Baca Parts Lainnya Klik Di sini
==========
Ia terhuyung-huyung berdiri, pukulan yang dilayangkan padanya cukup membuatnya terjengkang. Ia merasakan panas di pipinya, yakin bahwa disana akan timbul bekas kebiruan keesokan harinya. Ia merasakan anyir di seluruh mulutnya dan ada sesuatu seperti menggelinding di lidahnya, terasa juga ada bagian yang lepas dari salah satu deret gigirnya. Ia mendorongnya keluar, seperti orang meludah dan biji gigi itu meluncur seperti peluru menghantam aspal jalan.
“Huh, payah,” cibirnya sambil menyeka mulutnya dengan punggung tangan.
Cibiran itu ditujukan pada ketiga anak laki-laki yang sekarang berdiri menantang di depannya. Ketiganya memiliki model yang sama, seragam yang lecek dengan selurung kancingnya terbuka, wajah sangar, rambut diwarna terang, serta kelakuan kasar yang menunjukan bahwa mereka adalah preman sekolah.
“Masih ingin melawan, huh?” salah satunya yang bertubuh kekar itu adalah pemimpinnya.
“Sepertinya dia sudah mulai payah. Apa perlu kita menghajarnya lagi sampai jera?” tanya seorang anak buahnya yang bertubuh kurus.
“Hahaha, kupikir dia tangguh sampai berani berulah seperti itu. Ternyata dia payah, dasar bedebah kecil,” kata si pendek dan gempal—salah satu anak buahnya yang lain.
“Hmppfufufu….” tiba-tiba ia tergugu.
“Berengsek! Apa yang kau tertawakan? Kau meledek kami, huh!” teriak si pendek marah.
“Berani-beraninya kau tertawa di depan bos, dasar sampah!” cibir si kurus.
“Hah, berengsek? Bedebah kecil? Payah? Sampah? Hah … hahahaa….”
Tawanya semakin menggelegar, membuat geram ketiga preman sekolah tersebut, lalu tiba-tiba ia berhenti tertawa. Sambil bersandar pada pagar besi di belakangnya ia menatap ketiga anak lelaki itu, menghafal wajah-wajah mereka satu per satu.
“Apa yang kau lihat?!” bentak si kurus.
“Masih ingin dihajar?” timpal si gempal.
“Huh, …cut,” gumamnya tidak jelas.
“Haa? Apa kau bilang?”
“Pengecut! Kalian hanya sekumpulan pecundang, berengsek, dan sampah!” teriaknya dengan lantang dan menantang.
“DASAR BERENGSEK KAU!!”
Hal berikutnya yang terjadi di jalan sempit itu adalah suara hantaman dan bantingan benda keras. Tidak ada satu pun yang mendengarnya, tidak ada satu pun yang ingin melihat peristiwa mengerikan itu, tidak ada satupun yang menginginkan hal itu.
Tidak, terkecuali ia sendiri.
Ketika dia bangun keesokan harinya, dia merasa tubuhnya remuk. Sakit ditulang rusuknya, wajahnya, juga kaki dan telapak tanganya, bahkan dia merasa sesak di ulu hatinya.
Dia merangkak bangun meski harus terhuyung-huyung, dia beranjak ke kamar mandi, membersihkan diri dari sisa darah yang mengering kaku di sudut bibirnya. Lebam dan luka sobek tertinggal membengkak di pelipis matanya, juga punggung tangannya.
Kemarin ia berhasil melumpuhkan ketiga preman pengecut itu sendirian. Seperti dugaannya, mereka hanya pecundang yang bersembunyi di balik penampilan sangar mereka saja.
Sialnya, meskipun dia menang, satu lawan banyak orang sekaligus tetap saja bukanlah pertarungan yang adil. Dia cukup kepayahan menghadapi mereka, dan ini bukan kali pertama baginya.
Percayalah, dia sudah melalui hal-hal semacam ini berkali-kali, sering dia hampir mati dihajar oleh orang-orang yang sama, orang-orang brengsek, payah, bedebah, pecundang, dan sampah. Jenis orang yang sesungguhnya sama sepertinya.
Tapi baginya, rasa sakit di sekujur tubuhnya tidaklah sesakit apa yang dia rasakan selama ini.
Hari ini ia enggan ke sekolah, ia tahu jika dia datang ke tempat itu. kemungkinan besar ia berakhir di kantor guru bimbingan konseling, mendengar ceramah, dan menunggu orang tuanya datang.
Namun, seperti sudah diketahui sebelumnya, gurunya tidak akan lama menunggu orang tuanya datang untuk menjemputnya, karena ia tahu orang tuanya tidak akan mau repot-repot datang hanya untuk mengurus masalahnya. Ia paling hanya diberikan surat peringatan entah keberapa kalinya, surat yang hanya akan berakhir membusuk dan tak dibaca. Jadi, akan lebih baik jika dia tak usah pergi.
Ya, lagi pula ada tempat yang lebih penting yang ingin ia kunjungi hari ini.
Ketika dia keluar dari tempat busuk itu, matanya harus bereaksi dengan cepat karena cahaya matahari menyapa retina matanya lebih dulu. Netranya itu membutuhkan penyesuaian sesaat sebelum ia benar-benar bisa melihat hamparan gedung yang disuguhkan oleh kota itu setiap harinya.
Dengan tatapan menerawang dia menatap hamparan gedung itu, penuh kebosanan yang konstan. sebelum akhirnya dia menggerakkan tubuhnya pergi menuruni tangga.
Kota itu masih sama, udara, ingar bingarnya, orang-orangnya, dan segala hal di dalamnya. Tapi baginya kota itu tak pernah sama lagi di matanya, setidaknya di dalam dirinya sendiri. Ada yang hilang dari kota itu, bagian yang sangat kecil yang tidak semua orang mengetahuinya. Bagian itulah yang kemudian juga membawa perasannya pergi, membuat hatinya seperti kota mati.
Dia membebat tangannya dengan perban baru, luka di pelipis dan sudut bibirnya ia tutup dengan plester sewarna kulit, sedang memar di pipinya hanya dia olesi dengan salep luka. Jalannya masih sedikit terhuyung karena menahan sakit di perutnya.
Saat ia akan berbelok, ia melewati seorang penjual bunga di tepi jalan.
“Kau ingin bunga, Nak?” tanya si penjual wanita itu sambil menyodorkan sebuket bunga mawar padanya.
Ia hanya menatapnya lalu menggeleng samar. kemudian berlalu. Ia memang tak terlalu membutuhkan bunga.
Lagi pula bunga-bunga itu tidak akan tumbuh di tempat itu dan orang itu tidak membutuhkannya.
—Aku suka lili–
“Bahkan aku masih bisa mendengar suaranya,” gumamnya lirih menahan pedih, berbicara kepada dirinya sendiri.
Dia sampai di sebuah jalan yang sepi di pinggiran kota. Tempat itu berpagarkan jaring kawat besi. Dia menggenggam sebuket bunga yang disiapkannya sendiri di tangan kanannya, lili putih yang cantik.
Tempat itu terlihat sama seperti sebelumnya. Ada rasa sesak yang menghimpit dadanya sejak ia masuk ke jalan itu dan emosinya kembali pada kejadian tiga tahun lalu.
Dia berhenti melangkah saat dia tiba di belakang sebuah pabrik dengan mesin berdengung keras.
Dia menengadah menatap langit yang hari ini tampak cerah seperti biasanya.
Lalu ia menunduk dan mengawasi sekeliling.
Tempat itu sudah bersih.
Dua tahun lalu, saat ia mengunjungi tempat itu, sisa-sisa peristiwa itu masih ada. Namun, sekarang jejaknya sudah menghilang.
Dia meletakkan buket bunga itu di bawah pagar, lalu dia berdoa dalam hati, mungkin seperti orang berziarah pada umumnya.
“Semoga kau selalu bahagia di sana.”
Setelah berdoa dia masih berdiri di sana, pikirannya kembali pada kejadian tiga tahun yang lalu. Ketika ia menemukan seorang gadis sekarat di sana dengan tubuh penuh luka dan gadis itu adalah orang yang sangat ia cintai.
Tak ada saksi mata yang melihat apa yang terjadi pada gadis itu, tidak ada. Pelakunya pun masih berkeliaran.
Dan satu hal yang membuatnya murka adalah dirinya yang tak bisa melakukan apa pun saat itu.
“Apa kabarmu? Kuharap kau baik-baik saja.”
Tentu saja tak ada yang menjawab pertanyaan itu. Keheningan di sana hanya diisi oleh suara deru keras dari mesin dan angin musim semi yang membawa sesak di dadanya.
“Kau tahu? Aku baru saja menghajar tiga bajingan kemarin. Mereka preman sekolah yang payah. Dan inilah hasilnya.” Dia menyentuh bekas lukanya.
“Jangan khawatir, aku baik-baik saja. Sekarang … aku tidak seperti dulu lagi, aku tidak lemah seperti dulu lagi.”
Dia duduk sambil bersandar pada pagar besi di belakangnya, dia menengadah ke atas lagi.
Pada saat-saat tertentu mata itu memancarkan kesepian dan duka yang teramat dalam.
Kemudian ia kembali teringat dengan peristiwa itu, hatinya mulai terisi lagi.
“Andai saja, andai saja saat itu aku datang lebih cepat. Andai saja aku lebih kuat seperti sekarang, kau … pasti bisa aku lindungi.”
—Dasar bodoh. Payah. Tolong aku–
Tanpa bisa ditahan lagi sungai yang telah ia bendung sedemikian rupanya tak dapat ditahan lagi. Hujan menyapa wajahnya. Dia meringkuk di sana, dengan kesedihan yang teramat menusuk, dengan kesunyian yang memasung hatinya, dengan sakit hati yang mengurung jiwanya, juga duka yang memadamkan seluruh asa di hatinya.
Dia bawah langit musim semi, di samping sebuah buket lili yang mulai layu, bersandar pada sebuah pagar besi, dan di atas jalan yang senyap itu, dia menangis, meraung menjeritkan segala kesedihannya, ketidak berdayaannya, rasa bersalahnya, juga rasa hancur yang menyiksa dirinya.
Dia meluapkan semuanya, meski dia tak akan pernah bisa benar-benar lupa. Selamanya.
April 11, 2017 (18:33).
-edited by @author6 Project Sairaakira–
Duhhh sedih kli bca cerita ni malem2 huhu
Hiks hiks