Dear diary
15 September 2018 in Vitamins Blog
Ada tokoh utama yang kutulis dalam diary-ku. Mereka ku namai Elang, Rajawali, dan Gagak. Aku mengagumi mereka! Tiga lelaki terbaik yang hadir dalam hidupku. Aku banyak belajar dari karakter mereka. Dialah,
Elang : Pewarna dunia-ku,
Rajawali : Perisai hati-ku, serta,
Gagak : Penyelaras ego-ku,
Diam-diam ku titipkan do’a untuk mereka di secarik kertas karena aku tak ingin menyimpan kalian di hati. Sebab takut Allah tak meridhai. Walau kita berbeda pijakan, iringan do’aku kan selalu menyertai kalian di setiap sujudku.
Kau Tangguh!
6 September 2018 in Vitamins Blog
Entah kenapa di sudut temaram, di bilik reyot itu ku dapati sosok bayangannya. Menatap nanar padaku dengan wajah memucat dan tersenyum getir. Sesaat, sosoknya mendekat, wajahnya kian terlihat samar. Dia berbisik pelan,
“Kau tangguh!”
Seketika, wujudnya lenyap bak asap lilin mengudara. Membiarkanku terpaku sendirian dalam samar-samar suara yang nyata atau tidak.
Passionate Love ; 4. Pertemuan Kedua
10 Oktober 2017 in Vitamins Blog
“Apa kau tahu bahwa pemilik perusahaan akan kemari hari ini?” Terresa berujar antusias membuat Vanessa mengernyitkan dahinya bingung pasalnya dia tidak memberitahu siapapun perihal kedatangan pemilik perusahaan.
Sejenak, matanya berkeliling dan menatap para wanita yang sedikit aneh dengan penampilan mereka. Tidak seperti biasanya. Ada yang sedang memakai bedak, lip, maskara, dan lainnya. Bahkan, baju mereka terlihat baru.
“Terresa, apa kau juga memakai baju baru?” Vanessa bertanya sambil menatap Terresa yang kini menggulung-gulung rambutnya dengan jarinya. “Dan apa kau juga merubah rambutmu?” Vanessa berdecak tidak percaya. Rambut lurus milik temannya itu kini berubah menjadi keriting seperti mie.
“Astagaa.. Ada apa dengan kalian semua?” Tanya Vanessa sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.
Tepukan di bahu Vanessa membuat dirinya menoleh dan menatap Daggel yang tersenyum ke arahnya. Daggel sangat tampan dan itu berhasil membuat beberapa wanita melirik ke arahnya.
“Pak Daggel..” Vanessa sedikit memberi hormat begitupun dengan karyawan yang lain saat melihat Daggel tiba-tiba muncul di loby hanya untuk bertemu dengan Vanessa.
“Ikuti aku, Vane.”
Vanessa mengangguk patuh dan sebelum dia mengikuti langkah Daggel, Vanessa mendelik kepada Terresa dan bergumam dengan nada ancaman yang kental. “Luruskan rambutmu kembali sebelum aku melihatmu lagi!”
Terresa hanya tersenyum dan mendorong Vanessa untuk segera mengikuti langkah Daggel yang kini memasuki lift untuk menuju lantai teratas di ruangannya yang dekat dengan ruangan pemilik perusahaan.
“Apa kau sudah mengatur jadwalnya?” Daggel membuka suara saat mereka berada di lift.
“Sudah, Pak. Beliau akan menemui Mr. Takashi jam 10.”
“Baguslah.” Kini Daggel menatap Vanessa dengan serius. “Dengar Vane, selama Bos datang, kau harus berlaku sesopan mungkin dan bertindaklah cerdas jangan seperti wanita murahan yang ku lihat di bawah tadi atau kau di pecat.” Lebih parah kau dibunuhnya. Sambung Daggel dalam hati.
Vanessa mengangguk. “Saya mengerti.”
Daggel menghela nafasnya. “Aku tahu kau wanita cerdas.” Daggel tersenyum dan dia sejujurnya sangat menyukai Vanessa dalam artian sebagai adiknya. Dia sudah menganggap Vanessa sebagai adiknya saat melihat Vanessa yang memiliki sikap dan tingkah laku yang bersahabat seperti mendiang Correna, adik kandung Daggel.
“Apa ruangannya sudah bersih?”
Vanessa kembali mengangguk. “Sudah. Saya sudah menyuruh OB untuk membersihkan ruangan itu dan saya akan memastikannya setelah ini.”
“Bergegaslah.”
“Baik, Pak.”
Lift bunyi berdenting saat lantai yang mereka tuju sudah sampai. “Dia akan melalui lift pribadi dan jangan sampai kau melakukan kesalahan sedikitpun karena dia sangat benci kesalahan dan juga kekotoran.”
Vanessa mengangguk dan segera melangkah menuju ruangannya untuk meletakkan tas dan setelahnya ia menyusul Daggel ke ruangan pemilik perusahaan untuk memastikan ruangan itu bersih tanpa cela. Sudah berapa kali Daggel mengingatkan dirinya bahwa Bos mereka sangat mencintai kebersihan dan akan marah jika menemukan setitik debu.
Vanessa bahkan sempat berpikir, kenapa dia tidak menjadi penyedot debu saja untuk dirinya sendiri?
“Lakukan tugasmu dengan cepat, Vane. Dalam 20 menit dia akan datang.”
Vanessa mengangguk dan kembali melihat-lihat apa yang kurang dan tidak bersih di ruangan milik Bos mereka. Setelah dirasa tidak ada yang kurang, Vanessa kembali keluar dan menyiapkan diri untuk berjumpa dengan Bos besarnya untuk yang pertama kalinya.
20 menit hampir berlalu hingga langkah kaki tenang nyaris tanpa suara itu membuat Vanessa berdiri dan menengadah menatap seorang pria tinggi bermata saphire. Sejenak, tatapannya terpaku pada Vince yang kini juga menatapnya heran karena ini pertemuan kedua mereka.
Astaga.. Jadi dia pemilik perusahaan?
“Vane, ini Mr. Valleno Strauss dan ini Vanessa sekretaris yang saya ceritakan sebelumnya.” Daggel memperkenalkan keduanya. Dirinya sengaja tidak memperkenalkan Vince dengan nama asli karena perusahaan ini masih atas nama Sang Kakak. Lagipula, wajah keduanya tidak jauh berbeda dan Vallen juga termasuk orang yang jarang ke perusahaan kecuali jika ada urusan mendesak.
Dengan cepat Vanessa menyadari posisinya dengan kepala sedikit menunduk. “Selamat datang, Mr. Strauss.”
“Aku tidak menyangka jika kau yang menjadi sekretarisku.”
Dengan senyuman kecilnya, Vanessa menjawab. “Saya juga tidak menduga jika anda yang menjadi Bos saya.”
Jawaban yang Vanessa berikan membuat Daggel melotot menatap Vanessa. Namun, sepertinya Vanessa tidak menyadari itu. Daggel segera bertanya sebagai pengalihan dari kedua pasang mata yang saling menusuk tajam itu.
“Kalian sudah bertemu?”
Vanessa mengangguk hendak menjawab namun Vince lebih dulu memotongnya. “Ya, kami bertemu karena ada wanita bodoh yang bahkan menjaga anak kecil saja tidak bisa.”
Mulut Vanessa terasa gatal untuk melontarkan kembali perkataan Bosnya namun segera tertahan karena ini bukan waktu yang tepat.
“Silahkan masuk, Pak.” Vanessa langsung melangkah lebih dulu untuk membuka dua buah pintu besar yang menutup sebuah ruangan mewah nan elegan. Vince masuk diikuti oleh Daggel. Sebelumnya Daggel juga sudah berpesan meminta Vanessa untuk membuatkan dua cangkir kopi dan Vanessa mengiyakannya.
Setelah menutup kembali pintu tersebut, Vanessa segera menyiapkan dua cangkir kopi untuk Bos besarnya dan juga wakilnya. Vanessa kembali masuk setelah mengetok pintu tiga kali sebagai aturan yang berlaku.
Tatapan tajam yang Vince berikan sama sekali tidak mempengaruhi Vanessa yang sedang meletakkan dua cangkir kopi di atas meja yang berada di tengah-tengah sofa.
“Bagaimana bisa kau diterima disini?” Vince bertanya penasaran.
“Karena saya pintar.” Jawab Vanessa sekenanya setelah meletakkan dua gelas kopi tersebut dan mengambil kembali nampannya. “Saya permisi.”
“Terlalu percaya diri.” Sinis Vince membuat Vanessa yang hendak keluar mau tidak mau berhenti dan berbalik sambil menatap Vince dengan senyuman simpulnya.
“Bukankah percaya diri itu perlu untuk melamar di perusahaan anda, Pak? Dan juga jika saya tidak pintar, saya tidak mungkin berhasil lolos mengikuti seleksi ketat yang perusahaan anda jalankan dan menjadi sekretaris I anda. Selamat pagi.” Setelahnya Vanessa benar-benar keluar dari sana.
Daggel memijit pelipisnya mendengar jawaban Vanessa yang seolah menentang Vince. Padahal, sebelumnya Daggel sudah mengingatkan Vanessa untuk tidak terlalu banyak bicara dan mengatakan hal seperlunya saja. Namun, sepertinya pertemuan pertama mereka tidak terlalu bagus sehingga mereka seperti sedang perang dingin saat ini.
“Itu sekretaris yang kau bilang cekatan?” Vince menatap Daggel tajam.
Daggel mengangguk pelan. “Maaf, Bos. Tapi, hasil kerjanya selama ini selalu memuaskan. Apa perlu saya memecatnya?”
“Tidak.” Jawab Vince cepat. “Aku penasaran tentangnya.”
Tbc.
Passionate Love ; 3. Valleno Strauss
5 Oktober 2017 in Vitamins Blog
Vince memasuki sebuah ruangan dimana seseorang terbaring tak berdaya selama dua tahun. Bunyi monitor vital sign menandakan bahwa pria yang terbaring itu masih hidup walau dalam keadaan koma.
“Tuan, anda datang?” Sapa seorang pria paruh baya bernama Benedict yang baru saja keluar dari ruang kerjanya yang memang tersedia di dalam kamar tersebut.
Selama dua tahun, Benedict selalu bekerja keras agar dapat membangunkan pria yang kini menjadi pasiennya. Valleno Strauss merupakan anak pertama di keluarga Strauss yang kemudian disusul oleh Vince Strauss. Keduanya memiliki tampang yang tidak jauh berbeda, namun Vallen harus mengalami koma panjang akibat sehabis perjalanan bisnis dua tahun lalu.
Vince hanya mengangguk kemudian berjalan mendekati Sang Kakak. Kedua tangannya berada di saku celana hitam panjangnya. Matanya menelisik tiap bagian dari tubuh Vallen yang luka-luka dengan tajam.
“Sadarlah dengan cepat atau aku akan membunuhmu sekali lagi!” Vince merasa tidak perlu berkata yang manis-manis dihadapan Sang Kakak. Ia tidak memperdulikan saran dokter yang mengatakan bahwa harus bercerita dan menambah kesan manis agar Vallen cepat bangun. Tidak! Vince merasa hanya membuang-buang waktu.
Jika Kakaknya ingin hidup maka dia harus berjuang sendiri. Namun, jika Kakaknya ingin mati, lebih baik dia cepat mati atau hanya akan membuang-buang tenaga dan waktu. Vince tidak pernah lagi memberikan ataupun merasakan kasih sayang karena hatinya sudah mati rasa. Ia tidak pernah peduli dengan orang-orang disekitarnya, mau orang itu meregang nyawa, kecelakaan, bahkan mati di depannya, Vince tidak peduli dan hanya akan melewatinya seolah tidak terjadi apapun.
Saat ini Vince hanya butuh satu kejelasan yang pasti dari Kakaknya, maka dari itu sedikit banyaknya ia berharap Kakaknya akan sadar dan menjelaskan hal tersebut padanya. Ia menghela nafas pelan lalu menatap pria paruh baya sebagai dokter pribadi Kakaknya dengan tajam.
“Pantau selalu keadaannya. Jika ada yang tidak beres, hubungi aku!”
Tanpa menunggu jawaban Sang Dokter, Vince beranjak keluar ruangan yang penuh dengan bau alat-alat medis.
***
“Bos, Mr. Takashi ingin mengajak kerjasama.” Gumam Daggel sambil membawa map berwarna hitam ke hadapan Vince yang saat ini sedang menyimpan senjata barunya yang baru saja di dapat dari Ley, sahabatnya yang gila. Ley memang dikenal dengan kegilaannya yang membunuh dan suka meminum darah dari mayat-mayat yang dibunuhnya.
Terkadang, Ley sangat ingin sekali mencicipi darah Vince yang menurutnya sangatlah lezat. Namun, Ley tidak akan pernah berani. Ia masih sangat menyayangi nyawanya.
“Kerjasama?” Vince memiringkan wajahnya menatap Daggel polos. Namun, kepolosan itu adalah ancaman. Itu menurut Daggel.
Daggel mengangguk dan berusaha bersikap tenang. “Kerjasama antar perusahaan. Bukan kerjasama antar barang dagangan.”
Vince menghentikan kegiatannya dan segera meraih map tebal berwarna hitam yang Daggel ulurkan ke hadapannya. Pria itu mulai membuka kontrak kerjasama dan membacanya. Setelah itu, dia tersenyum sinis, “Bajingan itu.”
Dengan susah payah Daggel menelan salivanya. Takashi termasuk orang yang berani karena telah mengajak Vince untuk berjumpa langsung di perusahaan milik Strauss. Bahkan, selama puluhan tahun perusahaan itu berdiri, tidak pernah sama sekali Vince mengunjunginya.
“Saya akan membatalkan kontrak itu jika anda mau.”
Vince menggeleng pelan. “Tidak. Kita butuh kontrak ini karena dia harus menjadi anjingku sebelum Leon melahapnya.” Kini Vince menatap Daggel dan bertanya. “Siapa sekretarisku saat ini?”
Perusahaan itu memang sudah jatuh ke tangan Vince semenjak Sang Kakak koma dan tidak sadar hingga sekarang. Sudah dua tahun ini, Vince selalu menyuruh Daggel untuk memantau perusahaan itu secara langsung karena Vince bukan orang yang suka membuang waktu dengan kertas, tapi dia adalah orang yang suka membuang waktu dengan senjatanya.
“Vanessa Caulfield, Bos. Dia orang yang cekatan, gesit dan juga sangat pintar. Bahkan saya sudah menyelidikinya dan tidak ada hal aneh yang saya temukan dari data dirinya.”
Vince mengangguk. “Baiklah. Hubungi dia dan suruh dia untuk mengatur jadwalku dengan Takashi.”
“Baik, Bos.”
***
Suara pria yang Willson tabrak dengan eskrimnya kemarin masih terngiang-ngiang di kepala mungil Vanessa. Ia berusaha mengingat siapa kiranya pemilik suara itu, namun semakin dirinya mencoba, ingatan itu seolah semakin jauh. Kenapa suara itu begitu familiar? Pikir Vanessa.
Helaan nafas Vanessa tidak berlangsung lama saat iphonenya kembali bergetar dan menampilkan nama Daggel disana.
“Ya, Pak. Ada yang bisa saya bantu?”
“Maaf mengganggu waktu liburmu, Vane. Aku ingin menyampaikan pesan dari Bos besar bahwa dia akan mengunjungi perusahaan besok dan kau diharuskan untuk mengatur jadwalnya berjumpa dengan Takashi.”
Apa? Pemilik perusahaan akan berkunjung? Vanessa tidak salah dengar, bukan?
“Vane, kau masih disana?”
“Ah maaf. Baiklah, aku akan mengaturnya.”
“Terimakasih, Vane.” Setelahnya panggilan itu tertutup.
Vanessa masih tidak percaya jika pemimpin perusahaan itu akan datang besok hanya untuk berjumpa dengan Takashi. Ah, bisa dipastikan Takashi ini adalah orang penting dan Vanessa harus menyelidikinya. Ia menelepon seseorang yang bertugas sebagai hacker untuk mencuri data-data penting dan mencari tahu siapa Takashi itu.
“Ya, C009?”
“Tolong retas semua data milik Takashi dan segera kirimkan melalui email pribadiku.”
“Baik, C009. Tunggulah dalam tiga menit.”
Vanessa segera mematikan sambungannya dengan agen K008. Dia tidak pernah meremehkan K008 yang bertindak sebagai hacker dan kali ini Vanessa memintanya untuk melakukan web-spoofing. Tak lama kemudian, dia mendapat semua data milik Takashi yang ternyata memiliki dana kotor yang cukup besar dan menyangkut dengan seorang perdana menteri yang sedang berjabat di negara ini. Lalu, apa ini ada hubungannya dengan Mr. Strauss? Pikir Vanessa.
Kali ini, Vanessa tidak boleh gagal lagi. Sudah cukup dia menjadi sleepers di perusahaan ini. Sleepers yakni seorang agen yang berbaur layaknya karyawan biasa. Pada mulanya, sleepers memang tidak langsung bekerja sebagai agen rahasia, para sleepers akan mencari pekerjaan yang berkaitan dengan tujuan misinya dan Vanessa berhasil masuk ke perusahaan ini hanya untuk mencari data penting dan melihat wajah dari si pemilik perusahaan dan dengan begitu, dia akan mudah untuk melaporkan semuanya kepada A001, Sang Pemimpin tertinggi. Dan setelah semuanya selesai, Vanessa akan bebas dari masa bertugasnya sementara dan akan meminta cuti untuk berliburan bersama Wilson.
Tbc.
Buy me a cup of cold chocolate
24 September 2017 in Vitamins Blog
Buy me a cup of cold chocolate and we can sit anywhere quiet, to talk about life. If you’re a good listener, I’ll tell you my deepest secret, my fav part of a book, my sorrow. Or the way around. We don’t have to talk about meaningless shit. We could talk softly, deeply, about world, about anything that bothers you, about your darkest side. Or we can sit and write. Mine will be about soul, tears and angel. And yours will be about me, and the day when you buy me a cold chocolate and sit :)
Passionate Love ; 2. Pertemuan Pertama
17 September 2017 in Vitamins Blog
Vanessa merasakan tempat tidurnya bergerak. Ia membuka mata perlahan dan mendapati Willson dengan pipi tembem yang merah merona kini sedang menatapnya dengan mata hijaunya yang indah.
“Onti bangun..” Ujarnya dengan nada yang merengek karena Vanessa masih setia menatapnya lalu berkedip beberapa kali kemudian tersenyum.
“Ada apa, Sayang?” Suara Vanessa masih serak karena baru saja bangun dari tidur siangnya. “Kamu terlihat rapi.” Sambungnya masih dengan posisi tidur tengkurap dengan wajah menatap Willson dan tangan kanannya mengelus rambut Willson yang mohawk.
“Will mau jalan-jalan cama onti.” Gumamnya pelan dan menarik tangan Vanessa yang sebelumnya menjulur di wajahnya.
Vanessa mencoba untuk duduk di atas kasurnya. Menghilangkan peningnya sejenak kemudian tersenyum memandang Willson yang begitu tampan sore ini. “Aunty mandi dulu ya? Kamu tunggu disini.”
Setelah Willson mengangguk, Vanessa segera beranjak ke kamar mandi untuk membersihkan badannya. Hari ini sangatlah lelah karena pekerjaannya sebagai sekretaris I di Strauss Group sangat banyak membuang tenaganya karena semua tugas yang seharusnya sang chief executive handle dilimpahkan padanya. Tidak pernah ada yang melihat CEO itu sendiri karena jika Vanessa memerlukan kehadiran pemimpin perusahaan pasti ada seseorang yang menggantikan dan mengaku bahwa orang itu adalah suruhan dari pemimpin perusahaan ditempatnya bekerja.
Terkadang, Vanessa sampai bingung dengan perusahaan yang sebesar itu tapi pemiliknya sendiri bahkan tidak pernah berkunjung. Selalu memberikan tugas yang menjadi haknya kepada orang lain yang tidak Vanessa kenal. Misalnya, Vanessa membutuhkan tanda tangan resmi dari pemimpin perusahaan, dan yang menandatangani bukanlah pemilik perusahaan itu sendiri melainkan orang lain yang datang sesekali untuk memantau perusahaan milik keluarga Strauss yang bernama Daggel.
Daggel cukup ramah dan mudah di ajak bekerja sama. Walaupun begitu, Vanessa tidak pernah membicarakan ataupun menanyakan perihal ‘siapa pemimpin perusahaan di tempatnya bekerja? Kenapa dia tidak pernah berkunjung?’ atau hal-hal lain seperti yang sahabatnya tanyakan setiap hari hingga Vanessa merasa bosan. Ia cukup tahu diri untuk tidak menanyakan hal-hal yang bukan urusannya. Selama dirinya di gaji penuh dan mendapatkan bonus ketika berlembur, Vanessa tidak pernah mempermasalahkan siapapun yang menjadi pemimpin perusahaan tersebut.
Sore ini, Vanessa mengajak Willson berjalan-jalan menuju sebuah café yang terdapat es krim karena pria kecil itu memintanya. Vanessa menyanggupi karena hal yang membuatnya bahagia adalah melihat senyuman Willson.
“Kamu pesan rasa apa, Sayang?”
Willson bertingkah gemas. Telunjuknya ia ketukkan di dagu beberapa kali seolah berpikir keras memikirkan rasa eskrim yang akan dirinya makan sore ini. Vanessa tersenyum melihat tingkah Willson seperti pria kecil namun sangat menggemaskan.
Willson memiringkan sedikit kepalanya dan menatap seorang pelayan yang menunggu mereka untuk memesan makanan. “Om, aku laca vanila.” Ujarnya pada pelayan berbaju seragam berwarna cream dengan celemek hitam bergambar eskrim warna putih itu.
Vanessa tersenyum dan mengangguk kepada pelayan tersebut dan segera dicatat oleh Sang Pelayan. “Ada yang lain, Sayang?” Tanya pelayan ramah kepada Willson.
“No, cil.” Jawabnya cadel membuat pelayan tersenyum dan menyuruh mereka untuk menunggu beberapa saat.
Tak lama, ponsel Vanessa berdering dan melihat ID caller dari seseorang yang identitasnya unknown. Vanessa tahu jika yang menelepon adalah atasannya yang lain.
“Apa kau sudah menyelesaikan misimu, C009?”
“Aku butuh lebih banyak waktu.” Balas Vanessa tanpa memanggil Sang penelepon dengan kode nama agennya karena saat ini dirinya berada di tempat umum.
“Ini sudah dua tahun! Kau belum menemukan apapun?”
Vanessa menghela nafasnya dan memijit pelipisnya pelan. “Ini bukanlah misi yang mudah, P007. Selama dua tahun aku bekerja, dia tidak pernah menampakkan dirinya sama sekali.” Vanessa terpaksa menyebutkan panggilan agennya.
“Baiklah. Selesaikan misimu segera dan kembalilah dengan selamat.”
“Baik.”
Vanessa berpikir, ia terlalu lama sudah terpaku pada pekerjaannya. Namun, tak ada hasil, apakah Vanessa harus membiarkan dirinya ditangkap dengan mencari sebuah masalah. Ini terlalu riskan namun dia harus mengambil jalan ini, karena jalan ini merupakan satu-satunya jalan yang bisa membuatnya menemui pria kejam tak berhati yang selalu di panggil dengan VS.
“Onti..” Panggil Willson membuatnya menatap Willson penuh dengan rasa bersalah karena dia harus meninggalkan Willson untuk beberapa waktu.
“Ya, sayang?”
“Es klimnya dateng..”
Vanessa tersenyum lembut dan mengelus kepala Willson dengan sayang kemudian membantu Willson untuk menyuapkan eskrim itu ke dalam mulut mungilnya.
***
Meja persegi yang terdiri dari kursi sebanyak 8 buah itu terlihat kosong dan hanya Vince sendiri duduk di paling ujung sambil menghabiskan sarapannya dengan tenang tanpa ada yang berani mengganggu. Pernah saat Vince sedang sarapan dengan garpunya serta pisau kecil yang digunakan untuk memotong steak dan tiba-tiba saja seorang pelayan datang tergopoh-gopoh dan mengatakan bahwa ada yang ingin bertemu dengannya, namun naas menimpa pelayan tersebut karena pisau yang berada di tangannya langsung melayang ke jantung wanita itu. Kabar itu membuat mereka tidak ingin lagi mengganggu bosnya jika sudah waktunya makan. Seterdesak apapun.
Makan siang selesai. Vince bangkit dari sana menuju kamar mewahnya dan mengambil sebuah jaket kulit agar menutupi tubuh tegapnya yang telah dilapisi kaos hitam yang sangat mahal. Ia beranjak menemui Daggel yang saat ini berada di ruang latihan. Daggel dengan sigap langsung memberi hormat saat Vince datang. Bahkan, Daggel tidak sempat menghapus keringat yang keluar dari tubuhnya.
“Aku akan keluar dengan Shylsa. Jika ada hal penting, kau hubungi ke nomor pribadiku!”
“Baik Bos.” Jawab Daggel, namun setelahnya Daggel langsung bertanya. “Apa anda membutuhkan pengawalan?”
“Kau meremehkan kemampuanku, Daggel?” Vince berbalik dan menatap Daggel tajam.
“Maafkan saya, Bos.”
Tanpa memperdulikan permohonan maaf Daggel, Vince segera keluar dari mansionnya dan mengendarai lykan miliknya menuju jalan raya dari mansion mewahnya yang terletak di tengah hutan.
Mobil itu tak lama sampai ke sebuah rumah besar milik Shylsa. Vince tidak perlu repot-repot untuk turun menjemput Shylsa ke dalam dan dia hanya menunggu wanita itu di dalam mobil miliknya. Setelah Shylsa masuk, Vince kembali menjalankan mobilnya.
“Aku sangat ingin makan es krim hari ini.” Shylsa bergumam dan segera menggelayuti lengan Vince yang sedang fokus membawa mobil.
Pria itu tidak menolak ataupun menerima karena Shylsa memang melakukan semaunya sendiri. Hanya wanita itu yang dekat dengan Vince walau banyak wanita lain yang mengantri dan itu membuat Shylsa angkuh akannya. Vince tidak suka dengan sebuah hubungan dan hanya Shylsa yang bisa bertahan dengannya tanpa memperdulikan sebuah hubungan.
Menurut Vince, hubungan itu hanya bikin repot saja. Dia tidak suka melihat wanita menangis karena itu menjijikkan baginya dan juga dia tidak ingin capek-capek mengurusi wanita bodoh seperti itu dan Shylsa termasuk wanita yang bertahan dengannya tanpa pernah memaksa kehendaknya.
Mereka sampai di sebuah café kecil namun cukup elegan. Saat keduanya masuk, tiba-tiba saja seorang anak kecil yang berlari sambil membawa eskrim menabrak Vince serta mengotori jaket yang terbuat dari kulit asli miliknya.
“Astaga, Willson..” Vanessa menjerit saat melihat Willson terjatuh setelah menabrak Vince. Pria itu bergeming di tempat tanpa niat membantu Willson berdiri.
Shylsa membelalak kaget dan langsung berujar panik. “Jaketmu kotor.”
Vince melambaikan tangannya menjawab ucapan Shylsa dan menatap seorang wanita yang kini membantu anak kecil yang sebelumnya di panggil Willson.
“Onti.. Onti.. Cakit.. Pantat Will cakit..” Willson merajuk sambil memeluk Vanessa yang sedang mengelus pantatnya.
“Aunty sudah bilang bukan, jangan lari-lari.” Vanessa mengecup pipi Willson kemudian menggendongnya dan menatap pria yang Willson tabrak bersama seorang wanita.
“Maafkan keponakan saya..” Vanessa sedikit menundukkan kepalanya tanda menyesal.
“Jaga keponakan saja tidak becus.” Gumam Shylsa membuat amarah Vanessa seketika mencapai ubun-ubun. Namun, Vanessa tetap berusaha sabar karena bagaimanapun ini adalah kesalahannya.
“Maafkan saya.” Sekali lagi Vanessa bergumam.
Vince menatap Vanessa dari ujung rambut hingga ujung kaki. “Jagalah dengan benar lain kali.” Jawaban dingin itu membuat Vanessa tertegun sejenak. Ia pernah mendengar suara itu, tapi dimana?
“Baiklah, terimakasih.” Kini Vanessa menatap Willson dengan sayang. “Ayo sayang, kita pulang.”
Willson mengangguk dan Vanessa segera mengajak Willson keluar dari café tersebut sekaligus menghindari wanita yang menatap Vanessa dengan tidak suka sejak awal tadi.
Tbc.
Passionate Love ; 1. Buka Puasa
5 September 2017 in Vitamins Blog
“Vanessa Caulfield!!!” Teriak seorang wanita yang seumuran dengannya dengan nada jengkel. Vanessa menoleh dan tersenyum simpul menanggapi sang teman yang kini sedang menunjukkan kejengkelannya.
“Kenapa kau terlihat berantakan begini, dear. Itu tidak cocok denganmu.” Vanessa berujar tenang sementara sang sahabat sudah mengepalkan tangannya erat.
“Kau membuatku malu, Vane! Bagaimana bisa kau membiarkanku berdua dengan lelaki brengsek itu?!”
Vanessa mengerutkan keningnya tidak mengerti dan bertanya. “Kau malu tapi mengatakan pria itu brengsek?”
Terresa baru saja ingin membalas perkataan Vanessa jika saja tidak ada suara yang menginterupsi kedua wanita cantik tersebut.
“Maaf ladies. Ambillah, ini undangan pernikahanku..” Ujar seorang pria yang bernama Denny sedang membagikan undangan yang berisi pernikahan dirinya dengan wanita yang ia cintai.
Terresa segera memeluk Denny. “God, akhirnya kau menikah.. Ah, selamatt, Den.”
Denny menggaruk tengkuknya. “Terimakasih, Sa. Aku berharap kalian berdua datang.”
Vanessa mengangguk dan tersenyum simpul. “Aku pasti akan datang, Den.”
“Aku juga. Ah, aku tidak percaya.. Akhirnya dia menerimamu setelah mati-matian kau mengejarnya selama empat tahun..” Terresa memang tidak akan pernah bisa menutup mulutnya jika sudah berbicara. “Syukurlah.. I’m so glad to hear that..”
“Thank you..” Balas Denny sebelum melanjutkan. “Aku duluan karena harus membagikan undangan kepada teman-teman lain. Bye..”
“Bye..” Balas Terresa sambil melambaikan tangannya. Terresa termasuk wanita yang terlalu aktif. Bahkan, dalam sesaat ia telah melupakan kemarahannya kepada Vanessa.
“Baiklah, aku pulang dulu. Willson akan marah padaku jika aku pulang terlambat.”
Terresa memutar bola matanya malas. “Yaya, kau memang tidak pernah bisa jauh darinya, titipkan salamku padanya.”
Dengan enteng Vanessa mengendikkan kedua bahunya acuh sambil berkata. “Mau bagaimana lagi.. Aku mencintainya.. Bye..” Vanessa segera melangkah menjauhi kantor dimana ia bekerja.
Hari ini sangat terik membuat Vanessa berhenti sebentar di sebuah café dan membeli minuman untuk melepaskan dahaganya. Vanessa kembali ke dalam mobilnya dan kembali melajukannya menuju apartemen miliknya.
Sesampainya disana, Vanessa langsung mencari keberadaan Willson yang sedang terbaring lelap di ranjangnya. Ia mengelus kepala Willson dengan pelan membuat pergerakan kecil hingga mata itu terbuka dan menatap Vanessa dengan senyuman yang dapat membuat hati Vanessa selalu hangat dan tenang.
“Kapan onti pulang?” Tanya Willson dengan suara mungilnya yang masih berusia 3 tahun jalan 4.
“Baru aja sayang. Kamu lapar?” Tanya Vanessa lembut lalu membant Willson duduk.
Willson menggeleng. “Aku sudah makan, onti.”
Jawaban Willson membuat Vanessa tersenyum. “Pasti makan sama Bubu yaa?” Bubu adalah panggilan untuk pengasuh Willson ketika Vanessa bekerja.
Willson mengangguk antusias.
“Sekarang Bubu dimana?”
“Bubu lagi belanja dibawah. Wil disuluh nunggu onti pulang disini.”
Vanessa tersenyum dan mencium kedua pipi Willson gemas. Vanessa mencintai Willson lebih dari mencintai dirinya sendiri. Willson anak dari kakak kandungnya yang sudah meninggal karena pembunuhan yang terjadi setahun lalu. Vanessa terus mencari siapa pembunuh dari kakaknya tersebut, namun ia belum menemukannya hingga sekarang.
Pembunuh tersebut benar-benar licin dan gesit tanpa meninggalkan suatu apapun yang dapat membantunya untuk menemui sang pelaku. Willson saat itu memang sedang berada dirumah Vanessa ketika kejadian pembunuhan karena Vanessa mengajak Willson untuk menginap di apartemennya hingga kejadian mengerikan itu merebut kedua orang tua Willson.
Vanessa sudah berjanji jika menemukan pelaku pembunuh kakaknya maupun kakak iparnya, ia akan memberikan siksaan yang paling kejam setidaknya sebelum kematian orang itu. Vanessa tidak akan sekejam ini jika dirinya tidak melihat bagaimana Willson menangis tiap malam hanya merindukan orang tuanya. Walau sudah setahun, namun Vanessa belum juga menyerah untuk menemukan pelaku dibalik naas yang merenggut orang tua Willson.
“Onti.. onti..” Panggil Willson membuat Vanessa sadar dari lamunannya.
“Ya sayang?”
“Bubu pulang.” Tunjuk Willson kepada babysitternya. Vanessa tersenyum menatap Sarfa yang merupakan babbysitter Willson.
“Beristirahatlah, Fa. Willson akan bermain denganku dan besok kau juga tidak usah bekerja karena aku libur.” Vanessa memberikan Sarfa kelonggaran. Lagipula, Sarfa hampir seusianya dan hanya beda dua tahun lebih tua Vanessa. Maka dari itu Vanessa memberikan Sarfa kebebasan di masa muda yang hanya terjadi sekali seumur hidup.
“Terimakasih, Vane.”
Vanessa hanya tersenyum dan segera membawa Willson mandi serta mengganti pakaian karena ia akan mengajak jagoan kecilnya jalan-jalan.
***
Sebuah pesawat pribadi baru saja mendarat di landasan depan mansion mewah milik pria kejam nan angkuh, Vince Strauss. Daggel keluar dari sana sambil membawa tiga orang pria yang sedang ia tutup matanya dan jalan terseok-seok. Melewati jalur khusus menuju sebuah ruangan yang pantas disebut sebagai tempat olahraga miliknya karena penuh dengan alat pembunuh. Ketiga pria itu kemudian duduk berjajar lalu seseorang berpakaian hitam dengan senjata api di tangannya segera membuka penutup mata dari ketiga pria tersebut.
Salah seorang pria yang mengenakan jas berwarna biru tua segera berlutut dan memohon ampun kepada Daggel.
“Tak ada ampunan bagi pengkhianat!” Ujar Daggel kejam tak berhati. Jika Daggel saja seperti ini apalagi dengan bosnya, Vince Strauss?
Tidak ada yang pernah mengetahui wajah pria yang selalu bersembunyi dibalik bayangan tersebut, kecuali memang orang terdekatnya. Bukan Vince bermaksud menyembunyikan jati dirinya hanya saja, dia tidak suka keramaian dan lebih memilih untuk meniduri senjatanya daripada pesta sesama mafia yang biasanya dilakukan setahun sekali. Dia juga bekerja selalu melalui perantara dan yang berkhianat akan mendapat balasannya seperti sekarang.
Ketiga pria yang bernama Terren, Yoseph, dan juga Siex yang ditugaskan melakukan penyelundupan narkotika melalui jalur laut memilih melarikan diri menuju Columbia karena disana terdapat sebuah cartel besar yang bernaung dibawah musuh besar dari Vince Strauss. Musuh yang dulu pernah menjadi sahabat akrabnya.
Tap tap tap.
Suara langkah kaki tenang terdengar mengerikan. Bukan hanya ketiga pria tersebut, bahkan untuk Daggel sendiri karena masih menyimpan ketakutan yang luar biasa terhadap pria yang terobsesi akan benda yang dapat digunakan untuk membunuh. Suara langkah kaki kian mendekat menampilkan sosok tinggi dengan rahang kokoh dan hidung yang terpahat sempurna serta mata berwarna sapphirenya yang menelisik tajam menatap ketiga pria yang menundukkan kepalanya dengan bahu bergetar saat tahu jika Vince Strauss akan mencabut nyawa mereka.
Vince Strauss lebih dikenal dengan malaikat pencabut nyawa karena siapapun yang menghalangi langkahnya akan berakhir di tangannya, begitupula dengan pengkhianatan. Langkahnya terhenti, dan menatap satu persatu anak buah yang sangat ia percayai balik mengkhianatinya.
“Aku berikan kesempatan kalian untuk kabur dalam lima belas menit.” Ujarnya dengan nada mengalun tenang. “Jika dalam lima belas menit kalian ku temukan~” Vince mendekat dan berjongkok di hadapan ketiga anak buahnya. “Akan kujadikan kalian makan siang untuk Leon karena sudah dua hari penuh dia puasa.”
Leon merupakan singa jantan peliharaan Vince yang sangat jinak pada tuannya karena Vince benar-benar mampu melakukannya bahkan pada singa itu sendiri.
Badan ketiga pria itu semakin gemetar ketakutan, perlahan ketiganya menengadah dan menatap Vince takut-takut.
“A-ampuni kami, Bos. K-kami tidak akan mengulanginya..” Ujar pria dengan baju biru tua yang sedikit berani yang mereka ketahui bernama Siex.
Vince menatap jam tangan Vacheron Constatin Tour de I’lle yang bernilai sekitar US$ 1,5 juta. “Waktu kalian tiga belas menit lagi.” Dia bahkan tidak memperdulikan permohonan ampun mereka.
“Bos, am-puni kami..” Kini Terren ikut menunduk dengan keringat yang bercucuran dari pelipisnya.
Yoseph juga tidak kalah untuk memohon ampun kepada Bos mereka. Vince memang tidak pernah mengenal kata ampun dan hanya karena kata tersebutlah dirinya seperti sekarang ini. Menjadi pria kejam tak berperasaan akibat dikhianati berulang kali. Tidak hanya dengan orang tuanya, sahabatnya pun turut andil.
“Sepuluh menit.” Vince bahkan berbaik hati memberitahu kepada mereka akan sisa waktunya.
Ketiga pria itu tidak bisa berkata apapun lagi dan segera berlari keluar dari mansion mewah yang sialnya terletak di tengah dalam sebuah labirin hutan yang lebat dan menyesatkan. Hanya Daggel dan dirinya yang tahu jalan keluar dari mansion tersebut karena mereka yang hendak menemui Vince akan melalui jalur udara. Dengan kata lain, Vince sendiri yang akan menjemput mereka melalui tangan kanannya atau paling tidak, mereka akan bertemu diluar yang tentunya sebuah tempat yang sulit dijangkau oleh anggota gabungan.
Tik tok tik tok.
“Daggel, jemput mereka. Sudah waktunya Leon buka puasa.”
TBC.
Passionated Love ; Prolog
24 Agustus 2017 in Vitamins Blog
Kegelapan menaungi sebuah ruangan yang terbangun dari beton kuat serta dilapisi tembaga yang tentunya tidak dapat dimusnahkan oleh apapun. Cukup banyak senjata yang terdapat didalamnya, mulai dari pisau yang paling kecil hingga besar, pedang yang bermacam bentuk, serta amunisi berbagai jenis dan kualitasnya. Tidak ada yang berani memasuki ruangan yang terletak dibawah tanah sang pemilik rumah kecuali dirinya sendiri dan sang tangan kanannya yang sudah mendapat izin.
“Bos, keluarga Fetscher sudah tewas.” Lapor sang tangan kanannya sambil memberi hormat kepada seseorang yang masih bernaung di dalam kegelapan sambil membersihkan senjata kesayangannya.
Pria itu tidak menoleh dan tetap menunduk dengan terus membersihkan senjata tersebut membuat si tangan kanan yang bernama Daggel was-was. Apakah bosnya ini senang atau tidak?
Helaan nafas yang tenang dan teratur dari bosnya membuat Daggel merinding apalagi dengan pisau yang kini sedang berada di tangan bos mereka. Bisa saja tiba-tiba pisau itu dilemparkan oleh bosnya dan menancap di keningnya atau lebih parah menancap tepat di sebelah matanya.
Pria itu menatap tangan kanannya yang sudah gemetar ketakutan sambil bertanya dengan tenang. “Sudah?”
“S-sudah bos.”
Senyuman miring yang pria itu keluarkan membuat nyali Daggel semakin menciut saja. Daggel juga tidak pernah membantah apa yang bosnya katakan. Sejujurnya, bosnya telah menyelamatkan Daggel dan itu membuat Daggel berhutang nyawa kepada pria yang kini mengintimidasinya. Bahkan, Daggel berpikir hanya pria itu yang dapat mengambil nyawanya atau dia yang akan mengorbankan nyawa demi pria itu.
“Bagaimana dengan anak kecil itu?” Ketenangan yang dimiliki oleh pria dihadapan Daggel memang tidak dianggap remeh karena dibalik ketenangan itu terdapat sesuatu yang mematikan.
Iblis!
Badan Daggel menegang. Bingung apa yang hendak ia katakan kepada bosnya karena dirinya tidak menemukan anak kecil tersebut. Melihat sang tangan kanannya tidak menjawab, pria itu langsung bergumam pelan,
“Keluarlah.”
Daggel tidak langsung keluar, namun dia ingin mengatakan sesuatu lagi yang membuat jantungnya berdetak cepat akan rasa takutnya. Perlahan, Daggel menatap bosnya yang sedang membersihkan pisau itu dengan hati-hati.
Tanpa menatap ke arah Daggel, pria itu bertanya. “Apa ada yang ingin kau katakan lagi? Atau perintahku barusan kurang jelas, Daggel?” Ujarnya tenang masih dengan kegiatan membersihkan pisau tanpa menoleh.
“S-Shylsa ingin berjumpa dengan anda, bos.”
Tap.
Pria itu melemparkan pisau tepat melewati ubun-ubun kepala Daggel membuat Daggel memucat kemudian menoleh kebelakang dan melihat pisau itu kini menancap di pintu dengan lalat yang terbagi dua disana.
Dengan susah payah Daggel menelan salivanya dan kembali menatap bosnya yang kini menatapnya datar tanpa ekspresi. Jika ia bergerak sedikit saja tadi, maka habislah nyawanya. Daggel juga tidak menyangka jika bosnya dapat melihat lalat sekecil itu di ruangan yang minim lampu begini.
Pria itu memang tidak terlalu menyukai penerangan dan hanya menghabiskan waktunya di ruang bawah tanahnya jika ia tidak sibuk. Hobinya adalah mengoleksi senjata apapun yang dapat digunakan untuk membunuh.
Pria itu berdiri dan berjalan mendekati Daggel yang sudah pucat dan tiba-tiba Daggel menghela nafasnya saat melihat pria itu melewatinya dan mengambil pisau yang tertancap di pintu. Ia kembali duduk di tempat asalnya dan mulai membersihkan ujung pisau yang terkena lalat tersebut. Sejujurnya dia adalah pria yang sangat mencintai kebersihan. Bahkan pria itu menghukum pelayan dirumahnya jika ada setitik debu yang tertangkap dimatanya.
“Kau membawa lalat itu masuk kemari, Daggel.” Ujarnya tanpa merespon pernyataan Daggel tentang Shylsa yang hendak menemui bosnya itu.
“M-Maafkan saya, Bos.”
Pria berwajah datar itu menatap Daggel yang semakin gemetar dengan tenang. “Keluarlah. Aku akan menemui wanita itu nanti.”
SAHABAT
17 Agustus 2017 in Vitamins Blog
SAHABAT
Mempunyai satu sahabat sejati lebih berharga dari seribu teman yang mementingkan diri sendiri.
Apa yang kita alami demi teman kadang-kadang melelahkan dan menjengkelkan, tetapi itulah yang membuat persahabatan mempunyai nilai yang indah.
Persahabatan sering menyuguhkan beberapa cobaan, tetapi persahabatan sejati bisa mengatasi cobaan itu bahkan bertumbuh bersama karenanya…
Persahabatan tidak terjalin secara otomatis tetapi membutuhkan proses yang panjang seperti besi menajamkan besi, demikianlah sahabat menajamkan sahabatnya.
Persahabatan diwarnai dengan berbagai pengalaman suka dan duka, dihibur – disakiti, diperhatikan – dikecewakan, didengar – diabaikan, dibantu – ditolak, namun semua ini tidak pernah sengaja dilakukan dengan tujuan kebencian.
Seorang sahabat tidak akan menyembunyikan kesalahan untuk menghindari perselisihan, justru karena kasihnya ia memberanikan diri menegur apa adanya.
Sahabat tidak pernah membungkus pukulan dengan ciuman, tetapi menyatakan apa yang amat menyakitkan dengan tujuan sahabatnya mau berubah.
Proses dari teman menjadi sahabat membutuhkan usaha pemeliharaan dari kesetiaan, tetapi bukan pada saat kita membutuhkan bantuan barulah kita memiliki motivasi mencari perhatian, pertolongan dan pernyataaan kasih dari orang lain, tetapi justru ia berinisiatif memberikan dan mewujudkan apa yang dibutuhkan oleh sahabatnya.
Kerinduannya adalah menjadi bagian dari kehidupan sahabatnya, karena tidak ada persahabatan yang diawali dengan sikap egoistis.
Semua orang pasti membutuhkan sahabat sejati, namun tidak semua orang berhasil mendapatkannya.
Banyak pula orang yang telah menikmati indahnya persahabatan, namun ada juga yang begitu hancur karena dikhianati sahabatnya.
Ingatlah kapan terakhir kali anda berada dalam kesulitan. Siapa yang berada di samping anda ??
Siapa yang mengasihi anda saat anda merasa tidak dicintai ??
Siapa yang ingin bersama anda saat anda tak bisa memberikan apa-apa ??
MEREKALAH SAHABAT ANDA
Hargai dan peliharalah selalu persahabatan anda dengan mereka.
**Dalam masa kejayaan, teman-teman mengenal kita. Dalam kesengsaraan, kita mengenal teman-teman kita **
Senandung
30 Juli 2017 in Vitamins Blog
Badai di hatiku hancurkan jiwaku
Luruhkan teguhnya hingga erosi
Mengikis yakinnya hingga abrasi
Aku bersenandung dalam bingung
dengan tembang liriknya bimbang
Aku merintih sedih
Aku menjerit sakit
Aku khilaf lalu kalap
Aku menyerah dan kalah
Surat Untuk Ayah
24 Juli 2017 in Vitamins Blog
Ayah, air mataku kian hujan di atas kertas
Di temani pena yang menari-nari
Meninggalkan jejak tinta di kertas berhelai
Aku rindu padamu Ayah..
Mengapa waktu begitu cepat berlalu
Mengapa waktu tak kunjung menyerah
Sehingga takdir memisahkan kita
Terlebih ketika kesepian merajut sendu
Ayah, kau selalu disini
Di dalam hatiku
Tidak akan pudar walau waktu kian berlalu
Menanti pertemuan yang diselingi kebahagiaan
Mengupas rindu yang kian membelenggu
Sekali lagi kukatakan,
Aku rindu padamu, Ayah..
Ayah, jangan biarkan aku sendiri
Sendiri menjalani hidup
Karena memang aku tak sanggup sunyi
Menerkam hampa
Di dalam jiwa tanpa imam keluarga..
Hope you like it Palpal
Btw gak bisa nge tag hihihi
Indigo 1 ; Broken Heart
20 Juli 2017 in Vitamins Blog
Indigo…
Kemampuan yang sebagian orang menganggapnya kelebihan. Namun, beda halnya dengan Yuri yang menganggap kelebihan itu sebagai kekurangan dan kesialan yang selalu datang padanya silih berganti. Apalagi saat ia mulai jatuh cinta kepada seorang pria berwajah ramah itu. Pria yang selalu hadir setiap malam di mimpinya. Pria yang kini menjadi atasannya sendiri.
Hanya sedikit orang yang tahu bahwa Yuri memiliki penyakit non medis. Tidak ada yang tidak Yuri ketahui, bahkan ia bisa membaca pikiran semua orang dan juga dapat mengetahui gambaran sekilas tentang masa depan. Namun, anehnya ia tidak bisa membaca pikiran pria yang ia cintai dan juga melihat gambaran masa depannya sendiri.
“Apa yang kau lamunkan sejak tadi, Yuri?” Tegur Lola sang sahabat yang bekerja di divisi yang sama.
Yuri menggelengkan kepalanya dan tersenyum. “Tidak ada..”
Lola tidak berkata apapun lagi membuat Yuri menoleh dan menatap wajah cantik sahabatnya yang terlihat lembut dan tenang. Yuri dan Lola bersahabat sejak keduanya duduk di bangku SHS. Tidak ada yang tidak keduanya ketahui satu sama lain. Susah dan senang mereka lalui bersama.
Yuri menyayangi Lola sebagai saudaranya sendiri karena kini dirinya hidup sebatangkara. Begitupun dengan Lola, hanya saja Lola masih memiliki kedua orang tua yang lengkap dan hangat membuat Yuri terkadang ingin merasakan kehangatan dari yang namanya sebuah keluarga.
Kedua orang tua Yuri meninggal dunia saat perjalanan bisnis. Saat itu usia Yuri sekitar 17 tahun. Lola selalu menemani Yuri dan menghibur sahabatnya agar tidak berlarut-larut dalam kesedihan yang mendalam hingga akhirnya mereka kuliah dan dipertemukan dengan pria yang baik dan juga ramah yang hingga kini menjadi sahabat mereka. Waktu terus berlalu membuat Yuri memiliki perasaan lebih kepadanya hanya karena perhatian yang datang terus menerus tanpa mengenal waktu hingga sekarang.
Getaran di hpnya membuyarkan semua lamunannya. Yuri menggeser layar hpnya dan tertera nama Leo disana. Leo yang menjadi dambaannya hatinya baik dulu maupun sekarang. Dengan segera, Yuri membaca pesan tersebut.
Ingin makan malam bersama? Ada yang ingin aku katakan padamu..
Senyuman terbit dari wajah manisnya. Dengan cepat Yuri membalas,
Baiklah.
Tak lamaa hp Yuri kembali bergetar.
Aku akan menunggumu di basement.
“Wow.. sepertinya ada sesuatu yang membahagiakanmu..” Goda Lola saat melihat Yuri senyum-senyum sendiri.
“Aku pulang duluan..” Bisiknya lalu segera pergi meninggalkan Lola yang menggelengkan kepalanya melihat tingkah Yuri.
***
“Lama menunggu?” Tanya Yuri kepada Leo yang kini tersenyum manis padanya.
Leo menggeleng dan tersenyum. “Tidak.. Masuklah..” Ujarnya setelah membuka pintu mobil sport miliknya.
“Terima kasih.”
“Sama-sama, sayang..” Balas Leo membuat pipi Yuri merona seketika. Walaupun Leo sering memanggil Yuri dengan sebutan sayang, namun jantungnya tetap bertalu-talu seakan ingin keluar dari tempatnya.
Keduanya menuju ke sebuah restoran sederhana namun cukup elegan. Leo benar-benar memperlakukan Yuri bagaikan wanita sungguhan. Bahkan, ia memesan makanan kesukaan Yuri.
“Yuri..” Leo membuka suara sesaat pelayan pergi setelah mencatat pesanan mereka.
Yuri yang tadinya menunduk, kini menengadah menatap pria tampan yang juga menatapnya penuh arti.
“Aku..” Leo menghentikan perkataannya dan mengeluarkan sesuatu dari saku jasnya. “Maukah kau menikah denganku?” Pria itu membuka kotak berbentuk love yang berisi cincin yang sangat cantik lalu menyodorkannya dihadapan Yuri.
Gadis itu bungkam tidak menyangka jika Leo melamarnya. Setelah bertahun-tahun berteman akhirnya perasaan Yuri terbalaskan. Yuri mengangguk dan berkata. “Aku mau, Leo..”
Senyuman lebar terbit di wajah tampannya. Ia segera memasangkan cincin tersebut di jari manis Yuri. Sejenak, dirinya tertegun melihat inisial nama yang tertera di cincin itu.
“Aku yakin, Lola akan menerimanya seperti dirimu yang menerimaku..”
L&L. Inisial yang membuat hati Yuri seakan dirampas darinya. Perlahan ia menengadah menahan tangis dan menatap Leo yang masih tersenyum menatapnya.
“Aku tahu, ukuran jarimu sama dengan milik Lola..” Leo menggenggam tangan Yuri erat. “Terimakasih, Yuri.. Kau membantuku sangat banyak..”
Merasa tidak perlu mendengar apapun lagi. Yuri menarik tangannya dari genggaman Leo dan melepaskan cincin yang terpaut indah di jari manisnya. Berusaha tersenyum dan berkata.
“Sama-sama Leo..” Dirinya tidak dapat menahan air mata yang hendak keluar. “Aku permisi sebentar.” Yuri ke toilet menumpahkan segala perasaannya.
Matanya menerawang kosong dengan cairan hangat yang langsung turun tanpa diberi perintah. Mungkin selama ini hanya Yuri yang terlalu berangan-angan. Berpikir bahwa Leo memiliki perasaan lebih kepadanya. Padahal, di mata Leo… Yuri hanya sekedar teman.
Hatinya mencelos. Ada kenyataan yang terlalu pahit untuk ia telan. Walaupun begitu Yuri harus tegar, mencoba menghadapi kenyataan. Ia mencuci muka yang memang tanpa make-up dengan tangan bergetar. Menepuk pipi dua kali, berusaha untuk tidak menunjukkan wajah yang menyedihkan.
“Maaf lama..” Ujarnya parau.
Leo tersenyum. “Makanlah. Setelahnya, aku akan mengantarmu pulang..”
“Hm.” Yuri mengangguk. Makan dengan cepat untuk menghindari tatapan Leo yang menatapnya. Pikirannya sudah kacau. Berusaha untuk tidak menatap Leo, Yuri menatap hal lain disekitarnya.
“Leo..” Gumam Yuri pelan. “Sebaiknya aku pulang sendiri karena harus singgah di beberapa tempat..”
Leo menatap Yuri bingung. “Tidak. Aku akan mengantarmu..”
Yuri menggeleng miris. Disaat seperti inipun Leo masih bersikukuh mengantarnya. “Tidak apa-apa. Bukankah kau harus menemui Lola?” Yuri tersenyum. “Akan terlambat jika kau mengantarku terlebih dahulu.”
“Tapi..”
Yuri berdiri dan tersenyum. “Semoga lamaranmu lancar, Leo. Aku permisi..”
Tanpa memperdulikan panggilan Leo, Yuri segera keluar dari restoran tersebut dan menjauh hingga akhirnya ia kembali berjalan dengan wajah yang menyedihkan.
Siapa dirinya yang berani-beraninya menyimpan perasaan pada pria sesempurna Leo?
Yuri berhenti di bus stop. Terduduk lemas. Ia meremat dada kanannya, merasakan nyeri yang kian menjadi. Nafasnya terasa sesak memenuhi rongga dada. Namun, Yuri tetap berusaha untuk tidak menangisi sesuatu yang bukan menjadi miliknya.
Cerita kemarin aku delete soalnya gak bakal sanggup buat kalo kepanjangan. Nah cerita ini mungkin hanya 3 part saja. wkwkwk
Kamu ga boleh sedih
10 Juli 2017 in Vitamins Blog
Sedih . . .
Bukan lah hal yg kita inginkan, bukan lah hal yg kita idamkan
Sedih . . .
Adalah musuh hidup, adalah pengusik
Meski dia tak ada, dia yang slalu kau cnta
Dia tak ingin kamu sedih karena’y, tak ingin kesedihan menemani setiap waktumu
Meski dia tak ada, dia yang s’lalu kau damba
Dia tak mau melihatmu sedih karena jauh dari’y
Dia takkan bangga dgn ksedihan yg kau rasa
Meski dia enggan bersamamu, dia s’lalu mnginginkan kesedihan tak pernah menemanimu
Dia bukan sebatas d0a yg s’lalu kau ucap, dia bukan s’0rang yg kau anggap melupakanmu
Dia bukan s’0rng yang senang atas kesendirianmu, tapi dia bagai angin, yang s’lalu menyejukkan harimu
Dia adalah panas, yang s’lalu menghangatkan dingin malammu, jika sayang dan cinta itu masih ada dlm hatimu u/ nya, jika kebahagiaan ingin kau ukir bersama’y kelak
# Kamu ga b0leh sedih #
CERAI ATAU BUNUH!
22 Juni 2017 in Vitamins Blog
Cerai atau bunuh!
Itu adalah pilihan Aldric dari isteri ketiganya yang bernama Keyla. Isteri yang paling rewel dan juga judes dalam segala hal diantara dua isteri Aldric lainnya. Anehnya, diantara ketiga isterinya, Aldric paling menyayangi Keyla dan akan menurut pada semua permintaan Keyla. Aldric bahkan jarang pulang untuk menemui dua isteri lainnya hanya karena Keyla.
Cerai atau bunuh!
Kata-kata yang Keyla lontarkan tadi malam masih saja terngiang dikepalanya membuat pria tampan tersebut merasa pusing seketika. Pasalnya, disaat Aldric bertanya kepada Keyla,
‘Apa kau ingin membunuh semua isteriku?’
Keyla menggeleng enteng dan menjawab,
‘Tidak. Aku hanya akan membunuhmu dan setelahnya, aku akan membunuh diriku sendiri.’
Aldric merasakan kepalanya kian berdenyut nyeri karena tidak menyangka bahwa Keyla akan melakukan hal nekat untuk membunuhnya bukan membunuh para isterinya yang lain. Lagi, ketika Aldric bertanya,
‘Kenapa kau memilih membunuhku?’
Jawaban yang Keyla berikan sukses membuatnya tercengang.
‘Aku tidak ingin bertanggung jawab kepada orang tua dari maduku hanya karena membunuh mereka.’
Yang dimadu siapa, yang korban siapa? Kenapa jadi isterinya merasa seolah dia adalah korban kalau nyatanya dia tersangka utama dalam pembunuhan yang dirinya rencanakan?
Pria itu bergidik ngeri dengan pemikiran isterinya yang luar binasa eh, luar biasa. Dia bahkan tidak pernah habis pikir dengan tingkah dan sifat isteri ketiganya itu. Aldric menghela nafasnya dan berpikir keras apa yang harus dilakukannya sekarang?
Apakah ia harus menceraikan dua isteri lainnya yang akan membuat dirinya dalam masalah akibat pertanggungjawabannya sebagai seorang suami yang melalaikan tugas? Atau ia mempertahankan kedua isteri lainnya dengan mempertaruhkan nyawanya?
Cerai atau bunuh!
Tiga kata tersebut tidak pernah pergi dari pikirannya sejak semalam, hingga akhirnya Aldric memiliki ide untuk membunuh Keyla seorang.
Tapi..
Apa Aldric tega?
Tidak.
Apa Aldric rela kehilangannya?
Tentu saja tidak.
Aldric tidak akan setega itu pada isteri yang paling dicintainya. Dirinya seperti memakan buah simalakama sekarang ini.
“Sudah menentukan pilihanmu, Aldric sayang?” Keyla berujar dari balik pintu dan masuk sambil memegang pisau dapur yang terlihat mengkilap bahkan dari jauh membuat badan Aldric menegang.
“Letakkan pisaunya, Key!!” Titah Aldric tegas namun, hanya dibalas kekehan kecil oleh wanitanya itu.
Keyla mendekat. “Kau tau, Sayang..” Keyla memainkan mata pisau tersebut dengan lihai seolah pisau adalah teman sejatinya. “Aku melakukan ini karena aku sangat mencintaimu, Aldric.”
Aldric terkesiap saat Keyla meletakkan ujung pisau ke lehernya.
Lagi. Keyla tertawa renyah seperti seorang psycho.
“Jangan tegang begitu, sayang.” Bisiknya sensual di telinga sang suami. “Kita bahkan belum memulainya karena kau belum memutuskan untuk memilih,” Keyla memberi jeda sejenak dan melanjutkan, “Cerai atau mati!”
Wanita itu kini memilih duduk di pangkuan suami tampannya dan mengelus dada bidang yang berbalut kemeja berwarna navi dengan gerakan sensual menggunakan ibu jarinya. “Tenang saja, Al. Kalau kau mati,” Keyla mengelus perut buncitnya sebelum melanjutkan. “Aku dan bayi kita akan ikut menyusulmu.”
“Jangan gila, Key!” Bentak Aldric tidak terima jika Keyla membawa bayi mereka.
“Aku gila karena kau, Aldric! Ceraikan isterimu atau kau yang akan mati.”
Bagaimana cara Aldric menjelaskan kepada dua isterinya itu? Aldric menikah hanya karena ingin membantu dua isterinya yang lain yang hidup dalam kesusahan. Orang tua isteri pertamanya menitipkan anaknya pada Aldric sampai kedua mertuanya itu meninggal, sedangkan isteri kedua Aldric hanyalah anak dari seorang petani.
Sejak dulu, Aldric sudah berjanji hanya akan menikahi Keyla seorang namun, mengingat umur mereka yang terpaut sedikit jauh membuatnya untuk menikah duluan dan akhirnya memilih Keyla untuk jadi yang ketiga.
Keyla murka bukan main. Dia bahkan tidak mau berbicara kepada Aldric selama tiga bulan penuh setelah pernikahan membuat Aldric frustasi hingga Aldric membuat sebuah kompromi yang membuatnya menyesal saat ini. Aldric tidak akan pernah melupakan kata-katanya saat itu.
“Aku akan melakukan apapun, kumohon.. jangan mendiamiku seperti ini, Key..”
“Apapun?” Itu adalah kalimat pertama Keyla yang keluar setelah pernikahan mereka selama tiga bulan.
Aldric mengangguk ragu akan pemikiran isteri ketiganya. “A…papun, Key..”
Senyuman penuh misteri terbit di bibi mungil nan merah muda milik Keyla.
“Baiklah. Aku pegang kata-katamu, Aldric. Jangan pernah untuk mengingkarinya.”
Keyla menarik kembali pisau tersebut dari leher putih milik suami tampannya. Wanita itu berdiri dan menatap Aldric dengan tatapan yang tidak bisa Aldric artikan.
“Apa segitunya kau keberatan untuk memilihku seorang saja, Al?” Nada sendu itu membuat hati Aldric seperti teriris tak kasat mata.
“Key..”
“Tidak, Al. jangan katakan apapun lagi..” Keyla berbalik hendak menuju pintu yang memisahkan ruang kerja Aldric dengan ruang tamu rumah mereka. “Percayalah, Al.. Semua yang kulakukan hanya karena aku.. mencintaimu.” Keyla segera keluar dari ruang kerja suaminya meninggalkan Aldric yang tercenung akan sikap aneh sang isteri.
“AAAAAA..”
Tiba-tiba saja suara teriakan terdengar di seluruh penjuru ruangan.
“Ada apa, Bee?” tanya Aldric cepat pada Beela yang merupakan pelayan dirumah mewahnya.
“N..Nona Key.. Nona.. Key..”
Tanpa menunggu kelanjutan ucapan Beela, Aldric melesat cepat ke dapur dan mendapati darah yang telah merembes disekitarnya. Pria itu membelalakkan matanya tidak percaya dan berjalan tertatih menuju sang isteri yang berbaring meregang nyawa.
“K..Key..” Panggilnya pelan namun yang dipanggil masih setia memejamkan matanya erat.
“K..Key.. Sayang..” Aldric menepuk pelan pipi Keyla. Tapi, masih tidak ada gerakan apapun hingga pria itu memeriksa nadi isterinya yang mulai melemah.
Aldric melihat sebuah kertas yang tergenggam sudah bercampur darah di sela-sela jemari Keyla. Pria itu mengambilnya dan membaca.
Maafkan aku, Aldric. Aku tidak bisa hidup seperti ini. Cintaku terlalu besar hingga aku tidak rela kalau kau dimiliki oleh wanita lain. Aku sangat takut jika suatu saat kau akan meninggalkanku dan memilih isterimu yang lain. Cintaku memang egois, sayang.. dan pada akhirnya, aku memilih diriku sendiri untuk berkorban. Maaf, aku membawa bayi kita bersamaku karena dia yang tersisa darimu untuk ku kenang di alam sana nanti. Berbahagialah, sayang. Sekali lagi maaf telah membuatmu menentukan pilihan yang pada akhirnya aku memang tidak akan pernah bisa membunuh cintaku.
Love you,
Keyla.
Keyla tidak sama sekali berniat serius atas ucapannya karena ia benar-benar mencintai Aldric setulus hatinya. Keyla hanya ingin bermain dengan Aldric sebelum kematian yang dia rencanakan sendiri hingga membuat pria itu frustasi beberapa waktu lalu. Keyla juga tidak akan bisa melihat Aldric menderita maka dari itu ia memilih untuk mengalah dan hanya berharap bahwa Aldric selalu bahagia walau tanpanya.
“AAAARRRGGGHHHH…”
END.
Kaulah Selamanya..
28 Mei 2017 in Vitamins Blog
Kaulah selamanya
Sebagai pengisi hatiku di jiwa
Sebagai cahaya penerang setiap luka…
Kau separuhnya…
Dari diriku, menjadi raja nan berkuasa
Membawa hati dalam keindahan istana cinta
Kaulah selamanya
Penuntun langkah, seketika hilang arah
Dan kembali, menjadi jalan yang terbaik…
Kau memang nafas
Bila tanpanya, ku akan lepas
Terbang melintas langit tanpa batas
Dan tubuhku, tanpa arti hingga perlahan melemas…
Kaulah selamanya
Sebuah janji telah terucap
Tak akan hilang, walau waktu mengubah dunia…
Kau sebuah nada
Terdengar syahdu saat dimainkan
Dari gitar-gitar para sang dewa
Yang tercipta, sebagai teman rindu tiada terkira…
Kaulah selamanya
Dan tak perlu ragu dengan kata dunia
Dunia adalah sandiwara, dunia terlahir sementara
Bersamalah denganku, dalam akhir abadi surga…
TERIRIS LUKA
25 Mei 2017 in Vitamins Blog
Ditengah malam syahdu nan pekat
Ku teringat pada mu, bayangmu
Selalu melintas di kelopak mataku
Ku coba untuk melupakanmu
Namun bayang mu, trus menghampiriku
Sunyiku kau tabur bunga rindu
Kau bagai angin yang sejukkan
Jiwa ragaku…
Namun kini, sia-sia sudah mahligai cintaku
Mimpi indah tiada lagi, sirna terbakar kayu arang abu…
Ku coba bertanya pada malam
Dia membisu
Angin berlalupun, tak memberikan jawaban,,
Hanya satu yang terucap
Mengapa aku mencintaimu…
Dan mengapa aku terlahir untuk terluka…
Ku sadar, cinta tak harus memiliki
Tapi ku tak bisa, ku tak rela
Mungkin ada yang lebih dariku…
Sampai datang masa pertemukan kita
Untuk kembali, atau terpisah selamanya…
Sungguh hina diriku
Mencintai orang yang tak mencintai ku
Dan takkan pernah menyayangiku..
Mengapa aku di pertemukan denganmu
Musim gugur dihatiku…
Seakan tumbuh bersemi
Titian cintaku pupus begitu saja
Tiadakah iba dihati mu…
Tiadakah rasa ntuk ku…
Kau berlalu menuju impian mu yang baru..
Rinduku sudah kau lara…
Sayang ku kini t’lah kau buang
Mungkinkah aku tercipta
Hanya untuk disakiti dan dihina???
Apakah ini suatu cobaan untukku??
Apakah ini suatu goresan hati yang luka??
Yang tak bisa sembuh
Walau penawar dari mana pun…
Semoga kau bahagia
Tanpa sosok bayanganku…
NYANYIAN HATI
22 Mei 2017 in Vitamins Blog
Aku memandang rendah sebuah bintang
dan memuji sang bumi.
Aku melihat dengan jelas menembus dinding batu bata yang dingin
dan pada suara yang tak terlihat
Aku makan segelas penuh anggur matang
dan minum sepotong kue pai.
Seutas tali bersinar di atas bumi
Sinar bulan yang ku ikat.
Aku meniup sekuntum mawar yang harum
dan mengendus beberapa batuan putih yang halus.
Aku terlelap di antara gaduh dan kuatnya suara-suara lengkingan
dan menari dalam iringan nada nada sunyi.
Kuletakkan beberapa permata di rambutku
dan kemudian telingaku berkerut.
Kulihat di luar hatiku
dan jauh didalam dunia ini
Aku terbang tinggi melewati jernihnya laut biru
dan berbasuh dengan geraian rambut para malaikat.
Aku menghirup air dari mata air yang bening bak kristal
dan berenang di udara.
Akhirnya aku merasa diriku terbangun,
aku adalah spirit yang telah lama mati.
Pikiranku yang hidup membawa jiwaku hidup lagi
dan berubah menjadi nyanyian.
CACAT YANG SEMPURNA
17 Mei 2017 in Vitamins Blog
Di jalan yang sering aku lalui
aku bertemu batinku yang kuasa berada.
di antara keindahan dalam hidupku
aku menemukan badai kecil bergolak batinku.
Setiap bukit dan awan yang indah
merupakan pemberian dalam samaran gelap.
Rasa damai lepas dari genggamanku
karena egoku terlalu berani.
Untuk setiap pohon bertajuk indah yang suci
aku merasa lebih banyak kesenangan menjauh dariku.
Di langit yang biru dan suci
aku mengenang lebih banyakkesenangan di mata pikiranku.
Titik-titik air hujan bak kristal mulai jatuh
tapi tidak sesempurna yang aku bayangkan.
Lalu, aku tahu mengapa kedamaian menjauh dari sentuhanku,
aku terlalu banyak kehilangan keindahan yang luar biasa.
Dalam diri seseorang, tanaman, atau anak sungai kebahagyaan yng seharusnya aku rengkuh luput dari pandanganku.
Semakin dekat aku melihat keping-keping dalam hidupku
aku berdarah karena pisau pemotong cacat.
Tiada, tak ada yang dapat bertahan dari
pengamatan kritis yang aku lakukan.
Begitu pula pemandangan di pantai nun jauh
kelihatan lebih berharga untuk dijelajahi.
Namun keindahan sesungguhnya ada dalam genggaman
dalam hidupku tepat dimana aku berdiri.
Dengan menyelami kekurangan lebih dalam
dan melihat dalam kekurangan itu benang merah surgawi.
Kemudian akan kita temui kebahagyaan tertinggi,
setiap kekurangan itu di anugerahi kecupan suci.
Setiap keping teka teki kehidupan
dibentuk dan dirancang oleh tangan Tuhan.
Untuk melihat lautan yang luas dalam setetes embun
dan melihat surga dalam napas yang aku embuskan.
Untuk merasakan semua makhluk dalam seekor kutu kecil
dan wajah Tuhan sendiri pada semua yang aku lihat.
Kekurangan semacamitu memang sempurna,
sekarang mata Tuhanlah dari mana aku melihat.