Jantung Rei berdegub kencang setelah mendengar pernyataan dari salah satu pengawal kediamannya. Anna tumbang akibat berduel dengan Jenderal. Apa seseorang sedang melucu? Baru beberapa hari ia meninggalkan Anna sendiri dan kini ada kabar bahwa sahabatnya tumbang? Jenderal tidak akan mungkin membuat putrinya terbunuh, bukan?
Tidak. Tetapi itu mungkin terjadi bila lawannya Brane.
Hati bedebah menyeramkan itu cukup dingin untuk mampu membunuh adiknya sendiri. Jika bukan karena Chero dan Arwen yang sangat terobsesi dengan Anna, sudah pasti Rei akan membawa Anna kabur dari keluarga paling kuat nomor dua di Dienvidos. Lagi pula apa yang Anna pikirkan ketika ia berduel dengan Jenderal? Musang kecil itu memang benar-benar punya keinginan untuk mati.
Setelah ribuan langkah akhirnya Rei tiba di pusat pengobatan istana. Ia tidak begitu suka ke tempat semacam pusat pengobatan. Selain karena hiruk pikuk yang membuatnya sakit kepala, bau obat-obat herbal juga bukan hal favoritnya. Sama persis seperti barak balatentara, hanya saja bebauan di sana jelas lebih buruk dibanding pusat pengobatan. Ia sudah hampir membuka pintu ketika pintu tersebut tiba-tiba dibuka dari arah berlawanan. Dan sosok di balik itu bukanlah sosok yang saat ini ingin Rei temui.
“Tuan Solas.” Sapa suara feminin di hadapan Rei.
Menyadari sikapnya yang tak sopan terlebih lagi ia menghalangi jalan wanita paling penting di kerajaan, Rei segera membungkuk maaf dan kembali menyapa. “Yang Mulia,”
Zietha terlihat kikuk dan Rei tidak menyalahkan itu. Ia yakin dirinya tak kalah kikuk dengan sang Putri.
“Apa kau hendak mengunjungi Anna?” Tanya Zietha.
“Betul, Yang Mulia.” Balas Rei singkat. Sejujurnya Rei tidak tahu harus membalas apa lagi. Saat ini ia bahkan lebih memilih meilhat ujung sepatunya dibanding wajah cantik Zietha.
“Anna belum sadarkan diri, tetapi kuyakin ia akan tetap merasakan kehadiranmu.”
“Terima kasih, Zee.” Ucap Rei spontan. “M-maksudku, Yang Mulia.” Ralatnya malu.
Saat Rei berani menatap Zietha untuk melihat ekspresi gadis itu, Zietha hanya memberikan senyum kecil—begitulah senyum tulus Zee—pada Rei. Dan tanpa berkata-kata lagi, Putri Dienvidos akhirnya melangkah pergi bersama dua pendamping wanitanya.
Melihat kepergian Zee, Rei kembali mebayangkan bagaimana jika ia tidak pergi ke Alnord. Akan kah dirinya kini bertunangan dengan Zee? Rei menghela napas panjang. Terlalu banyak ‘bagaimana jika’ dalam hubungannya dengan Zee. Saat ini bukan itu yang perlu ia pikirkan.
Rei meneruskan langkahnya memasuki pusat pengobatan menuju ruangan tempat Anna mendapatkan perawatan. Sesampainya di sana, hanya ada Chero dan asistennya yang sedang mengerjakan sesuatu pada Anna. Astaga, melihat kondisi sahabatnya dari jarak sejauh ini pun sungguh membuat benaknya tak enak.
Lalu Rei tak mampu menahan kesiapnya kala melihat apa yang telah Jenderal Reese lakukan pada putrinya. Rei perlahan mendekat untuk memastikan. Tidak, ini bukan khayalannya saja. Kepala Keluarga Reese benar-benar memapras hampir keseluruhan rambut panjang Anna. Dan itu sama sekali bukan tindakan yang bijak.
Tidak ada perempuan di Halstead yang tidak memiliki rambut panjang. Pengecualian untuk perempuan balita. Tetapi perempuan dewasa semacam Anna? Itu penghinaan. Hanya budak perempuan yang tidak memiliki rambut panjang. Hal itu dilakukan untuk membedakan status mereka. Anna memang pernah memiliki masa di mana ia tak memiliki rambut panjang. Namun, itu kesepakatan yang Anna buat kepada banyak pihak sebelum akhirnya ia memutuskan untuk berpenampilan layaknya wanita bangsawan pada umumnya.
Dienvidos memang telah meniadakan perbudakan, namun bukan berarti budak benar-benar sudah tidak ada di kerajaan selatan ini. Beberapa bangsawan yang hidup jauh dari istana beberapa kali diketahui menyembunyikan budak. Dan mereka menyembunyikannya dengan tidak membedakan penampilan budak dengan rakyat kelas bawah. Akan tetapi para pasukan pengawal selalu berusaha untuk mengurangi kejadian-kejadian seperti itu.
Lalu apa yang akan terjadi pada Anna? Rei berpikir keras. Masyarakat akan memandang rendah Anna sekalipun Anna berpenampilan layaknya putri bangsawan. Terlalu pendek. Jika lebih panjang sedikit mungkin Anna akan lebih dapat pemahaman. Rei memejamkan mata, mengumpat dalam hati tentang bagaimana teganya Jenderal Reese pada Anna.
“Rei? Aku tak mendengar kedatanganmu.” Ucapan Chero membuat Rei mengalihkan rasa kesalnya.
“Kau terlihat sibuk. Aku pun tak akan tahu seekor gajah bisa tiba-tiba masuk jika aku sesibuk dirimu.” Balas Rei penuh jenaka. Benar, Chero tidak butuh ungkapan kekesalannya saat ini. Raut lelah dan putus asanya menunjukkan bahwa tabib kerajaan tersebut sudah merasa cukup. Rei harus tetap menjadi sosok lucu yang semua orang ketahui.
“Bagaimana keadaanya?” Tanya Rei pelan.
Chero menghela napas sebelum akhirnya menjawab dengan pahit, “Ia sempat kejang sebelumnya, namun saat ini sudah baik-baik saja. Penyebabnya bisa jadi dari obat yang mungkin terlalu keras bagi tubuhnya.” Chero mengernyit. “Aku tak tahu apa lagi yang harus kulakukan.” Sambungnya serak.
“Berhentilah memaksakan diri, kau sudah melakukan yang terbaik, Chero. Anna beruntung memilikimu.” Balas Rei penuh pengertian. “Kau butuh istirahat juga, aku yang akan menjaga Anna.”
“Tapi—”
“Aku tahu. Aku akan segera memanggilmu jika terjadi sesuatu pada Anna.” Dengan sedikit paksaan Rei mendorong Chero ke arah pintu. “Kau perlu sedikit bersantai, kau punya banyak asisten cantik di tempat ini.” Lanjutnya sambil mengedipkan sebelah mata.
Chero membersut pada komentar Rei satu itu yang hanya bisa ia balas dengan ringisan. Kenapa? Ia hanya berusaha mencairkan kesuraman di ruangan ini. Anna tidak akan bisa sadar dari kondisi mengenaskannya saat ini jika ruangan tempatnya beristirahat terus menerus dihantui perasaan suram.
Kemudian Rei mengambil posisi yang sebelumnya telah ditempati oleh Chero entah untuk berapa lama dan mengembuskan napas gemetar. Tidak, ia tidak boleh menangis. Karena sudah jelas ia tidak ingin menjadi bahan cemooh Anna jika gadis itu tiba-tiba terbangun dan melihat air matanya. Ya, Anna tidak pantas mendapatkan air mata Rei.
“Baiklah, kini hanya tersisa kau dan aku, Musang Kecil.” Ujar Rei riang.
Yang Anna butuhkan dan layak dapatkan adalah kebahagiaan.
***
“Valos tidak boleh tahu terkait kabar ini.”
Masih terpaku pada dokumen yang dibacanya, Javias menelengkan kepala mendegar ucapan Brane. “Kabar tentang apa?” sahut Javias tanpa mengalihkan pandangan.
Tidak, ia tidak bisa menatap Brane. Kalimat sinis Chero masih berputar di kepalanya hingga ia tak dapat berfokus pada apapun—bahkan pada dokumen yang sedang ia pandangi saat ini.
Anna memberikanmu kesempatan untuk hidup bersama orang yang kau cinta.
Benar begitu? Bukankah tindakan Anna yang semena-mena dilakukannya hingga saat ini hanya untuk keegoisan gadis itu saja? Anna menolak menikah dengannya bukan karena alasan mulia seperti yang Chero bilang. Wanita itu menolaknya semata-mata karena keinginan utamanya untuk membalas dendam. Ataukah ada alasan lain? Jika ada, Javias penasaran setengah mati untuk mendengarnya.
Mengapa Anna memberikan kesempatan pada hal yang sama sekali tidak dapat diberi kesempatan. Javias bisa menerima jika alasan Anna menolaknya adalah karena ia lebih memilih untuk menikah dengan orang lain, ia benar-benar terima jika itulah alasan Anna melarikan diri dari pernikahan mereka. Tetapi, bukan itu alasan yang Anna berikan. Dan Javias benar-benar tidak butuh alasan yang saat ini Anna berikan padanya.
Di tengah kekacauan yang terjadi di dalam pikirannya, Javias tersentak ketika merasakan sentuhan di dagunya.
“Hey, apa yang kau pikirkan?”
Akhirnya Javias mendongak dan menatap si pemilik jari yang masih setia menyentuh dagunya. Pikirannya kembali berkelana kala menatap mata tegas itu. Anna hanya memberi kesempatan kosong sebab keinginan Javias adalah hal yang mustahil. Javias tidak tahu ekspresi apa yang terpampang di wajahnya, karena setelah beberapa detik kini ia menyadari bahwa Brane menyentuhkan ibu jarinya ke titik di bawah bibirnya.
“Kau benar-benar tidak bisa berhenti melamun sejak tadi.” Suara Brane yang kembali menyapa membuat Javias tersadar dan menepis sentuhan jari-jari pemuda di sisinya.
Mengapa Brane tiba-tiba bersikap aneh?
Javias memang sudah terbiasa dengan Brane yang tidak bersikap formal apabila hanya ada mereka berdua saja. Tetapi Brane tidak pernah melakukan hal seperti ini sebelumnya. Dengan sekuat tenanga Javias mencoba menahan dirinya untuk tidak menyentuh bekas sentuhan Brane. Menyedihkan, pikirnya.
“Kabar tentang apa?” Javias kembali bertanya, memberikan atensi sepenuhnya pada kepala pengawal pribadinya. Mencoba untuk mengalihkan pikiran dengan dokumen di tangannya terasa percuma sekarang.
Brane kembali menegakkan posturnya sebelum akhirnya menjawab, “Tentang Anna.”
Ah, tentang itu. Tanpa perlu bertanya, Javias pun tahu apa maksud Brane. Jika Valos mengetahui kondisi Anna saat ini, bukan tidak mungkin Jenderal Reese akan memiliki kondisi yang serupa dengan Anna akibat balasan dari Valos. Dan hal itu bukan karena Jenderal Reese lebih lemah daripada Valos. Itu hanya karena Jenderal Reese sangat menghormati Valos dan sudah pasti langsung bersedia jika ia harus mendapatkan serangan dari Valos. Apabila Javias sama sekali tidak mengenal Valos, ia mungkin percaya bahwa Valos merupakan seorang raja—dan terkadang ia memang bertingkah seperti itu—dari kerajaan lain.
“Mengapa kau terus melamun?” Lagi-lagi Brane menginterupsi lamunan Javias.
Javias berdeham, mencoba menampik pertanyaan Brane. “Bukan apa-apa,”
Sialnya, jika mereka berhenti bercakap-cakap, pikiran Javias akan kembali bercabang. Dan Javias benar-benar menyalahkan Anna sekaligus Chero yang menyebabkan hal ini terjadi.
Javias telah berusaha. Ia sudah berusaha begitu keras untuk tidak mewujudkan keinginannya. Karena ia bukan sosok biasa. Ia bukanlah sosok yang bisa mementingkan egonya. Keputusannya bukan hanya berimbas pada dirinya seorang, tetapi juga pada mereka yang menaruh harapan besar kepadanya. Rencana pernikahannya dengan Anna tadinya merupakan rencana paling tepat dan menguntungkan semua pihak. Itu akan menjadi tindakan terakhir yang akan mengokohkan dindingnya. Dan setelah menggagalkan rencananya, Anna kemudian meretakkan dindingnya dengan memberikan perkataan yang ia klaim bahwa itu untuk kebaikan Javias sendiri? Seseorang pasti bercanda.
Javias tak sadar bahwa ia menggenggam dokumen di tangannya begitu erat hingga Brane menegurnya. Ia benar-benar tidak bisa fokus terhadap apapun hari ini.
“Ada baiknya kau beristirahat.” Saran Brane.
Kesal dengan segala kerusuhan di dalam kepalanya, Javias membentak, “Kau tidak berada di posisi di mana kau bisa memberikan perintah padaku, Tuan Brane.” Javias bisa melihat Brane sontak mengambil langkah mundur akibat perkataannya.
“Kalau begitu berikan perintah padaku,”
“Apa?” Javias tak mampu menutupi keterkejutannya mendengar sahutan Brane. Apa Brane bercanda?
Melihat humor yang jelas muncul di iris gelap Brane membuat Javias menggeleng dalam hati. Sudah cukup semua gangguan ini. “Aku merasa sedikit sesak. Buka jendelanya dan berjagalah dari sana.” Javias sungguh membutuhkan Brane untuk memberikannya ruang agar Javias dapat berpikir sejenak.
Sayangnya, hal itu merupakan ide buruk. Karena lewat sudut matanya, Javias mampu merasakan wajahnya memanas dibawah tatapan Brane yang tak berhenti memandanginya.
***
Satu hal yang saat ini paling Anna rasakan adalah ia merasa seperti sedang menelan pasir. Kemudian ia merasa seperti ada kuda yang konstan menginjak-injak kepalanya. Dan terakhir, ia mencium bau herbal yang seringkali menempel di tubuh Chero. Kilasan kejadian-kejadian yang Anna alami sebelumnya mulai berdatangan.
Anna tak percaya ia diperlakukan nyaris seperti budak di hadapan kawan-kawan pasukannya. Oleh sang Ayah sendiri.
Anna tak tahu suara apa yang keluar dari bibirnya, namun saat membuka mata ia segera disuguhi oleh pemandangan Chero yang sibuk memberi perintah pada asistennya, dan juga wajah cemberut Rei Solas. Tentu saja bocah Solas itu ada di sini. Yang Anna tidak ketahui adalah mengapa Rei membuat wajah seperti itu. Anna baru saja membuka mulutnya ketika Chero menyela Anna untuk tidak berbicara terlebih dahulu.
“Kau belum boleh bicara sepatah kata pun.” Tegas Chero.
Yah, Chero bisa menyeramkan bika sudah benar-benar marah, dan hal itu adalah hal terakhir yang Anna inginkan saat ini.
“Benar sekali, Musang Kecil. Kau tidak boleh bicara. Maka dari itu biarkan aku yang berbicara.” Ujar Rei menyahut dengan lihai. Dan Anna benar-benar tidak tenang melihat ekspresi yang Rei tunjukkan saat ini. Itu mengingatkan Anna tentang kejadian di ulang tahun Rei yang ke-16.
Rei yang kala itu beranjak enam belas tahun mengungkapkan keinginannya bahwa ia sudah lama ingin memiliki belati yang sama dengan Anna. Singkat cerita, karena Anna tidak memiliki dua belati yang Rei inginkan, maka dari itu Anna harus mencari belati yang sama persis untuk Rei. Anna yang berusia tujuh belas tahun pada saat itu hanya terus menerus mengumpulkan hukuman dari Jenderal, bukan uang. Jadi, solusi atas ketidakmampuannya untuk membelikan Rei hadiah; mencuri. Hanya sebuah belati, bukan hal besar. Saudagar kaya raya—yang kemudian menjadi saudagar malang—suatu hari tiba di Dienvidos, membawa belati dengan mata pisau serupa namun dengan desain yang berbeda. Hal itu bisa terjadi karena kebetulan belati milik Anna juga berasal dari Noarden. Pada akhirnya belati berhasil dicuri dengan tepat, Rei luar biasa senang—semua senang kecuali saudagar malang itu—dan kemudian takdir mengungkapkan bahwa saudagar malang tersebut merupakan relasi bisnis keluarga Rei. Dan saat segalanya kacau, ekspresi Rei saat ini benar-benar sama persis dengan ekspresi Rei tiga tahun lalu.
Di tengah kondisi seperti ini, Anna tidak tahu bahwa ternyata ia masih mampu mengingat hal-hal lucu. Anna menghela napas pelan. Salah satu keuntungan berteman dengan Rei Solas, pikirnya.
“Mengapa kau tak mengatakan apapun padaku? Mengapa harus Chero yang memberitahuku bahwa kesehatanmu sedang tidak baik-baik saja? Apa kau perlu hampir mati terlebih dahulu sebelum akhirnya memberitahuku?” Cecar Rei.
Anna tahu—Anna merasa tidak nyaman—tidurnya selalu tidak nyaman akhir-akhir ini. Sudah cukup buruk ia tidak bisa tidur di malam hari, tidur normalnya pun kini terganggu. Anna seringkali gelisah, seperti tidak ada satu pun tempat yang membuatnya nyaman. Hal itu pula yang membuatnya tak berselera pada apapun. Kecuali urgensinya untuk pergi ke utara.
Anna sangat berharap ia mampu mengatakan itu pada Rei. Tetapi ia tak bisa. Chero melarangnya berbicara, dan Rei terlihat hanya ingin menumpahkan kekesalannya akibat kekhawatiran yang menumpuk. Anna bahkan tak tahu sudah berapa lama ia terbaring di sini. Ia tak tahu sudah berapa lama ia membuat semua orang khawatir—kecuali Jenderal pastinya. Anna tak peduli, lagi pula ia tak perlu mengkhawatirkan—
Sial. Lintah utara.
Ia menyesal tidak membalas ciuman Eric.
Apakah Anna sungguh memikirkan hal itu disaat ia hampir mengetuk pintu akhirat dan pergi dari dunia ini? Ada yang salah dengan dirinya. Tetapi, Anna tak bisa menghilangkan perasaan menganggu di benaknya.
“Sudah berapa lama…” Suara serak Anna tidak berhasil mengeluarkan kalimat utuh. Ia bahkan tak tahu apakah itu suara sungguhan atau bukan.
Chero mengernyit kesal karena Anna lagi-lagi membangkang perintahnya. Namun, Chero tetaplah Chero. Ia tidak akan mungkin menghiraukan Anna. “Lima hari. Kau sudah berada di ruangan ini selama lima hari.”
Lima hari? Anna membeo dalam hati. Aku hanya terluka di beberapa tempat dan semuanya bukan titik vital. Lebam dan sayatan seperti itu tidak akan mungkin mampu membuatku tak sadarkan diri hingga lima hari lamanya. Anna terus berpikir. Kondisi tubuhku akhir-akhir ini memang kurang—Demi Halstead. Anna sontak membelalak. Apakah Anna benar-benar memiliki penyakit serius? Lebih serius daripada gangguan tidurnya?
Seperti mampu membaca pikiran Anna, Chero berkata, “Kurasa kita akan mengetahui jawabannya nanti. Aku masih perlu memeriksamu untuk itu, maka dari itu tugasmu saat ini hanyalah istirahat.”
Anna tidak bisa beristirahat. Ia tak punya waktu untuk itu. Kau sekarat, itulah mengapa aku terus merasa sakit. Benarkah? Jiwanya tengah meregang? Jantung Anna berdegub kencang atas kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi, tentang keputusan yang akan ia ambil.
Bertahanlah.
Anna telah bertahan sejauh ini. Dan ia tak akan mati sia-sia. Ia akan bertemu ayahnya ketika segalanya tuntas, ketika semua darah telah terbayar, ketika janji-janji akhirnya berhenti terucap. Anna akan melakukan itu meski akhirnya ia berhenti meregang nyawa dan pergi selamanya.
Kini Anna harus bisa pergi dari tempat ini dan menemui tiket perjalanan menuju takdirnya. Setelah semuanya siap ia akhirnya bisa beristirahat sejenak. Demi Halstead dan segala kejayaannya, Anna berharap semoga laki-laki itu sungguh menepati janjinya. Karena Anna tak punya harapan lain selain dirinya.
Utara. Pergilah ke utara.
Tak ada yang mampu menolak panggilan takdir.
©️MERITOCRACY, 2022
So? Ada yang bisa nebak siapa suara misterius itu? Hehe see you guys on next chapters🫶🏻
Mini fact: Kerangka naskah Meritocracy awalnya dibuat dengan English Version, maka dari itu untuk nulis dan ngembangin cerita dengan full Indo sedikit lebih banyak memakan waktu bagi aku.
KONTEN PREMIUM PSA
Semua E-book bisa dibaca OFFLINE via Google Playbook juga memiliki tambahan parts bonus khusus yang tidak diterbitkan di web. Support web dan Authors PSA dengan membeli E-book resmi hanya di Google Play. Silakan tap/klik cover E-book di bawah ini.
Download dan install PSA App terbaru di Google PlayFolow instagram PSA di @projectsairaakira
Baca Novel Bagus Gratis Sampai Tamat – Project Sairaakira
Semangat pergi ke Utara
Zaman dulu permasalahan mengenai rambut emang riskan banget yaaa. Penemu rambut palsu, pemutih kulit dan lensa mata mungkin diangfap sebagai utusan tuhan kalik yaaa krn berasa nemu pencerahan dan pemecah masalah.
Makasih untuk update-nya. Ditunggu update terbarunya. Semangaaat!!!
Cerita beda masa yee
Lanjut kakak, semangatt