Perampas Waktu #14 Lamunan Senja

12 votes, average: 1.00 out of 1 (12 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

Special music for this episode : Dermot Kennedy – An Evening I Will Not Forget 

Baca Parts Lainnya Klik Di sini

Aku menuliskan kisah ini dengan jari gemetar dimakan usia, kisah tentang sentimen yang bertepuk sebelah tangan. Ketika takdir menyilangkan jalan kita dalam keadaan yang penuh kesialan yang tak pernah kusesali.

Akan tetapi, kesan cantikmu masih sama saja, tersimpan lama, tak berubah bentuk. Bahkan ketika keriput mendatangkan guratan getir aroma masa lalu yang terukir di dahiku.

Kini ketika duduk sendiri, menua dalam sepi, pejam mataku membawa lamunan jiwaku mengikuti bisikan rindu, membawaku kepada tempat di mana kau seharusnya berada.

Langit yang bergelung kelabu layaknya makhluk fantasi yang berhibernasi itu menawarkan badai petir yang semestinya telah berhasil kubuang dalam-dalam. Kau menggiringku pada rintik hujan, memberiku cangkir gelap berisi segelas kopi panas beraroma rempah, yang tersesap tanpa sengaja saat kucicip rasa pekatnya. Membuat lidahku menapisnya tanpa sepah.

Ternyata aku masih menyimpan rindu itu. Kepadamu. Kepada rasa kagum yang berangsur menjadi renjana bertepuk sebelah tangan. Mengasihi tawamu yang selalu mampu membuatku menggelarkan tawa dan tangis bersamaan dalam syukur dan juga sendu. Pahitmu juga terkadang menusuk di pangkal lidahku, kadang ingin tak kuacuhkan tetapi getirnya terlalu pekat untuk diabaikan.

Kau adalah satu-satunya manusia yang mampu menyerpih hatiku hingga jadi debu berserakan. Dingin. Meninggalkan jejak beku yang tak bisa mencair sampai kini. Ada waktu di mana aku ingin bertahan menggenggammu, tetapi serpihan esmu kadang menyayat kulitku. Salahku sendiri yang terlalu dekat.

Kau adalah satu yang pernah memelukku di antara badai kehidupanku. Kau yang pernah membisikkan mimpi itu, bahwa kita akan menang di atas bahtera yang kita dayung sendiri, menghantam ombak, menghalau topan, menari di atas pusaran palung laut dan kemudian tertawa bersama, menyelipkan perasaan duka dan berandai-andai, penuh dengan kalimat ‘kalau saja’ yang kemudian kalah oleh takdir kenyataan di depan mata.

Kau yang akhirnya kulepas pergi selalu meninggalkan jejak silu yang menari di lekuk hati tersembunyi. Kau yang kubiarkan bebas adalah kulminasi putus asa dari hati yang lelah bertarung. Aku sudah menghabiskan napasku untuk mencoba menggenggammu, mengikiskan semarakku untuk berjuang mempertahankanmu dan memeras bahagiaku menjadi ampas hanya untuk menyadari bahwa yang terbaik adalah melepasmu.

Tulisan tentangmu dulu masih selalu berhasil menggulirkan air mata di pipiku setelah sekian waktu. Tentang kau yang sudah bebas tanpa belenggu menggayuti langkahmu, tentang kau yang bertandak di antara gerimis dan taman bunga, memutari rintik hujan yang segendang sepenarian bersamamu.

Kau yang terus terngiang di telinga masa senjaku, bisikkan sesal bercampur syukur yang terus berputar di antara pusaran awal dan akhir. Kau selalu ada di tempatmu, tak pernah pergi meski sudah digulung masa, mengakar di dalam hatiku, rebah di sana sambil menopang kepalamu dan bisikkan tawa renyah yang masih sama. Di situ memang rumahmu. Baik-baik sajalah kau tetap di relungku.

Saat senja ditelan malam, kupejamkan mata dan mengukir senyum. Memang butuh waktu, tetapi syukurlah aku sudah mencapai titik ini. Titik di mana kenangan tak lagi mematahkan sayap dan melumpuhkanku. Sekarang yang tersisa adalah makhluk penuh kerut hadiah masa tua yang mengkristalkan diri dalam kebanggaan, menjaga rongga kosong di relung batin yang melompong, duduk menatap langit senja sambil menikmati cangkir demi cangkir kopi  yang tak berhenti, sebisanya sampai mati.

Sudah waktunya istirahat. Bangunkan aku jika tiba masanya maut berkunjung mengetuk sambil berbisik merayuku.

original

Bandung. April 2022.

Ditulis saat tiba-tiba tersadarkan, bahwa waktu begitu bersemangat mengurangi jatahnya untuk kuarungi.


Baca Parts Lainnya Klik Di sini

Perampas Waktu #13 Melepas Benci

12 votes, average: 1.00 out of 1 (12 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

 

Baca Parts Lainnya Klik Di sini

 

sountrack song : Tyler Shaw – When You’re Home (lyrics)

Malam ini saat kelopak terakhir bunga mawar yang kau titipkan ke hatiku akhirnya runtuh menyerah dan jatuh berserak, kuputuskan bahwa jiwaku akan berhenti memusuhimu.

Bukan karena aku menghapus dendam, tetapi lebih karena aku ingin mencabut akar-akar yang sempat kubiarkan kau menanamnya terlalu dalam di hatiku. Tidakkah kau melihatnya dari kilau di mataku? Akar-akar itu sekarang busuk, terisap sari oleh benalu berwujud pengkhianatan.

Kuputuskan untuk berhenti menjadikanmu musuh besar hatiku. Karena memusuhimu hanya akan semakin membuatku mengingatmu. Membencimu hanya akan semakin membuatmu bercokol di dalam otakku, merajalela di sana. Menaruh dendam kepadamu hanya akan menyulut nyala api yang membakarku habis, tak kenal ampun dari kepala sampai ke hati.

Kau yang paling tahu kalau di detik ini, aku masih cukup mampu menusukkan pisau kebencianku itu ke jantungmu. Aku pun sanggup jika harus menari-nari sambil tertawa puas ketika melihat kau terkapar sekarat kehabisan darah. Sesungguhnya, aku lebih suka kau langsung mati saja. Tutup matamu dan hilang diterjang alam baka. Sebesar itulah aku membencimu, sekuat itulah aku ingin memusuhimu. Sedahsyat itulah aku ingin menabuh genderang perang, mengibarkan bendera merah teroles darah. Semenggebu itulah ingin kukobarkan ajakan pertikaian yang sungguh kujaga supaya tak kunjung usai.

Hanya saja, diriku akhirnya menyadari. Bahwa setiap hari memelihara napas penuh benci hanyalah akan melubangi paru-paru dan menggerogoti jantung. Membuatku sadar bahwa ternyata hatiku sudah lama lelah bertarung. Memendam kebencian kepadamu ternyata menghabiskan nafasku, mengikis bahagiaku hingga terbuang sia-sia menjadi ampas.

Tak perlu kau tanyakan lagi beratnya aku ketika memutuskan berhenti membencimu. Bukan karena aku sudah memaafkanmu, tetapi lebih karena aku ingin merenggutmu pergi dari benakku. Melepas pergi adalah bentuk kesediaan untuk kehilangan satu isi hati lagi. Bahkan berhenti membenci juga membawa konsekuensi tersendiri. Harga yang harus dibayar tak boleh dicicil. Langsung merusak dan menciptakan lubang dalam yang sarat arti. Tak ada apapun yang tersisa dari lubang itu. Kekosongan itulah yang memaksa ragaku untuk duduk seorang diri, lalu berpikir untuk berbalik arah dan pergi.

Kadang aku ragu, sepadankah harga yang wajib kubayar demi menghapuskan dendam? Tapi di balik keraguan, tetap ada harapan akan hati yang terbebas. Layaknya burung terbang mengepakkan sayap, lalu mencuit di ujung langit, tak lupa jungkir balik di antara lengkung pelangi.

Diam-diam ada senyum simpul yang mewarnai rona wajahku. Aku terjerembab lega. Yang kulepas pergi adalah rasa benci. Keyakinanku sendiri tetap padu, bahwa Tuhan sebenarnya sedang ingin mengobrol tentang pelajaran hidup yang harus aku alami sendiri. Tentang rantai-rantai berat memasung yang harus kuputus sendiri. Semua adalah tentang mendamaikan hati lalu melepaskan benci.

Akar kuat yang tertanam dalam itu sudah kugali sendiri, ikatan mencekik yang membirukan kulit itu sudah kuurai hingga terburai. Tak ada lagi simpul mati yang tak bisa dilolosi. Lalu akhirnya kekhawatiran yang menggayuti hati bisa menguap tanpa arti. Hanya ketenangan yang kumiliki. Memang sudah seharusnya begini.

Aku ingin hidup ringan tanpa terbebani, mengikuti kemauan hati. Aku ingin hidup sederhana tanpa rantai besi yang menggayuti hati. Aku ingin bebaskan jiwaku mengiringi bunga-bunga yang tak lelah bersemi, memutari rintik hujan lembut menyejukkan hati. Aku ingin berharap seperlunya, lalu mudah syukuri semua.

Atas nama hatiku sekali lagi kuperingatkan kepadamu. Jangan pernah kau tanyakan apakah aku sudah memaafkan. Jawabannya akan selalu tetap sama. Tidak, sayang. Tak ada maaf untukmu. Dendam ini akan selalu kupeluk erat dalam dekapan. Luka atas nama pengkhianatan masih menganga meski telah terbungkus perban.

Tak ada waktu untuk perdamaian, karena dosamu tidak akan pernah tertebuskan.

 

6d1080a7f06beb941e500898bf0fed5c

Di suatu kota penuh kenangan, ketika masa muda masih bersemangat menorehkan luka. 8 September 2012 – Anonymous Yoghurt

 

Baca Parts Lainnya Klik Di sini

Perampas Waktu #12 Kamu Harus Kuat

Hai..Ini adalah halaman khusus member Vitamins PSA

Silakan log in dulu untuk yang sudah member

login buttonatau jika belum mendaftar jadi member silakan register/daftar

register button

 Jika ada kendala silakan klik icon Whatsapp di kanan atas untuk hubungi Admin PSA. Thanks.

Hai..Ini adalah halaman khusus member Vitamins PSA

Silakan log in dulu untuk yang sudah member

login buttonatau jika belum mendaftar jadi member silakan register/daftar

register button

 Jika ada kendala silakan klik icon Whatsapp di kanan atas untuk hubungi Admin PSA. Thanks.

Perampas Waktu #11 Terlucuti

2 votes, average: 1.00 out of 1 (2 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading... Baca Parts Lainnya Klik Di sini


Kemarilah, mendekatlah kemari, Permata Hatiku.

Sudahkah ujung jari kaki kita bertemu? Sudah cukup dekatkah kau kepadaku? Sudahkah kau bisa rasakan embusan napas bekuku meniup-niupmu?

 

Sekarang, lekatkan matamu ke bola mataku, perhatikanlah baik-baik.

Apa yang terpantul di sana? Kosongkah? Atau hanya bayang dirimu yang merajai di bulatannya?

Coba ulurkan jari jemarimu, tusukkan ke rongga mataku. Nanti, kau akan tahu bahwa di sana hanya ada hampa.

Mataku sudah kuhadiahkan hanya untuk melihatmu seorang, meskipun kau tak melakukan hal yang sama.

 

Coba sekarang alihkan matamu ke bibirku.

Dulu, bibir ini penuh senyum saat melengkung dan mengerucut mengeja namamu.

Memanggilmu terasa seperti nyanyian bahagia di masa lampau.

Namun, perhatikan sekarang.

Bukankah bibir itu kaku? Jangankan untuk menghadiahimu senyum, bibir itu terlalu rusak dan berantakan, darah akan mengalir dari pecahannya jika kau paksakan.

Bibirku sudah kuhibahkan hanya untuk bersumpah setia kepadamu, sumpah setia yang jelas tak terbalas lunas oleh hatimu.

 

Sekarang kulihat kau mulai melirik-lirik jari jemariku. Ada apa? Apakah kau ingin mengukur seberapa besar kerusakan yang kau tinggalkan?

Bisakah kau rasakan permukaan kulitnya yang kapalan?

Dulu aku rajin mengasahnya, biar halus saat kuusapkan ke pipi ranummu yang kucintai

Sekarang, kuku-kukunya sudah panjang. penuh kotoran di selipannya. Permukaan kulitnya pun jelek, keriput dan penuh luka buruk. Tak pantas untuk kau lihat dengan mata cemerlangmu, apalagi sampai kau sentuh.

Jari-jemariku sudah kurelakan hanya untuk diselipkan di antara jari jemarimu. Tempat yang sekarang sudah terisi oleh jari indah lainnya.

 

Ah, lalu kakiku? Apakah kau penasaran? Sudahkah kau bisa mengurangi rasa bersalahmu?

Sayang sekali, kakiku sekarang berlumpur kepedihan, berkubangkan patah hati.

Masih ingatkah kau tentang kaki ini? Yang dulu selalu membawaku berlari menghambur kepadamu?

Kau bilang kau selalu takjub akan betapa cepatnya aku datang saat kau memanggil. Jangankan kau, aku sendiri juga takjub. Mungkin cinta memang terbukti menjadi bahan bakar paling efektif saat otakmu berkabut dimabukkannya.

Sekarang, tentu saja kaki ini tak sama lagi. Mungkin bahkan jauh lebih buruk dari yang lainnya. Dia kehilangan daya untuk menopangku yang sudah rusak parah.

Kaki ini mungkin masih bisa kuseret-seret untuk menyelamatkan yang tersisa. Namun, aku jelas sudah terlalu lelah untuk bergerak.

Kupikir-pikir, bagaimana kalau kuberikan saja kaki ini kepadamu? Aku tak butuh. Duniaku sudah berhenti, jelas aku tak perlu kemana-mana lagi. Aku sudah menyerah.

 

Jangan coba-coba melirik hatiku. Kau akan kecewa karena tak akan kau temukan di sana.

Rongganya sudah lama tak berpenghuni, penuh debu dan sarang laba-laba yang menjajahi.

Bukankah kau dulu yang mengulurkan lenganmu untuk merengkuh hatiku lalu kau bilang akan kau simpan dalam hatimu?

Apakah kau masih lupa dimana kau letakkan hatiku yang pernah kuberi? Mungkin sudah pecah jadi serpihan debu karena tak kuat kau tempa dengan pukulan dan deraan darimu?

Pun sekarang kau punya nyali datang, membawa sisa pecahan hatiku dan bilang kalau kita masih bisa diselamatkan?

 

Apakah kau sudah gila? Beraninya kau datang untuk melihatku, seakan mencari apa lagi yang bisa kau lucuti dariku?

Atau jangan-jangan, itu aku yang sejak awal sudah tergila-gila hingga rela jadi buta, bisu, lumpuh dan tak berdaya?

Ah, ya. Memang benar akulah yang gila.

Hanya orang gila yang rela memutilasi dirinya sendiri lalu diberi kepada orang sepertimu.

Jelas akulah yang memang sudah kehilangan akal sehatku, terlucuti atas nama cintaku kepadamu.

 

Pulang sajalah, Permata Hatiku.

Pulanglah dan bawa tangan kosongmu pergi.

Tak ada lagi yang bisa kau lucuti di sini.

Semuaku sudah kau ambil

Yang tersisa hanyalah serakan sesal, kerak debu kegilaan dan jasad kosong yang tak berguna


Bandung, Juli 2021. Di rumah sajalah biar kamu aman. Tutup dirimu. Minum kopimu dalam sendiri, sesap pahitmu dalam sepi.

 

 

Baca Parts Lainnya Klik Di sini

 

Perampas Waktu #10 Perempuan Kuat

2 votes, average: 1.00 out of 1 (2 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading... Baca Parts Lainnya Klik Di sini


 

Wahai perempuan, punggungmu rapuh, tapi kuyakin mampu memikul beban dunia. Tulang rusukmu itu indah, satu yang melengkapi makhluk pria yang tak berdaya tanpa dukunganmu.

Tuhan menciptakanmu sambil tersenyum. Kau dibentuk dengan rongga dada yang begitu besar. Khusus untuk menampung hatimu yang bahkan lebih besar dibandingkan keinginan egois untuk mengejar mimpi-mimpimu sendiri. DiselipkanNya harum kesabaran seluas samudra di dadamu yang lembut merayu. Kau perempuan kuat bersimbah senyum penuh maaf, jiwamu banjir kesabaran, meninabobokan ego lelaki yang kadang lupa diri.

Pilumu kau redam dengan wajah bahagia. Tangismu kau seka dengan senyuman palsu. Pedihmu kau tambal sendirian. Lapis demi lapis kelapangan hati kau bentangkan, menutupi borok menahun yang semakin menganga setiap detiknya.

Lelahmu tak pernah kau hitung, karena jumlahnya memang tak terhitung. Cintamu membeludak laksana air bah, selalu kau beri meski tak ada yang menghargai. Kebahagiaan lelakimu terus kau pertahankan di atas nampan kaca rapuh, yang bersimbah darah dari hatimu yang terluka. Kau sendiri tak punya apa-apa, tapi kau bilang tidak apa-apa.

Wahai perempuan yang menampung kesabaran di setiap simpul sarafmu. Kepada siapa kau berharap pelukan saat perihmu meluap-luap kehabisan wadah? Masihkah kau mengharapkan bahagia sedang kau selalu menerima disalahkan?

Tuhan mungkin sudah menuliskan jalanmu. Kau adalah rumah tempat berpulang. Kau adalah saripati kehidupan yang memberi nafas dalam rumah tanggamu. Kau adalah istri yang memeluk tubuh lelahnya saat raga ingin bersandar, lalu kau lesakkan lelahmu sendiri untuk kau buang pergi. Kau adalah ibu yang kuat, busur tegar yang melesatkan anak panah cepat, menghantarkan masa depan anak-anakmu kelak.

Kau adalah perempuan kuat, yang meredam retakmu sendiri. Di balik hatimu yang berdarah-darah, kau tetap mampu mencurahkan cinta. Ilmu belajar memaafkanmu sudah tak ada tanding. Tanpa henti kau harus lakukan setiap hari.

Jika kau menunjukkan ketidaksempurnaanmu, kau diberi hujatan. Seakan-akan kau berbuat kejahatan paling keji di dunia. Kakimu terbelenggu, harus memasang senyum paling indah, harus memberi kenyamanan, harus memberi pelukan hangat, tak boleh ada noda. Sebab lubang setitik saja, membuatmu dikutuk jadi istri tercela.

Perempuan kuat yang selalu dipaksa melembutkan hati. Perempuan kuat yang selalu dipaksa menundukkan kepala. Perempuan kuat yang selalu dipaksa meminta maaf, padahal kaulah yang seharusnya menerima maafnya.

Aku tahu kalau kau telah berangsur lelah. Banyak keyakinan dirimu yang tandas terkuras. Perihmu menjadi bungkam. Perjuanganmu menjadi hening. Sikap tundukmu menjadi kebiasaan. Kau jadi lebih banyak menyimpan, menumpuk-numpuk racun ketidakpuasan yang membuat jiwamu melayu, hampir-hampir tak terselamatkan lagi.

Hei, angkat kepalamu. Ayo bangun dan beranikan diri. Sesekali kecewakan saja hati lelakimu. Tak usah lagi sembunyikan perih di pelupukmu. Hancurkan saja kelambu tebal yang menutupi matanya. Keraskan hatimu, tidak usah ada lagi tangis diam-diam karena takut disalahkan. Jadilah kejam bila hanya kekejaman yang bisa buka matanya. Balikkan panah tajam dari mulutnya yang berbisa, tancapkan ke jantungnya sendiri. Tentukan saja jalanmu mandiri, berputar arahlah. Punggungi dia dengan langkahmu yang menjauh, biar dia kelimpungan sendiri.

Bertahanlah, perempuan, Tuhan tidak tidur. Dia yang menginjakmu mungkin akan menemukan jalan takdirnya sendiri, entah bersamamu atau malah meninggalkanmu. Mungkin cinta akan membuatnya bertekuk lutut di kakimu. Atau malah takdir akan mengusirnya pergi dari hidupmu.

Bersabarlah, perempuan. Akan ada cinta tulus yang bisa menggelorakan hatimu yang telah layu, akan selalu ada bunga bermekaran setelah musim salju yang menggugurkan kelopaknya.

Kau perempuan kuat, hargamu paling mahal di dunia. Nilaimu lebih dari harta karun terbaik. Kau ciptaan kesayangan Tuhan, kau istimewa. Jangan bunuh asamu dengan umpatannya yang terus berbisik bahwa kau tidak istimewa. Jangan patahkan semangatmu dengan berpikir bahwa lahirmu sia-sia. Kau perempuan kuat, benih kebaikanmu itu berbuah surga. Jangan menyerah, kau pasti bisa.

Perampas Waktu #9 Perempuan dan Secangkir Kopi

1 vote, average: 1.00 out of 1 (1 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading... Baca Parts Lainnya Klik Di sini


 

Tidakkah kau bosan? Selalu berada di cafe yang sama, Tempat yang berpuluh kali kau kunjungi di jam, menit dan detik yang selalu berulang. Tak pernah kau melewatkannya, seolah ini adalah janji sehidup semati yang tak akan kau khianati.

Pelayan itu sudah mengenalmu. Dia sengaja kosongkan tempat yang sama untukmu. Meja nomor tiga, tepat di samping jendela kaca bening yang menampilkan trotoar jalanan nan ramai penuh manusia.

Itu adalah tempat duduk favoritmu untuk melepas rindu. Bukan pada sesuatu yang telah kau miliki, tetapi kepada perempuan tak bertuan yang selalu memunggungi.

Tak pernah habis sabarmu duduk dalam hening, menatap diam-diam pada punggung rapuh seorang perempuan sendu yang bergelung dengan pikirannya sendiri di sana, lupa untuk menatapmu.

Matamu terpaku, merenda rindu pada dia dan secangkir kopi di depannya. Hatimu dipenuhi mimpi, ingin jadi cairan hitam beraroma harum yang mengisi cangkir kopinya, biar kau bisa rasakan dirimu disesap olehnya, masuk ke lambungnya, lalu diserapnya saripatimu, biar merajalela kau menyesaki aliran darahnya.

Ya, seputus asa itulah kau ingin menjadi bagian dari dirinya.

Tidakkah kau ingin mendekat dan menyelisik ke dalam jiwanya?

Dia, perempuan yang selalu duduk seorang diri, berteman sepi getir bertabur gula harapan yang diaduknya sendiri.

Perempuan yang duduk menepi, meringis tertusuk sembilu, menatap secangkir kopi yang kesepian di hadapannya. Hatinya berdarah, digerogoti kesendirian keji yang tak punya nurani, kalah kuat dan kalah berani.

Perempuan yang merintih dalam hati, berdoa semoga ada secangkir yang lain di samping cangkir kopinya. Mimpinya sederhana, ingin bunuh sepi, lalu terbang bersama yang mau menemani.

Perempuan yang kebahagiaannya mungkin bisa menjadi legit dalam kopi pahitmu. Senyumnya manis, itu sudah pasti, melebur dengan getir kopimu yang menyerah terkalahkan, lalu terbirit-birit pergi.

Bukankah dia adalah alasan kau membuang waktumu hanya untuk memuaskan dahaga matamu dari rindu yang mengering?

Perempuan ini serapuh jejak rasa manis yang mungkin tercecap selewat dari lidahmu yang mencicip kopi hitammu. Mungkin dia pernah jatuh cinta, tapi selalu bertepuk sendiri. Mungkin dia pernah patah hati, lalu takut memulai lagi.

Perempuan ini setajam aroma pengharapan dari kepulan uap kopi yang menggantungkan jiwamu dalam lekat penuh mimpi. Tidakkah kau selalu bayangkan dia di sampingmu saat lelapnya malam beralih musnah dan membuka matamu?

Tidakkah kau ingin melingkarkan lenganmu di tubuhnya, lalu bisikkan kata: “Selamatkan aku. Milikilah pahit getirku.”

Ah. Perempuan ini terlalu sering mengurai waktunya di cafe sendiri, hanya ditemani secangkir kopi berbalut sepi. Sampai kapan kau biarkan dia tetap sendiri?

Tak malukah kau bersembunyi di balik topeng pengecutmu yang mendorongmu terus menjadi pengintip tak punya nyali? Masihkah kau tutupi jejak harapan yang bertumbuh setiap kau melirik bangku kosong di hadapannya?

Mungkin kaulah yang dia tunggu, mungkin kaulah yang dia impikan. Mungkin kaulah yang seharusnya menduduki bangku kosong itu.

Bangun, beranilah. Buang takutmu, Angkat tubuhmu, majukan langkahmu. Lekas datang dan mendekat, lalu bawa cangkir kopimu, letakkan saja di sebelah cangkir kopinya.

Karena mungkin hanya itulah yang dia butuhkan: Secangkir kopi yang tak sendiri, membebaskan hati kosongnya dari sepi yang tak terperi

Halo, bolehkah saya dan cangkir kopi saya sendiri, duduk di sini lalu menemani?”

 

Catatan penulis : versi asli tulisan ini ada dalam bentuk puisi yang khusus dibuat untuk teman saya, pname dan masuk ke dalam novelnya yang berjudul ‘angkringan tak kasat mata’. Saya mengubah puisi itu menjadi sebentuk kisah, supaya kenangannya abadi, tetap tersimpan di sini sampai nanti

 

Baca Parts Lainnya Klik Di sini

Perampas Waktu #8 Lelah

3 votes, average: 1.00 out of 1 (3 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading... Baca Parts Lainnya Klik Di sini

 


 

Beban jenis apa yang sedang menggayuti hati saya ini, Tuhan?

Kenapa dia begitu berat, memenuhi ruang, mencengkeram jantung dan meremas paru-paru saya, hingga napas saya tersekat lalu menyesak?

Apakah ini kontempelasi dari rasa bersalah yang dicampur rindu dari percikan masa lalu yang tak bisa menguap, meski panasnya sakit hati saya sudah memanggangnya tanpa lekang oleh waktu? Atau jangan-jangan, ini hanyalah wujud dari jasmani yang terpuruk karena terlalu banyak kopi yang digulai butiran sakit hati?

Cairan apa yang mendesak di pelupuk mata saya ini, Tuhan?

Kenapa dia begitu panas, merebak di bola mata, mendesak tak terkendali, seolah ingin meloncat turun, bergulir menerjuni pipi, lalu membasahi?

Apakah ini saripati kepedihan yang terlanjur menorehkan luka bernanah, atau jangan-jangan ini hanyalah protes kelelahan sang netra akibat malam-malam tak tidur yang dipenuhi lamunan mencabik luka hati?

Bagaimana caranya jika saya ingin bilang kalau saya sudah lelah? Dengan cara apalagi saya bisa mengatakan kalau saya sudah ingin menyerah?

Kaki saya terpincang-pincang, melangkah terseok melalui jalur yang saya patahkan sendiri. Jejaknya berhamburan, penuh darah hitam dari luka lalu yang parutnya abadi. Tangan saya bergerak, mencabik-cabik rongga dada yang kosong tanpa isi. Hati saya… dimana hati saya? Saya melongok, menyelisik, mencari-cari sampai lelah, yang terlihat hanya serpihan tak bertuan, hampir-hampir musnah ditelan keputusasaan.

Dulu, ada sosok indah yang mengaitkan kelingkingnya dengan punya saya. Pintu hati saya waktu itu masih terkunci suci, saya jaga sepenuh hati. Tak hilang akal dia mengendap-endap, dimasukinya hati saya lewat jendela yang tak berteralis, menari-nari dia bersenandung menjajah ruangnya. Dihiasnya ruang hati saya dengan kelambu warna pelangi dan seikat bunga harum mewangi. Dia bilang kalau dia akan sering datang, tak akan lupa menengok hati ini. Mana? Tak pernah ada yang datang. Di sana hanya ada kelambu lusuh berdebu dan jaring laba-laba yang berayun sendu.

Senyum palsu saya sudah banyak yang runtuh. Topeng tawa saya sudah banyak yang retak lalu jatuh pecah berderak. Saya kehabisan stok kebahagiaan semu. Dimana saya bisa pesan perlengkapan kemunafikan ini? Saya mau pesan ribuan, biar bisa terus pura-pura bahagia tanpa perlu terlalu banyak menjelaskan.

Hati saya sudah mati, kemampuan saya merasa pun sudah layu dan sekarat. Tubuh ini hanya cangkang kosong, berpura-pura hidup hanya demi membentangkan kabut semu menutupi pandangan mata mereka yang tak tahu apa-apa.

Tuhan, batang pohon harapan saya sudah keropos ditelan jaman. Tunasnya bahkan tak mau bertumbuh, bersikeras sembunyi di bawah tanah, sekuat apapun saya mencoba mendorongnya. Jiwa ini adalah tanah tandus yang pecah merekah, kering disiram racikan panas mentari. Hujan beribu kali pun, tak pernah bisa menyembuhkan retaknya.

Ladang jiwa saya semakin gersang, rusaknya sudah parah, sedikit demi demi sedikit menghitam, dilalap bara, menyerpih jadi abu berdebu. Ruang hati saya lelah menampung kenangan, lunglainya sudah menggigilkan tubuh. Semangat hidup saya telah berpamit pergi, katanya dia sudah tak ingin disini lagi.

Saya adalah manusia yang raganya ingin berlari pergi, menumbuhkan tunas, merentangkan lengan dan menemukan padang subur penuh rumput dan bunga warna merah hati. Tapi jiwa yang sekarat malah menancapkan rantai abadi, membelenggu raga ini, berkedip redup menyambut mati, sambil berbisik membujuk rayu biar raga ikut hilang tanpa arti.

Tidak usah pergi. Berdiam saja di sini, perlahan juga kau ikut mati…”

Perampas Waktu #7 Melupakan Lalu Pergi

2 votes, average: 1.00 out of 1 (2 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading... Baca Parts Lainnya Klik Di sini


 

Kau pasti tahu bahwa akan selalu ada tawa membahana silih berganti dengan air mata yang menderas di wajahmu.

Begitulah perjalanan hidup, berputar layaknya roda pedati. Kadang di atas, kadang di bawah. Kadang berlumuran bahagia, kadang banjir kepedihan nan nelangsa. Kadang kau hambur-hamburkan kekayaan, kadang pula kau mengais-ngais logam sekeping tuk menggenapi hartamu yang menipis.

Sama halnya seperti ketika Tuhan mengatakan bahwa dibalik kesusahan, akan ada kebahagiaan datang minta disambut. Silih berganti memutari roda waktu.

Begitupun dengan lukamu yang menganga berdarah-darah saat ini. Sakitnya menyembilu, menghembuskan pilu bertalu-talu yang memekakkan kalbu. Nanti, ketika masa berganti, akan tiba saatnya luka itu sembuh, bekasnya kuyakin akan menjadi penanda yang bisa kau kenang dalam senyummu.

Wajahmu selalu pucat, dengan mata membengkak karena terus memeras tangis pilu yang direnda pengkhianatan. Kulihat di malam sunyi, kau usir tidur yang menghampiri. Malahan kau pilih menahan terjaga tetap bertengger lama, mulai menghitung setiap retakan, kepingan rusak dan pecahan mengenaskan dari hatimu yang kuhancurkan keji.

Kau sudah kutinggal sendirian kali ini. Tatapmu pedih. Pendar matamu terlalu sendu untuk bisa menemukan jejak kesempatan kedua, sibuk kesepian, berkubang dalam lumpur kenangan, tak mampu lupa, tak mau melupakan.

Tidak pernahkah terpikir olehmu, bahwa ternyata bisa melupakan itu adalah salah satu hadiah Tuhan untuk menjaga hati manusia yang rapuh dari ancaman kerusakan?

Coba bayangkan jika manusia tak bisa melupakan? Betapa mengerikannya ketika hati dan pikiran manusia penuh sesak oleh kenangan buruk yang mendominasi dan juga kenangan manis yang mengisi setiap sisi dengan sama banyaknya? Penuh sesak berjejal-jejal, membuat hatimu menggembung menanti detik siap meledak.

Kalau kau tak bisa lupa, maka waktu akan kehilangan dayanya untuk menyembuhkan luka. Sebab, sekuat apapun waktu mendorong rodanya berputar melaju, kita tak akan perhah bisa lupa lalu sembuh

Tidak bisa lupa berarti tidak bisa sembuh. Sebab, hanya dengan lupa maka luka menganga tadi bisa sembuh sempurna.

Jadi, untung kau masih bisa lupa, bukan? Lalu kenapa kau tak mau lakukan?

Syukurilah itu, karena bisa melupakan adalah anugerah terbaik yang diberikan dari Sang Maha Baik untukmu. Terlupa adalah hadiah terbaik dari Tuhan untukmu.

Lupa adalah hadiah. Lupa adalah karunia. Lupa adalah augerah. Syukuri itu. Jangan sampai kau tak menghargai betapa pentingnya kita bisa melupakan.

Tahukah kau betapa bahagianya hati yang patah ketika dia bisa melupakan?

Percayalah, tidak akan mampu kau mengalihkan pikiran dari hati yang pernah membuatmu terikat dalam bahagia, kalau bukan karena karunia ‘lupa’ yang menyadarkan otakmu.

Dengan lupa maka kau bisa bergegas pergi, mengusir semuan kenangan yang menggayuti. Dengan lupa, kau akan mendapatkan kekuatan untuk menghardik masa lalu yang terus mengekorimu, bilang kalau sudah habis waktumu di hatiku, sana musnah lenyap saja karena hatiku telah menafikanmu.

Lalu kau bebas, lepas, tak perlu lagi disakiti nostalgia.

Kau mungkin tak sadar betapa aku merasa miris melihatmu selalu kembali dan kembali datang, hanya untuk mengusap penuh rindu setiap jejak langkah dari tempat terakhir kuberpijak saat masih menggandeng tanganmu.

Ingin rasanya kuhabisi harapanmu dengan lebih keji lagi supaya kau jera, supaya kau sadar dan tak usah kembali mengais-ngais kenangan dan mengorek kembali lukaku dan lukamu.

Lupa adalah anugerah, tetapi kenapa kau selalu menolak lupa? Tidakkah kau sadar kalau lukamu akan terus terbuka, lalu bernanah, lalu menjalar menggerogoti seluruh dirimu dan menelanmu bulat-bulat dalam derita tak tersembuhkan?

Manusia hanya mampu melangkahkan kaki, menapaki pola yang telah dibuat Sang Maha Tahu, bahkan sejak napas pertamamu dihembuskan ke tubuh rapuhmu. Hanya saja, kali ini, arah langkahmu dan arah langkahku mungkin sudah tak sejalan lagi.

Aku sudah sudah bisa lupa, lepas bebas melaju ke depan dan tak mau menoleh, sementara kau menolak lupa dan tak henti melangkah mundur

Angkat kepalamu, buanglah aku, beranikan dirimu untuk lupa Dengan begitu hatimu akan menyambut satu kesempatan lagi yang kau dapat dari ketidakpastian undian kehidupan.

Aku tahu pasti kalau kau punya keberanian. Kekasih pelarianku bukanlah pengecut yang memilih bersembunyi ketakutan sambil tersedu lemah mendayu-dayu. Kekasih pelarianku bukanlah manusia yang rela menyia-nyiakan kesempatan keduamu musnah begitu saja.

Aku tahu kau layak bersua dengan kesempatan kedua. Kau berharga, terutama hatimu. Sudut lengkung hatimu nan indah berkilauan, terbentuk dari rajutan cinta tanpa pamrih yang berjalinan dan melindungimu dari sakitnya deraan pengkhianatan tak berbelas kasih.

Hanya saja kau sedang sial bertemu aku, yang dengan tega mengurai jalinan perlindungan itu, lalu mematah-matahkannya hanya karena aku tak sanggup menerima kekuranganmu sepenuh hati. Kau kekasih pelarianku, bersikeras untuk merangkai kembali patahan hatimu yang kuinjak keji. Tak kuduga akan tiba saat dimana aku harus membebaskanmu lalu melangkah pergi.

Pergilah ! Hilangkan seluruh jejak kakiku dari relung hatimu yang berdarah-darah karena tertusuk duri tajam sepatuku. Berikan obat terbaik untuk lukamu! Tambal setiap lubang hingga menutup tanpa bekas. Ganti seluruh hiasan di dindingmu! siapkan dua kursi paling indah dan sajian terbaik di atas meja makanmu! Percantiklah hatimu yang telah bersih dari jejakku!

Aku yakin ada yang mengetuk pintumu untuk bertamu. Buka pintumu, sambutlah dia nanti. Yang kutahu dia pasti lebih baik dari diriku

Sekali ini saja kumemohon, sudahi saja menoleh-noleh ke belakang dan mencari-cari wujudku.

Aku tak akan pernah ada

Percayalah bahwa di dalam detik kau mengikhlaskan semuanya lalu pasrah hingga bebas melupakan, di detik itulah dia yang terbaik mulai melangkahkan kaki, lurus dan langsung menuju pintu hatimu nanti.

Ini kisah pilu tentang kekasih pelarianku yang hanya bisa membungkuk dalam tawa palsu ketika hatinya mulai membengkak penuh sesak oleh sedih dan pilu. Aku hanya berdoa semoga dia bisa mempercayai tanpa ragu, bahwa setelah semua sakit ini, bahagia akan memeluk tanpa tega berpamit pergi.

Akan selalu ada sinar matahari setelah badai. Akan selalu ada kesempatan kedua setelah kesempatan pertama yang tersia-siakan.

Pergilah, sayang. Tenteng sepatumu, bebaskan kakimu yang telanjang. Meloncatlah, lalu terbanglah menjauh. Kesempatan keduamu ada di atas sana, menunggu giliran terbaiknya untuk merengkuhmu nanti.

Buat Mantan
FYI Aku sudah lupa. Kamu kapan?
Jakarta, 22 Desember tahun rahasia

Perampas Waktu #6 Teruntuk Sang Hati

3 votes, average: 1.00 out of 1 (3 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading... Baca Parts Lainnya Klik Di sini


 

Teruntuk Sang Hati yang berdiam di kegelapan, menyaru di balik detak jantung yang melemah dalam rongga dada, hampir tak teraba.

Hati, masihkah kau bertahan di dalam sana?

Terlalu panjang perjalanan kulalui. Jatuh bangun dibuai kenaifan tiada arti. Tak sengaja ku terus mempertaruhkanmu. Tak terasa selalu kudera kau hingga babak belur. Kutandaskan pula tangisku hingga membanjirimu. Air mataku keruh berdebu menodaimu, tak mampu membilas luka malah membuka perih lama menganga.

Hati, masih saja kau bertahan menggenggam serpihanmu yang tersisa. Tanpa menyerah. Tanpa mau kalah. Tanpa ingin membuang asa. Hanya mampu merintih pelan dalam desah penuh darah: Percayalah padaku, letakkan bebanmu di pundakku, lupakan sakit, berbahagialah sedikit. Ayo jatuh cintalah lagi, teman.

Hati, masihkah kau bertahan di dalam sana?

Yang baru saja berakhir ini bukan cerita cinta yang kubayangkan. Yang baru saja kulalui ini bukanlah kebahagiaan yang kuimpikan. Aku jatuh cinta pada sosok yang tak seharusnya kuinginkan. Ini bukan milikku untuk kugenggam. Ini milik orang lain yang kujaga sementara. Bagaimana jika aku tak mampu melepasnya kembali? Bagaimana jika aku tak kuat merasakan kehilangannya nanti?

Hati, akankah kau mampu melewati perihnya lagi? Atau serpihanmu malah terlepas dari pertahananmu, jatuh berkeping dan tak bisa disatukan kembali?

Hati, apalagi yang harus aku lakukan? Jika rasa ini yang kau beri, bagaimana cara bercerita bahwa aku didera ketakutan? Rasa perih yang dulu masih menyayat, luka yang lama pernah berlalu belumlah sembuh benar. Kini kau minta aku untuk menginginkan lagi?

Hati, kau tahu betapa ingin aku menggurat senyum di wajahku? Menguraikan apa itu arti bahagia hingga aku bisa mengambil secarik helaiannya diam diam untuk menambal luka-luka di sekujur tubuhmu? Betapa ingin aku menyingkirkan lubang besar yang terus merusak inti dirimu, lalu menutupnya dengan setitik harapan palsu?

Hati, aku sekarat ingin menelisik dan tenggelam di kedalamanmu. Mencari jawaban kenapa kau dan aku tak pernah jera merenda pilu. Ingin tahu kenapa kau selalu terpuruk pada rasa miliknya yang tak pernah dapat kau sentuh. Akankah kau hadiahkan kejujuran kepadaku? Atau kau malah berbalik arah lalu merunduk jauh?

Hati, tegakah kau palingkan wajah kusut masaimu dariku? Bukankah kita pernah saling menguatkan dalam perjalanan yang tak sebentar? Ingatkah bagaimana kau dan aku memungut bersama untuk satukan kembali patahan yang tersebar? Tak juga kembalikah kenanganmu tentang bagaimana kita bertahan dalam rindu kelabu yang tak pernah sampai kepada kalbu yang tercinta?

Hati, inikah yang kau impikan? Tentang rasa yang tidak akan pernah sampai, tentang kisah yang tak mungkin terselesaikan. Tentang cinta tak bisa memiliki yang hanya mampu kurangkai dengan syair bertaburan lara. Tentang dia yang mematik rasa ingin memiliki tapi tak mungkin menghabiskan tawanya di sini.

Barangkali aku yang salah ketika berpikir kita masih punya harapan. Kita berdua sudah terlalu patah dan terbelah, tak mungkin bisa diperbaiki. Cederaku juga cederamu, tak mungkin ada yang bisa sembuhkan. Marilah berhenti menguntai asa, ayo kita menyerah saja.

Hati, jika memang hanya pedih yang bisa kau rajutkan di lukamu, mungkin lebih baik jika kita berdua mematikan rasa. Tutup rapat seluruh pintu, jangan ada celah tersisa. Kau dan aku berpelukan di lembah paling dasar, tak usah lagi punya harapan.

Perampas Waktu #5 Menunggumu Pulang

2 votes, average: 1.00 out of 1 (2 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading... Baca Parts Lainnya Klik Di sini


 

I’m here waiting for you, please come home

Pasti selalu ada tempat untuk hadirmu di rumah hatiku. Sejuta kali embusan napas dan lebih banyak lagi denyut jantung yang kubuang dalam penantian, tetap saja tak ada bedanya. Tempat ini selalu terbuka untukmu.

Kuncinya entah dimana, mungkin terbawa olehmu atau terserak di antara jaring laba-laba tebal yang menggayut semakin berat ketika aku lupa menyingkirkan beban kenangan. Malah sibuk berandai-andai membayangkan kau pulang.

Aku ingin mengusir kenanganmu dari hatiku. Sudah kugenggam tangkai bunga layu yang menebarkan aroma wangimu berpadu sendu. Tapi ternyata, urung aku mencabutnya. Aku tak punya nyali untuk kehilangan semua kenanganmu yang tersisa. Aku tak sampai hati menghapus ingatan tentangmu yang pernah sekali melingkupi kelemahanku. Sudah kubiarkan bunga itu melayu tanpa kusiram, tapi tak juga berani kucabut sampai ke akar.

Masih sering aku mengutuk di belakang punggungmu. Menuangkan sumpah serapah tak berperi. Dari mulut yang otomatis membisu, bila kau tolehkan kepalamu. Aku hanya berani mencaci, di balik bayangan gelap ketika kau memunggungiku. Karena di depanmu aku mati kutu dan lidahku kelu.

Ya, aku memang menyedihkan, entah sudah berapa lama kata itu kusematkan sebagai nama tengahku.

Sudah tentu bukan salahmu jika kau lupa menoleh pulang. Yang sedang kau peluk di sana kutahu lebih memberikan tawa. Salahku sendiri masih enggan beranjak pergi dari kursi ini. Masih menunggu, masih berharap, masih menyematkan asa tentangmu dalam penantian bisu.

Aku ingin berhenti memikirkan senyummu. Aku ingin berhenti membayangkan jemari lentikmu saat memegang cangkir kopi warna kuning yang kuhadiahkan kepadamu. Aku ingin berhenti menghitung kapan kau tanpa sadar mengusap rambutmu, saat sedang gugup ataupun antusias. Aku ingin sekali bisa tidur tanpa sebelumnya menatap ke langit-langit kamar membayangkanmu. Aku ingin sekali bisa lelap tanpa harus menanyakan keberadaanmu, tanpa harus ingin tahu kau sedang apa dan tanpa penasaran malam ini kau habiskan sisa senyummu bersama siapa.

Aku ingin mengusirmu, tetapi bagaimana caranya? Sedangkan setiap hari yang kulakukan adalah menyeret kursi reyot itu ke depan pintu dekat rumah hatiku, mengintip ke jendela dan menunggu tanpa putus asa, berharap kau ingat ada aku menanti di sini, lalu membalikkan langkah untuk menujuku lagi.

Tuhan, kaulah yang paling tahu pilunya hati ini, ketika menatap punggungnya yang menjauh pergi. Masih jelas tercium anyirnya darah di memori waktu itu, menderas dari hatiku yang terbelah dan luka parah. Tuhan, kaulah yang paling tahu betapa tak inginnya aku melepaskan tangan itu, berharap bisa menggengam selamanya sampai habis nyawa terhisap usia.

Ingin sekali kuhancurkan tempat ini. Biar jadi puing sampai ke dasar. Tapi dalam penyangkalan, aku masih ingin menunggumu. Siapa tahu aku masih punya kesempatan menyentuhkan jariku ke lesung pipimu? Lalu tak lupa kan kubisikkan kata cinta berbalur rindu dalam dekap hangat, berbagi tuntaskan malam.

Nanti, di lain waktu, sungguh akan kuratakan tempat ini dengan tanah, baru kubangun kembali dengan memori lainnya yang tak ada kau di dalamnya. Biar kau tak punya tempat pulang, dan aku tak punya alasan lagi untuk menunggumu pulang.

Tapi itu nanti, di lain waktu.

Sekarang aku masih duduk di balik bayang-bayang tirai tipis jendela yang terbuka, menghabiskan hari menatap keluar, menunggumu pulang.

Pintu tempat ini masih tak berkunci, sayang. Semoga saja suatu hari nanti kau ingat pulang, lalu menghambur datang, membuka gerbang.

Perampas Waktu #4 Perempuan Yang Suka Membaca

3 votes, average: 1.00 out of 1 (3 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading... Baca Parts Lainnya Klik Di sini


 

Pilihlah perempuan yang suka membaca. Pilihlah perempuan yang lebih memilih menghabiskan uangnya untuk membeli buku, daripada untuk membeli pakaian-pakaian atau sepatu.

Dia mungkin sering kerepotan mengatur ruang untuk isi lemarinya. Itu semua karena dia punya terlalu banyak buku.

Pilihlah perempuan yang punya daftar buku-buku yang ingin dia baca, yang punya kartu keanggotaan perpustakaan umum sejak dia berusia dua belas tahun.

Pilihlah perempuan yang suka membaca. Kau akan tahu jika dia salah satunya, karena dia selalu membawa-bawa buku yang belum selesai dia baca di dalam tasnya. Dia adalah perempuan yang akan menatap dengan bahagia ke arah rak-rak penuh buku di toko buku langganannya. Dia adalah perempuan yang akan menangis bahagia dalam hati ketika akhirnya menemukan buku idaman yang telah lama dicarinya.

Dia adalah seorang perempuan yang akan memilih membaca buku, daripada memainkan kotak pipih berlandaskan teknologi ketika sedang menelan waktu di coffee shop untuk menunggumu. Jika kau mencuri pandang isi dalam cangkirnya, kau akan melihat bahwa busa di bagian atas gelasnya sudah pecah berantakan karena dia sibuk mengaduk-aduk cangkirnya tanpa sadar. Pikirannya sendiri, sudah tenggelam dalam dunia yang diciptakan penulis dari buku yang dibacanya.

Duduklah di kursi seberangnya, ia mungkin akan memelototimu pada awalnya, karena sebagian besar perempuan yang suka membaca tidak suka diusik. Tanyalah kepadanya dengan senyum terulas, buku seperti apakah yang dia sukai?

Belikan satu cangkir kopi lagi untuknya dan mulailah berbicara.

Ajak dia bercerita, apakah dia lebih menyukai antagonis yang ternyata punya hati, atau malah menyukai protagonis yang menyimpan rahasia berlapis di jiwanya. Tanyakan kepadanya apakah dia lebih memilih kisah cinta dua insan yang menggebu penuh gelora, atau mungkin lebih suka merasuk ke dunia petualangan, berbalur darah dan perjuangan, bergulung-gulung dengan nuansa putri raja, bajak laut dan tak lupa sihir makhluk-makhluk fantasi.

Sangat mudah mencuri hati perempuan yang suka membaca. Berikan buku untuk hadiah ulang tahunnya, juga untuk setiap perayaan dalam hidupnya. Berikan dia rangkaian kata-kata indah dalam puisi, dalam lagu, dalam ucapan selamat pagi, siang, sore dan malam baginya.

Biarkan dia mengerti, kalau kau sesungguhnya sangat paham, bahwa rangkaian kata bisa digunakan untuk merefleksikan cinta.

Mengertilah, bahwa perempuan yang suka membaca buku, sesungguhnya bisa membedakan antara kisah imajinatif dalam buku dengan kenyataan. Tapi, biarkan saja dan dukung dia jika kadang dia ingin membuat hidupnya sedikit mirip dengan kisah romantis favoritnya.

Ajari dia mengalami dan melewati kegagalan. Karena seorang perempuan yang suka membaca akan selalu tahu, bahwa kegagalan pasti mengarah kepada kebangkitan. Seorang perempuan yang suka membaca juga akan menyadari, bahwa ketika penghujung satu cerita telah berakhir, kau akan selalu bisa membuatkan kisah sekuel untuknya. Perempuan semacam itu pasti akan mengerti, bahwa ketika kau terjatuh, kau bisa memulai lagi dan tetap menjadi pahlawan dalam kisah kalian.

Dia juga akan sadar, bahwa dalam kisah kalian, diperlukan beberapa tokoh jahat yang mengusik dan harus kalian kalahkan bersama-sama.

Jika kau beruntung berjodoh dengan perempuan yang suka membaca, jagalah dia dengan sepenuh hatimu. Jika kau terbangun pukul dua dini hari dan menemukannya tengah memeluk buku di dadanya, lalu menangis terisak karena tokoh di dalam bukunya sedang memeluk tragedi, segera buatkan dia secangkir teh hangat, lalu peluk dia erat-erat untuk berbagi kesedihan.

Kadang ketika perempuan ini sedang membaca, dia akan tenggelam sendiri di dalam dunianya dan melupakanmu. Kau mungkin akan kehilangan dia selama beberapa saat, tetapi percayalah, dia akan selalu pulang kepadamu.

Pilihlah perempuan yang suka membaca karena kau pantas mendapatkan yang terbaik. Kau pantas mendapatkan seorang perempuan yang bisa memberimu kehidupan penuh warna. Kalian akam bergandengan tangan dan menua bersama. Lalu, ketika ujung usiamu telah mendekat, kau akan mensyukuri setiap detik yang telah kalian habiskan bersama.

Jika kau ingin memeluk dunia dan dunia balas memelukmu, pilihlah untuk melabuhkan cintamu kepada seorang perempuan yang suka membaca.

Perampas waktu #3 Sang Perampas Waktu

3 votes, average: 1.00 out of 1 (3 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading... Baca Parts Lainnya Klik Di sini

 

Jika kau berdiri di atap gedung tinggi, memandang nanar ke gelap berbintang yang menjadi kubah bumi, mungkin kau akan sadar. Bahwa manusia kadang lupa, kalau waktu yang telah berlalu tidak akan pernah bisa berpulang ke dalam rengkuhan untuk dirasakan lagi, apalagi untuk diperbaiki kembali.

Waktu akan terus berlari maju, tak akan menoleh ke belakang. Meninggalkan jejak berbunga mekar yang sering kita sebut sebagai ‘kenangan indah’, sekaligus menorehkan beberapa goresan pahit yang sering kita sebut sebagai ‘penyesalan’.

Dan kita sebagai manusia, hanya mampu berlari mengejar waktu, sembari memungut serpihan yang dijatuhkannya, lalu memasukkannya ke dalam sebuah kantong lusuh berlubang di sana sini yang sering kita sebut dengan nama ‘kantong memori’.

Sesuatu baru akan terasa begitu berarti, begitu dirindukan dan begitu dihargai, ketika keberadaannya telah tiada. Begitupun yang kurasakan sekarang ketika mataku berlabuh pada putaran jam yang terus melaju. Tergugah sadar, bahwa di detik ini, tepat pada saat ini, aku sudah terlalu lama kehilanganmu.

Kadang kuingin melambatkan langkah, tak ingin lagi mengejar waktu yang semakin lama semakin cepat berlalu. Langkahku gontai, dan hatiku remuk redam, tetap kupaksa memoriku berbalik arah, terseok-seok memutar, menapaki jalan berlawanan dari yang pernah dilalui waktu.

Aku ingin tenggelam saja di masa lalu, memperlebar jarak dengan waktu yang tak mau menunggu. Aku ingin memenuhi kantong memoriku dengan kenangan indah tentang kamu. Karena itu kupaksa diri menyusuri jalan ini, mencoba memungut sedikit yang tersisa dari kisah kita.

Tapi di masa lalu, ternyata hanya ada serpihan penyesalan yang berserakan sepanjang jalan. Semua terlalu berkarat untuk dipungut kembali, terlalu rusak untuk coba diperbaiki lagi. Lama-lama aku jadi sadar, bahwa aku sedang melakukan sesuatu yang sia-sia.

Yang tersisa dari kita ternyata cuma hampa udara, menggaungkan penyesalan. Kalau sudah begini, ingin kubuang saja kantong memori lusuh yang selalu kubawa-bawa dalam genggaman. Percuma saja, tak ada lagi yang bisa diisikan di sana.

Haruskah aku mencari obat supaya cepat lupa? Atau haruskah aku mencari mesin penghilang ingatan? Sebab setiap aku tergoda untuk berbalik kembali, semuanya masih tetap sama. Penuh puing dan serpihan yang tak pernah memantik rasa tega untuk membuang lepas.

Kantong memori itu masih kugenggam erat. Masih lusuh dan bertambah parah di setiap sobekannya. Kadang beberapa kenangan yang tersimpan di sana lolos berjatuhan, menguap lenyap atas nama hilang ingatan. Wujud kantong memoriku sudah tak berbentuk lagi, tapi hanya ini yang kupunyai. Yang tersisa di dalamnya hanyalah kenangan akan pelukan di kala hujan dan air mata di kala rindu.

Kadang ingin aku menjadi si perampas waktu. Merenggut langkah melaju supaya bisa kucuri jejak masa lalu. Meski kutahu bahwa yang sudah berlalu tak mungkin bisa dihidu lagi. Layaknya ampas kopi yang kau coba seduh kembali lalu tak tercium wangi, layaknya kereta yang sudah melaju lari lalu tak dapat kau kejar lagi.

Karena itulah aku mencintai segelas kopi. Cairan hitam bernuansa pahit, pembasuh indra perasaku yang hampir mati rasa. Aroma harumnya memenuhi indra penciuman, tak mampu menghela kenangan. Menyesap hangatnya sambil terngiang gelak tawa kita saat asyik menertawakan kehidupan. Segelas kopi membawaku ke masa itu. Semua masih teringat jelas.

Kau, aku dan waktu yang terbuang, layaknya pelajaran hidup yang tak kunjung usai. Mengingatmu layaknya menyanyikan kembali lagu nostalgia yang terkubur lama dalam ingatan. Beresonasi di ruang kepala. Langsung menyeruak ke permukaan di detik pertama bibirku mencoba menyenandungkan liriknya.

Mungkin, suatu saat nanti waktu akan mempertemukan kita kembali. Nanti, saat aku telah berhasil menjadi sang perampas waktu. Kan kuambil paksa guliran detikmu, tak lupa kubisikkan terima kasih karena sudah pernah ada.

Kantong memori ini akan tetap kusimpan. Kugenggam erat di tangan berkeringat. Abaikan wujudnya yang sudah penuh lubang. Hanya sejumput serpihan kenangan tentangmu inilah, yang berhasil kurampas dari sang waktu yang terus melaju.

Perampas Waktu #2 Menelikung Hati

3 votes, average: 1.00 out of 1 (3 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading... Baca Parts Lainnya Klik Di sini


 

Huh!.. menelikung hati.. hanya berani bermain di kandang sendiri..

Kau datang dan pergi bagai nuansa padat yang menyublim tanpa jejak. Memecah belah semua kilau embun pagi, biar kuambil keping pecahannya, lalu kutusuk kau sampai mati.

Kedalamanmu rusak lebur kacau penuh nanah. Sebusuk-busuknya hatimu yang tega kau tularkan padaku.

Tak kasihankah kau padaku, yang menyeret langkah khayalan putus asa setelah kau potong kedua kakiku?

Bersamamu selalu terasa semu, manusia tolol tak juga sadar. Menyeringai tolol dirajam ketololannya sendiri. Padahal, selalu ada isak tangis di tengah tawa palsu yang habiskan tenaga.

Ini benar benar nyata. Kau iblis tanpa belas kasih, melenggang tanpa sesal tinggalkan sampah yang tercabik

Menelikung hati ini, sudah sobek tersayat-sayat, masih kau basuh dengan air mata pura-pura, duh perihnya setengah mati.

Kenapa kau bilang sampai mati kalau ujungnya kau pilih hidup sendiri?

Manusia tolol yang akan selalu tertipu kebaikan setengah hati, jatuh menyelam terlalu dalam, sampai terbelenggu di dasar samudra.

Manusia tolol hanya pantas jadi bangkai di tengah lautan, korban pembohongan atas nama kepercayaan yang nyaris sempurna.

Manusia tolol yang jatuh cinta karna perasaan, terlena oleh keyakinan bodoh, melaju kencang sampai tak tahu kapan harus berhenti.

Lupa janji tuk tak lagi melayang tinggi. Lupa sumpah tuk tak lagi menambahkan torehan nyeri. Lupa tekad tuk tak lagi berharap-harap setengah mati.

Huh!…. menelikung hati…. hanya berani kembali cari korban lagi. Menyobek semua ungkap janji tak dibawa mati, biar kuambil serpihannya, lalu kubakar bersama tubuhmu, habis hangus jadi abu.

Lusuh perasaanmu beraninya kau rambatkan ke jiwaku. Kuku jarimu menghitam sekelam napasmu, berani curi hati dengan tangan kotor, renggut paksa lalu lemparkan.

Kenapa kau ajak ikat janji jika tak sanggup tepati?

Bersamamu penuh nuansa hampa, manusia tolol sedang sibuk dibutakan khayalan. Padahal, selalu ada kekosongan menganga di tengah bahagia semu yang kuras kekuatan.

Ini benar benar ada. Kau setan tak punya hati, menari-nari pergi tinggalkan kotoran yang tak kau tengok lagi

Menelikung hati ini, sudah perih terkapar luka bakar, lalu kau sulut dengan hiburan tak tulus, duh panasnya setengah mati..

Warna hitamnya sudah kelam, merenggut napas, sisakan tubuh membiru hilang ingatan, putus asa ingin bisa tertawa lagi.

Menelikung hati, disergap rasa putus asa yang memukul pangkal lambung berulang kali, sampai rajamnya perih menyayat tak terperi.

Manusia tolol ingin berakhir dengan ini. Bukan ingin menyerah, memang sudah habis daya. Lelah napas, lelah tanpa harap, inginnya dihabisi saja.

Percikan khianat mendidih yang bikin buta. Menekan dalam-dalam kedua bola mata. Sakitnya tak kau rasa.

Kau jalang sungguh pantas jadi guru sempurna. Ajarkan menelikung hati lelaki di balik senyummu manis dan binar matamu tanpa prasangka. Jejakmu penuh dosa, korban-korbanmu terkapar sepanjang jalan.

Dasar tolol, seharusnya tidak ada lagi yang mengganggu langkah kakimu, kau sudah berjanji tak akan hanyut akan pesonanya lagi. Si tolol berbisik sendiri dalam hati

Dengarkan monolog si tolol yang sepalsu orang bijak, meracaukan kalimat perlawanan menipu diri, terus mengulang mantra pembenaran, bikin jiwa jadi setengah waras.

Orang tolol tak mungkin bisa bisa mencegah otak bebalnya untuk jatuh cinta lagi!

 

Ditulis di tengah badai dalam kepalaku sendiri, saat sedang sibuk berdoa semoga rasa berikutnya , jika ada, adalah cinta saja, tak perlu ditambah hasrat untuk bisa memiliki. Karena, ampun Tuhan, tak sanggup rasanya bila harus kehilangan lagi.
– By Anonymous Yoghurt, Jakarta seputaran September 2016

 

Perampas Waktu #1 Kau dan Hujan

21 votes, average: 1.00 out of 1 (21 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

Setiap hujan turun, ada gemericik nyanyian bulir airnya menyenandungkan nada tentangmu. Begitu akrabnya kau berteman dengan para peri hujan, yang alunan tariannya seolah diciptakan untuk membasuh pedihmu.

Terkadang kau berdiam di bawah tetesannya, jemari lentikmu menengadah untuk menyambut lompatan-lompatan kecilnya. Lalu kau terkekeh sendirian, basah sepenuhnya. Seolah-olah kau dan hujan adalah sabat karib yang lama tak bersua, tenggelam bercengkerama dengan sudut bumi ini sebagai randezvous-nya.

Kau pecinta hujan. Aku pun begitu.

Kau musafir penyediri. Akupun begitu

Di suatu waktu aku pernah merasa bahwa kau bisa menjadi aku, begitu pun sebaliknya. Aku yang paling mengenalimu, aku yang paling mengertimu, aku yang mampu memahami emosimu, aku bahkan sangat ahli membaca bahasa isyaratmu. Mataku mampu memindai sekedip saja dalam detik yang berbeda, sekejap saja dalam kerjapan yang tak sama, dan sekedutan saja dari lengkung bibirmu yang tak sengaja kau paksakan. Akulah yang paling mampu menyelami kedalaman hatimu, hingga jadi yang pertama tahu ketika kau sedang tak baik-baik saja.

Sayangku, akulah yang paling tahu….

Waktu tenggelam ditelan jaman dan aku tetap saja tak mampu beralih hati. Ingatkah kau ketika kita membuat janji setia yang tersegelkan air hujan sebagai pengesahnya? Sebuah janji untuk terus bergandengan tangan sampai detik terakhir kita tak mampu lagi.

Setelahnya, kita berjuang keras untuk membuktikan janji itu. Berbagai persimpangan, kelokan dan jembatan telah kita lalui sambil memegang teguh rantai atas nama hati yang melingkari. Kupikir rangkaian jemariku dan jemarimu akan tetap terjalin selamanya. Ternyata tidak begitu. Manusia hanya membuat janji, Tuhan jugalah yang berhak merestui

Hari itu hujan dan sebuah pertengkaran kecil memimpin jemari kita untuk saling melepas tautan. Tak lagi kita mempedulikan riak hujan yang memelas memohon keleluasaan hati. Bahkan gemericik yang menampar wajahku pun, seolah tak punya kuasa untuk melembutkan hatiku yang bebal dan tak mampu beranjak dewasa.

Perpisahan singkat di tengah hujan menggulirkan perpisahan panjang yang ternyata selamanya.

Mereka bilang kau melepas nyawa sambil tersenyum manis. Tubuhmu lunglai, layaknya bidadari tidur merebahi kelamnya aspal, sementara jiwamu terlepas dalam semangat yang merajalela. Aku bisa membayangkan bagaimana hujan mengurai rambutmu dan membasahinya dengan alunan sendu orkestra perpisahan. Bulir airnya memelukmu dan melarutkan sakitmu, memudarkan warna merah darahmu yang seolah tak terbendung lagi. Gemericiknya menggelitik permukaan kulitmu seolah ingin menciptakan butir mutiara berkilau cahaya, menanggung hasrat untuk menyelubungi tubuh yang terkasih.

Setiap mengingat hujan, aku selalu mengingat kau. Sang pecinta hujan yang menutup mata dalam pelukan kekasih sejatinya. Berdekapan saling mendampingi hingga detik napas terakhir terhela lalu terhenti.

Ternyata, kekasih yang memegang teguh janji untuk menggandeng tanganmu sampai mati, bukanlah aku.

Bertahun-tahun lamanya, aku tak pernah berubah. masih setia mengunggah kenanganmu sambil berdiri diam di tengah hujan.

Dulu kau selalu tahu dimana bisa menemukanku. Tapi sekarang, bahkan hujan sederas apapun tak akan bisa mempertemukan kita kembali.

Kau mungkin tak pernah tahu betapa panjang rasa syukurku karena pernah bermandikan hujan bersamamu. Relung batinku memang lusuh dan berdebu, tapi akan selalu ada tempat untuk mengenangmu, juga mengenang hujan yang selalu memelukmu.

Tahukah kau, bahwa hujan sesungguhnya selalu memainkan musik rahasia yang hanya bisa didengar oleh para penanggung rindu?

Sayang, aku tidak akan pernah beranjak dari sini. Dari tempat awal dimana kau menengadahkan kepala malu-malu pada perjumpaan pertama kita, sampai satu saat nanti ketika aku menyusul mati. Akan kupanjatkan doa untukmu selalu, tenanglah di sana, tak usah pikirkan aku lagi, segila apapun aku memikirkanmu.

Biarkan kuberdansa sendirian sambil memeluk hujan. Serpihanmu kuyakin masih ada di sana, bersama buliran air yang terjun bebas dan jatuh dalam dekapan, bersama kecupan dingin dari basahnya air menyentuh kulit, yang kuyakin memiliki sepercik memori tentang bibirmu.

Aku akan selalu datang, sayang. Ke tempat kita pernah berdansa di bawah hujan, langkahmu dan langkahku berkecipak tak mau berhenti, menari-nari di bawah percik musik gemericik. Seperti biasa, membebaskan diri dari segala macam pedih.