dia menghubungiku siang tadi, dan akan makan malam di apartemen untuk menjelaskan.”

“Sepertinya kau juga harus menjelaskan sesuatu padanya.”

Richard mengangguk. “Dia sangat antusias tentang kita. Berita ini tak akan mengejutkannya.”

Zaffya tak bisa tak mengungkapkan keterkejutannya. Tak tahu harus senang atau sebaliknya seperti yang ia rasakan tentang reaksi mama Richard saat tahu mengenai pernikahan mereka.

“Apa kita harus mampir ke supermarket membeli sesuatu untuk makan malam?”

Zaffya menengok jam tangannya. Kurang dua jam menjelang jam makan malam dan ia tak bisa mengatasi dapur beserta segala macam bencananya. “Sebaiknya ke restoran langgananku saja.”

“Ya.”

 

Take Heart 10

15 Januari 2020 in Vitamins Blog

 

“Aku merasa sedih dengan tuan Dewa. Bukankah seharusnya mereka pergi berbulan madu? Bukannya muncul di rumah sakit dan berpapasan dengan tuan Dewa.” Tania menggerutu pada sopir yang berdiri menunggu di sampingnya. “Aku bahkan merasa sangat sedih dengan kakaknya yang malah menginginkan perpisahan ini. Bukankah ini bisa dikatakan sebagai pengkhianatan persaudaraan?”

“Ssttt … sebaiknya kau diam. Jika tuan Dewa mendengarnya, kau …” sopir itu terpaku. Menyadari kehadiran Dewa dan ikut terpaku sepertinya, tapi dengan alasan yang berbeda.

“Kakakku?” Dewa merasakan nyeri mencekik lehernya ketika suara serak itu keluar dari bibirnya. “Apa kak Raka tahu mengenai ini semua?”

 

***

 

Satu pukulan telak menghantam wajah Raka tepat di hidungnya. Tubuh pria itu terpelanting di lantai dan jeritan keras Monica Sagara menggema di seluruh penjuru ruang tengah.

Dewa seperti kesetanan. Matanya yang merah membutakan hubungan persaudaraan yang terjalin sejak lahir.

“Dewa!” Monica berusaha menjauhkan tubuh Dewa dari Raka yang terjepit tubuh Dewa di lantai.

“Lakukan sesuatu!” teriak Monica pada pengurus rumah tangga yang muncul dari arah dapur. Wanita setengah baya itu segera keluar rumah untuk memanggil penjaga keamanan yang sedang bertugas.

“Hentikan, Dewa!” Monica akhirnya berhasil menahan satu tangan Dewa yang sudah melayang dan siap menghantam wajah Raka untuk ketiga kalinya. Beruntung dua sosok lain yang muncul membantunya memisahkah tubuh Dewa dan Raka.

“Apa yang kaulakukan pada kakakmu, Dewa!”

“Mama bisa tanyakan sendiri padanya,” geram Dewa.

Monica terkejut dengan bahasa panggilan Dewa pada putra sulungnya. Untuk pertama kalinya putra bungsunya memanggil Raka tanpa embel-embel ‘kak’ seperti biasa. Amarah Dewa begitu menguasai pria itu, dan sepertinya masalah yang ditimbulkan Raka amat sangat besar hingga membuat Dewa begitu murka. “Ada apa, Raka?” tanyanya sambil membantu Raka berdiri.

Raka mengusap darah yang merembes dari hidung dan mengelapnya dengan punggung tangan. Membiarkan Monica menuntunnya duduk di kursi terdekat. “Kakak tidak tahu apa yang kaubicarakan, Dewa,”

“Jangan bersikap munafik,” desis Dewa semakin tak sabaran. “Kau … “

“Dewa!” panggil Monica penuh peringatan.

Dewa tak mengindahkan peringatan mamanya. Salahkan saja amarah yang sudah naik ke ubun-ubunnya. “Dia, dia tahu tentang rencana pernikahan Zaffya.”

“Pernikahan? Pernikahan Zaffya?” Monica mengulang, menatap kedua putranya bergantian. “Apa maksudmu, Dewa? Dengan siapa Zaffya menikah?”

“Kakak hanya melakukan apa yang terbaik untukmu, Dewa.”

“Dengan kehilangan satu-satunya wanita yang kucintai?”

“Tapi dia tidak mencintaimu.”

“Bukan berarti kau bisa mengatur jalan hidupku sesukamu,” sengit Dewa. “Aku bisa mengatasinya sendiri.”

“Mengatasinya sendiri?” dengkus Raka. “Itu yang kau katakan pada kakak setiap Zaffya meminta kalian berhenti bersandiwara.”

Desahan napas Monica yang keras mengalihkan perhatian Dewa dan Raka. “Bisakah kalian menjelaskan pada Mama apa yang sedang terjadi?”

“Yang jelas bukan dari mulut Dewa,” Dewa berbalik pergi. Menendang guci yang menghalangi jalannya menuju ruang tengah.

Monica dan Raka tercengang. Butuh waktu cukup lama untuk memahami situasi dan kemarahan Dewa yang masih membekas di ruang tengah. Putra bungsunya itu tak pernah terlihat kehilangan kontrol diri. Sejak kecil terbiasa menjadi putra yang penurut dan penyayang pada semua anggota keluarga. “Apa yang terjadi dengannya, Raka?”

“Dewa!” panggil Monica. “Dewa!!!”

 

****

 

Praannggg ….

Vas dengan bunga yang menghiasi meja kaca di tengah ruang kerja Dewa, kini melayang ke cermin di pojok ruangan. Tubuh Dewa terjatuh di sofa dan napasnya tersengal. Jantungnya berdetak penuh amarah. Sebuah kepercayaan dibalas dengan pengkhianatan. Cintanya direnggut dan semua harapan lenyap dalam sesaat. Tidak ada lagi yang tersisa dalam setiap hembusan napasnya.

Meja kaca yang menjadi sasaran tinju Dewa berikutnya. Membelah kulit di jari-jarinya. Darah yang merembes, jatuh ke lantai. Dewa membungkuk. Kedua tangannya bertumpu di paha dan kepala tertunduk. Matanya yang basah memperhatikan setiap tetes darah yang menciprati berkas-berkas yang berserakan di lantai.

Sebuah foto mencuat dari mapnya. Mata Dewa menyipit memperhatikan lembaran tersebut lebih cermat. Foto kakaknya dengan seorang gadis. Mereka tidak saling menautkan tangan, tapi kebahagiaan di antara mereka terlalu kentara mengarah ke jalur yang tak berani mereka langkahi. Ya, usia yang terpaut di antara mereka cukup jauh. Kisah mereka akan sangat begitu menarik perhatian. Kakaknya sangat menyayangi gadis itu, dan gadis itu dengan kepolosannya tak bisa menutupi cintanya yang begitu ekspresif.

Dewa memungut map tersebut dan mulai membaca dengan ketertarikan yang semakin meningkat. Informasi gadis itu mengejutkan sekaligus memacu setan dalam dirinya untuk keluar.  Well, Khanza Dania Anggara, adalah adik tiri Clarichard Anthony. Pemikiran dalam benaknya terasa sangat mengesankan. Ide paling brilian yang pernah terlintas di kepalanya. Sekali lempar dia bisa mendapatkan dua burung sekaligus.

Sepertinya, ia bisa bernapas lagi. Menggunakan napas mereka semua.

 

***

 

“Besok kita bisa mencari apartemen lain yang kauinginkan dan bisa kubeli dengan uangku.” Sekali lagi Richard meyakinkan Zaffya ketika mobilnya sudah terparkir di basement gedung apartemen Richard. Zaffya turun dan membuka bagasi untuk mengeluarkan koper. “Biarkan aku.” Ia mengambil alih koper tersebut dari tangan Zaffya.

“Sepertinya jadwalmu lebih padat dari jadwal terpadat harianku.” Zaffya berbalik dan berjalan lebih dulu. Zaffya sempat membaca jadwal yang di bawa asisten Richard tadi siang.

Richard mengingat tiga jadwal operasi yang harus ia tangani besok dan tersenyum masam. Menyeret koper Zaffya dan mengikuti langkah wanita itu menuju lift.

“Apartemen ini pasti tak nyaman untukmu.” Richard mengedarkan pandangan. Ke segala macam perabotan yang sederhana dan sangat jauh dari selera Zaffya. Perhiasan dan pakaian yang wanita itu kenakan tak lebih murah dari apartemen ini. Di sinilah terkadang ia merasa kecil di mata Zaffya. Setidaknya ia paham bagaimana perasaan mama Zaffya tak menyetujui hubungan mereka. Orang tua mana yang ingin anaknya hidup menderita? Tapi ia  akan memastikan memberikan yang terbaik untuk Zaffya.

“Aku akan terbiasa.” Zaffya duduk di sofa dan melepas heelsnya. Mengikuti arah pandangan Richard. Terbiasa hidup dalam kemewahan tak membuatmu bahagia, bukan?

“Di sini juga tidak ada pengurus rumah tangga yang akan membantumu.”

Zaffya mengangguk. Mengira-ngira seberapa luas apartemen ini. Mungkin seluas ruang tamu di apartemen mewah miliknya. Atau lebih luas ruang tidurnya? “Apartemen ini juga sempit.”

Richard merasa semakin sungkan. “Aku tak tahu jika tiba-tiba harus menikah denganmu.”

“Seharusnya kau sudah mempersiapkan diri begitu kau mempunyai niat kembali ke kehidupanku.”

“Kita akan menemukan tempat yang lebih baik.” Richard mendekat ke depan Zaffya. Lalu berlutut di lantai dan menyentuh kedua tangan Zaffya. “Sebenarnya sedikit lebih baik.”

“Menjadi istrimu ternyata sedikit merepotkanku, ya?” ejek Zaffya.

“Maafkan aku jika ini membuatmu tak nyaman.” Richard menunduk. Memainkan jemari Zaffya. Menatap cincin pernikahan mereka. Ada rasa bersalah dengan cincin emas bermata berlian yang sangat mungil dibandingkan cincin yang Zaffya kenakan sebelum mereka menikah. Karena ia bersikeras cincin itu dari uangnya sendiri.

“Apa kau marah?” Zaffya memegang dagu Richard dan memaksa pria itu mendongak menatapnya.

Richard menggeleng.

“Baguslah.”

“Tidak bisakah kau berpura-pura nyaman dan bilang bahwa kau bahagia karena aku ada di sampingmu,” rajuk Richard.

“Euhmm, aku bahagia, tapi … cintaku tak sebuta itu untuk mengingkari apa yang kurasakan saat ini.” Sekali lagi Zaffya memandangi barang-barang di sekeliling mereka yang terkesan dibeli karena kebutuhan ketimbang mementingkan keindahan dekorasi. Mungkin ia perlu memperbaiki letak dan mengganti beberapa perabot. Mengganti wallpaper. “Berapa uang yang kau keluarkan untuk apartemen ini?”

Richard terdiam. Berbagai macam proyek besar seharga triliunan sangat mudah Zaffya dapatkan. Tentu saja harga apartemen sekecil ini bukanlah sebuah nominal di mata Zaffya.

“Apakah pertanyaanku menyinggungmu?”

Richard masih membisu.

“Saat membicarakan masalah harta denganku, kau tahu aku memiliki hampir seisi kota ini, Richard. Bahkan sejak aku lahir pun di darahku sudah mengalirkan uang. Kau membuang waktu jika merasa tersinggung atau merasa tak enak hati padaku. Tapi lihatlah, aku duduk di sofa yang harganya tak lebih dari sepuluh juta di tengah ruangan yang lebarnya tak lebih luas dari kamar mandiku, bahkan aku harus turun ke lantai satu jika ingin berenang. Aku melakukannya karena sekarang aku adalah istrimu. Bukankah itu yang terpenting bagimu?”

Richard mengangguk. Memegang dada Zaffya, tempat di mana detak jantung wanita itu berdetak untuknya. “Inilah yang terpenting bagiku.”

“Aku hanya benci kau memandangku dengan cara seperti itu.”

“Maafkan aku.”

“Jika kau merasa kecil seperti ini, seharusnya kau berhenti mencintaiku dan tak kembali ke kehidupanku. Kau tahu kehidupan seperti apa yang kumiliki.”

“Terima kasih.” Mata Richard memanas.

“Apa kau tersentuh?” Zaffya mengusap setetes air mata yang muncul di sudut mata Richard. “Ya, memang sudah seharusnya.”

Richard terkekeh. Ribuan ungkapan syukurnya tak akan mampu mewakili ketakjubannya akan diri Zaffya yang saat ini benar-benar menjadi miliknya. Tak akan cukup untuk mewakili kebahagiaan yang ia dekap erat-erat meskipun ia yakin tak akan kehilangan. Hati Zaffya sudah ia kuasai, ia miliki seutuhnya. Juga raga wanita itu. Maka seharusnya ia tak perlu mengkhawatirkan hal-hal kecil lainnya, bukan?

 

****

 

“Jadi, apa kak Raka tidak bisa ikut makan malam dengan kak Rich?” Dania menutup pintu apartemen dengan ponsel yang tertempel di telinga. Tas pink dan gaun malamnya yang berwarna pastel, sangat cocok dengan penampilannya yang ceria.

“…”

Bibir Dania mengerucut kecewa. “Hmm, baiklah. Semoga cepat sembuh.”

“…”

“Selamat malam, Kak Raka.” Tepat ketika Dania memutus panggilan, ia tersentak dan tubuhnya mundur ke belakang. Terkejut menemukan sosok yang tengah berdiri dengan kepala tertunduk dan bersandar di dinding. Rambut yang acak-acakan, dua kancing kemeja yang tak terkait dan keluar dari celananya, jas dan dasi yang entah ada di mana. Ditambah darah yang sudah mengering tampak begitu jelas melumuri jemari di tangan kanan. Dania tak berani mempertanyakan apa yang sudah tangan itu lakukan karena tatapan dingin Dewa lebih mengerikan. Penampilan pria itu lebih mengejutkannya seperti keberadaan pria itu di depan apartemen Dania.

“Dewa?” Dania berusaha terlihat tenang dengan aura dingin Dewa yang membuat bulu kuduknya merinding. “Apa yang kaulakukan di sini?”

“Jadi itu benar?”

Dania tak mengerti apa yang dibicarakan Dewa.

“Jadi kau adik Richard? Atau aku bisa menyebutmu adik ipar mantan tunanganku, sekarang?” Bibir Dewa menipis dan rahangnyamengeras ketika suara dingin itu muncul di antara kertak giginya yang terkatup.

Tatapan mata Dewa begitu tajam, membuat Dania merasa setiap detik yang terlewat seperti pistol yang ditodongkan di kening dan siap memecahkan kepalanya. Lalu getaran ponsel dalam genggaman tangan Dania memecah ketegangan udara di antara mereka.

Dania menunduk, melihat siapa yang tengah menghubungi ponselnya di saat tak tepat seperti sekarang ini. Dan bahkan itu juga menjadi keputusan yang salah. Karena Dewa bisa melihat siapa nama yang tertera di layar dengan sangat jelas.

‘Kak Richard Calling…’

Dewa menyeringai. “Kalian semua benar-benar menusukku dari belakang.”

Dania menelan ludah. Insting pertahanan diri Dania mengambil langkah kakinya mundur dan menjauh dari Dewa. Jantungnya berdebar sangat keras bersamaan langkah Dewa yang semakin mendekat. Kewalahan, Dania berusaha mengatur napas.

“Dewa, ini tidak seperti yang kaupikirkan,” cicit Dania. Ponselnya tergelincir dan jatuh ke lantai. Deringannya berhenti tapi langkah Dewa tak terganggu. Hingga Dania terpojok di depan pintu apartemennya yang sudah tertutup.

“Apa yang akan kau lakukan, Dewa?”

Seringai Dewa semakin tinggi. Lalu tatapan matanya berubah jahat dan menjawab, “Apa yang akan kulakukan tidak seperti yang mereka pikirkan.”

 

****

 

Plaakkk …

Dania menampar pipi Dewa ketika ciuman penuh paksaan Dewa terhenti karena gigitan gigi Dania. Napasnya terengah oleh udara yang terhalang masuk melewati mulut dan hidungnya karena lumatan bibir Dewa dibibirnya.

Dewa terkekeh. Panasnya tamparan Dania sama sekali bukan tandingan api yang membakar hatinya hidup-hidup. “Richard sudah merebut satu-satunya alasanku untuk bernapas di dunia ini, apakah aku terlalu serakah jika merebutmu darinya?”

“Kau benar-benar sudah gila, Dewa.”

“Aku akan memberimu pilihan. Biarkan Richard yang menentukan sendiri siapa yang akan dipilih antara kau dan Zaffya? Atau kau yang menentukan sendiri pilihan untuk kakakmu?”

Dania yakin, kakaknya akan melepaskan cintanya demi dirinya. Begitupun Zaffya. Mereka berdua akan berpisah demi menyelamatkan dirinya. Hanya saja, bersediakah dia melihat akhir kisah kakaknya setelah sudah sejauh ini?

“Apa yang kauinginkan, Dewa?” Dania tetap bertanya meskipun tahu apa yang diinginkan Dewa akan mengubah hidupnya dalam satu malam.

 

***

Take Heart 9

3 Januari 2020 in Vitamins Blog

 

“Rich, apa kau tahu di mana Dania? Dia tak mengangkat panggilan Mama sejak tadi malam. Mama takut sesuatu terjadi padanya.”

“Mungkin hanya terlalu sibuk dengan skripsinya.” Richard melepas jas putihnya dan menggantungkannya di punggung kursi.

“Benarkah?”

“Ya, kami ada janji untuk makan malam. Richard akan menanyakannya.”

Desahan lega berembus dari seberang.

“Ma?” Panggilan Richard memecah keheningan yang sempat muncul. Mungkin ini waktu yang tepat untuk memberitahu mamanya tentang kabar gembiranya dengan Zaffya, atau tidak.

“Ya?”

“Euhm,” Richard mencoba menimbang-nimbang lagi. Duduk di kursinya dan mencari posisi yang nyaman. Ya, mungkin ia melakukan hal gila dengan menikahi Zaffya secara sembunyi-sembunyi. Ia terlalu terlarut dengan kebahagiaan yang di tawarkan wanita itu hingga kehilangan akal sehat. Namun, jujur ia tak menyesal. Tak akan menyesal dan seandainya ia dihadapkan pilihan yang sama di masa lalu atau pun masa depan ia akan tetap memilih pilihan yang sama.

“Kami. Maksudnya Richard dan Zaffya.” Richard berhenti sejenak, mengusap wajahnya sekali. Takut akan reaksi yang diberikan mamanya. “Kami bertemu dan sepakat untuk menjalin hubungan kembali.”

Raya terdiam selama beberapa saat. “Mama tidak akan berkomentar apa pun, Rich. Kau tahu hal yang paling Mama inginkan untukmu adalah bahagia entah dengan siapa pun itu. Tapi, apa kau yakin dengan pilihanmu?”

Richard mendesah perlahan. Tangan kirinya mengetuk-ngetuk meja kaca. “Richard yakin dengan pilihan Richard kali ini. Termasuk dengan pernikahan kami.”

Terdengar suara tersekat, lalu Raya bertanya dengan terbata, “Aa … apa?”

“Kami menikah. Sebenarnya sudah. Kemarin.”

“Richard?” Panggil Raya dengan penuh peringatan dalam nada suaranya yang mulai naik.

“Maafkan Richard, Ma. Sesuatu terjadi dan kami … ya, kami berakhir saling mengucap janji di depan pendeta.”

“Apa kau tahu apa yang kaulakukan?”

“Richard sadar.”

“Lalu?”

“Richard yakin tak akan pernah menyesali keputusan Richard kali ini.”

“Tapi apa kau tahu apa yang kauhadapi?”

“Kami berdua tahu apa yang akan kami hadapi.”

Hening, cukup lama hingga suara deheman dari arah pintu menarik perhatian Richard dari panggilan sang Mama. “Richard berencana bertemu dengan Mama. Dalam waktu dekat, tapi jadwal Rich terlalu penuh.”

Zaffya berjalan masuk dengan kikuk. Membalas senyuman dan lambaian tangan Richard dengna senyum yang tak kalah lebarnya. Lalu duduk di sofa panjang, berusaha merasa tak terganggu dan tak terlalu penasaran dengan seseorang yang berbicara dengan Richard.

“Mengapa mama merasa khawatir? Mungkin mama yang harus menemuimu.”

Richard membelalak. “Mama tak perlu sekhawatir itu.”

“Tidak, mama akan menemuimu. Mungkin dalam waktu seminggu ini. Mama ingin kalian menjelaskan semuanya dengan lebih mendetail.”

“Ta …”

“Apa papamu tahu?”

“Richard belum sempat menemui papa.”

“Huh? Kau tidak sempat menemui papamu tapi kau punya banyak waktu untuk merusak hubungan pasangan yang akan menikah dan malah menikahi calon istri orang lain. Ini sama sekali bukan Richard yang mama kenal.”

Richard terdiam. Bahunya turun dengan lunglai dan mencoba menghindar dari tatapan penuh ingin tahu yang Zaffya lemparkan dari seberang sana. Ia tak berharap reaksi mamanya akan seserius ini. Sekecewa itukah mamanya terhadap keputusan yang ia ambil?

“Bagaimana pun, setidaknya biarkan mama menemui calon … oh tidak. Astaga Richard, menantu mama.”

“Richard akan menunggu Mama.”

“Oke, mama akan menghubungimu secepatnya.”

“Hmm, baiklah.”

“Sampai jumpa.”

Richard mengangguk.

“Oh, jangan lupa memastikan Dania menghubungi mama,” tambah Raya sebelum benar-benar mengakhiri panggilan.

Richard mengurut keningnya dua kali sebelum berdiri dan menghadapi Zaffya. Duduk di samping wanita itu setelah mendaratkan kecupan ringannya di bibir.

“Ada apa?” Pertanyaan Zaffya menahan Richard untuk tak melakukan hanya sekedar kecupan ringan di bibir.

“Mama akan menemui kita.”

Mata Zaffya melebar dan mengulang, “Mamamu?”

Richard mengangguk. “Sekarang mama mertuamu.”

“Kapan?”

“Belum pasti, tapi dalam waktu dekat.”

“Lalu?”

“Lalu?” Richard balik bertanya.

“Apa yang harus kupersiapkan? Apa yang harus kulakukan?”

“Zaff!” Richard memegang kedua bahu Zaffya dengan kepanikan yang mulai muncul. “Bukankah kau sudah pernah bertemu dengan mamaku sebelumnya?”

“Ya, dengan kesan buruk yang mungkin masih membekas di ingatannya.” Zaffya mengetuk-ngetukkan telunjuknya di paha. Menyalurkan kegugupan yang mulai merayapi hatinya. Ya, pertemuan terakhirnya dengan mama Richard bukanlah hal yang bagus untuk diingat. Belum dengan hal buruk yang dilakukan mamanya pada Richard, pasti mama Richard mengetahui semua itu.

“Bukan berarti mamaku harus membencimu, bukan? Mungkin kau harus mengenal mamaku lebih dekat.”

Zaffya terdiam, meskipun kegugupan itu masih tersisa.

Tok … Tok … Tok …

Perhatian keduanya teralih pada pintu.

“Masuk,” jawab Richard.

Pintu terbuka dan sosok Luna yang terkejut dengan keberadaan Zaffya membuatnya berdiri dengan kikuk. Zaffya pun terkejut, tapi kegugupan tentang pertemuannya dengan sang mama mertua masih lebih besar

“Hai, Lun. Ada apa?”

“Apa aku mengganggu?”

Panggilan Richard pada wanita yang berdiri canggung di dekat pintu terbuka mengalihkan perhatian Zaffya sepenuhnya. Lun? Mungkinkah wanita itu … Zaffya mengamati lekat-lekat wajah wanita itu. Pantas saja wajah wanita itu sangat familiar, wanita itu adalah Luna. Teman dekat Richard.

Jadi, selama delapan tahun berpisah, hubungan Richard dan Luna tak pernah berakhir? Bahkan mereka sama-sama menjadi seorang dokter. Di rumah sakit miliknya.

Richard menggeleng. “Kemarilah.” Richard menarik tangannya dari pundah Zaffya serta menatap Luna dan Zaffya bergantian. Kejadian tadi pagi pasti cukup membuat udara di sekitar mereka bertiga dipenuhi kecanggungan. “Zaf, ini Luna. Lun, ini Zaffya. Kalian pernah saling mengenal sebelumnya, bukan.”

Luna mengangguk sekali mengiyakan. “Hai, Zaf,” sapa Luna dengan suaranya yang hampir tak terdengar oleh Zaffya. Senyum Luna tampak dipaksakan. Tatapannya juga masih sendu meskipun make up menutupi sebagian kepucatan wajahnya. Rasa sakit yang menghimpit dadanya semakin tak tertahankan dengan kemesraan Richard dan Zaffya di tempat tertutup seperti ini. Namun, sepuluh tahun persahabatan yang ia jalin dengan Richard tak akan ia putuskan begitu saja. Semua hal yang sudah ia korbankan untuk Richard tidak akan berakhir begitu saja.

Zaffya merasa Richard tak perlu memperkenalkan mereka berdua seperti ini. Zaffta tetap mengangguk pelan dan berusaha tersenyum meskipun setipis kulit ari. Bayangan tentang bibir Luna dan Richard yang bersentuhan masih begitu membekas di ingatannya. Sekuat tenaga ia menahan sikap sinisnya dan memilih membuang wajah ke samping, memberikan Richard dan Luna sedikit privasi. Dan hanya sebatas ini yang bisa ia berikan pada Luna.

Well, tiba-tiba saja godaan untuk menyuruh Vynno memecat Luna terasa sangat menggiurkan. Bagaimana ia bisa hidup dengan tenang jika waktu Luna dan Richard lebih banyak dibandingkan dengan dirinya di apartemen Richard.

Richard tersenyum masam dengan sikap dingin Zaffya yang tak mau repot-repot membalas sapaan Luna. “Ada apa?” tanya Richard mengalihkan perhatiannya sepenuhnya pada Luna.

“Aku hanya sebentar.” Luna menunduk dan menyodorkan dua berkas dengan map berwarna merah kepada Richard. “Kau perlu melihat berkas ini. Hasil CT scan pasien yang kau minta.”

Richard membuka berkas teratas dan melihatnya sekali sebelum kembali menutupnya. “Terima kasih.”

“Ya, kurasa aku harus segera pergi,” pamit Luna.

“Kau tak perlu bersikap sedingin itu, Zaf.”

“Seharusnya memang tak perlu. Jika kau bisa menjaga jarak dengan siapa pun dan masih ingat kau suami seseorang dua puluh empat jam yang lalu.”

“Dia sahabatku.”

“Bagiku dia tetaplah seorang wanita yang mencintai suamiku.”

“Zafff …”

“Apa aku salah?”

“Kami … Apa kau tak memercayaiku?”

“Aku tak ….”

“ … tak percaya orang disekitarku?” Richard menyelesaikan kalimat Zaffya lebih dulu.

Zaffya mengangguk mantap.

Richard mengembuskan napas pelan. Memutar tubuhnya menghadap Zaffya dan menggenggam kedua tangan istrinya. Mengecup kedua punggung telapak Zaffya bergantian sebelum mengunci tatapan istrinya.

Zaffya merasakan cinta yang begitu besar dan tak terhingga di mata Richard untuknya. Akan tetapi, semua itu masih tak cukup menekan rasa cemburu yang selalu ada ketika ada wanita lain menatap Richard lebih dari seharusnya. Ya, fisik dan wajah Richard memang selalu mengundang wanita mana pun menolehkan kepala dua kali. Ditambah kebaikan dan kelembutan pria itu. Zaffya kehilangan ide untuk menjauhkan mereka dari miliknya.

“Luna, dia tak punya siapa pun selain diriku.”

“Sayangnya aku tak suka berbagi, Richard. Apa lagi harus membagi suamiku.”

“Hubungan kami tak pernah seperti yang kau bayangkan.”

“Apakah itu yang kaupikirkan ketika Dewa menciumku?”

Richard merasa ditarik paksa menembus ingatannya delapan tahun yang lalu. Lalu, dia mengangguk dan menjawab, “Karena aku memercayaimu.”

Bibir Zaffya membeku.

“Hanya itu yang kubutuhkan untuk tetap bertahan selama delapan tahun ini.”

Zaffya diam dalam kebisuan. Di antara rentang waktu delapan tahun ia tenggelam dalam kerinduan dan penantian yang panjang, tak pernah sekalipun ia berpikir bahwa Richard juga tengah merindukannya. Bahwa masih ada dirinya di hati pria itu meskipun hanya sebuah kenangan yang patut disimpan. Merasakan keputusasaan dengan semua cinta yang masih tetap memilih tinggal di hati. Jika suatu saat mereka bertemu dan berpapasan di jalan, Zaffya berpikir Richard sudah melanjutkan hidupnya dan bahagia dengan pengganti dirinya. Meskipun dia masih tetap di tempat dan pasti akan tenggelam dalam kecemburuan dengan sosok lain yang menggeser dirinya di hati pria itu.

Akan tetapi, pria itu masih tetap di tempat. Tak melanjutkan hidup seperti dirinya. Perbedaannya, jika dirinya selalu dipenuhi ketakutan dan keraguan tentang Richard, Richard memilih percaya bahwa cintanya untuk pria itu tak pernah hilang atau pun berkurang sebagai pelipur lara dalam kerinduan dan kesunyian pria itu.

Hati Zaffya tertohok. Kepercayaan Richard padanya terlalu besar, membuat Zaffya merasa menciut kecil dan tak berdaya. Tiba-tiba merasa tak pantas.

“Tidakkah kau merasa bahwa kau bertanggung jawab dengan hidup dan cintanya?”

“Apa kau berpikir aku tak bisa membedakan antara cinta dan sayang?”

“Sejujurnya, bagiku tak ada bedanya.”

“Bedanya, seperti kau melihatku dan Ryffa atau Vynno.”

Zaffya sudah membuka mulutnya untuk memprotes, tapi Richard lebih dulu membungkam protes Zaffya dengan bibirnya.

 

****

 

“Ada apa, Tania?” tanya Dewa saat langkah sekretarisnya terhenti dan ia hampir menabrak tubuh mungil itu. Jika tidak ingat tentang kesetiaan wanita itu menemaninya selama bertahun-tahun ini, Dewa yakin akan memecat Tania detik ini juga hanya karena tidak bisa mengontrol emosinya. Sejak Dewa tahu bahwa dirinya benar-benar kehilangan Zaffya, ia selalu dalam mode siap tempur. Tak ada yang berani mengusiknya sedikit pun, dan itu lebih baik.

“Tuan, mu … mungkin kita bisa ….” Tania tergagap.

Dewa melirik melewati Tania yang berdiri di depannya. Wanita itu seakan ingin menutupi sesuatu di belakangnya dengan tubuhnya yang mungil. Sungguh tindakan yang konyol dengan badannya yang menjulang tinggi besar.

Amarah itu sangat besar, hingga rasanya Dewa tak sanggup menahannya lebih lama. Mendapati dua sosok yang dengan mesranya berdiri tak jauh di ujung lorong rumah sakit.

Ternyata hanya butuh satu minggu bagi Zaffya untuk meraih kebahagiaan wanita itu dan memamerkan pada dirinya. Seakan tidak ada lagi kepingan-kepingan hatinya yang tersisa untuk Zaffya hancurkan, dengan senyum tanpa dosa wanita itu tersenyum pada pria di sebelah, yang membalas tatapan Zaffya dengan penuh binar cinta. Sejak awal senyum dan tatapan berseri penuh cinta itu memang bukan miliknya. Tujuh tahun memiliki tubuh Zaffya nyatanya tetap tak mampu membuat Dewa memiliki tatapan itu.

Dewa dibuat terkejut untuk kedua kali ketika tatapan matanya terarah pada kedua tangan Richard dan Zaffya yang saling terpaut. Terpusat pada cincin yang terselip di jari manis mereka. Saat itulah hatinya benar-benar hancur lebur dan udara direbut paksa dari paru-parunya.

 

 

Take Heart 8

1 Januari 2020 in Vitamins Blog

 

Zaffya tak berhenti memandang wajah tampan yang masih terlelap dalam tidur. Masih setampan dulu, bahkan lebih. Bulu matanya yang panjang, hidungnya yang mancung, dan bibirnya yang sedikit terbuka. Suara napas yang terdengar teratur. Zaffya tak pernah membayangkan akan memiliki pagi yang indah seperti ini.

Senyumnya melebar ketika ingatan semalam kembali berputar di kepalanya. Richard menyentuhnya dengan lembut dan penuh kehangatan yang selama ini ia dambakan. Memuja setiap inci kulitnya. Menyentuhnya dengan sangat lembut seolah dirinya adalah kaca porselen yang sangat  rapuh dan mudah pecah.

“Selamat pagi,” sapa Richard ketika perlahan matanya membuka dan menemukan wajah polos Zaffya tengah menikmati ekspresi tidurnya. Lalu, wajah Zaffya mendekat dan mencuri ciuman singkat di bibirnya sebelum beranjak turun dari ranjang.

“Seharusnya aku ke kamar mandi sepuluh menit yang lalu,” gumam Zaffya sambil meringis menahan rasa sakit di pusat dirinya ketika kakinya menginjak lantai. Seharusnya sekarang ia sudah berpakaian rapi dan mulai merias wajah dan siap ke kantor.

“Bisakah kau menelpon Satya untuk menjemputku?”

Richard tak menyahut. Matanya masih terlalu asyik menikmati Zaffya yang sibuk menutupi ketelanjangannya dengan selimut sambil meraih sesuatu di lantai.

“Rich?” panggil Zaffya sambil membalikkan kepalanya. wajah memerah padam menyadari ke mana fokus Richard berpusat. Lalu, melemparkan bantal di dekatnya ke wajah Richard.

Richard terkekeh. Menyingkirkan bantal itu menjauh dan berusaha menarik selimut yang Zaffya lilitkan di tubuh wanita itu. “Apa salahnya? Aku menikmati keindahan tubuh istriku.”

“Hentikan, Richard!” Zaffya terpekik dan terjatuh kembali ke kasur saat berusaha menahan selimut untuk tetap menutupi ketelanjangannya. Ia belum pernah melihat sisi humor sekaligus mesum milik Richard yang satu ini.

“Masih terlalu pagi bagi pasangan pengantin baru untuk keluar kamar.” Richard berhasil menarik tubuh Zaffya dalam dekapannya dan langsung melumat bibir Zaffya begitu wajah wanita itu dalam jangkauan tangannya.

Zaffya menyerah. Toh dia juga menginginkan kenikmatan ini bersama Richard. Pagi indahnya bersama seseorang yang ia inginkan.

Cukup lama keduanya saling memagut, hingga keduanya berhenti dan wajah mereka saling menjauh ketika suara bel apartemen berbunyi.

“Kau punya tamu?”

Richard menoleh ke arah pintu kamar sekilas dan menjawab, “Setahuku tidak ada yang menghubungiku untuk datang kemari sepagi ini.”

Zaffya menarik tubuhnya menjauh. Berharap bukan si pengganggu sepupu sialannya. “Aku akan ke kamar mandi.”

Zaffya mengernyit ketika tak menemukan Richard di antara ranjang yang berantakan dan seluruh kamar sepuluh menit kemudian ketika ia baru keluar dari kamar mandi. Pandangannya terarah ke pintu kamar yang terbuka sedikit. Samar-samar ia mendengar percakapan suara wanita di antara suara Richard.

Siapa yang bertamu sepagi ini? Seorang wanita? Tidak mungkin salah satu pasien Richard datang ke apartemen ini, bukan?

 

***

 

“Hai, Lun. Ada apa kau kemari pagi-pagi sekali?” Menatap heran menemukan Luna tengah berdiri di depan pintu apartemennya. Sepagi ini dan dengan keterdiaman yang membuat Richard mulai panik.

Luna menggeleng. Ia ingin menangis, tapi ia tak ingin terlihat rapuh. Sudah lama ia tak menunjukkan sisi kerapuhannya pada Richard. Richard selalu menjaganya dengan baik. Kebaikan pria itu tak terhitung, membuatnya kuat dan mendapatkan kehidupan yang tak pernah terbayangkan akan ia inginkan.

“Apa ada masalah?” Richard mengernyit menyadari ekspresi Luna yang tampak sendu dan sedikit pucat. “Duduklah.”

Sekali lagi Luna menggeleng. Ia tidak ingin duduk.

Kernyitan Richard semakin dalam dan dipenuhi keheranan. Jelas wanita itu sedang mendapatkan masalah.

“Apa … “ Luna terbata, “Apa itu benar?”

“Aapa?”

“Apa kau menikah dengan Zaffya?”

Richard mengangguk setelah sesaat sempat terpaku dengan pertanyaan Luna.”Maaf, aku tidak memberitahumu. Kejadiannya begitu tiba-tiba dan aku tidak sempat menghubungimu, mama, ataupun Dania. Aku berencana memberitahu kalian sete ….”

“Aku mencintaimu, Richard.”

Richard kembali terpaku. Tidak, ia terkejut. Sangat terkejut. Ia menundukkan wajah, tahu benar ada saatnya ia akan menghadapi hal seperti ini. Sebelumnya, ia selalu berusaha menjaga sikap pada Luna. Tak terlalu sulit menyadari binar cinta yang terpancar di mata Luna untuknya. Sungguh, ia menyesal telah menjadi penyebab patahnya hati wanita itu. Ia sangat menyayangi Luna, sebagai seorang sahabat dan saudara. Hanya itu.

“Aku tahu kau mengetahuinya, dan aku tahu kau selalu menjaga jarak untuk perasaanku yang satu itu.”

Richard mengangkat wajahnya. Luna berjalan mendekat. Berusaha menahan rasa sesal yang begitu dalam ketika melihat air mata yang menetes di wajah Luna.

“Aku tidak bisa menahannya lebih lama lagi.” Luna tak menghapus air mata yang menghalangi pandangannya pada wajah Richard. Bahkan itu membantunya untuk mengabaikan ekspresi kecewa yang tersirat di wajah Richard. Sekali saja, ia memohon dalam hati. Sekali ini saja ia ingin mengungkapkan perasaannya. Agar rasa cinta itu tak berarti sia-sia dan dilupakan begitu saja. “Aku mencintaimu, Richard.”

Zaffya mengikat tali jubbah mandinya dan berjalan keluar demi menuntaskan rasa penasarannya. Tentu saja ia cemburu, menemukan kenyataan bukan hanya dirinya satu-satunya wanita  yang masuk ke apartemen ini. Semakin cemburu mendengar ungkapan kata cinta dari si wanita. Ungkapan cinta yang berlumur kesakitan dan keputusasaan.

Namun, ternyata kecemburuan itu tidak ada apa-apanya saat melihat si wanita melangkah mendekat menempelkan bibirnya di bibir Richard hanya dalam hitungan detik.

Zaffya terpaku. Membeku kehilangan napas dengan kejutan pagi yang beruntun menerjangnya. Matanya berkedip sekali, lalu dua kali dan menemukan pandangan itu bukanlah mimpi. Akan tetapi, keterkejutan ini bukan hanya menimpa dirinya. Ia melihat kesiap kaget melanda kedua sosok tersebut menyadari keberadaannya yang tak jauh dari mereka.

Ya, seharusnya mereka menyadari keberadaannya sedetik lebih awal, bukan? Dan ia tak perlu menyaksikan adegan menyentuh hati tersebut.

Sialan!

Gangguan dan kejahilan Vynno kini lebih baik daripada menemukan pemandangan seperti ini.

Richard tidak tahu, apa yang membuatnya begitu terpaku dan tak bergerak saat Luna semakin mendekatkan wajah wanita itu ke wajahnya dan menempelkan bibir mereka. Mungkin perasaan iba, atau setidaknya ia ingin Luna merasa lega karena wanita itu akhirnya mengungkapkan apa yang selama bertahun-tahun ini dipendam?

Richard dan Luna menoleh mendengar kesiap dan gerakan lain yang tak jauh dari tempatnya dan Luna berdiri. Richard semakin terkejut, melihat Zaffya berdiri di depan pintu kamarnya yang terbuka. Ekspresi terkejut Zaffya tidak kalah jauh dengan miliknya ataupun Luna.

Butuh beberapa detik bagi mereka untuk terlepas dari suasana mencengangkan tersebut. Penuh ketegangan dan tali yang membentang di antara mereka siap terputus. Sampai akhirnya, kebekuan tersebut terpecah ketika Luna menunduk, merasa malu melihat ekpsresi Richard dan Zaffya. Tak menunggu sedetik lebih lama, Luna berbalik dan berjalan keluar.

Richard tak tahu harus mengatakan apa melihat Zaffya memergokinya tengah berciuman dengan wanita lain di depan istrinya. Seharusnya, ia bisa menduga apa yang akan dilakukan Luna, hanya saja …

Richard menoleh ketika Luna berlari meninggalkan apartemennya. Kepalanya berputar kembali, menatap Zaffya dan kebingungan antara harus menjelaskan pada Zaffya atau mengejar Luna. Zaffya dan Luna pasti sama-sama terluka.

“Zaf, kami … aku harus bicara …” Richard menoleh kearah pintu apartemen yang sudah tertutup sekali.

“Kau ingin mengejarnya?” desis Zaffya di antara giginya yang mengertak.

“Aku tidak akan pergi kecuali tanpa ijinmu,” jawab Richard. “Kau harus mempercayaiku.”

Zaffya terdiam. Matanya dan Richard saling menatap lurus. Ia percaya, binar cinta di mata pria itu hanya untuknya. Ia akan percaya pada Richard meskipun memergoki pria itu tengah telanjang di sebuah kamar hotel. Namun, dengan kepercayaan sebesar itu, bukan berarti ia tak akan cemburu dengan wanita-wanita yang menyia-nyiakan tenaga dan usahanya untuk menarik perhatian Richard, suaminya. Dengan wanita-wanita yang berkeliling di sekitar Richard dengan bebas. Menunggu waktu yang tepat untuk memangsa Richard saat ia lengah.

“Kali ini aku akan membiarkan kalian. Kedua kalinya, aku pastikan kau akan menyesal jika melakukan ini padaku,” kata Zaffya dingin. Berbalik dan kembali masuk ke dalam kamar Richard. Membiarkan Richard mengejar wanita itu dan menyelesaikan apa pun yang ada di antara mereka berdua.

 

 

***

 

Richard menghela napas ketika menutup kembali pintu apartemen. Ia tak menemukan Luna di sekitar gedung dan tak mau mengangkat panggilannya. Mungkin wanita itu perlu waktu untuk dirinya sendiri.

Kamarnya masih berantakan saat berusaha mencari keberadaan Zaffya. Ia bergegas melangkah ke kamar mandi karena yakin Zaffya belum berangkat ke kantor.

“Hai.” Richard menghampiri Zaffya yang tengah sibuk menata rambutnya di depan wastafel. Meraih pinggang wanita itu dan menenggelamkan wajahnya di lekukan leher Zaffya. “Apa kau marah?”

“Kau tak perlu mempertanyakan jawaban yang kau sudah tahu.”

“Maaf.”

“Hmm,” Zaffya menggumam. Memungut anting di samping kran dan memakainya. Sedikit kesusahan dengan seluruh tubuhnya yang hampir tenggelam dalam pelukan Richard.

“Apa kau tahu hal termudah yang bisa kulakukan seumur hidupku?”

“Jatuh cinta padaku,” jawab Zaffya dengan ringan.

Richard mengangkat wajahnya. Membelalak tak percaya dengan jawaban yang keluar dari mulur Zaffya begitu mudahnya. Seharusnya kata-kata itu diucapkan dengan penuh keromantisan, bukan? Dan Zaffya akan tersenyum manja mendengar kata itu.

“Itu kutipan di film yang biasa ditonton Vynno.”

Richard melongo, menelan ludah dan kehilangan suara.

“Tenanglah, Richard. Kau dan cintamu sudah lebih dari cukup dijadikan sebagai keromantisan yang sempurna untukku.”

“Setidaknya kau bisa berpura-pura polos dan tak tahu apa-apa.”

“Aku tidak suka berpura-pura.” Zaffya mengurai pelukan Richard, berbalik, dan berjinjit untuk mencium bibir Richard secepat kilat. “Kau harus segera mandi, aku sudah terlambat untuk meeting pagiku.”

“Apa kita bisa makan siang bersama?” teriak Richard ketika Zaffya mulai keluar dari kamarnya.

“Telfon aku.”

Ya, itulah Zaffya. Zaffyanya. Istrinya.

 

***

 

“Apa itu kissmark?” Vynno menunjuk kulit telanjang di leher Zaffya yang memerah. “Aku tak tahu Richard tahu cara membuat hal semacam itu?”

Zaffya melempar bantal di sampingnya ke wajah Vynno dengan mendesah kesal.

“Mungkin ini bukan kali pertama ia …”

“Ini isyarat halus kau ingin mengundurkan diri sebagai pengangguran atau kau sengaja membuatku marah?” ancam Zaffya yang langsung membuat wajah Vynno membeku dan bibir terkatup rapat.

Ryffa tertawa. “Darah memang tak sekental itu, Vyn.”

“Kau benar-benar sepupu yang durhaka, Zaf,” dengkus Vynno.

“Kau yang memulai.”

“Durhaka itu tergantung dirimu sendiri, tidak ada hubungannya dengan orang lain.”

Zaffya berdecak. Memilih tak meladeni cemooh Vynno lebih lanjut dan membuang wajah ke samping. Richard baru saja menelpon dan mengatakan ada operasi dadakan. Zaffya kesal, seharusnya pasien Richard melahirkan satu jam lebih lambat dan ia tak perlu bertemu Vynno. Lalu, ia kembali bersyukur ketika ingatannya tentang tadi pagi kembali berputar di kepala.

Zaffya tak mengenali siapa wanita itu, tapi di saat bersamaan, ia merasa begitu familiar. Wanita itu cantik, memiliki tubuh seorang model dengan rambut keriting panjang yang terurai bebas.

Keningnya mengerut. Menggali-gali sesuatu dalam kepalanya. Memilah-milah siapa saja wanita yang pernah singgah atau ada di sekeliling Richard. Lalu, kepalanya menggeleng, ia tak perlu memikirkan. Ia percaya Richard.

“Apa yang kau pikirkan?”

Zaffya tersadar dan menoleh ke arah Ryffa. Bahkan pesanan makanan mereka sudah memenuhi meja. Well, mungkin ia bisa mempercayai Richard, tapi ia tak pernah mempercayai wanita yang ada di sekeliling pria itu.

“Aku akan ke rumah sakit.” Zaffya berdiri dan melangkah keluar pintu restoran.

 

Take Heart 7

30 Desember 2019 in Vitamins Blog

 

Dengan bosan Zaffya menatap akuarium di hadapannya. Setidaknya ikan berwarna merah itu sedikit mengalihkan perhatiannya menghitung detik yang berlalu. Suasana dalam ruangan ini hangat. Sangat hangat hingga mampu membuatnya meleleh. Beberapa foto dipajang di dinding, penuh senyum di setiap ekspresinya. Bagaimana hal semudah itu sangat sulit untuk dilakukan dirinya yang hampir mempunyai segalanya.

Ruang kerja Richard seperti ruang kerja dokter pada umumnya yang bekerja di CMC. Berukuran sekitar tujuh kali tujuh, berwarna putih, dan berbau antiseptik. Bagaimana kesalahan Satya yang menerima lamaran Richard membuat hidupnya jungkir balik separah ini. Mungkin ia harus memberi Satya libur satu hari sebagai ucapan terima kasih. Lagi pula, Richard memang memenuhi kualifikasi sebagai dokter yang masuk ke CMC. Zaffya yakin, pria itu akan membawa dampak yang baik untuk rumah sakitnya.

Pintu terbuka dan Zaffya menoleh. Melihat Richard yang sesaat terkejut mendapati dirinya berdiri di tengah-tengan ruangan.

“Hai,” sapa Richard. Melepas jas putihnya sambil mendesah lelah setelah keterkejutannya berlalu oleh kejutan Zaffya.

Zaffya mengangguk singkat. Mengikuti pria itu duduk di sofa setelah menggantung jas putih di gantungan dekat meja.

“Apa kau masih benci menunggu?” tanya Richard.

“Sedikit,” dusta Zaffya. Ia masih benci menunggu, hanya saja, selalu ada pengecualian untuk Richard, bukan?

“Kenapa tidak menelponku lebih dulu?”

Zaffya mengernyit. “Apakah sopan menelponmu yang tengah sibuk dengan pasienmu? Aku tak mau reputasi CMC terganggu. Mempengaruhi bisnis keluargaku.”

Richard tertawa tipis. Matanya melekat memperhatikan Zaffya. Tak pernah membosankan seperti biasa.Cantik, mempesona, dan elegan. Hampir saja ia tak tahan untuk tidak menempelkan bibir mereka jika Zaffya tak segera memulai perbincangan mereka lagi.

“Kenapa kau datang menemuiku?” Pertanyaan Zaffya tiba-tiba membawa udara di antara mereka ke dalam kebekuan seketika.

Richard tak menjawab.

“Apa kau tahu apa yang terjadi dengan kedua orang tua kita?”

Richard semakin terdiam. Matanya tak lepas dari wajah Zaffya sedikit pun. Ada kekhawatiran, ketakutan dan kepanikan menghiasi wajah cantik itu. Lalu, Richard mengangguk dan berkata, “Aku tahu apa yang akan kita hadapi di depan sana.”

Kali ini Zaffya yang membungkam.

“Itu pilihan mereka untuk tak bersama, tapi aku memilih mengajakmu untuk berjuang bersama-sama.”

“Apa kau tidak merasa memaksaku untuk lebih memilihmu dibandingkan keluargaku?”

“Aku tidak akan sepadan jika dibandingkan dengan keluargamu, Zaf. Hanya saja, aku tidak mau kalah tanpa memperjuangkan hal paling penting di hidupku. Aku tidak mau menunggu dan menjadi orang kesepian yang takut untuk bertindak lebih dahulu. Itulah sebabnya aku kembali. Meyakinkanmu bahwa aku masih mencintaimu dan urusan kita belum selesai.”

Sudut mata Zaffya mulai memanas. Ia tak akan keberatan bertindak egois jika untuk Richard. Hanya untuk satu hal itu, ia tidak akan pernah keberatan. Lagi pula, ia sudah terlanjur melangkah sejauh ini. Setidaknya, hal inilah yang diinginkan kakeknya. Ia tahu kakeknya menginginkan yang terbaik untuk Zaffya, dan hal terbaik itu adalah Richard.

“Aku akan menikah denganmu.”

Richard terpaku, mengerjap dan tersenyum lembut saat berkata, “Kita akan melakukan itu.”

Zaffya menggeleng. “Kau hanya punya satu pilihan. Menikah denganku besok atau tidak untuk selamanya?”

“Zaf?”

“Aku akan mengatur semuanya. Ryffa dan Vynno akan menjadi saksi pernikahan kita.”

“Zaf?”

“Aku akan mengirimkan beberapa contoh cincin, kau bisa memilihkanya untuk kita. Hanya dipakai sebagai syarat, aku tak akan keberatan meskipun tanpa cincin. ”

“Zaf?”

“Aku tidak terlalu suka yang mencolok, tapi aku akan menerima semua pilihanmu.”

Richard mendesah dengan keras. “Kau tidak mendengarkanku, Zaf.”

“Aku mendengarkan. Bukankah kau memintaku untuk berjuang bersama. Apa kau tidak ingin menikahiku?”

“Kita akan menikah, tapi sekarang bukan waktu yang tepat.”

“Sekarang adalah waktu yang paling tepat,” tegas Zaffya.

“Zaf, aku …”

“Aku akan memberimu dua pilihan. Hamili aku atau nikahi aku?”

Richard membelalak. Menelan ludahnya dengan ngeri.

“Kita akan mendapatkan restu orang tuamu terlebih dahulu.” Richard mengajukan syarat.

“Kau akan mendapatkan setelahnya.” Zaffya mengangkat jam tangan, lalu mendekat dan mencium bibir Richard cepat dan berkata, “Aku sudah terlambat sepuluh menit untuk menemui klienku. Kirim pesan tentang cincin pilihanmu, nanti malam kita akan mencobanya sebelum mengenakannya di pagi hari.” Zaffya cepat-cepat berdiri atau mereka akan saling berciuman lebih lama lagi.

Bahu Richard merosot tanpa daya. Seperti inilah Zaffya yang dia kenal. Wanita itu menghancurkan bayangan kejutan lamaran untuk kedua kalinya.

“Dan tolong pilihkan beberapa gaun untukku. Aku harus mengurus berkasku yang menumpuk setelah bertemu dengan klien nanti. Okey?”

Zaffya tak menunggu Richard mengangguk. Pria itu akan melakukannya. Baiklah, ia memang butuh membanting setir. Ia tidak tahu apa yang mereka hadapi di depan nanti. Kemurkaan orang tuanya? Tapi ia sudah terlalu lelah untuk berpikir ataupun meratapi kisah cinta atau hatinya yang kosong. Yang ia tahu, pernikahannya dengan Richard hanya berarti satu hal. Richard akan mengisi kekosongan di dalam hatinya yang telah lama menghilang.

 

***

 

“Kau tidak bisa segila ini, Zaf.” Ryffa berjalan memutari meja pantry. Meletakkan segelas susu di depan Zaffya dan Vynno sebelum duduk di kursi paling ujung. “Kalian baru bertemu tiga hari.”

“Kami sudah saling mengenal sejak sembilan tahun yang lalu.” Zaffya mengambil satu tegukan susunya.

“Dan delapan tahun kalian habiskan tanpa kontak sama sekali.”

“Mungkin saja dalam delapan tahu, Richard sudah berubah dan kembali hanya untuk membalaskan dendamnya padamu,” sela Vynno.

“Apa itu yang biasa terjadi di dramamu?” ejek Zaffya.

“Atau … mungkin saja, dia sudah punya istri yang disembunyikannya.”

Zaffya memukul kepala Vynno. “Aku tidak tahu ternyata dokter bisa sebodoh ini.”

“Aku pemilik rumah sakit.”

“Oh ya? Aku sama sekali tidak merasa pernah memberikan rumah sakit padamu meskipun dalam keadaan mabuk.”

“Itulah yang selalu kupikirkan, bagaimana caranya membuatmu mabuk dan menandatangani surat pemindahan saham padaku.”

“Sayangnya, kau sering tak berpikir.”

Vynno membelalak. Bibirnya membuka lalu menutup dan membuka lagi. “Tapi aku tidak menikahi pria asing yang kukenal hanya beberapa hari.”

“Seseorang tidak harus sempurna, bukan? Bisa membuat siapa pun mengutukmu.”

“Maaf, mengganggu kesenangan kalian.” Ryffa berusaha melerai sebelum fokus kembali pada Zaffya dan berkata, “Tapi, sebelum kalian terperosok terlalu jauh, kau harus tahu alasanmu memulai pernikahan ini.”

Zaffya tercenung, butuh tak lebih dari tiga detik untuk memikirkan jawabannya. “Kau tahu, aku hanya butuh membanting setir dan menabrak sesuatu untuk berhenti dari kekosongan ini.”

Ryffa tak menjawab.

“Dan aku tak bisa berhenti jika itu bukan Richard.”

Ryffa mengangkat kedua alisnya, memandang Zaffya penuh dengan kepahaman. “Alasan yang bagus.”

Vynno tersedak. Air susu yang ia telan menyembur ke meja di hadapannya. Membuat Ryffa menyingkir dan mengumpat dengan marah.

Vynno mengusap mulutnya sebelum kembali menyela, “Tapi itu bukan berita yang bagus jika orang tuamu mendengarnya.”

“Bukan berarti aku akan mundur, kan?”

“Richard benar-benar memberikan pengaruh yang buruk, Zaf.”

“Sebaiknya kau menjaga mulutmu, Vyn. Dia kandidat terbaik untuk menggantikan posisimu.” Zaffya berdiri dari duduknya. Menepuk pundak Vynno dua kali dan berkata lagi, “Ditambah, kualitas dan kwantitasnya sebagai dokter jauh lebih baik dibandingkan dirimu.”

Bibir Vynno seketika terkatup rapat. Mungkin ia harus memikirkan langkah berikutnya untuk membatalkan pernikahan Zaffya dan Richard besok pagi.

“Fa,bisakah kau memberitahuku tentang beberapa kontrasepsi?” Pandangan Zaffya beralih pada Ryffa yang sudah hampir menghabiskan cangkir susunya.

“Kenapa? Apa kauingin menikahi Richard tapi tak ingin memiliki anak dengannya?” Vynno kembali menyela sebelum Ryffa mengangguk mengiyakan.

“Menikah dan memiliki anak adalah dua hal yang berbeda, Vyn. Setidaknya aku tidak sepertimu yang tidur dengan orang asing tanpa ikatan pernikahan. Richard jauh lebih bersih dan terhormat darimu untuk meniduriku.”

Vynno menganga, lalu mengangkat kedua tangannya ke atas dan berteriak, “Ya, selamat datang kegilaan!”

“Sampai jumpa besok pagi, dan aku tidak ingin kalian terlambat.” Zaffya melambai dan berjalan ke pintu kamarnya.

“Apa kau yakin akan menjadi saksi pernikahan Zaffya?” tanyaVynno ketika pintu kamar Zaffya sudah tertutup.

Ryffa menggeleng, lalu berkata, “Tapi aku yakin Zaffya tahu apa yang dia lakukan.”

Vynno mendengkus. “Haruskah aku memberitahu tante Nadia?”

“Kalau itu, aku yakin kau akan menyesal jika kau melakukannya tanpa sepengetahuan Zaffya.”

 

****

 

“Aku bersedia,” Zaffya mengakhiri upacara pernikahanku sebelum pendeta mempersilahkan mereka untuk berciuman.

Ryffa tersenyum bahagia. Melihat senyum di wajah Zaffya dan Richard. Setelah sekian lama, pada akhirnya mereka berdua kembali. Keduanya tampak begitu kuat. Ia yakin, mereka akan mampu menghadapi apa pun yang ada di depan.

“Setidaknya pernikahan mereka terasa sangat mengharukan, bukan?” bisik Vynno yang berdiri di samping Ryffa. Memegang segelas jus jeruk dan melambaikan tangan ke arah Richard dan Zaffya yang menatap mereka.

“Sesekali kau memang harus merasakan apa itu cinta.” Ryffa ikut melambai.

Vynno berdecak. “Cinta hanya ada dalam drama romantis di filmku. Pernikahan ini, hanya obsesi Zaffya yang tak bisa lepas dari cinta pertamanya. Kau sangat mengenal dengan baik Zaf, bukan? Dia tak akan berhenti penasaran sebelum rasa penasarannya itu terpuaskan.”

“Aku berharap Richard tak sepolos itu untuk tidak merebut posisimu sebagai pimpinan CMC,” timpal Ryffa sebelum berjalan pergi meninggalkan Vynno.

“Ikatan darah lebih kental daripada air,” seru Vynno tak terima. “Benar, bukan?” tanyanya meragu pada dirinya sendiri.

 

****

 

“Apa kau yakin dengan pernikahan ini?” Pertanyaan Richard mengalihkan perhatian Zaffya dari koper yang baru saja dibukanya di atas kasur King size. Setelah pernikahan usai, Zaffya sudah mempersiapkann barangnya untuk dibawa ke apartemen Richard. Tidak semewah miliknya di gedung megah dan berkawasan elit, tapi apartemen Richard tidak bisa dibilang buruk. Tempat itu selalu beraroma rumahan yang Zaffya sukai. Ramah dan hangat. Desain dan tatanannya juga bukan hasil arsitektur terkenal seperti miliknya. Zaffya yakin, pria itu menata sendiri segala macam furniture yang tersemat dalam ruangan ini.

“Apa kau menyesal?”

Richard berjalan mendekat. Menangkup wajah Zaffya dan memberikan kecupan ringan di kening. “Ini adalah satu-satunya hal yang tak pernah berani kuimpikan.”

“Aku tahu.” Zaffya memegang lengan Richard. “Lalu untuk apa sekarang kau meragukan diriku?”

“Aku tidak mengatakan aku meragukanmu. Aku hanya … hanya meragukan diriku sendiri.”

“Dan secara tidak langsung kau meragukan penilaianku.”

“Maafkan aku.” Richard mencium bibir Zaffya. Kali ini dengan ciuman yang menggoda dan lama.

“Apa kau sudah siap dengan malam pertama kita?”

Wajah Zaffya memerah. Sialan, ia belum pernah segugup dan  semalu ini. Baiklah, mungkin ia yang menyatakan cinta dan melamar Richard lebih dulu. Akan tetapi, ia tetaplah seorang wanita yang belum berpengalaman dengan hal seintim itu. Ia memang tak pernah sedekat itu dengan seorang pria, kecuali dengan Richard. Dewa, selama bertunangan delapan tahun dengan Dewa, hal paling jauh yang pernah mereka lakukan hanyalah ciuman singkat dan kecupan di kening.

“Kau benar-benar menggemaskan, Zaf.”

Zaffya membelalak tak percaya. “Menggemaskan? Itu jauh dari pencitraan yang selama ini berusaha kubangun.”

“Tapi sayangnya, aku tak pernah sebodoh mereka.” Richard kembali memagut bibir Zaffya. Mendorong tubuh wanita itu di ranjang dan ikut berbaring di sana. Salah satu tangan menahan berat tubuhnya di atas Zaffya, sedangkan tangannya yang lain meraih kancing kemeja putih Zaffya dan meloloskan dari kaitannya.

“Mungkin malam ini aku akan berbaik hati dan menjadi menggemaskan seperti yang kauinginkan.”

 

****

Take Heart 6

28 Desember 2019 in Vitamins Blog

 

“Bicaralah,” Zaffya memulai.

“Aku hanya ingin bertemu denganmu.”

“Jujur, aku tak ingin bersikap dingin padamu, Dewa.”

“Aku tahu. Maafkan aku,” Dewa tersenyum miris. Satu-satunya alasan dia masih tetap di ruangan ini karena Nadia Farick mengancam Zaffya.

“Aku akan kembali, semoga cepat sembuh.” Dewa mengangkat tangannya hendak mengusap kening Zaffya. Namun, saat Zaffya beringsut menjauh, ia segera menurunkan tangannya.

Zaffya menyandarkan punggungnya ke kepala ranjang. Mendesah dengan keras saat Dewa menutup pintu.

Ryffa keluar dari kamar mandi tak lama kemudian, diikuti Richard. Sesaat keduanya hanya saling pandang dengan canggung.

Ryffa keluar, meninggalkan Zaffya dan Richard tertinggal. Selama hampir satu menit keduanya hanya saling berpandangan dalam diam. Richard tidak mengatakan apa pun sedangkan Zaffya masih terlalu sibuk dengan halusinasi dalam kepalanya.

“Bagaimana kabarmu?” tanya Zaffya akhirnya dengan suara serak. Ia terlalu gugup. Sialan! Kegugupan tak pernah menyerangnya sekuat ini hingga membuat Zaffya tak berkutik. Berbagai macam tantangan yang harus ia lakukan untuk memenangkan proyek besar tak pernah membuatnya segugup ini. Bahkan saat keputusannya untuk memutuskan pertunangannya dengan Dewa dan mengumumkannya di hadapan umum.

“Cukup baik. Kau?”

Napas berat keluar melewati bibirnya bersamaan saat Zaffya menjawab. “Baik.”

“Sepertinya tak cukup baik.”

“Sedikit.” Zaffya mengangkat alis. “Kesibukan terkadang mengalahkanmu dengan cara yang tak kau sangka.”

‘Namun cukup berguna untuk mengendapkan sesuatu di dasar danau agar lumpurnya tak naik dan membuat air danau menjadi keruh,’ lanjut Zaffya dalam hati. Ia tak pernah baik-baik saja jika mengingat Richard dan masa lalu mereka. Terutama setelah semua kabut yang akhirnya menjadi begitu jelas berkat sang kakak.

Keduanya kembali terdiam.

“Akhirnya kau kembali,” gumam Zaffya dengan tawa kecil. Masih terlalu dini untuk tersenyum. “Apakah kau punya urusan di sekitar sini atau apa pun itu?” Pertanyaan yang bodoh! Zaffya mencela dirinya sendiri. Untuk apa kau perlu tahu urusan Richard kemari.

“Beberapa,” jawab Richard. Berjalan perlahan mendekat ke ranjang.

“Atau hanya ingin menyapa teman lama?” Mungkin itu alasan Richard kemari.

Richard mengangguk-angguk. “Bisa dibilang seperti itu.”

Detak jantung Zaffya berdetak begitu nyaring ketika Richard semakin menghilangkan jarak di antara mereka. Satu langkah, dua langkah dan tiga langkah. Pria itu berada di samping ranjang. Berdiri menjulang membuat Zaffya mendongakkan kepala demi melihat wajah pria itu. Yang sepertinya itu ide dan rekasi terburuk yang muncul di kepalanya. Richard menunduk, bukan hanya menghilangkan jarak di antara mereka, melainkan jarak di antara wajah mereka.

“Salah satu urusan yang harus kuselesaikan denganmu adalah ini.” Richard menempelkan bibirnya dengan bibir Zaffya. Egois, bukankah itu tujuannya datang kemari. Ingin menunjukkan sikap egoisnya akan hubungan mereka yang belum selesai sekalipun Zaffya menganggap kisah mereka sudah berakhir.

Saat menyadari reaksi Zaffya terhadap dirinya, ia tahu keputusannya untuk kembali benar adanya. Mungkin ia harus menyombongkan diri dengan kepercayaan dirinya yang satu ini. Efek dirinya pada Zaffya masih sama. Terlalu banyak kerinduan yang dipendam wanita itu dan dirinya yang tak sanggup mereka tutupi ketika mata mereka saling bertaut. Dan semua kerinduan itu akhirnya terluapkan oleh bibir mereka yang saling memagut. Menuntaskan kesepian dalam ciuman yang saling membara dan tak mau mengalah untuk yang lainnya. Seakan saling menunjukkan bahwa rasa rindu yang satu lebih besar dari rindu yang lainnya.

“Bukan ini yang semestinya kau lakukan saat bertemu dengan teman lama,” desah Zaffya masih dengan wajah yang menempel pada wajah Richard. Ya, rengkuhan lengan pria itu menjanjikan kehangatan yang ia dambakan. Seperti yang sudah ia sangka.

“Aku tahu, tapi aku tak bisa berhenti memikirkan hal ini jika aku tak bisa melakukan niatku.”

Dentuman itu datang dan membuat Zaffya semakin tak bisa bernapas. Cukup harum napas yang keluar dari bibir dan hidung Richard benar-benar memabukkan Zaffya dan melemahkan seluruh saraf dalam tubuhnya, dan kata-kata yang diucapkan Richard membuat Zaffya seperti akan pingsan kembali. Sungguh, ia berlebihan, tapi apa pun yang berhubungan dengan Richard memang seringkali membuatnya terlalu berlebihan. Bersyukur dia di atas ranjang dan tubuh bagian atasnya ditahan oleh lengan Richard. Jika tidak, mungkin dia bisa jatuh terjengkang ke belakang dan akan menggores harga dirinya.

Keduanya kembali saling pandang dalam kebisuan. Seakan membiarkan pandangan mereka yang berbicara untuk selanjutnya. Lalu, keheningan itu terpecah oleh suara pintu yang didorong dari luar. Richard menaik tubuhnya menjauh. Melihat seorang pria dengan setelan rapi berjalan masuk.

“Ada apa Satya?” tanya Zaffya pada Satya yang terlihat terbengong menatap keberadaan pria asing di dalam ruangan itu.

“Euhm, saya … saya bisa menunggu di luar,” Satya terbata. Lalu, berbalik.

“Tidak perlu,” Richard mencegah Satya keluar. “Urusan kami sudah selesai.”

Satya berhenti. Dengan kikuk tetap berdiri di antara celah pintu. Memandang dengan canggung ketika Richard meninggalkan satu kecupan lembut di kening Zaffya. Demi apa! Bosnya baru beberapa hari yang lalu putus bertunangan dengan pewaris Sagara Group. Tetapi, bukan ide yang bagus untuk berkomentar tentang hubungan itu dengan tabiat Zaffya yang sudah sangat dikenalnya dengan baik.

“Pastikan dia beristirahat dengan baik,” pesan Richard berbisik di telinga Satya sebelum menutup pintu ruang rawat itu. Senyum lembut, kehangatan dan wajahnya yang tampan bahkan sejenak membuat Satya termangu.

“Apa saya boleh tahu siapa ….” Satya langsung membungkam saat pandangan Zaffya beralih padanya. Namun, langsung terheran saat tidak menemukan tatapan tajam dan ‘jangan ikut campur’ bosnya. Zaffya malah menatapnya dengan ekspresi asing yang belum pernah dilihat oleh Satya.

“Kenapa? Apa kau akan mengadu pada mamaku?”

Satya menggeleng dengan keras. “Bukan saya yang memberitahu nyonya Farick tentang Anda.”

“Aku tahu,” gumam Zaffya. Mamanya memang punya koneksi tersendiri tentang kehidupan pribadinya. Salah satu alasan kenapa ia memilih tinggal di apartemen daripada di rumah kedua orang tuanya.

“Sepertinya, saya pernah melihat pria itu?” Satya berusaha mengingat.

“Kalian belum pernah bertemu. Tidak mungkin kau mengenalnya.”

Satya termangu. Kali ini bukan mengingat tentang siapa pria asing yang tampak begitu mesra dengan bosnya. Melainkan karena ucapan Zaffya yang lembut dan … terdengar asing di telinganya. Bahkan ada senyum tipis yang sama asing dan anehnya di wajah Zaffya.

Pintu kembali terbuka. Senyum tipis di wajah Zaffya seketika lenyap melihat Dewa berjalan masuk dengan raut yang menegang dan memerah menahan amarah.

Satya bergegas keluar dengan isyarat yang diberikan oleh Zaffya. Sepertinya ia memang harus keluar jika tidak ingin terjebak dengan pertumpahan darah mereka.

“Jadi ini alasanmu memutuskan pertunangan kita?” Pertanyaan Dewa terdengar begitu dingin dan penuh luka. Di saat Richard menghilang dari kehidupan Zaffya saja ia tak bisa mengisi kekosongan hati Zaffya, bagaimana jika pria itu kini datang dan merebut posisi yang selama delapan tahun ini ia pertahankan. Ia merasa seperti kalah bahkan sebelum memegang pedangnya.

“Apa kau ingin aku meminta maaf untuk ini?” tanya Zaffya datar. Pengaruh ciuman Richard beberapa saat lalu masih terngiang. Bahkan bibirnya yang merekah masih merasakan kelembutan di sana saat ini. “Meskipun semua bukan seperti yang kau pikirkan,” imbuhnya.

“Kau ingin aku percaya?”

Zaffya terdiam. Mengamati rasa sakit di manik Dewa yang tampak begitu jelas. Sungguh, ia akan meminta maaf untuk rasa sakit yang ia berikan pada Dewa, setidaknya untuk waktu yang mereka habiskan dalam kesepakatan pertunangan dan usaha untuk melupakan Richard. Akan tetapi, jika hal itu membuat Dewa semakin menginginkannya, tentu bukan ide yang bagus.

Dewa tertawa hambar. “Sungguh ini kebetulan yang sangat langka. Saat kau memutuskan pertunangan kita, Richard kembali.”

“Itu yang kukatakan pada diriku sendiri. Baru saja.”

Wajah Dewa membeku. Takdir? Itu satu-satunya hal yang tidak ingin ia percayai saat ini. Bagaimana takdir sebegitu mudahnya mempermainkan dirinya dalam sekali sentakan. Delapan tahun bukan waktu yang sebentar, dan tidak sedikit usaha yang ia kerahkan untuk mendapatkan hati Zaffya. Setiap usaha selalu ia berikan tanpa main-main dan bersungguh-sungguh. Kemudian, setelah semua itu, apakah ia harus menyerah dengan takdir yang tiba-tiba membentang di antara mereka. Seolah dari awal memang sudah memperingatkan dirinya, bahwa Zaffya bukan untuk dirinya.

Sesaat, Dewa merasa telah mengabaikan hal itu dari awal. Tetapi, seolah dirinya menutup mata. Berharap, mungkin saja suatu saat Zaffya akan membuka diri untuknya. Seperti ia pernah mencoba perasaan cintanya pada Zaffya, ia mengabaikan bahwa hati Zaffya memang sudah sebeku itu untuk Richard. Tak mungkin baginya untuk mencairkan es tersebut.

“Setelah semua ini, bagaimana bisa kau menyingkirkanku begitu saja?” Ada tangisan dalam suara Dewa, tapi ia berjuang agar matanya tak sampai basah.

“Kau juga tahu apa yang kualami selama ini, bukan? Apa kau pikir semua ini juga mudah bagiku?”

“Kau tak pernah mencoba untukku.”

“Lalu dengan kembali bersamamu, apa kaupikir itu solusi terbaik untuk kita berdua?”

“Dan solusi terbaik bagimu adalah kembali padanya?”

Pundak Zaffya terjatuh ke kepala ranjang. Kembali pada Richard? Zaffya tak pernah berpikir sejauh itu.

Setelah ciuman itu?! dengkus batin Zaffya. Okey, ia mungkin hanya terbawa suasana. Ia begitu merindukan Richard dan tiba-tiba pria itu muncul mengisi kekosongan dalam hatinya. Tentu ia tak akan menolak seseorang yang menyodorkan segelas air di saat ia hampir mati karena kehausan, bukan.

“Berpikirlah sesukamu, Dewa. Aku tak akan menjawab apa pun,” kata Zaffya akhirnya.

Dewa mendesah dengan lemah. Ia juga tak akan mengatakan apa pun. Zaffya selalu membiarkannya memperlakukan wanita itu sesukanya dan berpikir tentang wanita itu sesukanya. Namun, satu hal yang tak bisa ia lakukan sesuka hati pada Zaffya. Hati wanita itu, Dewa tak memiliki hak untuk mengisi hati Zaffya sesuka hatinya.

 

****

 

“Apa yang Dewa katakan?” tanya Ryffa begitu ia dan Vynno masuk dan melihat Dewa keluar dari ruang rawat Zaffya.

“Apa dia menyuruhmu tes ….” Vynno berhenti tapi bibirnya tetap bergerak melanjutkan kalimatnya.

“Sshhh ….” Ryffa mendesah gusar dan melemparkan tatapan memperingatkan pada Vynno. Lalu, beralih menatap Zaffya yang diam tak menjawab.

“Apa dia curiga?” tanya Ryffa lagi, sambil duduk di sisi ranjang.

“Sekarang atau besok dia akan tetap tahu, bukan?”

Ryffa mengangguk. Kemudian menggeser tubuh Zaffya lebih ke pinggir sebelum berbaring di sisi lain ranjang.

“Apa seperti ini caramu memperlakukan pasien?!” protes Zaffya. Ia bisa jatuh dari ranjang jika tidak ada nakas yang menahan di sisi kiri tubuhnya.

“Kau hanya stress dan anemia. Istirahat di sofa tak akan menambah bebanmu. Kau tahu aku tidak bisa tidur jika bukan di ranjang, bukan?”

Zaffya memukul punggung Ryffa keras, tapi tetap turun dari ranjang dengan hati-hati. “Kau bisa beristirahat di ruanganmu.”

“Aku tidak bisa tidur dengan tenang karenamu, Zaf.” Mata Ryffa terpejam dan meletakkan lengan untuk menutupi.

“Dan sekarang kau bisa beristirahat? Setelah melihatku baik-baik saja?”

“Hmm, kau bahkan bisa tidur di lantai setelah racun sialan itu mulai merasuki otakmu tanpa aku merebut ranjangmu.”

Zaffya menggeleng tak peduli. Sekalipun Richard menciumnya tiga atau lima kali, ia tak sebodoh itu untuk tidur di lantai.

“Jangan lepaskan infusmu,” Ryffa mengingatkan saat Zaffya berusaha meneliti sesuatu di pergelangan tangannya. Dengan kesal wanita itu pun berjalan menuju dua sofa di sudut. Melihat Vynno yang sudah bersiap berbaring di sofa terpanjang.

“Apa kau juga ingin tidur?”

“Yeahh.” Vynno menguap. “Apa kau tahu sebanyak apa berkas yang harus kuurus tadi malam?” Vynno mulai berbaring dan mencari posisi ternyaman untuk tidur.

“Kau pasti tak ingin tahu berkas yang ada di kantorku.”

“Aku tahu.”

Zaffya diam. Berdiri menjulang di depan Vynno dengan kedua tangan terlipat di dada.

“Apa?!” tanya Vynno mulai gusar dengan tatapan menelisik Zaffya, lalu menunjuk sofa satunya yang kosong.

Zaffya tetap bergeming di tempatnya. Sahabat sialan! Bagaimana mereka memperlakukan sahabat yang sedang sakit seperti ini?

“Punggungku sakit,” keluh Vynno.

“Apa kau lebih memilih punggungmu nyaman sebagai pengangguran?”

Vynno bangkit, tanpa kata.

“Dan tolong cari tahu di mana Richard tinggal.”

“Zaaffff!!” rengek Vynno.

“Aku meminta tolong.” Zaffya mulai berbaring.

Arrggghhhh

 

****

Take Heart 5

27 Desember 2019 in Vitamins Blog

 

“Apa yang terjadi?” Vynno bertanya langsung pada perawat yang sedang sibuk memasang jarum infus di lengan Zaffya. Wanita itu tak sadarkan diri dan wajahnya terlihat pucat. Sudah tentu karena terlalu banyak hal yang harus dipikirkan Zaffya, dan Zaffya pasti melakukan segala hal untuk diurus demi mengalihkan isi kepala yang saling berkerumun memenuhi otak wanita itu.

Apakah jika ia memberitahu Zaffya tentang Richard, Zaffya akan berhenti menyiksa dirinya sendiri? Ia tahu, mungkin ribuan kali. Zaffya berpikir untuk mencari tahu keberadaan Richard. Tetapi, Zaffya selalu dikalahkkan dengan prasangka yang teramat besar dan membuat kepercayaan diri seorang Luisana Zaffya Casavega Farick runtuh. Dampak Richard memang selalu sebesar itu untuk Zaffya. Begitupun dengan penderitaan yang akan Zaffya dapatkan jika berhubungan kembali dengan Richard.

“Sekretaris nona Zaffya menemukannya pingsan di kamar mandi setelah isi perutnya habis terkuras.”

Vynno mengernyit. “Di mana sekretarisnya?”

Tepat saat Vynno menyelesaikan pertanyaannya, pintu ruang rawat tersebut terbuka dan Satya muncul.

“Apa kau tahu apa yang terjadi dengannya sebelum pingsan?”

Satya melangkah mendekat sambil mengangguk. “Beberapa kali nona Zaffya mual dan muntah. Terkadang juga mengeluh pusing. Selera makannya juga berkurang dan sering terlihat letih dan lesu. Saya juga meminta untuk segera ke rumah sakit, tapi …. ”

“Aku tahu.” Zaffya memang sekeraskepala itu. Kemudian kerutan di kening Vynno muncul semakin dalam ketika meresapi setiap kata yang diucapkan Satya. Prasangka itu muncul, membuatnya menyeringai dengan puas. Ini semakin terlihat menarik untuk disaksikan. “Mungkin kita butuh pemeriksaan USG,” kata Vynno pada perawat.

Satya hanya diam. Melirik bergantian pada Vynno dan Zaffya yang tengah berbaring tak sadarkan diri. Jarum infus sudah terpasang.

 

 

****

 

“Kenapa aku harus USG?”

“Zaf, apa kau melupakan periode bulananmu?” Vynno nampak begitu antusias.

Zaffya mengangkat kedua tangannya. Tak mengerti apa tujuan Vynno menanyakan hal semacam itu. “Dan sejak kapan urusan periode bulananku membuatmu begitu tertarik?”

“Kau mual dan muntah sampai pingsan di kamar mandi.”

“Aku hanya beberapa kali mengabaikan jadwal makanku.”

“Ya.” Vynno mengangguk. “Itu karena kau tak berselera makan. Nafsu makanmu juga berkurang.”

“Aku memang tak berselera makan akhir-akhir ini.”

“Itu dia.” Vynno menunjuk Zaffya dengan girang.

Mata Zaffya terpicing, penuh kecurigaan saat mengamati ekspresi ceria Vynno. “Apa yang kaupikirkan?”

“Mungkin saja kau ….”

“Hamil?”

Vynno mengangguk satu kali dan mendapatkan satu pukulan mendarat di kepalanya dengan keras. Ia mengaduh sambil menggosok-nggosok kepala sebelah kirinya. “Auuwww, sakit, Zaf!”

“Proses pengeluaran racun di otakmu memang perlu sedikit pengorbanan lebih dulu.”

“Kenapa? Apakah aku salah?!”

Zaffya mengangkat tangan, menyuruh perawat melepaskan jarum infusnya dengan isyarat.

Vynno membelalak. “Mau ke mana kau?”

Tatapan Zaffya menajam ketika perawat yang berdiri di belakang Vynno tak juga segera melakukan perintahnya. Berdiri kikuk di belakang sepupunya.

“Zaf, kau tak boleh pergi ke mana pun. Kau tidak boleh terlalu lelah. Nanti kandunganmu …. “

“Apa kau masih berpikir kalau aku hamil?”

“Kita harus memastikannya. Aku akan menyuruh dokter kandungan untuk memeriksamu.” Ada seringai licik yang tersamar di sudut bibir Vynno. Richard mungkin masih ada di sekitar rumah sakit.

Zaffya mendesah keras. “Bagaimana aku bisa hamil, jika aku masih perawan?”

Vynno tercengang. Bola matanya semakin melebar dan hampir keluar. Lalu, ia tertawa terbahak sambil berkata, “Tidak mungkin.”

“Apa untungnya bagiku kalau kau tak percaya,” jawab Zaffya tak peduli. Lalu, pandangannya beralih ke arah perawat.

“Delapan tahun, kau bertunangan dengan Dewa?” Vynno mulai mengoceh. Kedelapan jarinya ditunjukkan ke wajah Zaffya. “Pasti kau bercanda.” Vynno tertawa lagi. “Apa kau tidak pernah tidur dengan Dewa?”

“Apa kauingin kupecat?!” Zaffya mulai tak sabar dengan perawat itu.

Perawat itu tersentak dan segera mendekat ke ranjang. Memegang lengan Zaffya dengan tangan yang bergetar.

“Apa kauingin membunuhku?!” Zaffya semakin kesal. Bersamaan pintu ruang rawatnya terbuka dan muncul Ryffa.

“Fa, apa kau percaya kalau Zaffya dan Dewa tidak pernah tidur bersama?” Vynno langsung mencecar Ryffa bahkan sebelum pria itu menutup pintu kembali.

Ryffa hanya mengangkat bahunya sambil lalu.

“Wanita sepertinya?” Vynno menunjuk Zaffya dan si perawat yang mulai melepas jarum di pergelangan tangan. “Kau tidak mungkin menyimpan keperawananmu hanya untuk suamimu, kan?”

“Hanya karena begitu banyak wanita yang rela kau tiduri dan tidak kaunikahi, bukan berarti kau harus memercayai bahwa semua wanita seperti itu, kan?” komentar Ryffa.

“Tapi ini Zaffya, Fa.”

“Kau tidak bisa memukul rata semua wanita seperti wanita yang kautiduri, kan?” Ryffa berjalan mendekat ke ranjang dengan Vynno yang masih mengekor meminta dukungan. “Hasil tesmu sudah keluar.” Ryffa meletakkan berkas bermap biru tua ke nakas.

“Apa hasilnya?” Vynno memotong kalimat Ryffa. “Dia harus menjalani tes USG, kan?”

“Mungkin kau bisa melakukannya pada wanita-wanitamu, Vyn. Mungkin saja di sana bertebaran keturunan Kaheza,” jawab Zaffya.

“CTmu normal. Kau hanya mengalami anemia. Kondisi umum karena kelelahan dan stres. Kau harus istirahat, Zaf.” Ryffa mencegah Zaffya yang hendak turun dari ranjang.

“Hanya stress. Aku punya kehidupan yang menyibukkan, dan tumpukan itu akan membuatku semakin stress jika tidak segera kutangani.”

“Menginap dua hari di rumah sakit tidak akan membuat perusahaanmu bangkrut.”

Zaffya bersandar di kepala kasur, hembusan napas keras melewati kedua bibirnya yang sedikit terbuka. Tidak melakukan apa pun kecuali berbaring di  ranjang adalah mimpi buruk kedua bagi Zaffya. “Apa kauingin membuatku mati bosan dengan menunggu?”

“Terlampau stress akan membuat amarahmu semakin tak terkendali,” kata Ryffa. Kembali menahan Zaffya yang akan turun dari ranjang.

“Aku akan ke kamar mandi.” Zaffya menepis tangan Ryffa.

Vynno mendekat dengan ekspresi yang mulai terlihat tenang. “Apa kau perlu bantuan?”

“Mungkin kau yang butuh menghirup udara segar untuk membersihkan asap hitam di kepalamu.” Zaffya turun dari ranjang dan berjalan perlahan menuju pintu kamar mandi.

“Dia pasti hamil dan ingin menyembunyikan kehamilannya dari Dewa,” bisik Vynno pada Ryffa.

Ryffa menggeleng-gelengkan kepalanya dan berbaring di ranjang. “Kau harus menambah tenaga di bagian jantung, Vyn. Juga, apa kautahu semalam keadaan benar-benar kacau karena kekurangan orang di bagian IGD?”

“Aku akan memberitahu Dewa tentang ini.”

“Pergilah.” Ryffa berbaring miring memunggungi Vynno yang masih sibuk dengan jalan hidup Zaffya di kepala pria itu. “Mungkin besok kau hanya akan kehilangan pekerjaan nyamanmu dan menjadi sopir pribadi Zaffya.”

Vynno menggeram.

Ryffa terkikik. “Tidak masuk akal, tapi kedengarannya cukup menghibur.”

“Sialan, kau!” Vynno menendang kaki ranjang saat tawa Ryffa semakin nyaring, lalu berbalik dan berjalan keluar.

Vynno berhenti, ketika mendorong pintu ruang rawat Zaffya dan menemukan sosok yang lebih tinggi berdiri di depannya. Wajahnya seketika mengeras dan berubah dingin.

“Apa yang kaulakukan di sini, Richard?” desisnya.

 

 

****

 

“Sekarang bukan saat yang tepat untuk kalian bertemu?” Vynno menghadang Richard di depan pintu.

“Kita akan melihatnya setelah ini.” Dengan tekad kuat di manik Richard, ia mendorong tubuh Vynno minggir.

Vynno mendesah kecil. Entah apakah yang ia lakukan ini benar atau tidak untuk kebahagiaan Zaffya. Kehadiran Richard hanya berarti dua hal untuk Zaffya. Kebahagiaan serta penderitaan untuk wanita itu. Ia tak yakin dengan kebahagiaan yang akan diberikan Richard, terlalu banyak orang yang akan mencerca mereka. Keluarga Zaffya dan Dewa. Kebahagiaan mereka pasti membutuhkan penderitaan yang sangat besar.

“Ryffa, resepkan obat untuk menghilangkan pusingku. Aku harus kembali ke mejaku dan meme … “ Zaffya berhenti di depan pintu kamar mandi. Wajah dan seluruh tubuhnya membeku melihat sosok yang masuk ke dalam ruang perawatannya. Zaffya menggeleng, ini hanya halusinasinya saja, tapi bahkan ia tak sanggup untuk memalingkan wajah ke mana pun hanya untuk membuktikan bahwa penglihatannya itu tidaklah benar. Mungkin pengaruh stress yang berlebihan bisa membuat seseorang berhalusinasi. Namun, ini bukan halusinasinya saja. Ia bisa merasakan kesiap terkejut dari arah ranjang. Ryffa juga melihat dan sama terkejutnya seperti dirinya. Sosok itu nyata. Berdiri di sana dengan pandangan yang sulit Zaffya artikan.

Wajahnya masih sangat tampan, bahkan lebih. Mata coklatnya juga masih sama tajam dan menariknya seperti magnet dan tak sanggup bagi Zaffya untuk mengalihkan pandangan sedikit pun. Seperti yang sudah sudah. Tinggi badannya juga  naik beberapa senti. Minimal dua puluh senti. Jauh lebih tinggi dari Ryffa dan Vynno. Bentuk tubuhnya juga bagus. Tentu tak pernah melewatkan waktu berolahraga. Lari pagi ataupun pergi ke gym. Dan … baju yang dikenakan. Apakah dia sudah mencapai cita-citanya untuk jadi seorang dokter? Dengan hatinya yang seputih salju, pria itu pasti akan menjadi dokter yang sangat baik dan disukai banyak pasien. Terutama pasien wanita. Mendadak rasa dicubit menyentil hati Zaffya dengan banyaknya pasien cewek yang bbersikap centil pada pria itu.

Zaffya tercengang, termangu, terpaku atau apa pun itu namanya ketika seseorang hanya terdiam dan tak mampu berkata-kata dengan apa yang ada di hadapannya karena begitu terkejut. Tak mampu menanggulangi keterkejutannya dan hanya membeku seperti orang bodoh.

Oh, ayolah. Otak Zaffya terlalu encer. Menghapal rumus yang begitu rumit hanya sekali lihat dan kedua kali ia menyelesaikannya di luar kepala. Otaknya terlahir sesempurna fisik yang ia miliki. Sayangnya, kesempurnaan memang hanya milik Tuhan. Ia terlalu lemah dan tak berdaya jika itu berhubungan dengan sosok pria yang berdiri di hadapannya saat ini.

Masih ada pancaran cinta untuknya di sinar mata itu. Masih ada kelembutan dan kehangatan yang menjanjikan jika lengan itu merengkuh tubuhnya yang kesepian dan mendamba. Sebesar itulah pengaruh pria itu untuknya. Sejak pertama kali ia bertemu sampai detik ini, pengaruh pria itu tak pernah berubah untuknya.

Ryffa bangkit. Mengikuti arah pandangan Zaffya untuk mencari tahu apa yang membuat wanita itu begitu tercengang.

Getaran ringan dalam genggaman Zaffya membuatnya tersadar. Sepertinya sejak tadi dengan desahan lega dari seberang sana yang masuk ke telinganya. Ini pertemuan pertama mereka dan Zaffya dibuat linglung dan kelabakan dua kali. Sebelumnya, ia selalu menjawab panggilan di deringan pertama, kecuali jika ponselnya memang tak ada di sekitar.

“Apa?!”

“ …. “

“Di mana?”

Zaffya mengakhiri panggilan dan berjalan mendekat ke arah Richard. Berjuang mengabaikan getaran saat kulit mereka saling bersentuhan. Zaffya menarik lengan Richard, membawa pria itu ke pintu kamar mandi dan tepat pintu kamar mandi tertutup, pintu ruang rawatnya terbuka.

“Zaf, apa yang kau ….” Ryffa belum sempat menyelesaikan pertanyaannya, bersamaan pintu ruang rawat itu terbuka. Muncul Nadia Farick dan sosok lain yang mengekor di belakang. Lalu, Satya dan Vynno di belakang kedua sosok itu menatap mereka berdua dengan raut panik.

“Kenapa tidak ada yang mengabari Mama kalau kau di rumah sakit?” Nadia Farick menatap ranjang dengan heran saat menemukan bukan putrinya yang tengah berbaring di ranjang pasien.

Ryffa segera turun dari ranjang, bergerak senormal mungkin menggantikan Zaffya berdiri di depan pintu kamar mandi saat wanita itu berjalan menuju ranjang dan berbaring di sana. Mencari posisi sedekat mungkin dengan kamar mandi jika ada sesuatu yang terjadi di luar perkiraan mereka. Semua orang punya kebutuhan ke kamar mandi tanpa tahu waktu dan tempatyang tepat, bukan?

“Hanya stress biasa dan kelelahan. Mama tahu kesibukanku, kan?” jawab Zaffya dengan sekenanya. “Mama tak perlu terlihat sepanik itu.”

“Kau pingsan di kamar mandi dan tak sadarkan diri selama empat belas jam.”

“Sebenarnya hanya tidur nyenyak,” gumam Zaffya.

Nadia Farick mengernyit, tatapan tajamnya beralih menatap Satya yang langsung mengkerut. “Seharusnya aku orang pertama yang tahu tentang ini.”

“Itu bukan salahnya,” Zaffya membela. Satya lebih bisa dipercaya dibandingkan semua orang yang mengelilinginya. Setidaknya, pria itu tidak suka menjilat dan satu-satunya orang yang bisa bertahan dengan semua kegilaannya selama ini.

Nadia Farick menoleh dan mendekat ke arah ranjang. “Kau memang butuh seseorang untuk meringankan pekerjaanmu, Zaf,” gerutunya sambil membantu Zaffya menaikkan selimutnya hingga ke pinggang.

Zaffya mengabaikan. “Jadi, apa yang Mama inginkan?”

Nadia Farick membeku sesaat dan tersenyum getir di detik berikutnya. “Mama bertemu Dewa di lobi rumah sakit dan bertemu Satya di lift. Sungguh kebetulan.”

“Aku baik-baik saja. Satya menjagaku dengan sangat baik, tak ada yang perlu Mama khawatirkan.”

Nadia Farick kembali diam. Mengamati keengganan di wajah putrinya. “Mama akan keluar, setidaknya kau harus bicara dengan Dewa, dia sudah menyempatkan waktunya untuk menemuimu.”

Zaffya tak menjawab. Kemudian menatap wajah Dewa dan menolak, “Tidak ada yang perlu kami bicarakan selain urusan bisnis, dan sekarang bukan waktu yang tepat untuk membicarakan bisnis.”

“Mama tidak akan keluar sebelum kalian bicara,” ancam Nadia Farick pelan tanpa membuka mulutnya.

Zaffya bernapas dengan berat, tahu perdebatanannya dengan sang Mama tak akan berhenti di sini. “Baiklah, Mama bisa keluar sekarang.”

Nadia Farick mengangguk. Menatap Ryffa yang masih tak bergerak sedikit pun dari tempatnya.

“Auww,” Ryffa meringis dan membungkuk memegang perutnya. “Perutku sakit. Bolehkah aku meminjam kamar mandimu?”

Nadia Farick berbalik ketika Ryffa menghilang, tersenyum lembut pada Dewa dan berkata, “Tante keluar dulu.”

Dewa mengangguk. Nadia Farick keluar diikuti Satya. Lalu, menatap pintu kamar mandi sekilas sebelum beralih pada Zaffya. Wanita itu tampak pucat tapi masih terlalu cantik untuk ukuran seorang wanita tanpa alas bedak. Matanya juga masih setajam dan sedingin seperti biasa. Dengan langkah perlahan, ia mendekat ke arah ranjang, meletakkan bucket bunga yang dibawanya di nakas meskipun tahu bunga itu tak berarti apa-apa untuk Zaffya, selain karena wanita itu memang tak pernah menyukai bunga apa pun yang pernah ia beri.

 

Take Heart 4

26 Desember 2019 in Vitamins Blog

 

Jas putih kebanggaannya ia sampirkan di punggung kursi sebelum mendaratkan pantatnya di atas kursi kerja. Sebuah desahan kecil lolos dari bibirnya ketika menarik stetoskopnya turun dari leher. Pasien hari ini cukup banyak yang menarik perhatian khususnya. Ya, ia sudah bisa menduga. Tempat kerja baru yang lebih besar dari rumah sakit tempatnya bekerja sebelumnya. Salah satu alasan dari beberapa alasan ia kembali.

Jemari kanannya menarik laci teratas dan meraih ponsel yang sejak pagi tadi tak dijamahnya. Keningnya berkerut melihat beberapa notifikasi panggilan tak terjawab dan pesan yang belum ia baca.

4 panggilan tak terjawab ‘Sister’

2 panggilan tak terjawab ‘Luna’

1 panggilan tak terjawab ‘Mama’

Waww … Banyak sekali wanita yang menghubunginya hari ini, batinnya. Jemarinya pun bergerak menggeser layar ponsel untuk membaca pesan yang mungkin dikirim mereka.

From : Sister

Kak Rich, jahat.

Senyum simpul tertarik di kedua sudut bibirnya. Adiknya itu pasti sedang kesal tingkat tinggi karena belum menghubunginya selama seminggu ini. Apa boleh buat, ia terlalu sibuk dengan segala macam bentuk kerepotan pindah tempat tinggal maupun kerja, dan tak punya waktu barang semenit untuk menghubungi saudari tersayangnya.

From : Luna

Bisakah kau menjemputku di bandara? Mungkin aku sampai jam sembilan malam waktu di tempat.

Sejenak ia melirik jam tangannya. Pukul lima sore lewat tiga puluh lima. Sepertinya ia masih punya cukup banyak waktu untuk kembali ke apartemen dan langsung melajukan SUVnya ke bandara. Jemarinya pun bergerak menuliskan balasan.

To : Luna

Ok… 
Aku akan ada di sana begitu kau keluar.

Lalu, keningnya berkerut ketika bergeser membaca satu pesan terakhir yang belum dibaca.

From : Mama

Hubungi mama. Segera!!!

Tanda seru yang ditulis tiga kali menunjukkan bahwa ia memang harus segera menghubungi mamanya. Segera pula ia menekan gambar ponsel di ujung layar. Mamanya langsung menjawab di deringan kedua.

“Hai, Ma,” sapanya berusaha terdengar seceria mungkin.

“Richard!” Ada nada gemas yang terselip dalam suara mamanya.

“Maaf, Ma. Richard benar-benar sibuk.”

“Sibuk dengan keributan yang kau buat?” sengit mamanya. Membuat Richard tertawa geli membayangkan wajah sinis wanita itu.

“Ya, memang ada beberapa keributan kecil. Tapi kali ini pasiennya tidak ada yang berteriak histeris dan menendang kepalaku lagi.” Richard menjawab santai. Ya, sekalipun kali ini pasiennya hampir menjambak rambutnya karena sang suami belum juga datang di saat bayinya sudah mendesak keluar. Juga ada pasiennya yang genit dan berharap anaknya akan tampan seperti dirinya. Kalau yang seperti, ini bukan pengalaman pertamanya sebagai dokter spesialis kandungan, bukan?

“Mama serius, Richard!” Nada lembut itu kini terdengar serius. “Mama benar-benar mengkhawatirkanmu.”

Sekali lagi senyum lebar melengkung di wajah Richard dengan kekhawatiran mamanya yang selalu berlebihan jika mereka saling berjauhan seperti ini, “Richard baik-baik saja, Ma. Apakah sekarang Mama bisa tenang?”

“Setelah kekacauan yang kau buat? Bagaimana Mama bisa tenang?”

Senyum di wajah Richard perlahan memudar. Ia tak tahu ke mana arti kata kekacauan yang dimaksud mamanya membawa pembicaraan, tapi ia tahu arti kekacauan yang mereka pikirkan ternyata tak sama. “Kekacauan apa maksud Mama?” Richard pun menanyakan ketidakmengertiannya.

“Baru seminggu yang lalu kau pergi dan menenangkan Mama dengan segala alasanmu. Tanpa kabar bagaimana keadaanmu setelah sampai di sana. Lalu Mama mendengar berita yang cukup mengejutkan. Dan setelah Mama mengonfirmasinya padamu sendiri, kau malah tak tahu apa-apa?”

Richard hanya terdiam membiarkan mamanya itu meluapkan kekesalan. Sambil berusaha mencerna dengan baik setiap kata yang masuk ke dalam telinganya. “Memangnya berita apa yang Mama dengar?”

Desahan frustasi terdengar dari seberang, “Apa kau benar-benar tidak tahu tentang keributan apa pun di televisi, Richard? Apa kau tidak punya televisi? Atau setidaknya majalah atau koran yang kau baca?”

“Mama harus mengerti. Aku lebih memilih menelfon Mama atau Dania daripada menyisihkan waktu untuk televisi dan koranku. Pasienku lebih nyaring teriakannya, Ma.”

Sekali lagi desahan keras lolos dari bibir mamanya. “Kau benar-benar harus menyalakan televisimu, Richard. Setidaknya sekali untuk hari ini.”

“Ayolah, Ma. Berita apa yang begitu penting hingga Mama sampai memaksa seperti ini? Aku baru saja istirahat dan ingin segera pulang. Lalu harus ke bandara untuk menjemput Luna.”

“Baiklah, kalau begitu baca pesan Mama. Hanya butuh waktu lima detik untuk membaca judul beritanya saja. Dan Mama harap  kau tidak ada sangkut pautnya dengan berita itu.”

“Baiklah!” Richard mengangguk sekalipun ia tahu mamanya tak tahu. Terkadang mamanya memang begitu memaksa.

“Mama harus segera pergi. Dan kirimkan balasannya secepatnya. Mama menyayangimu, Richard.” Salam penutup itu mengakhiri sambungan telepon. Tak lama setelah ia menurunkan ponse, benda itu kembali bergetar. Menandakan ada pesan baru yang Richard yakini dari mamanya.

‘Benarkah penyebab putusnya Luisana Farick dan Dewa Sagara adalah karena adanya pihak ketiga?’

Mamanya benar, hanya butuh lima detik baginya untuk membaca judul berita yang dikirimkan mamanya tersebut. Ia tak perlu membaca isi berita tersebut untuk mengetahui lebih lanjut, judulnya saja sudah cukup membuatnya berhenti bernapas ketika mencerna sekali lagi tulisan itu di kepala.

Richard tak tahu, apakah ia benar-benar berharap semua ini benar atau tidak. Yang ia tahu, keberuntungan akhirnya menghampirinya juga setelah bertahun-tahun ia berpura-pura semuanya baik-baik saja.

Percakapan terakhirnya dengan sang mama muncul di kepala. Mengingatkannya kembali akan alasannya kembali.

“Apa kau benar-benar harus pergi?” Raya memandang putranya dengan tak rela.

“Aku hanya kembali, Ma. Lagipula ini hanya di dua belas jam perjalanan.”

“Kau pergi ke negara lain, Richard. Bagaimana mungkin Mama tidak khawatir?”

“Di sana ada Papa juga Dania. Aku juga sudah dewasa. Bukan remaja yang perlu dimanja lagi.”

“Kau benar.” Raya terdiam sejenak. Mengamati wajah tampan replika dari mantan suaminya dulu. “Kau sudah dewasa. Kau bahkan sudah menjadi seorang dokter. Teman Mama yang mempunyai anak seumuranmu bahkan sudah ada yang mengendong anaknya. Seharusnya Mama tidak perlu lagi mengkhawatirkanmu, bukan?”

Richard mengangguk. Tersenyum tipis dan menggenggam jemari mamanya dengan sayang.

Lama keduanya terdiam duduk di kursi santai. Menikmati suara gemericik air mancur yang menghiasi kolam ikan mereka di teras belakang.

“Aku mendengarnya telah melanjutkan hidupnya.” Suara Richard memecah keheningan di antara mereka. Matanya mengamati ikan-ikan di dalam kolam yang berenang penuh ketenangan. Bertahun-tahun ia melanjutkan hidupnya, tapi kenapa ganjalan itu masih terasa mengganggu.

Raya menoleh. Menatap sisi wajah putranya. Ia tahu siapa seseorang yang dimaksud anaknya itu.

“Dia sudah menemukan seseorang,” imbuhnya lagi. Sangat bersyukur mamanya menjadi pendengar yang baik, dan itu yang ia butuhkan sekarang. “Dalam hitungan minggu mereka akan menikah.”

“Ric h…” Raya kehabisan kata-kata, tapi tangannya terangkat ke atas pundak Richard. Memberitahu bahwa semua baik-baik saja dan ini akan berakhir.

Richard menoleh, lalu menggelengkan kepala dengan mata menatap manik mata Raya. “Semua belum berakhir.”

Raya kehilangan suaranya saat bola mata anaknya terlihat mengkilat oleh air mata.

“Aku tidak tahan seperti ini terus, Ma. Aku tidak bisa diam saja seakan semuanya berjalan dengan baik-baik saja. Aku tidak bisa.” Tangan Richard terangkat. Menghapus setetes air mata yang jatuh di wajah. “Aku akan membuatnya melihat wajahku. Membuatnya teringat bahwa bagiku semua ini belum selesai. Setidaknya biarkan aku menjadi jahat sekali saja untuk keegoisanku.”

Lalu kini, di sinilah akhirnya Richard berada. Mencoba berkeliling di sekitar dunia wanita itu.

‘Mama bisa memegang janjiku untuk melakukan semuanya dengan cara yang baik. Semua pemberitaan itu tidak ada sangkut pautnya denganku. Salam Sayang, Richard.’

Sekali lagi ia membaca pesan yang telah diketiknya sebelum menekan tombol kirim untuk mamanya. Cukup lama kepalanya menyerap semua pemberitaan yang seharusnya tak ia lewatkan itu, tapi ia bahkan tak punya hak untuk berteriak dengan berita yang cukup menyenangkan itu.

Bertahun-tahun pertunangan itu berlalu tanpa kerikil dan tiba-tiba sana putusnya pertunangan itu diumumkan wanita itu. Ia tidak tahu apa penyebab berakhirnya hubungan itu, tapi melihat raut wajah wanita itu ketika mengumumkannya. Tidak ada keraguan di sana. Seakan baru terlepas dari kebimbangan. Karena ia tak bisa berprasangka bahwa pertunangan mereka berjalan dengan tak semestinya.

Tidak ada yang banyak berubah dari wajah wanita itu. Masih sama cantiknya seperti terakhir kali ia melihat. Dalam versi yang lebih dewasa tentu saja. Bentuk tubuh seksi dengan lekukan yang membuat kaum adam bertekuk lutut itu yang menunjukkannya.

Namun, bukan hal itu yang membuatnya kembali. Sekalipun ia tak akan menyangkal untuk menerima wanita itu jika wanita itu yang menawarkan dirinya terlebih dulu. Bukan begitu cara main yang akan ia ambil.

Lagi pula, ia tak bisa menjamin bahwa wanita itu masih sama seperti dirinya.

Dulu ia tak pernah meragukan bahwa wanita itu mencintainya. Sedikit pun. Akan tetapi, dengan keputusan yang telah diambil wanita itu untuk melepaskannya. Setelah bertahun-tahun telah berlalu, ia tak punya lagi kepercayaan diri atas hati wanita itu.

Kesempatan tak akan pernah ada jika kita tak berusaha mendapatkannya, bukan?

Ia telah kembali. Ingin memastikan wanita itu melihat dirinya. Menatap matanya bahwa diantara mereka tidak ada yang sudah selesai.

Tok… Tok… Tok…

Suara ketukan dari pintu ruangannya membuyarkan lamunan Richard. Mendongak dan menatap pintu ruangannya. Menyuruh siapa pun yang ada di luar untuk masuk.

Sejenak ia tak bersuara mendapati sosok yang berdiri di depan pintu yang masih terbuka. Ia tahu ia harus berhadapan dengan pria itu. Dengan senyum tipisnya ia menyapa pria itu.

“Hai, Vyn,” sapa Richard. Senyum tipis selamat datangnya sama sekali tak membuat sosok yang tengah berjalan menghampirinya mau melengkungkan sedikit pun senyum untuk membalasnya.

“Mungkin ada kesalahan dengan formulir penerimaanmu. Kau tidak seharusnya di sini, Richard.”

“Mungkin ini hanyalah kesempatan yang diberikan untukku berbuat baik lebih banyak.”

“Zaffya tidak membaca berkasmu, dia bahkan tidak tahu kau ada di sini.”

“Mungkin kami akan bertemu tak lama lagi.”

“Apa yang sebenarnya kauinginkan dari Zaffya? Jangan membuat kehidupannya semakin berantakan, Richard!” Suara Vynno mulai meninggi. Tubuhnya menegang dan wajahnya mulai kaku.

“Aku hanya ingin menyelesaikan apa yang harus kami selesaikan, dan itu sama sekali bukan urusanmu.”

“Kalian tidak seharusnya bersama.”

“Apa kau pernah melihat cinta berakhir hanya karena sebuah larangan?”

“Kau berkata seolah Zaffya masih mencintaimu?”

“Kau tidak akan menggertakku jika dugaanku salah.”

Vynno terdiam sesaat. Sinar itu, sinar itu masih tampak jelas di mata Richard. Hanya untuk Zaffya. Begitupun sebaliknya, masih terlalu jelas di manik Zaffya untuk Richard. “Sudah delapan tahu berlalu, seharusnya kau melanjutkan hidupmu.”

“Aku sudah mencobanya.”

“Mungkin kau tidak terlalu bersungguh-sungguh.”

“Mungkin.”

Getaran ringan dari saku jas Vynno membuat pria itu menegakkan punggungdan merogoh saku bagian dalam jasnya. Tanpa melirik siapa pemanggilnya, ia menjawab, “Hallo?”

Richard melihat wajah Vynno yang tiba-tiba menegang. Ekspresi khawatir membuat pria itu berkata dengan panic. “Di mana Zaffya sekarang?”

“…. “

“Aku akan ke bawah sekarang.” Vynno mengakhiri panggilan singkat tersebut dan langsung berbalik.

“Apa yang terjadi dengan Zaffya?” Wajah panik Vynno memang seekspresif itu jika bersangkutan dengan Zaffya, jika ia tak salah ingat. Namun, kasih sayang itu memang tak pernah berubah.

Vynno terpaku, ia hampir lupa jika dirinya masih satu ruang dengan Richard. Kemudian ia kembali berbalik dan menatap Richard. Sesaat hatinya bergolak antara akan memberitahu tentang Zaffya atau tidak pada Richard. Lalu, ia memutuskan tak mau ikut campur dengan takdir Zaffya dan Richard, jadi ia hanya perlu diam dan menyaksikan akan jadi seperti apa kisah mereka.

“Tidak ada apa pun yang perlu kau khawatirkan,” jawab Vynno setenang mungkin.

Richard mendengkus. “Seharusnya kau tak perlu berusaha terlalu keras untuk berbohong, Vyn. Malah membuat kebohonganmu semakin kentara.”

Vynno menyeringai. Ia sangat pandai berbohong kepada para wanita-wanitanya, tapi kebohongannya tak pernah mempan terhadap Zaffya atau Ryffa. Sekarang ditambah Richard. “Aku tak akan mengatakan apa pun.”

“Dan aku sama sekali tak berniat menanyakan hal itu lebih jauh lagi padamu.”

“Baguslah. Kita akan lihat ke mana kisah kalian berdua akan mengalir.”

Richard mengangguk. Memaklumi ketidakramahan ataupun ketidaksukaan Vynno akan kehadirannya. Penderitaan yang telah dan akan ia berikan pada Zaffya, ia sangat tahu. Namun, hal itu tak membuatnya untuk mundur satu langkah pun. Sekali saja, ia meminta dan berharap menjadi jahat dan egois untuk Zaffya.

 

Take Heart 3

24 Desember 2019 in Vitamins Blog

 

‘Menguak putusnya pertunangan Luisana Farick dan Dewa Sagara’

‘Setelah hampir tujuh tahun bertunangan, hubungan pewaris tunggal Casavefa Group dan pewaris Sagara Group kandas?’

‘Benarkah penyebab putusnya Luisana Farick dan Dewa Sagara adalah karena adanya pihak ketiga?’

‘Dewa Sagara bungkam soal kandasnya pertunangannya.’

‘Di kabarkan akan menikah bulan depan, Dewa Sagara dan Luisana Farick malah batal menikah?’

‘Benarkan hubungan kedua perusahaan terbesar di negeri ini juga akan mengalami penurunan saham seiring dengan kandasnya hubungan pertunangan Luisana Farick dan Dewa Sagara?’

‘Menghitung kerugian akibat putusnya pertunangan Dewa Sagara….’

Brruuukkkk ….

Zaffya melempar tumpukan majalah dari berbagai macam jenis percetakan yang terhampar di hadapannya. Ia tak mau lagi membaca sampah yang membuat kepalanya semakin pening.

Satya tetap tersentak kaget sekalipun ia sudah bisa menebak bahwa majalah yang dibawanya akan berakhir di lantai. Dengan hati-hati ia membungkuk untuk memungutnya satu persatu, tapi belum sempat ia memegang satu pun majalah itu, bosnya berkata, “Apa jadwalku siang ini?”

“Rapat mendadak dengan dewan direksi mengenai cabang rumah sakit yang ada di …”

“Batalkan saja.” Zaffya memotong kalimat Satya. Menyandarkan kepalanya di sandaran kursi sambil memejamkan mata. “Situasinya masih bisa dikendalikan. Tidak perlu ada rapat dadakan.”

Satya terdiam. Jika sejak tadi memang menyuruhnya membatalkan rapat itu, kenapa harus bertanya dulu, batinnya dalam hati. Seperti inilah jika suasana hati bosnya itu tidak dalam keadaan yang baik. Sudah lebih dari seminggu ia tak bisa tidur karena tiba-tiba terserang demam mimpi buruk karena suasana hati bosnya yang semakin hari semakin memburuk.

Setiap saat bosnya menelfonnya dan mengguncang kehidupannya. Di kantor apalagi, ia bahkan pusing harus mengatur jadwal yang semakin hari semakin amburadul.

“Ada apalagi?” desis Zaffya tajam merasakan sekretarisnya yang masih membeku di tempat.

Satya menggenggam jemari tangannya sebelum menjawab dengan hati-hati. “Diluar … diluar ada utusan nyonya Farick. Dia bilang…”

Zaffya membuka matanya segera.

‘Nyonya Farick?’

Seakan belum cukup kerusuhan yang dibuat oleh mamanya. “Dia bilang apa?!” desisnya pada Satya yang tak melanjutkan ucapannya karena matanya langsung memicing pada pria itu begitu terbuka.

“Dia bilang … dia bilang ada jadwal wawancara yang telah anda setujui.”

“Kapan aku menyetujuinya?”

“Dua hari yang lalu. Setelah Anda menemui nyonya Farick saat acara jumpa pers. Hanya wawancara tentang keluarga Farick Group.”

Sialan …

Zaffya tak ingat sama sekali. “Kapan?”

Satya meneguk ludahnya sebelum menjawab, “Sekarang.”

“Hanya tiga puluh menit.” Satya buru-buru menambahkan dengan cepat ketika ekspresi siap menerkam dirinya yang terpampang jelas di wajah Zaffya. “Saya sudah memastikan tak akan menyinggung tentang kehidupan pribadi. Hanya membahas tentang keberhasilan anda di usia semuda ini.”

Memangnya apa salahnya. Bosnya yang menyetujuinya, kenapa kesalahan seolah dilemparkan ke dirinya semua, ratap Satya dalam hati. Dia juga sudah mengingatkan bosnya itu kemarin. Juga tadi pagi. Apa salahnya kalau bosnya itu tidak mendengarkan jadwalnya dengan saksama.

“Suruh masuk!” perintah Zaffya dengan desahan kasarnya dan kembali memejamkan mata. Mendengar Satya yang membereskan majalah di lantai sebelum melangkah keluar.

Ada sedikit rasa iba akan ketakutan yang memenuhi Satya, tapi ia sudah terlalu sibuk dengan benang kusut di kepalanya. Dewa, mamanya dan pemberitaan media. Tidak cukupkah bahwa tentang putusnya pertunangan mereka menjadi akhir gosip. Tidak perlu mencari tahu penyebab yang melewati teritori orang masuk ke kehidupan pribadinya.

Demi apa, perusahaan mereka baik-baik saja sekalipun dengan berita perilaku buruk pewarisnya hampir memenuhi seluruh halaman majalah setiap hari. Semua kelakuan buruknya atau kakak tirinya tak bisa dijadikan sandaran atas kewajiban dan kerja keras mereka pada perusahaan.

***

“Wawancara keluarga?” Suara bariton yang tertangkap indera pendengarannya begitu kedua wartawan itu menghilang di balik pintu membuat Zaffya kembali mendesah kasar. Percuma saja ia membatalkan rapat siang ini jika masih saja ada pengganggu-pengganggu yang datang silih berganti.

“Kemarin aku dan Rea. Apa mamamu akan membuat biografi seluruh keluarga?” Darius segera mengambil tempat duduk di hadapan meja Zaffya.

“Bisakah kakak datang lusa atau seminggu lagi? Kakak tahu aku sedang tak punya waktu untuk kunjungan kakak menghibur adik.”

Darius mendengkus, mengambil satu majalah yang tergeletak di salah satu sudut meja adiknya. “Kisah cinta yang berjalan tak semulus karirnya, CEO Casavega Group mengakhiri pertunangannya dengan Dewa Sagara setelah tujuh tahun berhubungan.” Darius membaca judul majalah yang terpampang besar-besar, lalu mendengkus sekali lagi dan berkomentar, “Mereka benar-benar tidak kreatif.”

Zaffya hanya diam. Tak punya minat untuk menimpali sampah-sampah itu.

“Pihak ketiga, apa ada juga yang mencetak judul itu besar-besar?” Salah satu alis Darius terangkat dengan ekspresi mencemooh. “Semakin heboh lagi kalau mereka mendapatkan fotomu yang keluar hotel tengah malam dengan seorang pria.”

“Ada apa kakak kemari?” tanya Zaffya tak sabar dengan pembahasan basa-basi itu.

Darius menggeleng. “Tidak ada. Hanya ingin menghibur adik kesayangan. Sumber kegemparan seluruh pemberitaan. Tidak ada angin, tidak ada hujan tiba-tiba badai datang. Kau tahu, aku bahkan tak bisa duduk tenang semenit pun tanpa istri yang merecokiku untuk mengunjungi adikku yang sepertinya butuh bantuan dan tempat mengungsi. Sayang sekali kekhawatiran istriku yang tengah hamil besar harus sia-sia begini.” Darius mengangkat kedua tangannya ke arah Zaffya yang sama sekali tak membutuhkan semua omong kosong itu. “Istriku terlalu polos untuk adik ipar tak tahu diri sepertimu.”

“Jadi kakak ke sini hanya untuk menyenangkan hati istri kakak? Sungguh kakak seorang suami yang baik hati.” Zaffya menyeringai. Pujiannya penuh dengan cemoohan.

Darius hanya mengangkat bahu, lalu bersandar di punggung kursi. Sejenak melirik layar tv yang menayangkan salah satu acara infotainment dengan gambar adiknya dan mantan tunangan yang di mode diam. “Karena aku sudah di sini, aku akan memberimu sedikit informasi usang. Apa kau tertarik?”

Zaffya hanya diam tak menjawab. Tak tertarik tapi juga tak menyuruh kakaknya untuk melanjutkan. “Apakah aku harus?”

Sekali lagi Darius mengangkat bahu. “Tergantung. Tapi melihat kau berani mengambil langkah senekat ini untuk mengakhiri pertunanganmu dengan Dewa, sepertinya iya.”

“Sebaiknya kakak tidak berbelit-belit,” gusar Zaffya tak sabar ketika informasi itu berhubungan dengan pertunangannya.

Darius mengangguk-anggukkan kepala. “Apa kau ingat saat kakekmu di rawat di rumah sakit?”

Kening Zaffya berkerut. Tentu saja ia mengingatnya dengan sangat jelas. Bahkan akhir-akhir ini sesak itu memenuhi dadanya atas pengkhianatan pada janji mediang kakeknya. Pertunangan itu satu-satunya yang membuat kakeknya meninggalkan dunia ini dengan tenang.

“Saat pertunanganmu dengan Dewa, waktu itu Richard datang ke rumah sakit.”

Kali ini kata-kata kakaknya membuat Zaffya menegakkan punggung dengan tubuh yang menegang. Kemudian seluruh fokusnya langsung terpaku pada Darius.

Richard?

Kembali nama itu memenuhi dadanya.

Apakah ada sesuatu yang terlewat?

***

“Dia ingin kau tahu bahwa dia tidak mau kehilangan dirimu. Sampai akhirnya dia sadar bahwa kau yang melepaskannya dengan pertunangan itu.”

Zaffya masih terpaku. Ada rasa sakit yang menyerbunya ketika bayangan rasa sakit yang ia berikan pada Richard kembali muncul. Bahkan itu bertahun-tahun yang lalu tapi rasanya seperti luka yang baru ia dapatkan sedetik yang lalu.

“Dia meminta kesempatan pada mamamu sebelumnya untuk membatalkan rencana pertunangan itu. Tapi sayangnya, laki-laki malang itu tidak tahu tentang mamamu yang sama sekali tidak memberinya kesempatan.”

“Apa maksud Kakak?” Jemari Zaffya menggenggam dengan kaku. Selama ini, yang ia ketahui adalah bahwa hubungannya dengan Richard berakhir karena murni keputusan mereka berdua. Tanpa ikut campur tangan orang lain. Terutama mamanya.

“Mamamu memastikannya menyaksikan pertunanganmu dengan Dewa, mungkin?” Darius mengangkat bahu. “Hubungan kalian terlalu muda. Dan rumit.”

Mama ….  Kepalan jemari Zaffya semakin erat. Bibirnya menipis tak bersuara bahkan untuk meluapkan amarah yang tiba-tiba muncul.

“Entahlah, cinta monyet. Itu yang kupikir, jadi aku sendiri tidak terlalu memusingkannya kalaupun aku tahu perbuatan mamamu lebih cepat,” Darius mendesah lirih. Tangan kanannya terangkat dan jari telunjuknya mengusap-usap sisi kening yang tidak gatal.

“Apa yang sebenarnya kakak inginkan dari cerita ini?” desis Zaffya bertanya. Semua informasi ini memang usang. Tak akan ada yang berubah dalam hidupnya sekalipun ia baru tahu semuanya sekarang. Perasaan bersalah pun sudah berakar sejak dulu. Kecuali hatinya yang dirayapi penyesalan. Mungkin itu yang menambah desakan di dadanya semakin terhimpit.

Setelah melepaskan Richard, ternyata pria itu masih mengharapkan dirinya lagi. Untuk kedua kalinya. Karena ia yang menolak untuk kembali pada pria itu saat ia meminta hubungan mereka berakhir.

Pada akhirnya, fakta apa pun yang terlewatkan olehnya, Zaffya  tetap tak bisa menampik kenyataan bahwa dirinya lagi yang melepaskan Richard. Tak bisa menepis bahwa dirinya lah yang telah menghujamkan rasa sakit tersebut pada Richard.

“Jangan menyalahkan Richard ataupun dirimu untuk ketidak beruntungan kisah kalian. Tapi, jika memang tidak ada yang berubah di antara kalian. Tidak ada salahnya kau yang memulai menarik dirinya keluar.”

“Ada fakta besar yang terjalin sebelum hubungan kalian dimulai. Jauh sebelum kau terlahir.”

Jauh sebelum ia terlahir? Zaffya mengerutkan keningnya. Meskipun selama beberapa puluh detik ia berusaha mencerna kalimat Darius, ia tetap tak mengerti apa maksud dari semua yang didengarnya.

“Aku juga baru mengetahuinya tak lama ini. Waktu mamamu mulai mengusik hubunganku dengan Rea dan tanpa sengaja mendapatkan informasi menarik tentang mamamu dan Dennis Anthony.”

“Dennis Anthony?” Seakan belum cukup informasi yang membuat kepalanya berputar, nama ayah dari Richard disebutkan.

“Alasan utama mamamu tak bisa menerima Richard adalah karena kekasihmu itu anak dari Dennis Anthony, kekasih mamamu. Ehm, mantan. Bahkan mereka hampir menikah jika tidak ada orang ketiga yang memohon pada mamamu untuk membatalkan pernikahan karena mengaku  tengah mengandung anak dari calon suaminya.”

Informasi kali ini cukup bagi Zaffya untuk membeku di tempat. Segala macam bentuk emosi tak cukup lagi untuk masuk ke dalam dadanya menambah kerumitannya. Semua mengantri dengan barisan yang semrawut hanya untuk masuk ke dalam hatinya yang penuh sesak. Tak cukup waktu untuk menjabarkan satu persatu emosi yang bergejolak karena berita yang cukup mengejutkan tersebut.

“Aku tahu ini cukup mengejutkan bagimu.” Darius mulai beranjak dari duduknya. “Tapi …  kurasa kau memang harus tahu tentang apa yang akan kau hadapi jika kau tetap pada pilihanmu.”

***

Take Heart 2

23 Desember 2019 in Vitamins Blog

 

Sekilas Nadia melirik judul berita terbaru yang tercetak besar-besar di sampul majalah yang dilemparkan putrinya di atas meja. Memasang senyum setipis mungkin karena tahu apa penyebab guratan amarah yang memenuhi replika dirinya yang berdiri tegang di hadapannya. Sama sekali tak bersusah payah menutupi kegusaran sekalipun hanya untuk bersopan santun karena lama tak mengunjungi kediaman rumah orang tua atau berpura-pura merindukannya.

Ya, ia tahu kesibukan macam apa yang harus dipinggul putri semata wayangnya untuk meneruskan kerajaan bisnis keluarga. Ia tak perlu meragukan kemampuan otak putrinya itu dalam memegang kendali CASAVEGA GROUP. Sayangnya, ia masih tak bisa tenang sebelum memastikan penerus selanjutnya di dalam perut putrinya ada.

“Apa maksud Mama menentukan acara pernikahanku dengan Dewa tanpa pemberitahuan seperti ini?” desis Zaffya.

“Mama hanya membantu kalian berdua. Sepertinya kalian terlalu sibuk dengan masalah perusahaan sampai tak sempat mengurus tentang pernikahan.”

“Seharusnya Mama tahu kalau Mama tak perlu repot-repot seperti ini. Itu sama sekali bukan urusan Mama.”

“Kalian sudah bertunangan selama tujuh tahun. Masih ingin menunggu berapa lama lagi untuk menikah?”

Zaffya memejamkan matanya sambil menghembuskan nafasnya kasar. Cukup sudah.

“Mama bosan menunggu lebih lama lagi untuk mendengar berita gembira dari kalian berdua. Kau tidak mungkin bertunangan dengan Dewa seumur hidupmu, bukan?”

“Baguslah kalau Mama berpendapat sama denganku,” ucap Zaffya tajam. Menikmati ketegangan yang seketika membeku di wajah Nadia Farick begitu wanita paruh baya itu mencerna kalimatnya dengan sangat baik.

Itu kata-kata yang memang Nadia harapkan didengar oleh telinganya, tapi dari mulut Dewa, bukan dari mulut Zaffya. Juga bukan dengan tatapan dan nada setajam itu. Putrinya selalu mampu melakukan hal yang tak pernah ia duga. Dan bukan hal yang tak mungkin jika Zaffya mampu mengguncang semua rencana dan memporak-porandakannya.

“Apa maksudmu, Zaf?” desis Nadia. Jemarinya tergenggam erat menunggu jawaban dari Zaffya.

Zaffya menyeringai. “Mama tahu hubungan macam apa yang selama ini kami jalani. Seharusnya Mama juga sangat tahu, suatu saat pertunangan ini akan berakhir.”

Nadia tersentak. Sungguh, dia sangat mengenal putrinya dengan sangat baik rupanya, tapi tetap saja ucapan putrinya itu masih mampu mengguncangnya. “Jangan gila kamu, Zaffya.”

“Seharusnya Mama tidak mendesakku seperti ini.”

“Hentikan kegilaanmu, Zaf. Kalian sudah berjalan sejauh ini.”

“Dan sudah lebih dari cukup bagiku untuk mengambil keputusanku sendiri.”

“Dengarkan Mama baik-baik!” Nadia mengacungkan telunjuknya ke arah Zaffya. Sekarang sudah tidak mungkin lagi berbicara baik-baik. “Kau tidak akan melakukannya. Kau tidak akan menghancurkan nama baik keluarga dan hubungan perusahaan kita juga.”

Zaffya mendengku. “Sudah cukup harga yang harus kutebus untuk keluarga dan perusahaan ini. Sudah waktunya aku mendapatkan kebebasanku.”

“Kau tidak mungkin mengkhianati janjimu pada mediang kakekmu.” Nadia mengeluarkan satu-satunya ancaman yang ia miliki. Menghadapi putrinya tak cukup memakai rencana A. Ia harus punya seribu rencana agar putrinya mau menuruti keinginannya. Memastikan Zaffya tak bisa bergerak dalam jebakannya.

Zaffya terdiam. Ya, pertunangannya dengan Dewa karena permintaan kakeknya yang tengah sakit keras di atas ranjang rumah sakit. Bahkan pertunangan mereka juga disaksikan pria tua itu. Di hembusan terakhir napas kakeknya.

Zaffya menggeleng. “Dan bukan kehidupan macam ini yang diinginkan kakek untuk kujalani,” ucap Zaffya lirih. Sebelum membalikkan badan dan melangkah pergi. Mengabaikan teriakan mamanya yang memanggil-manggil namanya.

Suasana hatinya semakin memburuk setelah mamanya mulai mengungkit-ungkit tentang kakeknya. Tidak cukupkah berita sialan itu membuat pagi harinya terguncang.

 

****

 

‘Pesta pernikahan Sagara dan Farick yang akan diresmikan sebulan lagi.’

Dewa membaca salah satu judul berita utama majalah yang dipegangnya untuk yang ke sepuluh kali. Bukan dia yang membuat pemberitaan itu, tapi pemberitaan itu akan membuat Zaffya  terpojok dan memulai kehidupan baru dengannya. Membuat Zaffya keluar dari jebakan masa lalu mereka.

Mungkin niatnya terdengar licik atau memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan. Namun, apa pun namanya, dengan Zaffya yang akan menjadi miliknya seutuhnya tentu akan sepadan dengan rasa bersalah atas niat jelek yang tersembunyi. Masih banyak waktu yang tersisa bagi Dewa untuk menghapus nama yang terukir di hati wanita itu, dan baginya itu sudah lebih dari cukup.

Dewa tersentak ketika mendengar pintu ruang kerjanya diketuk. Segera ia meletakkan majalah yang pegangnya di meja dan berseru, “Masuk.”

Kening Dewa berkerut menyadari suaranya yang terdengar lebih riang daripada biasa. Mungkin karena memang suasana hatinya yang begitu cerah.

Pintu terbuka dan sekretarisnya masuk. Berjalan mendekat dan berhenti di depan mejanya.

“Pagi yang cerah, Tania,” sapa Dewa pada sekretarisnya. Menyandarkan punggungnya di sandaran kursi dan menyilangkan kedua kaki.

Tania terpaku untuk sesaat dengan sikap atasannya yang tampak … hangat?

Senyum di bibir Dewa semakin melebar dengan ekspresi canggung yang tanpa sengaja terpasang di wajah Tania. “Apa kau ingin aku terlihat muram di hari yang cerah ini?”

Tania menggeleng dengan cepat. “Tidak, Tuan.”

“Kalau begitu bacakan agendaku hari ini.”

Tania mengerjap sebelum menunduk membuka buku yang ada dalam pelukannya. Namun dia teringat jika bukan itu tujuannya datang kemari.

“Pertemuan berikutnya di ruang konferensi. Para dewan direksi sudah ….” Tania berhenti ketika pintu yang ada di belakangnya tiba-tiba terayun membuka. Menampakkan wanita dengan setelan formal berwarna merah. Wajah dingin dan tatapan mata yang tajam tak sedikit pun mengurangi kecantikan wanita itu. Namun mampu membuat Tania tak berkutik saat mata wanita itu menatap ke arahnya.

“Kau bisa pergi lebih dulu, Tania. Beri aku waktu lima belas menit untuk berbicara dengan tunanganku,” perintah Dewa pada si sekretaris yang tampak bengong. Antara intimidasi Zaffya atau melanjutkan tugasnya.

“Iya, Tuan.” Tania segera mengangguk. Menutup map yang dipegangnya dan segera melangkah keluar. Sempat menunduk untuk memberi salam pada tunangan bosnya itu sebelum menuju pintu. Namun seperti biasa, wanita cantik itu hanya menatapnya datar sebelum melanjutkan langkah mendekati bosnya.

“Kita butuh bicara,” kata Zaffya langsung ingin segera menuju topik utama. Lalu pandangannya beralih pada majalah yang masih terbuka di meja Dewa. Majalah berbeda dengan yang didapatkannya tapi dengan berita utama yang sama. “Baguslah kalau kau sudah membacanya.”

Dewa melirik majalah yang dibawanya dari rumah dan baru berhenti membaca saat sekretarisnya masuk membacakan agendanya. Senyum sumringah Dewa seketika berubah menjadi hanya lengkungan yang membentuk di kedua sudut bibirnya. Ia tahu berita itu bukan berita baik untuk Zaffya. “Kau tahu ini bukan perbuatanku, bukan?”

“Aku tahu,” desah Zaffya mulai kembali gusar. Otaknya masih berkecamuk tak karuan. Jemarinya bergerak-gerak gelisah di samping tubuh.

“Duduklah.” Dewa bangkit berdiri. Mengarahkan Zaffya ke set sofa terdekat. “Apa kau ingin minum sesuatu?”

Zaffya menggeleng. “Aku ingin mengakhiri semua ini sekarang juga, Dewa.”

Dewa sempat menghentikan langkah kakinya. Sejenak menatap wajah Zaffya sekali lagi. Mengamati raut wajah cantik yang tampak sedikit pucat, tapi ekspresi wanita benar-benar serius dan tampak sedikit … tegang. Ia pun membatalkan niatnya untuk duduk di sofa dan menghampiri Zaffya yang masih berdiri di tengah-tengah ruangan.

“Kali ini aku benar-benar serius akan mengakhirinya.” Zaffya menarik tangannya dari jangkauan Dewa.

Dewa hanya membungkam dengan penolakan Zaffya.

Zaffya menghembuskan nafas keras. Lalu mengangkat tangan kanannya yang tergenggam dan membukanya di hadapan Dewa. “Dan aku kemari hanya untuk mengembalikan cincin ini.”

Dewa menunduk. Melihat cincin yang berhias berlian biru itu dengan muram. Memang bukan dia yang mencarikan cincin itu, tapi cincin itulah pengikat satu-satunya untuk Zaffya. “Apa ini karena berita itu?”

“Aku tidak siap dengan hubungan ini.” Tangan kiri Zaffya menarik jemari dan meletakkan cincin itu di telapak tangan Dewa karena pria itu tampak termenung. Hanya memandanginya saja tanpa ada niat untuk mengambil. Zaffya tahu Dewa tidak akan membiarkannya pergi, tapi kali ini, keputusan Zaffya benar-benar sudah bulat dan tak akan goyah oleh berbagai argumen yang akan Dewa ucapkan.

Zaffya melangkah mundur. Kali ini ada perasaan bersalah yang menggelayuti hatinya saat ia benar-benar sudah memberikan cincin itu. Perasaan bersalah yang selama ini bersarang karena menipu kakeknya.

“Apa kau ingin seluruh dunia gempar dengan keputusan ini?” Dewa berjuang untuk tidak lepas kendali. Dengan hatinya hancur oleh keputusan sepihak Zaffya.

“Sudah cukup apa yang kulakukan hanya demi pandangan orang. Setidaknya biarkan kali ini aku yang akan menutup mataku.”

“Apa kau tahu berapa banyak orang yang akan dirugikan? Berapa banyak orang yang akan kau lemparkan penderitaan ini? Orang tuaku, orang tuamu, kakekmu.” Tangan Dewa terangkat menunjuk diirnya sendiri dan berkata lirih, “Dan aku.”

“Hentikan, Dewa. Aku mengambil keputusan ini sejak lama. Untuk menghindari permasalahan yang semakin rumit seperti ini. Tapi kau yang selalu menahanku.”

“Dan hal itu berhasil menahanmu. Jadi kenapa kali ini kau berpikir aku akan membiarkanmu?” Suara Dewa mulai meninggi.

Zaffya melangkah mundur. Berbalik dan melangkah menjauh untuk berdiri di samping dinding kaca. Mengusap rambutnya sekali dan matanya terarah ke pemandangan kota demi menghindari menatap wajah Dewa. Zaffya tahu kali ini pria itu tidak akan membiarkannya dengan mudah, tapi kali ini ia tidak akan kalah. “Aku akan menyangkal pemberitaan itu dan mengumumkannya dua hari lagi.”

“Kau tidak bisa mengambil keputusan hanya dengan sepihak seperti ini, Zaf. Apalagi terburu-buru.” Dewa menggenggam cincin milik Zaffya dan melangkah mendekat, menatap punggung Zaffya. Wanita itu sama sekali tak memedulikan emosi yang bercampur aduk memenuhi wajahnya.

“Tidak bisakah kau membiarkanku kali ini?”

“Kau tahu jawabannya,” jawab Dewa cepat bahkan sebelum Zaffya menyelesaikan pertanyaannya.

Zaffya bergeming.

“Kau bahkan tak punya alasan yang tepat untuk keputusan sebesar ini,” tambah Dewa lagi.

Kali ini Zaffya membalikkan badan, menatap tajam ke manik mata Dewa. “Kau tahu aku tak pernah nyaman dengan hubungan ini. Jika kau menganggap perasaanku tidak terlalu penting dalam hubungan ini, maka kau benar.”

Mulut Dewa terkatup rapat. Genggaman jemarinya semakin erat, berikut cincin Zaffya yang ada dalam genggamannya terasa sangat nyata. Tiba-tiba saja ketakutan memenuhi dadanya. Kehancuran yang membayang di depannya terasa semakin nyata.

“Ini terakhir kalinya kita berdebat masalah akhir kesepakatan kita.” Zaffya mengatakan kalimat itu dengan tegas dengan mata tepat menatap manik hitam Dewa. Mulai berjalan melewati mantan tunangannya itu.

Dewa menangkap pergelangan tangan Zaffya sebelum wanita itu benar-benar melewatinya dan menuju pintu keluar. “Kita bisa mencobanya sekali lagi. Kita bahkan akan mencobanya berkali-kali sampai kau merasa nyaman dengan hubungan kita.”

Desahan berat melewati bibir Zaffya yang terpoles lipstik merah. Matanya terpejam sekali lagi sebelum kembali menatap manik Dewa. “Kita sudah mencobanya. Berkali-kali dan tak pernah berhasil. Kau tahu aku sudah berusaha untuk itu.”

Dewa kehabisan kata-katanya. “Aku akan memberimu waktu untuk berpikir.”

Zaffya menggelengkan kepala. “Tidak, Dewa. Aku tidak memerlukannya.”

“Jika kau berpikir aku akan melepaskanmu begitu saja, maka kau salah, Zaf.”

“Aku tahu.” Zaffya menarik pergelangan tangannya. “Tapi kali ini aku tidak akan berubah pikiran.”

Lalu Zaffya pergi. Meninggalkan Dewa dengan kepingan-kepingan hatinya yang berserakan.

 

***

 

Take Heart

31 Oktober 2019 in Vitamins Blog

 

 

Pesta itu berlangsung sangat meriah. Nadia Farick memastikan semua yang terbaik, tapi Zaffya lebih memilih menyendiri di balkon yang sepi. Ia sudah terlalu banyak memasang senyum palsu malam ini. Sudah cukup bosan mendengarkan segala macam pujian yang dilontarkan atas keberhasilan membuka cabang rumah sakit terbaru mereka di pulau seberang. Keberhasilan yang entah keberapa kali dalam setahun belakangan ini.

Selalu saja, hidupnya berjalan dengan amat sangat lancar. Kerajaan bisnis keluarga yang diturunkan pada Zaffya membuat dirinya memiliki segalanya, tapi anehnya, memiliki segalanya nyatanya membuat Zaffya tak cukup mampu menginginkan apa yang diangankan dalam hati. Di antara meriahnya pesta yang sedang berlanjut di belakang, ia tak merasakan secuil pun emosi yang mampu membuat bibir Zaffya bergerak membentuk sebuah senyuman. Senyuman yang tak bisa lagi dilengkungkan sejak beberapa tahun terakhir, kecuali senyum palsu yang selalu dipasang ketika media menyorot dirinya. Klasik, kisahnya seperti pemeran utama dalam drama-drama yang sering dimainkan di televisi yang ditonton oleh Vynno.

“Mama ingin bertemu denganmu.” Suara seorang pria yang berjalan menghampiri tak membuat Zaffya tertarik untuk menoleh. Ia tahu siapa pemilik suara itu bahkan tanpa memastikannya. Menyodorkan segelas sampanye padanya.

Zaffya menerima gelas itu dan menyesap sedikit. Ia butuh sesuatu yang lebih keras daripada ini. Setidaknya untuk merayakan keberhasilannya, bukan?

“Apakah pestanya begitu membosankan?”

Zaffya hanya mendesah kecil dan mengedikkan bahu sebagai jawaban ya atas pertanyaan itu. terlalu malas bahkan hanya untuk menjawab iya.

“Tahanlah sebentar lagi, mamaku hanya ingin bertemu denganmu lima menit.”

Zaffya menoleh. Menatap wajah tampan itu sambil memutar bola matanya bosan. Lima menit itu berarti lima jam jika mamanya Dewa yang mengajak bicara, karena ia tahu apa yang akan dibahas oleh wanita paruh baya itu.

Tentang pertunangan mereka yang masih saja tak menunjukkan perkembangan ke arah yang lebih serius. Ia harus segera mengakhiri drama yang mereka mainkan secepatnya sebelum semua orang benar-benar mendesaknya dan ia benar-benar berakhir sebagai pendamping hidup pria ini.

Akan tetapi, bagaimana mungkin hubungan yang berjalan dengan sangat lancar dan baik-baik saja tanpa angin tanpa hujan tiba-tiba mendatangkan petir bagi siapa pun yang mendengarnya.

“Ayolah, hanya lima menit.” Dewa meraih pundak Zaffya dan membalikkan badan wanita itu. Membawanya kembali ke dalam hiruk pikuk pesta yang semakin ramai.

Zaffya tak punya pilihan selain menurut. Ia butuh cepat pulang, dan ia tahu ia tak akan bisa pulang tanpa menemui wanita paruh baya yang telah melahirkan tunangannya tersebut.

“Mama hanya ingin menyapa,” tambah Dewa lagi, “setelahnya aku akan mengantarmu pulang.”

“Berdoalah mamamu tak membahas sesuatu yang membuatku pergi di detik itu juga,” bisik Zaffya pelan. Sekalipun ada nada mengancam yang terselip di antara kalimatnya yang membuat Dewa tersenyum miris.

Zaffya tak pernah berubah. Sekalipun ia sudah berhasil mengikat wanita itu dengan pertunangan mereka, tapi ia tak pernah berhasil mengikat hati wanita itu. Mungkin tak akan pernah bisa.

***

“Ada apa lagi, Sat?” tanya Zaffya ketus pada asisten yang masih berdiri di depan mejanya. Beberapa berkas yang diminta tanda tangan oleh pria itu sudah ia tanda tangani. Lalu, sekarang ia butuh waktu untuk dirinya sendiri. Memikirkan pertunangannya dengan Dewa. Memikirkan scenario untuk mengakhiri pertunangan mereka dalam waktu dekat.

Sialan ….

Sejak tadi Zaffya tak bisa menenangkan hati dan pikirannya mengingat percakapan tadi malam yang sebenarnya sudah ia ketahui akan berakhir seperti apa. Sekalipun tidak secara gamblang mamanya Dewa dan mamanya yang menyuruh segera menentukan kapan tanggal pernikahan, ia tahu pembicaraan mereka mengarah ke sana. Menyudutkannya dengan Dewa untuk segera menikah.

“Tuan Rehardi ingin Anda memeriksa dokumen ini.” Satya menunjukkan map berwarna biru itu pada Zaffya. Meminta ijin sebelum meletakkan di meja. Wanita itu tidak suka dirinya meletakkan sembarang dokumen yang belum diketahui dengan pasti di atas meja kerja.

“Dokumen apa?” tanya Zaffya malas.

“Dokter yang akan bekerja di CMC ….”

Zaffya berdecak malas, memotong kalimat Satya sebelum berlanjut lebih panjang lagi, “Kenapa harus aku yang memeriksanya? Bukankah tanggung jawab rumah sakit urusan Vynno?”

“Tuan Rehardi hanya ingin Anda memeriksanya sekali lagi.”

“Kalau dia merasa bagus untuk CMC, kenapa aku harus repot-repot? Aku memberikannya pekerjaan bukan untuk merepotkanku,” gerutu Zaffya lagi. Tak memberikan isyarat apa pun agar Satya meletakkan berkas itu di atas meja.

“Tuan Rehardi pergi dengan tuan Sebastian ke Amerika untuk …”

“Aku sudah tahu.” Zaffya mengibaskan tangan malas. Tahu apa yang dilakukan kedua sahabatnya di sana. Meninggalkannya sendirian dengan permasalahan yang menumpuk, meskipun ia tak sepenuhnya kecewa. Ia sedang tidak membutuhkan kedua orang itu, tahu benar nasehat apa yang akan diberikan keduanya dengan permasalahan pelik yang sedang ia hadapi.

Mencoba menjalani apa yang ada di hadapannya, dan sayangnya hati Zaffya tidak semudah jalan pikiran mereka. Selalu memilih jalan yang lebih rumit. Tak peduli, jika hatinya berkata A maka ia akan melakukan A, dan jika hatinya berkata B maka ia akan melakukan B. Sudah cukup ia mengikuti sandiwara hidup selama ini.

“Kau periksa, apa yang diinginkan Vynno, kalau ada yang tidak beres terserah mau diapakan,” perintah Zaffya akhirnya.

Satya diam, menggerutu dalam hati sambil meletakkan kembali map biru itu bercampur dengan tumpukan berkas yang ada di pelukannya dan mengangguk patuh. Suasana hati bosnya sedang buruk dan dia tidak mau mencari gara-gara.

“Batalkan meeting siang ini dan atur jadwalnya kembali. Siang ini aku tidak ingin diganggu siapa pun,” tambah Zaffya lagi. Lalu menekan tombol di remote yang ada di atas meja untuk memburamkan kaca. Membatasi dirinya dari hiruk pikuk bawahannya di lantai yang sama.

Sekali lagi Satya mengangguk, lalu berbalik dan melangkah keluar.

Zaffya memutar kursi, menatap pemandangan kota melewati dinding kaca dengan desahan yang keras dan berat melewati kedua bibirnya. Ingin mengosongkan pikirannya sejenak, tapi tetap saja sesak yang terasa kosong itu membuat kepalanya terasa berputar dan penuh sumpalan. Kemudian ia memilih menyandarkan punggung dan memejamkan mata untuk sejenak menghilangkan penat.

Namun, belum sempat matanya benar-benar terpejam, suara pintu yang terbuka membuatnya mengumpat dalam hati. Dua langkah kaki yang tertangkap indera pendengarannya, satu dengan langkah tenangnya dan satunya lagi dengan langkah panik. Membuat Zaffya kembali mengembuskan napas dengan berat. Tahu benar siapa yang berani menganggu dan kebal atas perintah yang tak terbantahkan pada Satya.

“Maafkan saya, Nyonya. Tuan Sagara ….” Suara khawatir Satya terdengar dari balik punggung Zaffya.

Zaffya mengibaskan tangan kanan sebagai isyarat agar Satya keluar. Tak menunggu lama, pria itu melangkah keluar dan menutup pintu. Membiarkan kedua orang itu. Seperti biasanya.

Zaffya masih tak bergerak dari tempatnya. Memejamkan mata setelah melihat bayangan sosok yang berdiri di belakangnya lewat dinding kaca. Tak begitu jelas tapi ia tahu betul siapa sosok yang kini melangkah menghampirinya. Ia tak suka waktunya diganggu oleh Dewa, tapi sepertinya ia juga butuh bicara dengan Dewa. Semakin lama ditunda, masalah akan semakin menumpuk dan membesar.

“Seharusnya kau menghilangkan kebiasaan burukmu ini.” Dewa membungkuk, mencium puncak kepala Zaffya sebelum bersandar di meja kerja wanita itu dan lengan di puncak sandaran kursi Zaffya. Ikut menghadap pemandangan kota yang terhampar.

Zaffya hanya mendengkus malas. Tak membuka matanya karena masih menimbang-nimbang apa yang akan dikatakan pada Dewa.

Dewa memandang bosan ke arah kaca dinding yang menampakkan pemandangan kota di siang hari itu. Melirik sejenak sisi wajah Zaffya yang masih tak bergeming dengan mata terpejam. “Apa kau sakit?”

Zaffya tak menjawab.

Dewa mengangkat tangan dan memegang dahi Zaffya untuk memeriksa suhu badan wanita itu.

Zaffya membuka mata, menarik badannya berdiri sambil mengibaskan tangan Dewa dari dahinya. “Berhenti bersikap seperti tunanganku, Dewa,” katanya sambil melangkah menuju set sofa yang ada di sudut ruangan, “kita butuh bicara.”

“Setahuku … aku memang tunanganmu.” Dewa mengangkat bahu sekilas dan menegaskan, lalu ikut berjalan menuju sofa yang diduduki Zaffya.

“Apa kau sudah makan siang?” tanyanya lagi begitu sudah mengambil tempat duduk di sisi Zaffya.

Zaffya menggeleng. “Aku ingin bicara tentang pertunangan kita.”

Dewa tertegun. Matanya menatap manik mata Zaffya yang balas menatap dengan tatapan tak terbantahkan. “Aku sudah memesan makan siang kita,” Dewa melirik jam tangannya sekilas. “Lima menit lagi akan datang,” katanya mengalihkan pembicaraan. Tahu benar ke mana arah pembicaraan mereka akan berlanjut jika wanita itu sudah menyangkut pautkan masalah pertunangan.

“Kita harus mengakhiri pertunangan ini.” Zaffya tak memedulikan kata-kata Dewa sama seperti pria itu tak memedulikan kata-katanya. Yang terpenting ia sudah mengatakan yang ingin ia katakan pada Dewa, dan kali ini ia tak mau menuruti keinginan Dewa. Lagi.

Dewa kembali tertegun. Ia tak punya topik pembicaan lain untuk mengalihkan apa yang diucapkan Zaffya. Ini sudah kesekian kalinya wanita itu meminta memutuskan pertunangan mereka, kesekian kalinya dalam setahun, dan ia berhasil meyakinkan wanita itu hingga pertunangan mereka berumur hampir delapan tahun. “Apakah alasannya masih sama?” tanyanya.

Zaffya terdiam. Cukup lama sampai akhirnya ia mengembuskan napas panjang dan menjawab, “Kau tahu suatu saat pertunangan ini harus berakhir, Dewa. Aku sudah bosan bersikap munafik hanya untuk menuruti keinginan orang tua kita dan media.”

“Apa kau masih belum bisa melupakannya?”

“Mungkin ya, tapi bukan itu alasan utamaku,” Zaffya menjawab seadanya.

“Apa kau masih mengharapkannya kembali?”

“Itu bukan urusanmu.” Zaffya mulai tak suka dengan interogasi yang diberikan Dewa. Ia tak suka siapa pun mengorek-ngorek informasi pribadinya.

“Atau kau berniat mencarinya?”

“Hentikan, Dewa,” geram Zaffya, “bukan urusanmu sekalipun aku mencarinya.”

“Mungkin saja diluar sana dia sudah menemukan wanita lain, menikah dan bahkan sudah mempunyai anak. Itu sudah bertahun-tahun yang lalu, Zaf. Kehidupannya pasti terus berlanjut. Tidak seperti dirimu yang hanya bisa terjebak di sini saja. Sampai kapan kau akan terus terlihat menyedihkan seperti ini?”

“Jangan ikut campur urusanku lebih jauh lagi!” hardik Zaffya. Raut wajahnya mengeras dan tatapannya menajam. Ada gemuruh kecemburuan yang menyerbu dadanya dengan kalimat yang diucapkan Dewa.

Sejujurnya, ia juga telah berusaha keras untuk menghapus pria itu dari dadanya. Akan tetapi, semuanya selalu berakhir dengan sia-sia dan semakin menyiksa. Ia memang benar-benar berniat untuk mencari pria itu, tapi lagi-lagi ketakutan yang bercokol di kepala mengalahkannya.

Ketakutan akan menemukan kebenaran dalam kemungkinan yang diucapkan Dewa tentang pria itu.

Bagaimana kalau pria itu sudah melupakannya dan menemukan wanita lain yang dicintai?

Bagaimana kalau pria itu sudah menikah?

Sudah mempunyai anak?

Ia terlalu takut menghadapi kenyataan itu, membuatnya selalu berpikir ulang ketika berniat mencari pria itu.

“Sejak awal, pertunangan ini hanya kesepatakan yang kau berikan padaku agar orang tuaku tidak terus menerus memojokkanku. Kau tahu semuanya pasti berakhir. Sesuai kesepakatan kita,” Zaffya memperingatkan. Sambil berusaha mengabaikan pertanyaan yang masih berkeliaran di kepala tentang pria itu.

“Tidak pernahkah sedikit pun kau membuka hatimu selama tujuh tahun lebih kita bertunangan? Untukku?”

“Aku tak pernah melibatkan perasaan untuk pertunangan kita.”

“Kau tak pernah mencobanya,” tandas Dewa.

“Apakah aku harus?” tanya Zaffya mulai bersikap ketus. Dari awal pertunangan mereka, ia sudah mengatakan tidak akan melibatkan perasaan apa pun pada Dewa.

“Sekali saja, apakah kau pernah mencoba untuk menyukaiku?”

Zaffya terdiam. Bukan hanya sekali Zaffya mencoba untuk menyukai pria tampan yang ada di hadapannya ini, ketika ia benar-benar putus asa menghapus pria itu. Zaffya tetap tak bisa memiliki perasaan yang ia miliki untuk pria itu kepada Dewa. Atau mungkin Zaffya yang tidak ingin. Zaffya tidak tahu. Yang Zaffya tahu, perasaannya untuk Richard tak pernah berubah sedikit pun. Masih sekokoh dulu dan semakin menggila. Bercokol dari dasar hati yang terdalam.

Tok … tok … tok ….

Suara pintu yang diketuk dari luar memecahkan ketegangan di antara keduanya.

“Kita makan siang dulu,” kata Dewa. Beranjak dari duduknya dan melangkah membuka pintu.

***

“Hallo, sepupu!” Suara nyaring Vynno langsung menyerbu telinga Zaffya dengan sangat tidak siap ketika ia mengangkat panggilan yang membangunkan tidurnya pagi ini.

Zaffya mengernyit tapi tetap kembali memejamkan mata ketika mengenali pemilik suara itu adalah sepupu sialannya. Membiarkan ponsel tertempel di telinga tanpa merasa perlu bersuara.

“Seharusnya kau ikut dengan kami, Zaf. Kau perlu menghilangkan stresmu sebentar saja.”

Zaffya hanya menanggapi dengan gumaman tak jelas. Ia bisa menebak dengan jelas pembicaraan Vynno selanjutnya. Pria itu akan menceritakan bagaimana liburan mereka berakhir. Jadi, ia hanya perlu mengangkat telfon dan membiarkan durasi berjalan. Mematikan panggilan pria itu bukanlah pilihan, Vynno akan menyerbunya dengan panggilan-panggilan lainnya dan tak berhenti sampai ia mengangkatnya. Seharusnya Vynno cepat-cepat menemukan wanita yang bisa ditumpahi segala macam sampah yang keluar dari mulut sepupunya itu. Ryffa tentu saja sangat senang karena tidak ikut direcoki telinganya dengan semua itu.

“Zaf?! Apa kau masih di sana?”

Sekali lagi Zaffya menggumam sebagai jawaban, dan jika Vynno sudah bertanya seperti ini, maka celotehan panjang petualangan pria itu sudah berakhir. “Bisakah aku melanjutkan tidurku sekarang?”

“Ya.”

“Bye.”

Zaffya akan menarik turun ponsel dari telinga ketika teriakan Vynno yang memanggil namanya sekali lagi di ujung sana membatalkan niatnya. “Ada apa lagi?” Suaranya yang serak diikuti desahan gusar. Demi apa, bahkan pengurus apartemennya belum bangun dan sepupu sialannya itu lebih giat mengganggunya.

“Hampir saja kami lupa. Selamat dariku dan Ryffa.”

Mata Zaffya yang terpejam seketika membuka.

Selamat?

Untuk apa?

Untuk keberhasilannya membuka cabang rumah sakit terbaru?

Vynno tak pernah mengucapkan selamat untuk setiap keberhasilannya. Sama sekali jika Zaffya boleh menambahkan.

Lalu, seketika perasaan janggal yang terasa tak mengenakkan itu muncul ke permukaan ketika Vynno melanjutkan kalimatnya.

“Kami senang akhirnya kau bisa melanjutkan hidupmu. Kalau saja kau mendengarkan nasehat kami sejak dulu, kau tidak perlu membuang waktu sia-siamu untuk menikmati hidupmu. Bahkan mungkin kami sudah memiliki keponakan.”

Zaffya beranjak dari rebahannya. Duduk sambil memegang ponsel di telinga dan bertanya tak mengerti, “Apa maksudmu?”

“Hah ….” Sesaat Vynno terdiam di ujung sana. “Apa kau tidak tahu?”

“Aku tidak tahu apa maksud ucapan selamatmu. Aku juga tidak tahu apa maksudmu dengan melanjutkan hidup, apalagi keponakana,” kata Zaffya semakin bengong. Sekalipun ada sudut hatinya yang lain yang mencoba menerka maksud kalimat Vynno baru saja.

“Apa kau juga tidak tahu mengenai tanggal pernikahanmu dan Dewa yang diumumkan di media?”

***

DayNight
DayNight