Vitamins Blog

Take Heart 2

Bookmark
Please login to bookmarkClose

No account yet? Register

 

Sekilas Nadia melirik judul berita terbaru yang tercetak besar-besar di sampul majalah yang dilemparkan putrinya di atas meja. Memasang senyum setipis mungkin karena tahu apa penyebab guratan amarah yang memenuhi replika dirinya yang berdiri tegang di hadapannya. Sama sekali tak bersusah payah menutupi kegusaran sekalipun hanya untuk bersopan santun karena lama tak mengunjungi kediaman rumah orang tua atau berpura-pura merindukannya.

Ya, ia tahu kesibukan macam apa yang harus dipinggul putri semata wayangnya untuk meneruskan kerajaan bisnis keluarga. Ia tak perlu meragukan kemampuan otak putrinya itu dalam memegang kendali CASAVEGA GROUP. Sayangnya, ia masih tak bisa tenang sebelum memastikan penerus selanjutnya di dalam perut putrinya ada.

“Apa maksud Mama menentukan acara pernikahanku dengan Dewa tanpa pemberitahuan seperti ini?” desis Zaffya.

“Mama hanya membantu kalian berdua. Sepertinya kalian terlalu sibuk dengan masalah perusahaan sampai tak sempat mengurus tentang pernikahan.”

“Seharusnya Mama tahu kalau Mama tak perlu repot-repot seperti ini. Itu sama sekali bukan urusan Mama.”

“Kalian sudah bertunangan selama tujuh tahun. Masih ingin menunggu berapa lama lagi untuk menikah?”

Zaffya memejamkan matanya sambil menghembuskan nafasnya kasar. Cukup sudah.

“Mama bosan menunggu lebih lama lagi untuk mendengar berita gembira dari kalian berdua. Kau tidak mungkin bertunangan dengan Dewa seumur hidupmu, bukan?”

“Baguslah kalau Mama berpendapat sama denganku,” ucap Zaffya tajam. Menikmati ketegangan yang seketika membeku di wajah Nadia Farick begitu wanita paruh baya itu mencerna kalimatnya dengan sangat baik.

Itu kata-kata yang memang Nadia harapkan didengar oleh telinganya, tapi dari mulut Dewa, bukan dari mulut Zaffya. Juga bukan dengan tatapan dan nada setajam itu. Putrinya selalu mampu melakukan hal yang tak pernah ia duga. Dan bukan hal yang tak mungkin jika Zaffya mampu mengguncang semua rencana dan memporak-porandakannya.

“Apa maksudmu, Zaf?” desis Nadia. Jemarinya tergenggam erat menunggu jawaban dari Zaffya.

Zaffya menyeringai. “Mama tahu hubungan macam apa yang selama ini kami jalani. Seharusnya Mama juga sangat tahu, suatu saat pertunangan ini akan berakhir.”

Nadia tersentak. Sungguh, dia sangat mengenal putrinya dengan sangat baik rupanya, tapi tetap saja ucapan putrinya itu masih mampu mengguncangnya. “Jangan gila kamu, Zaffya.”

“Seharusnya Mama tidak mendesakku seperti ini.”

“Hentikan kegilaanmu, Zaf. Kalian sudah berjalan sejauh ini.”

“Dan sudah lebih dari cukup bagiku untuk mengambil keputusanku sendiri.”

“Dengarkan Mama baik-baik!” Nadia mengacungkan telunjuknya ke arah Zaffya. Sekarang sudah tidak mungkin lagi berbicara baik-baik. “Kau tidak akan melakukannya. Kau tidak akan menghancurkan nama baik keluarga dan hubungan perusahaan kita juga.”

Zaffya mendengku. “Sudah cukup harga yang harus kutebus untuk keluarga dan perusahaan ini. Sudah waktunya aku mendapatkan kebebasanku.”

“Kau tidak mungkin mengkhianati janjimu pada mediang kakekmu.” Nadia mengeluarkan satu-satunya ancaman yang ia miliki. Menghadapi putrinya tak cukup memakai rencana A. Ia harus punya seribu rencana agar putrinya mau menuruti keinginannya. Memastikan Zaffya tak bisa bergerak dalam jebakannya.

Zaffya terdiam. Ya, pertunangannya dengan Dewa karena permintaan kakeknya yang tengah sakit keras di atas ranjang rumah sakit. Bahkan pertunangan mereka juga disaksikan pria tua itu. Di hembusan terakhir napas kakeknya.

Zaffya menggeleng. “Dan bukan kehidupan macam ini yang diinginkan kakek untuk kujalani,” ucap Zaffya lirih. Sebelum membalikkan badan dan melangkah pergi. Mengabaikan teriakan mamanya yang memanggil-manggil namanya.

Suasana hatinya semakin memburuk setelah mamanya mulai mengungkit-ungkit tentang kakeknya. Tidak cukupkah berita sialan itu membuat pagi harinya terguncang.

 

****

 

‘Pesta pernikahan Sagara dan Farick yang akan diresmikan sebulan lagi.’

Dewa membaca salah satu judul berita utama majalah yang dipegangnya untuk yang ke sepuluh kali. Bukan dia yang membuat pemberitaan itu, tapi pemberitaan itu akan membuat Zaffya  terpojok dan memulai kehidupan baru dengannya. Membuat Zaffya keluar dari jebakan masa lalu mereka.

Mungkin niatnya terdengar licik atau memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan. Namun, apa pun namanya, dengan Zaffya yang akan menjadi miliknya seutuhnya tentu akan sepadan dengan rasa bersalah atas niat jelek yang tersembunyi. Masih banyak waktu yang tersisa bagi Dewa untuk menghapus nama yang terukir di hati wanita itu, dan baginya itu sudah lebih dari cukup.

Dewa tersentak ketika mendengar pintu ruang kerjanya diketuk. Segera ia meletakkan majalah yang pegangnya di meja dan berseru, “Masuk.”

Kening Dewa berkerut menyadari suaranya yang terdengar lebih riang daripada biasa. Mungkin karena memang suasana hatinya yang begitu cerah.

Pintu terbuka dan sekretarisnya masuk. Berjalan mendekat dan berhenti di depan mejanya.

“Pagi yang cerah, Tania,” sapa Dewa pada sekretarisnya. Menyandarkan punggungnya di sandaran kursi dan menyilangkan kedua kaki.

Tania terpaku untuk sesaat dengan sikap atasannya yang tampak … hangat?

Senyum di bibir Dewa semakin melebar dengan ekspresi canggung yang tanpa sengaja terpasang di wajah Tania. “Apa kau ingin aku terlihat muram di hari yang cerah ini?”

Tania menggeleng dengan cepat. “Tidak, Tuan.”

“Kalau begitu bacakan agendaku hari ini.”

Tania mengerjap sebelum menunduk membuka buku yang ada dalam pelukannya. Namun dia teringat jika bukan itu tujuannya datang kemari.

“Pertemuan berikutnya di ruang konferensi. Para dewan direksi sudah ….” Tania berhenti ketika pintu yang ada di belakangnya tiba-tiba terayun membuka. Menampakkan wanita dengan setelan formal berwarna merah. Wajah dingin dan tatapan mata yang tajam tak sedikit pun mengurangi kecantikan wanita itu. Namun mampu membuat Tania tak berkutik saat mata wanita itu menatap ke arahnya.

“Kau bisa pergi lebih dulu, Tania. Beri aku waktu lima belas menit untuk berbicara dengan tunanganku,” perintah Dewa pada si sekretaris yang tampak bengong. Antara intimidasi Zaffya atau melanjutkan tugasnya.

“Iya, Tuan.” Tania segera mengangguk. Menutup map yang dipegangnya dan segera melangkah keluar. Sempat menunduk untuk memberi salam pada tunangan bosnya itu sebelum menuju pintu. Namun seperti biasa, wanita cantik itu hanya menatapnya datar sebelum melanjutkan langkah mendekati bosnya.

“Kita butuh bicara,” kata Zaffya langsung ingin segera menuju topik utama. Lalu pandangannya beralih pada majalah yang masih terbuka di meja Dewa. Majalah berbeda dengan yang didapatkannya tapi dengan berita utama yang sama. “Baguslah kalau kau sudah membacanya.”

Dewa melirik majalah yang dibawanya dari rumah dan baru berhenti membaca saat sekretarisnya masuk membacakan agendanya. Senyum sumringah Dewa seketika berubah menjadi hanya lengkungan yang membentuk di kedua sudut bibirnya. Ia tahu berita itu bukan berita baik untuk Zaffya. “Kau tahu ini bukan perbuatanku, bukan?”

“Aku tahu,” desah Zaffya mulai kembali gusar. Otaknya masih berkecamuk tak karuan. Jemarinya bergerak-gerak gelisah di samping tubuh.

“Duduklah.” Dewa bangkit berdiri. Mengarahkan Zaffya ke set sofa terdekat. “Apa kau ingin minum sesuatu?”

Zaffya menggeleng. “Aku ingin mengakhiri semua ini sekarang juga, Dewa.”

Dewa sempat menghentikan langkah kakinya. Sejenak menatap wajah Zaffya sekali lagi. Mengamati raut wajah cantik yang tampak sedikit pucat, tapi ekspresi wanita benar-benar serius dan tampak sedikit … tegang. Ia pun membatalkan niatnya untuk duduk di sofa dan menghampiri Zaffya yang masih berdiri di tengah-tengah ruangan.

“Kali ini aku benar-benar serius akan mengakhirinya.” Zaffya menarik tangannya dari jangkauan Dewa.

Dewa hanya membungkam dengan penolakan Zaffya.

Zaffya menghembuskan nafas keras. Lalu mengangkat tangan kanannya yang tergenggam dan membukanya di hadapan Dewa. “Dan aku kemari hanya untuk mengembalikan cincin ini.”

Dewa menunduk. Melihat cincin yang berhias berlian biru itu dengan muram. Memang bukan dia yang mencarikan cincin itu, tapi cincin itulah pengikat satu-satunya untuk Zaffya. “Apa ini karena berita itu?”

“Aku tidak siap dengan hubungan ini.” Tangan kiri Zaffya menarik jemari dan meletakkan cincin itu di telapak tangan Dewa karena pria itu tampak termenung. Hanya memandanginya saja tanpa ada niat untuk mengambil. Zaffya tahu Dewa tidak akan membiarkannya pergi, tapi kali ini, keputusan Zaffya benar-benar sudah bulat dan tak akan goyah oleh berbagai argumen yang akan Dewa ucapkan.

Zaffya melangkah mundur. Kali ini ada perasaan bersalah yang menggelayuti hatinya saat ia benar-benar sudah memberikan cincin itu. Perasaan bersalah yang selama ini bersarang karena menipu kakeknya.

“Apa kau ingin seluruh dunia gempar dengan keputusan ini?” Dewa berjuang untuk tidak lepas kendali. Dengan hatinya hancur oleh keputusan sepihak Zaffya.

“Sudah cukup apa yang kulakukan hanya demi pandangan orang. Setidaknya biarkan kali ini aku yang akan menutup mataku.”

“Apa kau tahu berapa banyak orang yang akan dirugikan? Berapa banyak orang yang akan kau lemparkan penderitaan ini? Orang tuaku, orang tuamu, kakekmu.” Tangan Dewa terangkat menunjuk diirnya sendiri dan berkata lirih, “Dan aku.”

“Hentikan, Dewa. Aku mengambil keputusan ini sejak lama. Untuk menghindari permasalahan yang semakin rumit seperti ini. Tapi kau yang selalu menahanku.”

“Dan hal itu berhasil menahanmu. Jadi kenapa kali ini kau berpikir aku akan membiarkanmu?” Suara Dewa mulai meninggi.

Zaffya melangkah mundur. Berbalik dan melangkah menjauh untuk berdiri di samping dinding kaca. Mengusap rambutnya sekali dan matanya terarah ke pemandangan kota demi menghindari menatap wajah Dewa. Zaffya tahu kali ini pria itu tidak akan membiarkannya dengan mudah, tapi kali ini ia tidak akan kalah. “Aku akan menyangkal pemberitaan itu dan mengumumkannya dua hari lagi.”

“Kau tidak bisa mengambil keputusan hanya dengan sepihak seperti ini, Zaf. Apalagi terburu-buru.” Dewa menggenggam cincin milik Zaffya dan melangkah mendekat, menatap punggung Zaffya. Wanita itu sama sekali tak memedulikan emosi yang bercampur aduk memenuhi wajahnya.

“Tidak bisakah kau membiarkanku kali ini?”

“Kau tahu jawabannya,” jawab Dewa cepat bahkan sebelum Zaffya menyelesaikan pertanyaannya.

Zaffya bergeming.

“Kau bahkan tak punya alasan yang tepat untuk keputusan sebesar ini,” tambah Dewa lagi.

Kali ini Zaffya membalikkan badan, menatap tajam ke manik mata Dewa. “Kau tahu aku tak pernah nyaman dengan hubungan ini. Jika kau menganggap perasaanku tidak terlalu penting dalam hubungan ini, maka kau benar.”

Mulut Dewa terkatup rapat. Genggaman jemarinya semakin erat, berikut cincin Zaffya yang ada dalam genggamannya terasa sangat nyata. Tiba-tiba saja ketakutan memenuhi dadanya. Kehancuran yang membayang di depannya terasa semakin nyata.

“Ini terakhir kalinya kita berdebat masalah akhir kesepakatan kita.” Zaffya mengatakan kalimat itu dengan tegas dengan mata tepat menatap manik hitam Dewa. Mulai berjalan melewati mantan tunangannya itu.

Dewa menangkap pergelangan tangan Zaffya sebelum wanita itu benar-benar melewatinya dan menuju pintu keluar. “Kita bisa mencobanya sekali lagi. Kita bahkan akan mencobanya berkali-kali sampai kau merasa nyaman dengan hubungan kita.”

Desahan berat melewati bibir Zaffya yang terpoles lipstik merah. Matanya terpejam sekali lagi sebelum kembali menatap manik Dewa. “Kita sudah mencobanya. Berkali-kali dan tak pernah berhasil. Kau tahu aku sudah berusaha untuk itu.”

Dewa kehabisan kata-katanya. “Aku akan memberimu waktu untuk berpikir.”

Zaffya menggelengkan kepala. “Tidak, Dewa. Aku tidak memerlukannya.”

“Jika kau berpikir aku akan melepaskanmu begitu saja, maka kau salah, Zaf.”

“Aku tahu.” Zaffya menarik pergelangan tangannya. “Tapi kali ini aku tidak akan berubah pikiran.”

Lalu Zaffya pergi. Meninggalkan Dewa dengan kepingan-kepingan hatinya yang berserakan.

 

***

 

3 Komentar

  1. Milea A734 menulis:

    Baru baca kok udah nyesek ya kak??

  2. Indah Narty menulis:

    Ok :kisskiss