Vitamins Blog

Take Heart 5

Bookmark
Please login to bookmarkClose

No account yet? Register

 

“Apa yang terjadi?” Vynno bertanya langsung pada perawat yang sedang sibuk memasang jarum infus di lengan Zaffya. Wanita itu tak sadarkan diri dan wajahnya terlihat pucat. Sudah tentu karena terlalu banyak hal yang harus dipikirkan Zaffya, dan Zaffya pasti melakukan segala hal untuk diurus demi mengalihkan isi kepala yang saling berkerumun memenuhi otak wanita itu.

Apakah jika ia memberitahu Zaffya tentang Richard, Zaffya akan berhenti menyiksa dirinya sendiri? Ia tahu, mungkin ribuan kali. Zaffya berpikir untuk mencari tahu keberadaan Richard. Tetapi, Zaffya selalu dikalahkkan dengan prasangka yang teramat besar dan membuat kepercayaan diri seorang Luisana Zaffya Casavega Farick runtuh. Dampak Richard memang selalu sebesar itu untuk Zaffya. Begitupun dengan penderitaan yang akan Zaffya dapatkan jika berhubungan kembali dengan Richard.

“Sekretaris nona Zaffya menemukannya pingsan di kamar mandi setelah isi perutnya habis terkuras.”

Vynno mengernyit. “Di mana sekretarisnya?”

Tepat saat Vynno menyelesaikan pertanyaannya, pintu ruang rawat tersebut terbuka dan Satya muncul.

“Apa kau tahu apa yang terjadi dengannya sebelum pingsan?”

Satya melangkah mendekat sambil mengangguk. “Beberapa kali nona Zaffya mual dan muntah. Terkadang juga mengeluh pusing. Selera makannya juga berkurang dan sering terlihat letih dan lesu. Saya juga meminta untuk segera ke rumah sakit, tapi …. ”

“Aku tahu.” Zaffya memang sekeraskepala itu. Kemudian kerutan di kening Vynno muncul semakin dalam ketika meresapi setiap kata yang diucapkan Satya. Prasangka itu muncul, membuatnya menyeringai dengan puas. Ini semakin terlihat menarik untuk disaksikan. “Mungkin kita butuh pemeriksaan USG,” kata Vynno pada perawat.

Satya hanya diam. Melirik bergantian pada Vynno dan Zaffya yang tengah berbaring tak sadarkan diri. Jarum infus sudah terpasang.

 

 

****

 

“Kenapa aku harus USG?”

“Zaf, apa kau melupakan periode bulananmu?” Vynno nampak begitu antusias.

Zaffya mengangkat kedua tangannya. Tak mengerti apa tujuan Vynno menanyakan hal semacam itu. “Dan sejak kapan urusan periode bulananku membuatmu begitu tertarik?”

“Kau mual dan muntah sampai pingsan di kamar mandi.”

“Aku hanya beberapa kali mengabaikan jadwal makanku.”

“Ya.” Vynno mengangguk. “Itu karena kau tak berselera makan. Nafsu makanmu juga berkurang.”

“Aku memang tak berselera makan akhir-akhir ini.”

“Itu dia.” Vynno menunjuk Zaffya dengan girang.

Mata Zaffya terpicing, penuh kecurigaan saat mengamati ekspresi ceria Vynno. “Apa yang kaupikirkan?”

“Mungkin saja kau ….”

“Hamil?”

Vynno mengangguk satu kali dan mendapatkan satu pukulan mendarat di kepalanya dengan keras. Ia mengaduh sambil menggosok-nggosok kepala sebelah kirinya. “Auuwww, sakit, Zaf!”

“Proses pengeluaran racun di otakmu memang perlu sedikit pengorbanan lebih dulu.”

“Kenapa? Apakah aku salah?!”

Zaffya mengangkat tangan, menyuruh perawat melepaskan jarum infusnya dengan isyarat.

Vynno membelalak. “Mau ke mana kau?”

Tatapan Zaffya menajam ketika perawat yang berdiri di belakang Vynno tak juga segera melakukan perintahnya. Berdiri kikuk di belakang sepupunya.

“Zaf, kau tak boleh pergi ke mana pun. Kau tidak boleh terlalu lelah. Nanti kandunganmu …. “

“Apa kau masih berpikir kalau aku hamil?”

“Kita harus memastikannya. Aku akan menyuruh dokter kandungan untuk memeriksamu.” Ada seringai licik yang tersamar di sudut bibir Vynno. Richard mungkin masih ada di sekitar rumah sakit.

Zaffya mendesah keras. “Bagaimana aku bisa hamil, jika aku masih perawan?”

Vynno tercengang. Bola matanya semakin melebar dan hampir keluar. Lalu, ia tertawa terbahak sambil berkata, “Tidak mungkin.”

“Apa untungnya bagiku kalau kau tak percaya,” jawab Zaffya tak peduli. Lalu, pandangannya beralih ke arah perawat.

“Delapan tahun, kau bertunangan dengan Dewa?” Vynno mulai mengoceh. Kedelapan jarinya ditunjukkan ke wajah Zaffya. “Pasti kau bercanda.” Vynno tertawa lagi. “Apa kau tidak pernah tidur dengan Dewa?”

“Apa kauingin kupecat?!” Zaffya mulai tak sabar dengan perawat itu.

Perawat itu tersentak dan segera mendekat ke ranjang. Memegang lengan Zaffya dengan tangan yang bergetar.

“Apa kauingin membunuhku?!” Zaffya semakin kesal. Bersamaan pintu ruang rawatnya terbuka dan muncul Ryffa.

“Fa, apa kau percaya kalau Zaffya dan Dewa tidak pernah tidur bersama?” Vynno langsung mencecar Ryffa bahkan sebelum pria itu menutup pintu kembali.

Ryffa hanya mengangkat bahunya sambil lalu.

“Wanita sepertinya?” Vynno menunjuk Zaffya dan si perawat yang mulai melepas jarum di pergelangan tangan. “Kau tidak mungkin menyimpan keperawananmu hanya untuk suamimu, kan?”

“Hanya karena begitu banyak wanita yang rela kau tiduri dan tidak kaunikahi, bukan berarti kau harus memercayai bahwa semua wanita seperti itu, kan?” komentar Ryffa.

“Tapi ini Zaffya, Fa.”

“Kau tidak bisa memukul rata semua wanita seperti wanita yang kautiduri, kan?” Ryffa berjalan mendekat ke ranjang dengan Vynno yang masih mengekor meminta dukungan. “Hasil tesmu sudah keluar.” Ryffa meletakkan berkas bermap biru tua ke nakas.

“Apa hasilnya?” Vynno memotong kalimat Ryffa. “Dia harus menjalani tes USG, kan?”

“Mungkin kau bisa melakukannya pada wanita-wanitamu, Vyn. Mungkin saja di sana bertebaran keturunan Kaheza,” jawab Zaffya.

“CTmu normal. Kau hanya mengalami anemia. Kondisi umum karena kelelahan dan stres. Kau harus istirahat, Zaf.” Ryffa mencegah Zaffya yang hendak turun dari ranjang.

“Hanya stress. Aku punya kehidupan yang menyibukkan, dan tumpukan itu akan membuatku semakin stress jika tidak segera kutangani.”

“Menginap dua hari di rumah sakit tidak akan membuat perusahaanmu bangkrut.”

Zaffya bersandar di kepala kasur, hembusan napas keras melewati kedua bibirnya yang sedikit terbuka. Tidak melakukan apa pun kecuali berbaring di  ranjang adalah mimpi buruk kedua bagi Zaffya. “Apa kauingin membuatku mati bosan dengan menunggu?”

“Terlampau stress akan membuat amarahmu semakin tak terkendali,” kata Ryffa. Kembali menahan Zaffya yang akan turun dari ranjang.

“Aku akan ke kamar mandi.” Zaffya menepis tangan Ryffa.

Vynno mendekat dengan ekspresi yang mulai terlihat tenang. “Apa kau perlu bantuan?”

“Mungkin kau yang butuh menghirup udara segar untuk membersihkan asap hitam di kepalamu.” Zaffya turun dari ranjang dan berjalan perlahan menuju pintu kamar mandi.

“Dia pasti hamil dan ingin menyembunyikan kehamilannya dari Dewa,” bisik Vynno pada Ryffa.

Ryffa menggeleng-gelengkan kepalanya dan berbaring di ranjang. “Kau harus menambah tenaga di bagian jantung, Vyn. Juga, apa kautahu semalam keadaan benar-benar kacau karena kekurangan orang di bagian IGD?”

“Aku akan memberitahu Dewa tentang ini.”

“Pergilah.” Ryffa berbaring miring memunggungi Vynno yang masih sibuk dengan jalan hidup Zaffya di kepala pria itu. “Mungkin besok kau hanya akan kehilangan pekerjaan nyamanmu dan menjadi sopir pribadi Zaffya.”

Vynno menggeram.

Ryffa terkikik. “Tidak masuk akal, tapi kedengarannya cukup menghibur.”

“Sialan, kau!” Vynno menendang kaki ranjang saat tawa Ryffa semakin nyaring, lalu berbalik dan berjalan keluar.

Vynno berhenti, ketika mendorong pintu ruang rawat Zaffya dan menemukan sosok yang lebih tinggi berdiri di depannya. Wajahnya seketika mengeras dan berubah dingin.

“Apa yang kaulakukan di sini, Richard?” desisnya.

 

 

****

 

“Sekarang bukan saat yang tepat untuk kalian bertemu?” Vynno menghadang Richard di depan pintu.

“Kita akan melihatnya setelah ini.” Dengan tekad kuat di manik Richard, ia mendorong tubuh Vynno minggir.

Vynno mendesah kecil. Entah apakah yang ia lakukan ini benar atau tidak untuk kebahagiaan Zaffya. Kehadiran Richard hanya berarti dua hal untuk Zaffya. Kebahagiaan serta penderitaan untuk wanita itu. Ia tak yakin dengan kebahagiaan yang akan diberikan Richard, terlalu banyak orang yang akan mencerca mereka. Keluarga Zaffya dan Dewa. Kebahagiaan mereka pasti membutuhkan penderitaan yang sangat besar.

“Ryffa, resepkan obat untuk menghilangkan pusingku. Aku harus kembali ke mejaku dan meme … “ Zaffya berhenti di depan pintu kamar mandi. Wajah dan seluruh tubuhnya membeku melihat sosok yang masuk ke dalam ruang perawatannya. Zaffya menggeleng, ini hanya halusinasinya saja, tapi bahkan ia tak sanggup untuk memalingkan wajah ke mana pun hanya untuk membuktikan bahwa penglihatannya itu tidaklah benar. Mungkin pengaruh stress yang berlebihan bisa membuat seseorang berhalusinasi. Namun, ini bukan halusinasinya saja. Ia bisa merasakan kesiap terkejut dari arah ranjang. Ryffa juga melihat dan sama terkejutnya seperti dirinya. Sosok itu nyata. Berdiri di sana dengan pandangan yang sulit Zaffya artikan.

Wajahnya masih sangat tampan, bahkan lebih. Mata coklatnya juga masih sama tajam dan menariknya seperti magnet dan tak sanggup bagi Zaffya untuk mengalihkan pandangan sedikit pun. Seperti yang sudah sudah. Tinggi badannya juga  naik beberapa senti. Minimal dua puluh senti. Jauh lebih tinggi dari Ryffa dan Vynno. Bentuk tubuhnya juga bagus. Tentu tak pernah melewatkan waktu berolahraga. Lari pagi ataupun pergi ke gym. Dan … baju yang dikenakan. Apakah dia sudah mencapai cita-citanya untuk jadi seorang dokter? Dengan hatinya yang seputih salju, pria itu pasti akan menjadi dokter yang sangat baik dan disukai banyak pasien. Terutama pasien wanita. Mendadak rasa dicubit menyentil hati Zaffya dengan banyaknya pasien cewek yang bbersikap centil pada pria itu.

Zaffya tercengang, termangu, terpaku atau apa pun itu namanya ketika seseorang hanya terdiam dan tak mampu berkata-kata dengan apa yang ada di hadapannya karena begitu terkejut. Tak mampu menanggulangi keterkejutannya dan hanya membeku seperti orang bodoh.

Oh, ayolah. Otak Zaffya terlalu encer. Menghapal rumus yang begitu rumit hanya sekali lihat dan kedua kali ia menyelesaikannya di luar kepala. Otaknya terlahir sesempurna fisik yang ia miliki. Sayangnya, kesempurnaan memang hanya milik Tuhan. Ia terlalu lemah dan tak berdaya jika itu berhubungan dengan sosok pria yang berdiri di hadapannya saat ini.

Masih ada pancaran cinta untuknya di sinar mata itu. Masih ada kelembutan dan kehangatan yang menjanjikan jika lengan itu merengkuh tubuhnya yang kesepian dan mendamba. Sebesar itulah pengaruh pria itu untuknya. Sejak pertama kali ia bertemu sampai detik ini, pengaruh pria itu tak pernah berubah untuknya.

Ryffa bangkit. Mengikuti arah pandangan Zaffya untuk mencari tahu apa yang membuat wanita itu begitu tercengang.

Getaran ringan dalam genggaman Zaffya membuatnya tersadar. Sepertinya sejak tadi dengan desahan lega dari seberang sana yang masuk ke telinganya. Ini pertemuan pertama mereka dan Zaffya dibuat linglung dan kelabakan dua kali. Sebelumnya, ia selalu menjawab panggilan di deringan pertama, kecuali jika ponselnya memang tak ada di sekitar.

“Apa?!”

“ …. “

“Di mana?”

Zaffya mengakhiri panggilan dan berjalan mendekat ke arah Richard. Berjuang mengabaikan getaran saat kulit mereka saling bersentuhan. Zaffya menarik lengan Richard, membawa pria itu ke pintu kamar mandi dan tepat pintu kamar mandi tertutup, pintu ruang rawatnya terbuka.

“Zaf, apa yang kau ….” Ryffa belum sempat menyelesaikan pertanyaannya, bersamaan pintu ruang rawat itu terbuka. Muncul Nadia Farick dan sosok lain yang mengekor di belakang. Lalu, Satya dan Vynno di belakang kedua sosok itu menatap mereka berdua dengan raut panik.

“Kenapa tidak ada yang mengabari Mama kalau kau di rumah sakit?” Nadia Farick menatap ranjang dengan heran saat menemukan bukan putrinya yang tengah berbaring di ranjang pasien.

Ryffa segera turun dari ranjang, bergerak senormal mungkin menggantikan Zaffya berdiri di depan pintu kamar mandi saat wanita itu berjalan menuju ranjang dan berbaring di sana. Mencari posisi sedekat mungkin dengan kamar mandi jika ada sesuatu yang terjadi di luar perkiraan mereka. Semua orang punya kebutuhan ke kamar mandi tanpa tahu waktu dan tempatyang tepat, bukan?

“Hanya stress biasa dan kelelahan. Mama tahu kesibukanku, kan?” jawab Zaffya dengan sekenanya. “Mama tak perlu terlihat sepanik itu.”

“Kau pingsan di kamar mandi dan tak sadarkan diri selama empat belas jam.”

“Sebenarnya hanya tidur nyenyak,” gumam Zaffya.

Nadia Farick mengernyit, tatapan tajamnya beralih menatap Satya yang langsung mengkerut. “Seharusnya aku orang pertama yang tahu tentang ini.”

“Itu bukan salahnya,” Zaffya membela. Satya lebih bisa dipercaya dibandingkan semua orang yang mengelilinginya. Setidaknya, pria itu tidak suka menjilat dan satu-satunya orang yang bisa bertahan dengan semua kegilaannya selama ini.

Nadia Farick menoleh dan mendekat ke arah ranjang. “Kau memang butuh seseorang untuk meringankan pekerjaanmu, Zaf,” gerutunya sambil membantu Zaffya menaikkan selimutnya hingga ke pinggang.

Zaffya mengabaikan. “Jadi, apa yang Mama inginkan?”

Nadia Farick membeku sesaat dan tersenyum getir di detik berikutnya. “Mama bertemu Dewa di lobi rumah sakit dan bertemu Satya di lift. Sungguh kebetulan.”

“Aku baik-baik saja. Satya menjagaku dengan sangat baik, tak ada yang perlu Mama khawatirkan.”

Nadia Farick kembali diam. Mengamati keengganan di wajah putrinya. “Mama akan keluar, setidaknya kau harus bicara dengan Dewa, dia sudah menyempatkan waktunya untuk menemuimu.”

Zaffya tak menjawab. Kemudian menatap wajah Dewa dan menolak, “Tidak ada yang perlu kami bicarakan selain urusan bisnis, dan sekarang bukan waktu yang tepat untuk membicarakan bisnis.”

“Mama tidak akan keluar sebelum kalian bicara,” ancam Nadia Farick pelan tanpa membuka mulutnya.

Zaffya bernapas dengan berat, tahu perdebatanannya dengan sang Mama tak akan berhenti di sini. “Baiklah, Mama bisa keluar sekarang.”

Nadia Farick mengangguk. Menatap Ryffa yang masih tak bergerak sedikit pun dari tempatnya.

“Auww,” Ryffa meringis dan membungkuk memegang perutnya. “Perutku sakit. Bolehkah aku meminjam kamar mandimu?”

Nadia Farick berbalik ketika Ryffa menghilang, tersenyum lembut pada Dewa dan berkata, “Tante keluar dulu.”

Dewa mengangguk. Nadia Farick keluar diikuti Satya. Lalu, menatap pintu kamar mandi sekilas sebelum beralih pada Zaffya. Wanita itu tampak pucat tapi masih terlalu cantik untuk ukuran seorang wanita tanpa alas bedak. Matanya juga masih setajam dan sedingin seperti biasa. Dengan langkah perlahan, ia mendekat ke arah ranjang, meletakkan bucket bunga yang dibawanya di nakas meskipun tahu bunga itu tak berarti apa-apa untuk Zaffya, selain karena wanita itu memang tak pernah menyukai bunga apa pun yang pernah ia beri.

 

1 Komentar

  1. Amazing