Baca Parts Lainnya Klik Di sini
==========
Saat itu adalah musim semi yang bahkan tak bisa kunikmati sama sekali. Tahun ajaran baru, kelas baru, murid baru, disibukkan dengan demo ekskul, dihiasi bunga sakura yang bermekaran.
Banyak yang membuatku bosan dalam segala hal, kelas, guru, bau kapur di papan tulis, suara berisik dari klub olah raga, suara tawa renyah di tengah tugas yang berbelit, suara keluh orang-orang, juga dia yang hanya termangu menatap langit musim semi seolah itu adalah … sebuah kiamat.
Oh, aku tahu ini sedikit mengerikan mengatakan hal itu tapi aku berkata jujur kali ini. Dia menatap langit setiap hari dengan tatapan yang seolah-olah menyiratkan kalimat ‘Ah, aku sudah tidak punya harapan’ atau ‘Duniaku sudah hancur’ atau ‘Masa bodoh dengan hidup’.
Aku tidak mengerti kenapa bisa aku menyimpulkan semua hal itu? Namun, setiap kali aku melihat dia yang hanya termangu menatap jendela setiap harinya, entah kenapa membuatku sedikit sebal.
Karena sikapnya itulah, dia tidak pernah tahu jika bukan hanya ada orang itu. Bukan hanya ada orang itu yang bernapas di dunia ini, bukan hanya ada orang itu yang hidup di dunia ini.
Ah, cinta masa muda.
Aku mengatakannya bukan berarti karena aku sudah tua. Tidak! tentu saja.
Sebenarnya aku tidak terlalu mengerti dengan cinta semacam itu, aku pikir itu hanya sebuah fiksi, omong kosong yang terus diperbarui dari era lama hingga menjejak ke era baru, dari zaman nenek atau kakek moyang yang diteruskan hingga ke zaman cucu-cicit mereka.
Aku tidak mengerti semua kisah klise itu. Aku tidak mengerti, aku juga tidak mengerti dengan dia.
Dengan segala hal yang dia lihat, hal yang dia rasakan, juga hal yang membuat dia begitu larut dalam dunianya sendiri. Aku pikir ini seperti sebuah literatur klasik dari era Victoria atau zaman kerajaan dulu. Namun, kembali lagi, ini kisahku. Kisah yang bahkan aku tidak menyangka bahwa aku akan bisa mengalaminya.
Hanya … sebuah kisah omong kosong, klise, dan … entahlah.
Entah bagaimana, hari-hari itu berlalu dengan cepat, tanpa tahu kapan aku bisa berhenti melakukan hal konyol ini. Aku terus melakukannya berulang-ulang, berhari-hari, berjam-jam, bermenit-menit, bahkan di setiap detiknya.
Aku sempat bertanya, ada apa dangan diriku saat ini?
Tapi kemudian aku sadar aku baru saja mengalami fase yang sangat klise dan menyebalkan itu.
Aku jatuh cinta padanya.
Ingin tahu kisah awalnya? Tidak?
Bukan masalah karena aku tetap akan memaksa menceritakannya.
Aku, hanya bertemu dengannya sekalim ketika itu di kelas bahasa. Ada beberapa hal yang tidak aku suka dalam kelas ini. Selain guru yang membosankan, juga ada beberapa anak yang pernah satu sekolah denganku ketika SD dulu dan mereka sungguh menyebalkan, mereka suka mengorek-ngorek informasi pribadi demi kesenangan, lalu bangga saat berhasil membongkar beberapa rahasia kecil kami yang memalukan kepada seluruh anak di kelas. Menjengkelkan.
Di kelas bahasa itu, aku bertemu dengan seorang gadis berambut panjang yang mata yang menyorotkan kesepian di saat senja di musim gugur tahun lalu. Sekali dua kali aku melihatnya termangu di dekat jendela setiap senja datang, lalu aku juga mendengar beberapa gosip tidak mengenakan dari beberapa siswa di kelas bahwa beberapa waktu lalu … bahwa kekasihnya meninggal karena sakit.
Sejak saat itu aku mengerti kenapa dia begitu menyedihkan. Aku mulai menatapnya sinis karena aku tak paham bagaimana bisa manusia memilih terus menjejak pada sesuatu yang telah tiada dan berkubang di sana tanpa mau menyelamatkan diri? Namun, kemudian aku sadar kalau ternyata, tatapan mataku kepadanya itu lebih dari perasaan sinis. Ternyata… itu adalah tatapan iri.
Iya, aku iri pada orang mati itu, aku iri karena masih ada yang begitu mencintainya bahkan setelah dia tiada, ternyata masih ada yang begitu berharap jika semua kisah kepergiannya itu hanyalah sebuah mimpi buruk dalam tidur dan hanya sebuah ilusi. Aku iri.
Beberapa saat lalu aku mulai mencoba bicara dengannya, berbicara tentang apa pun. Dia memang menyahut, tapi tatapan mata itu tidak pernah bersinar, tidak pernah seperti berkilauan lagi. Lagi? Ya, jujur saja aku memang pernah melihatnya dengan berhias senyum merekah di bibirnya. Sungguh seperti berlian asli, sangat cantik.
Beberapa kali aku mengajaknya mengobrol seperti itu, lalu aku jadi jengkel sendiri. Kenapa? Tentu saja karena dia tidak pernah menganggap lawan bicaranya ada, tidak pernah menatapku, tidak pernah mengubah tatapan kosong itu dengan tatapan yang bersinar seperti dulu. Dia telah menganggap semuanya mati, bahkan hatinya.
Cemburu?
Ah, mungkin benar. Aku cemburu pada orang mati itu, pada awan kelabu selepas hujan yang dipandanginya dengan sendu, bahkan pada jendela yang kenyataannya lebih sering dia lihat setiap menit dan detik waktunya dibandingkan diriku. Itu memang konyol. Sebab, bagaimana bisa aku cemburu pada benada-benada itu—termasuk orang mati itu?
Namun, begitulah kenyataannya. Aku cemburu.
Begitulah kisah kliseku, kisah yang terlalu tersembunyi dari riuh kelas, dari tatapan tajam guru, dari bisik-bisik menjengkelkan orang-orang, juga dari rasa berkabung seseorang. Kemudian diam-diam aku akan melupakannya membiarkan awan kelabu menghancurkan semuanya, meleburkannya menjadi tetes-tetes rinai hujan yang akan jatuh entah ke mana setelahnya, lalu hanyut samar dan menghilang tanpa jejak.
Inilah kisahku, kisah cinta pertama yang klise, tragis, sekaligus ironis. Karena aku tidak lebih dari seorang pengecut kecil yang tidak mampu mengungkapkan perasaannya pada seorang gadis yang berhiaskan tatapan menyedihkan dalam setiap harinya.
Ini kisah masa mudaku, kisah mengenaskan dari sisi musim semi yang menghangatkan, tetapi ternodai oleh hati berdarah karena cinta tak berbalas.
Desember 23, 2015 (20:56).
-edited by @author6 Project Sairaakira–
Kisah cinta pertama tuh emang paling diinget ya hihi