Vitamins Blog

Oh My Fake Bo(ss)yfriend || Nah, Loh!

Bookmark
ClosePlease login

No account yet? Register

30 votes, average: 1.00 out of 1 (30 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...
ChocovadoLoading…

Enggak usah sedih jadi jomblo, toh masih ada aja kok yang sayang sama elo. Si bos, contohnya.” @JejeSyah05

P.s

Sorry typo bertebaran dimana-mana, dikarenakan males edit. Happy reading ?

***

Pulang cepat itu enaknya bisa beli makan di warteg langganan selagi masih buka, tapi sialnya walau wartegnya buka yang tersisa di piring cuma remah-remah lauknya saja.
Apes banget kan jadi anak rantauan.
Alhasil, pilihan alternatif lain ya restoran cepat saji 24 jam yang menjamur sepanjang jalan. Risiko lain kalau makan di tempat itu antreannya padat merayap persis jalan raya Jakarta. Belinya cuman ayam sama nasi, tapi sok-sokan milih sampe setengah jam sendiri.
Nambah dosa orang-orang yang lagi kelaperan aja.
Setelah berjibaku dengan para pengantre sembako lain–well, pelanggan lain–akhirnya aku mendapat makanan sekaligus tempat duduk yang strategis; di lantai dua, pojokan, dekat jendela.
Di lantai dua pun tidak jauh beda dengan lantai pertama, padat penghuni. Rata-rata pengunjungnya adalah para pekerja yang baru pulang sepertiku–untung gue sempet ganti baju, mahasiswa, dan satu dua anak SMA yang masih keluyuran di atas jam 6 sore.
Emaknya enggak pada nyariin apa?
Suka dukanya duduk di pojokan itu kamu tidak terdeteksi radar penghuni lain, sedangkan kamu bisa melihat seluruh aktifitas di dalam ruang tanpa memuta kepala 360 derajat untuk melihat orang-orang.
Seperti sekarang, aku menangkap kedatangan penghuni baru yang menempati bagian teras. Nampaknya mereka sepasang kekasih, si cowok dengan gantle mempersilahkan si cewek duduk dengan menarik kursi layaknya cowok-cowok casanova dalam film.
Sayangnya lo salah tempat, Bung. Ini restoran cepat saji bukan prevat room di restoran Eropa.
Aku menggeleng-geleng takjub dengan kelakuan ajaib warga +62 yang satu ini. Tetapi, kalau dilihat-lihat … area teras ini memang tidak dihuni oleh penghuni lain selain mereka. Dengan kata lain, area bersih dari pengunjung.
Seriusan itu cowok nyewa teras atas buat makan ala ala prevat room?!
Aku mengedik bahu acuh, daripada mengueus urusan mereka mending urus urusan perut sendiri. Namun, sialnya, hati dan pikiran itu kadang tidak singkron. Niat hati mau makan, eh malah kepo sama sejoli di luar.
Sebenarnya, sejauh yang bisa mata laknat ini lihat, makanan yang dipesan … ya, makan cepat saji, tidak jauh-jauh dari nasi dan ayam. Tapi sepertinya si tuan puteri ini lagi diet, mejanya hanya di isi mangkuk sup krim dan roti bagle dan air minum kemasan. Sedangkan si cowok memesan makan berat; nasi, ayam, dan cock.
Kalo gue jadi itu cewek udah pasti mesen yang banyak lah, kalo enggak abis ya dibawa ke kosan. Buat apa diet-diet? Lo kerja nonstop dan lupa makan aja udah mampu ngurusin badan lo.
Itu sih lo, Vah, yang secara kekurangan gizi.’
Berisik lo!
Ting!!
Notifikasi WhatsApp membangunkanku ke dalam realita menyakitkan. Kuraih ponselku dengan sebelah tangan, aku mengerut kening ketika mendapat pesan baru dari nomor tidak kukenal. Isinya hanya kalimat basa-basi semacam,
[Hai.] Aku menutup chat room di WhatsApp kemudian kembli meneruskan makan malamku. Tidak lama notifikasi berbunyi lagi kali ini dengan kalimat lebih panjang.
[Udah pulang apa masih di kantor, Rivah?] Hmn, dia tahu namaku, berarti antara temen-temen kamvretku yang berusaha ngeprank, atau nasabah iseng yang keganjenan.
Kerja di bagian operasional itu, tidak lolos dari keisengan nasabah. Bertugas di bagian BO tidak menuntut untuk menghadapi komputer, dilain kesempatan aku juga mencari bibit berpotensial untuk dijadikan nasabah. Lumayan lah walau akhirnya ditangani oleh anak marketing, tapi aku juga kecipratan insetifnya.
Namun, tidak menutup kemungkinan kena apes karena salah sasaran. Alhasil, bukannya nambah insetif malah nambah musibah sendiri. Terlebih kalau calonnya adalah laki-laki, banyak modusnya. Ya, salah kirim lah yang akhirnya ngajak kenalan. Ya, salah pencet telpon lah yang akhirnya ngajak jalan. Ya, miscall-miscall iseng lah. Atau paling parah, malah ngajak phonsex di tengah malam.
Akhirnya setiap kali nomor baru masuk tanpa perkenalan diri, maka tidak akan kuladeni. Seperti sekarang ini.
“Bo-do-a-mat.”
Tidak lama chat ketiga masuk, kali ini membuatku hampir-hampir menyemburkan minumanku yang  berakhir dengan keselek dan batuk-batu.
[Saya kangen sama kopi buatan kamu, Rivah.] Barulah aku kenal siapa orang ini; Prayudha Syahdin. Ex-bos tertjinta kami. Aku memang menghapus nomornya begitu ia dipindah, karena toh, aku tidak lagi punya urusan dengannya. Mana tahu kalau ia benar-benar menghubungiku setelah dimutasi.
Bales enggak ya? “Ah, nanti aja. Pura-pura aja lagi enggak inget hape.”
Aku hendak melanjutkan makan, namun hal yang lebih menarik tertangkap radar mataku. Kembali lagi pada sepasang sejoli di teras luar, kali ini mereka tampak membicarakan hal yang serius. Si pria terlah menyingkirkan makanannya ke samping, begitupun si wanita. Mereka nampak berdebat sengit, si wanita yang terlihat lebih marah dan si pria yang berusaha menenangkan. Sampai akhirnya perdebatan itu di akhiri dengan si tuan puteri yang meninggalkan tempat sedangkan si pria tidak melanghentikan atau mengejar si puteri seperti adegan dalam dongeng.
Kesian amat, iyalah si cewek kabur, secara nyewa prevat room kok teras resto cepat saji gini.
Lama memandangi, si empunya badan malah memergokiku. Buru-buru aku memalingkan muka, berpura-pura fokus pada makananku.
Duuuh, masa iya ke-gep orang pacaran sampe dua kali. Sial bener gue.
Cepat-cepat kulahap setengah nasi dan ayam di mejaku, berusaha bersikap masa bodo itu susah ternyata. Aku hampir terjungkal begitu kursi di depanku ditarik oleh seseorang.
“Saya baru tahu ternyata selain bengkeng sama atasan dan sering mencibir orang hobi lain kamu adalah menguntit orang pacaran.”
Nah, loh kan. Mampus loh, Vah!
“Jangan pura-pura sok sibuk makan, Naya.”
Aku mendongak terlalu cepat sampai-sampai kepalaku membentur sesuatu, yang pertama aku lihat ketika menatap ke depan adalah; Seorang pria yang tengah kesakitan sambil memegangi dagunga.
Baru lah aku sadar bahwa pria yang ada di teras bersama si tuan puteri tadi adalah Dimas Wirmansyah?!
“Arivah Inayati!” geram Dimas dengan suara rintih tertahan.
Aku meringis ngeri, selama Dimas masih menunduk kesakitan, buru-buru kusambar dompetku, dan tanpa pamit aku tancap gas untuk kabur.

***

Minggu pagi adalah waktunya tidur sampe siang! Sayangnya, ekspetasi dan kenyataan itu dari dulu memang tidak pernah akur. Karena pagi ini, Amih menggrebek indekostku dengan segudang barang bawaannya.
“Bilang napa mih kalo mau dateng, kan Naya bisa beresin kostan dulu.”
“Halah, enggak enak kalo Amih bilang dulu ke kamu. Kamu pasti beresin sampe enggak ada cela buat Amih marahin kamu. Mending sidat dadakan kayak gini, jadi keliatan kan anak perawan yang satu ini jorok. Pantes sampe sekarang enggak laku-laku.”
Aku melotot tidak terima pada Amih, tapi yang diplototi malah melotot balik, malah lebih galak.
Karena pasal ibu-ibu sudah dijadikan undang-undang tidak tertulis, maka hamba tidak bisa membantah. Pasalnya berbunyi;
1. Ibu negara selalu benar.
2. Anak buah selalu salah.
3. Jika ibu negara salah makan akan kembali ke pasal  satu.
“Terus Amih ngapain ke sini kalo urusannya cuman mau marahin anaknya? Bilang kangen kek, malah ngomelin Naya.”
“Nah, justru itu. Amih kangennya ngomelin kamu, Nay.”
Aku melongo, saking syoknya.
Amih memang penuh kejutan, datang tidak diundang, pulangnya minta diantar, dan diongkosin. Bukan sekali dua kali aku kena sidat si Amih. Untung aku tidak pernah membawa pria masuk ke dalam indekostku, kalau pun ada yang main paling cuman Rayhan, itu pun hanya duduk-duduk di teras.
“Oh, iya. Mumpung kamu lagi libur….” Amih menaruh bungkusan kantong plastik di atas meja.
Hmm, perasaan gue kok jadi gak enak ya.
“Apaan nih, Mih?”
“Titipan temen Amih. Dia mau ngasihin ini ke anaknya, tapi enggak bisa ke sini. Karena Amih yang ke sini jadi sekalian aja.”
Aku menarik sebelah alis pura-pura bego. “Terus?”
“Ya kamu lah, Nay, yang anterin ini ke anaknya!”
“Ha?! Yang bener aja? Mana tau aku, Mih! Temen Amih aja aku enggak tau apa lagi anaknya!”
“Ini dikasih kok alamatnya. Kamu kan tinggal di sini udah lama, enggak bakal susah lah nyari alamatnya.” Amih kali ini menyodorkanku secarik kertas berisi alamat anak dari temannya ini.
Manusia macam apa yang berusaha Amih sodorkan padaku kali ini? Tuhaaaan.
Aku bukan lagi anak kecil yang mau-maunya dibohongi. Aku paham setiap kali Amih datang, tiba-tiba aku akan jadi kurir dadakan. Ya suruh anter ini-itu. Dan hampir semua orang yang terima paketku adalah laki-laki, aku paham Amih sengaja agar aku bisa bertemu dengan orang-orang itu dan berharap akan tertarik pada salah satunya.
Sayangnya, hingga saat ini, usaha Amih selalu gagal. Klien terakhir yang menerima paketku malah tidak berakhir baik. Waktu itu aku mengantarkan titipan–entah apapun itu–ke Semanggih. Aku sampai di kontrakan cukup mewah, katanya sih dia mahasiswa kedokteran tingkat akhir.
Tidak heran kalau tempat kostnya saja kayak perumahan elit gini, anak sultan mah bebas.
Ketika aku masuk yang membukakan pintu adalah seorang pria berbadan sedang, tidak terlalu tinggi, berwajah oval, dengan alis mata berkarakter, mata menyipit, dan bibir yang mencibir. Aku sempat berpikir, ini orang salah makan nasi kemarin kayaknya.
Yang lebih membuatku salah fokus adalah penampilannya. Bukan, bukan kaos longgarnya, yang jadi masalah adalah hot pans-nya.
Hot pans dong ya, pink lagi. Ini orang beneran salah makan deh.
“Siang, Mas,” sapaku sopan.
Pria tersebut melotot syok. “Mas? Emangnya gue tukang baso?”
“Eh, kalo gitu, Aa.”
Kali ini ia mendengus. “Aa. Dikira tukang photocopy.”
“Kalo gitu, Akang?”
Ia malah tambah cemberut. “Lo pikir gue tukang suling organ tunggal?”
“Ya udah, Kak.”
Sekarang ia maha bersedekap sambil bersandar pada pintu. “Ya, gue emang jualan online, tapi bukan itu!”
Aku mulai lelah. “Abang deh,” tawarku.
Kali ini ia melotot. “Emangnya gue abang becak?!”
Aku mengembus napas frustasi. Aku tidak tahu kalau menganter paket ke perumahan elit saja harus ada passwordnya.
“Kayaknya lo anak baru ya?”
Serah lo kate aja lah, Bung!
Pria tersebut berdeham lalu mengulurkan tangannya. “Karena lo gak tau, ya udah gue kasih tau aja biar enggak lama.”
Elo yang bikin ribeeet, goblog! Tuhaaaan, dosa apa aku hari ini?
“Panggil gue, Fa-rah.”
Aku mengerjap beberapa kali. “Gimana?” mungkin aku salah dengar.
“Fa-rah. Panggil gue Fa-rah. Actualy, Farhan tapi nama Farhan terlalu cowok. Jadi masih mending Farah.”

For God’s sake!! Don’t tell me you are….

“Itu paket buat siapa? Perasaan gue enggak mesen apa-apa. Sini.” Diambilnya paket di tanganku sementara aku masih jadi lukisan the scream. “Oh, buat Sandy. Bentar ya. Honneeeeeey!! Ada paket nih!”
GOOOOOOD!!!
Tidak lama keluar pria lain yang kali ini aku yakinkan namanya memang Sandy. Ia tinggi, berkulit putih mulus, dan wajahnya luar biasa tampan. Tapi….
“Paket apa, Sayang?”
Sukanya pisang lagi ?.
“Ini dari mommy, batik samaan buat nikahan kak Safira.”
Si Farah cemberut tidak suka. “Kapan sih, kamu kasih tau sama keluarga kamu?”
Sandy merangkul makhluk setengah jadi itu dengan sayang. Diusapnya kepala si Farah ini yang bibirnya lagi dimonyong-monyongin.
Serius deh! Gue aja gak percaya harus cerita beginian sama klean-klean. Enggak semanis itu kalo lo ada di posisi gue, sekarang aja gue udah mual-mual.
“Nanti aku kasih tau kamu ke Ayah, Mommy, dan kak Safira. Kita cuma nunggu waktu yang tepat aja buat kasih tau mereka.”
Lalu tanpa bersalah, permisi, atau ‘terima kasih’. Mereka menutup pintu di depan wajahku yang masih syok dengan adegan abnormal yang baru saja aku saksikan.
Mata gue ternodai!
Pulang dari sana aku marah, diam seribu bahasa, meski Amih bertanya aku mengatakan bahwa si Sandy itu sudah punya pacar dan kecil kemungkinannya aku mendapatkannya. Tentu saja aku menyembunyikan fakta mengerikan mereka, kalau aku mengatakan yang sebenar-benarnya aku yakin bukan hanya Amih saja yang kena serangan jantung tapi mommy Sandy juga sudah pasti langsung kolaps.
Ya, siapa yang mau anak lelakinya ternyata punya kelainan, suka sama pisang lagi.

***

Aku sampai di salah satu gedung apartemen yang cukup mewah di Jakarta Selatan, kupandangi gedung yang menjulang menjulang tinggi tersebut sambil berpikir; sejak kapan emak gue gaul sama orang-orang kayak gini? Menurut alamat yang diberikan, si klien ini tinggal di lantai 10.
Untung naiknta pake lif, coba kalo kayak rusunawa yang kapenya tangga, bisa-bisa gue kurus mendadak.
Aku menunggu di salah satu lif dengan dua orang lain yang berada di depan pintu lif yang lain, begitu pintu lif yang kutunggu terbuka, seorang wanita berpenampilan modis keluar dari lif di depanku. Entah sengaja atau tidak, bahu kami bersinggungan. Namun rasa-rasanya ia buta sama tata krama kemudian pergi begitu saja.
“Sableng,” grutuku.
Sepuluh menit kemudian aku sampai di depan pintu apartemen yang di maksud, sejenak aku masih berdiri di depab pintu persis orang bego yang bingung antara memencet bell atau mengetuk pintu. Pasalnya, aku takut salah orang, tapi Amih bilang kalau temannya ini sudah memberitahu anaknya, jadi kalau aku datang mengantar dia juga tidak akan bingung, kan?
Dari sekian rencana modus Amih untuk mencarikanku jodoh–well, karena memang tidak ada yang pas di mataku–untuk kali ini Amih mengakuinya, ia memang sengaja menyuruhku mengantar bungkusan ini pada anak temannya. Berharap, akan timbul medan magnet yang kuat sehingga terjadi fenomena tarik menarik.
Menurut sumber ahlinya perlambean alias emak-emak pasar, si cowok–yang masih belum jelas jenisnya–ini sudah memiliki pacar, hanya saja orang tua pihak si cowok masih kurang sreg sama si ceweknya. Alhasil, timbullah ide gila seperti ini.
Aku sempat tidak terima dengan ide ini, karena secara tidak langsung Amih menjerumuskanku pada dunia perplakoran! Apa yang bakal Jeje bilang kalo tahu soal ini?!
Pada akhirnya tetap kulakukan karena aku tidak ingin  dikutuk dan kisahku jadi berita dengan judul Malin Kundang The Next Generation, padahal sama saja aku menuju ke arah dosa.
“Semoga gue enggak ketemu uang setengah-setengah dan semacamnya.”
Aku memencet bel di samping pintu sekali, kutunggu sepuluh menit, namun belum ada jawaban. Lalu ku pencet lagi bel dua kali, belum terlihat tanda-tanda kehidupan. Dan sampai aku memencet  bel tiga kali, barulah terdengar suara dari dalam.
“Siapa?”
“Paketnya, Mas!”
“Bentar!”
Hmn, kok bau-baunya gue kenal suara ini orang.
Lalu seperti gerakan slow motion pintu di depabku dibuka, dan seperti di dalam film-film, aku melihat dari kaki kemudian baik ke atas hingga kutemukan wajah yang SAMA sekali tidak asing untukku.
“Saya tidak tahu, kalau kamu sampai senekat ini buat nguntit saya, Naya.”
Nah, loh!

TBC?? ?

5 Komentar

  1. Yuuuuhhhh,pasti bapak bos nan rada mesyuuuummmm itu…. lucu,suka ceritanya

  2. Al-Humayra Raudatul menulis:

    jalan ceritanya sulit ketebak,..selalu bikin penasaran gimana lanjutannya.semoga cepat bisa update lagi ya ..?btw saya sangat penasaran ttg penampilan si arivah ini,..cantik kh,cantik sekali,atau biasa biasa saja,..

    1. wkwkwk iya nih, jadi jangan terkejut terheran-heran kalo kadang suka berganti haluan. Soalnya ini tidak terencana ???
      Makasih udah mau baca, ditunggu aja ya nextnya. Masih dalam proses penggalian cerita ??

  3. Ari K. Yushinta menulis:

    Unik. Penasaran terus

  4. Indah Narty menulis:

    Bossss