Coretan By Chocovado

9. The Rain

Bookmark
Please login to bookmarkClose

No account yet? Register

13 votes, average: 1.00 out of 1 (13 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

 

Baca Parts Lainnya Klik Di sini

==========

download (1)

Ketika aku membuka mata, hal tertama yang kulihat adalah hujan dan … kau.

Jutaan air jatuh menghunjam bumi, membasahi jalan-jalan, dedaunan, membasahi unsur hara, memberi kehidupan. Aroma tanah nan kering bercampurkan air menyeruak dalam indra penciumanku, lalu riuh rendah mulai terdengar di atas kepalaku, terdengar pula suara orang-orang mendesah—mungkin karena kesal—juga derap cepat sepatu orang-orang mulai terdengar nyata di telingaku, menarikku kembali untuk sadar bahwa waktu masih berjalan.

Dan kau berdiri di bawah sana, bersama hujan yang menerjang di sekitarmu.

Kuingat hari itu masih musim panas, atau bisa kukatakan penghujung musim panas. Hujan membuat tekanan udara berubah seketika, lebih sejuk tapi masih tetap hangat. Tidak lembap tidak pula panas, tidak kering tidak juga basah. Meski begitum nuansa sejuknya tidak lantas membuatku mendingin. Tetapi kau berbeda, kau telah siap dengan baju hangatmu, hijau muda garis-garis putih.

Sebuah payung bening menaungimu, melindungimu dari serangan hujan yang kian menderu. Sepatumu telah setengah basah—tidak heran karena kau berdiri di atas genangan air. Namun, kau seolah tidak peduli, kau malah asyik menikmati hujan yang turun hari itu.

Tanganmu lalu menengadah, keluar dari lindingan payungmu, menjulur sengaja dan membiarkan hujan membasahi langan bajum yang meskipun sebenarnya telah kau gulung, tetapi tetap basah karena angin mengembuskan rintik hujan ke arahmu.

Sesekali kau berlari kecil, melompat-lompat dari genangan satu ke genangan yang lain, persis seperti anak kecil yang baru mengenal nikmatnya hujan, berputar-putar seolah-olah  tengah berada di sebuah lantai dansa kerajaan dan asyik menari waltz dengan musik latar nan lembut. Lalu akhirnya kau bersorak riang sambil melempar tanganmu tinggi-tinggi ke udara, hingga sekarang kau tidak lagi dalam naungan payung kesayanganmu.

Bagaimana aku bisa tahu? Mungkin karena kantung kecil yang kau gantungkan di gagang payungmu. Entah apa itu. Jimat keberuntungan … mungkin.

Aku masih memerhatikan dari tempatku, mengawasi senyum yang mengembang di bibirmu mampu membuatku ikut mengangkat sedikit sudut-sudut bibirku. Sekadar ikut bahagia dengan tingkamu yang—aku tidak yakin bagaimana aku harus mengatakannya– sedikit memalukan.

Ah, bahkan aku tahu nama atau asalmu. Namun, entah kenapa aku merasa bahwa senyum yang tunjukan itu … hanyalah kepalsuan.

Seolah-olah, kau sedang menutup sesuatu yang bercokol dalam kegelapan hatimu.

Seolah-olah, kau hanya sedang menghibur dirimu sendiri.

Seolah-olah, kau tidak benar-benar berada di sana.

Seolah-olah … kau sedang melarikan diri….

Sepertiku.

Aku menatap ujung-ujung sepatuku yang kurasa kian melembap, kemudian aku menengadah, menatap bulir-bulir yang kian deras. Sepertinya mereka tidak berencana akan segera reda.

Embusan angin membuat udara kian turun, aku bahkan mulai merasa merinding kedinginan, sementara kau … masih berdiri di bawah hujan.

Kau telah menurunkan payungmu, membiarkan hujan membasahimu. Tentu dengan senang hati hujan lebih deras menimpamu saat kau membuka diri seperti itu, mengguyurmu sampai tak ada lagi ruang kering di tubuhmu.

Wajahmu bahkan kian memucat, aku sampai takut kau terkena flu, rambutmu telah basah kuyup, meneteskan bulir-bulir air di ujung-ujung rambutmu. Senyum yang tadi mengembang di bibirmu telah memudar. Matamu kian sendu, bibirmu tertekuk ke bawah, dan tubuhmu mulai gemetaran.

Dan aku tidak yakin air yeng mengalir di sudut matamu itu adalah air hujan atau … tangisanmu?

Lalu aku kembali menatap ujung-ujung sepatuku. Bus yang harusnya kutumpangi telah datang, satu per satu orang meninggalkan halte. Yang tersisa di sana hanyalah aku … juga hujan yang masih turun.

Aku mendengar suara deru mesin yang meninggalkanku tak mau sekadar menunggu calon penumpang yang tak juga beranjak naik.

Sekarang aku bisa mendengar hujan yang turun dengan khidmat;

Suara hujan yang menimpa dedaunan,

Hujan yang menimpa ranting-ranting,

Hujan menimpa batang pohon,

Hujan menimpa atap-atap rumah,

Hujan menimpa atap-atap halte,

Hujan menimpa kaca-kaca,

Hujan menimpa bahu-bahu jalan,

Hujan menimpa aspal-aspal jalan,

Hujan menimpa genangan-genangan air,

Dan, hujan menimpamu….

“Kau sedang apa?” Aku tak tahu darimana datangnya keberanianku untuk menegurmu.

Dia terkejut.

“Kau akan sakit kalau terus berdiri di sini.” Aku menegur lagi.

Dia menoleh.

Wajahmu benar-benar pucat, bibirmu yang tadinya mungkin merah sekarang berubah pink pucat setengah membiru dan tampak bergetar kedingina. Matamu—kurasa kau memang menangis—telah memerah dengan menyedihkan. Tanganmu tampak terkepal di samping tubuhmu, meremas kuat baju hangat yang kau kenakan hingga keluar airnya Aku sampai khawatir kuku-kukumu bisa melubangi bajumu sendiri.

Aku menaungkan payung yang sebelumnya kau geletakkan. Payung itu sekarang telah kembali menaungimu, tentu saja dengan bantuanku.

Hari itu penghujung musim panas, hujan turun tiba-tiba, udara berubah drastis, aku berdiri di bawah hujan dengan sebuah payung transparan di tanganku, mendengarkan hujan turun di atas kepalaku, dan kau yang menatapku terkejut sekaligus senang.

Hari itu, seperti sebuah gerakan slow motion dalam film bisu. Seperti hanya ada kami di sana, seperti hujan menjadi suara latarnya.

Lalu kau berbisik dengan suara samar nyaris tak terdengar.

“Aku … kamu.”

October 15, 2018. (18:55).

 

guilherme-araujo-final-chibi-port-removebg-preview

-edited by @author9 Project Sairaakira

1 Komentar

  1. Aihhhh bru kalimat pertama aja dah sweet kli nih ka
    Btw tu ngomong apa ya akhirnya ‘Aku apaaaaa…….’
    Kan penasaran 🤭