Perampas Waktu

Perampas Waktu #5 Menunggumu Pulang

Bookmark
Please login to bookmarkClose

No account yet? Register

2 votes, average: 1.00 out of 1 (2 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading... Baca Parts Lainnya Klik Di sini


 

I’m here waiting for you, please come home

Pasti selalu ada tempat untuk hadirmu di rumah hatiku. Sejuta kali embusan napas dan lebih banyak lagi denyut jantung yang kubuang dalam penantian, tetap saja tak ada bedanya. Tempat ini selalu terbuka untukmu.

Kuncinya entah dimana, mungkin terbawa olehmu atau terserak di antara jaring laba-laba tebal yang menggayut semakin berat ketika aku lupa menyingkirkan beban kenangan. Malah sibuk berandai-andai membayangkan kau pulang.

Aku ingin mengusir kenanganmu dari hatiku. Sudah kugenggam tangkai bunga layu yang menebarkan aroma wangimu berpadu sendu. Tapi ternyata, urung aku mencabutnya. Aku tak punya nyali untuk kehilangan semua kenanganmu yang tersisa. Aku tak sampai hati menghapus ingatan tentangmu yang pernah sekali melingkupi kelemahanku. Sudah kubiarkan bunga itu melayu tanpa kusiram, tapi tak juga berani kucabut sampai ke akar.

Masih sering aku mengutuk di belakang punggungmu. Menuangkan sumpah serapah tak berperi. Dari mulut yang otomatis membisu, bila kau tolehkan kepalamu. Aku hanya berani mencaci, di balik bayangan gelap ketika kau memunggungiku. Karena di depanmu aku mati kutu dan lidahku kelu.

Ya, aku memang menyedihkan, entah sudah berapa lama kata itu kusematkan sebagai nama tengahku.

Sudah tentu bukan salahmu jika kau lupa menoleh pulang. Yang sedang kau peluk di sana kutahu lebih memberikan tawa. Salahku sendiri masih enggan beranjak pergi dari kursi ini. Masih menunggu, masih berharap, masih menyematkan asa tentangmu dalam penantian bisu.

Aku ingin berhenti memikirkan senyummu. Aku ingin berhenti membayangkan jemari lentikmu saat memegang cangkir kopi warna kuning yang kuhadiahkan kepadamu. Aku ingin berhenti menghitung kapan kau tanpa sadar mengusap rambutmu, saat sedang gugup ataupun antusias. Aku ingin sekali bisa tidur tanpa sebelumnya menatap ke langit-langit kamar membayangkanmu. Aku ingin sekali bisa lelap tanpa harus menanyakan keberadaanmu, tanpa harus ingin tahu kau sedang apa dan tanpa penasaran malam ini kau habiskan sisa senyummu bersama siapa.

Aku ingin mengusirmu, tetapi bagaimana caranya? Sedangkan setiap hari yang kulakukan adalah menyeret kursi reyot itu ke depan pintu dekat rumah hatiku, mengintip ke jendela dan menunggu tanpa putus asa, berharap kau ingat ada aku menanti di sini, lalu membalikkan langkah untuk menujuku lagi.

Tuhan, kaulah yang paling tahu pilunya hati ini, ketika menatap punggungnya yang menjauh pergi. Masih jelas tercium anyirnya darah di memori waktu itu, menderas dari hatiku yang terbelah dan luka parah. Tuhan, kaulah yang paling tahu betapa tak inginnya aku melepaskan tangan itu, berharap bisa menggengam selamanya sampai habis nyawa terhisap usia.

Ingin sekali kuhancurkan tempat ini. Biar jadi puing sampai ke dasar. Tapi dalam penyangkalan, aku masih ingin menunggumu. Siapa tahu aku masih punya kesempatan menyentuhkan jariku ke lesung pipimu? Lalu tak lupa kan kubisikkan kata cinta berbalur rindu dalam dekap hangat, berbagi tuntaskan malam.

Nanti, di lain waktu, sungguh akan kuratakan tempat ini dengan tanah, baru kubangun kembali dengan memori lainnya yang tak ada kau di dalamnya. Biar kau tak punya tempat pulang, dan aku tak punya alasan lagi untuk menunggumu pulang.

Tapi itu nanti, di lain waktu.

Sekarang aku masih duduk di balik bayang-bayang tirai tipis jendela yang terbuka, menghabiskan hari menatap keluar, menunggumu pulang.

Pintu tempat ini masih tak berkunci, sayang. Semoga saja suatu hari nanti kau ingat pulang, lalu menghambur datang, membuka gerbang.

3 Komentar

  1. Penantian tulus pasti akan dihadiahkan hadiah indah oleh Tuhan, entah itu disatukan dalam kebersamaan atau dipisahkan dan digantikan dgn yg lebih indah

  2. Terus menunggu