Perampas Waktu

Perampas waktu #3 Sang Perampas Waktu

Bookmark
ClosePlease login

No account yet? Register

3 votes, average: 1.00 out of 1 (3 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading... Baca Parts Lainnya Klik Di sini

 

Jika kau berdiri di atap gedung tinggi, memandang nanar ke gelap berbintang yang menjadi kubah bumi, mungkin kau akan sadar. Bahwa manusia kadang lupa, kalau waktu yang telah berlalu tidak akan pernah bisa berpulang ke dalam rengkuhan untuk dirasakan lagi, apalagi untuk diperbaiki kembali.

Waktu akan terus berlari maju, tak akan menoleh ke belakang. Meninggalkan jejak berbunga mekar yang sering kita sebut sebagai ‘kenangan indah’, sekaligus menorehkan beberapa goresan pahit yang sering kita sebut sebagai ‘penyesalan’.

Dan kita sebagai manusia, hanya mampu berlari mengejar waktu, sembari memungut serpihan yang dijatuhkannya, lalu memasukkannya ke dalam sebuah kantong lusuh berlubang di sana sini yang sering kita sebut dengan nama ‘kantong memori’.

Sesuatu baru akan terasa begitu berarti, begitu dirindukan dan begitu dihargai, ketika keberadaannya telah tiada. Begitupun yang kurasakan sekarang ketika mataku berlabuh pada putaran jam yang terus melaju. Tergugah sadar, bahwa di detik ini, tepat pada saat ini, aku sudah terlalu lama kehilanganmu.

Kadang kuingin melambatkan langkah, tak ingin lagi mengejar waktu yang semakin lama semakin cepat berlalu. Langkahku gontai, dan hatiku remuk redam, tetap kupaksa memoriku berbalik arah, terseok-seok memutar, menapaki jalan berlawanan dari yang pernah dilalui waktu.

Aku ingin tenggelam saja di masa lalu, memperlebar jarak dengan waktu yang tak mau menunggu. Aku ingin memenuhi kantong memoriku dengan kenangan indah tentang kamu. Karena itu kupaksa diri menyusuri jalan ini, mencoba memungut sedikit yang tersisa dari kisah kita.

Tapi di masa lalu, ternyata hanya ada serpihan penyesalan yang berserakan sepanjang jalan. Semua terlalu berkarat untuk dipungut kembali, terlalu rusak untuk coba diperbaiki lagi. Lama-lama aku jadi sadar, bahwa aku sedang melakukan sesuatu yang sia-sia.

Yang tersisa dari kita ternyata cuma hampa udara, menggaungkan penyesalan. Kalau sudah begini, ingin kubuang saja kantong memori lusuh yang selalu kubawa-bawa dalam genggaman. Percuma saja, tak ada lagi yang bisa diisikan di sana.

Haruskah aku mencari obat supaya cepat lupa? Atau haruskah aku mencari mesin penghilang ingatan? Sebab setiap aku tergoda untuk berbalik kembali, semuanya masih tetap sama. Penuh puing dan serpihan yang tak pernah memantik rasa tega untuk membuang lepas.

Kantong memori itu masih kugenggam erat. Masih lusuh dan bertambah parah di setiap sobekannya. Kadang beberapa kenangan yang tersimpan di sana lolos berjatuhan, menguap lenyap atas nama hilang ingatan. Wujud kantong memoriku sudah tak berbentuk lagi, tapi hanya ini yang kupunyai. Yang tersisa di dalamnya hanyalah kenangan akan pelukan di kala hujan dan air mata di kala rindu.

Kadang ingin aku menjadi si perampas waktu. Merenggut langkah melaju supaya bisa kucuri jejak masa lalu. Meski kutahu bahwa yang sudah berlalu tak mungkin bisa dihidu lagi. Layaknya ampas kopi yang kau coba seduh kembali lalu tak tercium wangi, layaknya kereta yang sudah melaju lari lalu tak dapat kau kejar lagi.

Karena itulah aku mencintai segelas kopi. Cairan hitam bernuansa pahit, pembasuh indra perasaku yang hampir mati rasa. Aroma harumnya memenuhi indra penciuman, tak mampu menghela kenangan. Menyesap hangatnya sambil terngiang gelak tawa kita saat asyik menertawakan kehidupan. Segelas kopi membawaku ke masa itu. Semua masih teringat jelas.

Kau, aku dan waktu yang terbuang, layaknya pelajaran hidup yang tak kunjung usai. Mengingatmu layaknya menyanyikan kembali lagu nostalgia yang terkubur lama dalam ingatan. Beresonasi di ruang kepala. Langsung menyeruak ke permukaan di detik pertama bibirku mencoba menyenandungkan liriknya.

Mungkin, suatu saat nanti waktu akan mempertemukan kita kembali. Nanti, saat aku telah berhasil menjadi sang perampas waktu. Kan kuambil paksa guliran detikmu, tak lupa kubisikkan terima kasih karena sudah pernah ada.

Kantong memori ini akan tetap kusimpan. Kugenggam erat di tangan berkeringat. Abaikan wujudnya yang sudah penuh lubang. Hanya sejumput serpihan kenangan tentangmu inilah, yang berhasil kurampas dari sang waktu yang terus melaju.

2 Komentar

  1. Kenangan