Special music for this episode : Dermot Kennedy – An Evening I Will Not Forget
Baca Parts Lainnya Klik Di sini- Perampas Waktu #14 Lamunan Senja
- Perampas Waktu #13 Melepas Benci
- Perampas Waktu #12 Kamu Harus Kuat
- Perampas Waktu #11 Terlucuti
- Perampas Waktu #10 Perempuan Kuat
- Perampas Waktu #9 Perempuan dan Secangkir Kopi
- Perampas Waktu #8 Lelah
- Perampas Waktu #7 Melupakan Lalu Pergi
- Perampas Waktu #6 Teruntuk Sang Hati
- Perampas Waktu #5 Menunggumu Pulang
- Perampas Waktu #4 Perempuan Yang Suka Membaca
- Perampas waktu #3 Sang Perampas Waktu
- Perampas Waktu #2 Menelikung Hati
- Perampas Waktu #1 Kau dan Hujan
Aku menuliskan kisah ini dengan jari gemetar dimakan usia, kisah tentang sentimen yang bertepuk sebelah tangan. Ketika takdir menyilangkan jalan kita dalam keadaan yang penuh kesialan yang tak pernah kusesali.
Akan tetapi, kesan cantikmu masih sama saja, tersimpan lama, tak berubah bentuk. Bahkan ketika keriput mendatangkan guratan getir aroma masa lalu yang terukir di dahiku.
Kini ketika duduk sendiri, menua dalam sepi, pejam mataku membawa lamunan jiwaku mengikuti bisikan rindu, membawaku kepada tempat di mana kau seharusnya berada.
Langit yang bergelung kelabu layaknya makhluk fantasi yang berhibernasi itu menawarkan badai petir yang semestinya telah berhasil kubuang dalam-dalam. Kau menggiringku pada rintik hujan, memberiku cangkir gelap berisi segelas kopi panas beraroma rempah, yang tersesap tanpa sengaja saat kucicip rasa pekatnya. Membuat lidahku menapisnya tanpa sepah.
Ternyata aku masih menyimpan rindu itu. Kepadamu. Kepada rasa kagum yang berangsur menjadi renjana bertepuk sebelah tangan. Mengasihi tawamu yang selalu mampu membuatku menggelarkan tawa dan tangis bersamaan dalam syukur dan juga sendu. Pahitmu juga terkadang menusuk di pangkal lidahku, kadang ingin tak kuacuhkan tetapi getirnya terlalu pekat untuk diabaikan.
Kau adalah satu-satunya manusia yang mampu menyerpih hatiku hingga jadi debu berserakan. Dingin. Meninggalkan jejak beku yang tak bisa mencair sampai kini. Ada waktu di mana aku ingin bertahan menggenggammu, tetapi serpihan esmu kadang menyayat kulitku. Salahku sendiri yang terlalu dekat.
Kau adalah satu yang pernah memelukku di antara badai kehidupanku. Kau yang pernah membisikkan mimpi itu, bahwa kita akan menang di atas bahtera yang kita dayung sendiri, menghantam ombak, menghalau topan, menari di atas pusaran palung laut dan kemudian tertawa bersama, menyelipkan perasaan duka dan berandai-andai, penuh dengan kalimat ‘kalau saja’ yang kemudian kalah oleh takdir kenyataan di depan mata.
Kau yang akhirnya kulepas pergi selalu meninggalkan jejak silu yang menari di lekuk hati tersembunyi. Kau yang kubiarkan bebas adalah kulminasi putus asa dari hati yang lelah bertarung. Aku sudah menghabiskan napasku untuk mencoba menggenggammu, mengikiskan semarakku untuk berjuang mempertahankanmu dan memeras bahagiaku menjadi ampas hanya untuk menyadari bahwa yang terbaik adalah melepasmu.
Tulisan tentangmu dulu masih selalu berhasil menggulirkan air mata di pipiku setelah sekian waktu. Tentang kau yang sudah bebas tanpa belenggu menggayuti langkahmu, tentang kau yang bertandak di antara gerimis dan taman bunga, memutari rintik hujan yang segendang sepenarian bersamamu.
Kau yang terus terngiang di telinga masa senjaku, bisikkan sesal bercampur syukur yang terus berputar di antara pusaran awal dan akhir. Kau selalu ada di tempatmu, tak pernah pergi meski sudah digulung masa, mengakar di dalam hatiku, rebah di sana sambil menopang kepalamu dan bisikkan tawa renyah yang masih sama. Di situ memang rumahmu. Baik-baik sajalah kau tetap di relungku.
Saat senja ditelan malam, kupejamkan mata dan mengukir senyum. Memang butuh waktu, tetapi syukurlah aku sudah mencapai titik ini. Titik di mana kenangan tak lagi mematahkan sayap dan melumpuhkanku. Sekarang yang tersisa adalah makhluk penuh kerut hadiah masa tua yang mengkristalkan diri dalam kebanggaan, menjaga rongga kosong di relung batin yang melompong, duduk menatap langit senja sambil menikmati cangkir demi cangkir kopi yang tak berhenti, sebisanya sampai mati.
Sudah waktunya istirahat. Bangunkan aku jika tiba masanya maut berkunjung mengetuk sambil berbisik merayuku.
Bandung. April 2022.
Ditulis saat tiba-tiba tersadarkan, bahwa waktu begitu bersemangat mengurangi jatahnya untuk kuarungi.
Baca Parts Lainnya Klik Di sini
- Perampas Waktu #14 Lamunan Senja
- Perampas Waktu #13 Melepas Benci
- Perampas Waktu #12 Kamu Harus Kuat
- Perampas Waktu #11 Terlucuti
- Perampas Waktu #10 Perempuan Kuat
- Perampas Waktu #9 Perempuan dan Secangkir Kopi
- Perampas Waktu #8 Lelah
- Perampas Waktu #7 Melupakan Lalu Pergi
- Perampas Waktu #6 Teruntuk Sang Hati
- Perampas Waktu #5 Menunggumu Pulang
- Perampas Waktu #4 Perempuan Yang Suka Membaca
- Perampas waktu #3 Sang Perampas Waktu
- Perampas Waktu #2 Menelikung Hati
- Perampas Waktu #1 Kau dan Hujan
So sweet
Tiap baca perampas waktunya ka au7 itu bingung mau komen apa krn dalem banget gitu, ya. Kerasa banget sedih, sakit, dan proses sembuhnya.
Gak tau idenya dari mana dan siapa muse-nya, ini kisah nyata atau bukan, yang penting tetap semangat, Kak.
bangun bangun Kak, sahur sahur…..
Seperti tarik tambang terkadang yg mundur adalah pemenangnya 😌
Tks ya kak udh update.
Aku memutuskan tidak berkomentar karena aku tak tahu harus berkomentar apa tapi aku ingin engkau yang menulis ini tahu bahwa getirmu sampai padaku yang hanyut dalam rangkaian kata-katamu.
Sekian dan terima kasih.
Mmmmm apa ada yg ulang tahun ????
Tetiba teringat bahwa waktu selalu mengingatkan jatah hidup berkurang tiap tahun ….
Tersindir lewat lagu “panjang umurnya..panjang umurnya..?”
Dan aku tersadar akan apa yg telah kuberikan…
Bukan hanya tentang apa yg aku perlukan…😥😥
Keriput yg mencerminkan usia tua ya tua mendekati akhir usia..
Tak mampu tertutupi kenyataan banyak produk anti aging 🙃🙃🙃
Tetap saja waktu mengingatkan bak alarm .. selalu menegaskan ..
Waktu terus berjalan..
Gunakan sebaik mungkin..
Gunakan untuk hal hal yg positif..
Semangat buat author….dan semuanya…
Galfok dengan anti aging 🙃
Walaupun Senja hanya menebar pesona sekejap mata. Berpacu dengan rotasi yang menggerus waktu dunia. Tetapi bersemoga, hangatnya di ufuk Barat menjadi penawar getirnya lidahmu saat mencecap kopi pahitmu.