Vitamins Blog

Oh My Fake Bo(ss)yfriend || What Should I do?!

Bookmark
ClosePlease login

No account yet? Register

24 votes, average: 1.00 out of 1 (24 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

Seberapa buncit isi rekening lo, sampe berani ngasih SP1 ke bos yang gagal minta balikan sama mantan?” @A_Inay

P.s No edit, baru keluar dari oven langsung uploud. Happy reading ?

Pukul setengah dua lebih sedikit, bukan warga +62 namanya kalau tidak berbudayakan telat. Janjinya jam sebelas, tapi ternyata ngaret samapai jam setengah dua. Aku bahkan sudah dua kali touch up karena lipstik tiba-tiba lari pasnya ketemu kuah mie rebus pake telor.
Aku kembali memagut diri di depan cermin, untuk … tau dah berapa kali gue ngacak, udah sebelas dua belas sama ikan Cupang deh. Kaos lengan panjang bergaris hijau dengan pleated midi hijau daun dan sneaker.
[Lah, bukannya lo mau kencan? Gitu amat dandannya.] Kencan? Siapa yang mau kencan?
FYI, aku tidak peduli dengan ajakan Dimas, bodo amat. Dia mau datang atau tidak aku tidak peduli, aku sudah janji dengan teman-temanku dan aku tidak akan membatalkannya sekalipun dia datang menjemputku di lokasi pertemuan, aku tidak akan ikut dengan permainannya.

Prihal Kamis bodong!!

“Kencan?”

“Iya, kencan.”
Aku mencondong dan menyentuh dahinya. “Enggak panas,” gumamku. “Tadi pagi elo salah makan apa sampe otak lo konslet gitu?”
Dimas menepis tanganku. “Jangan salah sangka dulu, Naya. Saya ajak kamu kencan itu untuk pura-pura saja.”
Hmm?
Dimas menyandar pada kursi sambil memijit pangkal hidungnya. “Om Rama Sulaeman, kamu tahu kan? Dia tahu saya putus sama Farah….”
Farah? “Pfffft….”
“Kenapa kamu ketawa?”
“Eh enggak, gue cuma inget sesuatu aja. Lanjutkan.” Padahal gue keinget makhluk setengah jadi yang kutemui bersama dokter muda di kontrakan elit yang juga bernama Farah.
Selintas aku mengingat wajah cemberut dan manja di Farah ini, dan itu membuat aku geli.
“Beliau ingin menjodohkan saya dengan anak temannya, Dinda Pramestya.”
Aku menarik sebelah alisku. “Terus, apa hubungannya sama gue?”
Dimas melirikku, masih dengan wajah selempeng tol dia menjelaskan. “Saya tidak mau.”
“Ya tinggal bilang enggak mau.”
Dimas yang sekarang mencondongkan tubuh ke depan. “Tidak semudah mulut kamu berbicara, Naya.”
Aku meringis setiap kali Dimas menyebut nama kecilku itu, terdengar … aneh. “Ya, jadi lo maunya gimana?”
“Jadi pacar saya,” sahut Dimas cepat. Bahkan aku hampir-hampir tidak mendengarnya.
“Well, pacar pura-pura lo,” koreksiku.
“Hanya sehari,” timpalnya.
Aku diam menatap ke dalam mata Dimas. Tapi tidak akan keraguan sedikitpun di sana.
“Kenapa mesti gue? Kenapa enggak yang lain aja? Hanin, Gisya, Siska … mereka cantik-cantik. Mereka pasti enggak keberatan jadi pacar boongan lo, sukur-sukur kalo keterusan….”
“Kerena mereka bukan kamu,” potong Dimas. Aku menyeringit kening. Dimas menarik napas frustrasi. “Maksud saya, karena mereka tidak mengenal saya sebaik kamu.”
“Dan sejak kapan gue jadi pengertian sama elo?”
Dering ponsel Dimas memenuhi ruangan, pria tersebut meraih ponselnya kemudian memutuskan panggilan.
“Sabtu nanti saya jemput kamu, kamu mau atau tidak saya tidak peduli, tapi saya tidak menerima penolakkan.”

Serah lo! Gue juga enggak peduli!

***

Jakarta padat merayap di malam Minggu. Yeah, here we go! Untuk pertama–dalam dua minggu terakhirku–malam mingguku tidak kuhabiskan sendirian bersama Misbar atau restoran cepat saji. Akhirnya pukul setengah empat Deswi menjemputku dan kami harus berjibaku dengan kemacetan selama tiga puluh menit untuk sampai di Senayan City.
“Heran deh, ketemua aja mesti ke Senayan. Padahal Green Indonesia lebih deket,” komentarku ketika sampai di parkiran.
“Si Azhra mau melipir dulu, dititipin sama ibunya katanya.”
“Terus si Senja kemana?”
“Nah tuh mereka.”
Kami berkeliling di Senayan City kurang lebih dua jam, ternyata titipan mama Azhra ini sudah seperti belanja kebutuhan rumah. Segala macam bumbu instan, sayur, buah, tissu, sayur, dan lainnya.
“Ini sih namanya belanja bulanan, Ra,” komentar Senja. Ia kebagian membawa tisu dan sabun.”
“Ya emang, emak gue tuh suka gitu. Bilangnya nitip tapi titipannya seabreg-abreg.”
“Terus elo iyain gitu ya?” celetukku.
“Ya gimana dong? Enggak gue turutin ntar gue dikutuk jadi crying stone the next generation gimana dong?”
Deswi cekikikan di belakangku. “Apaan crying stone?”
“Batu menangis, Wi. Batu menangis duuuh.”
Saat itu aku merasakan ponselku berdering, tertera Dimsun Neraka alias Dimas. Kusilent ponselku dan kembali kujejalkan lagi benda persegi tersebut ke dalam tas.
Bodo amat! Biarin aja si Dimsun itu nyariin gue, bila perlu keliling Jakarta sekalian!

“Eh, makan yuk. Laper nih. Makan siang gue cuma mie doang, dikira bakal dateng siangan taunya sampe si Senja ketemu kebarannya baru pada ngumpul.”
“Suruh siapa lo makan cuma sama mie nasi doang?” komentar Azhra.
Aku mencibir. “Disuruh coak sama cecak di pojokan kamer gue! Puas lo?”
“Lah, Gue juga nungguin incess yang satu ini,” Azhra menunjuk Senja dengan dagu, “lama bener dah dandannya.”
“Yeee, gue juga nungguin elo yang mendadak boker dulu di rumah gue!”
“Duuuh, udah dong. Jadi mau makan apa ribut di jalan nih?” sela Deswi menengahi.
“Makan lah!” sahutku dan Azhra.
“Ya udah, yuk.”
“Eh, kemana?”
“Udah ikut aja.”

***

Akhirnya kami mendapat tempat untuk makan, mencari tempat makan di mall di malam minggu memang cukup sulit. Area foodcourt sudah pasti penuh, alhasil kita harus mencari atau menunggu antrean yang panjangnya sudah seperti KRL. Belum lagi menunggu makanan disajikan, lamanya bisa sampai buat nonton anime lima episode dengan durasi 24 menitan.
Pukul tujuh lebih kami mendapat makanan kami, selama makan kami tidak banyak makan, fokus dengan makanan masing-masing. Alhasil makan kami habis dalam waktu lima belas menit.
Nunggu dua setengah jam, ngabisin makanannya cuma lima belas menit. Udah kayak orang enggak ketemu makan dua minggu.
Setelah itu kami berpindak ke cafe terdekat untuk sekadar mengobrol, karena kami sadar diri kalau tempat makan bukanlah tempat yang asik buat nongkrong.
Apa lagi pasnya waktu-waktu ramai, pasti mengundang usiran-usiran halus untuk mereka yang terlalu lama mendekam di tempat.
Senja sedang asik bercerita tentang bos rese di tempat kerjanya ketika notif WhatAppku berdenting.
Jenglot Kantor: Elo dimana?
Anda                 : *send pic
Anda                 : Tebak sendiri gue dimana ?
Jenglot Kantor: Si kampret ditanya bener juga! ?
Anda                 : Anomali cafe! Lagian ngapain sih lu
nanya-nanya?
Jenglot Kantor: Widih, sama sapa lo?
Anda                 : Sama pacar doang, emangnya elo
sama Joni mulu ?
Jenglot Kantor: Sombong amat lu!
Jenglot Kantor: Halah! Palingan lo sama temn2 lo!
Jenglot Kantor: Jomblo tuh enggak usah kebanyakan
nganyal udah punya pacar! Ntar
giliran ada yang mau deketin malah
enggak jadi, sukurin lo!
Anda                 : Eh, bangkek! Lo ngecaht gue cuma
buat ngatain gue?
Jenglot Kantor: ?
Jenglot Kantor: Gue ngechat mau minta anter nyari
BH, BH gue banyak yang mengecil.
Heran deh kenapa ya? ?
Anda                 : Bukan BH lo yang mengecil onta! Tapi
beban kerjaan dia yang nambah gede!
Kempesin napa, heran gue.
Jenglot Kantor: Iiih, enaka aja main kecil2in, ini
namanya aset masa depan! Enggak
kayak lo!!!
Anda                 : ???
Anda                 : Baru liat ada tai ngajak ribut.
Jenglot Kantor: Lo ngajak ngomong tainya si Joni ya
iya lah ngajakin ribut ? Coba lo
ngajak ribut tai gue.
Anda                 : Goblok!!!
Anda                 : Gue lagi makan! Jorok banget
sumpah!!
Jenglot Kantor: ???
Jenglot Kantor: Halooo, yang duluan kan elo! Gue
mah tinggal nerusin! Jadi yang goblok
siapa?
Jenglot Kantor: Ya udah lah kalo lo lagi sibuk, nanti
aja
Jenglot Kantor: Bye!! Selamat menikmati tai Joni ?
“Sinting!”
“Siapa yang sinting, Vah?”
“Enggak ini temen gue.”
Aku sempat melihat 50 panggilan masuk dari Dimas. Bodo amat! Aku jejalkan kembali ponselku dan kembali pada obrolan teman-temanku. Suasana Anomali cafe yang tidak terlalu ramai malam ini membuatku nyaman, interior industrial dengan lampu gantung kuning membawa kesan hangat, kami duduk di depan counter, sayup-sayup terdengar dengung mesin ekspresso, denting cangkir, dan musik yang mengalun sendu membuat malam minggu semakin lengkap.
Denting bel dari pintu menandakan pelanggan masuk, aku masih mendebgarkan Deswi yang menjelaskan paket-paket wedding di tempatnya, Azhra nampak berminat, sedangkan Senja mendengarkan sambil menikmati wafel toping es krim coklatnya. Suara denting pintu kembali terdengar, langkah-langkah mantap terasa dari balik punggungku, berjalan semakin dekat.
Sayangnya, entah kenapa hal itu malah membuat perasaanku tidak nyaman. Seperti ada sepasang mata yang tengah mengawasiku, tapi aku berusaha mengabaikannya hingga langkah itu semakin teredam oleh aktifitas di cafe. Saat itulah, ponselku kembali berdering dan nama Dimsun Neraka muncul di layar, aku berusaha mengabaikannya dengan mematikan ponselku, sayangnga hal itu malah mengundang hal lain. Seperti bisikan-bisikan halus ini,
“Kalo ada yang telpon tuh di angkat.”
Kemudian sebuah kecupan mendarat di pipiku. Saking terkejutnya aku sampai-sampai beringsuk dari tempat dudukku, aku juga mendengar ketiga temanku ikut syok. Begitu aku menoleh yang kulihat adalah wajah datar Dimas.
“El….”
“Sudah aku bilangkan, jangan kemana-mana sebelum aku jemput kamu.”

Aku melotot tidak percaya pada satu-satunya spesimen manusia yang sekarang beridiri di depanku.
“N-ngapai….”
“Dari tadi aku telpon kamu tapi enggak pernah kamu angkat….”
“Gu….”
“Kamu tau kan jalanan Jakarta macer di malam minggu dan aku mesti nyari kamu sampe keliling Jakarta.”
“Suruh siapa l….”
“Pacar kamu, Vah?” celetuk Azhra.
Aku melotot syok. “Bukan! Dia tuh….”
“Dimas Wirmansyah. Pacar Naya.” Aku melihat ketiga temanku melirik padaku dengan pandangan meminta menjelasan. Aku hendak membantah namun Dimas kembali memotong. “Ayo, kita udah telat.”
Dimas meraih tanganku lalu menarikku berdiri. Aku membelalak mata smabil berusaha melepas kaitan tangan Dimas, sayangnga aku tidak bisa melepaskan diri tanpa terlihat oleh ketiga temanku. Jadi aku berusaha dengan cara lain.
“Ke mana?”
“Kita mau dateng ke acara ulang tahun tante Rita, kamu lupa ya?”
“Dan gue udah bilang enggak mau, kan?”
Dimas tidak tampak menanggapi jawabku, dia malah beralih pada teman-temanku. “Nayanya dipinjen dulu boleh?”
Dan sialnya kalo lo temenan sama orang-orang kamvret tuh mereka udah pasti ngeiyain aja.
“Boleh, Mas! Boleh banget malah!”
“Boleh banget, bawa aja Mas, enggak apa-apa. Kalo kelamaan di sini biasanya dia suka nyemilin anak orang.” Aku membelototi Azhra, tapi cewek sableng ini malah semakin meledek. “Tuh kan, tuh kan mulai kumat dia.”
Aku hendak memprotes namun terhenti dengan tawa rendah seseorang. Aku menoleh pada Dimas yang sekarang sedang terkekeh mendengar celotehan Azhra.
“Ati-ati ya kalo bawa Arivah mesti kasih sesajen biar mulutnya diem,” timpal Senja.
“Siap.”
“Kalo pulang, anterinnya sampe depan kostan ya, Mas,” tambah Deswi.
Duuuh, kok gue mau peluk elo, Wi. Keknya cuman elu deh yang bener dari dua kampret ini.
“Siap, Mba. Kita duluan ya.”
“Sorry, ya,” ucapku pada akhirnya sebelum ditarik keluar oleh Dimas. Sampai di parkiran aku sesegera mungkin menghentak tangan hingga tautan Dimas terlepas dan aku masuk ke dalam mobil.

***

Dua puluh menit perjalanan aku masih diam, memalingkan wajah ke luar jendela. Aku masih kesal!
“Kamu kenapa?” tanya Dimas pada akhirnya.
“Tau dari mana gue lagi di situ?”
“Cuman nebak.”
“Enggak mungkin! Elo pasti nanya kan sama temen kantor gue. Siapa? Jeje ya?”
Dimas tampak tidak membantah juga tidak menanggapi.
“Si kamvert! Dipikir-pikir ya ngapain juga dia ngajakin gue nyari BH malem-malem? Nyarinya di jemuran tetangga kali ya.”
“Apa?”
“Enggak!”
Dimas diam. Aku diam.
“Lagian kita mau ke mana sih?” tanyaku akhirnya.

“Saya kan sudah bilang, kita mau ke acara ulang tahun tante Rita, Naya….”
Aku memotong. “Bisa enggak panggilnya Ivah atau Arivah aja?”
Dimas melirik dari ujung matanya. “Kenapa?”
“Ya … enggak apa-apa. Itu kan panggilan di rumah. Sedangkan kita enggak sedeket itu.”
Dimas diam lagi.
Kami berbelok ke kawasan Kemang, mobil Dimas melaju santai di jalanan Jakarta yang cukup padat malam ini. Fana Merah Jambu milik Fourtwenty mengalun dari musik player, menambahkan efek malam yang sendu. Aku hampir-hampir mengantuk ketika Dimas memulai obrolan lagi.
“Kamu udah makan?”
Aku menoleh horor. “Kok gue geli dengernya.”
“Kalo masih laper, saya ada makanan di dasbor. Makan aja.”
“Gak ah! Gue curiga itu makanan basi kemarin.”
“Saya enggak ada niatan buat racunin kamu, Naya.”
“Ivah!” koreksiku.
“Sorry, but I can’t.”
“Serah.”
Aku membuka dasbor sebelah kiri dan menemukan sebungkus roti dan biskuit, nampak baru dibelinya. Selain kedua benda tersebut, aku menemukan kotak lain di sana. Sebuah kotak kecil berlapis bludru.
“Apaan nih?”
Dimas melirik, sebelah tangannya hendak meraih kotak tersebut namun segera aku sembunyikan di belakang tubuh.
“Tolong kembalikan.”
“Enggak! Gue mau tau isinya.”
“Isinya bukan apa-apa, Naya.”
“Jangan-jangan ini cintin buat mantan lo itu, siapa tuh? Ah, Farah!”
“Ckk!”
Akhirnya Dimas menyerah dan membiarkanku membuka kotak tersebut. Benar, kotak kecil itu berisikan cincin bertahtakan permata kecil di atasnya. Sederhana namun masih terlihat elegan.
“Itu cintin mendiang eang, diberikan ke mama, dan sekarang diberikan pada saya untuk calon istri saya nanti.”
“Farah?”
Dimas tidak menjawab atau mengubah ekspresi datarnya. Kuambil cincin tersebut dan kukenakan di jari manisku untuk mengagumi keindahannya.
“Eh, pas, loh!”
Aku mengacungkan jari manisku ke hadapan Dimas, pria tersebut menoleh dengan alis terangkat.
“Awas nanti enggak bisa lepas.”
“Tenang aja.” Aku bermaksud melepas cincin Dimas ketika kami memasuki halaman sebuah hotel cukup ternama di sana, sayangnya entah kenapa cincin tersebut malah susah untuk dilepaskan.
“Eh, kok susah sih?”
“Kamu bohong kan?”
“Seriusan! Ngapain sih gue bohong!”
Aku berusaha melepaskan cincin sialan ini dari jariku, namun sia-sia, si cincin malah tidak mau lepas dari jariku. Dimas menepikan mobilnya semata-mata hanya ingin melihat keadaan cincinnya. Ia berusaha menarik lepas cincin dari jariku tapi malah jariku yang sakit.
“Sakit goblok!”
Dimas melepaskan tanganku dan aku kembali berusaha melepas cincin tersebut namun tetap sia-sia. Aku segera menyadari kebodohanku, aku melirik pada Dimas dengan air wajah menyesal.
What should I do?”

TBC ?

7 Komentar

  1. :ngakakberat semoga jodoh…. :ngakakabis

  2. Lanjutnya manakah?

  3. Kak .. kapan lanjut??? :gaksabar

    1. Yuhuuuuu sudah terbit ya lanjutannya ?

  4. Baru baca lngsung jatuh ❤ aq kak

  5. Ari K. Yushinta menulis:

    Sukak banget :lovely

  6. Indah Narty menulis:

    Wew