Vitamins Blog

Take Heart 6

Bookmark
Please login to bookmarkClose

No account yet? Register

 

“Bicaralah,” Zaffya memulai.

“Aku hanya ingin bertemu denganmu.”

“Jujur, aku tak ingin bersikap dingin padamu, Dewa.”

“Aku tahu. Maafkan aku,” Dewa tersenyum miris. Satu-satunya alasan dia masih tetap di ruangan ini karena Nadia Farick mengancam Zaffya.

“Aku akan kembali, semoga cepat sembuh.” Dewa mengangkat tangannya hendak mengusap kening Zaffya. Namun, saat Zaffya beringsut menjauh, ia segera menurunkan tangannya.

Zaffya menyandarkan punggungnya ke kepala ranjang. Mendesah dengan keras saat Dewa menutup pintu.

Ryffa keluar dari kamar mandi tak lama kemudian, diikuti Richard. Sesaat keduanya hanya saling pandang dengan canggung.

Ryffa keluar, meninggalkan Zaffya dan Richard tertinggal. Selama hampir satu menit keduanya hanya saling berpandangan dalam diam. Richard tidak mengatakan apa pun sedangkan Zaffya masih terlalu sibuk dengan halusinasi dalam kepalanya.

“Bagaimana kabarmu?” tanya Zaffya akhirnya dengan suara serak. Ia terlalu gugup. Sialan! Kegugupan tak pernah menyerangnya sekuat ini hingga membuat Zaffya tak berkutik. Berbagai macam tantangan yang harus ia lakukan untuk memenangkan proyek besar tak pernah membuatnya segugup ini. Bahkan saat keputusannya untuk memutuskan pertunangannya dengan Dewa dan mengumumkannya di hadapan umum.

“Cukup baik. Kau?”

Napas berat keluar melewati bibirnya bersamaan saat Zaffya menjawab. “Baik.”

“Sepertinya tak cukup baik.”

“Sedikit.” Zaffya mengangkat alis. “Kesibukan terkadang mengalahkanmu dengan cara yang tak kau sangka.”

‘Namun cukup berguna untuk mengendapkan sesuatu di dasar danau agar lumpurnya tak naik dan membuat air danau menjadi keruh,’ lanjut Zaffya dalam hati. Ia tak pernah baik-baik saja jika mengingat Richard dan masa lalu mereka. Terutama setelah semua kabut yang akhirnya menjadi begitu jelas berkat sang kakak.

Keduanya kembali terdiam.

“Akhirnya kau kembali,” gumam Zaffya dengan tawa kecil. Masih terlalu dini untuk tersenyum. “Apakah kau punya urusan di sekitar sini atau apa pun itu?” Pertanyaan yang bodoh! Zaffya mencela dirinya sendiri. Untuk apa kau perlu tahu urusan Richard kemari.

“Beberapa,” jawab Richard. Berjalan perlahan mendekat ke ranjang.

“Atau hanya ingin menyapa teman lama?” Mungkin itu alasan Richard kemari.

Richard mengangguk-angguk. “Bisa dibilang seperti itu.”

Detak jantung Zaffya berdetak begitu nyaring ketika Richard semakin menghilangkan jarak di antara mereka. Satu langkah, dua langkah dan tiga langkah. Pria itu berada di samping ranjang. Berdiri menjulang membuat Zaffya mendongakkan kepala demi melihat wajah pria itu. Yang sepertinya itu ide dan rekasi terburuk yang muncul di kepalanya. Richard menunduk, bukan hanya menghilangkan jarak di antara mereka, melainkan jarak di antara wajah mereka.

“Salah satu urusan yang harus kuselesaikan denganmu adalah ini.” Richard menempelkan bibirnya dengan bibir Zaffya. Egois, bukankah itu tujuannya datang kemari. Ingin menunjukkan sikap egoisnya akan hubungan mereka yang belum selesai sekalipun Zaffya menganggap kisah mereka sudah berakhir.

Saat menyadari reaksi Zaffya terhadap dirinya, ia tahu keputusannya untuk kembali benar adanya. Mungkin ia harus menyombongkan diri dengan kepercayaan dirinya yang satu ini. Efek dirinya pada Zaffya masih sama. Terlalu banyak kerinduan yang dipendam wanita itu dan dirinya yang tak sanggup mereka tutupi ketika mata mereka saling bertaut. Dan semua kerinduan itu akhirnya terluapkan oleh bibir mereka yang saling memagut. Menuntaskan kesepian dalam ciuman yang saling membara dan tak mau mengalah untuk yang lainnya. Seakan saling menunjukkan bahwa rasa rindu yang satu lebih besar dari rindu yang lainnya.

“Bukan ini yang semestinya kau lakukan saat bertemu dengan teman lama,” desah Zaffya masih dengan wajah yang menempel pada wajah Richard. Ya, rengkuhan lengan pria itu menjanjikan kehangatan yang ia dambakan. Seperti yang sudah ia sangka.

“Aku tahu, tapi aku tak bisa berhenti memikirkan hal ini jika aku tak bisa melakukan niatku.”

Dentuman itu datang dan membuat Zaffya semakin tak bisa bernapas. Cukup harum napas yang keluar dari bibir dan hidung Richard benar-benar memabukkan Zaffya dan melemahkan seluruh saraf dalam tubuhnya, dan kata-kata yang diucapkan Richard membuat Zaffya seperti akan pingsan kembali. Sungguh, ia berlebihan, tapi apa pun yang berhubungan dengan Richard memang seringkali membuatnya terlalu berlebihan. Bersyukur dia di atas ranjang dan tubuh bagian atasnya ditahan oleh lengan Richard. Jika tidak, mungkin dia bisa jatuh terjengkang ke belakang dan akan menggores harga dirinya.

Keduanya kembali saling pandang dalam kebisuan. Seakan membiarkan pandangan mereka yang berbicara untuk selanjutnya. Lalu, keheningan itu terpecah oleh suara pintu yang didorong dari luar. Richard menaik tubuhnya menjauh. Melihat seorang pria dengan setelan rapi berjalan masuk.

“Ada apa Satya?” tanya Zaffya pada Satya yang terlihat terbengong menatap keberadaan pria asing di dalam ruangan itu.

“Euhm, saya … saya bisa menunggu di luar,” Satya terbata. Lalu, berbalik.

“Tidak perlu,” Richard mencegah Satya keluar. “Urusan kami sudah selesai.”

Satya berhenti. Dengan kikuk tetap berdiri di antara celah pintu. Memandang dengan canggung ketika Richard meninggalkan satu kecupan lembut di kening Zaffya. Demi apa! Bosnya baru beberapa hari yang lalu putus bertunangan dengan pewaris Sagara Group. Tetapi, bukan ide yang bagus untuk berkomentar tentang hubungan itu dengan tabiat Zaffya yang sudah sangat dikenalnya dengan baik.

“Pastikan dia beristirahat dengan baik,” pesan Richard berbisik di telinga Satya sebelum menutup pintu ruang rawat itu. Senyum lembut, kehangatan dan wajahnya yang tampan bahkan sejenak membuat Satya termangu.

“Apa saya boleh tahu siapa ….” Satya langsung membungkam saat pandangan Zaffya beralih padanya. Namun, langsung terheran saat tidak menemukan tatapan tajam dan ‘jangan ikut campur’ bosnya. Zaffya malah menatapnya dengan ekspresi asing yang belum pernah dilihat oleh Satya.

“Kenapa? Apa kau akan mengadu pada mamaku?”

Satya menggeleng dengan keras. “Bukan saya yang memberitahu nyonya Farick tentang Anda.”

“Aku tahu,” gumam Zaffya. Mamanya memang punya koneksi tersendiri tentang kehidupan pribadinya. Salah satu alasan kenapa ia memilih tinggal di apartemen daripada di rumah kedua orang tuanya.

“Sepertinya, saya pernah melihat pria itu?” Satya berusaha mengingat.

“Kalian belum pernah bertemu. Tidak mungkin kau mengenalnya.”

Satya termangu. Kali ini bukan mengingat tentang siapa pria asing yang tampak begitu mesra dengan bosnya. Melainkan karena ucapan Zaffya yang lembut dan … terdengar asing di telinganya. Bahkan ada senyum tipis yang sama asing dan anehnya di wajah Zaffya.

Pintu kembali terbuka. Senyum tipis di wajah Zaffya seketika lenyap melihat Dewa berjalan masuk dengan raut yang menegang dan memerah menahan amarah.

Satya bergegas keluar dengan isyarat yang diberikan oleh Zaffya. Sepertinya ia memang harus keluar jika tidak ingin terjebak dengan pertumpahan darah mereka.

“Jadi ini alasanmu memutuskan pertunangan kita?” Pertanyaan Dewa terdengar begitu dingin dan penuh luka. Di saat Richard menghilang dari kehidupan Zaffya saja ia tak bisa mengisi kekosongan hati Zaffya, bagaimana jika pria itu kini datang dan merebut posisi yang selama delapan tahun ini ia pertahankan. Ia merasa seperti kalah bahkan sebelum memegang pedangnya.

“Apa kau ingin aku meminta maaf untuk ini?” tanya Zaffya datar. Pengaruh ciuman Richard beberapa saat lalu masih terngiang. Bahkan bibirnya yang merekah masih merasakan kelembutan di sana saat ini. “Meskipun semua bukan seperti yang kau pikirkan,” imbuhnya.

“Kau ingin aku percaya?”

Zaffya terdiam. Mengamati rasa sakit di manik Dewa yang tampak begitu jelas. Sungguh, ia akan meminta maaf untuk rasa sakit yang ia berikan pada Dewa, setidaknya untuk waktu yang mereka habiskan dalam kesepakatan pertunangan dan usaha untuk melupakan Richard. Akan tetapi, jika hal itu membuat Dewa semakin menginginkannya, tentu bukan ide yang bagus.

Dewa tertawa hambar. “Sungguh ini kebetulan yang sangat langka. Saat kau memutuskan pertunangan kita, Richard kembali.”

“Itu yang kukatakan pada diriku sendiri. Baru saja.”

Wajah Dewa membeku. Takdir? Itu satu-satunya hal yang tidak ingin ia percayai saat ini. Bagaimana takdir sebegitu mudahnya mempermainkan dirinya dalam sekali sentakan. Delapan tahun bukan waktu yang sebentar, dan tidak sedikit usaha yang ia kerahkan untuk mendapatkan hati Zaffya. Setiap usaha selalu ia berikan tanpa main-main dan bersungguh-sungguh. Kemudian, setelah semua itu, apakah ia harus menyerah dengan takdir yang tiba-tiba membentang di antara mereka. Seolah dari awal memang sudah memperingatkan dirinya, bahwa Zaffya bukan untuk dirinya.

Sesaat, Dewa merasa telah mengabaikan hal itu dari awal. Tetapi, seolah dirinya menutup mata. Berharap, mungkin saja suatu saat Zaffya akan membuka diri untuknya. Seperti ia pernah mencoba perasaan cintanya pada Zaffya, ia mengabaikan bahwa hati Zaffya memang sudah sebeku itu untuk Richard. Tak mungkin baginya untuk mencairkan es tersebut.

“Setelah semua ini, bagaimana bisa kau menyingkirkanku begitu saja?” Ada tangisan dalam suara Dewa, tapi ia berjuang agar matanya tak sampai basah.

“Kau juga tahu apa yang kualami selama ini, bukan? Apa kau pikir semua ini juga mudah bagiku?”

“Kau tak pernah mencoba untukku.”

“Lalu dengan kembali bersamamu, apa kaupikir itu solusi terbaik untuk kita berdua?”

“Dan solusi terbaik bagimu adalah kembali padanya?”

Pundak Zaffya terjatuh ke kepala ranjang. Kembali pada Richard? Zaffya tak pernah berpikir sejauh itu.

Setelah ciuman itu?! dengkus batin Zaffya. Okey, ia mungkin hanya terbawa suasana. Ia begitu merindukan Richard dan tiba-tiba pria itu muncul mengisi kekosongan dalam hatinya. Tentu ia tak akan menolak seseorang yang menyodorkan segelas air di saat ia hampir mati karena kehausan, bukan.

“Berpikirlah sesukamu, Dewa. Aku tak akan menjawab apa pun,” kata Zaffya akhirnya.

Dewa mendesah dengan lemah. Ia juga tak akan mengatakan apa pun. Zaffya selalu membiarkannya memperlakukan wanita itu sesukanya dan berpikir tentang wanita itu sesukanya. Namun, satu hal yang tak bisa ia lakukan sesuka hati pada Zaffya. Hati wanita itu, Dewa tak memiliki hak untuk mengisi hati Zaffya sesuka hatinya.

 

****

 

“Apa yang Dewa katakan?” tanya Ryffa begitu ia dan Vynno masuk dan melihat Dewa keluar dari ruang rawat Zaffya.

“Apa dia menyuruhmu tes ….” Vynno berhenti tapi bibirnya tetap bergerak melanjutkan kalimatnya.

“Sshhh ….” Ryffa mendesah gusar dan melemparkan tatapan memperingatkan pada Vynno. Lalu, beralih menatap Zaffya yang diam tak menjawab.

“Apa dia curiga?” tanya Ryffa lagi, sambil duduk di sisi ranjang.

“Sekarang atau besok dia akan tetap tahu, bukan?”

Ryffa mengangguk. Kemudian menggeser tubuh Zaffya lebih ke pinggir sebelum berbaring di sisi lain ranjang.

“Apa seperti ini caramu memperlakukan pasien?!” protes Zaffya. Ia bisa jatuh dari ranjang jika tidak ada nakas yang menahan di sisi kiri tubuhnya.

“Kau hanya stress dan anemia. Istirahat di sofa tak akan menambah bebanmu. Kau tahu aku tidak bisa tidur jika bukan di ranjang, bukan?”

Zaffya memukul punggung Ryffa keras, tapi tetap turun dari ranjang dengan hati-hati. “Kau bisa beristirahat di ruanganmu.”

“Aku tidak bisa tidur dengan tenang karenamu, Zaf.” Mata Ryffa terpejam dan meletakkan lengan untuk menutupi.

“Dan sekarang kau bisa beristirahat? Setelah melihatku baik-baik saja?”

“Hmm, kau bahkan bisa tidur di lantai setelah racun sialan itu mulai merasuki otakmu tanpa aku merebut ranjangmu.”

Zaffya menggeleng tak peduli. Sekalipun Richard menciumnya tiga atau lima kali, ia tak sebodoh itu untuk tidur di lantai.

“Jangan lepaskan infusmu,” Ryffa mengingatkan saat Zaffya berusaha meneliti sesuatu di pergelangan tangannya. Dengan kesal wanita itu pun berjalan menuju dua sofa di sudut. Melihat Vynno yang sudah bersiap berbaring di sofa terpanjang.

“Apa kau juga ingin tidur?”

“Yeahh.” Vynno menguap. “Apa kau tahu sebanyak apa berkas yang harus kuurus tadi malam?” Vynno mulai berbaring dan mencari posisi ternyaman untuk tidur.

“Kau pasti tak ingin tahu berkas yang ada di kantorku.”

“Aku tahu.”

Zaffya diam. Berdiri menjulang di depan Vynno dengan kedua tangan terlipat di dada.

“Apa?!” tanya Vynno mulai gusar dengan tatapan menelisik Zaffya, lalu menunjuk sofa satunya yang kosong.

Zaffya tetap bergeming di tempatnya. Sahabat sialan! Bagaimana mereka memperlakukan sahabat yang sedang sakit seperti ini?

“Punggungku sakit,” keluh Vynno.

“Apa kau lebih memilih punggungmu nyaman sebagai pengangguran?”

Vynno bangkit, tanpa kata.

“Dan tolong cari tahu di mana Richard tinggal.”

“Zaaffff!!” rengek Vynno.

“Aku meminta tolong.” Zaffya mulai berbaring.

Arrggghhhh

 

****

2 Komentar

  1. Milea A734 menulis:

    Hati yg sekeras batu
    Dan sulit untuk retak
    Good job ??

  2. Semoga melunak