“Besok Ibu berulang tahun.”
Kenzo berbisik pelan ke telinga Freya, mereka berdua sedang berada di dapur dan mencuci piring bekas makan malam. Dobra dan Kenzo memang selalu bergantian membantu Freya mencuci piring setelah mereka makan malam bersama. Davoli kadang-kadang juga ingin membantu, tetapi karena dia masih kecil, Freya hanya memintanya membantu mengelap piring-piring makan yang sudah dicuci lalu meletakkannya di atas rak piring di atas meja makan, dan diizinkan membantu seperti itupun Davoli sudah senang sekali.
Mengingat Davoli membuat Freya tersenyum lembut, dia mendongak menatap Kenzo dan senyumnya makin melembut. Kedua adiknya, Dobra dan Kenzo baru berusia empat belas tahun, tetapi tinggi mereka berdua bahkan sudah menjulang hingga melebihi Freya. Tidak disangkanya seiring berjalannya waktu, adik-adiknya yang dulu begitu kecil, yang suka menangis, merengek dan mengikutinya kemana-mana kini telah bertumbuh menjadi sosok-sosok yang sudah dewasa.
“Aku tahu. aku berpikir untuk membuat cake kejutan untuk Ibu malam ini.” Freya balas berbisik. Rumah mereka memang sangat kecil, dan pembicaraan sepelan apapun bisa menembus ke kamar sebelah, jadi jika mereka ingin menyiapkan kejutan untuk salah satu anggota keluarga, mereka harus berbisik-bisik seperti ini biar tidak ketahuan.
“Aku dan Dobra tadi membeli sesuatu dalam perjalanan pulang dari tempat kerja, sedang musim panen di pasar dan kami mendapat diskon karena kami membeli di sore hari jelang pasar tutup.”
“Membeli apa?” Freya mendekatkan telinganya ketika Kenzo membungkukkan badan dan berbisik dekat di telinganya.
“Black sapote”1)
Mata Freya membelalak, dia sampai harus menutup mulutnya dengan sebelah tangan untuk menahankan dirinya supaya tidak memekik kesenangan.
“Kau membeli black sapote?” Freya terkikik, dia meremas tangan Kenzo dengan senang, sementara Kenzo tidak bisa menahan cengiran lebarnya, mata hijaunya yang sama dengan mata Freya bersinar sinar gembira ketika dia berbisik kembali dengan suara tertahan,
“Kau bisa membuat cake cokelat untuk ulang tahun Ibu besok!”
***
Tengah malam ketika seluruh keluarganya sudah tidur, Freya yang sejak tadi duduk menanti di atas sofa tua tempatnya tidur menajamkan telinganya. Sejak tadi dia masih mendengar suara Davoli berceloteh bercerita kepada ibunya. Davoli memang anak yang unik, dia bukannya tidur karena didongengi, tetapi dia tertidur karena mendongeng.
Ketika Davoli dan Mily sudah naik ke atas tempat tidur bersama ibu mereka, maka Davoli akan mulai berceloteh, dia akan bercerita kepada ibu mereka tentang apa saja yang dia lakukan seharian ini, dari bangun sampai kemudian tidur lagi, sementara ibunya dan Mily kecil yang masih belum tahu apa-apa akan mendengarkan sampai tertidur, setelah itu Davoli sendiri yang ketiduran.
Freya tersenyum membayangkan betapa senangnya Davoli besok pagi ketika terbangun dan menemukan cake cokelat untuk perayaan ulang tahun ibunya. Freya juga membayangkan bahwa ibunya pasti akan tersenyum lembut kepadanya dengan mata berkaca-kaca karena haru akan kejutan yang tidak disangkanya.
Membayangkan itu semua membuat Freya semakin bersemangat, dia meloncat dari sofa tua yang didudukinya, menimbukan suara berderit yang keras hingga membuat langkah Freya terpaku waspada. Dia menunggu beberapa saat, dan setelah yakin bahwa suara deritan sofanya tidak membangunkan ibunya, Freya melangkah keluar kamar lalu mengendap-endap menuju dapur.
Dapur sempit itu sekarang gelap gulita, tetapi Freya sudah menyiapkan beberapa lilin di tempat yang bisa dijangkaunya karena dia memang sudah merencanakan untuk memasak cake kejutan malam ini. Freya mengambil lilin itu dan menyalakannya dengan korek api, lalu meletakkannya dengan hati-hati di tempat lilin yang tersedia.
Setelah itu dia berjongkok ke area bahwa meja makan, tempat Kenzo menyembunyikan bungkusan buah yang dibelinya bersama Dobra tadi sore. Freya membuka bungkus kertas buah itu lalu meletakkan buahnya di atas meja sambil tersenyum lebar.
Di Kerajaan Milaya, untuk membuat cake cokelat mereka membutuhkan buah black sapote sebagai bahan utama. Black sapote adalah buah berwarna hijau yang biasanya melimpah di musim panen. Untungnya buah ini mudah didapat karena dalam setahun bisa beberapa kali panen. Buah ini berukuran sedang seukuran buah apel dengan warna hijau olive jika sudah matang.
Buah black sapote yang sudah matang jika dibelah akan memunculkan daging buah berwarna cokelat tua, beraroma cokelat yang harum dan memiliki rasa rasa yang manis, karena itulah black sapote sering juga disebut “buah puding cokelat” karena rasanya yang sangat mirip dengan puding cokelat.
Dengan hati-hati Freya mencuci buah itu sampai bersih lalu mengupas kulitnya tipis-tipis serta membuang bijinya, hingga menyisakan daging buah lembutnya yang berwarna cokelat.
Dia lalu meletakkan daging buah itu di mangkuk dan menghancurkannya dengan sendok sampai lembut. Karena daging buah black sapote sudah bertekstur lunak, maka mudah sekali melembutkannya sampai membentuk seperti krim cokelat kental. Ditatapnya hasil pekerjaannya dengan puas, tak lupa matanya melirik ke arah kamar ibunya dan tersenyum menyadari bahwa ibunya sekarang sedang tertidur lelap.
Dengan hati-hati Freya menyiapkan bahan-bahan cakenya, dua cup tepung gandum, satu cup gula skar, setengah cup mentega krems, tiga butir telur burung calis dan tidak lupa satu sendok mungil bubuk ground cloves untuk memberi aroma harum rempah dan mengimbangi wangi cokelatnya.
Bubuk ground cloves berasal dari bunga tanaman pohon yang berbau harum rempah, bunganya jika masih mekar di pohon akan berwarna hijau seukuran korek api. Para petani biasanya menunggu bunganya ranum dan memerah lalu memetik bunga itu dan mengeringkannya dengan cara dijemur sampai kecokelatan, proses selanjutnya adalah menggiling bunga yang kering itu hingga menjadi bubuk ground cloves yang beraroma harum dan membuat aroma cake cokelat bercitarasa rempah menggoda.
Yang dilakukan Freya pertama kali adalah mencampurkan gula skar dengan mentega krems, dia sedikit mengernyit ketika melihat warna hijau gula skar yang dominan langsung menelan warna krem cantik yang dimiliki oleh mentega krems. Untung saja daging buah black sapote yang berwarna cokelat pekat nantinya akan dominan sehingga cake cokelat mereka nanti akan tetap berwarna cokelat. Freya tersenyum sendiri membayangkan seandainya cake cokelat mereka berwarna hijau, tentu cake itu tidak akan dipanggil sebagai cake cokelat lagi melainkan cake hijau. Tak lupa Freya menyalakan tungku dengan hati-hati dan memanaskan ovennya sambil menunggu dirinya menyelesaikan adonan cakenya.
Tahap kedua, Freya menuang krim kental daging buah black sapote dan telur ke dalam mangkok, tersenyum ketika adonannya sekarang sudah berubah warna menjadi cokelat, dia lalu mengaduknya sampai mengembang dan baru kemudian memasukkan bahan kering seperti tepung gandum dan bubuk ground cloves.
Adonan cake nya sudah jadi, beraroma cokelat wangi bercampur rempah yang berpadu dengan gurihnya aroma mentega krems yang menggoda. Freya tersenyum lalu menuang adonannya ke dalam cetakan bulat yang sudah disiapkannya. Dengan hati-hati dia lalu membuka oven dan memasukkan cetakan itu ke dalam oven yang sudah dipanaskan. Sambil menunggu cake nya matang kurang lebih empat puluh lima menit, Freya mengambil mangkuk dan peralatan yang kotor dan mencucinya dengan hati-hati, setiap gerakan dia lakukan dengan pelan agar tidak menimbulkan suara.
Setelah selesai mencuci peralatan dan membersihkan meja, Freya mengambil kursi dan duduk sambil bertopang dagu di meja dapur, dia menguap dan sedikit mengantuk, tetapi dia menahankan diri dan berusaha tetap terjaga. Diliriknya jam kayu kecil yang diletakkan di dekat meja dapur, baru dua puluh menit berjalan, dan dia masih harus menunggu dua puluh lima menit lagi, jangan sampai dia ketiduran dan berakhir dengan kejutan cake ulang tahun yang gosong.
Ketika hampir empat puluh menit berlalu, aroma semerbak pun memenuhi ruang dapur, wangi cokelat yang menggoda indera penciuman. Dengan was-was, Freya melirik kembali ke arah pintu kamar ibunya, takut kalau aroma wangi ini akan membangunkan sang Ibu. Tetapi rupanya apa yang ditakutkannya tidak terjadi, sepertinya sang ibu tertidur lelap karena kelelahan bekerja.
Empat puluh lima menit berlalu dan Freya segera beranjak, mengambil kain pembungkus dan membuka oven. Dikeluarkannya cake cokelat bulat buatanya dengan hati senang, diletakkannya di meja dengan puas. Cake itu mengembang dengan sempurna, beraroma cokelat lezat dan dari teksturnya tampak lembut menggoda.
Dia akan meletakkan cake cokelat itu di meja sambil menunggu dingin. Sambil melirik sekali lagi cake cokelatnya dengan puas, Freya melangkah kembali ke kamarnya, dia akan tidur sejenak sambil membayangkan betapa bahagianya ibunya besok menemukan cake cokelat ini di dapur pada hari ulang tahunnya.
***
Mimpi.
King Kafi tahu bahwa dirinya sedang berada di alam mimpi. Itu semua karena tubuhnya terasa ringan dan kakinya melangkah lebih cepat. Dia berada di hutan yang begitu gelap sampai dedaunan yang hijaupun berubah warna menjadi hitam karena tidak tersentuh oleh cahaya.
Suara gemericik air terdengar dari balik dedaunan, membuat King Kafi mengikuti arahnya, menyibakkan dedaunan itu dengan penuh rasa penasaran. Ini adalah mimpi yang selalu sama, mimpi yang dikirimkan oleh ibunya hampir setiap malam, mimpi yang sampai sekarang diapun tidak tahu apa artinya.
Dalam mimpinya dia seolah-olah mendengar ibunya berbisik di telinganya, menyuruhnya supaya mencari air, untuk menemukan penawarnya.
Penawarnya?
Sudah sejak lama King Kafi mencari arti mimpi itu, tetapi dia tidak pernah menemukannya. Lagipula dia tidak mau memupuk harapan semu dengan menumbuhkan kemungkinan bahwa penawar dari penyakitnya ini ada di dunia ini. Penyakitnya ini sudah dideritanya sekian lama hingga rasa sakit dan pedih menyatu di sana. Dia harus meminum darah untuk memuaskan monster haus darah yang memberinya daya hidup. Jika monster pembunuh itu sampai mati, begitupun dirinya.
Lalu apa yang dimaksud ibunya dengan menemukan penawarnya? Apakah penawarnya itu akan membuatnya berhenti dari keharusan meminum darah manusia? Mungkinkah itu?
Dengan perlahan, King Kafi menyibak rimbunan dedaunan yang makin lama makin lebat. Suara air terdengar makin kencang, hingga dia tidak mau menyerah.
Sampai kemudian dia berhasil menyibak dedaunan terakhir, dan menemukan danau yang sangat besar di baliknya. Danau itu luas dengan air tenang yang berwarna hitam karena gelapnya malam. Bulan yang bersembunyi di balik awan seolah tidak mau membantu untuk membagikan sinarnya sedikit saja supaya bisa memantul indah di permukaan danau.
Mata King Kafi menangkap sosok samar yang tampak berada di tengah danau. Dia menyipitkan mata untuk mempertajam pandangan matanya supaya bisa menembus kegelapan. Lalu matanya menangkap sosok perempuan. Perempuan itu telanjang, dan kulitnya begitu pucat, tampak kontras dengan air danau yang gelap. Tubuhnya terbenam di air di bagian pinggang ke bawah, sementara sisi punggungnya tertutup oleh rambut panjang berwarna kemerahan,
Sebuah dorongan membuat King Kafi melangkah tanpa pikir panjang memasuki danau itu, air danau yang dingin langsung membungkus kakinya dan naik sampai ke pahanya ketika dia melangkah semakin jauh, berusaha menggapai perempuan itu.
Jika perempuan itu merupakan petunjuk atas penawarnya…
King Kafi merasakan dorongan untuk bergerak semakin cepat, ingin mendekati perempuan itu, ingin menyentuhnya entah kenapa. Tetapi sayangnya, tiba-tiba bayangan kegelapan menyelubungi tubuh perempuan itu, mengangkatnya dan membuatnya hilang dari pandangan dalam sekejap mata.
King Kafi terperangah, menatap kosong pada bayangan danau hampa di depannya.
Lalu terdengar lagi, sebuah suara berbisik di telinganya, suara ibunya.
“Ke Desa Madras di bagian timur, Kafija…dia ada di sana, menunggu untuk kau temukan.”
***
“Yang Mulia!”
Panggilan keras itu membuat King Kafi membuka mata dan mengerjap. Dia mengerutkan kening ketika menyadari bahwa sinar matahari menimpa kulit punggungnya yang telanjang, membuatnya merasa tidak nyaman.
Dibukanya mata dan dia langsung bertatapan mata dengan Vigya, penasehat kerajaannya yang tampak cemas dan berlutut di depannya. Sementara di belakangnya ada beberapa pelayan yang sedang membawakan jubah panjang untuknya.
King Kafi mengerjapkan mata kembali dan menyadari bahwa dirinya sedang berbaring terngkurap di rerumputan. Seluruh tubuhnya, sampai rambutnyapun basah kuyup karena terkena air.
Kenapa dia bisa ada di sini?
“Yang Mulia, pelayan pribadi tidak menemukan anda di peraduan, kami mencari dan menemukan anda di sini. Apakah anda baik-baik saja?” Vigya bergumam panik dan mencoba menarik perhatian Sang Raja yang masih tampak linglung. Dia benar-benar bingung tadi pagi ketika menerima laporan dari pelayan pribadi Raja yang memasuki kamar untuk membangunkan Sang Raja dari peraduan tetapi menemukan tempat tidur Yang Mulia kosong, yang lebih mengherankan, dua orang penjaga yang berjaga di pintu sama sekali tidak menyadari kapan King Kafi keluar dari peraduannya.
Lalu penjaga istana melaporkan bahwa dia melihat King Kafi terbaring tak bergerak tanpa busana di tepi danau yang terletak di bagian belakang istana. Vigya dengan beberapa pelayan raja langsung berlari ke area tersebut, dan benar adanya mereka menemukan King Kafi di sana.
King Kafi beranjak bangun dan berdiri, Vigya mengikuti berdiri sambil memberi isyarat kepada pelayan di belakangnya untuk membantu King Kafi memakai jubahnya. Pelayan di belakangnya langsung berjalan tergopoh-gopoh dan memasangkan jubah istana ke tubuh King Kafi, membantu Sang Raja mengikat dan merapikannya.
Rambut hitam legam King Kafi sendiri masih basah, menetes-netes membasahi jubahnya, tetapi Sang Raja nampak tidak peduli dengan hal itu, beliau malah berjalan dengan tenang, mendahului Vigya yang masih terperangah melihat kelakuan rajanya,
“Yang Mulia! Bisakah anda menjelaskan kenapa anda bisa berada di sini di pagi hari?” Vigya memberanikan diri untuk bertanya, baginya hal ini harus dijelaskan demi keselamatan Yang Mulia juga. Adakah pintu rahasia yang tidak diketahuinya yang bisa menghubungkan kamar Baginda Raja dengan dunia luar? Jika ada maka hal itu akan sangat berbahaya. Jika orang bisa keluar, itu orang bisa masuk masuk ke dalam. Bagaimana jika ada pembunuh yang memanfaatkan pintu masuk rahasia itu untuk menyusup ke kamar King Kafi lalu membunuhnya?
Mata biru King Kafi melirik dengan dingin ke arah penasehatnya yang tampak bingung, dia sendiri terus berjalan, kembali memasuki istana,
“Tidak usah bertanya Vigya. Itu bukan urusanmu. Sekarang laksanakan perintahku. Siapkan dua kuda, kita akan pergi untuk melakukan perjalanan dengan menyamar ke bagian timur kerajaan. Ke Desa Madras, tidak jauh dari sini, kalau kita berkuda secara konstan, kita akan bisa mencapai desa itu sebelum siang menjelang.”
“Perjalanan dan menyamar?” Kali ini Vigya benar-benar ternganga, “Maksud anda, kita akan keluar kerajaan, menuju bagian timur dengan menyamar? apakah itu menyamar…”
“Menyamar sebagai rakyat jelata.” King Kafi menyeringai, “Kenapa? Apakah kau takut?”
Tentu saja Vigya merasa takut melakukan perjalanan apapun bersama King Kafi, bahkan kalau boleh memilih, dia tidak mau bersama dengan King Kafi dalam jangka waktu yang terlalu lama hanya berdua. Dia tahu bahwa King Kafi membutuhkan minum darah manusia secara rutin untuk menunjang kehidupannya. Dan jika nanti tidak ada manusia yang bisa dimangsa sementara hanya ada dirinya di sana, akankah King Kafi memutuskan untuk memangsanya?
Mata King Kafi menatap ke arah penasehat kerajaannya itu. Vigya memang masih muda, jabatan yang diterima oleh Vigya sekarang ini diturunkan dari ayahnya yang dulunya juga merupakan penasehat kerajaan. Sebenarnya Vagya cukup bagus menjadi penasehat kerajaan, dia memiliki pikiran strategis dan sistematis, penuh dengan logika dan perhitungan yang kadang bisa meredam tingkah lakunya yang pemarah dan tidak pikir panjang.
Tetapi sejak dulu dia tahu, Vigya sama sekali tidak nyaman dengan kebiasannya meminum darah manusia. Lagipula manusia mana yang merasa nyaman mengetahui bahwa ada mahkluk yang suka minum darah manusia di dekatnya?
“Kau tidak perlu takut padaku, aku tidak akan meminum darahmu….” Mata King Kafi menatap tajam ke arah Vigya yang tampak malu, “Kecuali terpaksa.”
Wajah Vigya memucat kembali mendengar lanjutan kata-kata King Kafi, jantungnya berdegup, tetapi Sang Raja rupanya telah melangkah kembali meninggalkan penasehat kerajaannya, hingga Vigya tidak bisa menebak apakah King Kafi serius ataukah bercanda.
“Yang Mulia!” Vigya mengejar lagi, tidak menyerah, “Anda tidak bisa meninggalkan kerajaan tanpa pengawalan dan pasukan pengiring!”
Mata King Kafi menggelap penuh ancaman, “Aku tidak pernah membutuhkan pengawal. Apakah kau pikir ada yang berani menyerangku dan berharap mereka bisa tetap hidup?” desisnya mengerikan.
Vigya langsung terdiam dan menelan ludahnya.
Tentu saja tidak ada. Sepanjang sejarah King Kafi memerintah, semua orang yang berusaha menyerang ataupun melakukan percobaan pembunuhan serta penggulingan kekuasaan, akan berakhir mati mengenaskan dengan tubuh kering terhisap darahnya.
Mata King Kafi menyipit melihat Vigya tidak bisa berkata-kata lagi.
“Jangan berkata apapun dan cukup siapkan kuda serta perbekalan. Kita akan berangkat sebelum matahari naik ke atas kepala.”
Kali ini ucapan King Kafi berupa titah, hingga Vigya tidak bisa berkata apapun lagi.
***
“Selamat ulang tahun.”
Kenzo, Dobra dan Davoli berseru bersamaan dengan bersemangat ketika ibu mereka melangkah memasuki dapur sambil menggendong Mily. Sementara itu Freya sendiri tersenyum lebar sambil membawa piring berisi cake cokelat yang sudah disiapkannya.
Seperti dugaannya, Sang Ibu tampak terperangah dengan kejutan yang tidak disangka-sangkanya itu, air mata tampak menetes di sudut matanya, dan dia mengusapnya dengan sebelah tangan. Mily sendiri yang berada di gendongan ibunya nampak terbelalak dan begitu tertarik dengan cake cokelat yang dipegang oleh kakaknya, anak itu langsung mencondongkan tubuhnya dan berusaha menggapai cake yang tampak begitu menarik di matanya.
“Terima kasih.” Ibu mereka bergumam dengan terbata, dan ketika anak-anaknya menghampiri satu persatu, Sang Ibu memeluk dan mengecup dahi mereka semua dengan sayang. Ketika terakhir Freya mendekat, Sang Ibu memeluknya erat dan mengecup pipinya lembut, “Terima kasih cake ulang tahunnya, Freya, kau pasti mengorbankan waktu tidurmu dan membuat cake ini di tengah malam.”
Freya balas memeluk ibunya erat-erat, berikut dengan Mily yang masih ada di gendongan ibunya, “Selamat ulang tahun Ibu.” bisiknya haru penuh sayang. Banyak yang ingin diungkapkannya kepada ibunya, tetapi semua seakan tertahan di dada, mudah-mudahan saja Sang Ibu mengerti betapa Freya mencintainya.
“Ayo kita makan cakenya!” Davoli memecah suasana haru itu, rupanya dia sudah tidak sabar, jemarinya mulai mencolek-colek cake cokelat yang menggugah selera, dan itu membuat semua yang ada di sana tertawa.
Mereka semua bergerak mengelilingi meja, memenuhi dapur yang sempit itu, dipenuhi oleh rasa hangat dan saling mencintai.
***
Freya bersenandung sambil membuka pintu pagar Bibi Corma, dia membawa sepotong cake yang sengaja disimpannya untuk tetangganya itu. Untung saja dia berhasil mengamankan satu potong cake untuk dihantarkan ke tempat Bibi Corma. Adik-adiknya ternyata sangat menyukai kelezatan cake cokelat dengan aroma wangi menggoda dan kelembutan manis yang meleleh di lidah degan sempurna itu.
Dobra dan Kenzo menghabiskan lebih dari dua potong cake dan tidak akan berhenti kalau saja Freya tidak mengingatkan mereka untuk berbagai, Davoli juga habis banyak, pun dengan Mily yang tidak diduga mampu menghabiskan satu potong cake sendirian, entah dimana anak itu menyimpan makanan yang begitu banyak di perutnya yang kecil.
Suasana di rumah Bibi Corma tampak sepi, membuat Freya mengerutkan kening. Lepas pagi begini, biasanya BIbi Corma sudah membuka pintu, menyiapkan meja untuk menggelar dagangannya.
Kenapa sekarang begitu lengang? Seolah-olah tidak ada kegiatan apapun di dalam rumah?
Dengan perasaan was-was yang tiba-tiba mencekam hati, Freya melangkah menaiki tangga teras, dan mengetuk-ngetuk pintu rumah, sepotong cake cokelat di piring masih ada di sebelah tangannya.
“Bibi Corma?”
Freya mengetuk pelan, dan ketukannya berubah menjadi makin keras ketika tidak ada jawaban dari dalam.
“Bibi Corma?” Freya mengulang, ketika dia hendak mengetuk lagi, tanpa sadar jemarinya mendorong pintu kayu itu, dan membuatnya terbuka.
Mata Freya menunduk, menatap ke arah pintu yang terbuka tanpa sengaja itu dengan bingung.
Pintunya tidak dikunci?
Dengan cemas Freya melangkah masuk, diletakkannya cake cokelat itu di meja pertama yang ditemuinya, dan kemudian dia bergegas menuju belakang, ke arah kamar Bibi Corma.
Sebelum mencapai kamar, Freya sudah terpekik karena menemukan tubuh Bibi Corma yang tergeletak di lantai, lunglai dan tak berdaya.
“Bibi Corma!” Kali ini Freya menjerit keras, dia langsung berlutut dan mencoba mengangkat kepala bibi Corma meletakkannya di pangkuan, Napas Bibi Corma terdengar lemah dan tersengal, membuat Freya cemas. Dia harus meminta bantuan! Tetapi bagaimana caranya? Dia tidak mungkin membiarkan Bibi Corma seorang diri dalam kondisi seperti ini bukan?
Dalam kebingungannya itu, tiba-tiba Bibi Corma membuka mata dengan lemah, dan langsung menatap ke arah Freya.
Jemari Bibi Corma bergetar ketika bergerak, seolah hendak menyentuh Freya tetapi tak kesampaian, jemari itu jatuh lunglai kembali seolah kehilangan daya.
“Segel… sudah lepas… aku tidak kuat menahannya lagi.” Bibi Corma bergumam lemah diselingi dengan napas tersengal, membuat Freya mengerutkan dahinya dengan bingung,
“Apa Bibi? Apa maksud Bibi?”
“Segel yang melindungimu lepas… aku sudah tidak bisa menahannya lagi, dia terlalu kuat… dia mencarimu selama ini dan dia sudah mengetahui keberadaanmu….” Napas Bibi Corma semakin berat, “Iblis… bermata biru… jika kau bertemu dengannya, lari… lari sejauh mungkin… atau dia akan memangsamu.”
Dan setelah mengucapkan kalimat terakhirnya, tubuh Bibi Corma lunglai, mendingin, seolah-olah nyawanya dicabut paksa dari tubuhnya.
***
Rasanya seperti dihantam dengan kekuatan sang sangat besar.
Tubuh King Kafi yang sedang berada di atas kuda langsung tersentak ke belakang, hampir saja terjatuh.
Vigya yang berkuda di belakangnya langsung memekik panik, berteriak untuk mengingatkan rajanya. Untunglah King Kafi berhasil menjaga keseimbangannya supaya tidak terjatuh dari punggung kuda. Mata birunya memucat, sementara benaknya dipenuhi oleh pengetahuan baru.
Jadi itulah sebabnya dia tidak pernah bisa menemukan gadis itu. Inilah sebabnya pengetahuannya tentang gadis itu begitu samar tertutup kabut. Itulah sebabnya dia kehilangan pengetahuannya akan keberadaan gadis ini selama ini.
Rupanya ada kekuatan yang melindungi gadis itu, menjadi tameng dan perisai hingga dirinya seolah dibutakan, tidak tahu arah untuk menemukan.
Tetapi sekarang perisai itu sudah tidak ada, dan sekarang semua terlihat jelas.
Isterinya. Isterinya yang selama ini disembunyikan darinya. Sekarang dia telah menemukannya.
Ada senyum yang muncul di bibir King Kafi ketika dia memacu kudanya semakin cepat, tidak sabar untuk menemukan targetnya.
***
Prosesi pemakaman sudah selesai, sementara semua penduduk berjalan pulang dari area pemakaman, Freya masih berdiri menatap sendu di depan makam Bibi Corma.
Air matanya menetes, dia tidak menyangka bahwa secepat itu Bibi Corma pergi meninggalkan mereka semua, tanpa diduga-duga pula. Memang usia Bibi Corma sudah tua tetapi sebelumnya beliau sehat sehingga tidak ada firasat ataupun dugaan sebelumnya.
Freya mengusap air matanya dan menghela napas panjang. Hari sudah menjelang sore. Tadi Dobra dan Kenzo sempat pulang untuk pemakaman Bibi Corma, dan kemudian mereka harus kembali ke tempat kerja. Ibu mereka memutuskan izin bekerja dan menjaga Davoli serta Mily di rumah, sementara Freya mengurusi prosesi pemakaman Bii Corma sampai beres karena memang tidak ada keluarga dekat lain yang bisa dihubungi, belum lagi memikirkan perihal Kaze, dua makhluk peliharaan Bibi Corma yang sekarang tanpa majikan.
Ah, dia harus membantu ibunya menyiapkan makan malam…
Setelah melemparkan tatapan sedih ke makam Bibi Corma, Freya menggumamkan salam perpisahan dan membalikkan badan, hendak melangkah meninggalkan areal pemakaman dan kembali menyusuri jalan setapak menuju rumahnya.
Langit seolah berduka, menggelap dengan rintik hujan kecil yang turun perlahan-lahan menyapa tanah. Sementara Freya melangkahkan kakinya perlahan, tidak peduli akan hujan dan lebih memilih menikmati rintik basah yang mengenai kulitnya. Di kiri kanannya ada ladang gandum membentang, berwarna kuning keemasan dan bergerak gontai tertiup angin. Aroma udara terasa menyenangkan, perpaduan aroma rumput dan tanah basah yang mengirimkan sinyal kedamaian ke dalam hatinya.
Lalu suara derap kuda itu terdengar.
Mulanya samar, tetapi semakin lama semakin jelas dan dekat, hingga Freya mengerutkan kening.
Karena Desa Madras ini kecil, penduduk menempuh perjalanan dari satu lokasi ke lokasi yang lain dengan berjalan kaki, jadi jarang sekali yang menunggang kuda kecuali pendatang dari luar desa. Kuda di desa ini hanya dipakai untuk menarik kereta barang atau gerobak pengangkut manusia. Karena itulah ketika Freya menoleh dan mendapati dua orang asing mengendarai kuda menembus hujan rintik-rintik, keningnya berkerut bingung.
Mereka tampak benar-benar asing dan terlihat tidak cocok berada di tempat ini. Dari kudanya saja sudah berbeda, kuda yang ada di Desa Madras biasanya berwarna cokelat, berukuran sedang dan tidak terlalu tinggi. Sementara kuda yang dinaiki oleh dua orang itu begitu besar, kedua-duanya berwarna hitam dengan surai panjang terawat dan kulit berkilauan memikat. Dari posturnya, ini lebih seperti kuda yang digunakan untuk berperang. Belum lagi dengan pengendaranya, pakaian mereka terbuat dari sutera indah berkualitas tinggi. Bahkan dari jauhpun Freya sudah bisa menebaknya. Itu semua karena sebagaian besar penduduk di Desa Madras hanya mengenakan pakaian tenunan kasar, dan tidak ada satupun yang mengenakan pakaian berbahan sutera, kecuali kepala desa yang cukup kaya di desa ini.
Dua penunggang kuda itu semakin mendekat ke arah Freya yang entah kenapa terpaku di sana, dan kemudian salah seorang penunggang kuda itu berhenti di depan Freya, diikuti oleh yang di belakangnya.
Penunggang kuda pertama mengenakan tudung berwarna hitam yang tidak mampu menutupi riap-riap rambut hitamnya yang berantakan di dahi dan pelipisnya, Freya mau tak mau mendongak ke arah penunggang kuda itu dan mengerutkan kening mendapati dirinya sedang bertatapan dengan mata biru pucat yang begitu tajam.
Seketika itu juga, kata-kata terakhir Bibi Corma langsung terngiang di benaknya.
“Iblis… bermata biru… “
Tiba-tiba jantung Freya berdebar, seolah-olah ada alarm peringatan kecil yang berdering di sana, menyuruhnya untuk menjauh. Tetapi logikanya langsung mematikan alarm itu. tentu saja dia tidak bisa menelan mentah-mentah pesan terakhir Bibi Corma bukan? Mungkin saja Bibi Corma berhalusinasi karena setengah sadar, atau mungkin juga Bibi Corma mengiranya sebagai orang lain.
Sosok bermata biru itu tampaknya melakukan hal yang sama, dia mengamati Freya, mengamati rambutnya yang merah, matanya yang hijau dan ekspresi polos kebingungan Freya yang terpampang jelas di wajahnya. Lalu seolah-olah sudah merasa cukup, sosok itu tersenyum, sejenis senyuman yang tidak berkesan ramah, malah berkesan mengancam.
“Katya…..akhirnya aku menemukanmu.”
Freya mengerutkan kening mendengar sapaan itu, dia langsung menjawab dengan sopan, “Sepertinya anda salah orang.”
Sosok bermata biru itu masih memasang senyum yang aneh, dan mengeluarkan kata-kata aneh pula,
“Sepertinya ingatanmu memang harus disegarkan Katya, bagaimana mungkin kau melupakan suamimu sendiri?”
Freya langsung memasang tampang tidak suka. Sepertinya orang asing ini adalah orang aneh yang suka menggoda perempuan. Dengan cemas dia menatap sekeliling, dan menyadari bahwa langit mulai gelap, apalagi dinaungi mendung pekat bersaput rintik hujan. Penduduk desa yang sudah berada di rumah lebih memilih berdiam diri di rumah, dan yang sedang dalam perjalanan pasti akan lebih memilih untuk berteduh sambil menunggu hujan reda. Karena itulah jalan setapak yang dinaungi ladang gandum di kiri dan kanannya itu nampak sepi.
Dan ini berbahaya. Kalau kedua orang berkuda ini orang jahat, tidak akan ada yang bisa menyelamatkan dirinya. Freya bisa berlari tetapi dia pasti kalah dengan kecepatan kuda. Satu-satunya jalan adalah menembus ladang gandum, tetapi itupun berbahaya bagi Freya, ladang gandum itu sangat luas dengan tumbuhan tinggi yang menutupi pandangan karena sudah siap panen, jika Freya tidak bisa menemukan jalan keluar dari ladang gandum itu, dia akan berakhir berputar-putar selama beberapa jam atau sampai salah seorang petani gandum berpengalaman bisa menemukannya.
“Mohon maaf.” Jantung Freya sekarang berdebar memikirkan antisipasi akan apa yang harus siap dia lakukan setelah ini, “Sekali lagi sepertinya anda salah orang, saya bukan isteri anda. Saya Freya penduduk desa ini, dan saya tidak mengenal anda. Mohon maaf saya harus segera pergi.”
Freya membalikkan badan dan melangkah menjauh, berdoa dalam hati supaya dua orang asing itu memilih menyerah mengganggunya atau mungkin pergi saja melewatinya.
Sepertinya kedua doanya itu tidak dikabulkan, karena si pengendara kuda bermata biru itu memacu kudanya pelan mengiringi langkah Freya sementara temannya yang satu lagi memilih mengikuti di belakang dalam diam.
“Kau ingin pulang?”
Agaknya si mata biru mengubah strategi, tidak dengan menganggap Freya sebagai orang lain tetapi lebih memilih bersikap santun selayaknya seorang teman. Jantung Freya makin berdebar waspada, sekarang dia benar-benar takut sedang berhadapan dengan dua orang penjahat yang memiliki niat buruk kepadanya. Mata Freya memandang lurus ke depan, mengukur jarak jalan setapak yang harus dilaluinya supaya bisa mencapai areal rumah penduduk yang lebih ramai. Jaraknya masih jauh dan yang bisa dilakukan oleh Freya sekarang adalah berpura-pura bersikap tenang dan siap untuk lari ketika waktunya tiba.
“Ya. Saya hendak pulang, terima kasih.” Freya memilih untuk menjawab dengan nada datar, menyembunyikan ketakutannya dan mempercepat langkah supaya ditinggalkan. Sayangnya si mata biru memilih terus mengiringi langkahnya dengan kudanya.
“Aku bisa mengantarkanmu, supaya lebih cepat. Lihat, hujan turun makin deras, kau bisa basah kuyup.”
Memangnya lelaki ini pikir dirinya perempuan bodoh? Mau naik ke atas kuda bersama lelaki asing yang tidak dikenal?
“Tidak, terima kasih, saya sudah terbiasa.” Freya menjawab sopan, mulai menghitung kapan dia harus mencoba berlari. Ladang gandum adalah satu-satunya jalan. Dia tidak bisa lari di jalan setapak karena akan terkejar.
Ada suara terkekeh mengejek dari si mata biru, lelaki itu membungkukkan sedikit badannya untuk menarik perhatian Freya. Mau tak mau Freya menoleh dan mendongak, terpaku lagi dengan mata biru yang begitu pekat,
“Tidak berubah. Kau selalu takut kepadaku, Katya.” Lelaki itu tanpa peringatan menjulurkan tangannya, hendak menyentuh sisi wajah Freya.
Seketika itu juga Freya melindungi diri, dia menepis tangan lelaki itu dan langsung meloncat ke samping menuju ke ladang gandum yang membentang. Masih didengarnya teriakan lelaki itu memanggilnya dengan nama Katya. Tetapi Freya tidak peduli, dia harus lari secepat mungkin dan melarikan diri, setidaknya dia bersembunyi di antara tanaman gandum yang begitu tinggi sehingga lelaki itu tidak bisa mengejarnya.
Freya terus berlari dan berlari, tidak dipedulikannya tanaman gandum yang menggores pakaian dan kulitnya, menyakitinya. Napasnya terengah mengikuti langkah kakinya yang semakin cepat. Jantungnya makin berdebar ketika kemudian telinganya mendengar derap kaki kuda yang mengikuti kencang di belakangnya.
Kepanikan langsung melanda diri Freya, orang asing itu melakukan sesuatu yang sama sekali tidak disangka-sangkanya! Alih-alih diam dan menyerah, lelaki itu malah memacu kudanya menembus ladang gandum, merusak semua tanaman dengan derapan kaki kudanya yang bergerak cepat mengejar Freya.
Freya mempercepat langkahnya, dia berusaha terus dan terus menggerakkan kakinya, tetapi dia kelelahan dan napasnya semakin berat, apalagi derap kuda yang begitu cepat terdengar semakin cepat. Sampai kemudian dia tiba di titik kelelahan yang amat sangat, kakinya tidak mau diangkat, langkah Freya tersaruk-saruk sampai kemudian dia tersandung dan jatuh terduduk di hamparan ladang gandum tanpa daya.
Hanya sedetik kemudian, derap kuda itu sampai ke arahnya, dan berhenti tepat di depannya.
Freya mendongak, dan kali ini ketakutannya memuncak ketika menyadari bahwa wajah si penunggang kuda bermata biru itu tidak seramah tadi. Mata biru pucatnya tampak terang di antara kegelapan yang melingkupi, ekspresinya sendiri tampak menyeramkan, dipenuhi kemurkaan yang semakin lama semakin tampak mengerikan terpantulkan cahaya bulan keperakan yang menimpa setengah wajahnya.
Freya beringsut mundur, dia berusaha bangkit, tetapi kakinya lemah, pada akhirnya dia hanya bisa menatap dengan gemetaran ketika pria asing bermata biru itu melangkah turun dari kudanya dan berdiri menjulang di atas Freya yang masih terduduk di bawahnya,
Sosok itu menunduk tampak menakutkan dengan tubuh tinggi dan jubah hitam yang membungkus tubuhnya, melemparkan tatapan angkuhnya ke arah Freya,
“Selalu menjadi pembangkang,” suaranya terdengar mendesis penuh kemarahan, “Apakah kau ingin aku menghukummu?”
Mata biru itu menyala di kegelapan, dan Freya langsung teringat lagi kata-kata Bibi Corma sebelum meninggal dunia.
“Iblis… bermata biru… jika kau bertemu dengannya, lari… lari sejauh mungkin… atau dia akan memangsamu…”
bersambung ke part berikutnya)
1)Diospyros nigra, the black sapote, is a species of persimmon. Common names include chocolate pudding fruit, chocolate persimmon and (in Spanish) zapote prieto. The tropical fruit tree is native to eastern Mexico, the Caribbean, Central America, and into Colombia ( Wikipedia )
- The Girl Who Tamed The King 34 : I Promise That I Will Make You My One And Only Wife
- The Girl Who Tamed The King 33 : General Cetvel, The War Hero From The Front Line
- The Girl Who Tamed The King 32 : Feijoa Fruit, The Fruit That Can Alter Your Face In Human Sight (2)
- The Girl Who Tamed The King 31 : Feijoa Fruit, The Fruit That Can Alter Your Face In Human Sight (1)
- The Girl Who Tamed The King 30 : Ginger Gold Apple Gelatte Showered with Salt Caramel, The Food that Symbolizes Fertility
- The Girl Who Tamed The King 29 : The Original & The Imposter
- The Girl Who Tamed The King 28 : Reminiscence
- The Girl Who Tamed The King 27 : Huddled Together
- The Girl Who Tamed The King 26 : I Believe In You
- The Girl Who Tamed The King 25 : : Mukdenia Rosii Karasuba, The Leaf that Can Alter the Appearance
- The Girl Who Tamed The King 24 : Serenity Cake
- The Girl Who Tamed The King 23 : Recompense
- The Girl Who Tamed The King 22 : Basque Burnt Cheesecake
- The Girl Who Tamed The King 21 : The King and The Devil
- The Girl Who Tamed The King 20 : Beautiful Fruit With Beautiful Poison
- The Girl Who Tamed The King 19 : Akebi, Devil Fruit that can Awaken Darkest Souls
- The Girl Who Tamed The King Part 18 : Vendetta
- The Girl Who Tamed The King Part 17 : Kupa, The Fruit Of Memories
- The Girl Who Tamed The King Part 16 : Remembrance Cake – Half of Lucuma Meringue Cream Cake
- The Girl Who Tamed The King Part 15 : Happiness Cake – Lucuma Meringue Cream Cake
- The Girl Who Tamed The King Part 14 : Bewitched Purple Leaves with Gold Honeydew and PinkLemons (4)
- The Girl Who Tamed The King Part 13 : Bewitched Purple Leaves with Gold Honeydew and PinkLemons (3)
- The Girl Who Tamed The King Part 12 : Bewitched Purple Leaves with Gold Honeydew and PinkLemons (2)
- The Girl Who Tamed The King Part 11 : Bewitched Purple Leaves with Gold Honeydew and PinkLemons (Part 1)
- The Girl Who Tamed The King Part 10 : Red Betterave Crumbble Cake
- The Girl Who Tamed The King Part 9 : Root Blackcurrant Crumble Cake
- The Girl Who Tamed The King Part 8 : Red Vanilla Eggnog with Cinnamon and Nutmeg Flavour
- The Girl Who Tamed The King part 7 : Green Apple Mint Cake
- The Girl Who Tamed The King part 6 : Wheat Bread Pudding with Dried Sultana Topping
- The Girl Who Tamed The King Part 5 : Kona Tiramisu with Grumichama
- The Girl Who Tamed The King Part 4 : Pineberry Cheese Cake
- The Girl Who Tamed The King Part 3 : Velvet Apple Pie
- The Girl Who Tamed The King Part 2: Hot Chocolate with Butter
- The Girl Who Tamed The King Part 1 : Chocolate Cake
- Prolog : The Girl Who Tamed The King : Kue Mangkuk
- Sinopsis : The Girl Who Tamed The King
kayak bunga cengkeh???
baca cerita ini jadi makin manis jikaa disuguhkan kemesraan pasangan freya and king kafija…
tapi yg bener namanya freya atau katya ???
Kepengen coklat😍😍
Beneran. Aku udah baca ini dari beberapa tahun yang lalu. Masih terkesima dg chapt 1 huhu terima kasih saira akira telah membuat cerita semenarik ini <3 Sarangek
huhu freya
aku pernah baca cerita ini tpi ke stop karena gak ada lanjutannya…. akhirnya baru hari dilanjutin heheheheh
Ini baca ulang juga ding, rada2 lupa gimana ceritanya.
Freya katya freya katya
Udah ketemu dong
Jadi Freya apa Katya?
Apa Katya berekarnasii???
Nah nah..br inget ceritanya. Dulu pernah baca, trus vakum. Jd lupa jalan crtany. Can’t stop reading nihhhhh
Jadi ngiler kan wkwkwk pengen cake coklat jadinya
Aaaaaa
Ngulang ahh sambil nungguin lanjutan nya..
baca ulanggg
Wooo… Bukan ayah Freya.. ternyata tetangga Freya yg jd oengasuh misterius king kafi.. yg selama ini melindungi Katya alias Freya 😍😊
Baca ulang
King kafija yg sangat mendominasi
udah mulai seru nih
sukaa banget
Aga merinding ngebayanginnya, Kenya tatapan king kafi setajam silet
Aduh kok bisa yaa Freya itu Katya ya, jadi penasaran kejadian sebenarnya itu gimna
Rindu, pengen baca ulang..
Penasarannnn
Amazinggggg woman
Kerennnnn…..
Ini maksudnya istri dari iblis yg ada dlm tubuh king Kafi ?