Vitamins Blog

Take Heart 10

Bookmark
ClosePlease login

No account yet? Register

 

“Aku merasa sedih dengan tuan Dewa. Bukankah seharusnya mereka pergi berbulan madu? Bukannya muncul di rumah sakit dan berpapasan dengan tuan Dewa.” Tania menggerutu pada sopir yang berdiri menunggu di sampingnya. “Aku bahkan merasa sangat sedih dengan kakaknya yang malah menginginkan perpisahan ini. Bukankah ini bisa dikatakan sebagai pengkhianatan persaudaraan?”

“Ssttt … sebaiknya kau diam. Jika tuan Dewa mendengarnya, kau …” sopir itu terpaku. Menyadari kehadiran Dewa dan ikut terpaku sepertinya, tapi dengan alasan yang berbeda.

“Kakakku?” Dewa merasakan nyeri mencekik lehernya ketika suara serak itu keluar dari bibirnya. “Apa kak Raka tahu mengenai ini semua?”

 

***

 

Satu pukulan telak menghantam wajah Raka tepat di hidungnya. Tubuh pria itu terpelanting di lantai dan jeritan keras Monica Sagara menggema di seluruh penjuru ruang tengah.

Dewa seperti kesetanan. Matanya yang merah membutakan hubungan persaudaraan yang terjalin sejak lahir.

“Dewa!” Monica berusaha menjauhkan tubuh Dewa dari Raka yang terjepit tubuh Dewa di lantai.

“Lakukan sesuatu!” teriak Monica pada pengurus rumah tangga yang muncul dari arah dapur. Wanita setengah baya itu segera keluar rumah untuk memanggil penjaga keamanan yang sedang bertugas.

“Hentikan, Dewa!” Monica akhirnya berhasil menahan satu tangan Dewa yang sudah melayang dan siap menghantam wajah Raka untuk ketiga kalinya. Beruntung dua sosok lain yang muncul membantunya memisahkah tubuh Dewa dan Raka.

“Apa yang kaulakukan pada kakakmu, Dewa!”

“Mama bisa tanyakan sendiri padanya,” geram Dewa.

Monica terkejut dengan bahasa panggilan Dewa pada putra sulungnya. Untuk pertama kalinya putra bungsunya memanggil Raka tanpa embel-embel ‘kak’ seperti biasa. Amarah Dewa begitu menguasai pria itu, dan sepertinya masalah yang ditimbulkan Raka amat sangat besar hingga membuat Dewa begitu murka. “Ada apa, Raka?” tanyanya sambil membantu Raka berdiri.

Raka mengusap darah yang merembes dari hidung dan mengelapnya dengan punggung tangan. Membiarkan Monica menuntunnya duduk di kursi terdekat. “Kakak tidak tahu apa yang kaubicarakan, Dewa,”

“Jangan bersikap munafik,” desis Dewa semakin tak sabaran. “Kau … “

“Dewa!” panggil Monica penuh peringatan.

Dewa tak mengindahkan peringatan mamanya. Salahkan saja amarah yang sudah naik ke ubun-ubunnya. “Dia, dia tahu tentang rencana pernikahan Zaffya.”

“Pernikahan? Pernikahan Zaffya?” Monica mengulang, menatap kedua putranya bergantian. “Apa maksudmu, Dewa? Dengan siapa Zaffya menikah?”

“Kakak hanya melakukan apa yang terbaik untukmu, Dewa.”

“Dengan kehilangan satu-satunya wanita yang kucintai?”

“Tapi dia tidak mencintaimu.”

“Bukan berarti kau bisa mengatur jalan hidupku sesukamu,” sengit Dewa. “Aku bisa mengatasinya sendiri.”

“Mengatasinya sendiri?” dengkus Raka. “Itu yang kau katakan pada kakak setiap Zaffya meminta kalian berhenti bersandiwara.”

Desahan napas Monica yang keras mengalihkan perhatian Dewa dan Raka. “Bisakah kalian menjelaskan pada Mama apa yang sedang terjadi?”

“Yang jelas bukan dari mulut Dewa,” Dewa berbalik pergi. Menendang guci yang menghalangi jalannya menuju ruang tengah.

Monica dan Raka tercengang. Butuh waktu cukup lama untuk memahami situasi dan kemarahan Dewa yang masih membekas di ruang tengah. Putra bungsunya itu tak pernah terlihat kehilangan kontrol diri. Sejak kecil terbiasa menjadi putra yang penurut dan penyayang pada semua anggota keluarga. “Apa yang terjadi dengannya, Raka?”

“Dewa!” panggil Monica. “Dewa!!!”

 

****

 

Praannggg ….

Vas dengan bunga yang menghiasi meja kaca di tengah ruang kerja Dewa, kini melayang ke cermin di pojok ruangan. Tubuh Dewa terjatuh di sofa dan napasnya tersengal. Jantungnya berdetak penuh amarah. Sebuah kepercayaan dibalas dengan pengkhianatan. Cintanya direnggut dan semua harapan lenyap dalam sesaat. Tidak ada lagi yang tersisa dalam setiap hembusan napasnya.

Meja kaca yang menjadi sasaran tinju Dewa berikutnya. Membelah kulit di jari-jarinya. Darah yang merembes, jatuh ke lantai. Dewa membungkuk. Kedua tangannya bertumpu di paha dan kepala tertunduk. Matanya yang basah memperhatikan setiap tetes darah yang menciprati berkas-berkas yang berserakan di lantai.

Sebuah foto mencuat dari mapnya. Mata Dewa menyipit memperhatikan lembaran tersebut lebih cermat. Foto kakaknya dengan seorang gadis. Mereka tidak saling menautkan tangan, tapi kebahagiaan di antara mereka terlalu kentara mengarah ke jalur yang tak berani mereka langkahi. Ya, usia yang terpaut di antara mereka cukup jauh. Kisah mereka akan sangat begitu menarik perhatian. Kakaknya sangat menyayangi gadis itu, dan gadis itu dengan kepolosannya tak bisa menutupi cintanya yang begitu ekspresif.

Dewa memungut map tersebut dan mulai membaca dengan ketertarikan yang semakin meningkat. Informasi gadis itu mengejutkan sekaligus memacu setan dalam dirinya untuk keluar.  Well, Khanza Dania Anggara, adalah adik tiri Clarichard Anthony. Pemikiran dalam benaknya terasa sangat mengesankan. Ide paling brilian yang pernah terlintas di kepalanya. Sekali lempar dia bisa mendapatkan dua burung sekaligus.

Sepertinya, ia bisa bernapas lagi. Menggunakan napas mereka semua.

 

***

 

“Besok kita bisa mencari apartemen lain yang kauinginkan dan bisa kubeli dengan uangku.” Sekali lagi Richard meyakinkan Zaffya ketika mobilnya sudah terparkir di basement gedung apartemen Richard. Zaffya turun dan membuka bagasi untuk mengeluarkan koper. “Biarkan aku.” Ia mengambil alih koper tersebut dari tangan Zaffya.

“Sepertinya jadwalmu lebih padat dari jadwal terpadat harianku.” Zaffya berbalik dan berjalan lebih dulu. Zaffya sempat membaca jadwal yang di bawa asisten Richard tadi siang.

Richard mengingat tiga jadwal operasi yang harus ia tangani besok dan tersenyum masam. Menyeret koper Zaffya dan mengikuti langkah wanita itu menuju lift.

“Apartemen ini pasti tak nyaman untukmu.” Richard mengedarkan pandangan. Ke segala macam perabotan yang sederhana dan sangat jauh dari selera Zaffya. Perhiasan dan pakaian yang wanita itu kenakan tak lebih murah dari apartemen ini. Di sinilah terkadang ia merasa kecil di mata Zaffya. Setidaknya ia paham bagaimana perasaan mama Zaffya tak menyetujui hubungan mereka. Orang tua mana yang ingin anaknya hidup menderita? Tapi ia  akan memastikan memberikan yang terbaik untuk Zaffya.

“Aku akan terbiasa.” Zaffya duduk di sofa dan melepas heelsnya. Mengikuti arah pandangan Richard. Terbiasa hidup dalam kemewahan tak membuatmu bahagia, bukan?

“Di sini juga tidak ada pengurus rumah tangga yang akan membantumu.”

Zaffya mengangguk. Mengira-ngira seberapa luas apartemen ini. Mungkin seluas ruang tamu di apartemen mewah miliknya. Atau lebih luas ruang tidurnya? “Apartemen ini juga sempit.”

Richard merasa semakin sungkan. “Aku tak tahu jika tiba-tiba harus menikah denganmu.”

“Seharusnya kau sudah mempersiapkan diri begitu kau mempunyai niat kembali ke kehidupanku.”

“Kita akan menemukan tempat yang lebih baik.” Richard mendekat ke depan Zaffya. Lalu berlutut di lantai dan menyentuh kedua tangan Zaffya. “Sebenarnya sedikit lebih baik.”

“Menjadi istrimu ternyata sedikit merepotkanku, ya?” ejek Zaffya.

“Maafkan aku jika ini membuatmu tak nyaman.” Richard menunduk. Memainkan jemari Zaffya. Menatap cincin pernikahan mereka. Ada rasa bersalah dengan cincin emas bermata berlian yang sangat mungil dibandingkan cincin yang Zaffya kenakan sebelum mereka menikah. Karena ia bersikeras cincin itu dari uangnya sendiri.

“Apa kau marah?” Zaffya memegang dagu Richard dan memaksa pria itu mendongak menatapnya.

Richard menggeleng.

“Baguslah.”

“Tidak bisakah kau berpura-pura nyaman dan bilang bahwa kau bahagia karena aku ada di sampingmu,” rajuk Richard.

“Euhmm, aku bahagia, tapi … cintaku tak sebuta itu untuk mengingkari apa yang kurasakan saat ini.” Sekali lagi Zaffya memandangi barang-barang di sekeliling mereka yang terkesan dibeli karena kebutuhan ketimbang mementingkan keindahan dekorasi. Mungkin ia perlu memperbaiki letak dan mengganti beberapa perabot. Mengganti wallpaper. “Berapa uang yang kau keluarkan untuk apartemen ini?”

Richard terdiam. Berbagai macam proyek besar seharga triliunan sangat mudah Zaffya dapatkan. Tentu saja harga apartemen sekecil ini bukanlah sebuah nominal di mata Zaffya.

“Apakah pertanyaanku menyinggungmu?”

Richard masih membisu.

“Saat membicarakan masalah harta denganku, kau tahu aku memiliki hampir seisi kota ini, Richard. Bahkan sejak aku lahir pun di darahku sudah mengalirkan uang. Kau membuang waktu jika merasa tersinggung atau merasa tak enak hati padaku. Tapi lihatlah, aku duduk di sofa yang harganya tak lebih dari sepuluh juta di tengah ruangan yang lebarnya tak lebih luas dari kamar mandiku, bahkan aku harus turun ke lantai satu jika ingin berenang. Aku melakukannya karena sekarang aku adalah istrimu. Bukankah itu yang terpenting bagimu?”

Richard mengangguk. Memegang dada Zaffya, tempat di mana detak jantung wanita itu berdetak untuknya. “Inilah yang terpenting bagiku.”

“Aku hanya benci kau memandangku dengan cara seperti itu.”

“Maafkan aku.”

“Jika kau merasa kecil seperti ini, seharusnya kau berhenti mencintaiku dan tak kembali ke kehidupanku. Kau tahu kehidupan seperti apa yang kumiliki.”

“Terima kasih.” Mata Richard memanas.

“Apa kau tersentuh?” Zaffya mengusap setetes air mata yang muncul di sudut mata Richard. “Ya, memang sudah seharusnya.”

Richard terkekeh. Ribuan ungkapan syukurnya tak akan mampu mewakili ketakjubannya akan diri Zaffya yang saat ini benar-benar menjadi miliknya. Tak akan cukup untuk mewakili kebahagiaan yang ia dekap erat-erat meskipun ia yakin tak akan kehilangan. Hati Zaffya sudah ia kuasai, ia miliki seutuhnya. Juga raga wanita itu. Maka seharusnya ia tak perlu mengkhawatirkan hal-hal kecil lainnya, bukan?

 

****

 

“Jadi, apa kak Raka tidak bisa ikut makan malam dengan kak Rich?” Dania menutup pintu apartemen dengan ponsel yang tertempel di telinga. Tas pink dan gaun malamnya yang berwarna pastel, sangat cocok dengan penampilannya yang ceria.

“…”

Bibir Dania mengerucut kecewa. “Hmm, baiklah. Semoga cepat sembuh.”

“…”

“Selamat malam, Kak Raka.” Tepat ketika Dania memutus panggilan, ia tersentak dan tubuhnya mundur ke belakang. Terkejut menemukan sosok yang tengah berdiri dengan kepala tertunduk dan bersandar di dinding. Rambut yang acak-acakan, dua kancing kemeja yang tak terkait dan keluar dari celananya, jas dan dasi yang entah ada di mana. Ditambah darah yang sudah mengering tampak begitu jelas melumuri jemari di tangan kanan. Dania tak berani mempertanyakan apa yang sudah tangan itu lakukan karena tatapan dingin Dewa lebih mengerikan. Penampilan pria itu lebih mengejutkannya seperti keberadaan pria itu di depan apartemen Dania.

“Dewa?” Dania berusaha terlihat tenang dengan aura dingin Dewa yang membuat bulu kuduknya merinding. “Apa yang kaulakukan di sini?”

“Jadi itu benar?”

Dania tak mengerti apa yang dibicarakan Dewa.

“Jadi kau adik Richard? Atau aku bisa menyebutmu adik ipar mantan tunanganku, sekarang?” Bibir Dewa menipis dan rahangnyamengeras ketika suara dingin itu muncul di antara kertak giginya yang terkatup.

Tatapan mata Dewa begitu tajam, membuat Dania merasa setiap detik yang terlewat seperti pistol yang ditodongkan di kening dan siap memecahkan kepalanya. Lalu getaran ponsel dalam genggaman tangan Dania memecah ketegangan udara di antara mereka.

Dania menunduk, melihat siapa yang tengah menghubungi ponselnya di saat tak tepat seperti sekarang ini. Dan bahkan itu juga menjadi keputusan yang salah. Karena Dewa bisa melihat siapa nama yang tertera di layar dengan sangat jelas.

‘Kak Richard Calling…’

Dewa menyeringai. “Kalian semua benar-benar menusukku dari belakang.”

Dania menelan ludah. Insting pertahanan diri Dania mengambil langkah kakinya mundur dan menjauh dari Dewa. Jantungnya berdebar sangat keras bersamaan langkah Dewa yang semakin mendekat. Kewalahan, Dania berusaha mengatur napas.

“Dewa, ini tidak seperti yang kaupikirkan,” cicit Dania. Ponselnya tergelincir dan jatuh ke lantai. Deringannya berhenti tapi langkah Dewa tak terganggu. Hingga Dania terpojok di depan pintu apartemennya yang sudah tertutup.

“Apa yang akan kau lakukan, Dewa?”

Seringai Dewa semakin tinggi. Lalu tatapan matanya berubah jahat dan menjawab, “Apa yang akan kulakukan tidak seperti yang mereka pikirkan.”

 

****

 

Plaakkk …

Dania menampar pipi Dewa ketika ciuman penuh paksaan Dewa terhenti karena gigitan gigi Dania. Napasnya terengah oleh udara yang terhalang masuk melewati mulut dan hidungnya karena lumatan bibir Dewa dibibirnya.

Dewa terkekeh. Panasnya tamparan Dania sama sekali bukan tandingan api yang membakar hatinya hidup-hidup. “Richard sudah merebut satu-satunya alasanku untuk bernapas di dunia ini, apakah aku terlalu serakah jika merebutmu darinya?”

“Kau benar-benar sudah gila, Dewa.”

“Aku akan memberimu pilihan. Biarkan Richard yang menentukan sendiri siapa yang akan dipilih antara kau dan Zaffya? Atau kau yang menentukan sendiri pilihan untuk kakakmu?”

Dania yakin, kakaknya akan melepaskan cintanya demi dirinya. Begitupun Zaffya. Mereka berdua akan berpisah demi menyelamatkan dirinya. Hanya saja, bersediakah dia melihat akhir kisah kakaknya setelah sudah sejauh ini?

“Apa yang kauinginkan, Dewa?” Dania tetap bertanya meskipun tahu apa yang diinginkan Dewa akan mengubah hidupnya dalam satu malam.

 

***

1 Komentar

  1. Nyesek banget