Perampas Waktu

Perampas Waktu #8 Lelah

Bookmark
ClosePlease login

No account yet? Register

3 votes, average: 1.00 out of 1 (3 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading... Baca Parts Lainnya Klik Di sini

 


 

Beban jenis apa yang sedang menggayuti hati saya ini, Tuhan?

Kenapa dia begitu berat, memenuhi ruang, mencengkeram jantung dan meremas paru-paru saya, hingga napas saya tersekat lalu menyesak?

Apakah ini kontempelasi dari rasa bersalah yang dicampur rindu dari percikan masa lalu yang tak bisa menguap, meski panasnya sakit hati saya sudah memanggangnya tanpa lekang oleh waktu? Atau jangan-jangan, ini hanyalah wujud dari jasmani yang terpuruk karena terlalu banyak kopi yang digulai butiran sakit hati?

Cairan apa yang mendesak di pelupuk mata saya ini, Tuhan?

Kenapa dia begitu panas, merebak di bola mata, mendesak tak terkendali, seolah ingin meloncat turun, bergulir menerjuni pipi, lalu membasahi?

Apakah ini saripati kepedihan yang terlanjur menorehkan luka bernanah, atau jangan-jangan ini hanyalah protes kelelahan sang netra akibat malam-malam tak tidur yang dipenuhi lamunan mencabik luka hati?

Bagaimana caranya jika saya ingin bilang kalau saya sudah lelah? Dengan cara apalagi saya bisa mengatakan kalau saya sudah ingin menyerah?

Kaki saya terpincang-pincang, melangkah terseok melalui jalur yang saya patahkan sendiri. Jejaknya berhamburan, penuh darah hitam dari luka lalu yang parutnya abadi. Tangan saya bergerak, mencabik-cabik rongga dada yang kosong tanpa isi. Hati saya… dimana hati saya? Saya melongok, menyelisik, mencari-cari sampai lelah, yang terlihat hanya serpihan tak bertuan, hampir-hampir musnah ditelan keputusasaan.

Dulu, ada sosok indah yang mengaitkan kelingkingnya dengan punya saya. Pintu hati saya waktu itu masih terkunci suci, saya jaga sepenuh hati. Tak hilang akal dia mengendap-endap, dimasukinya hati saya lewat jendela yang tak berteralis, menari-nari dia bersenandung menjajah ruangnya. Dihiasnya ruang hati saya dengan kelambu warna pelangi dan seikat bunga harum mewangi. Dia bilang kalau dia akan sering datang, tak akan lupa menengok hati ini. Mana? Tak pernah ada yang datang. Di sana hanya ada kelambu lusuh berdebu dan jaring laba-laba yang berayun sendu.

Senyum palsu saya sudah banyak yang runtuh. Topeng tawa saya sudah banyak yang retak lalu jatuh pecah berderak. Saya kehabisan stok kebahagiaan semu. Dimana saya bisa pesan perlengkapan kemunafikan ini? Saya mau pesan ribuan, biar bisa terus pura-pura bahagia tanpa perlu terlalu banyak menjelaskan.

Hati saya sudah mati, kemampuan saya merasa pun sudah layu dan sekarat. Tubuh ini hanya cangkang kosong, berpura-pura hidup hanya demi membentangkan kabut semu menutupi pandangan mata mereka yang tak tahu apa-apa.

Tuhan, batang pohon harapan saya sudah keropos ditelan jaman. Tunasnya bahkan tak mau bertumbuh, bersikeras sembunyi di bawah tanah, sekuat apapun saya mencoba mendorongnya. Jiwa ini adalah tanah tandus yang pecah merekah, kering disiram racikan panas mentari. Hujan beribu kali pun, tak pernah bisa menyembuhkan retaknya.

Ladang jiwa saya semakin gersang, rusaknya sudah parah, sedikit demi demi sedikit menghitam, dilalap bara, menyerpih jadi abu berdebu. Ruang hati saya lelah menampung kenangan, lunglainya sudah menggigilkan tubuh. Semangat hidup saya telah berpamit pergi, katanya dia sudah tak ingin disini lagi.

Saya adalah manusia yang raganya ingin berlari pergi, menumbuhkan tunas, merentangkan lengan dan menemukan padang subur penuh rumput dan bunga warna merah hati. Tapi jiwa yang sekarat malah menancapkan rantai abadi, membelenggu raga ini, berkedip redup menyambut mati, sambil berbisik membujuk rayu biar raga ikut hilang tanpa arti.

Tidak usah pergi. Berdiam saja di sini, perlahan juga kau ikut mati…”

2 Komentar

  1. Semoga lelah kita menjadi ladang pahala buat kita..aamiin