When Our Heart Speaks |part 1|

(20 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.Loading...
Loading…

I. New Housemaid

 

“Ise, sini kamu!” seru Nima-kepala pelayan di kediaman keluarga Arnan kepada Aissye yang sedang sibuk membenahi seragam barunya. Beberapa pernak-pernik menghiasi seragam yang baru kali pertama dipakainya itu. Ada name tag yang berisi namanya, Aissye Hara, di dada sebelah kanan. Juga bros bulat kecil berlogo ‘A’ lengkap dengan ukiran emasnya yang melambangkan Arnan Group tertempel cantik di dada sebelah kirinya. Seragam pelayan berwarna biru laut dengan aksen putih di beberapa bagian dan pita di bagian pinggang belakang tampak sangat pas ditubuhnya yang lumayan mungil. Bawahannya berupa celana dasar berwarna senada yang menutupi kakinya yang tidak seberapa jenjang.

Sambil sedikit menggerutu, Aissye mendekat ke arah Nima. Bukan kali pertama orang-orang memanggil namanya dengan pelafalan yang salah. Issye, bukan Ise. Dasar lidah orang Indonesia. Suka seenaknya saja mengucapkan nama orang, yang penting bagi mereka tidak sulit saat mengucapkannya. Tidak peduli yang punya nama suka atau tidak dipanggil begitu.

“Kamu sekarang pergi ke Paviliun Biru, temui pelayan perempuan bernama Derina. Bilang ke dia, saya menyuruhnya memberi Pelatihan Kepelayanan untukmu mulai hari ini hingga seminggu ke depan. Sana!” perintah Nima tidak lupa dengan nada galaknya setibanya Aissye di hadapannya.

Baru saja Aissye membuka mulut ingin bertanya, lagi-lagi Nima malah mengusirnya dengan nada setengah membentak, “Kenapa malah diam?! Pergi sana!”

Aissye sedikit berjengit. Matanya mengerjap beberapa kali sebelum berkata dengan tergagap, “I-itu… Paviliun Biru… i-tu letaknya di sebelah mana, Bi?”

Mendengarnya, seketika Nima melotot sambil berkacak pinggang. “Jadi, kamu belum hafal letak gedung-gedung yang ada disini? Astaga! Jangan bilang kamu juga nggak tau ruangan-ruangan yang ada di sini?! Kamu tahu ini kediaman siapa?!” Nima membombardir Aissye dengan pertanyaannya yang bernada jengkel itu.

Reaksi Aissye malah bingung ditanya seperti itu. “Ehh?”

Nima mendengus, dari wajahnya seperti keluar asap tebal. “Saya tanya bener-bener, kamu cuma jawab ‘Ehh?’, jangan kurang ajar!”

Waduh pelototannya tambah lebar, Aissye semakin ngeri.

“Kamu tahu siapa saya???” tanya Nima lagi.

Baru Aissye ingin menjawab, sudah disergah Nima dengan kibasan tangan dan gelengan kepala.

“Itu pertanyaan nggak penting, pasti kamu tahu siapa saya,” ucap Nima terlalu percaya diri. Sebelah tangannya yang masih berkacak pinggang diturunkannya dan dibawanya ke saku depan seragam kepala pelayannya. Lalu disodorkannya sebuah denah kediaman keluarga Arnan lengkap berukuran 40cm x 30cm yang dilipat-lipat sedemikian rupa hingga cukup dimasukkan dalam sakunya kepada Aissye yang berdiri diam dengan kening berkerut-kerut.

Ugh! Kalau Aissye sadar, nggak bakal mau dia mengerutkan dahinya yang tidak seluas lapangan golf itu.

“Ambil cepet, malah bengong!” semprot Nima.

Aissye langsung mengambil denah itu dengan hati bersungut-sungut. ‘Ih, galak bener!’ keluhnya dalam hati.

“Kamu pelajarin denah itu di situ! Saya kasih waktu satu jam. Setelah itu kamu harus ke Paviliun Biru. Mengerti?” perintah Nima, sembari menunjuk kursi dan meja pantry yang letaknya paling pojok, deket dengan jendela kaca besar yang menampilkan tropical garden artifisial yang sangat indah. Bunga dengan aneka warna ditata membentuk rumpun-rumpun dan sangat artistik. Beberapa capung dan kupu-kupu hinggap di kelopak-kelopak yang bermekaran. Ada juga curug artifisial di tengah rerimbunan pohon dan semak. Di curug itu air jernih mengalir ditempa cahaya matahari yang membuatnya berkilauan. Benar-benar pemandangan yang memanjakan mata.

Untuk beberapa detik Aissye terpana. Saat sadar Aissye buru-buru membungkuk hormat sembari berseru, “Mengerti, Bi.”

***