Fanfiction – Meet Mr Perfect

5 Juli 2019 in Vitamins Blog

9 votes, average: 1.00 out of 1 (9 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

 

Hey guys ? i am back with jadul fanfiction ? jadi kemarin2 ini aku lagi suka banget sama couple taesoo alias couple taeyong nct and jisoo blackpink ??? sampe perpus d wattpad aku isinya cerita pairing mereka berdua, padahal udah lama banget aku ngak baca ff, gara nih visual explode couple aku jadi baca ff lagi deh ???

Jadi karena ini tuh ff jadul yg kuubah pairingnya jadi mas tytrack and mbak jichu, sorry aja kalau bahasanya chessy banget hehe ?

 

Happy reading guys ?

 

? Meet Mr Perfect ?

 

Kuperjapkan mataku perlahan, sinar matahari terasa menembus pandanganku. Sayup-sayup kudengar suara cempreng yang terus meneriakan namaku berkali-kali mendekat, oh astaga apakah suara cempreng itu tidak bisa lebih menyebalkan, demi tuhan aku masih sangat mengantuk. Sial,sial,sial.

“Jisooooo, Jisoooo, Jisoooo, Bangunnnnn!!!”

teriakan itu semakin menjadi-jadi, kututup wajahku dengan selimut pink yang tadinya sudah tak berbentuk karena gaya tidurku, berusaha menghilangkan suara yang memekang telinga ini,tapi sepertinya si pemilik suara ini tak bisa meninggalkanku sebentar saja, karena kini kurasakan si pemilik suara cempreng tengah menarik-narik selimut yang menutupi seluruh badanku dengan masih meneriakan kata-kata yang sangat menyebalkan.

“Jisoo bangung dong, jangan kaya kebo aja, udah siang tahu!”

kugerakan kaki untuk menendang apa saja yang berada di kasur queen size ini, menghalau orang yang terus mengganguku tanpa kenal lelah, aku hanya ingin tidur, apa susahnya sih?

“Jisoo, jangan nendang-nendang, udah numpang tidur di rumah orang, malah masih asik-asikan tiduran, pake ngacak kamar aku lagi”

kini kudengar ocehan kekesalan dari wanita di hadapanku ini. Yah, mau tidak mau aku harus mengakui bahwa ini adalah rumah si wanita cempereng dan kamar dengan nuansa pink ini adalah kamanya, tapi kan dia juga sering numpang tidur di rumahku dan bahkan lebih parah lagi dalam menghancurkan kamarku, jadi sah-sah saja kalau aku melakukan hal yang sama pada kamarnya kan?

“Jennieee, kecilkan suaramu itu, ganggu banget. Orang masih ngatuk juga”

tak kupedulikan tatapan kesal si wanita cempreng yang sekali lagi mau tidak mau aku harus mengakuinya sebagai sohib terbaikku, Jennie Kim.

Tetapi kalau dia sudah menunjukan sikap aslinya, sepertinya aku harus meralat bahwa dia adalah sahabatku karena sikapnya betul-betul bikin ngeselin.

“ish, Jis, orang cantik gini dibilang gangguin, masih mending aku masih mau temenan sama kamu. Udah tidur kaya kebo, jorok lagi, iuhhh”

Kalau dia bukan temanku sudah kusumpal mulutnya dengan kos kakiku, pedenya pake banget lagi, ngak tahu aja kalau dia tidurnya bisa lebih kebo dari aku, terus joroknya beda-beda tipislah, tapi kok Jennie udah bangun aja? Biasanya tidur dia jauh lebih lama dari aku, tapi sekarang dia bahkan sudah sangat rapi.

“Jis, aku punya berita baru, something special!”

kini Jennie sudah duduk di atas ranjang bersamaku, wajahnya menunjukan antusiasme yang tinggi, pancaran matanya berbinar-binar. Pasti something special ini sangat membuatnya dalam mood yang bahagia untuk melakukan segala sesuatunya dengan cepat, apalagi ini hari Minggu, seharusnya kini dia masih tidur dan mungkin bangun di sore hari, aku hanya memandangnya dengan malas, terkadang Jennie punya keahlian untuk melebih-lebihkan sesuatu, dia adalah ratunya lebay, kalau bahasa kerennya biar ngak terlalu malu-maluin adalah drama queen.

“kemarinkan aku udah bilang kalau hari ini akan ada tetangga baru di kompleks ini, dan tadi pagi aku udah ketemu sama tetangga baru itu”

ucapan menggebu-gebu Jennie benar-benar sangat lebay, apanya yang something special, ada tetangga baru terus dia ketemu sama tetangga baru itu, terus apanya coba yang spesial?

“aku tahu pikiran kamu, pasti bilang apanya sih yang spesial? Tapi Jis, kali ini betul-betul spesial, so, kamu harus dengerin baik-baik”

dengan gaya yang dilebih-lebihkan Jennie menghembuskan nafasnya perlahan seolah akan mengatakan rahasia terbesar suatu negara, tangannya digerakan untuk memperbaiki untaian rambut dark brownya dengan gaya slow motion. Oh astaga, drama queen Jennie betul-betul deh.

“Jisoo Kim, tadi aku baru saja ketemu sama artis Koreaaaa!!!”

kututup telingaku dengan cepat mendengar pekikan melengking suara Jennie, artis Korea? Yang benar aja, mana ada artis Korea dari jauh-jauh datang ke Jakarta, terus tiba-tiba ada di sini dan kenalan sama Jennie, satu lagi apa hubungannya sama tetangga baru coba?

“bukan artis Korea beneran,tapi astaga dia mirip banget sama aktor-aktor Korea di drama-drama. Yang mana aja deh, Suho Exo, , Siwon Suju, Jaejoong, semuanya deh. Sumpah kalau kamu lihat sendiri kamu ngak akan mandang aku kaya orang konyol gitu”

aku mengerinyit, maksudnya Jennie yang mirip artis Korea itu adalah tetangga baru yang dia temuin? Masa sih? Kalau memang bener hebat dong Jennie bisa tetanggaan sama artis Korea, walaupun cuma imitasinya doang. Dilihat dari pandangan Jennie yang antusias kayaknya benar deh.

“yang benar Jen? Masa sih? Semirip apa?”

kucecar Jennie dengan berbagai pertanyaan, maklum lah aku kan juga suka sama yang berbau Korea, mulai dari musiknya sampai dramanya, walaupun ngak sefanatik Jennie, tapi tetap sajakan penasaran.

“mirip, pokoknya mirip. Kaya perpaduan mukanya berbagai artis Korea gitu, ganteng pake banget, ngak bisa di jelasin dengan kata-kata deh”

Aku memandang Jennie dengan penasaran, semirip apa sih? Perpaduan? Hebat banget deh tuh orang mukanya perpaduan.

“kalau kamu penasaran, cepetan mandi terus kita ketemu sama tetangga baruku, sana cepetan”

Jennie menyeretku ke dalam kamar mandi memaksaku dengan cepat untuk masuk ke dalam kamar mandi di kamar ini. Oke, mari kita buktikan perkataan Jennie, apakah semua yang dikatakan Jennie benar atau hanya sekedar gaya drama queennya saja.

 

???

 

Dan di sinilah aku bersama Jennie, berdiri seperti seorang pengguntit, bayangkan saja kami berdua tengah berdiri di atas sebuah papan, berjinjit berusaha menghalau pagar pembatas antara rumah Jennie dan rumah tetangga baru yang katanya mirip artis Korea, tadinya Jennie menyuruhku untuk berkenalan secara langsung saja, akan tetapi, akan sangat memalukan jika tiba-tiba saja aku mengajak si tetangga baru berkenalan layaknya orang yang SKSD (sok kenal sok dekat). Kakiku sudah pegal terus berjinjit , tapi si tetangga baru belum juga kelihatan. Capek.

“jen, capek tungguinnya, panas lagi”

kuucapkan protesku pada Jennie, tapi Jennie sepertiya tak menggubris ucapanku dia malah dengan bersemangat berjinjit ingin melihat si tetangga baru, sebigitu miripkah tetangga baru itu sampai Jennie terlihat lebih drama queen dari sebelumnya.

“eh, lagi ngapain jinjit-jinjit gitu?”

ucapan itu sontak membuatku dan Jennie berbalik, dan karena Jennie kehilangan keseimbangannya berdiri di papan kecil ini, otomatis aku juga hilang keseimbangan dan tejatuh begitu saja.

Kupejamkan mataku pasrah menerima kesakitan tanah berkerikil, tapi tunggu dulu, kenapa rasanya bahkan tidak ada rasanya, kok ngak sakit? Kubuka mataku perlahan, aku memang terjatuh dan sekarang kini terduduk di atas tanah tapi anehnya aku bahkan tak merasakan apa-apa. Sebelum aku sempat berpikir tentang keanehan ini Jennie sudah mencecarku dengan gaya berlebihan.

“Jis, kamu ngak apa-apa? Sakit? Mau ke rumah sakit?”

astaga, Jennie kamu alay banget sih, kualihkan pandanganku pada pemilik suara yang menyebabkan hal yang memalukan ini dan itu cukup membuatku terpanah, Jennie tidak main-main mengatakan bahwa tetangga baru itu mirip artis Korea, wajahnya betul-betul perpaduan sempurna, mata yang tajam, rahang yang tegas, kulit putih khas pria Korea yang terlihat sehat, dan senyum itu, kalau dia menjadi artis maka akan di pastikan dia akan menjadi artis yang terkenal dan digilai banyak orang.

“kamu tidak apa-apa?”

suaranya bahkan sangat dalam dan merdu, mengapa coba dia tidak menjadi seorang artis?

“tidak apa-apa”

suaraku terdengar aneh karena gugup, dengan cepat aku bangkit merapikan rok polkadot selututku, aku harus jaga imej di depan cowok ganteng nih. Tapi sepertinya hal itu sia-sia karena kini Jennie tidak terlihat menjaga imejnya, dengan terang-terangan memandang dengan sangat berlebihan ke arah tetangga baru itu seolah si tetangga adalah makanan dan Jennie adalah orang kelaparannya, betul-betul memalukan.

“ngomong-ngomong kita belum kenalan, aku Taeyong Lee, kamu bisa panggil aku Taeyong”

ucapan ramah dengan senyum menawan menambah nilai plus lagi bagi tetangga baru ini, Taeyong. Dengan perlahan kuterima jabatan tangannya.

“Aku Jisoo Kim, kamu bisa panggil aku Jisoo”

dengan senyum seanggun mungkin aku memperkenalkan diriku. Deheman Jennie membuatku sadar dari keterpanahan dan sontak melepaskan jabatan tanganku dengan Taeyong, Jennie ganggu banget sih.

“eh, maaf yah tadi kagetin kalian berdua, soalnya kalian berdua asik banget sama aktifitas kalian, emangnya lihat apaan sih kayanya asik banget deh?”

perkataan dari Taeyong sontak membuatku dan Jennie jadi salah tingkah, gawat dong kalau Taeyong tahu kalau kami berdua lagi mau nguntit dia, kusenggol pinggang Jennie, berharap Jennie bisa memberikan jawaban yang tepat terhadap pertanyaan Taeyong.

“iya nih, tadi lagi liatin kucing di halaman rumah kamu, lucu banget soalnya warnanya abu-abu campuran kuning, lucu banget”

apa deh Jennie bikin alasannya ngak mutu banget, untungnya tetangga baru, eh Taeyong terlihat mempercayai perkataan Jennie.

“btw, Taeyong kok kamu tadi datangnya dari arah berlawanan, lagi jalan-jalan yah?”

pertanyaan SKSD Jennie memecah keheningan yang sempat terjadi, Taeyong tersenyum lebar, manis banget.

“hehehe, iya tadi jalan-jalan lihat suasana di kompleks ini, orang rumah lagi pergi semua, dari pada boring lebih baikan jalan-jalan”

aku dan Jennie hanya mengganguk mengerti, tanpa sadar aku terus memperhatikan Taeyong, untuk ukuran manusia, gantengnya kelewatan banget terus pembawaan santainya keren, aku melirik sekilas ke arah Jennie, beruntungnya Jennie bisa tetanggan sama cowok seperfect Taeyong, bisa modus setiap hari nih Jennie.

“kalau boring yuk kita jalan-jalan, kamu pasti belum ke area taman kompleks di sana tempatnya nyaman banget”

tuh kan Jennie udah modus, gayanya jadi dianggunin lagi, Jennie tukang modus!

“iya aku belum ke area sana, kalau kalian ngak keberatan, kita bisa jalan ke sana”

bahkan Taeyong masih menanyakan kesediaaan kami untuk jalan sama dia, walaupun Jennie yang mengajukan saran, gayanya sopan banget.

“iya dong kita ngak keberatan, iyakan Jis?”

mana mau aku nolak kesempatan modus sama Taeyong, tapi imej harus tetap dijaga, jadi aku pura-pura berpikir supaya kesannya ngak terlalu murahan, satu lagi mana bisa aku nolak kalu Taeyong kini memandangku dengan tatapan penuh harapnya, ini aku yang kege-eran atau memang Taeyong pandangannya gitu?

“gimana Jis, kamu maukan ikut jalan-jalan?”

itu kan Taeyong mandangnya dan gaya bicaranya penuh harap banget, gimana ngak kege-eran kalau dianya gitu banget.

“iya, aku ngak keberatan kok”

senyum cerah langsung menghiasi wajah tampan Taeyong ketika mendengar perkataanku, tenang aja Taeyong, aku ngak akan menyianyiakan kesempatan emas ini.

“kalau gitu ayo kita jalan-jalan!”

Jennie dengan bersemangat berkata.

 

???

 

Kini kami bertiga telah berada di kawasan taman kompleks rumah Jennie dan juga Taeyong, taman ini memang begitu nyaman untuk dijadikan tempat bersantai ria, pohon-pohon dan tanaman membuat taman ini begitu sejuk dan asri sehingga tidak heran jika banyak orang juga menghabiskan sore hari sekedar untuk bersantai.

Begitu pula dengan kami bertiga, memilih duduk di bangku taman dengan lindungan pohon rindang dan pemandangan air mancur di depan kami, walaupun sedikit aneh dengan kondisi kami, duduk bertiga seperti ini dengan aku berada di antara Taeyong dan Jennie betul-betul membingungkan.

“eh tau ngak buah apa yang bikin bingung?”

Taeyong tiba-tiba memberikan pertanyaan atau lebih tepatnya sebuah tebak-tebakan, sepertinya Taeyong mengetahui keanehan posisi kami sehingga berniat mencairkan susana, aku berpikir buah apa yang bingungin? apa ya?

“buah yang ngak bisa dimakan”

jawaban dari Jennie membuatku terkekeh geli, Jennie mah ngak bisa jauh-jauh dari makanan, tapi sepertinya jawabannya salah karena Taeyong menggelengkan kepala terlihat menahan senyum.

“nyerah?”

Taeyong kini bertanya kembali yang membuatku dan Jennie menggangukkan kepala serempak, cukup penasaran dengan tebakan Taeyong.

“jawabannya apel”

“apel? kok bisa”

kusuarakan pemikiranku terhadap Taeyong, masa jawabannya apel.

“itukan kalian berdua bingung”

sontak aku dan Jennie tertawa dan mencairlah suasana yang tadinya begitu aneh. Taeyong adalah pria yang sangat humoris, dengan gayanya yang easy going dan candaannya membuatku merasa sangat nyaman, aku bahkan tak bisa menemukan satu kekuarangan pun darinya, masih ada aja orang perfect di dunia ini dan parahnya lagi dia kini sedang bersamaku, astaga rasanya kaya mimpi saja.

“iya ma, aku akan segera ke sana”

perkataan Jennie menyadarkanku dari khayalanku, kini kulihat Jennie tengah berbicara dengan seseorang dari handphonenya dan kini memandangku setelah sambungan telephonenya terputus.

“Sorry nih Jisoo, Taeyong, mamaku tadi nelphone minta di jemput jadi aku harus pergi nih”

kini kulihat tatapan menyesal dan sedih dari Jennie, pastilah dia sedih modusnya ngak bisa lebih lama lagi, kasihannya Jennie.

“ngak apa-apa kok, lagian aku yang ngerepotin, kamu mau aku antar?”

baik bangetkan Taeyong, masa pake tanya segala, walaupun kulihat pandangan Jennie terlihat berbinar tapi sedetik kemudian kulihat pandangannya kini terlihat berpikir dan memandangiku.

“ngak usah Yong, nanti Jisoonya siapa yang temenin? lebih baik kamu temenin Jisoo aja”

‘Jisoo kamu harus gunakan kesempatan ini sebaik mungkin’

seolah memiliki hubungan batin dapat kulihat dari tatapan Jennie dia berusaha mengatakan hal itu.

“ya udah aku pergi dulu, bye”

Jennie melambaikan tangannya, kemudian dengan gerakan yang disembunyikan dia mengepalkan tangannya ke arahku, aku hanya tersenyum kaku, berdua dengan Taeyong? gimana nih?

“bye, jen”

ucapku dan Taeyong serempak, aduh tambah gugup deh. Untuk beberapa saat kami saling terdiam, aku yang gugup dan mungkin Taeyong yang tak tahu harus memulai percakapan dari mana.

“Jisoo?”

ucapan entah mengapa terdengar lembut dari Taeyong membuatku semakin gugup, aku hanya bisa memandangnya dengan pandangan bertanya, bahkan untuk mengeluarkan kata rasanya sulit sekali.

“apa kamu bahagia sekarang?”
kenapa Taeyong tiba-tiba bertanya seperti itu? bahagia?

tentu saja sekarang aku bahagia tapi kok pertanyaan Taeyong rada-rada ambigu.

“aku rasa aku bahagia”

jawabku pada akhirnya, Taeyong kini tersenyum, senyuman yang sangat manis dan dia kini bangkit dari duduknya mengulurkan tangannya kepadaku.

“aku senang kalau kamu bahagia, kalau gitu ayo kita jalan-jalan lagi”

dengan ragu aku menerima uluran tangannya, seandainya Taeyong tahu kalau aku bahagia karena ada dia.
“aku akan buat kamu bahagia”
sebelum aku mencerna perkataan Taeyong, dia kini sudah menarik tanganku untuk bangkit.

 

???

 

Sepanjang hari kuhabiskan dengan tawa bahagia bersama Taeyong, kami mengelilingi area taman ini, bermain di taman, mulai dari jungkit-jungkit hingga ayunan kami mainkan, Taeyong seolah tahu apa yang kupikirkan, setiap aku ingin melakukan sesuatu Taeyong lebih dulu menanyakan jika aku ingin melakukan itu, seperti saat ini kami tengah menikmati es krim di bangku taman di bawah pepohonan rindang, aku memikirkan jika aku ingin makan es krim tetapi bahkan Taeyong lebih dulu menanyakan apa aku ingin makan es krim, apa ekspresiku seterbuka itu? ataukah Taeyong yang memang memiliki kemampuan membaca pikiran? sepertinya pilihan pertama jauh lebih masuk akal, tapi bagaimana jika Taeyong memang bisa membaca pikiran? oke lupakan pikiran konyolku ini, yang pasti saat ini aku tengah bahagia, kapan lagi bisa menikmati waktu seperti ini, kencan ala drama Korea, tapi apa ini bisa dibilang kencan?

“ini kencan Jis, kalau kamu mungkin sebutnya kencan ala drama Korea?”

oke, sekarang aku merasa bahwa Taeyong betul-betul bisa membaca pikiranaku, aku rasa pikiranku tidak seterbuka itu, atau jangan-jangan tanpa sadar aku mengucapkan pemikiranku? aduh kok jadi bingung sih.

“ngak Jis aku ngak bisa baca pikiran kamu, kamu juga ngak seterbuka itu dan kamu juga ngak mengucapkan apa yang kamu pikirkan, tapi satu hal yang harus kamu tahu kalau aku tahu kamu”

ucapan panjang lebar dari Taeyong membuatku terdiam untuk beberapa saat, Taeyong tahu aku? apa coba maksudnya, ini semakin membingungkan. Dan tawa dari Taeyong kembali menyadarkanku, dia kini tengah tertawa dia bahkan memegangi perutnya terlihat menahan gejolak untuk tertawa lagi, setelah tawanya reda dia memandangiku dan tersenyum manis.

“sorry Jis aku ngak bisa tahan tawa aku, soalnya tadi ekspresi bingung kamu lucu banget jadi makin cantik, tenang Jis aku ngak punya kemampuan untuk baca pikiran tadi asal nebak doang, soal kencan ala drama Korea itu tadikan kamu yang bilang suka sama drama Korea, iya kan?”

penjelasan dari Taeyong cukup membuatku kembali berpikir normal, tadi pikiranku sudah mengelana jauh, aku hanya bisa tersenyum malu, tapi tunggu dulu tadi Taeyong bilang aku cantik, oh my god aku dibilangin cantik sama Taeyong. mama anakmu bahagia banget.

“kamu cantik apa lagi kalau lagi senyum”

pikiran ngelanturku mulai lagi, Jisoo buang jauh-jauh pikiran ngelantur itu, tapi tadi

Taeyong bilang aku cantik lagi, aku mau teriak, sepertinya sikap alay Jennie mulai meracuniku, slow down Jisoo, aku tersenyum malu mendengar perkataan Taeyong, ingat Jisoo jaga imej.

“cih gombal banget”

padahal dalam hati mau juga digombalin, kamu munafik Jisoo.
“menurut kamu itu gombal? padahal aku mengatakan hal yang sebenarnya”

Taeyong mah bikin ngefly terus, rasanya kaya jadi tokoh utama di dalam sebuah drama, ngak nyangka banget bisa juga rasainnya, tadinya aku sering berpikir gimana rasanya jadi tokoh utama dalam sebuah drama yang disukain sama cowok perfect, dan ternyata seorang Jisoo Kim bisa juga rasainnya.

“kamu tahu Jis, aku harap setelah ini kamu harus lebih bahagia lagi”

entah mengapa perkataan Taeyong terdengar sebagai ucapan perpisahan di telingaku, aku hanya memandangnya bingung, tapi sedetik kemudian Taeyong kembali tersenyum manis, dan rasanya aku akan merindukan senyum itu.

“ini udah mau malam, pulang yuk”

kini Taeyong kembali mengulurkan tangannya dan dengan perlahan aku menerima uluran tangannya, meninggalkan taman ini yang entah mengapa terasa hanya akan menjadi sebuah kenangan.

 

???

 

Kini aku dan Taeyong telah sampai di depan rumah Jennie, hanya ada keheningan panjang yang terjadi, canda tawa yang tadi terjadi hilang begitu saja, aku tak tahu apa yang ingin kukatakan dan sepertinya Taeyong juga tak tahu ingin mengatakan apa, entah mengapa rasanya sungguh sangat tak nyaman, seolah kebahagiaan yang tadi terjadi lenyap begitu saja.

“Jisoo?”

kali ini suara Taeyong tak lagi membuatku senang, hanya ada kesedihan yang kurasakan, oh, apa yang terjadi denganku?

“sepertinya sekarang kamu tak terlihat senang”

aku ingin mengganguk ketika mendengar perkataan

Taeyong, mengapa sekarang rasanya begitu sesak seolah kesedihan akan segera merenggut semuanya, astaga aku tak menyukai perubahan suasana yang begitu cepat ini.

“kamu tahu Jisoo, terkadang sebuah kebahagiaaan datang dengan begitu cepat tetapi dengan mudah kebahagiaan itu juga bisa lenyap begitu saja”

entah apa maksud Taeyong yang ingin disampaikan kepadaku, tak ada lagi ekspresi senang yang terlihat dari wajah rupawannya yang ada kini ada ekspresi dingin yang tak terbaca.

“Jisoo, kamu membuat semuanya begitu indah, aku senang bisa menghabiskan waktuku bersamamu”

Taeyong tersenyum, walaupun aku tahu dibalik senyuman tulusnya tersimpan sebuah kesedihan yang juga kurasakan.

“terima kasih”

ucapan itu terdengar begitu tulus dan tanpa sadar setetes air mata meluncur begitu saja dari mataku.

“untuk apa kamu berterima kasih? aku juga senang kok, kamu mengatakan hal yang membingungkan Taeyong”

walaupun sulit akhirnya aku bisa mengatakan sesuatu, aku tak mengerti apa yang terjadi, tadinya kami bersenang-senang dan sekarang aku bahkan tak bisa menjelaskan suasana yang sangat tidak nyaman ini.

“terima kasih karena membuatku menjadi begitu sempurna dengan pandanganmu, menjadikanku peran utama dalam kisahmu, menjadikanku orang yang bisa membuatmu tersenyum, menjadikanku berarti bagimu dan yang paling penting, terima kasih karena membuatku ada”

perkataan Taeyong membuatku membeku untuk sesaat, kali ini air mataku terus mengalir tanpa kuperintah, apa yang sebenarnya terjadi?

“aku harap kamu menemukan pria sempurnamu Jisoo, seseorang yang mencintaimu dengan tulus, yang akan menjagamu, terus berada di sampingmu, melindungimu, tak akan membiarkanmu bersedih, selalu membuat harimu penuh dengan kebahagiaan. Walaupun itu bukan aku Taeyong Lee, tapi aku selalu berharap kamu bisa menemukan Taeyong Lee-mu, seseorang yang sempurna untukmu”

air mataku berubah menjadi isakan yang tak dapat terbendung, kumohon apa yang sebenarnya terjadi denganku?

“untuk itu, hal pertama yang kamu harus lakukan untuk menemukan seseorang yang sempurna untukmu, kamu harus bangun Jisoo”

apa? aku harus bangun? tunggu apa sebenarnya yang terjadi?

“Jisoo Kim bangunlah”

bangun, aku harus bangun.

Aku harus………………………………………..

 

???

 

Kuperjapkan mataku perlahan, sinar matahari terasa menembus pandanganku. Sayup-sayup kudengar suara cempreng yang terus meneriakan namaku berkali-kali mendekat, oh astaga apakah suara cempreng itu tidak bisa lebih menyebalkan, demi tuhan aku masih sangat mengantuk. Sial,sial,sial.

“Jisoooo,Jisoooo,Jisoooo Bangunnnnn!!!”

tunggu, teriakan ini tak asing bagiku, Jennie?

“Jisoo bangung dong, jangan kaya kebo aja, udah siang tahu!”

aku tengah berada di kamar Jennie? perkataan Jennie, bukankah dia sudah mengatakan perkataan ini tadi pagi, tunggu, tadi pagi? ini sudah malamkan? aku menendang-nendang bantal di ranjang ini, aku harus memastikan sesuatu.

“Jisoo, jangan nendang-nendang, udah numpang tidur di rumah orang, malah masih asik-asikan tiduran, pake ngacak kamar aku lagi”

oh astaga ini benar terjadi,kejadian itu.

“Jennie ini udah pagi?”

Jennie memandangku dengan kerutan di dahinya, kejadian itu betul-betul hanya mimpi?

“bukan, ini udah siang, kamu sih tidurnya kaya kebo jadi bangun tidurnya udah siang”

aku hanya bisa memandang Jennie dengan tatapan yang aku sendiri tak tahu artinya, oh tuhan ini betul-betul membingungkan, apa yang terjadi padaku?

“Jennie cubit aku, cepat!”

kuulurkan lenganku meminta Jennie untuk mencubit lenganku, walaupun bingung dapat kulihat Jennie tetap mengerakan tangannya untuk mencubitku. Aku meringis, cubitan Jennie terasa menyakitkan, ini seolah menjawab pertanyaanku, jadi kejadian tadi, Taeyong, semuanya hanya mimpi?

“kamu kenapa sih Jis, aneh banget. Tapi btw aku punya-”

“berita baru?”

sebelum Jennie melanjutkan perkataannya aku terlebih dahulu memotongnya dengan cepat.

“kok kamu tahu?”

detak jantungku berpacu dengan cepat, apakah ini semua akan terjadi lagi, aku tak menggubris keheranan Jennie, masih terus memandang Jennie dengan tatapan menuntut jawaban.

“aku tadi ketemu sama tetangga baru yang kemarin kuceritakan”
ini betul-betul terjadi? Taeyong dia ada?

“dia mirip artis Korea, Taeyong Lee, namanya Taeyong Lee ”

Jennie menempelkan telapak tangannya di dahiku “tidak demam” dapat kudengar gumaman Jennie, kini aku hanya bisa memandang Jennie dengan penuh harap, kumohon.

“mirip artis Korea? dari mananya coba mirip artis Korea? sama-sama orang iya, Taeyong Lee? Jisoo kamu mimpi apa coba, ngelanturnya udah akut, tapi kesel banget sama tuh tetangga baru masa dia—–”

tak kupedulikan lagi ucapan Jennie, oh astaga apa yang kuharapkan dari mimpiku, bertemu Taeyong? cowok perfect itu? Mimpiku betul-betul ajaib. Aku terkekeh geli, mimpiku betul-betul hebat, aku cukup salut dengan imajinasiku, Taeyong Lee? dari mana coba aku nemu nama kaya gitu. Aku tertawa, tak kupedulikan tatapan Jennie yang terlihat bingung denganku, taman, es krim, kata-kata gombal, senyum yang menawan, semuanya hanya khayalanku? aku betul-betul punya khayalan tingkat akut. Aku hanya bisa tersenyum, mimpi yang indah, perkataan Taeyong begitu saja melintas di pikiranku.

“kamu harus menemukan seseorang yang sempurna untukmu”

seseorang yang sempurna untukku? seperti yang di katakan Taeyong, seseorang yang mencintaiku dengan tulus, melindungiku, menjagaku, selalu berada di sampingku, membuatku selalu bahagia dan tak bersedih, seseorang seperti itu yang akan menjadi pria sempurnaku. Entah kapan aku akan menemukan pria sempurnaku, yang aku tahu suatu saat aku akan menemukanmu. Pria sempurnaku, Taeyongku.

 

“The best dream happen when you wake up”

 

?END?

 

Bonus picts visual explode couple

Merangkul Takdir (Cast & Picts)

14 Oktober 2018 in Vitamins Blog

11 votes, average: 1.00 out of 1 (11 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

hai guyssss pertama dan yang paling utama aku mau say thanks untuk yg udah baca, komen, love up cerita gaje aku ini support kalian untuk ceritaku ini sangat berarti guys di bagian ini aku cuman mau share cast dan picts cerita ini sesuai imajinasi aku ke kalian semua , hope you like it

 

Im Yoon Ah as Laminata Verania

 

 

Choi Si Won as Kafiansya Geovian

 

Jung Soo Jung (Krystal Jung) as Lenata Verania

 

Im Si Wan as Alvaro Nasution

 

Bonus

 

 

 

[repost] Merangkul Takdir – Epilog

14 Oktober 2018 in Vitamins Blog

15 votes, average: 1.00 out of 1 (15 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

 

 

“Alva!!! Sayang, kenapa kamu kotor-kotor gini?” Wanita itu berseru pada anak kecil yang kini hanya bisa menunduk menerima omelan sang ibu. Bajunya dipenuhi lumpur pun dengan rambut ikal serta wajahnya, ia betul-betul tertutupi lumpur.

Sayang, jangan ngomel mulu, kamu nakutin tahu.” Tiba-tiba saja suara itu muncul dari pintu masuk sana, memperlihatkan sosok suami yang juga cukup belepotan dengan lumpur yang memenuhi celana dan bajunya.

Ayah.” anak kecil itu berseru, berlari menuju sang ayah. Dengan sigap pria itu mendekap sang anak, mengendongnya.

Ini nih rajanya. Kakak bukannya jagain anak malah ikut-ikutan ngelumpur!” Lami masih mengomel, memandang pria di hadapannya, yang hanya memandangnya dengan senyum lebar.

Kok kamu makin cantik aja kalau lagi ngomel kaya gini.” Bukannya menanggapi istrinya, Kafi malah tersenyum semakin cerah dan mengoda sang istri. Lami mendengus begitu mendengar rayuan pria itu. Kebiasaan, kalau Lami mengomel seperti ini pasti si pria akan mengalihkan perhatian dengan memberikannya rayuan tak bermutu seperti tadi.

Ngak mempan! Kakak kebiasaan deh ngalihin pembicaraan.” Lami bersedekap, mendengus sebal.

Ibu, maafin Alva.” Anaknya berbicara mengalihkan perhatian. “Alva janji ngak bakal nakal-nakal lagi.” Anaknya itu masih tertunduk, bersembunyi dalam dekapan sang ayah, takut dimarahi sang ibu.

Sayang, ibu ngak marah.” Lami mendekat, mengelus pipi yang berlumuran lumpur itu dengan sayang. “Anak ibu yang ganteng, ibu sayang banget sama Alva.” Lami tersenyum tulus, mengecup hidung itu sayang yang membuat sang anak tertawa geli. Anaknya langusung mendekapnya sayang, hingga tubuh mereka bertiga berdekatan, mendekap bersama. Tak dipedulikannya lagi tubuhnya yang juga ikut terkena lumpur, semuanya terasa membahagiakan. Lami yang kini berada dalam dekapan sang suami dan juga buah hati mereka.

Waduh kayanya kita gangguin nih, kak.” Seruan itu mau tak mau membuat Lami mendongak dan tersenyum begitu melihat siapa pemilik suara itu.

Tante Lena, Om Henry!” Sang anak berseru senang melambai-lambaikan tangan kepada om dan tantenya yang disambut senyum senang.

Lenaaa” Lami berseru kekanakan, memeluk sang adik senang penuh kerinduan. Membuat Kafi serta Henry hanya mampu terkekeh geli melihat tingkah mereka berdua.

Aduh kak lumpurnya jadi kena di aku juga nih.” Lena pura-pura merajuk, tapi tak urung juga membalas pelukan sang saudari dengan tak kalah erat, tersenyum senang dengan kerinduan yang sama.

Lami tertawa begitu melihat adiknya juga terkena lumpur karena ia memeluknya. Dengan sengaja ia menambah lumpur di wajah sang adik, tangannya sengaja mencubit gemas pipi Lena hingga lumpur juga belepotan di wajah itu.

Kak Lami!!!” Lena berseru jengkel pura-pura, mempoutkan bibirnya kesal. Kali ini para pria tak lagi terkekeh, mereka tertawa melihat tingkah lucu kedua saudari kembar ini. Hingga akhirnya ruang tamu ini dipenuhi gelak tawa.

Ayah! Alva mau mandi!!” Alva yang tak mengerti dengan apa yang ditertawakan para orang tua menyela. Memeluk leher sang ayah, ingin mandi. Sehingga keempat orang dewasa ini kembali tertawa mendengar celotehan kesal sang anak.

Sayang, kamu juga ngak mau mandi? Aku juga siap kok mandiin.” Lami melotot begitu mendengar ucapan sang suami, mencubit lengan pria itu hingga Kafi sedikit meringis. Lena dan Henry hanya mampu tersenyum geli melihat tingkah keduanya.

Sana, kakak mandiin Alva.” Lami berseru cepat, menepuk pundak pria itu agar segera naik untuk membersihkan diri.

Kalau kamu berubah pikiran, kamu tinggal naik, oke?” Pria itu berkedip jenaka. Ia dengan cepat memberikan kecupan kilat di bibir sang istri, terkekeh geli begitu melihat wajah shock sang istri untuk beberapa detik. Melenggang pergi sebelum ia mendapat omelan lagi dari sang istri.

Kak Kafi!!!” Lami berseru kencang begitu tersadar dari keterkejutan, namun sosok itu sudah terlihat lagi.

Lami memandang kesal begitu Lena dan Henry malah tertawa geli melihat dirinya. Mereka pasti menertawakan wajah shocknya itu.

Udah ah ketawanya.” Lami berseru kesal, namun kedua pasangan di hadapannya tak berhenti tertawa juga, sengaja membuat Lami kesal. Pada akhirnya gadis itu juga hanya bisa tertawa geli, menertawakan dirinya, ikut larut dalam kebahagiaan.

Pada akhirnya seorang Laminata Verania dapat menyatukan takdirnya, berdamai dengan kehidupannya, merangkul takdirnya, seluruh takdir yang membawanya pada kebahagiaan, Kepada kehidupannya yang sangat berharga.

 

Terima kasih takdirku, karena membiarkanku merangkulmu kembali, karena membiarkanku menjalanimu lagi, terima kasih karena telah berdamai denganku. Kali ini aku akan menjalaninya sepenuh hati, kali ini aku akan hidup di dalamnya, berjalan bersamanya hingga ujung yang engkau tentukan.

Laminata Verania

END

[repost] Merangkul Takdir – Merangkul Takdir (9)

14 Oktober 2018 in Vitamins Blog

42 votes, average: 1.00 out of 1 (42 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

 

Part Sebelumnya

Ibunya telah meninggal

Seharusnya tidak seperti ini. Ibunya seharusnya baik-baik saja dan hidup berbahagia. Bukankah ia telah mendapatkan apa yang ia inginkan? Lalu mengapa ibunya harus berakhir seperti ini?

Lami tanpa sadar tak dapat lagi menahan air matanya. Dan akhirnya gadis itu menangis, terisak berlutut di pusara itu. Ia setidaknya ingin bertemu secara langsung walaupun hanya sekali dengan ibunya. Banyak yang belum ia ungkapkan kepada ibunya, ia ingin memeluk ibunya walau hanya sekali, ia ingin mengungkapkan cintanya pada sang ibu. Ia ingin meminta maaf, untuk semuanya.

Ibu, aku ingin bertemu denganmu….

“Kau telah memaafkan ibumu. Ibumu pasti senang dan berterima kasih karena kau telah memaafkannya.” Anak kecil itu berucap pelan. Lami kini masih menangis terisak, ia sama sekali tak berharap ibunya pergi seperti ini, ia belum siap dan mungkin tak akan pernah siap. Walaupun wanita itu telah membuangnya, pada kenyataannya Lami tetaplah mencintai wanita itu, ibunya.

“Tenanglah. Kita masih harus melihat kilasan yang lain.” Anak kecil itu kembali berujar. Kini mereka memang telah berada di ruang putih dengan gelembung itu lagi. Bersiap untuk melihat kilasan lainnya.

“Aku tak mau lagi melihat kilasan yang lain..” Gadis itu berujar penuh dengan kesakitan. “Sudah cukup..aku tak mau lagi. Aku lelah..”

“Lami, kita belum melihat semuanya, kau–”

“Sudah cukup..Aku sudah melihat semuanya. Aku tetap ingin mati saja. Aku benar-benar lelah..kumohon..”

“Kau masih memiliki adikmu, Lena. Kau juga memiliki Kafi, Lami.” Anak kecil itu perlahan mendekat, menggengam tangan Lami seolah memberi kekuatan.

Lena dan Kafi

Untuk beberapa saat Lami hanya termenung. Perkataan anak kecil itu tanpa sadar membuat dirinya meragu. Sebagian hatinya berkata hal yang sama, bahwa ia memiliki Lena dan Kafi, ia masih memiliki alasan untuk hidup. Namun sebagian hatinya yang lain berteriak menolak, merasa tak sanggup lagi untuk hidup lebih lama seperti ini.

“Kita hanya perlu melihat satu lagi kilasan.” Anak kecil itu berujar. “Setelahnya kau boleh memilih. Kau boleh memilih takdirmu.”

Anak kecil itu kembali menarik sebuah gelembung kehidupan Lami. Ia kemudian memandang gadis itu , tersenyum simpul. “Setelah kita melihat ini, kau bebas memilih.”

Lami pada akhirnya hanya mengganguk lemah. Dan kembali, kesadaraan gadis itu kembali ditenggelamkan dalam kegelapan yang tak berdasar, larut di dalamnya.

Hanya satu, dan semuanya akan berakhir….

 

***

Gadis itu kini telah berada dalam sebuah kamar dengan penerangan minim. Namun Lami masih dapat dengan jelas melihat sosok yang begitu mirip dengan dirinya, sang adik kembar, Lenata Verania.

Saat ini gadis itu terduduk di pinggir ranjang, terisak dalam diam dengan bahu gemetaran, kesedihan nyata melingkupi gadis itu.

“Kak Lami…kenapa kakak setega ini pergi begitu saja…kenapa kakak tega meninggalkanku?” Gadis itu masih terus terisak menggaungkan nama sang saudari kembar.

Tiba-tiba saja gebrakan di pintu itu mengalihkan perhatian mereka berdua. Di sana terlihat seorang wanita paruh baya, ia berjalan cepat dan kini berdiri tepat di hadapan saudari kembarnya yang masih terduduk dengan tangis.

“Ibu..” Lena berucap lirih, wanita di hadapannya mendengus mendengar perkataan Lena. “Tak berhenti juga kau menangis? Kau menangis sampai mati pun tak akan mengembalikan saudari menyedihkanmu itu!” Wanita itu berucap tajam.

“Sekarang kemasi barangmu cepat dan pergilah!”

“Ibu…”

“Jangan panggil aku ibu!” Wanita itu menghardik. “Aku tak sudi mempunyai anak sepertimu, anak seorang pelacur!” Wanita itu tersenyum sinis. “Pergilah karena aku sudah tak sudi menampungmu, anak pelacur! Suamiku juga sudah tak ada jadi tak akan ada lagi yang melindungimu..” Wanita itu menjambak rambut Lena kasar. “Aku selalu menyesal membiarkan suamiku mengadopsimu. Kau hanya anak pembawa sial. Pergilah dari sini! Dan jangan pernah berharap untuk mendapatkan sepeserpun uang suamiku, kau gadis sialan!”

Wanita itu mendorong kepala Lena dengan keras, hingga terbentur di sandaran ranjang keras. Menyebabkan darah yang langusung mengucur dari pelipis gadis itu.

Lena menahan mati-matian tangisnya sepeninggal ibu angkatnya itu. Ia perlahan bangkit, tak dihiraukannya lagi rasa sakit menyengat di pelipisnya begitu ia bangkit. Ia terus melangkah, melangkah menjauh dari rumah itu seperti yang diinginkan ibu angkatnya itu.

Lami mengikuti langkah saudari kembarnya dengan keterkejutan yang menyayat hati. Jadi selama ini ibu angkat Lena juga adalah wanita kejam yang menyiksa Lena. Saudari kembarnya tak pernah hidup dalam kebahagiaan seperti yang ia kira, ternyata Lena juga mendapat perlakuan kejam.

Ia mengetahui kebenaran lainnya, kebenaran yang mencubit dirinya. Bahwa selama ini dirinya memang hanya melihat dari satu sisi tanpa mau tahu sisi yang lain. Saudari kembarnya bukannya tak ingin mencarinya, tapi ia tak diperbolehkan. Gadis itu juga terkurung, sama seperti dirinya.

“Lena jangan…” Lami berseru begitu melihat adik kembarnya melangkah dengan tatapan kosong menuju tengah-tengah jalan raya yang dilalui kendaraan berkecepatan tinggi.

“Lena jangan! Lena kumohon jangan!” Lami berseru keras yang tentu saja tak di dengarkan gadis itu. Lami bersikeras meraih tangan sang saudari namun hasilnya nihil, tetap saja ia tak bisa melakukan apapun.

“Lakukanlah sesuatu, jangan biarkan adikku melakukan ini.” Lami berujar cepat kepada anak kecil yang hanya berdiri mematung, menyaksikan semuanya.

“Kita hanya seorang penonton, ingatlah.” Lami menggeleng-gelengkan kepalanya keras, menolak.

“Kumohon lakukan sesuatu!.” Lami menjerit. Namun anak kecil itu hanya memandang datar.

“Lena sadarlah! Kumohon Lena! Jangan..” Lami masih menjeritkan permohonanya. Sekeras apapun ia berusaha menahan langkah gadis itu, semuanya tetap saja sama. Gadis itu berjalan terus-menerus dengan tatapan kosong dan kini telah berdiri di tengah-tengah jalan raya.

“Lena..Jangan! Lena..Lena…Lenaaaa!” Gadis itu menjerit keras begitu mobil itu menghempas tubuh sang saudari kembar keras, membantingnya tanpa ampun, dan semuanya kembali menggelap.

 

***

“Lenaaaa!!!” Lami masih menjerit, menutup kedua matanya tak sanggup melihat apa yang terjadi. Namun sebelum ia membuka matanya, kesadarannya kembali terenggut, ketika ia membuka kedua netra kelamnya yang telah dipenuhi air mata, ia kembali berada di tempat yang berbeda

Sebuah ruang putih berukuran kecil. Lami memindai sekitar dan keterkejutannya semakin bertambah begitu melihat sosok yang begitu ia kenali meringkuk memeluk lutut di atas ranjang itu dengan teror di wajahnya.

Kafi…

Lami mendekat untuk memastikan, dan sosok itu memang adalah Kafi. Raut wajahnya penuh dengan ketakutan, tubuhnya gemetaran, dan ia meringkuk seolah melindungi diri.

“Lami maaf..maaf…maaf….maaf..maaf…” Pria itu terus bergumam kata maaf pun dengan tubuhnya yang masih bergetar penuh teror.

Sebelum Lami mencerna apa yang telah terjadi, pintu putih itu terbuka perlahan, memperlihatkan sosok pria berjas putih, seorang dokter dan juga beberapa perawat pria.

“Selamat pagi Tuan Kafi.” Sang Dokter berucap ramah. Berdiri dalam jarak yang aman agar pasien di hadapannya tak merasa terancam.

“Aku membunuhnya..aku membunuhnya…aku membunuhnya….” Pria itu kembali bergumam berkali-kali, dirinya semakin gusar pun dengan keringat dingin yang telah membanjiri dirinya. Sebelum sang dokter sempat berkata, pria itu kehilangan kendalinya. Ia melompat dari ranjang, dengan membabi-buta menerjang sang dokter.

Dengan cepat kedua perawat pria itu menahan pasien di hadapannya ini. Setelah sang dokter terbebas dari serangan, ia mengeluarkan sebuah suntik dan dengan tenang menyuntik pria di hadapannya sehingga perlahan pria yang tadinya terus memberontak ini kehilangan kesadaran dan akhirnya kembali tertidur. Dengan cepat kedua perawat dan sang dokter memindahkan pria itu keranjang, membaringkannya di sana.

“Kondisi mentalnya masih sama.” Sang dokter bergumam prihatin. “Ia masih begitu trauma, trauma yang sangat mendalam.”

“Iya, dok.” salah seorang perawat menanggapi. “Pasien ini telah kehilangan kedua orangtuanya di masa muda yang menyebabkan trauma. Dan sekarang ia kembali mengalami trauma mendalam begitu kedua orangtua angkat serta saudaranya meninggal dalam kecelakaan tragis.” Perawat itu berujar.

“Dan sekarang ia juga menuduh dirinya sebagai pembunuh calon istri saudaranya karena tak berhasil menyelamatkannya dari percobaan bunuh diri.” Sang dokter kembali berujar, menghela nafas panjang. “Ia masih muda. Dan sekarang dirinya harus mendekam di rumah sakit jiwa ini, memperbaiki mentalnya yang telah rusak. Yang akan sangat sulit untuk menormalkannya kembali.”

Perkataan dokter itu menyentak Lami. Gadis itu tanpa sadar membekap mulutnya terkejut. Tanpa sadar tubuhnya gemetar penuh ketakutan mendengarkan ucapan sang dokter.

Kafi tak mungkin berakhir seperti ini. Kafi adalah pria yang kuat, ia tak mungkin berakhir gila seperti ini, tidak boleh.

Kafi tidak mungkin berakhir seperti ini, tidak mungkin……..

Lami mengelengkan kepala. Tangis kembali merasukinya, ia menangis terisak penuh kepedihan.

“Kumohon jangan seperti ini, Kafi..” Lami berujar lirih pada tubuh yang kini tak sadarkan diri itu. Tangisnya tak tertahankan lagi begitu dihadapkan pada takdir sang adik kembar dan juga Kafi.

Mengapa seperti ini? Seharusnya tidak seperti ini….Ia tak mau…ia tak bisa melihat takdir kedua orang yang dicintanya berakhir seperti ini…tidak boleh….

“Aku tak mau!!!” Lami menjerit. “Aku ingin kembali hidup! Aku tak mau berakhir seperti ini! Aku ingin hidup!”

 

***

 

Akhirnya kau memilih untuk kembali hidup..” Anak kecil itu tersenyum. “Kau memili pilihan yang tepat, Lami.”

Kini mereka telah berada dalam ruang putih, namun tak ada lagi gelembung-gelembung, hanya sebuah ruang putih tak berujung.

Kau akan berbahagia.” Anak kecil itu menggengam kedua tangan Lami yang masih terdiam dalam keterpakuan dan tangis. “Dunia telah menjanjikanmu kebahagiaan.”

Aku senang bisa bertemu denganmu Laminata Verania. Gadis dengan hati seluas samudra sepertimu.”

Apa…apa aku akan kembali hidup?”

Kau telah mengembalikan takdirmu, kau telah merangkul seluruh takdirmu, bahkan takdir terkejam sekalipun.” Ada jeda sebelum anak kecil itu kembali berujar. “Kau pantas mendapatkannya, kehidupanmu yang sangat berharga.”

Apakah aku akan tetap mengingat ini semua?” Lami berjuar ingin lirih.

Ini akan menjadi rahasia kita, rahasia kecilmu.” Anak kecil itu tersenyum simpul.

Sepertinya ini adalah perpisahan untuk kita.” Anak kecil itu tersenyum tulus. “Berbahagialah Laminata Verania.”

Terima Kasih…” Lami balas tersenyum, kali ini senyuman tulus dari hatinya.

Dan semuanya kembali menggelap, Lami tertarik begitu dalam, sangat dalam menuju dasar kesadarannya, kembali, kepada kehidupannya.

 

 

 

 

 

 

To be Continued

[repost] Merangkul Takdir – Memaafkan (8)

14 Oktober 2018 in Vitamins Blog

61 votes, average: 1.00 out of 1 (61 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

 

 

Lami termenung dalam diam begitu pikirannya terus berkelana jauh, pikirannya seolah seperti kaset film yang terus memutar kilasan-kilasan tentang dirinya dan Kafi, tentang alasan mengapa pria itu tak pernah datang menepati janjinya.

Selama ini ia merasa sangat benci pada pria itu, mengapa pria itu tak datang? Mengapa ia meninggalkannya? Mengapa ia pergi tanpa penjelasan apapun? Namun kenyataan-kenyataan yang terpapar di hadapannya seolah menamparnya. Pria itu juga mengalami kehilangan menyakitkan, ia juga sama terluka serta bersedihnya.

Lami merasa sangat egois, pria itu mengetahui kesedihannya dan siap untuk membantunya, sedangkan ia berpikir seolah pria itu tak memiliki kesedihan apapun, seolah pria itu akan terus menolong dan menjaganya. Nyatanya pria itu juga butuh pertolongan dan Lami telah bertindak egois dengan menghakimi pria itu.

Prasangka manusia memang hanya selalu melihat dari satu sisi yang berlawanan.” Anak kecil itu berujar memecah keheningan ruang putih yang di penuhi gelembung ini. Ia juga berdiri di sana, menerawang jauh seolah pikirannya juga mengelana. “Tak apa, karena kau sudah memperbaikinya, kau sudah mengetahui kebenarannya.”

Tapi tetap tak akan mengubah apapun.” Gadis itu menghela nafas. “Pada akhirnya kami tetap akan berada dalam kesalah pahaman. Aku tetap membencinya dan dia tetap tak peduli padaku.”

Lagi-lagi kau hanya mengambil keputusan dari sudut pandangmu, dari sudut pandang yang bahkan kau sangkal sendiri.” Anak kecil itu memandangnya. “Padahal kau yang paling tahu perasaanmu, dan kau juga menegetahui perasaannya.”

Lami hanya terdiam mendengarkan penuturan anak kecil itu. Ia sejujurnya juga ragu tentang perasaannya, ia tak tahu harus mempercayai yang mana, ia merasa seolah hatinya terpecah menjadi kepingan, yang Lami sendiri bingung untuk menyatukannya.

Lami, kau hanya perlu menerimanya dan semuanya akan menjadi jelas. Jangan menyiksa dirimu.”

Aku ingin melihat kilasanku dengan Kak Alva..” Lami kembali berujar sengaja mengalihkan perhatian, menyudahi konfrontasi yang terjadi.

Alva? Ah..pria yang menyelamatkanmu dari keterpurukan..” Anak kecil itu berujar, memandang lurus ke arah Lami. “Mungkin memang kita harus melihatnya..”

Seperti yang sudah-sudah, anak kecil itu kembali menggerakan jari-jarinya hingga sebuah gelembung mendekat, berhenti tepat di hadapannya.

Lami memejamkan kedua netra kelamnya, kali ini membiarkan kegelapan menutupi kesadarannnya, membiarkan dirinya terbawa menuju kilasannya dengan Alva.

 

***

Kini Lami tengah berada di taman kanak-kanak tempatnya mengajar. Ia melihat dirinya dengan bersemangat bermain dan mengajar anak-anak yang juga tak kalah bersemangatnya ditemani tawa ceria mereka.

Setelah Lami terbebas dari belengu panti asuhan wanita jahat serta suaminya itu, ia melanjutkan hidupnya dengan baik tanpa menoleh lagi, mengubur dalam-dalam segala masa lalu terjadi. Ia berpindah ke yayasan sosial di kota lain pun dengan sekolahnya. Gadis itu memulai lembaran barunya.

Walaupun hidupnya tak mudah tentu saja. Ia harus bekerja di beberapa tempat sekaligus untuk menabung uang sekolah dan keperluan lainnya. Namun pada akhirnya ia bisa melewati semuanya dan kini mendapatkan pekerjaan tetap sebagai seorang guru taman kanak-kanak. Ia menikmati hari-harinya mengajar, bisa melihat kebahagiaan murid-muridnya, sebuah kebahagiaan yang sejujurnya ia rindukan.

Ayo semuanya berbaris. Kita akan segera pulang.” Lami berseru, membuat semua murid-murid yang tadinya sibuk dengan kegiatan masing-masing memperhatikannya. Perlahan anak-anak itu mulai berbaris rapi, bersiap untuk pulang dengan Lami yang membimbingnya.

Lami tersenyum begitu murid-muridnya kini berlarian menuju orang tua masing-masing, terlihat begitu ceria. Setelah memastikan semua muridnya pulang, gadis itu juga bergegas untuk pulang, merapikan buku-bukunya dan mengambil tas tangannya.

Ia berjalan perlahan menuju gerbang, bersenandung pelan. Namun langkah gadis itu memelan begitu melihat di hadapannya kini seorang pria terlihat kebingunan dengan mobilnya yang seperti mogok. Pria itu menelepon sambil memandang mesin mobilnya kebingunan, terlihat begitu kesal dan merutuk.

Lami perlahan terus berjalan, melewati pria itu. Namun langkahnya terhenti begitu pria itu terlihat sangat kalang kabung sepertinya membahas tentang meeting penting yang terancam batal. Lami menghela nafas panjang, berbalik dan kembali melangkah ke arah pria dengan mobil mogoknya itu.

Mungkin saya bisa membantu mobil tuan..?” Lami merutuk dalam hati begitu keinginan untuk menolong dari hatinya muncul. Ia memang bisa memperbaiki mobil yang mogok mengingat dirinya pernah bekerja di bengkel. Gadis itu menghela nafas begitu pria di hadapannya hanya memandang bingung. Dengan cepat Lami mulai memperhatikan mesin mobil rusak itu, ia mengotak-atiknya perlahan dengan cekatan.

Sepertinya mobilnya sudah bisa berjalan lagi” Lami berucap pelan, pria itu masih memandangnya kebingungan. Namun dengan cepat tersadar dan mulai mengecek mobilnya. Dan benar saja mobil itu kembali menderu menandakan mesinya telah berfungsi kembali. Lami tersenyum tipis begitu mobil itu telah berfungsi kembali. Ia perlahan berbalik bersiap untuk melangkah pergi.

Tunggu!” Seruan pria itu menghentikan langkah Lami hingga gadis itu kembali berbalik. Dan kini sosok itu telah berada di hadapannya, memandangnya dengan senyum.

Terima kasih untuk memperbaiki mobilku.” Lami hanya membalas dengan senyum, mengganguk perlahan. “Ah..aku Alvaro Nasution, senang bisa bertemu denganmu.” Pria itu menjulurkan tangannya. Untuk beberapa detik Lami hanya memandang uluran tangan itu. Hingga akhirnya ia menerima uluran tangan itu pelan.

Saya Laminata Verania..” Mereka berjabat tangan. Hingga Lami dengan canggung melepaskan jabatan itu dan pria di hadapannya juga tersenyum canggung.

Kalau begitu saya permisi dulu.” Lami berujar, memecah keheningan yang sempat terjadi. Kembali berbalik melangkah menjauh.

Sampai jumpa!” Lami mendengar seruan pria itu dari jauh, ia berbalik memandang pria itu yang kini melambai dengan senyum. Lami tanpa sadar mengerutkan kening, mendengar ujaran pria itu yang seolah berkata bahwa mereka akan bertemu lagi. Gadis itu pada akhirnya hanya mengangguk kecil. Kembali melangkah menjauh hingga pria itu tak dapat melihatnya lagi.

Pertemuan pertamanya dengan Alva, pertemuan yang pada akhirnya mempertemukan mereka pada pertemuan-pertemuan yang lainnya.

 

***

Kilasan-kilasan itu perlahan memperlihatkannya dengan pertemuan-pertemuan selanjutnya dengan pria itu, Kak Alva. Pria itu datang lagi besoknya, menunggui Lami selesai mengajar. Gadis itu tentu saja kaget dengan pria itu yang menungguinya. Alva beralasan bahwa ia ingin mengucapkan terima kasih dengan menaraktir Lami makan siang.

Tentu saja pada awalnya Lami menolak, ia merasa tak punya kepentingan dengan pria itu. Namun seolah tak menyerah, pria itu datang keesokan hari dan keesokannya lagi. Membuat Lami pada akhirnya menerima ajakannya, berharap bahwa setelah ia memenuhinya pria itu tak menggangunya lagi.

Namun sepertinya pria itu tak ingin menyerah begitu saja. Ia masih datang setelah mereka makan siang. Kali ini bersikap seolah mereka dekat dan mulai bertanya ini-itu seperti kawan lama. Lami tentu saja kesal dan suatu hari mengeluarkan amarahnya pada pria itu agar ia tak datang lagi. Akan tetapi pria itu adalah sosok yang sangat keras kepala, bahkan ketika Lami sudah marah sekalipun pria itu tetap datang, berkata bahwa ia ingin mengenal lebih jauh sosok dirinya, ia ingin mengetahui tentang dirinya.

Hari-hari berlalu dan mereka menjadi dekat begitu saja. Entah mengapa pria itu yang datang di taman kanak-kanak ketika waktunya pulang telah menjadi sebuah kebiasaan. Mereka jadi saling mengetahui lebih banyak satu sama lain, menjadi lebih dekat seiring berjalannya waktu.

Dan hari itu akhirnya datang juga, dimana pria itu mengajaknya untuk berhubungan lebih serius, untuk mengenal lebih serius. Dan untuk pertama kalinya Lami kembali membuka hatinya setelah sekian lama hati itu tertutup dengan rapat, membiarkan sosok Alva masuk, membuka lembaran baru untuk sosok itu.

Hari demi hari, minggu demi minggu, hingga satu tahun telah berlalu dan mereka menjadi semakin dekat satu sama lain. Lami mulai membuka dirinya, beberapa kali membahas masa lalunya yang sejujurnya ia tak ingin ingat lagi. Lami seolah menemukan titik baru dalam hidupnya. Ia perlahan mulai melangkah menjauh meninggalkan masa lalunya.

Gadis itu bahkan telah bertemu dengan kedua orangtua Alva. Tadinya Lami beranggapan bahwa kemungkinan orangtua pria itu akan menolaknya yang merupakan sosok kalangan bawah. Namun semua itu salah besar. Orangtua Alva, Natasha dan Natusion menerima mereka dengan tangan terbuka. Dengan penuh kasih dan kehangatan menyambut Lami. Gadis itu kembali merasakan kesyukuran yang melimpah. Bukan hanya menerima dirinya dengan kebahagiaan, mereka berdua juga memberikan Lami kasih sayang orangtua, kasih sayang yang sangat ia rindukan.

Seperti hari ini mereka menghabiskan waktu bersama di sebuah cafe di tengah kota. Saat ini Kak Alva akan mempertemukan dirinya dengan sahabat karibnya sejak lama yang kini menetap di Jerman dan akhirnya pulang setelah berpindah dan mulai bekerja sebagai arsitektur di Indonesia.

Pria itu bercerita panjang lebar mengenai sosok sahabat karibnya yang sudah seperti saudara baginya. Mereka menghabiskan waktu bersama sedari kecil hingga sekarang, sosok itu yang bernama Kafi. Sebuah nama yang pada awalnya membuat Lami mengerinyit tak nyaman, nama yang sama dengan sosok masa lalunya. Walaupun begitu langsung ditepis bahwa itu hanya nama yang sama dengan sosok yang berbeda.

Lami ikut tersenyum senang begitu mendengar sosok yang duduk di hadapannya berujar semangat tentang sahabatnya itu. Sosok itu memang baru pulang lagi setelah mungkin hampir setahun, sibuk dengan pekerjaannya di Jerman. Itulah mengapa Lami juga tak pernah bertemu dengan sahabat sang kekasih. Dan ini akan menjadi pertemuan pertama mereka.

Ah..itu dia! Kafi di sini!” Alva berseru begitu melihat sosok yang baru saja datang memasuki cafe ini. Ia tersenyum senang dan melambai memanggil pria itu. Perlahan Lami ikut berbalik, ingin melihat sosok itu.

Gadis itu tercekat, memandang sosok yang kini berjalan ke arah mereka tak percaya. Itu adalah sosok yang paling tidak diharapkan dirinya berada di sini. Sosok yang ia tolak mati-matian. Dan sosok itu kini telah berdiri di hadapannya, ia juga memandang gadis itu dengan pandangan tak terbaca, walaupun tak menutupi keterkejutannya.

Lami..” Sosok itu berucap lirih, masih memandang gadis yang terduduk di hadapannya. Tak menyangka bahwa sosok gadis, kekasih sahabatnya yang terus di ceritakan dengan bersemangat adalah gadis itu, adik kelasnya dulu, Laminata Verania.

Kalian sudah saling kenal?” Alva berujar memecah keheningan yang tiba-tiba terbentang di antara mereka.

Tidak.” “Iya.”

Tanpa disangka-sangka Lami dan sosok dihadapannya ini berujar bersamaan. Walaupun ucapan mereka berujar bertolak belakang.

Aku hanya sebatas tahu ia kakak kelasku dulu di SMA yang lama.” Lami buru-buru memberi penjelasan sebelum pria itu berujar.

Mengapa harus dia sahabat Kak Alva?

Lami merutuk dalam hati, sepertinya memang takdir senang mempermainkannya hingga harus kembali bertemu dengan salah satu masa lalu yang ia ingin lupakan, Kafiansya Geovian.

Ah..begitu.” Alva menganggukkan kepala mengerti. “Duduk dulu, bro. Lho udah songong banget deh ngak pulang-pulang sampe setahun.” Alva berujar jenaka menepuk pundak pria itu. Kafi hanya terkekeh balas menepuk pundak pria itu. Perlahan ia juga ikut duduk, duduk di kursi dekat pria itu.

Lho udah temuin mama dan papakan?” Alva kembali membuka pembicaraan begitu Kafi telah duduk, yang dibalas anggukan singkat. Pasalnya Kafi memang lebih memilih untuk tinggal di sebuah apartement sendiri.

Kalian udah saling tahu, kan? Lami, ini sahabatku yang kubicarakan, Kafiansya Geovian. Dan bro ini Lami, kekasihku.” Alva memperkenalkan mereka dengan senyum, tak menyadari bahwa keduanya hanya memandang dalam diam. Lami dengan kesedihannya yang tiba-tiba menyeruak, dan Kafi yang hanya mampu memandang dalam diam. Pada akhirnya mereka hanya mengganguk sekilas. Lami bahkan tak sanggup memandang sosok itu lama-lama.

Dan pada akhirnya mereka harus menjalani pertemuan-pertemuan lainnya. Sejujurnya Lami merasa tak sanggup kembali bertemu dengan pria itu. Luka di hatinya seolah kembali menyayat mana kala melihat pria itu. Sosok yang meninggalkannya.

Namun ia tetap harus bertahan, ia harus membiasakan diri melihat sosok itu disekitar kekasihnya, menggangu dirinya. Walaupun Lami tetap berusaha mati-matian untuk meminimalakan pertemuan mereka.

Melihat sosok itu selalu mengembalikan ingatannya tentang hari itu, hari dimana kesakitan itu bertumpuk menjadi satu. Masih diingatnya dengan jelas bagaimana pria bajingan suami wanita jahat itu ingin memperkosanya pun dengan wanita jahat itu yang memukulinya dan menendangnya membabi-buta tak tanggung-tanggung. Dan bagaimana dirinya di titik terakhir masih mengharapkan pria itu untuk menolongnya, untuk datang menyelamatkannya.

Aku tak ingin melihat kilasan ini lagi.” Lami berucap sedih, hanya mampu memandang terpaku pada kilasan-kilasan itu.

Baiklah ayo kita pergi..” Sebelum kesadarnnya kembali terenggut, ia dapat mendengar ucapan anak kecil itu.

***

Gadis itu menghela nafas panjang, rasa sesak di dadanya mulai mencekiknya pelan. Ia mati-matian menahan tangis yang tiba-tiba menghinggapinya.

Mengapa ketika ia mengetahui kebenaran bahwa sosok yang sangat dibencinya, sosok yang tak menepati janjinya itu, semuanya terasa berat dan menggangunya.

Pria itu bukannya tak mau datang, tapi ia tak bisa. Apakah ia masih membenci pria itu bahkan ketika ia telah mengetahui kebenarannya? Lalu apa yang harus ia lakukan? Apa sebenarnya yang ia inginkan?

Kau ingin meminta maaf pada pria itu…kau ingin berdamai dengan semuanya….

Hatinya seolah kembali berbicara, menjawab keresahan dan kebingungan yang ia alami.

Lami, jangan memaksakan dirimu.” Anak kecil itu berucap pelan. “Kau akan mengetahui jawabannya segera.”

Benarkah ia akan mengetahui kebenarannya? Benarkah ia akan mengetahui perasaannya?

Kak Alva…

Nama itu perlahan terngiang. Bagaimana perasaannya dengan Kak Alva? Ia yakin ia mencintai pria itu, selama ini Alvalah yang menopangnya dan Lami telah memberikan hatinya untuk pria itu. Itulah mengapa ia bahkan tak tahan lagi hingga bunuh diri ketika pria itu meninggal, karena pria yang dicintainya telah tiada.

Lalu bagaimana dengan Kafi?

Tiba-tiba saja sebagian hatinya merontakan nama sosok itu. Jika ia mencintai Alva lalu mengapa sebagian hatinya seolah tak rela dan meneriakan nama pria itu? Mengapa dirinya jadi seragu dan sebingung ini?

Kau tahu Lami, kau punya hati yang luas.” Anak kecil itu berujar lambat-lambat. “Kau harus tahu bahwa hatimu selalu bisa memaafkan lebih dari yang kau tahu, dan mencintai lebih dari yang kau sadari.”

Aku tak tahu. Aku tak tahu apa yang harus kulakukan.” Lami berucap lirih.

Biarkan hatimu yang menjawabnya. Dan kau akan mendapatkan jawabannya.”

Aku ingin mengetahui apa yang terjadi dengan wanita..” Lami terdiam untuk beberapa saat. “Ibuku..”

Setelah sekian lama menolak dan tak ingin menoleh lagi pada wanita yang telah membuangnya. Entah mengapa Lami ingin mengetahui keadaan ibunya itu. Apakah ia makan dengan lahap setelah meninggalkannya? Apakah ia hidup sesuai dengan keinginannya? Apakah dia bahagia? Apakah ia tak merasakan penyesalan bahkan untuk sedetik saja?

Tentu saja kita akan melihat kilasan itu.” Anak kecil itu tersenyum. “Kita akan melihat ibumu.”

***

Kilasan itu memperlihatkan ibunya hidup dengan baik-baik saja. Ia mengejar mimpinya menjadi seorang desainer ternama. Berada di Kota Mode Paris, sukses dengan kehidupan yang mewah.

Wanita itu benar–benar tak menoleh lagi pada masa lalunya. Ia melangkah maju dan telah menghapus masa lalunya. Bahkan wanita itu mengganti namanya, seluruh identitasya, hingga ia terlahir menjadi sosok yang baru.

Tahun berlalu dengan cepat dan wanita itu telah menjadi desainer papan atas. Ia bahkan menikah dengan pengusaha sukses dan menjalani hidupnya dengan bahagia, persis seperti apa yang ia inginkan.

Ibu, kau hidup dengan bahagia, seperti keinginanmu.” Lami berujar lemah, memandang wanita itu yang serius menggambar desain-desain rancangannya di studio miliknya yang tepat berada di tengah-tengah kota. Gadis itu mendekat, memandang ibunya lebih dekat. Wanita itu berpenampilan modis dan sangat cantik, tak akan ada lagi yang menyangkut pautkan dirinya dengan gadis desa bernama Vera yang hamil di luar nikah.

Hey, baby.” Suara itu mengalihkan wanita itu dari keterpakuannya dengan pekejaan pun dengan Lami yang langsung berbalik mendengar suara itu. Sosok itu adalah suami ibunya, pengusaha asal kota mode ini.

Look this busy woman.” Pria itu kembali berujar. “It’s time to lunch and you still work,huh?” Wanita itu terkekeh senang, mendekat dan menghambur kepelukan pria itu. “I am waiting you.” Dengan senang gadis itu tersenyum. “Let’s eat, i am so hungry.”Mereka kemudian melangkah bergandengan tangan dengan begitu bahagia.

Lami melihat semuanya, kemesraan ibunnya dengan suaminya terpampang nyata.

Ibunya bahagia dan ia juga telah melupakannya….

Pemikiran itu yang terakhir kali Lami ingat begitu dirinya kembali berpindah dalam kilasan yang lain.

 

***

Kini dirinya telah berada dalam ruang inap rumah sakit. Lami mengerinyit bingung begitu dirinya berada di sini. Namun pandangannya langsung terpaku pada sosok yang terbaring lemah di ranjang kasur rumah sakit itu, adalah ibunya yang terbaring di ranjang itu dengan berbagai alat penunjang kehidupan.

ibunya dalam keadaan koma..

Benar ibumu koma, ia mengidap kanker otak stadium akhir.” Perkataan anak kecil itu sungguh membuat Lami terbelelak kaget. Ibunya terkena kanker? Tidak mungkin.

Sebelum Lami tersadar dari keterpakuan, kini dirinya kembali berpindah menuju kilasan lainnya.

Ini pemakaman……

Jantung Lami seolah berhenti begitu melihat nama yang tertulis di nisan itu, itu adalah nama ibunya.

Ibunya telah meninggal

Seharusnya tidak seperti ini. Ibunya seharusnya baik-baik saja dan hidup berbahagia. Bukankah ia telah mendapatkan apa yang ia inginkan? Lalu mengapa ibunya harus berakhir seperti ini?

Lami tanpa sadar tak dapat lagi menahan air matanya. Dan akhirnya gadis itu menangis, terisak berlutut di pusara itu. Ia setidaknya ingin bertemu secara langsung walaupun hanya sekali dengan ibunya. Banyak yang belum ia ungkapkan kepada ibunya, ia ingin memeluk ibunya walau hanya sekali, ia ingin mengungkapkan cintanya pada sang ibu. Ia ingin meminta maaf, untuk semuanya.

Ibu, aku ingin bertemu denganmu….aku merindukanmu…..

 

 

 

 

To be Continued

[repost] Merangkul Takdir – Cinta Untuknya (7)

14 Oktober 2018 in Vitamins Blog

33 votes, average: 1.00 out of 1 (33 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

“Hidup yang menyedihkan, membosankan.” Suara anak kecil itu memecah keheningan panjang yang terbentang.

Setelah Lami melihat kilasan-kilasan hidupnya di panti setelah kematian bibinya, kilasan dimana wanita jahat itu menyiksanya, secara tiba-tiba kesadarannya terenggut lagi dan kini telah kembali berada dalam ruang putih dan gelembung itu lagi.

Lami hanya terduduk untuk waktu yang lama, merenung dalam diam. Sebelum akhirnya anak kecil tadi memecah keheningan yang terjalin. Mau tak mau Lami mengiyakan apa yang dikatakan anak kecil tadi. Hidupnya memang menyedihkan, apalagi setelah kematian sang bibi. Rasanya hidupnya tak pernah mudah lagi. Setidaknya sampai ia bertemu dengan Alva, kebahagiaannya yang ditunggu untuk waktu yang lama. Akan tetapi tetap saja semuanya terenggut lagi dari dirinya.

“Ah, benar. Kita harus melihat kilasan mengenai percintaanmu.” Tiba-tiba saja gadis itu telah duduk disampingnya, berujar antusias.

“Maksudmu kehidupanku dengan Kak Alva?” Lami menyeruakan pertanyaan.

“Bukan.” Anak kecil itu memutar bola mata bosan. “Kisahmu dengan Kafiansya Geovian.”

Ketika nama itu disebutkan oleh anak kecil di hadapannya dengan senyum ceria. Lami tercekat. “Aku tak punya hubungan apa-apa dengan dirinya.” Lami menggeleng menolak. Perkataan itu malah membuat anak kecil di sampingnya tertawa cekikikan, sebuah ekspresi baru dari anak kecil yang tadinya hanya berekspresi datar dan dingin.

“Kau lucu.” Anak kecil itu berujar dengan masih menyisahkan tawa. “Jelas-jelas pria itu adalah orang yang spesial, bahkan terdapat satu ruang yang hanya dipenuhi dirinya dalam hatimu.”

Lami tak dapat mengendalikan wajah shock pun dengan mata yang mengerjap tak percaya dengan apa yang dikatakan anak kecil ini. Sebuah perkataan yang mau tak mau sedikit mencubit dirinya dengan sengatan kebenaran. Walaupun ia terus menggeleng menolak segala kebenaran yang terdapat dalam hatinya.

“Ini pasti menyenangkan!” Anak kecil itu berujar girang, tak dapat menahan senyum manis yang tersungging jelas dari raut wajahnya. Dengan bersemangat menggerakan jari-jarinya sehingga sebuah gelembung melambung ke arahnya, melayang perlahan.

“Aku suka sekali kisah cinta anak remaja, cinta pertama yang manis.” Anak kecil itu begitu girang, bahkan ia bertepuk-tepuk tangan senang, senyum bahkan tak pudar dari bibirnya.

“Ayo kita melihatnya!” Seru anak kecil itu dengan girang. Lami bahkan tak mampu berkata-kata lagi dan dalam sekejap semuanya kembali menggelap, Lami kembali terlelap dalam kegelapan.

***

Ketika netra kelam itu kembali terbuka, dirinya telah berada di sebuah gedung SMA tempatnya dulu menimba ilmu. Sekolah ini begitu ramai dipenuhi oleh siswa-siswi baru yang berdiri berbaris di lapangan sekolah.. Dirinya juga berdiri di barisan para murid baru itu, dibaris yang paling belakang, hanya termenung dalam diam.

Lami remaja menghela nafas perlahan begitu kepala sekolah telah selesai memberikan sambutan. Kini di podium itu, ketua osis sedang memberikan sambutannya. Setelah memberikan instruksi-instruksi bahwa murid baru membentuk kelompok-kelompok baru sesuai dengan nama-nama yang ditayangkan pada slide yang terpampang di atas, semuanya mulai berpencar menemukan kelompok yang lain.

Lami berjalan belakangan, sedikit mengerinyit menahan sakit di punggungnya. Tadi pagi sebelum bersekolah wanita jahat pemilik panti itu memukulinya lagi dengan rotan di punggung karena Lami kesiangan dan tak sempat membuat sarapan pagi untuk penghuni panti. Wanita itu yang dalam mood tidak baik memukulnya tak tanggung-tanggung. Dengan menahan sakit Lami tetap harus bersekolah, menahan perih di punggungnya.

Lami menghela nafas berat begitu menemukan kelompoknya. Murid-murid itu mulai saling bercakap-cakap memperkenalkan diri. Seperti biasa Lami hanya berdiri mematung dengan jarak yang cukup kentara, berdiri sendirian.

“Hei lo anak baru yang di sana!” Semua mata langsung tertuju kepada Lami begitu seorang anggota osis, senior perempuan menunjuk ke arahnya dengan menyeru menggunakan mic yang dapat didengar semua orang.
Lami menelan ludah begitu si senior tadi memandangnya sinis dan tajam menghujami. Merutuki dirinya karena sudah mendapat masalah bahkan di hari pertamanya bersekolah.

“Ngapain lo bengong aja? lo ngak denger disuruh gabung sama kelompok lo? budeg, yah?” Suasana langsung jadi tegang begitu si senior perempuan berucap pedas, masih memandangnya tajam. Lami langsung berjalan mendekat ke kelompoknya patuh. Sedikit bernafas lega karena si ketua osis melerai senior perempuan tadi begitu ia kembali ingin berkata.

Suasana kembali berjalan kondusif begitu ketua osis memberikan serentetan kegiatan yang akan mereka laksanakan untuk tiga hari ke depan. Untuk hari ini mereka sudah diminta untuk mengumpulkan tanda tangan para anggota osis dan sebagai gantinya kelompok yang mengumpulkan tanda tangan paling banya esoknya akan dibebaskan dari segala pemakaian atribut aneh-aneh khas masa orientasi sekolah.

Tentu saja semua murid baru sangat senang dan bersemangat, mereka mulai riuh satu sama lain. Berbeda dengan Lami yang hanya berdiri kaku seperti biasa. Ketika ketua osis mulai memberi aba-aba bahwa mereka boleh memulai permainan tanda tangan itu. Otomatis semua murid baru mulai bersiap berlomba-lomba untuk meminta tanda tangan.

“Khusus buat lo, anak baru.” Si senior perempuan tadi, yang bernama Giselle, menghadang langkah kelompoknya, lebih tepatnya menghadang Lami dan memandangnya sinis. “lo harus ambil tanda tangan cowok yang ada di balkon atas, cowok yang namanya Kafiansya Geovian.” Giselle kini tepat berdiri di hadapannya, membuat murid-murid lain yang tadi sudah bersiap untuk meminta tanda tangan ikut berhenti ingin mendengar apa yang dikatakan senior mereka.

“lo dan kelompok lo bakal bebas dari segala atribut kalau lo berhasil.” Senior itu kembali berucap. “Kalau lo gagal, lo dan kelompok lo juga yang bakal kena hukuman.” Giselle menyelesaikan perkataannya, melenggang pergi dengan senyum sinis.

Lami hanya mampu menghela nafas. Sepertinya senior tadi sudah menaruh dendam tak langsung karena masalah di lapangan tadi. Pada akhirnya Lami hanya bisa menurut, melangkah menjauh menuju balkon.

***

Lami menarik nafas yang dalam, menghembuskannya perlahan. Kini dirinya telah berdiri di ujung tangga menuju balkon sekolah ini. Ia perlahan melangkah ragu, pandangannya langsung disapukan menuju balkon, dan terlihatlah di sana sosok bernama Kafiansya Geovian.

Lami melangkah mendekat tanpa suara, berdiri kaku menimbang-nimbang dengan gugup. Sosok itu duduk membelakanginya, sedikit membungkung sepertinya sedang membaca. Buku-buku sedikit berserakan di dekatnya, sosok itu terlihat begitu serius dan tenggelam dalam bacaannya.

“Kak Kafiansya..” Setelah mengumpulkan keberanian, Lami menyapa dengan gugup. Membuat sosok pria itu yang tadi begitu fokus dengan bacaannya refleks menoleh.

Pria itu mengerinyit, memandang gadis di hadapannya bingung. Gadis yang memandangnya dengan gugup dan takut-takut, berdiri dengan kaku.

“Siapa lo?” Kafi berucap datar membuat Lami semakin gugup. Cepat-cepat ia menyodorkan kertas di genggamannya ragu. “Saya..saya mau minta tanda tangan.”

“Gue bukan anggota osis, lo salah orang..” Kafi berujar tak peduli, kembali berbalik untuk membaca. Sepertinya gadis itu hanya anak baru yang nyasar.

“Saya disuruh untuk minta tanda tangan kakak.” Gadis itu kembali berujar masih dengan nada yang gugup. Membuat Kafi menghembuskan nafas kasar. “lo disuruh? sama siapa?” Kafi berujar, kali ini tak menoleh.

“Kak Giselle..” Lami kembali menyahut pelan, menautkan jari-jarinya, kebiasaan ketika sedang gugup.

“Giselle.” Kafi menggumam jengkel, merutuk pelan. Ia kembali berbalik, memandang gadis di hadapannya kini yang masih berdiri gugup sambil menautkan kedua tangannya.
“Bilangin ke dia, gue ngak mau.” Kafi berucap datar. “lo pergi aja.” Ia kembali berbalik, memfokuskan dirinya kembali dengan buku bacaannya.

“Kak saya minta tolong..” Lami memberanikan diri, kali ini berucap lebih jelas dengan menyodorkan kertas itu kembali. “Saya butuh tanda tangan kakak, tolong…”
Kafi berdecak kesal, menghembuskan nafas kasar. Perlahan ia bangkit, merapikan buku-bukunya bersiap melangkah pergi.

Tanpa berfikir panjang, Lami mencekal tangan seniornya, menahannya dengan gugup. Dalam hati Lami merutuki sikapnya yang implusif dan nekat seperti ini. Namun ia harus mendapatkan tanda tangan itu. Ia tak mau menjadi sasaran pembullyan oleh kakak kelasnya, ia hanya ingin menjalani masa SMA-nya dengan tenang, sama sekali tak ingin menjadi objek perhatian.

Lami langsung melepaskan cekalannya begitu pria di hadapannya kini tegang menahan amarah. Lami kembali menyodorkan kertas itu takut-takut, menunduk dalam-dalam tak berani memandang pria dengan tatapan tajam yang siap untuk mengulitinya.

Lami merasakan hembusan kasar serta umpatan yang sepertinya tertahan dari pria itu. Hanya beberapa detik, pria itu sudah siap kembali melangkah, tak menghiraukan gadis di hadapannya.

Sebelum Lami kembali melangkah untuk mengejar langkah pria itu, gadis itu tiba-tiba terhenti. Mengerinyit menahan sakit yang langusung menyerangnya tepat di punggung, bekas pukulan wanita itu tadi pagi. Pandangan gadis itu berkunang-kunang, menahan sakit yang tiba-tiba menyerangnya tanpa ampun.

Hingga pada akhirnya gadis itu oleng, terjatuh tak mampu manahan beban tubuhnya. Memaksa dirinya menutup mata dengan kesadaran yang perlahan semakin menggelap.

“Hei, anak baru, ada apa dengan lo!? Hei sadarlah.” Sebelum kesadarannya hilang total, Lami masih mendengar suara kakak seniornya yang tadi, mengguncang tubuhnya perlahan. Kemudian ia merasa terayun-ayun seolah diangkat. Namun ketika Lami berusaha membuka matanya untuk melihat apa yang terjadi, kesadarannya semakin kabur. Hingga pada akhirnya semua menjadi gelap dan Lami tak mampu merasakan apa-apa lagi.

***

Lami perlahan mengerjap mengumpulkan kesadaraan. Pandangannya perlahan menjelas sehingga ia dapat melihat langit-langit putih tepat di atasnya. Ia mengerinyit begitu merasakan sakit di punggungnya, walaupun tak sesakit yang tadi. Ini bukan yang pertama ia kehilangan kesadaran karena menahan sakit.

Ketika wanita pemilik panti itu sedang sangat kalap, biasanya dia akan memukuli dirinya berkali-kali lipat kuatnya. Sehingga terkadang Lami yang tak mampu menahan sakit akibat pukulan itu akan jatuh pingsan tak berdaya. Seperti saat ini sepertinya ia kembali tak mampu menahan kesakitan dan akhirnya kehilangan kesadaran.

“Lo sudah sadar?” Lami tersentak begitu mendengar suara itu. Di sisi ranjang, kakak seniornya, Kafiansya Geovian terduduk di sebuah kursi dalam diam. Mengamati Lami yang kini telah sadar sepenuhnya.

“Lo sakit, yah? sampe bisa pingsan kaya tadi.” Pria itu kembali bergumam. “Kalau emang masih sakit sebaiknya lo pulang aja.”

Lami perlahan berusaha bangkit, menyandarkan punggungnya pada kepala ranjang, sedikit mengerinyit begitu merasakan kembali sakit di punggungnya.

“Terima kasih, kak. Sudah nolongin saya.’’ Lami menunduk perlahan, mengucap terima kasih dengan tulus. Pria itu hanya mengangguk seadanya, kemudian bangkit dari duduknya.

“Istirahat aja dulu di sini, setelah udah baikkan lo bisa pulang.” Pria itu berdehem pelan. “Gue udah izinin lo.”

“Kalau gitu, gue duluan.” Kafi mengangguk perlahan, membalikkan badan. sebelum keluar dari ruang UKS, pria itu kembali menoleh. Memandang gadis yang kini sentengah terbaring yang juga balas memandangnya.

“Terima kasih, kak.” Sebelum Kafi kembali melangkah keluar, ia dapat mendengar kembali lirihan gadis itu, ucapan terima kasih yang terdengar begitu tulus. Pria itu kembali terdiam, namun sedetik berikutnya ia kembali melangkah, menutup pintu ruang UKS pelan, menghilang dibaliknya.

Lami menghela nafas dalam begitu pintu itu tertutup. Menyadarkan tubuhnya lelah. Rasa sakit masih merayapinya, sepertinya dia memang harus segera pulang dan mengoleskan salep pada luka di punggunnya yang terasa berdenyut sakit.

Ia kembali menghela nafas berat begitu mengingat dirinya tak berhasil mendapatkan tanda tangan seniornya. Sepertinya ia harus menyiapkan diri untuk kemarahan senior perempuan tadi, Giselle. Semoga saja setidaknya kemarahan itu cepat berlalu dan ia kembali dilupakan.

Lami tanpa sadar menoleh ke arah kertas yang terdapat di atas nakas samping ranjang. Itu adalah kertas tempat tanda tangan tadi. Gadis itu meraihnya dan langsung terpaku begitu melihat coretan tinta pena di kertas yang tadinya kosong itu.

Ini adalah tanda tangan kakak seniornya, tanda tangan Kak Kafiansya….

***

Lami tanpa sadar tersenyum begitu melihat dirinya yang remaja tersipu dan tersenyum memandang kertas di genggamannya. Saat itu memang adalah hal yang membahagikan, entah mengapa. Padahal itu hanya sebuah tanda tangan seniornya, sebuah tanda tangan yang terasa sangat berarti baginya.

“Bukankah Kafi begitu manis? Ia mengangkatmu ke sini, mengizinkanmu, menungguimu hingga sadar, bahkan memberikan tanda tangannya..” Anak kecil yang sedari tadi juga memperhatikan berujar dengan senang, tersenyum manis.

Memang benar apa yang dikatakan anak kecil itu. Pria itu mengangkatnya ke UKS dengan panik. Menungguinya hingga sadar, bahkan memberikan tanda tangannya yang tadi tak ingin diberikan.

Memangnya kenapa?

Senyum hilang dari raut wajah Lami. Memangnya kenapa jika pria itu melakukannya? Wajar saja ia meggendongnya ke UKS, banyak orang yang akan melakukan hal yang sama begitu melihat seseorang yang pingsan. Pria itu menungguinya juga hanya karena kasihan pun dengan tanda tangan itu, semuanya hanya murni karena kasihan.

“Murni karena kasihan? Benarkah? Apa kau yakin?” Anak kecil itu bergumam misterius. “Kau yang paling mengetahuinya, Lami.”

“Tentu saja, semuanya hanya karena kasihan.” Lami berseru datar, memandang sinis kepada anak kecil di hadapannya.

“Teruslah berbohong, Lami.” Anak itu kembali menyahut. “Baiklah, ayo kita melihat yang lain.”

Dan seperti yang sudah-sudah mereka kembali berpindah, menuju kilasan yang lain.

***

Lami remaja memandang sosok itu diam-diam, memperhatikannya dari kejauhan. Pria itu sedang bercakap-cakap dengan dua temannya, sesekali tersenyum tipis mendengar celoteh kedua temannya. Mereka sedang duduk di tribun penonton lapangan basket di sekolah, menyaksikan beberapa siswa-siswa anak basket sedang berlatih.

Sebenarnya pasti Kak Giselle lah yang minta ditemani untuk menonton permainan anak basket. Sedangkan Kak Kafi jelas lebih memilih untuk membaca di balkon dari pada membaca di tempat riuh seperti ini. Dan Kak Andre yang juga anak basket tentu juga ada di sana, berceloteh dengan bersemangat.

Belakangan ini, memperhatikan kakak seniornya diam-diam sudah menjadi kebiasaannya. Ia mengetahui bahwa pria itu besahabat dengan Kak Giselle, senior yang melabraknya dulu. Kakak kelas yang begitu cantik dan modis, sekertaris osis, walaupun begitu memiliki mulut yang cukup tajam dan pedas. Namun ia bukan tipe kakak kelas pembully, hanya saja memang perkataannya cukup sinis dengan wajah yang jutek. Kak Andre sahabatnya yang lain, adalah seorang anggota basket, suka bermain games dan berceloteh ria. Sedangkan Kak Kafi adalah pria yang tenang, menyukai membaca buku-buku ilmu apapun dan novel terjemahan thriller ataupun detective. Walaupun begitu pria itu bukan tipe pria geek yang menghabiskan waktunya hanya untuk membaca, ia juga suka bermain basket. Namun ketika disuruh memilih antara basket dan buku, jelas ia lebih memilih membaca buku di balkon sekolah.

Lebih sering menjadi pendengar celotehan kedua temannya, dan menjadi penengah ketika kedua sahabatnya beradu mulut. Pria itu juga suka ketenangan, menyukai kesendirian yang menenangkan. Gara-gara memperhatikan pria itu terus menerus, Lami jadi hafal kebiasaannya bahkan kebiasaan kedua sahabatnya pun juga ia tahu.

Seperti sekarang, Kak Giselle ingin menonton pertandingan anak basket karena ingin melihat gebetan barunya, si kapten basket, Kak Rico. Dan memaksa kedua sehabatnya untuk menemaninya. Ia bahkan mengetahui rahasia bahwa Kak Andre sudah lama menyukai Kak Giselle, namun karena gadis itu yang sepertinya tak memiliki perasaan yang sama, Kak Andre tak berani bilang, takut mengacaukan persahabataan mereka.

Lihatlah Lami, kau sudah seperti peguntit…

Lami merutuki dirinya. Sepertinya ia memang telah menjadi penguntit, memperhatikan pria itu bahkan hingga kebiasaan sahabat serta rahasia-rahasia mereka.
Seharusnya ia menghentikan dirinya dari hal seperti ini. Ia seharusnya fokus terhadap sekolahnya, fokus belajar demi masa depannya. Namun seperti magnet, ia terus tertarik oleh kakak seniornya itu. Dan untuk pertama kalinya, hanya karena sebuah tanda tangan itu tempo hari, ia ingin mengenal sosok itu lebih jauh, walaupun mungkin hanya seperti ini, memperhatikannya dari jarak jauh.

***

 

“Gue udah cantik, ngak?” Giselle bertanya kepada kedua temannya, Kafi dan Andre, tersenyum cantik sambil mengibaskan rambut dark brown-nya percaya diri. Kafi hanya mengangkat kepala sekilas dari bacaannya, mengangguk sekilas. Sedangkan Andre hanya memandang malas, ikut mengganguk malas-malasan.

Giselle yang melihat kedua sahabatnya yang hanya memberikan respon sambil lalu, mendengus sebal. Ia perlahan bangkit, mengambil sebuah minuman isatonik, memandang sebal ke arah dua pria ini yang masih duduk.

“lo, lo pada emang ngak guna.” Giselle berucap pedas, namun kedua pria itu hanya memandang tak peduli, sudah kebal dengan mulut tajam gadis itu. “Gue pergi, lebih baik gue nemuin Rico!” Giselle berlalu, melangkah menjauh menuju Rico yang tengah duduk beristirahat bersama teman-temannya. Gadis itu mulai melancarkan aksinya, tersenyum manis dan ikut duduk di dekat Rico sembari menyodorkan minuman isatonik, modus ke gebetan barunya.

“Sakit hati gue, man!” Andre mengacak rambutnya frustasi. “Baru aja dia putus dari pacarnya, eh..udah gebetin cowok baru, Si bajingan Rico lagi.” Pria itu mendengus kesal. “Kapan coba gue dapat kesempatan? Sial amat gue..” Andre memang sudah lama menyukai Giselle, untuk masalah kode-mengkode ia sudah memberikan berbagai kode, kode smaphore sekalian! Namun tetap saja cewek dengan muka jutek itu ngak pernah peka-peka atau lebih tepatnya emang ngak ngelirik Andre.  Andre juga cuma mau main aman, bisa-bisa kalau dia nyatain perasaannya blak-blakan, persahabatan mereka bakal berantakan.

“Lo kurang lincah kali.” Kafi berucap santai, masih memfokuskan dirinya dengan buku di tangannya.

“Ya elah, gue udah ngekodein Si Giselle berkali-kali. Dianya aja yang ngak peka-peka.” Pria itu mendengus. “Kurang apa gue coba? Gue ganteng maksimal, rajin ibadah, tidak sombong, dan rajin menabung. Kurang apa gue coba?” Kafi terkekeh geli mendengar celotehan sahabatnya yang agak ngaur. Mungkin karena pria di sampingnya ini agak miring jadi Giselle ogah sama dia, mungkin. Tapi tentu saja Kafi tak akan mengatakan hal tersebut, bisa-bisa cowok di sampingnya ini makin frustasi dan makin miring.

“Giselle ngak pernah serius sama cowok-cowok yang dia pacarin. Nanti lo juga bakal dapat kesempatan.” Kafi kembali berujar, kali ini telah berfokus penuh pada pembicaraan mereka.

“Tapi bro, Giselle aja pernah naksir lo pas kelas satu, nah gue dari kelas satu sampai tiga ngak pernah dilirik!” Kali ini Kafi tak dapat menahan tawanya. Namun segera berhenti begitu Andre sok-sokan merajuk. “Najis lo.” Kafi menoyor kepala cowok di sampingnya, membuat cowok itu setengah meringis.

“Sekarang kita bahas tentang lo.” Andre memperbaiki duduknya, memasang tampang sok seriusnya. “lo ada kemajuan ngak sama anak baru itu?” Andre tersenyum menggoda, menaik-turunkan alisnya jahil.

Kafi berdecak kecil begitu si Andre yang rese kurang kerjaan tanya-tanya hal ngak penting kaya gitu. Memang setelah kejadian tempo hari dimana ia membantu anak baru yang pingsan itu serta mengizinkannya langsung pada ketua osis, Giselle dan Andre langsung merecokinya dengan berbagai pertanyaan.

Pasalnya Kafi memang orangnya paling tidak ingin berurusan dengan hal-hal ngak penting, ia paling cuek dengan sekitar dan ngiizinin secara langsung seorang yang dia tak kenal sama sekali bukan gayanya. Hidupnya terlalu fokus pada pelajaran, dan buku-buku yang menyertainya. Bersahabat dengan Andre dan Giselle pun merupakan suatu paksaan pada awalnya. Saat kelas satu Andre menjadi teman sebangkunya, serta Giselle yang terus merecoki hidupnya, jadilah mereka jadi akrab dan bersahabat.

Apalagi ditambah dengan Kafi yang memberikan tanda tangannya kepada si anak baru. Meladeni keisengan Giselle yang menggangu ketenangannya tak pernah ia tanggapi. Tadinya Giselle sudah yakin bahwa si anak baru akan pulang dengan kekecewaan dan ketakutan karena tak berhasil mendapatkan tanda tangan Kafi, namun keesokan harinya gadis itu memberikan tanda tangan Kafi, jelas saja Giselle sangat kaget. Gimana bisa coba Kafi yang paling anti meladeni keresean serta keisengannya malah memberikan tanda tangannya secara cuma-cuma. Dan jadilah Giselle dan Andre terus menyangkut pautkan hal tersebut, bahwa si anak baru itu spesial baginya.

“Berapa kali gue udah bilang, gue cuman kasihan sama tuh anak baru.” Kafi berujar sedikit jengkel. Jelas pria itu hanya kasihan. Tiba-tiba saja anak baru itu pingsan di hadapannya, menahan kesakitan yang seolah menggerogotinya. Ia akan jadi orang yang paling tak berperasaan jika tak menolong gadis itu. Dan lagi mengenai tanda tangan, gadis itu sudah memohon berkali-kali, apa salahnya ia memberikan tanda tangannya?

“Nyangkal aja terus, nanti kisah cinta lo bakal kaya ftv-ftv. Dari benci, nyangkal, eh..jadinya cinta mati..cie,,cie.” Andre tertawa jahil, beberapa orang yang duduk di tribun bahkan menoleh saking besarnya suara Si Andre ketawa. Kafi menghela nafas sambil menggeleng-gelengkan kepala, kayanya si kunyuk satu ini memang udah miring, miringnya udah ngalahin menara pisa.

“Terserah lo aja.” Kafi mulai bangkit, membereskan beberapa buku-bukunya, siap melangkah menuju balkon tempat kesukaannya. Andre berseru memanggil namanya, bertanya mau kemana dirinya. Kafi hanya mengangkat satu tangan, pertanda bahwa ia ingin ke balkon. Andre mengangkat bahu, Kafi dan kebiasaannya, membaca di balkon.

***

 

Salah satu kebiasaan Lami yang lain adalah menghabiskan waktunya di perpustakaan sekolahnya yang cukup lengkap. Ia lebih memilih untuk menghabiskan waktunya menyendiri di dalam perpustakaan dan mendalami berbagai buku-buku. Ia memang cukup kesulitan untuk bergaul dan mencari teman, jadilah ia lebih akrab dengan buku-buku di perpustakaan.

Seperti saat ini, ia sedang mencari sebuah buku tentang rasi bintang, salah satu buku favoritnya. Gadis itu mulai melangkah melewati rak-rak buku yang menjulang tinggi tertata rapi. Ia tersenyum begitu telah sampai ke rak dimana buku tentang astronomi yang terletak di paling ujung ditemukan. Namun senyum itu langsung hilang begitu ia melihat sosok yang sangat ia kenali terduduk disana, menselonjorkan kakinya dengan buku di pangkuannya, tenggelam dalam bacaan tersebut. Sosok itu adalah kakak senior yang ia perhatikan dari jauh selama ini dan sekarang hanya berjarak beberapa meter darinya, Kak Kafiansya Geovian.

 

***

Lami menelan ludah, tanpa diminta jantungnya langsung berpacu lebih cepat, membuat irama pukulan yang bersahut-sahutan. Sejenak ia ingin langsung berbalik pergi, namun keinginannya untuk membaca buku rasi bintang itu jauh lebih besar dari kegugupannnya bertemu dengan sosok kakak kelasnya.

Ia hanya perlu mencari buku itu dengan cepat, kemudian segera berbalik. Itu hal yang mudah, Lami membatin dalam hati. Setelah menetralkan detakan jantungnya yang berirama cepat, gadis itu mulai melangkah pelan tanpa suara, berusaha tak menarik perhatian. Gadis itu dengan cepat memindai buku yang ia inginkan, namun kesialan sedang memihaknya karena buku yang ia inginkan berada di rak teratas, jauh dari jangkauannya. Gadis itu berjinjit, dengan tangan yang direntangkan tinggi-tinggi berusaha meraih buku itu.

Sedikit lagi…ayolah….

Lami melirik pria yang tak jauh disampingnya, syukurlah sepertinya pria itu tidak terpengaruh dengan keberadaan dirinya.  Buku itu tak terjangkau juga, hanya sedikit keluar dari barisannya, namun Lami sama sekali tak bisa menjangkaunya.

Lami tersentak begitu rak buku itu tiba-tiba bergoyang dan buku yang ia inginkan terjatuh dengan dentaman yang cukup keras. Lami memandang sosok di sampingnya kaget, sosok yang menendang rak itu hingga bergoyang dan menjatuhkan buku itu. Namun seolah tak terpengaruh, kakak kelasnya itu sama sekali tak bergeming dari duduknya, mendalami buku di pangkuannya.

“Terima kasih, kak.” Setelah tersadar dari keterpakuan, Lami berucap lirih, memungut bukunya dengan gugup, berlalu dengan cepat.

***

Seperti biasa Lami melakukan kebiasaannya dengan memandang dari jauh sang kakak kelas yang duduk bersama kedua sahabatnya di tribun penonton lapangan basket. Setelah kejadian di perpustakaan tempo hari, dimana kakak kelasnya itu membantunya secara tidak langsung mengambil bukunya, Lami semakin memikirkan pria itu. Ia juga sangat bingung dengan perasaannya sendiri, mengapa dirinya bisa seterpaku itu pada kakak kelas yang sudah dua kali menolongnya? apakah hanya murni karena sang kakak kelas menolongnya? atau karena hal yang lainnya..?

Kau menyukai kakak kelasmu

Jawaban dari dalam dirinya yang entah dari mana muncul langsung terngiang-ngiang. Lami tanpa sadar menggeleng-gelengkan kepalanya menolak segala pemikiran di dalam dirinya.

Jika kau tak menyukainya, lalu mengapa kau selalu memeperhatikannya? mengungtitnya seperti ini?

Dalam dirinya kembali menyahut, memberikan pertanyaan yang Lami sendiri tak tahu jawabannya. Gadis itu mendesah kasar, apa sih yang ia lakukan dengan memperhatikan pria itu dari jauh? Apa yang ia dapatkan? Seharusnya tidak seperti ini, ia tak semestinya berlaku bodoh dan aneh seperti ini. Gadis itu berbalik, melangkah pergi menjauh.

Aku tak boleh seperti ini, aku harus pergi. Benar, aku hanya perlu untuk pergi.

 

***

Lami berjalan pelan menuju panti asuhan. Pikirannya mengelana jauh, berbagai pikiran berkecamuk silih berganti. Andai saja bibinya masih ada bersama dirinya, mungkin bebannya akan menjadi lebih ringan, setidaknya ia memiliki seseorang untuk berbagi keluh kesah dan tempat untuk bersandar. Ia sangat merindukan bibinya, wanita jahat itu melarangnya untuk berkunjung ke makam sang bibi. Melarangnya untuk pulang terlambat sedikit saja, kalau tidak wanita itu bisa menjadi sangat marah dan kalap memukulnya tanpa ampun.

Ia ingin bertemu dengan bibinya, memeluk bibinya, menyampaikan keluh kesahnya, perasaannya yang saat ini tak menentu, perasaannya tentang kakak kelasnya. Ia juga sangat takut untuk pulang ke panti dimana semuanya hanya penderitaan yang ia dapatkan, dari wanita jahat itu yang melampiaskan semua amarahnya dengan pukulan keras kepadanya dan juga pada suami wanita jahat itu. Entah mengapa suami wanita itu sangat menyeramkan, memperhatikannya dengan tatapan mengerikan seolah menemukan mangsa yang siap diterkam seperti dirinya. Ia takut, sangat takut suami wanita itu melakukan sesuatu padanya.

Lami selalu berfikir untuk pergi dari panti asuhan itu. Namun dimana ia harus tinggal dan mendapatkan makanan jika bukan di sana? Ia tak punya harta apapun dan hidup bergantug pada pekerjaannya sebagai pembantu di panti asuhan, ia tak tahu harus kemana, ia juga tak tahu dunia luar seperti apa. Bisa saja akan jauh lebih kejam dari panti asuhan itu.

Walaupun Lami harus menerima kesakitan serta ketakutan berada di panti, tetap saja ia bertahan. Setidaknya ia masih punya teman-teman panti untuk saling menguatkan dan melindungi. Ia harus bertahan, setidaknya sampai ia lulus SMA dan mendapatkan ijazah, sampai ia bisa mencari pekerjaan di luar. Dia hanya perlu bertahan sedikit lagi.

Bibi, tolong bantu aku…..

Gadis itu merapalkan doa, berharap dengan seperti itu setidaknya bibinya menolongnya, setidaknya ia mendapatkan kekuatan dari sang bibi.

“Hei kau!” Lami langusung menoleh begitu mendengarkan suara yang tidak asing itu dari belakang. Itu suara wanita jahat itu, ia melangkah cepat, memandang marah pada Lami yang hanya bisa menunduk.

“Kenapa kau jalan lamban sekali, huh?” Wanita itu menghardik. “Kau sengaja bermalas-malasan lagi, huh? Pekerjaan di panti banyak sekali dan kau beraninya malas-malasan?” Wanita itu menoyor kepala Lami keras, hingga beberapa kali gadis itu merasa oleng.

“Bisakah anda berhenti memukul saya?” Tanpa disangka-sangka Lami berucap dingin, memandang wanita itu dengan tak gentar.

“Kau berani melawanku, gadis bodoh?” Wanita itu menarik rambut Lami, hingga gadis itu setengah meringis. “Kau gadis sialan! Tak tahu diuntung! Kau harus ingat tempatmu gadis sialan!” Wanita itu mengeluarkan kemarahannya yang meluap. Semakin menyakiri gadis di hadapannya, dengan menarik rambut gadis itu keras tak tanggung-tanggung pun dengan menendang gadis itu dengan tak kalah kerasnya.

“Kau harus sadar siapa dirimu, kau hanya anak pelacur rendahan yang bahkan tak menginginkanmu! Ingat itu!” Wanita itu berucap kejam, mendorong Lami sekuat tenaga hingga gadis itu tersungur di aspal. Wanita itu tersenyum jahat, melengang pergi seolah tak terjadi apa-apa. Menyisahkan Lami yang tersungkur berusaha mati-matian menahan tangisnya yang terasa akan meledak di kepalanya.

Bibi tolong kuatkan aku…tolong bi…tolong kuatkan aku…….

“Anak baru!” Lami kembali dibuat terpaku begitu mendengar seruan yang tak disangka-sangkanya. Di ujung sana, kakak kelas yang ia sudah berjanji untuk tak memikirkannya lagi ada di sana, Kak Kafiansya.

Kakak kelasnya itu langsung menopangnya yang berusaha berdiri, tak memberinya kesempatan untuk berkata apa pun. Pria itu menopangnya menuju kursi taman yang tak jauh dari sana, mendudukkannya pelan yang masih menahan sakit.

“Siapa wanita gila tadi yang mukul lo?” Pria itu langsung bertanya to the point, ekspresinya mengeras. “Dia penghuni panti? kita harus lapor polisi, dia udah menganiaya lo.” Pria itu berujar serius membuat Lami menggeleng-gelengkan kepalanya.

“Ngak kak, dia pemilik panti tempat saya tinggal. Dia..dia tadi cuman dikuasai amarah, semuanya baik-baik saja.” Gadis itu berucap pelan menjelaskan, sedikit mengerinyit menahan sakit di lututnya yang sepertinya tergores aspal cukup dalam.

“Ini pasti bukan yang pertama, kan?” Kafi bergumam pelan, memperhatikan Lami dengan seksama. Kemudian tanpa di sangka-sangka sedikit menunduk melihat luka goresan yang cukup dalam dibagian lutut gadis di hadapannya ini.

“Lutut lo berdarah.” Pria itu bergumam, merogoh saku tasnya yang biasa di tempati obat merah, ia merasa lega Andre meninggalkan obat merah ini tadi saat dia juga tergores sewaktu bermain basket. Pria itu tadinya ingin langsung mengobati luka di lutut gadis itu, namun mengetahui bahwa gadis itu sepertinya tak nyaman dengan sigap ia memberikan obat merah itu pada, gadis yang hanya memandangnya gugup sambil mengamblil obat di tangannya dan bergumam terima kasih. Pria itu kemudian ikut duduk di samping Lami, memperhatikan gadis itu mengobati luka di lututnya sendiri.

“Lo pasti ditindas sama wanita psycho tadi.” Kafi kembali berujar, memperhatikan penampilan kacau adik kelasnya ini, juga beberapa bekas luka yang telah mengering di wajah serta kakinya. Entah apa yang terjadi, namun Kafi meyakini bahwa ini bukan yang pertama gadis itu dipukuli, mungkin ia bahkan telah mengalami pemukulan yang lebih dari ini. Tanpa sadar Kafi menggeretak menahan kemarahan yang tiba-tiba merayapi hatinya. Seharusnya ia datang lebih cepat sehingga bisa mencegah kejadian ini dan melihat dengan jelas wajah wanita psycho tadi, setidaknya ia akan memukulnya jika perlu, dan tentu saja harus dilaporkan ke pihak yang berwenang.

“Kakak kenapa bisa ada di sini?” Lami berujar mengalihkan perhatian, menyerahkan obat merah yang telah ia pakai dan sekali lagi bergumam terima kasih pada pria di sampingnya.

“Aku ingin memberikan ini, terjatuh di perpustakaan.” Pria itu bergumam dan menyodorkan sebuah buku note.

“Bukuku..terima kasih kak.” Lami mengambil itu perlahan, kembali berterima kasih. Tadinya ia sudah mencari-cari buku ini dimana-mana, ternyata terjatuh saat ia terburu-buru menghindari pria ini tempo hari.

“Terima kasih, kak” Lami kembali bergumam. “Sebaiknya kakak pulang.” Gadis itu bangkit dari duduknya. “Dan saya mohon kepada kakak untuk melupakan kejadian ini. Saya harap kakak melupakan semuanya dan kita tak pernah bertemu di sini.” Lami berujar, memandang pria itu sekilasnya yang juga hanya memandangnya tanpa kata. Lami kemudian berbalik, melangkah menjauh, meninggalkan pria itu yang hanya mampu memandang punggungnya menjauh tak terbaca.

***

Lami merutuk pelan atas pertemuannya dengan kakak kelasnya disaat dia dipukuli oleh wanita itu tempo hari. Sekarang bukannya pria itu melupakannya, ia malah mengawasinya dalam diam, bahkan pria itu beberapa kali mengikutinya ketika ingin pulang. Tadinya Lami berharap bahwa itu hanya kebetulan semata, namun setiap hari pria itu terus memperhatikannya dan mengekorinya saat pulang.

Lami mendesah kasar, seperti kali ini di perpustakaan, pria itu duduk tak jauh dari tempatnya duduk untuk membaca, namun secara terang-terangan pria itu mengawasinya, memandangnya lurus-lurus.

Lami berusaha fokus pada buku bacaannya, menenggelamkan diri dalam bacaannya. Namun tetap saja pikirannya sedikit terpecah belah karena merasa diawasi.

Apasih maunya kakak kelas itu?

Kurang jelaskah Lami berkata bahwa pria itu tak perlu berurusan dengan kejadian yang menimpa dirinya. Bahwa seharusnya semua itu dilupakan saja agar semuanya kembali seperti semula. Bukankah kakak kelasnya itu tak suka ikut campur dalam permasalahan orang-orang? Lalu mengapa pria itu terus mengawasi dan mengekorinya seolah peduli?
Apa yang sebenarnya diinginkan kakak kelasnya itu?

 

***

“Lo kemana aja bro?” Andre berseru begitu melihat Kafi memasuki kelas dan duduk di bangkunya, di sampingnya. Tadi saat jam istirahat pria itu hilang lagi, ia tak mengatakan apa-apa dan jelas saja Andre penasaraan karena pria itu belakangan ini terus menghilang-hilang.

“Gue habis ngawasin si anak baru.” Kafi berujar datar, sepertinya sudah saatnya untuk memberitahu semuanya pada sahabat satunya ini.

“Lo apa? ngawasin si anak baru itu? yang pernah lo tolongin dulu?” Sesuai dugaan, Andre terkejut dengan perkataan Kafi, sedikit menggebrak meja hingga beberapa murid berbalik ke arah mereka. Kafi menegur sedikit kesal dengan keterkejutan Andre, yang membuat cowok itu nyengir bersalah.

Dan akhirnya Kafi menceritakan semuanya pada sang sahabat, bahwa anak baru itu tinggal di sebuah panti, bagaimana pemilik panti itu tak segan untuk melakukan penyiksaan pada anak baru tersebut, memukulnya tak tanggung-tanggung tanpa perasaan. Dan Kafi yang ingin melaporkan wanita itu namun si anak baru menolak, beralasan bahwa si wanita jahat hanya sedang kalap. Bahwa Kafi terus mengawasi dan mengekori anak baru itu terus-menerus hingga ia menyerah dan melaporkan semua kekejaman yang ia alami.

“Astaga.” Hanya itu yang mampu terucap dari Andre ketika Kafi selesai menjelaskan. “Gue ngak nyangka ternyata hidup anak baru itu berat banget.” Andre mendesah prihatin. Kafi hanya menangguk mengiayakan. Ia juga tak menyangka bahwa kehidupan gadis itu begitu menyedihkan dan menyakitkan, Kafi bahkan tak berani membayangkan entah apalagi kesakitan yang gadis itu alami, dan hatinya selalu membisikan untuk membebaskan gadis itu, untuk menolongnya, dan Kafi melakukannya, menolong gadis itu.

 

***

Kafi menunggu dengan tenang, menunggu gadis itu pulang menaiki angkutan umum dan setelahnnya berjalan beberapa meter memasuki area panti tempatnya tinggal. Biasanya gadis itu akan lewat gerbang belakang yang memang di sebrang jalannya adalah halte angkutan umum. Pria itu terduduk di atas motornya, menunggu tak jauh dari halte. Sebentar lagi gadis itu akan keluar, ia hanya perlu menunggu beberapa menit lagi.

Dan benar saja, tak lama kemudian gadis itu keluar dari gerbang, berjalan sendirian. Lami mendongakan kepala dan netra kelamnya langsung bertubrukan dengan netra tajam di sebrang sana yang menunggunya.

Lami menghela nafas, kemudian dengan perlahan menyebrang. Namun ia tak menuju halte seperti biasanya ia mengabaikan pria itu. Ia melangkah ke arah pria itu yang tak jauh dari halte sana, duduk di atas motornya dengan tenang. Ketika Lami telah berdiri di hadapan pria itu, ia hanya memandang datar, mengangkat satu alis seolah bertanya mengapa gadis ini berada di hadapannya.

“Apa sebenarnya mau kakak?” Lami berujar, berusaha untuk berbicara dengan sopan. Pasalnya ia sudah merasa pria di hadapannya ini berlaku seenaknya.

“Gue?” Pria itu tersenyum miring. “Gue pengen lo laporin wanita psycho itu ke polisi. Gue pengen lo berani untuk ngelawan dia” Kafi berucap datar langsung tanpa berbasa-basi.

“Dan saya menolak.” Lami berujar. “Saya ngak mau kakak ikut campur dalam hidup saya, kakak bahkan tak tahu apa-apa.” Lami melanjutkan dengan nada dingin.

“Ngak apa-apa kalau lo nolak” Pria itu bersedekap. “Dan yah..memang gue ngak tahu apa-apa tentang hidup lo.” Kafi hanya memandang tak terbaca pada gadis yang kini juga memandangnya dengan netra kelamnya. “Tapi gue bisa pastiin, wanita gila itu nyiksa lo dan lo juga pasti pengen bebas dari belengunya. Dan gue akan nyeblosin wanita psycho itu ke penjara”

Lami untuk beberapa saat terpaku begitu mendengarkan penuturan pria itu yang mau tak mau ia benarkan. Ia selalu berpikir untuk melaporkan perlakuan wanita jahat itu, namun ia juga ketakutan karena wanita itu sudah mengancamnya, jika ia melapor maka anak-anak panti tak akan lagi memiliki rumah karena tanah panti itu adalah miliknya dari warisan.

“Kakak tak punya hak untuk itu semua.” Lami kembali berucap menantang.
“Lo yang ngak punya hak buat nentuin apa yang gue bakal lakuin.” Pria itu mendengus. “Gue lakuin apa yang gue mau.”

“Tapi ngak dengan ngikutin saya, ngawasin saya kaya gini..”

“Terserah gue dong. Emangnya gue yang mukul lo? Gue yang nyiksa lo? Kalaupun ada yang harus lo takutin yah wanita psycho itu.”

Lami hanya mampu mendesah kasar mendengar penuturan kakak kelasnya ini. Berbalik cepat melangkah menjauh tanpa kata, kali ini tak peduli lagi dengan kesopanan. Terserahlah pria itu mau melakukan apa, Lami tak peduli. Palingan ketika pria itu bosan ia juga akan berhenti sendiri. Gadis itu hanya perlu menutup mulut dan pria itu tak akan bisa berbuat apa-apa.

 

***

Lami tak bisa menahan senyum kecilnya begitu melihat diri remajanya merajuk kesal meninggalkan pria itu menuju halte. Dia selalu ingat saat-saat ini, dimana Kafi terus mengawasi serta mengekorinya hingga pulang, bahkan terkadang pria itu menunggu beberapa lama sebelum pergi, seolah memastikan bahwa dirinya akan baik-baik saja.
Dan sejujurnya Lami merasa begitu aman, seolah dilindungi. Wanita jahat itu menjadi sedikit menahan diri melihat Kafi terus mengawasi panti asuhan, juga merasa takut pria itu berbuat sesuatu. Otomatis wanita itu hanya memarahinya dan tak memukulnya semaunya lagi.

“Kau mendapatkan pelindungmu.” Anak kecil itu berujar memecah lamunan Lami. ikut mengamati Lami yang kini telah melangkah masuk kedalam angkutan dan Kafi yang juga bersiap mengikuti gadis itu.

“Iya, dia melindungiku.” Lami berujar mengiyakan, tanpa diminta perasaan hangat terindungi itu kembali menyusupi hatinya, menimbulkan getaran yang sudah lama ia tak rasakan, getaran menyenangkan dan menenangkan hatinya.

“Kita akan melihat kilasan yang lainnya.” Anak kecil itu berujar lembut, menggengam tangan Lami pelan, yang diterima gadis itu tanpa penolakan. Semuanya kembali menggelap dan dalam sedetik mereka berdua telah berada di tempat yang berbeda.

 

***

Lami menautkan jemarinya gugup, merasa tak nyaman berduaan dalam satu ruangan dengan suami wanita jahat itu yang memandangnya seolah seperti daging yang siap disantap. Suami wanita jahat itu menyadari kecantikan alami yang belum terjamah dari Lami yang kini mulai bertumbuh. Dan sungguh Lami begitu ketakutan dan badannya mulai bergetar.

Tadi dia disuruh oleh pria itu untuk memindahkan berkas tak terpakai ke gudang, dan Lami terpaksa menurutinya. Dan kini terjebak dalam ruangan ini bersama suami wanita jahat itu. Ini bahkan lebih menakutkan dari wanita itu yang memukulinya.
Pria itu perlahan mendekat, membuat Lami ketakutan setengah mati. Pria itu menuju arah pintu dan menguncinya.

“Ke..kenapa pintunya dikunci?” Lami berujar ketakutan namun pria itu tak menjawab, malahan mendekati dirinya yang ketakutan. Perlahan menangkup kepala gadis itu hingga mendongak ke arahnya.

“Jika kau berteriak, kau akan tamat.” Pria itu mendesiskan anacaman mengerikan, membuat Lami semakin ketakutan. Gadis itu mengeleng-gelengkan kepalanya berusaha mundur ketika pria itu mulai menyentuh bahunya pelan.

“Jangan…” Gadis itu berucap lirih, masih berusaha memundurkan tubuhnya, walaupun sia-sia karena pria itu masih menahannya.

Ya Tuhan tolong aku..kumohon…

Lami merapalkan doa dalam hati, berharap ada orang yang setidaknya akan muncul di lorong ujung ini

“Diamlah, jangan bergerak.” Pria itu kembali mendesiskan ancaman ketika Lami tetap melakukan perlawanan. Menjambak rambut gadis itu hingga ia dapat melihat wajah gadis itu yang diliputi ketakutan.

“Kau cantik, setidaknya aku harus berterima kaih kepada ibu pelacurmu yang telah melahirkanmu.” Pria itu terkekeh bengis, mulai mendorong Lami menuju sofa yang di tolak habis-habisan oleh Lami.

“Sayang kau di dalam?” Gerakan ingin menjambak gadis itu yang memberontak langsung terhenti begitu mendengar ketukan serta suara sang istri. Pria itu langsung memperbaiki posisinya.

“Kalau kau berani melapor, aku akan langsung membunuhmu, ingat itu!” Pria itu berbisik mengancam kemudian mendorong gadis itu cepat untuk mengambil tumpukan berkas di sana sebelum membuka pintu untuk istrinya.
Lami menghembuskan nafas lega luar biasa, dan untuk pertama kalinya ia merasa bersyukur mendegar suara wanita jahat itu.

 

***

Lami berdiri di ujung tangga menuju balkon dengan gugup penuh pertimbangan. Ia berkali-kali ingin melangkah ke atas namun kembali diurungkan di detik terakhir.
Ia ingin bertemu dengan kakak kelasnya, Kafi. Ia ingin meminta bantuan untuk melaporkan wanita jahat itu dan suaminya. Setelah kejadian kemarin dimana suami wanita itu telah berbuat nekat, ia menjadi ketakutan sentengah mati. Mungkin ia terbebas hari itu, namun ia tak berani membayangkan entah apa yang akan terjadi padanya di kemudian hari.

Namun ia juga masih memikirkan konsekuensi jika ia melapor. Jika ia melapor maka wanita itu dan suaminya sudah dipastikan tak akan lagi menjalankan panti asuhan itu. Maka anak-anak yang tinggal di panti tak lagi mendapat tempat tinggal dan bisa saja menjadi anak jalanan.

Namun jika ia melaporkan bisa saja anak-anak panti tetap akan terurus dengan di pindahkan ke panti yang lebih baik, walaupun mungkin mereka akan menyebar. Dan pada akhirnya Lami memutuskan untuk menemui pria itu. Ia akan melaporkan wanita itu dan suaminya, sebelum mereka melakukan hal yang lebih buruk dari ini semua.
Lami melangkah perlahan, menuju pria itu yang terduduk membaca membelakanginya. Pria itu memang tak lagi mengawasinya di sekolah, namun masih mengikutinya ketika pulang dan bahkan tinggal untuk beberapa waktu yang lama sebelum memutuskan pulang.

“Kak Kafi..” Lami berujar lirih, namun sudah cukup untuk membuat pria itu berbalik ke arahnya, memandang dirinya.

“Kenapa?” Pria itu menyahut pelan, memfokuskan dirinya pada gadis yang ada di hadapannya kini yang sedang gugup dan takut-takut.

“Saya..saya ingin melaporkan wanita itu..” Gadis itu akhirnya berucap setelah mengembuskan nafas. Masih memandang gugup menunggu reaksi pria di hadapannya.

“Bagus, akhirnya lo ingin melaporkannya.” Kafi berucap dan mengangguk setuju. “Kenapa tiba-tiba lo berubah pikiran? Apa ia sudah melakukan sesuatu yang lebih kejam?” Pria itu kembali bertanya, bangkit dari duduknya, memandang penuh selidik ke arah gadis itu yang malahan menunduk menghindari pandangannya.

“Saya hanya ingin terbebas.” Gadis itu memutuskan untuk tak mengatakan tentang suami wanita jahat itu, biarlah nanti ia mengatakannya setelah wanita serta suaminya itu ditangkap.

“Jangan takut..” Kakak kelasnya itu berucap lembut. “lo telah ngelakuin hal yang benar. lo akan baik-baik aja, oke?” Pria itu kembali berucap menghibur, tersenyum simpul terlihat begitu tulus. Mau tak mau senyum itu menular kepada Lami. Gadis itu mengangguk berharap memang ini adalah keputusan terbaik.

“Kalau bisa kita melaporkannya di malam hari.” Lami kembali bersuara. “Mereka sudah tertidur jadi saya bisa keluar tanpa dicurigai.”

“Baiklah, gue akan menunggu di sana.” Kafi mengganguk menyetujui.

“Terima kasih, kak. Kakak sudah banyak tolong saya. Dan maaf saat di halte saya sangat tidak sopan”

“Semuanya ngak gratis.” Lami melongoh begitu mendengar ucapan kakak kelasnya. “Lo harus traktir gue. Tenang gue makan apa aja kok” Pria itu terkekeh geli membuat Lami juga ikut tertawa geli ketika pria itu ternyata hanya menjahilinya. Hingga akhirnya tawa mereka berdua memenuhi area balkon ini, menimbulkan suasana yang terasa hangat bagi mereka berdua.

 

***

Lami mengendap-ngendap dengan jantung berdebar-debar penuh antisipasi. Malam ini ia akan melaporkan wanita serta suaminya itu bersama kakak kelasnya. Ia berusaha berjalan tanpa suara di malam yang tentram ini. Ia memutuskan untuk lewat belakang, tempat ini jarang dikunjungi jadi kemungkinan ia ketahuan akan semakin kecil.

Lami memperhatikan sekeliling, sejauh ini tak ada orang-orang yang terlihat. Tanpa sadar gadis itu mempercepat geraknya, Kafi pasti sudah menunggunya di luar dan dia harus cepat sebelum ketahuan.

Lami terus berjalan, tinggal sedikit lagi . Ia hanya perlu melewati lorong gudang dan pintu gerbang belakang ada di sebrangnya. Mungkin dia harus memanjatnya, namun tak apa karena pagar ini cukup mudah dijangkau. Gadis itu setengah berlari menuju pintu belakang, menyeret langkah kakinya cepat.

“Mau kemana kau?” Lami memekik begitu tubuhnya di tangkup dari belakang oleh sosok yang sangat ia takuti, suami wanita jahat itu.

“Lepas..lepas.” Gadis itu meronta kuat, ia tak boleh tertangkap, apalagi oleh pria itu, ia tak mau.

“Kau mau kabur, huh? Tak akan bisa gadis bodoh!” Pria itu terkekeh jahat, membekap mulut Lami hingga hanya bisa meneriakan gumaman-gumaman. Gadis itu terus di seret menuju gudang. Pria itu membanting kasar Lami hingga gadis itu langsung merasakan kesakitan di punggungnya.

“Kau begitu bodoh.” Pria itu berucap jahat, memerangkap Lami. Yang dibalas gadis itu dengan jeritan sekuat tenaga serta tendangan dan pukulan penolakan.

“Kau pria bajingan, menjauh dariku.” Gadis itu terus meronta, hingga pria itu tak dapat menahan kesabaran dan menampar gadis itu keras.

“Diamlah, gadis sialan. Kau mau mati,huh?” Pria itu mendesis kejam, mencengram leher gadis itu hingga hanya menyisahkan nafas terputus-putus. Pria itu menindih gadis kasar. Lami terus meronta, mempertahankan diri. Air mata membasahi dirinya mana kala pria itu membuka kancing bajunya satu persatu. Gadis itu menendang dan memukul brutal, masih tak mau menyerah begitu saja.

Tolong aku…kumohon siapa pun tolong aku…

“Apa yang kau lakukan!?” Suara itu, suara wanita jahat itu kembali terdengar penuh keterkejutan. Pria itu langsung bangkit, dengan keadaan acak-acakan mendekati istrinya.

“Sayang aku bisa jelaskan.” Pria itu berucap cepat. “Ia ingin kabur, gadis sialan itu ingin kabur. Dan aku melihatnya. Ia malah menggodaku dan menyodorkan tubuhnya agar aku tutup mulut. Aku menolaknya tapi dia memaksa, dia–”

“Diam kau!” Wanita itu menghardik, memandang tajam ke arah pria itu. “Pergilah” Pria itu langsung pergi tanpa kata. Meninggalkan wanita itu serta Lami yang masih dalam keadaan terduduk dan shock.

“Berani-beraninya kau menggoda suamiku!” Wanita itu berucap murka, kemarahan membara di kedua bola matanya. “Kau gadis sialan, pelacur sialan sama seperti ibumu!” Wanita itu menjerit, menendang perut Lami telak tak tanggung-tanggung, berulang kali hingga darah menyembur dari mulut gadis itu mengenaskan.

“Sialan kau..gadis sialan!!!” Seolah kesurupan wanita itu menjerit keras, masih menendang gadis yang kini telah tak berdaya dimana-mana sangat brutal.
Wanita menghela nafas begitu ia telah menguasai dirinya. Ia memandang Lami yang terbaring mengenaskan setengah sadar, tersenyum sinis tanpa perasaan.

“Ka..fi” Lami tanpa sadar mengucap nama kakak kelasnya, di tengah kesadaraannya yang diambang batas, ia berucap nama itu berharap sebuah keajaiban pria itu ada di sini menolongnya.

“Apa? Kafi?” Wanita itu tersenyum remeh. “Oh..itu nama pria yang mengikutimu itu? Kau berharap ia menolongmu? Hahahah…” Tawa wanita itu menggema. “Kasihan kau. Lihatlah pria itu tak ada di sini. Ia tak menolongmu. Tak akan ada yang menolongmu, sialan.”

“Jika kau bertingkah lagi, akan kupastikan menyiksamu lebih dari ini. Dan juga anak-anak panti sialan itu.” Setelah mengucapkan ancaman mengerikan, wanita itu meninggalkannya meringkuk mengenaskan sendirian. Lami tanpa sadar menangis, mengeluarkan tangis yang telah terpendam lama. Benar kata wanita itu, pria yang ia harapkan menolongnya tidak ada di sini, ia tak menolongnya. Tak akan ada yang menolongnya.

Sampai disaat yang terakhir, pria itu tak datang juga, ia tak pernah datang…..

 

***

“Pria itu tak pernah datang.” Lami ikut berjongkok, memandang terluka pada diri remajanya yang kini meringkuk kesakitan dan sangat mengenaskan. Menggerakan jari-jarinya seolah membelai ubun-ubun dirinya. Setetes air mata tanpa sadar mengalir dari netra kelam itu menyaksikan untuk kedua kalinya bagaimana wanita jahat itu menyiksanya sampai akhir, bagaimana dirinya hampir diperkosa oleh pria bejat itu, dan bagaimana pria yang ia harapkan menolongnya tak datang, tak pernah datang.

Pada akhirnya Lami remaja tetap kabur seorang diri. Ia berusaha bangkit dari kesakitannya. Memaksakan kakinya untuk melangkah keluar dari gudang ini. Sepertinya wanita itu tak mengunci gudang karena mengira Lami terlalu mengenaskan untuk bahkan bergerak saja.

Namun dengan sekuat tenaga gadis itu melangkah. Menyeret langkahnya sangat berat. Ia juga berusaha mengumpulkan tenaga terakhir untuk memanjat pagar itu. Menyeret langkahnya terus-menerus menembus hujan deras hingga sampai ke rumah warga untuk meminta pertolongan.

Pada akhirnya wanita itu serta suaminya dijebloskan kepenjara dalam waktu yang lama dengan berbagai kejahatan. Panti ini ditutup dan anak-anak dipindahkan di yayasan yang jelas jauh lebih baik. Begitu juga dengan Lami yang dipindahkan di yayasan di kota lain. Memulai kehidupan barunya di sana, tanpa menoleh lagi.

“Benar pria itu tak datang.” Anak kecil itu berucap pelan. “Ia tak dapat datang.” Lami langsung mendongak begitu mendengar ucapan anak kecil ini.

“Apa maksudmu?”

“Sepertinya kita harus melihat kilasan yang lain.”

Dan mereka kembali berpindah.

***

Kafi bersiap melangkah keluar, menuju panti tempat Lami berada. Malam ini hujan turun dengan cukup keras, namun tak menyurutkan keinginannya untuk menjemput Lami. Pria itu mengambil dua pasang mantel dan memakai salah satunya. Ia bersiap menuju parkiran Keluarga Nasution. Namun sebelum melangkah keluar, handphonenya berbunyi menandakan panggilan masuk.

Ayah

Tertera nama itu dan Kafi langsung mengangkatnya.

“Halo Ayah?” Kafi berbicara pelan, sedikit mengerinyit begitu mendengar suara asing yang meneleponnya.

“Halo, apakah ini dengan anak Pak Hendra?” Suara disebrang sana menyahut. Kafi tanpa sadar mengangguk dan bergumam mengiyakan.

Perkataan selanjutnya dari suara itu membuat Kafi membeku seketika, handphone itu terjatuh begitu saja, membuat dentaman yang cukup keras. Pria itu langsung merasakan sesak di dadanya, berlutut menahan denyut sakit yang semakin menyakitinya. Tangis mulai menguasainya, pria itu menangis dalam diam, dengan gemetaran terduduk tak berdaya. Beberapa saat, Keluarga Nasution telah tiba, mereka dengan panik mendekati Kafi yang terduduk gemetaran penuh dengan tangis.

“Sayang, ada apa? kenapa, nak?” Mama Natasha merangkulnya perlahan, dengan penuh kasih ibu menenangkan Kafi yang menangis bergetar terkulai lemah. “Ma..Ayah..ayah..meninggal..” Perkataan penuh isak itu mampu membungkam semuanya, Mama Natasha langsung memeluk erat Kafi memberikan kekuatan, membisikan berbagai kata penguat. Ruangan ini menjadi saksi bisu kesedihan Kafi yang telah kehilangan ayahnya, kedua orangtuanya telah tiada.

***

Setelah pemakaman, Kafi mengurung dirinya. Ia hanya terduduk dalam diam di ujung ranjang menatap kosong ke satu titik, yang pasti sosok itu seolah lari dari raganya. Ia membentengi dirinya dengan tembok diri yang tak tersentuh.

Natasha dan Nasution bahkan tak tahu lagi harus berbuat apa, begitu juga dengan Alva. Mereka bertiga tak tahu harus berbuat apa untuk menembus tembok yang dibangun dengan sangat kokoh itu.

Hingga pada akhirnya Natasha serta suaminya memutuskan untuk membawa Kafi keluar negeri untuk menengangkan diri. Untuk melewati masa-masa traumatisnya kehilangan kembali sosok orang tua, kehilangan ayahnya setelah kepergian ibunya dua tahun yang lalu.

Hari itu juga, segala urusan untuk keberangkatan Kafi menuju Jerman diurus dengan cepat. Natasha akan ikut serta menemani Kafi untuk menetap serta melanjutkan sekolahnya di sana. Semua berlangsung cepat, siang harinya Kafi dan Natasha telah ada di dalam pesawat yang akan membawa mereka ke Jerman.

Kafi tak menolak, ia hanya tetap terdiam dalam kekosongan. Ia akhirnya meninggalkan Indonesia dan menetap lama di Jerman, memulai hidup barunya di sana. Kafi hanya menyesali satu hal selama ini, ia tak dapat menepati janjinya dengan Lami, ia tak sempat memberi tahu Lami mengenai kepergiannya, Ia tak dapat meminta maaf pada gadis itu, maaf karena tak menepati janjinya, maaf karena meninggalkan gadis itu sendirian.

Maaf Lami, maaf karena aku mengingkari janjiku…..

 

 

 

 

 

To be Continued

[repost] Merangkul Takdir – Kesakitan yang Lain (6)

14 Oktober 2018 in Vitamins Blog

66 votes, average: 1.00 out of 1 (66 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

 

Kedua netra kelam itu perlahan mengerjap, megumpulkan kesadaran. Ketika pada akhirnya kedua mata terbuka, ia telah berada kembali dalam sebuah ruang putih dengan gelembung yang memenuhinya.

Ternyata bukan mimpi………..

Untuk sesaat ia mengira bahwa apa yang telah ia alami, segala kilasan-kilasan hidup yang ia lihat adalah mimpi. Namun ternyata tidak, dirinya masih berada dalam ruang ini pun dengan anak kecil bermata jingga yang kini duduk di sebuah kursi kayu mengamati dirinya.

Perlahan Lami mencoba bangkit dari duduknya, berdiri terpaku dalam ruangan ini. Gelembung-gelembung itu mengelilinginya dengan gerakan konstan berputar.

Berapa banyak lagi yang ia harus lihat..???

Tenang saja, semua ini akan berakhir.” Anak kecil itu menjawab pelan, seolah kembali membaca pikirannya. Kali ini Lami hanya memandang datar.

Apakah orang-orang diluar sana ada yang mengalami hal seperti ini. Melihat hidup mereka lagi?” Lami menyeruakan pertanyaan setelah jeda waktu dalam ketermenungan. Merasa penasaran apakah ada orang lain yang juga seperti dirinya?

Hanya orang-orang terpilih.” Anak kecil itu berucap misterius. “Orang-orang yang bahagia dalam kegelapan, sepertimu.”

Memangnya akan ada yang berubah?” Lami berucap lirih. “Apakah dengan melihat hidupku yang menyedihkan akan merubah sesuatu?” Lami hanya memadang dingin tepat ke arah netra jingga itu, yang hanya membalas dengan senyum miring.

Hal sekecil apapun bisa mengubah sesuatu.” Anak kecil itu bangkit dari duduknya, melangkah mendekat. “Perubahan yang tak kau sangka.”

Kau memang memiliki ibu yang kejam, sangat kejam.” anak kecil itu telah berada di belakangnya, membuat Lami refleks menoleh. “Kuakui hidupmu memang cukup menyedihkan.” Kali ini anak kecil itu menggerakan jari-jarinya hingga sebuah gelembung tepat berada di hadapannya.

Hidupku memang menyedihkan, lalu mengapa aku harus melihatnya lagi? Untuk menambah kesakitanku?” Lami memadang tajam. “Haruskah seperti ini?” ucapan itu terdengar lirih, bentuk keputusasaan yang dalam.

Kau telah diberikan kesempatan untuk menerima atau menolak kehidupanmu. Dan kau menerimanya, maka jalanilah” Anak kecil itu kemudian menyentuhkan jari-jarinya ke permukaan gelembung tipis itu. “Hal ini juga adalah kesempatanmu untuk memperbaiki takdirmu, jalanilah”

Kesadaran gadis itu kembali terenggut paksa.

 

***

Ini panti asuhannya…

Ketika Lami kembali berada di dalam kilasan hidupnya, ia telah berada di sebuah panti asuhan sederhana namun terlihat sangat asri, rumahnya.

Setelah kepergian ibunya yang sangat kejam, ia beserta bibi dan saudarinya terpaksa tinggal di panti asuhan. Wanita jahat itu menjual rumah yang dulu mereka tempati sebelum pergi, mengambil semua uangnya. Terpaksa mereka bertiga yang tak punya apa-apa harus tinggal di panti asuhan ini.

Awalnya memang sangat sulit untuk berbaur dengan sekitar, namun lambat laun Lami dan Lena kecil mampu beradaptaasi dengan cepat. Berteman dengan anak-anak panti yang senasib dengan mereka, bermain dengan ceria.

Lami kini dapat melihat dirinya dan Lena kecil bermain bersama anak-anak panti yang lain di halaman panti yang asri penuh keceriaan. Tak jauh dari sana bibinya juga berada di sana, menjaga anak panti yang lebih kecil dan juga mengawasi keponakannya dengan senyum kebahagiaan.

Lami memejamkan mata, menghirup udara asri panti dengan senang. Masa-masa ini adalah salah satu masa membahagiakan bagi dirinya.

Ketika membuka matanya, dilihatnya dirinya yang kecil berlari ke arah sang bibi, ikut duduk di bangku itu.

Bi, kapan ibu datang ke sini buat jemput kita?” Lami melangkah mendekat dan samar-samar mendengar pertanyaan polos dirinya yang masih kecil, perkataan seorang anak yang sarat akan kerinduan.

Ibu lagi kerja, kita tunggu sama-sama, yah?” Bibinya mengusap pipi Lami kecil penuh kasih sayang, berusaha terlihat tegar. Satu tahun telah berlalu setelah kepergian Vera. Dan Lami tak henti-hentinya terus bertanya kapan sang ibu pulang, penuh pengharapan.

Lami hanya memandang miris pada dirinya yang begitu polos merindukan sosok ibu yang mungkin bahkan tak pernah memikirkannya lagi.

Ibu ngak akan jemput kita lagi, Lami.” Lami menoleh kesumber suara di belakangnya, dimana Lena berdiri di sana dengan raut wajah tak suka. “Berhenti bahas itu terus.” Lena kecil kembali berucap kesal, mendekat ke arah bibi dan saudari kembarnya, menembus Lami yang masih berdiri dalam keterpakuan.

Ibu pasti datang! Kenapa Lena ngak pernah percaya?” Lami kecil kembali bersuara tak mau kalah.

Ibu bahkan ngak menoleh ketika ninggalin kita, Lami. Dia ngak akan pernah kembali!” Lena kembali berucap dengan keras, berusaha menyadarkan saudari kembarnya yang terus-terusan berharap.

Ngak..ngak..ibu pasti datang..ibu pasti jemput kita..” Kali ini Lami kecil tak dapat menahan tangisnya, isakan itu semakin menjadi-menjadi. Tangis anak kecil yang memilukan.

Lena!” Bibinya menegur. “Kamu jangan bilang begitu! kembali ke kamar kamu, bibi perlu bicara sama kamu.” Bibinya berucap tegas.

Lena pada akhirnya menuruti perkataan sang bibi, melangkah menuju kamarnya dengan cemberut.

Lisa menghela nafas, kini perhatian tertuju pada Lami kecil yang menangis sesegukan. “Lami sayang, udah jangan nangis.” Lisa merangkul tubuh mungil keponakannya dengan sayang, menghapus air mata yang terus mengalir.

Kenapa..kenapa Lena ngak mau percaya kalau ibu bakalan jemput kita?” Setengah sesegukan Lami kecil berujar. “Lena percaya, kok. Dia cuman ngak mau Lami sedih mikirin ibu terus” Lisa berucap penuh pengertian, membelai rambut Lami kecil dengan sayang. “Udah jangan nangis, keponakan bibi kan kalau senyum cantik banget. Jadi Lami harus senyum biar cantiknya kelihatan.” Perlahan Lami kecil menghapus sisa air matanya dengan tangan mungilnya, tersenyum cerah memarkan gigi susu yang mulai bertumbuh, memeluk bibinya erat.

Lami mendesah kasar mellihat pemandangan di hadapannya. Bagaimana polosnya dirinya dulu dengan terus-terusan berharap hal yang semu. Lena bahkan lebih mengerti dari dirinya. Lami memang pada saat itu begitu polos, berbeda dengan Lena yang jauh lebih berpikiran dewasa dan mengerti.

Sebelum Lami tersadar dari lamunannya, dalam sekejap ia telah berada di dalam sebuah ruangan dimana bibi dan seorang wanita yang sepertinya sebaya dengan bibinya. Sepertinya kini Lami tengah berada dalam kilasan beberapa tahun setelah ia tinggal di panti. Melihat di luar sana tepat di luar jendela panti asuhan ini telah mengalami renovasi dan penambahan gedung.

Di hadapannya, bibi dan wanita tadi becakap-cakap serius. Sesekali bibinya menggelengkan kepala tak setuju mendengar penuturan wanita itu yang juga keras kepala.

Saya tidak mau, bu. Lami dan Lena adalah saudari kembar, mereka tidak boleh dipisahkan. Lagi pula masih ada saya sebagai bibinya, wali sah mereka.” Lisa membuka suara, menolak perkataan wanita di hadapannya.

Yang mau mengadopsi keponakan ibu adalah orang kaya yang terpandang, kehidupan keponakan ibu akan jauh lebih baik jika mereka mengadopsi salah satu dari mereka.” Wanita itu berujar tak mau kalah. “Ibu pasti juga senang kalau salah satu dari keponakan ibu hidup berkecukupan dan terjamin.”

Tapi tetap saja saya tidak terima, bu.” Lisa berucap. “Saya tidak bisa memisahkan mereka, saya juga tak mau berpisah dari mereka. Ibu tahu sendiri kalau mereka sudah seperti anak saya sendiri.” Lisa menghela nafas. “Bisakah ibu mencari anak yang lain?”

Tidak, bu. Orang tua pengadopsi itu mencari anak yang tidak terlalu kecil ataupun sudah terlalu tua. Dan Lena serta Lami adalah yang paling cocok. Usia 10 tahun.” Wanita itu kembali berujar. “Ini adalah kesempatan yang bagus untuk masa depan keponakan, ibu. Setidaknya hidup mereka terjamin dan tak perlu lagi berada di sebuah panti asuhan.”

Orangtua pengadopsi akan datang siang ini untuk menjemput Lami. Saya sudah menyiapkan berkas atas nama Lami.” Wanita itu memandang lurus. “Walaupun Bu Lisa adalah wali sah Lami, tapi ibu tidak kompeten dalam menjaga mereka karena membiarkan mereka tinggal di sebuah panti asuhan.” Ada senyum sinis sebelum wanita itu melanjutkan ucapannya. “Jadi mau atau tidak mau Lami tetap akan di adopsi.”

Sedetik berikutnya, kini Lami telah berada di dalam sebuah ruangan dengan penerangan yang minim serta udara pengap pun dengan berbagia barang-barang yang tertumpuk, ruangan yang sepertinya sebuah gudang.

Lami memfokuskan pndangannya dan akhirnya melihat sosok dirinya dan Lena kecil berjongkok menyembunyikan dari tak jauh dari tempatnya berdiri.

Lena, Lami ngak mau diadopsi” suara kecilnya kini terdengar, setengah merengek pada sang saudari kembar. “Kamu ngak akan kemana-kemana, kita akan tetap sama-sama.” Lena menyahut. “Kalau kita tetap di sini dan sembunyi mereka ngak akan bawa Lami.”

Tapi Lami capek jongok disini terus, Lami juga lapar.” Lami kecil kembali berucap, memegang pertunya yang berbunyi keroncongan. Lena pun hanya bisa mengangguk ia juga sama laparnya dengan Lami. Tadi ketika menguping pembicaraan bibi serta wanita nenek sihir, julukan mereka pada wanita pemilik panti yang pemarah. Mereka langsung berlari dan bersembunyi. Itu artinya sudah dari tadi pagi mereka tak makan-makan hingga siang ini. Dan kini perut mereka terus bebunyi keeoncongan.

Lena ada roti di kamar, kita bisa makan roti” Lena berseru. ”Lena akan ngambil roti itu. Lami tunggu di sini.”

Lena melangkah pelan-pelan, membuka pintu sedikit. Ketika tak ada orang-orang, ia pun pergi, meninggalkan Lami sendirian.

Pada akhirnya Lami hanya bisa menunggu, memeluk kedua lututnya berharap Lena segera kembali.

 

***

30 menit berlalu dan Lena tak kembali juga. Lami kecil yang merasa sudah sangat lama menunggu akhirnya memutuskan untuk melihat keberadaan Lena. Ia pun keluar mengendap-endap berusaha untuk tak terlihat. Ketika telah sampai di kamar mereka yang cukup lengang karena ini waktunya makan siang, sosok Lena tak terlihat juga.

Lami kemudian mengintip ke arah ruang makan tempat anak-anak panti makan, namun tak melihat sosok saudarinya itu juga.

Ketika ia telah berada di halaman panti, di sana ia melihat sang bibi menangis tertunduk. Lami langsung berlari ke arah bibinya, kemudian memeluk sosok itu.

Bibi kenapa nangis?” Lami kecil berucap polos, mendongakan kepala melihat bibinya.

Bibinya kemudian beejongkok hingga pandangan mereka sejajar, berusaha tersenyum manis di sela-sela tangisnya. “Lami, Lena sudah pergi, di adopsi oleh sebuah keluarga.” Bibinya memberi pengertian. “Maafkan bibi, ngak bisa berbuat apa-apa.”

Tapi..tapi Lena udah berjanji untuk tetap sama-sama Lami.” Lami kecil berujar lirih, tanpa sadar sesak di dadanya mulai membuat air matanya terus mengalir.

Maafkan bibi, sayang. Seharusnya bibi menahan Lena.” Bibinya berujar dengan penuh rasa bersalah. “Tapi Lena akan tetap berkunjung ke sini. Ia bisa mengunjungi kita. Lena ngak akan ninggalin Lami dan bibi.” Sang bibi berusaha tersenyum, membelai pipi Lami yang terus dialari air mata.

Ucapan bibinya perlahan sedikit membuat hatinya merasa lega, ia tetap memiliki harapan.

Lena akan mengunjunginya..Lena tak akan meninggalkannya.

Lami menghembuskan nafas perlahan, ikut menahan sesak begitu kembali diperlihatkan saat-saat dimana Lena pergi dan tak kembali. Dulu ia begitu mempercayai bahwa Lena setidaknya akan tetap berkunjung menemuinya dan bibi mereka, namun nyatanya tidak. Sama seperti disaat ia tetap berharap ibunya akan menjemput mereka, nyatanya semua hanya harapan semu.

 

***

 

Seperti yang sudah-sudah, dalam sekejap Lami kembali berada dalam kilasan yang berbeda. Kini ia telah berada dalam sebuah ruang dimana bibinya terbaring lemah terlhat sakit. Dirinya yang berusia 15 tahun juga berada di sana, duduk di pinggir ranjang menggengap tangan sang bibi.

Aku tak mau melihat ini.” Lami berseru kencang, rasa sesak langsung terasa mencekiknya. “Kumohon…” Lami merintih pelan, memandang memohon pada anak kecil yang kini telah berada di hadapannya.

Hadapilah, kau harus melihatnya.” Anak kecil itu berujar datar tak peduli.

 

***

Bibi terlalu bekerja keras, lihatlah sekarang bibi jadi sakit.” Lami remaja berucap lirih, memandang bibinya sedih.

Cuman sakit biasa, kalau tidur sebentar pasti sembuh, kok.” Bibinya berucap menenangkan, senyum menghiasi wajah pucatnya.

Aku berhenti sekolah aja.” Lami kembali berujar. “Ini karena bibi harus biayain sekolah aku. Aku mau berhenti sekolah. Aku bisa kerja cari uang.”

Jangan bilang gitu, Lami.” Bibinya kembali berujar lirih. “Bibi sakit bukan karena kamu. Kamu ngak boleh bilang kaya gitu.” Ada hela nafas sebelum bibinya kembali berucap. “Bibi mau kamu sekolah tinggi-tinggi, jadi orang sukses, punya masa depan cerah. Kamu harus sekolah baik-baik, sayang.”

Kalau kamu sukses, kamu bisa ketemu sama Lena.” Bibinya kembali berujar setelah jeda yang cukup lama. Memandang keponakannya dengan senyum lembut.

Lena bahkan udah ngak peduli sama kita!” Lami menghardik. “Aku terus kirimin dia surat-surat, bahkan ketika bibi sakit aku juga krimin surat. Ia bahkan ngak datang-datang nengokin kita.”

Kamu jangan begitu, mungkin Lena lagi sibuk jadi ngak sempat–”

Ini sudah lima tahun, bi…dan Lena sama sekali tak peduli dengan kita. Ia sama saja dengan wanita jahat itu, pergi dan ngak akan kembali-kembali lagi.” Lami berucap penuh gejolak. Menahan kesedihan dan kepedihan.

Bibi harus istirahat, bibi harus tidur.” Lami kembali berujar mengalihkan perhatian, tak ingin membahas lagi mengenai Lena dan wanita itu. Pada akhirnya bibinya hanya mengangguk lemah, tak lagi membahas keponakan dan saudarinya.

 

***

Keesokan harinya, Lami bersekolah seperti biasanya. Hari ini adalah hari kelulusannya. Ia merasa cukup sedih karena bibinya tak sempat hadir karena kesehatannya kurang baik.

Walaupun begitu, Lami tetap berusaha tersenyum. Ia ingin segera pulang dan memperlihatkan prestasi yang diraihnya, menjadi ranking satu di kelas serta berada dalam 10 besar umum terbaik di sekolahnya. Dengan prestasinya itu ia bahkan telah langsung diterima oleh salah satu SMA negeri terbaik

Lami mempercepat langkah begitu sampai di halaman panti asuhan. Berjalan menyusuri lorong-lorong menuju kamar bibinya.

Dimana orang-orang..???

Lami memperlambat langkahnya begitu merasakan keganjalan, panti ini begitu sepi dan lenggang, tak ada satu pun orang-orang yang terlihat. Biasanya tidak seperti ini, walaupun suasana lenggang, tetap saja selalu ada anak-anak panti yang bermain atau pun para petugas yang hilir mudik. Lami langsung merasakan kejangalan yang tak biasa, menelan ludah dengan perasaan yang tak enak.

Ia kemudian mempercepat langkahnya menuju kamar sang bibi. Ketika dirinya telah dekat dengan ruangn itu, sayup-sayup didengarnya suara tangis bersahut-sahutan. Lami tanpa sadar berjalan gemetaran, entah mengapa dirinya langsung dibanjiri perasaan was-was dan takut.

Ia pun memegang knop pintu itu, mendorong pintu yang setengah terbuka itu perlahan. Dapat terlihat jelas anak-anak panti menangis bersahut-sahutan mengelilingi ranjang pemilik kamar ini.

Gadis itu membeku seketika, pandangannya mengabur mana kala terlihat sosok di ranjang sana yang tertidur dengan lelap, tak terpengaruh tangis disekitarnya. Dengan gemetaran gadis itu mendekat, tangis tak dapat ia bendung lagi ketika dirinya menyentuh tangan sosok itu yang terasa begitu dingin.

Bi..bibi..bangun.” Lami mengguncang tubuh itu perlahan. “Bi..aku sudah lulus, bi. Aku bahkan rangking 1 dan bisa langsung sekolah di SMA yang bagus, bi.” Tangis gadis itu sambil terus mengguncang tubuh sang bibi yang tak memberi respon apapun. “Bibi belum lihat aku sukses. Bi..kuomohon bangunlah…Aku janji bakal sukses seperti yang bibi mau.” Tangis Lami semakin menjadi-jadi, dipenuhi rasa sesak yang terus mencekiknya perlahan. “Bi..kumohon..bi..bangun..” Lami memeluk sosok itu erat-erat, merasakan dinginnya permukaan kulit itu. Hanya tangis pilu yang menemani, tangis orang-orang yang telah ditinggalkan untuk selama-lamanya.

Bibinya telah pergi untuk selama-lamanya….

 

***

 

Lami menghela nafas berat, memandang sosok dirinya yang remaja terduduk di dekat sebuah nisan memeluk lututnya, termenung sendirian. Kini ia telah berada dalam kilasan di mana bibinya telah meninggal, kesedihan dan penyesalan terbesar dalam hidupnya. Orang yang menyanginya dengan tulus pada akhirnya direnggut juga darinya. Telah satu minggu berlalu setelah kematian, dan Lami remaja selalu datang ke makam sang bibi setiap harinya, mengirimkan doa serta merenung dalam diam.

Bi, Lena ngak datang juga.” Lami dapat melihat dirinya berucap lirih dengan padangan kosong. “Dia ngak datang, bahkan ketika bibi telah pergi.” Lami remaja memeluk lututnya erat, terpaku dalam diam.

Perlahan demi perlahan rintik-rintik hujan menumpahkan diri, menciptakan hujan lebat yang terus-menerus membasahi bumi tanpa ampun. Namun gadis itu sama sekali tak bergeming, tetap diam dalam posisinya yang memeluk lutut pun dengan tatapan kosong seolah tak terganggu dengan hujan yang kian deras membuat dirinya basah kuyup.

Lami hanya mampu memandang miris pada dirinya kini. Masa-masa ketika bibinya telah meninggal adalah masa terberat bagi dirinya. Tak ada lagi seseorang yang menopangnya, menyayanginya, dan menemaninya. Ia harus hidup sendiri, melawan takdirnya yang semakin hari semakin kejam.

 

***

Setelah duduk untuk waktu yang lama, akhirnya Lami remaja mulai bangkit. Memegang nisan sang bibi pelan, mengelusnya perlahan sebagai tanda perpisahan untuk hari ini.

Gadis itu kemudian mulai melangkah tak peduli dengan dirinya yang telah basa kuyup pun dengan roknya yang terkena lumpur saat duduk tadi.

Saat ini hujan telah reda, hanya menyisahkan rintik-rintik yang setia menemani. Gadis itu hanya memandang kosong, berjalan lurus dalam diam. Tak dipedulikannya genangan air maupun lumpur yang diinjaknya. Ia hanya berjalan lurus, memandang kosong ke depan.

Kini gadis itu telah berada di halaman panti asuhan, ia melangkah pelan menuju kamarnya. Namun sebelum ia menginjakan kaki ke dalam panti asuhan, seorang wanita menghadang langkahnya. Wanita sama yang ingin membiarkan dirinya diadopsi dulu.

Kemana lagi kau, huh? Bukanya membantu mengurus panti kau malah keluyuran!” Wanita di hadapannya menghardik.

Saya ke makam bibi.” Lami berucap lirih yang malah dibalas senyum culas dari wanita di hadapannya. “Setiap hari kau kesana tidak akan mengubah apa-apa! Kau seharusnya bekerja di sini menggantikan bibimu yang mati, bukan malah malas-malasan dan keluyuran seenaknya.” Wanita itu mendorong kepala Lami kasar, terlihat begitu pongah merendahkan. “Bersihkan seluruh ruangan. Kau tidak akan dapat makan malam jika semua ruangan di sini belum bersih.” Wanita itu menarik rambut Lami kasar, sehingga membuat netra kosong itu berpandangan dengan senyum angkuh wanita itu. “Dan kau harus tidur di luar. Itu hukuman untuk dirimu yang seenaknya!” Wanita itu mendorong kepala Lami kasar, melenggang pergi tak peduli. Menyisakan Lami yang hanya memandang kosong.

Dan hidup Lami semakin menyiksa dari hari ke hari.

Wanita itu layaknya seorang wanita jahat tak berperasaan. Setiap hari ia menyuruh Lami bekerja dan terus bekerja, bahkan tak peduli jika gadis itu sakit. Malahan ia akan dipukuli dengan sapu atau bahkan rotan tak tanggung-tanggung jika pekerjaannya dinilai tak becus.

Wanita itu tak segan-segan memukulinya, menyuruhnya tidur di halaman panti, atau bahkan tak memberinya makan seharian penuh. Semuanya dilakukan dengan tak berperasaan dan kejam.

Wanita itu memang adalah wanita jahat yang tak peduli pada anak panti lainnya, ia juga tak segan memukuli anak panti lainnya. Namun semua kemarahan dan kekejaman dari wanita itu yang terpendam di tumpahkan padanya, pada dirinya yang dianggap tak berguna.

Apalah daya seorang gadis remaja sepertinya. Pada akhirnya Lami hanya bisa bertahan dan terus bertahan. Demi tempat bernaung, demi makanan walaupun hanya sedikit, demi bibinya, demi masa depan yang sukses yang dijanjikannya pada sang bibi.

Aku akan terus bertahan, bahkan jika itu akan membunuhku…

 

 

 

To be Continued

[repost] Merangkul Takdir – Tak Diinginkan (5)

14 Oktober 2018 in Vitamins Blog

59 votes, average: 1.00 out of 1 (59 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

Gadis itu perlahan mengerjap, membuka matanya . Kini mereka berada di sebuah taman di malam hari. Cahaya rembulan menghiasi malam itu dengan beberapa lampu dengan nyala sedikit berpendar ikut menerangi pun dengan angin malam yang menusuk dingin.

Aku hamil, kak.”

Lirihan seorang gadis di malam yang sunyi ini mau tak mau terdengar dan memaksa Lami berbalik mengikuti sumber suara itu. Semakin ia melangkah dapat dilihatnya seorang gadis berdiri gugup di hadapan pria yang Lami hanya dapat lihat punggungnya. Lami mendekat dan begitu melihat wajah gadis gugup itu ia tercekat. Walaupun ingatannya tentang sosok itu ingin dilupakan, namun sosok itu tak bisa disangkal adalah wanita yang melahirkannya, ibu yang tak menginginkannya.

Lalu apa masalahku?” Ucapan pria itu dingin dan tak peduli, membuang muka seolah muak dengan gadis di hadapannya.

Tapi kak..ini anak kita…” Si gadis berusaha meraih tangan sang pria, namun ditepis dengan kasar. “Kau bahkan bersedia tidur denganku, bagaimana dengan pria lain di luar sana, huh? Aku tak yakin hanya aku yang menyentuhmu!”

Tamparan keras telak mengenai pria itu, si gadis memandang terluka, setetes demi setetes air mata mulai membanjiri dirinya.

Kak..kau yang paling tahu bahwa aku hanya mencintaimu, aku bahkan rela memberikan hartaku yang paling berharga..mengapa kau tega mengatakan itu..?” Gadis itu terisak pelan, begitu terluka mana kala pria yang dikira mencintainya juga tega mengatakan hal sekejam itu pada dirinya.

Kau pikir aku akan menikahmu begitu? Kau yang seorang gadis rendahan, huh? Jangan bermimpi!” Pria itu mendengus merendahkan. “Kau adalah gadis yang bodoh.”

Gadis itu hanya bisa memandang nanar pria di hadapannya. Menahan gejolak untuk menangis histeris. Ia memang bodoh menyerahkan segalanya pada pria brengsek yang menginjak-injak dirinya serendah mungkin.

Aku akan memberikanmu uang, setelah itu gugurkan kanduganmu dan jangan pernah menemuiku lagi.” Pria itu kembali berucap sinis, membalikan badan siap untuk meninggalkan gadis di hadapannya.

Lami tercekat begitu pria itu berbalik dan berdiri tepat di hadapannya. Udara di sekitarnya seolah menipis meihat dengan jelas sosok pria biadab yang telah berkontribusi dalam kehidupannya yang menyesakan dada.

Benar, dia adalah ayahmu.” Anak kecil yang sedari tadi ikut memperhatikan berucap datar, duduk di sebuah ayunan tak jauh dari tempat Lami juga menyaksikan.

Dia tak pantas disebut seperti ayah.” Lami berucap tajam, memandang dengan penuh kebencian sosok di hadapannya ini.

Pria itu dengan tiba-tiba kembali berbalik, berdiri tepat di hadapan gadis yang kini hanya memandangnya penuh amarah dan kesedihan. Jemarinnya perlahan menyentuh dagu gadis itu, hingga pandangan mereka akhirnya bertemu.

Jika kau berani macam-macam mengancamku dengan kandungan sialanmu itu, maka aku akan membunuhmu.” Pria itu memandang bengis. “Tak hanya dirimu, aku juga akan membunuh kakakmu, aku akan menghancurkan hidupmu lebih dari ini. Kau mengerti, huh?”

Cengkraman pada dagu gadis itu semakin mengeras, menyakitinya tanpa ampun pun dengan ancaman yang mengerikan diucapkan tanpa belas kasihan oleh pria itu. Hingga pada akhirnya gadis itu hanya bisa mengganguk dengan gemetar tak mampu berkata-kata. Setelah merasa puas, pria itu menyetak pegangannya dengan kasar, tersenyum meremehkan dan merendahkan.

Pria itu kembali berbalik, kali ini melangkah tanpa menoleh lagi. Menembus tubuh Lami yang hanya bisa terpaku memandang gadis di hadapannya yang tak mampu lagi menahan emosi dan menangis sejadi-jadinya. Gadis itu menangis tersedu-sedu, hanya mampu menyesali kebodohannya jatuh pada cengkraman pria biadab yang hanya memaanfaatkannya.

Ibumu adalah gadis bodoh.” Anak kecil itu bergumam pelan. “Baiklah, kita akan melihat hal lainnya.”

Kali ini Lami kembali tertarik, hanya sedetik ia telah berpindah ke dalam sebuah rumah, rumah yang terasa asing namun pernah menjadi tempatnya dulu.

Ini adalah rumah bibi dan wanita itu…

 

***

Kamu hamil!?”

Lami tanpa sadar menoleh ke arah sumber suara di dalam sebuah ruangan yang tertutup setengah. Ia melangkah mendekat, dan seperti dugaannya itu adalah suara sang bibi dengan keterkejutan yang tak dapat ditutupi pun dengan gadis itu, yang Lami tak ingin akui sebagai ibunya hanya mampu terduduk di pinggiran ranjang menahan tangis.

Aku harus gugurin kandungan ini.” Gadis itu berucap dengan cepat. “Aku ngak mau berakhir kaya gini.”

Kamu gila?” Suara bibinya meninggi. “Apa kamu mau jadi pembunuh? Bayi yang ada dalam kandunganmu berhak untuk hidup.”

Mau hidup pake apa, kak?” Gadis itu menghela nafas. “Emangnya pria brengsek itu yang mau ngidupin? Ngak kan. Kita juga orang miskin kak…aku ngak mau ngorbanin kuliah, masa depan aku, kak.”

Vera, bayi itu ngak salah apa-apa. Kamu tetap harus bertanggung jawab. Kita bisa cari uang sama-sama.” Bibinya kembali berucap, ikut duduk di samping sang adik, menggengam tangannya menguatkan.

Cari uang sama-sama?” Gadis itu menyentak kasar tangan kakaknya. “Emang apa pekerjaan kakak? Kakak cuman pembantu di panti asuhan.” Gadis itu berdiri. “Kak, aku punya masa depan, dan ngak akan kuhancurkan cuman untuk bayi pria brengsek itu”

Vera! Itu juga bayi kamu! Kamu juga harus bertanggung jawab!”

Lami hanya memandang miris pada pertengkaran bibi dan gadis itu. Semuanya sama saja, pria brengsek dan wanita yang ada di hadapannya ini, semuanya hanya orang-orang egois yang ingin lari dari tanggung jawab. Memangnya Ia dan Lena ingin dilahirkan dari orang tua yang bahkan ingin membunuhnya? Mereka berdua hanya ingin berbuat dan setelahnya lari dari tanggung jawab. Kalau pun masa depan gadis itu hancur, itu semua adalah kesalahannya yang begitu bodoh terperdaya oleh pria brengsek itu.

Sebelum gadis itu membuka suara, terdengar ketukan di luar sana. Bibinya pun berdiri, berjalan untuk membuka pintu, meninggalkan gadis itu yang hanya berdiri mematung. Lami dengan cepat ikut mengikuti langkah sang bibi, dirinya bahkan merasa tak sanggup berada berdua saja dengan wanita itu.

Bibinya membuka pintu, menyambut tamu itu dengan ramah, seorang pria. Ketika pada akhirnya ingatan masa kecil samar-samar Lami perlahan menjelas. Lami tersenyum cerah ikut menyambut pria itu.

Ayah.” Ucap Lami dengan riang, tak dapat menyembunyikan perasaan sangat bahagianya begitu melihat lagi pria di hadapannya.

 

***

Lami tak dapat menahan senyumnya mana kala ayahnya, pria yang lebih pantas disebut ayah kini berada di hadapannya. Pria ini adalah sosok ayahnya. Lami juga tak dapat mengetahui dengan jelas bagaimana hubungan ayah dan gadis itu maupun bibinya karena usianya yang masih belia. Tapi pria ini yang menjadi sosok ayahnya. Ayah yang sangat menyanginya, bermain bersamanya dan Lena serta menjaga mereka dengan penuh kasih sayang. Namun diusia yang ke 4 tahun pria itu pergi, dulu Lami hanya mengira ayahnya pergi bekerja jauh di sana, barulah ketika ia semakin dewasa ia mengerti bahwa ayahnya telah meninggal dalam sebuah kecelakaan, pergi dan tak akan kembali lagi. Sepertinya memang orang-orang baik terbiasa pergi terlebih dahulu. Dan pada akhirnya ia pun juga mengetahui bahwa pria yang ia anggap sebagai ayah bukanlah ayah kandungnya.

Walaupun begitu bagi Lami, saat-saat 4 tahun masa kecilnya adalah masa yang begitu indah untuk ia kenang. Sebuah ingatan yang walaupun semakin samar seiring berjalannya waktu, ingin dikenang selamanya oleh Lami.

Sepertinya kau izin dari panti, yah? Tadi aku datang ke panti dan kau tak ada di sana.” Ayahnya berucap pelan. Ia yang bekerja sebagai petugas pemadam kebakaran juga sering mengunjungi, lebih tepatnya menjadi relawan di panti asuhan tempat bibinya bekerja.

Ah..iya. Aku memang mengambil cuti hari ini.” Bibinya berucap pelan, pikirannya seperti terpecah dan itu dapat dibaca oleh pria di hadapannya.

Terjadi sesuatu?” Pria itu bertanya khawatir, sepertinya firasatnya benar, bahwa gadis di hadapannya ini tengah dirundung masalah.

Sebelum gadis itu membuka suara, terdengar suara erangan kesakitan dari arah kamar Vera, adiknya. Ia dan pria itu saling melempar pandangan khawatir yang sama.

Lisa berbalik cepat, segera menuju ke kamar adiknya disusul oleh Rehan. Lami pun sama terkejutnya ketika mendengar suara erangan kesakitan itu, ia pun mengikuti langkah bibi dan ayahnya ke kamar itu.

Mereka bertiga sama-sama terkejutnya begitu melihat Vera terbaring di ranjang menahan kesakitan. Terdapat pil-pil yang sepertinya telah diminum gadis itu berserakan di lantai. Lisa menyeru kaget segera mendekat ke arah adiknya, pun dengan Rehan yang juga mendekat dengan kekhawatiran yang sama.

Kak, kita harus segera bawa Vera ke rumah sakit!” Lisa berseru cepat, kepanikan seolah menguasainya mana kala melihat adiknya menahan kesakitan pun dengan darah yang mulai mengalir di bawah sana menembus gaun yang ia kenakan. Dengan sigap Rehan mengangkat tubuh itu, bergegas menuju rumah sakit diikuti Lisa.

Ayo kita ke sana.” Sebelum Lami sempat berkata, anak kecil yang tadinya hanya memperhatikan di ujung ruangan berucap pelan, menjentikan jarinya dan dalam sedetik mereka telah berada di sebuah ruang UGD rumah sakit dengan wanita itu terbaring serta bibi dan ayahnya yang berdiri menunggu.

 

***

Jadi Vera hamil?” Rehan bergumam pelan tak dapat menyembunyikan keterkejutannya setelah mendengar semuanya dari Lisa. Vera meminum sebuah pil yang entah dari mana didapatkannya, sebuah pil keras yang mampu menggugurkan kandungan. Untung saja dirinya cepat di bawah ke rumah sakit untuk mendapat pertolongan, kalau tidak mungkin bukan hanya bayi dalam kandungannya yang mati tapi dirinya juga bisa mati karena mengalami pendarahan hebat.

Akhirnya Lisa menceritakan semuanya, kehamilan Vera dan pria brengsek yang tak ingin bertanggung jawab, juga betapa Vera tak mengingkan kandungan itu dan ingin menggugurkannya. Pada akhirnya mereka hanya terdiam untuk waktu yang lama, sama-sama larut dalam pemikiran masing-masing.

Lami perlahan melangkah mendekat, terpaku pada wanita yang kini terbaring lemah di ranjang dengan infus yang membantunya. Wanita ini sepertinya memang sama sekali tak menginginkan dirinya dan Lena. Walaupun ia memang telah mengetahui bahwa ibunya tak menginginkannya, tetap saja rasanya sakit ketika melihat langsung dengan mata kepalanya sendiri bahwa wanita ini dengan tega meminum sebuah pil untuk membunuh kandungannya, membunuh dirinya dan Lena.

Aku akan bertanggung jawab.” Rehan berucap mantap, memecah keheningan. Lisa memandang terkejut pada pria di hadapannya, mencari kebercandaan dalam perkataannya, namun pria itu memandang tepat di matanya, dengan keseriusan yang tak terbantahkan.

Kak, ini masalah serius..kakak jangan bercanda.” Lisa menghenbuskan nafas kasar. “Kakak juga harus memikirkan diri kakak.”

Apa aku terlihat bercanda, Lisa?” Pria itu berucap datar “Dengan aku menikahi Vera, ia akan tetap melanjutkan kuliahnya tanpa menanggung malu. Ia akan tetap mendapatkan masa depannya.” Pria itu kembali berucap dengan sangat serius. Lisa hanya memandang tak percaya.

Lami pun juga tak dapat menutupi keterkejutannya mendengar penuturan ayahnya. Jadi itulah mengapa pria di hadapannya menjadi ayahnya, ia bertanggung jawab atas kesalahan yang sama sekali tak ia perbuat.

Apa kakak kasihan? Kasihan melihat Vera jadi kakak lebih memilih mengorbankan perasaan kakak….dan juga perasaanku?” Lisa memandang terluka, tanpa sadar air mata menetes dari netra coklat itu, sebuah kesedihan nyata terpatri jelas, menyesakan hati.

Lisa..” Rehan berucap lirih, merasakan kesakitan yang sama “Vera adik kamu..apa kamu tega ia seperti ini? Apa kamu ingin melihat dia menderita seperti ini? Bahkan dengan tega ia ingin membunuh bayinya…jika ia punya seseorang untuk bertanggung jawab maka ia bisa melanjutkan hidupnya.”

Lalu bagaimana denganku, kak? Apa aku tidak menderita? Pria yang kucintai ingin menikahi adikku? Apa aku tak menderita?” Kali ini Lisa tak mampu lagi menahan tangisnya, walaupun ia berusaha meredamnya sekalipun.

Lami memandang tak percaya pada apa yang ia lihat, tanpa sadar membekap mulutnya terkejut. Jadi ayah dan bibinya saling mencintai? Tak hanya berkorban untuk kesalahan yang tak diperbuat, mereka juga harus rela berkorban perasaan? Lami pun tanpa sadar terisak dalam diam. Bibinya kini juga terisak dalam diam pun dengan ayahnya yang hanya bisa memandang dengan kesakitan yang sama, tak tahu harus berbuat apa.

Gerakan di ranjang itu perlahan memecah kesedihan yang terbentang di antara mereka. Gadis itu perlahan mengerjapkan matanya, mengumpulkan kesadaraan. Ketika pada akhirnya kesadaran telah menguasainya, ia memegang perutnya. Bukan mengkhawatirkan keadaan kandungannya, melainkan mengharapkan kandungan itu telah lenyap dari perutnya.

Vera, kau tak apa?” Rehan berucap memecah keheningan. Memperhatikan gadis di hadapannya yang sepertinya telah sadar sepenuhnya.

Apa kandunganku sudah lenyap?” Vera berkata cepat, tak peduli dengan kekhawatiran pria itu. Hanya berharap bahwa kandungannya lenyap tak membekas.

Vera! Jangan berkata seperti itu!” Rehan mendesah kasar. “Kau tak seharusnya berusaha membunuh kandunganmu, itu adalah bayimu!”

Tak usah sok peduli denganku” Vera mendengus tak peduli. “Seharusnya kalian tak membawaku ke sini, menyebalkan.” Vera bergugumam marah. Kandungannya nyaris saja lenyap, kalau bukan karena mereka berdua yang membawa mereka ke sini. Seharusnya ia meminum pil itu ketika sendirian, tetapi keinginannya untuk melenyapkan kandungan ini terlalu besar, ia ingin segera melenyapkannya.

Jangan berucap seperti itu, Vera!” Lisa menghardik tegas. “Bukan hanya kandunganmu, kau juga bisa mati kehabisan darah jika kita tidak segera membawamu ke rumah sakit. Kau seharusnya tidak melakukan tindakan bodoh.” Lisa melanjutkan ucapannya dengan dingin.

Vera hanya memandang tak peduli, membuang muka muak. Memang siapa yang ingin diselamatkan? Kalau pun ia mati juga tak ada masalahnya, semuanya sama saja.

Kerumitan manusia.” Anak kecil yang juga ikut memperhatikan di sisi lain ranjang, tepat di hadapan Lami berucap misterius. Setelahnya pandangan netra jingga dan kelam itu bertemu, dan sedetik kemudian mereka kembali berpindah, kali ini kembali ke rumah bibinya. Ruang tamu sederhana yang kini telah berada bibi, ayah, dan wanita itu.

***

Apa? Aku harus menikahinya?” Vera menunjuk pria di hadapannya. “Yang benar saja.” Gadis itu mendengus kasar, membuang muka.

Kamu tidak dalam kapasitas untuk menolak,

Vera!” Lisa berucap dingin. “Ini satu-satunya cara agar kamu tetap kuliah dan menjaga kandungan kamu.”

Munafik!” Vera balas berkata dengan dingin. “Ah..jadi kakak sekarang ingin aku nikah sama cowok kakak buat nutupin aib aku, gitu?” Vera berucap mencemooh. “Munafik banget”

Vera, ini juga demi kebaikan kamu.” Kali ini Rehan yang kembali berucap. “Kalau kamu memang terbebani dengan pernikahan ini, kamu bisa mengakhirinya kapan saja.” Pria itu menghela nafas “Tapi setidaknya untuk sekarang, kamu bisa tetap kuliah dan menjalani hidup kamu.”

Sekarang kalian berdua ingin berkorban perasaan gitu? Jadi pahlawan untukku?” Vera bangkit dari duduknya, memandang tajam. “Aku ngak butuh belas kasihan kalian.” Vera mendengus kasar, bersiap melenggang pergi. Namun sebelum gadis itu memegang knop pintu kamar, lirihan kakaknya yang menyahut namanya sanggup membuat dirinya membeku sesaat.

Kakak mohon, Vera….Kakak sayang sama kamu, kakak ngak mau kamu berakhir kaya gini..”

Baiklah kalau itu mau kakak.” Vera berucap tanpa menoleh. “Aku harap kalian ngak akan menyesal.” Pintu itu kembali tertutup, berdentum keras. Menciptakan keheningan yang menyesakan.

 

***

Lami kemudian melihat kilasan-kilasan. Kilasan pernikahan wanita itu dan ayahnya, bagaimana mereka menjalani hidup mereka setelahnya. Wanita itu terus bersikap dingin, pernikahan yang hanya seperti sebuah ikatan formal tanpa perasaan. Kilasan bagaimana bibinya terkadang menangis dalam diam menahan kesakitan seorang diri. Ayahnya yang hanya bisa memandang wanita yang dicintainya dari jauh pun dengan bibinya yang hanya memandang terluka kepada pria dicintainya.

Kilasan wanita itu yang membenci kandungannya dari hari ke hari, tak ada satu pun kelembutan seorang ibu yang ditunjukannya. Bagaimana marahnya wanita itu begitu mengetahui bahwa bayi yang di kandungnya ternyata ada dua, bayi kembar.

Wanita itu bahkan sengaja untuk tidak makan, sengaja untuk tidak memenuhi kebutuhannya seolah dengan seperti itu bayi-bayi di dalam kandungannya meluruh dengan sendirinya.

Bahkan di hari kelahiran bayi-bayi itu, wanita itu sama sekali tak ingin menyusui bayi-bayinya, sama sekali tak tersentuh hatinya mendengar tangis kedua buah hatinya.

Hanya bibi dan ayahnya yang menjaga mereka berdua, merawat mereka seperti anak sendiri. Hingga Lami dan Lena tumbuh menjadi balita 4 tahun, wanita itu sama sekali tak memperdulikan mereka. Ketika mereka mendekat, hanya ada kemarahan yang didapatkan, seolah wanita itu tak tahan berada dekat dengan anak-anaknya.

Bibi dan Ayahnya pun dengan sabar menghibur ketika mereka menangis merasa tak di perdulikan oleh ibu sendiri. Pengertian bahwa ibu mereka hanya sedang sibuk dan tak ingin diganggu, bukan karena ibu mereka tak mencintai mereka. Dan tentu saja pikiran polos seorang anak kecil percaya akan kata-kata itu, berharap suatu saat ibu mereka tak lagi sibuk dan dapat bermain dengan mereka, harapan polos seorang anak.

Lami hanya memandang miris, nyatanya wanita itu tak pernah mencintai mereka, nyatanya ia tak akan pernah mencintai anak-anaknya. Kadang Lami pun bertanya-tanya bagaimana bisa seorang ibu sama sekali tak tergerak hatinya setitik pun untuk mencintai anak-anaknya, namun wanita itu menjadi bukit bahwa ia adalah ibu itu, ibu yang sama sekali tak tergerak hatinya untuk mencintai anak-anaknya.

Kilasan yang selanjutnya Lami lihat adalah bagimana wanita itu meninggalkan mereka, tanpa belas kasihan.

Vera, apa kamu tega meninggalkan anak-anakmu? Jangan, Vera. Kakak mohon.” Bibinya menggengam tangan sang adik yang kini tengah memasukan baju-bajunya ke dalam sebuah koper, menghentikan pergerakan tangan itu.

Vera, Kak Rehan baru saja meninggal, satu bulan yang lalu. Dan sekarang kamu mau pergi? Kamu ngak akan setega ini kan, Vera?” Kali ini suara sang bibi tercekat, memang Rehan meninggal sebulan yang lalu dalam sebuah kecelakaan, dan tentu saja itu menjadi kesedihan yang mendalam. Namun Vera seolah tak peduli, menepis tangan sang kakak kasar, melanjutkan memasukan baju-bajunya dalam koper.

Aku ngak punya masa depan kalau terus berada di sini. Aku ngak mau terus-terusan berada di sini.” Vera berucap dingin.

Tak cukupkah masa depan kamu sama kakak dan anak-anak kamu? Kami juga menderita,Vera. Kita seharusnya saling menguatkan, ngak seharusnya kita–”

Aku ngak mau punya masa depan menyedihkan dengan kalian. Aku ngak mau!” Wanita itu setengah berteriak, menyeret kopernya cepat, melangkah keluar. Menyentak tangan sang kakak kasar tak peduli, terus melangkah.

Ibu jangan pergi!” Seruan serta tarikan tangan mungil kedua balita itu menahannya yang kini telah memegang knop pintu luar. Kedua balita itu menangis serta memohon kepada ibu mereka untuk tak pergi, memeluk dengan erat sang ibu, berharap sang ibu berubah pikiran.

Lepas!” Vera membentak kasar, mendorong kedua balita itu hingga terjatuh dan hanya mampu menangis. Kali ini wanita itu kembali melangkah keluar tak memperdulikan lagi tangis menjerit-jerit kedua balita yang ditinggalkannya.

Wanita jahat..kau bahkan tak menoleh kepada putri-putrimu yang menangis menjerit-jerit….wanita jahat…seharusnya kau…seharusnya..kau setidaknya berbalik…wanita jahat..

Lami menahan gejolak tangis yang ingin meledak. Hanya mampu menantap miris pada dirinya dan Lena balita yang menangis meraung memanggil ibu mereka. Rasanya sangat sakit melihat sendiri bagaimana seorang ibu tega meninggalkan putri-putrinya, bahkan tanpa menoleh sedikit pun, tanpa keraguan setitik pun.

Aku tak ingin berada di sini.” Lami berucap lirih kepada anak kecil yang kini duduk di sebuah sofa tak jauh dari dirinya, tubuhnya gemetaran ketika memohon. “Aku tak ingin di sini, komohon…” Ia tak sanggup lagi merasakan kesesakan ditinggalkan oleh ibu kandungnya sendiri. Selama ini ia ingin melupakan kenangan pahit itu, melihatnya secara lanngsung membuatnya merasakan sakit yang sama, sesak dan pilu yang mengirisnya perlahan-lahan.

Anak kecil itu hanya memandangnya datar tanpa ekspresi. Namun perlahan demi perlahan kesadaran Lami menggelap, semakin gelap hingga akhirnya menutupi segala kesadaran yang tersisa, Lami kembali kehilangan kesadaran.

Ibu……mengapa ibu sejahat ini.?? Mengapa ibu meninggalkanku..???

 

 

 

To be Continued

[repost] Merangkul Takdir – Mengembalikan Takdir (4)

14 Oktober 2018 in Vitamins Blog

53 votes, average: 1.00 out of 1 (53 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

 

 

Hey bangun, hey bangunlah…”

Kedua netra kelam itu perlahan mengerjap, sayup-sayup ia mendengar suara yang berusaha membangunkannya pun dengan goncangan pelan di tubuhnya. Ketika mata itu akhirnya terbuka, dapat dilihatnya dengan jelas seorang gadis kecil yang berusaha membangunkannya. Seorang gadis kecil dengan mata bulat bernetra..jingga??

Lami langsung terkesikap, berusaha bangkit dengan cepat. Gadis itu bergeser menjauh, kali ini telah tersadar sepenuhnya. Diperhatikannya gadis kecil di hadapannya kini. Seorang anak kecil berkisar 10 tahunan dengan bola mata berwarna jingga cerah, mengenakan sebuah gaun hitam polos dengan rambut ikal hitam dikuncir dua pun dengan kulit putih pucatnya yang begitu kontras dengan gaun yang ia kenakan.

Anak kecil itu berjongkok di hadapannya, memandangnya dengan kedua mata bulat polosnya, seolah menunggu reaksinya. Kepala gadis itu secara tiba-tiba terasa begitu sakit, kepingan demi kepingan memorinya dengan cepat berputar terus menerus. Bagaikan kilasan kaset film yang berputar dengan cepat. Hingga akhirya semua kepingan itu menjadi satu. Membuatnya mengingat semua yang telah terjadi pada dirinya.

Bukankah aku sudah meninggal?…..

Benar kau sudah meninggal..” Lami tak bisa menutupi keterkejutannya mana kala anak kecil di hadapannya ini bergumam pelan seolah membaca pikirannya. Lami perlahan memindai sekitar, dan yang dilihatnya hanya sebuah ruangan kosong dengan warna putih yang menutupinya, seolah ia berada di dalam sebuah kotak putih yang sangat luas tak berujung.

Siapa kau?”

Anak kecil dihadapannya ini hanya memandang datar. “Aku bukan siapa-siapa..” Anak kecil itu kemudian bangkit, merapikan gaun hitam selututnya dengan pelan.

Siapa kau?! Aku sedang tidak bercanda.” Lami meninggikan suaranya, merasa kesal karena anak kecil di hadapannya ini seperti mempermainkannya.

Dasar manusia..apakah perkataanku kurang jelas? Aku bukan siapa-siapa. Bukankah disana juga terdapat banyak istilah tak bernama, unkonown, tak jelas..sepertinya kalian memiliki banyak istilah untuk itu.” Anak kecil itu memutar kedua netra jingganya bosan, berkacak pinggang dan mendengus pelan malas-malasan.

Bukankah aku sudah meninggal? Lalu dimana aku sekarang? Dan kau..siapa kau!? Apa yang terjadi padaku?” Lami berucap frustasi, pikirannya terasa begitu kacau. Secara tiba-tiba berada dalam ruangan putih yang misterius pun dengan anak kecil bermata jingga yang tak kalah misteriusnya.

Memang yang sedang kau alami ini terasa aneh bagimu. Tempat ini dan aku bukanlah apa-apa..kau hanya perlu fokus pada dirimu.” Anak kecil itu berucap misterius, menjentikan jarinya dan perlahan ruang putih ini dipenuhi oleh gelembung balon yang tipis. Lami tersentak, berusaha bangkit dari duduknya.

Gelembung itu semakin lama semakin banyak memenuhi ruangan putih ini, bergerak-gerak pelan memenuhi udara. Beberapa diantaranya bahkan mengelilinginya dengan putaran yang konstan.

Lihatlah kedalam gelembung itu..” Anak kecil itu kembali berucap, otomatis Lami langsung melihat kedalam gelembung balon tipis yang tepat berada di hadapannya. Gadis itu berusaha memfokuskan pandangannya. Hingga akhirnya ia dapat melihat apa yang ada di dalam gelembung itu dan matanya langsung terbelalak pun dengan langkahnya yang otomatis mundur beberapa langkah. Nafasnya tercekat memandang tak percaya dengan apa yang ia lihat.

Itu adalah dirinya yang sedang mengajar di taman kanak-kanak…di dalam gelembung itu ada kilasan hidupnya.

Benar, di dalam gelembung-gelembung ini adalah kilasan-kilasan kehidupanmu.” Anak kecil itu kembali berucap, ikut memperhatikan sebuah gelembung yang melayang tepat di hadapannya “Gelembung kehidupanmu.”

Ba…bagaimana bisa? Sebenarnya apa yang terjadi padaku..?” Lami berucap gemetaran, menutup matanya perlahan seolah menolak apa yang dikatakan anak kecil di hadapannya ini.

Ini adalah kesempatanmu.” Anak kecil itu melangkah mendekat. “Kesempatan mengembalikan takdirmu.” Anak kecil itu mendongak, memandang datar kepada Lami yang dibalas dengan pandangan kebingungan oleh Lami.

Apa maksudmu?”

Kau tahu ketika manusia terlahir ke dunia, maka mereka akan mendapatkan kesempatan untuk melihat kehidupan yang akan dijalaninya.” Anak kecil itu perlahan meniup gelembung yang mendekatinya hingga gelembung itu menjauh. “Itu artinya kau pun juga telah melihat kehidupan yang akan kau jalani, dan kau menerimanya, kehidupan menyedihkanmu ini”

Bunuh dirimu ini, juga adalah salah satu takdir yang harus kau jalani. Begitu juga dengan dirimu yang berada di sini, ini juga adalah takdirmu.” Anak kecil itu kembali menjentikan jarinya dan gelembung-gelembung yang tadinya bergerak di udara terdiam seketika.

Orang yang bunuh diri akan melihat kehancuran dirinya dalam kegelapan yang tak berdasar. Ketika pada akhirnya mereka menyadari bahwa hanya kehancuran yang akan menemaninya hingga akhir…mereka terlambat.” Anak kecil itu memandang lurus ke arah Lami. “Mereka memohon untuk kembali ke dunia, menyesali keputusan yang mereka ambil. Namun mereka terlambat…mereka harus menjalani kekejaman dari kehancuran yang mereka inginkan sendiri.”

Kau berbeda..” Anak kecil itu secara tiba-tiba telah berada di belakangnya tanpa Lami menyadari. Membuat dirinya terkesikap dan berbalik cepat dan melihat anak kecil itu telah duduk di sebuah kursi dengan tenang.

Ketika kau bunuh diri, pandanganmu seolah tertutupi. Kau tak melihatnya..kehancuran yang akan kau alami ketika kau bunuh diri. Hingga bahkan kau masih dapat tersenyum tulus di detik terakhir kehidupanmu.”

Dunia ini adil, Laminata Verania.” Anak kecil itu kembali berucap.“Begitupun untukmu…kau mendapat kesempatan untuk melanjutkan kehidupanmu, kehidupan yang sangat jauh lebih baik dibanding kematian. Kau bahkan tak bisa membayangkan kekejamaan apa yang akan kau dapatkan jika kau memilih kematian.”

Tak bisakah aku mati saja?” Lami berucap gemetar. “Aku lelah..aku hanya ingin mati…tak bisakah aku mati dengan tenang?” Tanpa sadar air mata itu kembali keluar, gejolak emosi yang tercampur aduk di dalam dirinya.

Kau tak mengerti.” Anak kecil itu memandang datar.“Apa kau pikir kematian adalah akhirnya? Tidak..kau akan menjalani kekejaman yang akan menghancurkanmu lebih dari ini…kau akan menyesalinya disetiap detiknya, kau ingin kembali tapi kau tak akan pernah bisa. Yang kau alami bahkan tak sepadan dengan kematian yang kau pilih.”

Kau merasa tak adil karena ibumu bahkan meninggalkanmu? Jutaan orang pun mengalami hal yang sama. Kau tersiksa dengan hidup sebatang kara? Bahkan ada yang menjalani hidupnya jauh lebih berat dari pada dirimu. Kau ingin mati karena orang-orang yang kau cintai direnggut darimu? Semua orang juga akan meraskannya, kehilangan orang yang dicintai” Anak kecil itu menghela nafas. “Banyak orang yang juga mengalami takdir buruk dalam hidupnya, tapi mereka tetap menjalaninya dengan kesabaran. Pada akhirnya mereka akan mendapatkan kebahagiaan, itulah harga dari kesabaran”

Aku tak peduli..aku tak peduli..” Gadis itu berucap kesakitan. “Selama ini aku juga menjalani hidupku dengan kesabaran..aku menerima semuanya dengan lapang dada.” Air mata kembali mengalir dari kedua netra kelam itu. “pada akhirnya aku mendapatkan kebahagiaanku, satu-satunya kebahagiaanku. Namun itu pun kembali direnggut. Kenapa?….kenapa?” Dengan gemetaran gadis itu kembali terduduk, tak mampu menopang tubuhnya yang gemetaran.

Kau pikir hanya itu kebahagiaanmu?” Anak kecil itu telah berada di hadapan Lami, iku berjongkok mensejajarkan pandangan mereka. “Kau memiliki banyak kebahagiaan..kebahagiaan yang menantimu.” Dengan perlahan anak kecil itu mengusap air mata yang terus mengalir dari netrs kelam Lami.

Aku tak peduli..”

Lami menggeleng sekuat tenaga “Aku hanya ingin mati..biarkan aku mati saja. Aku akan menanggung semua konsekuensinya.kumohon..”

Gadis keras kepala.” Anak kecil itu bergumam pelan, bangkit perlahan. “Kau ingin mati,kan? Kau akan mendapatkannya.” Anak kecil itu berucap lambat-lambat memperhitungkan. “Tapi kau harus memenuhi syaratku.”

Kesempatan kedua untuk melihat kehidupanmu lagii, dari awal hingga akhir.” Anak kecil itu berucap tenang. “Kehidupan ketika kau memilih kematian.” Anak kecil itu menjentikan jarinya dan gelembung-gelembung yang tadinya terdiam kembali bergerak perlahan memenuhi udara.

Ap..a?”

Kau akan melihat kembali kehidupanmu di dalam gelembung kehidupan ini.” Anak kecil itu dengan perlahan menggerakan jarinya di udara dan sebuah gelembung seolah tertarik hingga tepat berada di hadapannya. “Ketika kau telah selesai melihat seluruh kehidupanmu. Maka kau boleh memilih untuk tetap hidup ataupun mati seperti keinginanmu”

Sebenarnya siapa kau?” Lami perlahan bangkit, mamandang tajam kepada anak kecil dihadapannya. Perkataan anak kecil ini sama sekali tak masuk akal seolah ia dengan jelas mengetahui dirinya pun dengan hal-hal yang ia lakukan diluar nalar manusia.

Pertanyaan itu lagi.” Anak kecil itu mendengus pelan. “Siapa aku, ….hal itu sama sekali tak penting. Tak ada bedanya jika kau mengetahuinya atau pun tidak”

Kau bisa menganggapku orang yang akan menemanimu dalam perjalanan kehidupanmu, aku adalah pembimbingnya.” Anak kecil itu bersedekap “Aku yang membuat aturannya dan kau harus patuh.”

Kasar sekali kau, anak kecil.”

Kau bahkan tak mengetahui usiaku.” Anak kecil itu tersenyum miring meremehkan. “Sudahlah, semua hal ini tak penting. Apa kau mengerti dengan persyaratannya?”

Bagaimana jika aku menolak?” Lami berucap datar. “Aku menolak untuk melihat kembali kehidupanku.”

Maka kau akan tetap berada di sini.” Anak kecil itu berucap dengan tak kalah dingin. “Kau akan tetap di sini selamanya, sendirian dengan kebingungan setiap saat…perlu kau ketahui kau tak akan pernah bisa mati di tempat ini, bagaimanpun caranya.”

Lami tersentak begitu anak kecil ini tiba-tiba melemparkan pisau yang entah dari mana lurus ke arah jantungnya, mengenainya dengan tepat. Dengan tercekat Lami menunduk untuk melihat dadanya yang kini tertancap pisau.

Pisau itu memang ada di sana tertancap dengan kuat pun dengan noda darah yang mengenangi, membuat gaun pengantin putih yang ia kenakan berubah warna merah pekat di bagian dada, namun sama sekali tak ada rasa sakit yang ia rasakan, seolah pisau yang kini menancap tak ada.

Anak kecil itu perlahan mendekat, mencabut pisau yang kini menancap di dadanya. Perlahan pisau itu tercabut pun dengan darah pekat yang menghilang tanpa jejak, mengembalikan warna gaun putihnya seperti semula.

Kau lihat? Tak ada satu pun yang akan melukaimu di sini.” Gadis itu bergumam pelan dan dengan sekejap pisau yang ia genggap lenyap begitu saja. “Tetapi ketika kau berada di sini untuk waktu yang lama, maka jiwamu akan hampa seiring berjalannya waktu. Hanya ada kesedihan dan kesengsaran yang tersisa, hingga kau hanya akan mengingat semua kesedihan di ruang ini.”

Lami hanya memandang kosong mendengar segala penjelasan anak kecil itu. Ia tak sanggup jika harus mengingat segala kesedihan yang sekaut tenaga ia ingin lupakan. Bahkan didetik terakhir kematiannya pun ia merasa seolah bebannya terangkat mana kala akan segera melepaskan segala kesengsaraan dan kesedihan di dunia ini. Bagaimana mungkin ia sanggup untuk berada di ruang ini hanya untuk mengingat segala kesedihan dan kesengsaraan hidupnya dalam diam? Ia tak akan pernah mampu lagi.

Jadi aku harus melihat kembali hidupku? Tak ada cara lain yang bisa kulakukan?” Pada akhirnya hanya keputusasaan yang Lami kembali rasakan. Membuatnya seolah mati rasa, raga dengan jiwa yang kosong.

Tak ada cara lain. Kau hanya tinggal memilih, ikut denganku dan melihat gelembung kehidupanmu agar kau bisa memilih hidup atau kematianmu, atau tinggal di sini untuk selamanya.”

Mengapa harus aku yang megalami semua ini?” Lami mendesah pelan, bergumam seolah berbicara pada dirinya sendiri. Bahkan ketika ia ingin milih kematian pun semuanya tak berjalan lancar. Apa kehidupannya memang harus seperti ini? Haruskah hidupnya sekacau ini?

Karena ini takdirmu, kesempatanmu.” Anak kecil itu bergumam pelan menjawab pertanyaan yang bergejolak di dalam diri Lami. “Ini adalah bentuk keadilan, Lami. Percayalah bahwa ini adalah kesempatan yang sangat berharga.”

Ia ingin mempercayainya…seandainya ia bisa

Namun sekeras apapun ia berusaha untuk mempercayai bahwa semua ini adalah bentuk keadilan dunia, ia tak menemukan lagi kepercayaan itu. Hatinya telah mati rasa hanya untuk sekedar percaya dengan keadilan. Apa lagi yang bisa ia lakukan?

Aku akan memenuhi syaratmu.” Lami bergumam dingin, hanya memandang kosong. Tatapan yang dingin dan begitu kosong. “Akan kupastikan bahwa aku akan tetap memilih kematian.” Lami kembali berucap, kali ini dengan luapan tekad dan janji yang kuat, membentengi diri sepenuhnya.

Kita lihat saja nanti.” Anak kecil itu bergumam misterius, tak terpengaruh dengan raut dingin serta tekad kuat dari gadis dihadapannya kini.

Untuk yang pertama kita akan melihat ini.” Anak kecil itu memfokuskan pandang pada gelembung yang kini melayang rendah di hadapannya.

Kematianmu”

Sebelum Lami sempat bereaksi, anak kecil itu menyentuh gelembung di hadapannya. Membuat Lami mengerang pelan mana kala merasakan sakit di kepalanya yang semakin sakit begitu anak kecil itu menyentuh gelembung sepenuhnya. Tubuhnya seolah terhisap ke arah gelembung yang seolah memiliki maknet kuat, menariknya dengan paksa dengan kesakitan tanpa ampun.

Hingga di titik terakhir Lami tak dapat mempertahankan kesadarannya. Dengan pasrah membiarkan gelembung itu menariknya. Pandangannya perlahan menggelap, kegelapan yang pada akhirnya menghilangkan kesadaran penuhnya.

 

***

Sadarlah.” Sentakan itu membuat Lami sadar sepenuhnya. Kini ia perlahan membuka kedua netra kelamnya. Gadis itu terpaku begitu mengetahu bahwa kini ia berada di area apartement Alva. Ia berada di area depan apartement itu.

Beberapa meter di hadapannya, terlihat kerumunan orang-orang yang mengelilingi sesuatu, beberapa diantaranya memandang ngeri dan miris. Terdengar bunyi sirine silih berganti, dengan polisi yang berusaha menghela para warga yang berkerumun dengan memasang garis polisi.

Tanpa sadar Lami melangkah mendekat, gemetar penuh antisipasi. Namun tiba-tiba seorang polisi berlari ke arahnya, terburu-buru menuju mobil ambulans yang berada beberapa meter di belakangnya. Sebelum Lami sempat mengelak, polisi itu berlari menembus dirinya, seolah ia tak berdiri disini. Lami terpaku, masih merasakan dengan jelas dirinya di lewati begitu saja layaknya benda transparan.

Di sini kau tak akan bisa menyentuh apapun, dan tak akan ada yang melihatmu, ingat kau hanya seorang penonton.” Anak kecil itu berucap datar, melangkah lebih dulu menuju kerumunan orang, melangkah lurus dan juga menembus orang-orang itu.

Tersadar dari keterpakuan, Lami kembali melangkah berusaha untuk menghindari orang-orang yang berkerumun. Dan terlihatlah dengan jelas pusat dari kerumunan orang-orang. Itu adalah dirinya, tergeletak mengenaskan dengan darah merembes memenuhi aspal pun dengan gaun putih yang telah berubah menjadi merah pekat yang mengerikan.

Perlahan suara bising sirine pun dengan para petugas yang menghela kerumunan orang-orang terdengar semakin samar. Untuk beberapa saat Lami hanya bisa terpaku pada dirinya yang terbujur kaku mengerikan. Rasa sesak langsung memenuhinya mana kala mengingat alasan mengapa ia mengakhiri hidupnya dengan cara yang sangat tragis. Ia tak pernah sekali pun berpikiran untuk mengakhiri hidupnya sendiri. Seberat apa pun kehidupan ini melawannya, ia akan tetap bertahan sampai akhir. Akan tetapi pada akhirnya ia menyerah, dirinya tak sanggup menerima kenyataan bertubi-tubi yang menyakitinya tanpa ampun. Pada akhirnya ia pun memilih kematian, ironi yang menyedihkan.

Kak Lami! Kak Lami!”

Lami tersentak begitu mendengar jeritan seseorang yang berlari dari kejauhan. Itu saudari kembarnya,Lena. Gadis itu memberontak begitu para petugas melarangnya melewati garis polisi. Menjerit histeris dengan tangis membendung. Berusaha sekuat tenaga untuk menerobos walaupun usahanya sia-sia, pada akhirnya tubuh itu meluruh dengan masih menjeritkan namanya pun dengan tangis histeris.

Lami hanya bisa memandang miris sang saudari kembar yang menangis histeris tak berdaya. Rasanya hatinya pun teriris perlahan mana kala tangis saudari kembarnya semakin pilu, mengucap namanya dengan pilu.

Lami !!!”

Gadis itu kembali terpaku begitu mendengar suara itu memanggil namanya, Kafi. Pria itu berlari cepat, menerobos dengan cepat tak peduli beberapa petugas yang melarangnya. Pria itu terpaku pada dirinya, dirinya yang terbujut kaku. Dengan gemetaran meluruh tak mampu menopang tubuhnya. Pria terisak dalam diam, tangisan dalam yang menyayat hati. Orang-orang pun hanya bisa memandang sedih dan simpati, mersakan kesedihan menyesakan hati yang terdalam.

Tanpa sadar Lami pun tak dapat membendung air matanya juga, merasakan kesesakan yang sama semakin lama melukainya. Untuk sesaat gadis itu pun ikut larut dalam tangis yang mendalam, semakin menyiksa mana kala sebagian dirinya seolah mengutuk tak seharusnya ia mati seperti ini, tak seharusnya ia membiarkan tangis kedua orang ini melukainya.

Sebelum kegelapan kembali mengusainya, perlahan dirinya seolah kembali tertarik. Pada akhirnya gadis itu kembali dikuasai kegelapan yang membawanya menjauh.

 

***

 

Kau memiliki orang-orang yang mencintaimu dengan tulus.” Begitu Lami kembali tersadar, ucapan anak kecil itu kembali menggema. Kini mereka telah kembali berada di ruang putih dengan gelembung yang memenuhinya.

Kau tidak seharusnya meninggalkan mereka.” Anak kecil itu kembali berucap dengan tenang, memandang lurus ke netra kelamnya.

Tidak.” Lami berucap datar, balas memandang anak kecil bernetra jingga di hadapannya dengan dingin.

Mengapa mereka baru menangis sekarang, huh? Di saat..di saat aku tersiksa dan terpuruk semakin dalam..dimana mereka?? Dimana mereka ketika kubutuhkan,huh??” Lami berucap tajam dan dingin, berusaha mengenyakan segala perasaan sedih dan bisikan penyesalan yang terngiang-ngiang di benaknya. Membentengi dirinya dengan kuat, tak membiarkan perasaan-perasaan kesedihan merayap tembus.

Kau terlalu berburuk sangka.” Anak kecil itu hanya memandang datar, berjalan mendekat hingga berdiri di hadapan gadis itu. “Kau terlalu memandang negatif hidup ini.”

Lami memalingkan muka, terlihat muak dengan perkataan anak kecil di hadapannya. Seolah anak kecil ini tahu hidupnya saja hingga menghakimi semaunya saja.

Aku mengetahui semuanya, lebih dari dirimu, manusia.” Kali anak kecil itu berucap dingin. “Sepertinya tangis orang-orang yang tulus padamu sama sekali tak berguna untukmu.” Anak kecil itu perlahan mengerakan jari-jarinya perlahan dan sebuah gelembung kini tepat berada di hadapannya, melayang dengan memutar perlahan.

Sepertinya kita masih harus melihat gelembung-gelembung yang lain.” Anak kecil itu kembali memfokuskan pandangannya pada gelembung di hadapannya.

Kita akan melihat awal mula kehidupanmu.”

Dan kembali, kesadaran gadis itu direnggut perlahan. Membuat dirinya hanya bisa pasrah tenggelam dalam kegelapan yang menyesakan. Namun sebelum kesadarannya terenggut sepenuhnya, gadis itu dapat mendengar sebuah bisikan, bisikan hatinya yang terdalam.

Maaf karena meninggalkan kalian, Lena..Kafi…

 

 

 

To be Continued

[repost] Merangkul Takdir – Hari Pernikahan (3)

14 Oktober 2018 in Vitamins Blog

56 votes, average: 1.00 out of 1 (56 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

 

Hari pernikahan, hari itu akhirnya tiba juga. Sebuah aula salah satu hotel berbintang di ibu kota kini telah disulap menjadi sebuah gedung pernikahan yang mewah didominasi oleh warna emas dan putih. Semua ditata sedemikian rupa tanpa cela.

Hal itu jugalah yang sempat menjadi perdebatan panjang antara Lami dan Alva. bagi Lami gedung pernikahan yang didesain dengan sangat mewah ini sama sekali bukan gayanya dan terlalu mewah untuknya. Akan tetapi bagi Alva, pernikahan yang “sedikit” mewah ini rasanya pantas bagi mereka.

Lami, aku ini Alvaro Nasution, CEO Nasution Group. Wajarlah kalau pernikahan kita harus diadakan dengan sedikit mewah, ngak ada salahnya, kan?”

Itulah yang diucapkan Alva dengan narsis dan penuh canda. Pada akhirnya Lami hanya bisa menurut saja setelah pria itu terus merayu dan membujuknya tanpa henti.

Dan di sinilah Lami berada, di dalam ruang pengantin wanita yang telah disiapkan dengan takkalah mewah serta kesan feminim yang manis. Dirinya telah didandani dengan sedemikian rupa. Gaun pengantin putih bersih yang menjuntai hingga mata kaki dengan pas, rambut yang digulung rapi dengan aksen indah, make up natural yang membingkai wajah cantiknya serta segenggam bunga mawar putih mempercantik sang pengantin wanita.

Beberapa saat lagi acara pemberkatan akan segera dilaksanakan. Hanya tinggal menunggu mempelai pria dan keluarga tiba di aula pernikahan ini. Mau tak mau senyum simpul terlukis di wajah cantik Lami.

Hari pernikahannya..

Rasanya masih seperti mimpi ia akan segera melaksanakan pernikahannya sendiri. Jangankan untuk menikah, bertemu dengan seseorang yang akan menerimanya Lami tak pernah bermimpi. Namun ternyata tuhan mendengarkan doanya. Ia akhirnya bertemu dengan Alva.

Tentu saja hubungan mereka tak berjalan lancar begitu saja. Mereka adalah dua orang yang hidup dalam dua dunia yang berbeda. Bagaimana mungkin seorang pangeran terpandang jatuh hati pada seorang rakyat jelata? Tak terhitung banyaknya pasang mata yang menggunjing dan bergosip sinis tentang hubungan mereka.

Pada awalnya pun Lami tak yakin dapat menjalani hubungan mereka. Bukan karena pandangan sinis yang terarah padanya, tetapi lebih kepada pandangan orang-orang terhadap Alva. Lami sama sekali tak peduli bagaimana orang melihatnya, toh ia telah melalui yang lebih menyakitkan dari hal tersebut, hatinya sudah cukup kebal menerima segala penghinaan.

Akan tetapi Alva sama sekali berbeda dari dirinya. Pria itu bukan orang yang semestinya dihina karena memilih seorang gadis jelata dari sekian banyak wanita kelas atas lainnya. Jelas saja hal tersebut tak pernah mengusik Alva, baginya orang-orang di luar sana sama sekali tak mengetahui dirinya hingga memiliki hak untuk mengusik pilihannya. Alva berulang kali meyakinkan sang gadis bahwa mereka tak perlu memperdulikan omong kosong yang ditimbulkan oleh orang-orang yang sama sekali tak ada hubungannya bagi mereka.

Masalah lain yang Lami pikirkan adalah keluarga Alva yang kemungkinan besar akan menolak dirinya. Namun semua itu nyatanya tak benar. Tuan Nasution dan Ny. Natasha, kedua orangtua Alva menerima dirinya dengan tangan terbuka.

Pemikiran Lami mengenai keluarga Alva yang mungkin akan menghina dan menolak dirinya menjadi kekasih putra mereka di luar pemikirannya. Malahan mereka menyayangi dirinya layaknya seorang putri sendiri. Mereka bukanlah keluarga kolot yang mengukur derajat dari harta yang dimiliki. Suatu kesyukuran lain karena dengan berada di tengah-tengah keluarga Nasution membuatnya dapat merasakan kasih sayang hangat dari sebuah keluarga yang sesungguhnya.

Bertemu dengan Alva seolah menjadi titik terang bagi dirinya yang merindukan cahaya itu. Alva menyadarkan dirinya bahwa memang benar adanya tuhan tak akan pernah melupakan satu pun hambanya. Bahwa pada akhirnya seorang Lami juga akan mendapat kebahagiannya, kebahagian yang sangat ia rindukan.

Kak Lami..” Ucapan lemah itu menyadarkan Lami dari lamunannya. Lena berdiri di ujung pintu sana. Ia terlihat tak kalah cantiknya mengenakan sebuah gaun putih gading lembut. Berdiri di ambang pintu dengan kaku. Gadis itu melangkah mendekat, namun tetap memberikan jarak di antara mereka, seolah takut membuat sang kakak kembali menunjukan kemarahannya.

Lami tanpa sadar mengerutkan keningnya. Walaupun kini gadis di hadapannya tersenyum, dirinya terlihat begitu lemah dan lelah, wajah gadis itu sembab walaupun berusaha ditutupi dengan make up.

Apa yang terjadi pada gadis ini?

Tak dapat dipungkiri bahwa bagaimanapun juga Lami tetap merasakan kepedulian pada gadis di hadapannya ini. Bagaimanapun mereka adalah sepasang saudara kembar. Perasaan terikat itu tetaplah ada, walaupun Lami berusaha untuk menghilangkannya sekali pun.

Kak Lami cantik sekali.” Suara lemah Lena kembali terdengar setelah keheningan yang lama. Gadis itu tersenyum tulus, sebuah senyum tulus tak menutupi raut kesedihan gadis itu. Lami menghela nafas perlahan, berusaha menghilangkan kepeduliannya. Ia hanya memandang Lena datar, tak berniat sama sekali menanggapi.

Selamat kak, aku turut berbahagia untuk kakak.” Lena kembali berucap dengan riang. Rasanya sakit ketika mengetahui sang kakak sama sekali tak perduli terhadapnya. Namun ia sadar bahwa dirinya memang pantas mendapatkan kebencian. Ia telah menorehkan luka yang sangat menyakitkan pada hati sang kakak.

Lami pantas untuk membencinya

Aku ingin berpamitan, kak. Besok aku akan ke Amerika, mungkin akan menetap.” Lami hanya memandang dingin. Ia merasa bodoh sempat merasa iba pada gadis ini. Ternyata dia hanya ingin menunjukan kepada dirinya kesombongan dengan pergi kemana pun ia mau, sama seperti dulu ketika gadis di hadapannya ini meninggalkannya.

Maaf, kak. Mungkin kata saja tak akan cukup, tapi aku sungguh menyesal. aku….maaf kak.” Terpatah-patah gadis itu kembali berucap, menundukan wajah untuk menutupi ekspresinya, gadis ini menyembunyikan tangisnya. Walaupun terlihat jelas bahwa ia berusaha untuk tegar. Kesedihan itu mau tak mau perlahan menyusup ke dalam hati Lami yang tak tersentuh. Bagaimanapun mereka memiliki ikatan darah yang begitu kental, ikatan persaudaraan. Mereka pernah saling menjaga, yang satu bersedih maka yang lain akan merangkul, yang satu tersakiti maka yang lain akan menyembuhkan.

Gerakan tangan Lami tanpa sadar ingin merangkul sang adik yang terlihat begitu menderita. Namun gerakan itu terhenti di udara. Dinding itu kembali terbentuk untuk menahannya, dinding hati untuk menghalau segala luka masa lalu. Kepedihan itu kembali mendinginkan hatinya, mengingat bahwa gadis di hadapannya ini juga merupakan salah satu penoreh luka terdalam bagi dirinya.

Pada akhirnya mereka hanya saling terdiam dengan kesunyian yang menyesakan. Tanpa kata, hanya menyisahkan kebisuaan “Semoga kakak bahagia” Lena mendongak, tersenyum disela tangis yang berusaha ia tutup.

Ada apa dengan gadis di hadapannya ini? Lami terus membatin dengan bingung. Tak dapat menghilangkan rasa penasaran dalam benaknya. Lena bukanlah gadis cengeng yang akan menangis ketika hanya terluka sedikit. Ia adalah gadis yang menghadapi dunia dengan senyum dan keceriaan seolah kebahagiaan tak ingin meninggalkannya sendirian, sangat berbeda dengan dirinya.

Tersenyum kecut, Lami hanya mengganguk seadanya. Merasa semakin tak nyaman dengan suasana yang kian terasa menyedihkan.

Lena memballikkan badannya perlahan, bersiap beranjak dari ruang pengantin wanita sang kakak.

Ini yang terbaik……

Kakaknya telah menemukan kebahagiaannya dan ia hanya perlu melangkah menjuah dari hidup sang kakak, karena jelas ia sama sekali tak berada di dalam kebahagiaan itu.

Brak….

Gebrakan pintu yang cukup keras itu mengalihkan pikiran Lami dan Lena yang sebelumnya berkelana jauh. Di ujung pintu sana Kafi tersenggal-senggal mangatur nafas, wajah pucat pasinya terlihat jelas, sebuah ekspresi yang sangat jarang ditunjukan oleh raut dinginnya.

Lami, Alva kecelakaan..”

Lena memekik, tak dapat menahan keterkejutannya atas berita yang sama sekali tak terpikirkan olehnya.

Perkataan itu menarik Lami secara paksa, menarik hatinya tanpa ampun.

Tidak mungkin….tidak mungkin…..tidak mungkin….

Lami menutup telinganya, menggeleng kuat-kuat seolah perkataan Kafi tadi hanya manifestasi dari pikirannya. Namun perkataan pria itu terasa semakin nyata, mencekiknya dengan perlahan.

Tidak…tidak..tidak.” Seperti mantra, Lami terus berusaha meyakinkan hatinya. Dia hanya bermimpi buruk, dia akan segera bangun, dia akan bangun, dia pasti bangun dari mimpi buruk ini.

Lami..” Pria itu mendekat perlahan, menopang bahu Lami yang gemetaran. Berusaha mengembalikan kesadaran sang wanita yang kini diliputi ketakutan yang tak tertahankan.

Lami dengar…semuanya akan baik-baik saja, oke?” Kafi mengguncang bahu itu perlahan. Lami tetap memejamkan mata seolah jika ia membukanya maka dirinya akan terhempas. Air mata itu perlahan mengalir semakin deras, Lami tak ingin mendengarkan, ia hanya ingin terbangun dari mimpi buruk ini.

Siapa saja tolong bangunkan aku….kumohon…..

Lami kumohon dengarkan…Alva adalah pria yang kuat, ia tak akan meninggalkanmu…ia tak mungkin meninggalkanmu. Kau percaya padanya, bukan?”

Kak Alva tak akan meninggalkannya

Lami perlahan membuka kedua bola matanya, bertatapan dengan netra tajam Kafi yang kini berusaha meyakinkannya dengan tulus.

Tanpa sadar gadis itu mengganguk, meyakinkan dirinya bahwa tak mungkin kekasihnya meninggalkannya.

Kak Alva tak akan meninggalkanku..

 

***

 

Lami menautkan tangannya dengan cemas, perjalanan menuju rumah sakit terasa begitu menyiksa detik demi detiknya. Begitu pula dengan Kafi yang kini menyetir dan Lena yang duduk di samping Lami, mereka tak dapat menyembunyikan raut teggang dan khawatir.

Acara pemberkataan pernikahan yang seharusnya membahagiakan menjadi kesedihan dan ironi yang menyakitkan. Berita kecelakaan Alva beserta kedua orangtuanya di perjalanan menuju gedung berhembus cepat. Beberapa keluarga pun ada yang langsung menuju rumah sakit.

Sesampainya di rumah sakit, Lami dengan setengah melompat keluar dari mobil dan berlari dengan cepat menuju ruangan tempat Alva dan kedua orang tuanya menjalani operasi. Tak dipedulikan lagi pandangan aneh dan ingin tahu orang-orang melihat dirinya yang berlarian dengan gaun pengantin.

Langkah itu terasa berat ketika dirinya telah berada di lorong ruangan operasi. Tante Serena, adik dari ibu Alva meraung dengan kesedihan yang tak tertahankan dengan menyebut nama sang kakak dan kakak iparnya. Ketika akhirnya seorang dokter mengatakan bahwa kedua orang tua Alva tak dapat diselamatkan.

Lami memejamkan kedua netra kelam itu, tetes demi tetes air mata terus mengalir, rasa sesak yang mengiris hatinya mengetahui kedua orang tua Alva, kedua orang tua yang sangat menyayangi dan disayanginya telah pergi. Masih diingatnya dengan jelas betapa Mama Natasha memperlakukannya seperti putri sendiri dengan penuh kasih seorang ibu, serta Papa Nasution yang menjaga dan dengan penuh canda menemani hari-harinya. Mereka berdualah yang membuat Lami dapat merasakan kasih sayang kedua orang tua yang sangat tulus, hal yang ia kira tak dapat dirasakannya lagi, kasih sayang tulus dari kedua orang tua.

Bagaimana dengan kondisi Kak Alva?

Mau tak mau perasaan mencekam itu kembali mencekiknya. Ketakutan akan apa yang terjadi kepada sang kekasih. Degupan jantung yang menderu semakin cepat seolah menipiskan nafas yang semakin lama semakin sesak.

Plak…

Kesadaran Lami seolah ditarik begitu merasakan tamparan keras yang tak tanggung-tanggung diarahkan padanya. Dihadapanya Serena, adik dari Mama Natasha menatapnya nyalang penuh kemarahan.

Ini semua karenamu, wanita jalang. andai saja kau tak mengusik kehidupan Alva, kakak dan kakak iparku tak akan merenggang nyawa seperti ini.” Kesedihan yang nyata terlihat jelas dari raut wajah Serena. “Dan sekarang Alva berada di sana berjuang menghadapi maut. Apakah ini yang kau inginkan, huh? mengacaukan hidup Alva? Kau wanita pembawa sial..kau yang seharusnya mati..KAU..”

Lorong ruang operasi itu menjadi saksi bisu kemarahan dan juga kesedihan Serena. Rangga, suami Serena serta beberapa sanak keluarga langsung berusaha menenangkan Serena manakalah dirinya kini seolah lepas kendali diliputi kemarahan yang pekat. Berbagai sumpah serapah dari Serena terus terlontar untuk Lami, gadis yang dianggapnya sebagai penyebab kematian tragis sang kakak dan kakak ipar, begitu pula dengan sang keponakan yang kini tengah berjuang untuk selamat dari maut.

Ini kesalahannya….memang kesalahannya

Andai saja pernikahan ini tak terjadi, andai saja Alva tak pernah bertemu dengannya, maka semua ini tak akan terjadi. Seharusnya ia dan Alva tak perlu bertemu, Alva seharusnya tak bertemu dengan gadis pembawa sial seperti dirinya, maka nasib sial tak akan pernah menghampiri pria itu.

Ia seharusnya tak pernah bertemu dengan Alva. Bagaimana mungkin ia berpikir bahwa semuanya akan baik-baik saja? semuanya tidak akan baik-baik saja pada akhirnya, dan semua itu karenanya.

Maafkan aku Kak Alva…maaf……

Dengan sigap Kafi menopang tubuh Lami yang limbung. Melihat gadis itu begitu lemah seolah kehilangan kehidupannya terasa menyakitkan. Pria itu pun sama sekali tak menyangka bahwa sahabat dan kedua orangtuanya mengalami kecelakaan tragis seperti ini. Semakin menyakitkan manakala seharusnya hari ini menjadi hari membahagiakan sang sahabat.

Lami…kumohon…kuatlah.” Kafi berucap lirih, menguatkan. Walaupun pada dasarnya ia juga merasakan sakit, kesedihan, dan kekacauan yang sama. Mengetahui bahwa kehidupan sahabat yang bahkan sudah menjadi saudara yang sangat disayangi dan menyayanginya berada dalam ruang operasi dingin untuk berjuang hidup setelah mengalami kecelakaan tragis. Namun ia sadar bahwa ia juga tak bisa larut dalam kesakitan ini. Melihat gadis yang kini berada dalam topangannya begitu lemah tak berdaya, gadis ini lebih membutuhkan topangan dan sadarannya.

 

***

1 jam……

2 jam……

6 jam……

Detik demi detik terasa menyiksa disetiap detakannya, membuat suasana lorong ruang operasi ini semakin dingin. Terlihat Serena yang kini telah jauh lebih tenang menunggu sang keponakan penuh pengharapan. Sang suami kini tak terlihat lagi dikarenakan kesibukannya untuk mengurus segera proses pemakaman kakak ipar dan suaminya. Di ujung yang lainnya dengan harapan yang sama terlihat Lami turut menunggu. Dengan gaun pengantin yang masih melekat di tubuhnya.

Begitupun dengan Kafi dan Lena yang juga tetap menunggu jalannya operasi itu. Mereka pun tetap mengenakan pakaian yang sama, menunggu dalam diam dengan kecemasan yang tak terbendung. Hanya suara detakan jam yang mengusir kesunyian lorong ini, detakan yang setiap detiknya terasa menyiksa.

Kakak minum dulu yah?” Lena berujar pelan memecah keheningan, menyodorkan air mineral kepada sang kakak yang duduk tak bergeming di sampingnya. Ia begitu cemas dengan sang kakak yang untuk minum pun tak bergeming. Namun seperti yang sudah-sudah, sang kakak hanya menggeleng pelan, tetap pada posisinya. Lena hanya mampu menghela nafas perlahan atas penolakan sekian kali sang kakak. Sepertinya sang kakak tak akan bergerak sampai operasi Alva selesai. Pada akhirnya mereka semua hanya terduduk diam, menunggu dalam diam.

Gerakan perlahan pintu ruang operasi yang terbuka itu tanpa sadar membuat mereka menoleh ke arah pintu. Terlihatlah beberapa dokter yang keluar dari ruangan itu dengan raut wajah lelah yang tak dapat ditutupi

Bagaimana kondisi keponakan saya, dok?”

Maafkan kami, keponakan anda tak dapat diselamatkan”

Seketika pandangan Lami menggelap, semuanya lenyap.

 

***

Kak Alva!?”

Lami berseru cepat, berlari begitu melihat sosok pria itu kini berada di sebrang hamparan rumput hijau yang membentang luas diantara mereka. Lami terus berlari, kebahagiaannya membuncah mana kala sosok Alva terlihat disana, dengan senyum cerah seolah menunggunya.

Namun walaupun terus berlari dan berlari, jarak di antara mereka tak mendekat juga, seolah Lami berlari pada hamaparan rumput yang tak berujung. Hingga sosok Alva dihadapannya pun menghilang begitu saja.

Langkahnya langsung terhenti, netra coklatnya memindai sekitar, sosok Alva yang tersenyum cerah kini tak terlihat lagi dihadapannya. Kecemasan langsung membanjiri dirinya, membuat tubuhnya gemetar penuh ketakutan.

Lami..” Lami berbalik dengan cepat, suara itu adalah suara Alva, lirihan yang manggilnya. Dan sosok itu kini berada di belakangnya, berdiri beberapa meter tepat di belakangnya. Sosok pria dengan senyum yang sama, senyum yang selalu membuatnya merasa tenang.

Kak Alva..” Lami berucap tak kalah lirihnya, suaranya tercekat, masih tak menyangka bahwa sosok di hadapannya ini benar adalah Alva, pria yang ia pikir tak akan lagi dilihatnya.

Kamu sangat cantik, pengantinku yang sangat cantik.”

Alva tersenyum lembut, pandangannya terpaku kepada sosok pengantinnya yang kini terlihat begitu cantik dan bersinar, sangat indah.

Lami balas tersenyum, kebahagiaannya kini terasa begitu nyata melihat kembali sosok kekasihnya berada tepat dihadapannya, tersenyum dan memujinya.

Aku senang bisa melihat kakak. Kita harus pulang, semua orang mencemaskan kakak.”

Lami mendekat, kini ketakutannya dan kecemasannya telah sirna, Alvanya baik-baik saja, hanya itu yang terpenting saat ini.

Namun gerakan tangan gadis itu yang ingin menggengam tangan sang kekasih tak dapat ia lakukan, seolah sosok dihadapanya tertembus layaknya bayangan yang tak tergapai.

Lami tercekat, seolah apa saja yang baru terjadi membekukannya. Gadis itu terpana, memandang tak mengerti kepada sosok yang kini berada dihadapannya.

Sayang, aku ingin kamu berbahagia..aku–.”

Kumohon kak jangan katakan…kumohon ikutlah bersamaku..kumohon kak…” Setetes demi tetes buliran air mata kini mengalir dari netra coklatnya, berusaha untuk mengeyahkan segala pikiran-pikiran buruk yang silih berganti terbayang terus-menerus.

Lami dengarkan aku..semuanya akan baik-baik saja, oke? Aku janji suatu saat kita akan bertemu dan kembali bersama, kau percaya padaku kan, sayang?”

Kalau begitu bawa aku pergi, kak. Aku ingin ikut bersamamu, aku ingin bersamamu..kumohon..”

Aku janji suatu saat kita akan kembali bersama, tapi tidak hari ini sayang, kau punya banyak hal yang menunggumu disana.”

Lami menggeleng, berusaha kembali menggapai sang kekasih, namun hasilnya tetap sama, seolah Alva adalah hanya bayangan tak tersentuh.

Tangis gadis itu semakin menjadi-jadi, menyayat hati siapapun yang mendengarkan. Ketakutan untuk kembali ditinggal oleh sang kekasih, ketakutan mengetahui bahwa mungkin inilah saat terakhir pertemuannya dengan sosok dihadapannya, pria yang dicintai dan mencintainya.

Jangan menangis…kau adalah gadis yang kuat. Kau pasti bisa menjalaninya. Berbahagialah sayang,…”

Sosok dihadapannya perlahan menghilang, menyisakan luka yang kembali mengirisnya. Kini kekasihnya benar-benar telah pergi, meninggalkannya selama-lamanya.

Kak Alva jangan pergi!…kumohon jangan pergi…Kak Alva…Kak Alva!!!…..”

 

***

Jangan pergi..Kak Alva.. KAK ALVA!!..”

Jeritan histeris memenuhi ruang rawat itu, Lami menangis meraung tak tertahan. Lena yang berada disisi ranjangnya berusaha menenangkan, memeluk sang kakak yang terus menjerit kehilangan kendali.

Kak, jangan begini..kumohon..kakak harus kuat..” Lena memeluk sang kakak erat, menenangkan. Melihat saudari kembarnya kini menangis meraung dengan luka yang mendalam juga menyayat hatinya, seharunya hari menjadi hari yang penuh kebahagian bagi sang kakak, hari pernikahan yang membahagiakan. Kakaknya tak sepantasnya menanggung kesakitan yang teramat menyiksa seperti ini, seharusnya tidak seperti ini.

Pintu ruang inap itu perlahan terbuka, Kafi berdiri diujung sana. Menatap nanar pada pemandangan di hadapanya, menyaksikan Lami menjerit dalam tangis yang tak terbendung seolah kehilangan kedalinya.

Lihatlah apa yang telah kau tinggalkan, mengapa kau harus pergi seperti ini Alva..?

Pria itu tanpa sadar menutup kedua netra tajamnya, menahan gejolak kesakitan yang ia rasakan seiring tangis gadis itu yang terus menyayat. Demi tuhan gadis di hadapannya kini telah mengalami hari-hari yang berat disepanjang hidupnya, tak dapatkah ia berbahagia sekali saja? Ia juga tak tahu apa yang harus dilakukan sekarang, ia sama pun begitu kacau, sakit, dan terluka. Melihat Alva saudara dan sahabatnya, terbujur kaku mengoyak hatinya. Melihat Lami, menangis meraung dengan kesakitan yang nyata juga menghancurkan hatinya. Ia juga ingin berteriak marah, menyalahkan takdir yang memporak-porandakan kehidupan ini, semuanya terasa begitu salah dan tak adil. Tapi ia bisa apa? Dirinya bisa apa melawan takdir kejam ini? Semuanya memang terasa tak adil, begitu tak adil hingga terasa mencekik, tapi ia bisa apa?

Apa yang bisa ia lakukan…???

 

***

Pulanglah Lena, kau juga butuh beristirahat.” Kafi bergumam pelan, mengalihkan perhatian Lena yang terus terpaku kepada sang kakak yang kini tertidur lelap setelah menangis hebat

Aku tidak apa-apa, aku masih ingin menemani Kak Lami.” Tanpa bergeming Lena berucap lirih, dengan pandangan terpaku kepada sang saudari kembar yang terlelap dengan masih mengenakan gaun pengantin. Lami masih mengenakan gaun yang sama, gadis itu tak ingin mengganti gaun yang ia kenakan, seolah ia masih menyimpan sebuah harapan semu bahwa yang ia alami hari ini hanyalah sebuah mimpi, bahwa sang kekasih pada akhirnya akan tetap berada bersamanya melangsungkan pernikahan sakral mereka.

Tanpa sadar perlahan isakan kesedihan Lena yang ia tahan sedari tadi akhirnya keluar juga, ia sama sekali tak menyangka hari yang seharusnya menjadi hari yang membahagiakan bagi sang kakak malah menjadi sebuah hari yang penuh dengan ironi yang menyedihkan

Seharusnya tidak seperti ini..seharusnya Kak Lami tidak seperti ini….” Lena terus terisak, tangisnya semakin terdengar pilu mana kala melihat sang saudari kembar kini terbaring lemah tak berdaya, tak bisakah kakaknya berbahagia? Mengapa tuhan memberikan skenario kehidupan yang begitu menyakitkan kepada sang kakak? Seharusnya tidak seperti ini.

Memang tidak seharusnya seperti ini..tapi kita bisa apa? Apa yang bisa kita lakukan?..Kau saat ini sangat kacau..kau juga butuh istirahat..pulanglah dan beristirahat..”

Kalau Kak Kafi ingin pulang, pulanglah. Aku tidak apa-apa. Aku akan tetap disini menjaga Kak Lami.” Lena tetap bergeming, tetap bersikeras dengan keinginannya.

Lihatlah dirimu sekarang Lena, kau butuh istirahat. Kau butuh menjaga kesehatanmu untuk menjaga Lami.”

Kakak juga harus melihat diri kakak. Kakak sama kacaunya denganku.” Lena menghela nafas perlahan sebelum melanjutkan perkataannya “Kak..Lami adalah saudariku, keluargaku. Sudah seharusnya aku menjaganya…lagipula sudah cukup aku terus meninggalkannya selama ini…kali ini biarkan aku menjaganya..aku ingin menjaga kakakku.”

Tapi kau tetap butuh istirahat, Lena. Setidaknya makan dan tidur sejenak.”

Lena memandang sosok pria dihadapannya, sosok yang kini juga terlihat begitu kacau, walaupun berusaha ditutupi dengan raut dingin tak terbacanya. Kami berdua sama kacaunya.

Baiklah, aku akan pulang.” Ada jeda sejenak sebelum Lena melanjutkan perkataanya. “Aku akan makan dan membersihkan diri, juga mengambil beberapa pakaian untuk Kak Lami, setelahnya aku akan kembali kesini, menginap dan menjaga Kak Lami” Lena memandang pria dihadapannya. “Dan setelah itu Kak Alva juga harus pulang dan berisitirahat, kakak juga membutuhkannya.”

Lena perlahan bangkit dari duduknya, pandangan tertuju pada sang saudari kembar, menghela nafas perlahan. Sebelum akhirnya melangkahkan kakinya untuk keluar dari ruang inap rumah sakit ini.

 

***

Kakak lebih baik kembali ke atas, taxi sebentar lagi akan datang.” Lena berucap pelan, memecah keheningan malam yag dingin diantara dirinya dan Kafi. Pria itu bersikeras menemaninya untuk menunggu taxi yang akan menjemputnya. Dan disinilah mereka, menunggu taxi di depan rumah sakit ini.

Aku akan naik setelah taxinya datang.” Kafi berucap datar, pandangannya tertuju lurus ke depan, walaupun terlihat memperhatikan satu titik, tetapi pikiran itu seolah tak ada disana, sebuah pandangan yang kosong.

Pasti sangat berat untuk Kak Kafi

Tentu hal yang berat buat sosok disampingnya ini. Kehilangan sahabat sekaligus saudaranya. Semuanya terjadi begitu cepat dan tak diduga-duga. Tak ada yang menyangka bahwa hari yang seharusnya menjadi hari yang penuh suka cita dan kebahagiaan malah berakhir tragis seperti ini.

Taxinya sudah datang.” Lena kembali memecah keheningan, melihat taxi yang ia tunggu telah tiba. “Aku akan kembali segera, aku titip Kak Lami untuk sementara, kak.” Lena kembali berucap sebelum memasuki taxi itu, kembali memandang sosok di sampingnya ini, yang dibalas anggukan sekilas dari pria itu.

 

***

 

Kafi termenung sejenak, memandang terpaku pada segelas kopi mengepulkan asap hangat yang kini ada di hadapannya. Ia memutuskan untuk setidaknya meminum segelas kopi sebelum ia kembali ke ruang rawat inap Lami.

Ia kini terduduk disalah satu kursi kantin rumah sakit itu, merenung dalam diam. Perlahan demi perlahan ingatan kembali memutar kenangan dengan Alva dan keluarganya. Ia dulu hanyalah anak seorang supir pribadi serta pembantu rumah tangga Keluarga Nasution. Dari kecil ia dibesarkan dalam lingkungan tersebut.

Keluarga Nasution bukanlah keluarga kolot yang memandang harta sebagai pembatas hubungan manusia. Mereka menyekolahkannya, memperlakukan keluarganya seperti keluarga sendiri. Ia menjadi dekat dengan Alva, sosok teman yang jahil namun bersahabat.

Ibunya meninggal karena sakit diusianya yang ke-15, Ayahnya menyusul dua tahun kemudian, beliau mengalami kecelakaan ketika menyetir di malam dengan hujan deras. Ia kehilangan keluarganya diusia yang masih muda, namun begitu Keluarga Nasution menjaganya dengan penuh kasih sayang. Tn. dan Ny. Nasution bahkan memberikannya kasih sayang selayaknya orangtua kepada anak-anaknya, hal itu membuat ia tak merasa sendirian dan kesepian, membuatnya merasa bersyukur masih bisa merasakan kasih sayang keluarga walaupun ibu dan ayahnya telah meninggal. Alva pun menganggap dirinya sebagai seorang sahabat sekaligus saudara, hal yang ia juga tak menyangka bisa didapatkannya.

Dan kini ia kembali merasakan kehilangan keluarga. Keluarga yang menopang hidupnya dari keterpurukan, dan kali ini ia benar-benar telah kehilangan semua keluarganya.

 

***

 

Netra coklat kelam itu perlahan mengerjap, menyesuaikan cahaya yang terasa menembus penglihatannya. Setelah menyesuaikan diri, perlahan ia memandang sekeliling, berusaha mengembalikan ingatannya yang kini tumpang tindih.

Hari pernikahannya

Kak Alva, Papa Nasution dan Mama Natasha kecelakaan…..Semuanya meninggal

Rasa sesak itu kembali mencekat Lami, ketika ingatannya kembali utuh sepenuhnya. Nafas yang ia keluarkan terasa begitu berat pun dengan tubuhnya yang kembali gemetaran menahan sesak yang mencekiknya.

Ia berusaha bangkit dari tidurnya, mengatur nafas yang tak beraturan. Ia melihat tubuhnya yang kini masih dibalut oleh gaun pengantin dengan cincin permata indah yang menghiasi jari manisnya. Tangis itu kembali datang mana kala memori-memori kesakitan itu semakin nyata terpatri di hadapannya. Tangan itu gemetaran berusaha meredam tangis yang tak kunjung berhenti. Berusaha menahan gejolak di dadanya yang terasa semakin menyakitkan.

Perlahan jemarinya digerakan, berusaha membuka jarum infus yang kini menusuk nadinya, tak memperdulikan darah yang mengucur mana kala jarum itu terlepas dari nadinya. Ia perlahan bangkit, sekuat tenaga menopang dirinya untuk tetap berdiri tegak.

Ia berjalan pelan, menggapai knop pintu ruang inap tersebut. Pintu pun terbuka, memperlihatkan lorong rumah sakit yang cukup lenggang. Dengan masih menahan gemetar, Lami melangkah keluar, menutup pintu di belakangnya dengan gemetar. Berjalan terseret-seret tak peduli dengan kakinya kini bersentuhan langsung dengan lantai rumah sakit yang terasa begitu dingin.

Ia ingin segera keluar dari rumah sakit ini, lari sejauh mungkin dari tempat ini. Langkahnya ia percepat, menyeret kakinya untuk melangkah lebih cepat. Tak dipedulikan lagi kakinya yang kini tergores kerikil kecil begitu berada di area luar rumah sakit. Dengan cepat ia menahan sebuah taxi, setengah melompat memasuki taxi tersebut.

Blue Sky Apartement.” Dengan gemetaran Lami mengucapkan alamat tujuannya, berusaha sekuat tenanga agar tangisnya tak keluar lagi, menggigit bibirnya hingga mengucurkan darah segara agar tangis yang ia tahan tak keluar.

Ia tak tahan berada di rumah sakit itu, ia tak ingin menerima kenyataan bahwa Alva beserta keluarganya tak lagi berada di dunia ini. Lami menggeleng perlahan, berusaha mengenyahkan kenyataan yang seolah menusuk dirinya sekuat tenaga. Ia tak tahan lagi, Ia akan menemui Alva.

Aku akan menemuimu, Kak…

 

***

Kafi menghela nafas kasar, mengembalikan pikirannya yang tanpa sadar mengenang memori-memori tentang keluarganya. Ia bangkit perlahan, melangkah kembali menuju ruang inap tempat Lami dirawat.

Pandangannya kini terpaku pada pintu ruang inap tempat Lami beristirahat. Sejujurnya ia tak sanggup melihat kondisi gadis itu yang nyaris gila akibat kejadian tragis ini. Mengapa ketika gadis itu ingin menggapai kebahagiannya justrul kesakitan yang ditemuinya. Ia bahkan telah berusaha ikhlas gadis itu meraih kebahagiaan dengan sahabatnya, bukan dirinya. Asalkan gadis itu baik-baik saja dan tersenyum bahagia maka ia tak akan lagi meminta lebih, ia akan sangat bersyukur dengan itu.

Tapi kini gadis itu telah kembali mendapatkan luka yang semakin melebar dalam dirinya. Membuat gadis itu kehilangan separuh jiwanya hingga nyaris kehilangan kewarasannya.

Mengapa seperti ini..?? Apa sebenarnya rencanamu, Tuhan..??? Apa yang harus kulakukan….

Kafi kembali menghebuskan nafas perlahan, berusaha mengembalikan fokus dirinya. Dengan perlahan memutar knop pintu ruang tersebut. Dirinya langsung menegang ketika tak melihat Lami terbaring di ranjang, yang kini hanya menyisakan selimut yang terkisap.

Lami kau ada di dalam?” Kafi menggedor pintu toilet di dalam ruangan itu, tempat pertama yang terpikirkan olehnya. Namun tak ada sahutan di sebrang sana, hingga Kafi membuka pintu itu cepat, dan hasilnya kosong, Lami tak berada di sana.

Ia berjalan keluar dengan cepat, menuju meja perawat yang berjaga di lorong itu. “Pasien di kamar 302 tidak ada, apa anda melihatnya?” Kafi dengan gusar bertanya. “Maaf, kami tak melihat ada pasien yang keluar dari lorong ini.” Suster itu menjawab sigap.

Ia mengenakan gaun pengantin, apa anda tidak melihatnya?” Kafi kembali bertanya diliputi kecemasan yang nyata. “Ah..gadis dengan gaun pengantin?” Suster itu terlihat kaget. “Saya melihatnya berjalan dari lorong ini menuju ke arah luar, tapi saya kira bukan pasien karena mengenakan gaun..Astaga maafkan saya seharusnya saya ..-”

Sebelum suster itu menyelesaikan kata-katanya, Kafi sudah berjalan dengan cepat ke area luar rumah sakit. Menuju ke arah parkiran dan dengan cepat menaiki mobilnya.

Lena, Lami kabur dari rumah sakit.” Tanpa basa-basi Kafi berucap cepat ketika menghubungi Lena, dengan sebelah tangan menyalakan mesin mobilnya.

Apa!? Lami kabur? Bagaimana bisa?” Dengan tak kalah kagetnya Lena menyahut.

Aku minta maaf, aku juga tak menyangka Lami kabur.” Kafi memutar mobilnya cepat, melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi. “Lami..ia menuju ke apartement Alva..kita harus segera kesana!”

Aku..aku akan kesana segera” Lena kembali berucap, dan panggilan telepon itu terputus.

Pria itu kembali melajukan mobilnya dengan semakin cepat. Ia harus segera ke sana, ia bahkan tak berani membayangkan apa yang akan dilakukan Lami. Dia tak akan membiarkan gadis itu melakukan suatu yang buruk pada dirinya sendiri, tidak akan.

Kumohon Lami..jangan lakukan hal yang bodoh…kumohon……jangan…

 

***

Lami kini berdiri tepat di depan pintu kamar apartement Alva, dengan perlahan menekan tombol-tombol password apartement tersebut. Pintu itu perlahan terbuka, dan lampu-lampu dengan otomatis menyala menerangi ruangan itu.

Gadis itu melangkah masuk dan kenangannya langsung menyeruak mana kala melihat figura-figura foto dirinya dan Alva menghiasi dinding-dinding itu, memaksanya untuk kembali dalam memori-memori indah yang pernah mereka lalui.

Jemari lentiknya perlahan menyentuh salah satu figura, dimana memperlihatkan dirinya dan Alva tersenyum bahagia bersama murid-muridnya di taman kanak-kanak. Saat itu ulang tahun sekolah, dan Alva datang membawa berbagai mainan dan makanan yang membuat murid-muridnya begitu dipenuhi keceriaan.

Netra itu kemudian tertuju pada salah satu figura lainnya yang memperlihatkan dirinya dan Alva menikmati kencan mereka dengan piknik di taman berbukit. Saat itu mereka merayakan ulang tahunnya lebih awal. Alva dengan polosnya lupa bahwa ulang tahunnya sebulan lagi dan malah merayakannya sebulan lebih cepat. Pria itu bahkan sudah menyiapkan kue ulang tahun dan makan malam indah di tengah-tengah taman. Lami bahkan berpura-pura ngambek karena Alva melupakan bulan ulang tahunnya yang membuat pria itu kalang kabut membujuknya.

Melangkah perlahan, kni pandangannya kembali tertuju pada sebuah figura yang terlihat lebih menonjol karena memiliki bingkai berbeda, bingkai putih dengan ukiranan yang indah. Di sana hanya ada foto dirinya tersenyum cerah memandang langit yang kini berwarna jingga pertanda matahari sebentar lagi akan terbenam, ia mengenakan sebuah gaun sederhana, membiarkan kakinya menginjak hamparan pasir putih dengan air laut yang bergulung perlahan, itu sebuah pantai.

Foto itu diambil oleh Alva secara diam-diam, bahkan ia baru mengetahuinya ketika foto itu telah terpajang sempurna di dinding ini. Di foto itu terdapat tulisan tangan sederhana tepat diujung kanan bawah, sebuah coretan pena yang selalu membuatnya tersenyum.

Terima kasih karena telah menjadi kebahagiaanku.

Dengan gemetar jemari itu perlahan menyetuh tulisan sederahan pria itu, rasa sesak langsung menghinggapinya, menekan hatinya semakin kuat. Tanpa sadar buliran air mata yang sedari tadi ditahannya untuk keluar akhirnya menetes juga. Untuk pertama kalinya ia menangis melihat tulisan itu.

 

***

 

Kafi dengan tegang berusaha memfokuskan dirinya menyetir dengan menambah kecepatan mobil hingga mencapai kecepatan maksimal. Tak dipedulikannya lagi beberapa pengendara yang mengklakson sebagia tanda peringatan kepada dirinya yang mengemudi dengan kecepatan penuh yang bisa membahayakan siapa saja. Yang saat ini ia pikirkan adalah untuk sampai secepat mungkin di apartement Alva tempat Lami kini berada.

Kini moblinya telah berada di area parkir apartement itu, memparkir mobilnya dengan cepat dan bergegas keluar. Ia setengah berlari menuju lift, menekan lantai sembilan kamar Alva. Menunggu dengan cemas, akhirnya lift itu pun terbuka. Dengan cepat ia masuk menunggu dengan tidak sabar. Kafi berlari cepat, melewati koridor-koridor lantai sembilan. Tergesa-gesa menuju kamar apartement Alva.

Kamar 927, kamar 927, kamar 927

Hanya kata-kata itu yang terus terulang di kepalanya, menemukan kamar 927 kamar Alva. Ketika berada di area koridor kamar Alva, langkahnya semakin dipercepat.

Kamar 927

Pria itu menekan tombol password kamar itu, membukanya dengan kasar. Lampu ruangan apartement itu menyala dengan otomatis, memperlihatkan ruang apartement dengan jelas.

Tak ada Lami di sini…

 

***

Kini Lami tengah berada di dalam ruang kerja Alva, ruang favorit pria itu dimana ia akan memfokuskan dirinya dengan lembaran-lembaran tentang perusahaan. Ketika pria itu berada disini ia akan sangat fokus, bahkan ketika dirinya berkunjung pria akan tetap fokus pada pekerjaannya. Di sinilah Lami akan terus menggangu Alva dengan keributan-keributan yang diciptakannya, mereka bahkan terkadang bermain sebuah permainan dimana Alva harus bertahan dengan tetap fokus pada pekerjaannya dan Lami yang akan terus menggangunya.

Permainan ini lebih sering dimenangkan Lami dengan Alva yang pada akhirnya tak bisa berfokus dan menyerah. Yang pada akhirnya akan membuat Gadis itu tertawa jahil, disusul tawa Alva. Mereka akan tertawa bahagia bersama-sama.

Gadis itu perlahan berbalik, sebuah cermin tepat berada di belakangnya. Kini ia berdiri tepat di depan cermin besar yang memantulkan bayangan dirinya mengenakan gaun indah terjuntai pas di tubuhnya, gaun pengantin cantik yang memancarkan aura gadis sederhana nan anggun. Namun kecantikan gaun itu tak terpancar sama sekali pada paras yang kini menatap kosong ke arah pantulan dirinya, sebuah pandangan kosong yang menyayat hati, tatapan yang hanya dimiliki oleh seseorang yang tak memiliki raga di dalam dirinya. Jemari lentik itu bergerak perlahan, dengan gemetaran gadis itu menyentuh cermin di hadapannya.

Mengapa kau tega melakukan ini kak?”

Perkataan menyayat hati bergaung di ruangan senyap yang terasa dingin. Seharusnya kini dia berbahagia dengan keluarga barunya, kehidupan barunya. Pandangan kosong itu perlahan berubah menjadi sebuah pandangan kemarahan dan kekecewaan. Takdir ini mempermainkannya, dia sudah melewati takdir kejam yang meremukan jiwa dan raganya, tapi dia bertahan, dengan sebuah harapan bahwa takdirnya akan berubah di kemudian hari. Bukankah kehidupan ini adalah roda yang terus berputar? Lalu mengapa kehidupannya tak berputar juga? Mengapa tuhan selalu membuat hidupnya terasa begitu berat? Kalau memang tuhan itu ada, apakah dia tak melihat dirinya dan menganggap bahwa dia adalah makhluk yang tak penting, sama seperti orang lain yang melihatnya.

Disapukannya pandangan kosong itu ke seluruh penjuru ruangan itu. Sebuah ruang apartement yang menyimpan berbagai kerinduan. Langkahnya perlahan terarah menuju balkon. Hembusan angin malam yang menusuk kulit tak memudarkan langkahnya untuk berdiri berpeganggan pada pembatas balkon yang memperlihatkan gemerlap malam ibu kota dari lantai sembilan ini. Dia sudah bertahan sejauh ini, bertahan dan menjalani kehidupan dimana dia tak punya pilihan lain selain menjalani semuanya.

Jika aku mati apakah aku akan bertemu kakak?

Kaki jenjangnya dengan perlahan melangkah melewati pembatas balkon, berdiri di luar pembatas tanpa terlihat takut atau pun gentar dengan dirinya yang bisa terjatuh kapan saja. Dia sudah muak dengan terus berharap kepada tuhan, dia sama sekali tak menginginkan kemewahan atau pun segala keindahan dunia, dia hanya ingin bersama dengan orang yang disayanginya dan menyayanginya, sesederhana itu. Kalau memang tuhan tak bisa meengabulkan permintaannya yang sederhana itu, dia lebih baik melenyapkan dirinya.

Aku merindukanmu kak……..

Aku ingin menemuimu………

Genggaman pada pembatas itu perlahan meengendur, tubuh itu perlahan terhempas, membawa dirinya ke dasar kegelapan, kegelapan yang begitu indah. Dia akan bertemu dengan sang kakak, pemikiran itu membuatnya tersenyum, senyum indah sang pengantin wanita.

Aku mencintaimu kak………..

 

***

Dengan cepat Kafi mencari, membuka pintu demi pintu ruang apartement tersebut. Ketika pada akhirnya ia membuka pintu ruang kerja Alva, netra tajam itu dengan cepat memindai. Ruangan itu juga kosong namun pintu menuju balkon terbuka lebar, menghembuskan hawa dingin yang mencekam.

Pria itu berjalan perlahan, jantungnya berdetak semakin cepat seiring dengan semakin dekatnya ia menuju balkon. Dengan gemetaran pria itu menyentuh pagar pembatas yang terasa begitu dingin. Pria itu perlahan menundukan kepalanya, berusaha mengenyahkan segala pikiran buruk yang silih berganti menghantuinya.

Namun pemandangan dibawah sana menamparnya dengan keras. Di bawah sana dari kejauhan terlihat jelas sosok yang terbujur kaku, gaun pengantin putih yang dikenakannya kini menyaru dengan pekatnya merah darah yang mengalir. Terlihat orang-orang mengerubuni sosok tersebut dengan kaget bercampur kepanikan dan kebingungan, menyaksikan kengerian yang mencekam mana kala melihat tubuh mengenaskan tak bernyawa itu.

Ia terlambat…ia tak dapat menyelamatkan Lami…

 

 

 

 

 

 

To be Continued

[repost] Merangkul Takdir – Kebencian (2)

14 Oktober 2018 in Vitamins Blog

57 votes, average: 1.00 out of 1 (57 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

 

 

Lami berjalan dengan bersenandung pelan menuju apartementnya, sebuah tempat tinggal sederhana yang berada di dalam gedung tua walaupun begitu tetap terawat dan berada di kawasan kota yang cukup ramai. Malam ini cuacanya cukup dingin hingga Lami beberapa kali mempererat jaket di tubuhnya.

Walaupun begitu senyum tetap menghiasi wajah cantiknya, pernikahannya akan dilaksanakan seminggu lagi dan tentu saja Lami sangat menanti hari itu.

Sore tadi ia menggunjungi makam bibinya di pingiran kota. Meminta restu pada sang bibi, ada rasa sedih karena tak bisa membagi kebahagiannya pada bibi yang sudah dianggap seperti ibunya sendiri, walaupun begitu Lami yakin bibinya akan senang di sana mengetahui keponakan kesayangannya akan menemukan kebahagiaan.

Tanpa sadar Lami telah sampai di dalam gedung apartementnnya. Ia kemudian melangkah ke arah tangga untuk menuju lantai dua tempat apartementnya. Gedung ini memang hanya berlantai empat dan hanya ada tangga. Tempat tinggalnya ini memang diperuntukan untuk kalangan menegah kebawah dan kebanyakan pennyewanya adalah anak kuliahan atau pun keluarga kecil. Namun ia sangat bersyukur menemuka tempat ini, tempat yang selama ini  menjadi rumah untuk bernaung.

Langkahnya terhenti, tatapan itu terpaku pada seorang gadis yang kini berdiri tepat di depan kamar apartementnya. Ia seolah membeku memandang gadis dengan penampilan yang modis walaupun sedikit terhalangi dengan blazer yang menutupi tubuhnya tersenyum di hadapannya, seorang gadis yang sangat mirip dengan dirinya seolah mereka adalah satu yang dibagi dua, saudari kembar yang tak ingin dilihatnya lagi.

***

“Mau apa ke sini?” Lami berucap datar dan dingin tak ingin berbasa-basi kepada saudari kembarnya, Lenata Verania, “Bagaimana keadaan kakak? Kupikir tak bisa bertemu dengan kakak karena malam sudah larut.” Lena berusaha tak memperdulikan perkataan dingin dari kakak kembar yang hanya berbeda beberapa detik darinya.  Tersenyum tulus dan bersungguh-sungguh menanyakan keadaan Lami.

“Kalau kau hanya ingin menanyakan pertanyaan yang tak penting lebih baik pergi saja.” Lami berjalan menuju pintu apartementnya, melewati begitu saja Lena, seolah gadis itu tak ada.

Dengan cepat ia merogoh saku jaket untuk mencari kunci apartementnya, ketika ia akhirnya menemukan kunci itu, Lami dengan cepat berusaha membuka pintu apartement, namun genggaman di pergelanggan tangannya menghentikan gerakan Lami.

“Apa maumu, huh?!” Suara Lami meninggi diringi hentakan keras yang membuat genggaman tangan Lena terhempas begitu saja, seolah Lami begitu jijik bersentuhan dengan gadis di hadapannya ini.

“Kumohon kak, aku hanya ingin berbicara denganmu” Lena berusaha tegar, tak menutupi suaranya yang gemetar oleh kesedihan. Tak pernah disangkanya bahwa sang saudari begitu membencinya hingga nyaris jijik kepadanya. Namun perkataan menyayat hati itu tak mencairkan es yang membekukan hati Lami. Dengan tak peduli gadis itu kembali ingin membuka pintu apartementnya, begitu muak dengan gadis di hadapannya ini.

“Aku minta maaf kak, aku menyesal. Aku mohon berikan satu kesempatan untuk memperbaiki ini semua. Aku juga ingin berbahagia bersama kakak, pernikahan kakak, aku sungguh–“

“Tahu apa kau dengan kebahagiaanku, huh ?!” Lena tersentak, saudari kembarnya kini memandang dengan penuh kebencian, kebencian yang membara. Seolah akan menghanguskan Lena begitu saja. Isakan pelan tak dapat ditahan oleh gadis itu. Dia memang salah, dia mengaku dan sangat menyesali kesalahannya itu. Akan tetapi melihat saudari kembarnya begitu membenci dirinya begitu menyakitkan, sangat menyakitkan hingga meremukan hati.

“Aku memang bersalah, aku minta maaf kak, sungguh aku sangat menyesal….” Lena mendekat berusaha menggapai sang kakak, namun langsung ditepis begitu saja. Lami tetap bergeming, memandang dengan dingin walaupun saudarinya kini terlihat begitu sedih dan putus asa.

Pergilah” Ucapan dingin itu diucapkan seiring dengan tertutupnya pintu apartement. Meninggalkan Lena sendirian bersama kesedihan yang tak tertahankan.

***

Lami menghelas nafas perlahan, kini dia duduk termenung di sofa ruang tamu apartementnya. Tak disangkan gadis itu tak mau menyerah dan datang lagi. Tak terhitung berapa kali selama beberapa bulan ini gadis itu terus berada di depan apartementnya, menunggu seperti orang bodoh. Apakah gadis itu tak mengetahui bahwa berapa kali pun ia memohon, Lami tak akan pernah memaafkannya, tidak setelah apa yang ia lakukan.

Mau tak mau kenangan pedih itu kembali terngiang. Dimana mereka berdua dulunya adalah saudari kembar yang saling menyayangi dan memiliki satu sama lain, walapun mereka adalah anak yang dibuang oleh ibu kandung yang seharusnya merawat dan memberi kasih sayang. Tetapi itu sama sekali tak menjadi masalah, bahkan mereka pun tetap berbahagia walaupun harus tinggal di panti asuhan. Mereka saling menjaga dan juga memiliki seorang bibi yang sudah berperan sebagai seorang ibu penuh kasih.

Namun Lena meninggalkannya sendirian, pergi bersama keluarga barunya. Lena berjanji untuk menemuinya dan ia percaya. Menunggu selama satu minggu, satu bulan, satu tahun, berlalu dan terus berlalu. Hingga ia tersadar bahwa janji sang saudari kembar hanyalah sebuah janji semu. Ia harus berjuang untuk hidunya, sendirian. Bibinya meninggal lima tahun setelah kepergian Lena. Hingga Lami pada akhirnya harus berjuang sendirian, hidup yang begitu berat untuk gadis belia, tanpa keluarga, teman, sendirian, kesepian.

Lami menarik ingatannya. Ia benci sekali mengingat kenangan pahit itu. Namun sekarang berbeda, ia telah bertemu dengan cinta dan kepercayaannya, Kak Alva. Pria yang membuatnya bisa kembali mencintai dan mempercayai.

Berusaha mengusir berbagai pemikiran yang berkecamuk, Lami menyalakan TV di hadapannya, sebuah TV kecil di ruang tamu merangkap ruang keluarga ini. Siaran itu malah menayangkan saudari kembarnya yang membawakan sebuah berita, memang Lena adalah seorang reporter muda berbakat di salah satu TV. Di sana sang adik tersenyum manis seolah mengejeknya yang kini memandang dengan penuh kebencian.

Dengan cepat ia mengganti saluran TV. Lami mengusap wajahnya perlahan, membentengi hatinya. Ia tidak akan terlena dengan perasaan iba ataupun perasaan menyedihkan kepada sang adik yang bahkan tega meninggalkannya  tanpa menoleh lagi. Dan sekarang setelah ia dapat berdiri sendiri dengan kekuatannya menghadapi kehidupan yang menyesakan dada, sang adik yang hidup dengan segala kemewahan dan kemudahan hidup meminta sebuah permintaan maaf ?

Beraninya gadis itu meminta ampun!

Bahkan ketika memaafkan merupakan hal yang satu-satunya yang dapat dilakukan Lami, dia tak akan pernah melakukannnya, tak akan pernah.

***

Anak-anak berseragam cerah berwarna biru itu berlarian dengan riang menuju orangtua dan penjemput masing-masing  Mereka terlihat begitu polos dan manis, berlari dengan ceria tanpa beban.

Lami tersenyum simpul melihat keceriaan murid-muridnya. Salah satu yang disyukuri dalam hidupnya, menjadi seorang guru taman kanak-kanak. Setiap hari dapat melihat kebahagian dan keceriaan para anak-anak kecil yang begitu polos tak berdosa. Dengan melihat mereka semua Lami seolah dapat merasakan sebuah kebahagian yang ia tak dapatkan di masa kanak-kanaknya. Menjadi sebuah pelipur lara ketika kenangan masa kecilnya yang menyedihkan terngiang.

Suasana terasa lenggang setelah para murid taman kanak-kanak telah pulang. Setelah memastikan tak ada lagi muridnya yang menunggu jemputan, Lami pun juga bersiap untuk pulang.

“Duluan Bu Ata.” Seruan beberapa teman kerja Lami dijawab dengan senyum tipis dan lambaian tangan, memang ketika di lingkungan kerja orang-orang lebih mengenalnya sebagai Ata, hanya orang-orang terdekat yang menyebut dirinya sebagai Lami. Kini ia tengah berdiri di halaman luar taman kanak-kanak menuggu Alva untuk menjemputnya, kebiasaan rutin yang pria itu lakukan.

Sebuah mobil Audi perlahan berhenti di hadapannya, memperlihatkan seorang pria yang mengenakan setelan santai, sebuah kemeja jeans yang senada dengan celana dipadukan sepatu converse, terlihat begitu santai berdiri dihadapannya. Netra kelam Lami terpaku kepada pria itu, bukan karena penampilan sederhana walaupun tak mengurangi ketampanan yang dingin serta tatapan tajam yang seolah menghujamnya dari pria itu, namun sosok dihadapannya ini sama sekali bukan sosok yang ia harapkan menjemputnya, orang terakhir atau mungkin sama sekali tak diinginkan Lami untuk menjemputnya, Kafiansya Geovian.

***

“Alva minta tolong untuk ngejemput lo karena kebetulan gue ada di dekat sini, ia ada panggilan darurat dari kliennya.” Menjawab keterpakuan wanita di  depannya ini, Kafi berucap perlahan. Lami mengerjap, berusaha mengontrol dirinya dari keterpakuan. Ia balas memandang netra coklat tajam yang memandangnya tak terbaca, memandang dengan tak kalah dinginnya kepada sang pria.

“Saya bisa pulang sendiri, tak perlu repot.” Lami berucap cepat, ia tak ingin berlama-lama bersama pria ini. Mengapa ia kembali harus bertemu dengan pria dihadapnnya ini? ia bahkan tak memungkiri bahwa dirinya  ingin menghindar dan menjauh dari sang pria, salah satu masa lalu yang ia ingin kubur dalam-dalam.

“Lo memang merepotkan, tapi Alva meminta tolong dan gue juga sudah berada di sini, ngak perlu banyak ngomong. Gue akan antar lo pulang.” Perintah itu diucapkan dengan sinis dan ketus. Memangnya siapa yang menyuruh pria ini untuk menjemputnya? geram Lami dalam hati. Mengapa juga Alva meminta tolong segala? dia jauh lebih memilih untuk pulang sendiri dari pada bersama pria di hadapannya ini.

“Saya bisa pulang sendiri.” Lami berucap kaku, ingin segera pergi. Namun langkahnya dengan cepat dihentikan oleh tarikan pada lenganya yang sedikit kasar, membuat dirinya limbung seketika hingga menubruk dada bidang pria di belakangnya ini. Lami menghentakkan tanganya cepat, memisahkan jarak di antara mereka, berbalik dengan cepat memandang geram kepada pria di hadapannya ini.

“Anda tak berhak menarik saya seperti ini, saya akan pulang sendiri dan tak perlu bantuan anda.” Dengan dingin Lami memandang Kafi yang juga memandang dengan tak kala dinginnya, membuat suasana taman kanak-kanak yang tengah lenggang ini menyesakan dipenuhi aura ketegangan.

“Lo pikir ini keinginan gue buat jemput lo ? kalau bukan karena Alva yang minta tolong gue ngak bakalan buang-buang waktu ada di sini.” Kafi tersenyum sinis, berkata dengan sedikit kejam. Seolah belum cukup, aura yang mengintimidasi dari pria itu pun membuat suasana kian menegangkan di antara mereka.

Sebelum Lami sempat membantah, smartphone di genggamannya berbunyi sekali, menandakan terdapat pesan teks yang ia terima.

From : Kak Alva

Sayang, maaf karena tak bisa menjemputmu. Beberapa klien membuat janji mendadak. Aku sudah meminta tolong pada Kafi untuk menjemputmu. Pulanglah dengannya dan berisitrahat, aku mencintaimu.

Lami menghela nafas membaca pesan teks dari sang kekasih. Merutuki sikap kekasihnya yang meminta tolong pada pria di hadapannya ini. Bukannya merasa nyaman dan aman, Lami malah merasa yang sebaliknya dengan adanya pria ini.

“Itu dari Alva kan? gue ngak mau argumen sama lo. Jadi lebih baik lo ikut gue dan ngak usah membantah.”  Kafi kembali berucap dengan tidak sabar, kali ini melunakan sikapnya karena memang dirinya juga tak ingin berkonfrontasi dengan gadis di hadapannya ini, sejujurnya ia sama sekali tak ingin membuat suasana menegangkan di antara mereka.

“Saya bisa pulang sendiri, maaf karena membuang waktu anda, permisi.” Lami berbalik cepat, tetap bersikap keras kepala. Melangkahkan kakinya cepat seolah ingin segera menjauh sejauh mungkin.

“Laminata Verania”

Seruan pelan itu tanpa sadar membuat Lami terhenti. Hanya beberapa detik sebelum Lami kembali melangkahkan kaki jenjangnya. Namun genggaman tangan yang tak bisa Lami pungkiri, terasa begitu hangat kembali menghentikan langkah Lami. Untuk beberapa saat mereka terdiam, sibuk dengan pemikiran masing.

“Kenapa sih lo keras kepala banget, gue cuman mau antar lo pulang.” Perkataan yang diucapkan pelan serta nafas hangat  di ubun-ubunnya mau tak mau terasa begitu menyesakan. Tanpa bisa dicegah kekecewaan kepada pria ini kembali menyeruak, masa lalu yang menyiksanya tanpa ampun, dan pria ini juga berada di sana, di dalam kenagan yang sangat ia ingin lupakan.

“Saya bisa pulang sendiri” kembali Lami menghempaskan genggaman itu. Berjalan tanpa menoleh lagi.

“Lo masih marah sama gue, kan?”

Kali ini Kafi telah berdiri di hadapan gadis yang menatapnya datar. Sama sekali tak ada emosi dari gadis ini. netra kelamnya hanya memandang kosong. sebuah ironi yang melukai pria itu, semua ini karena dirinya.

“Lami gue–“

“Benar, aku membencimu…jadi kumohon menjauhlah dariku.”

Sebelum Kafi kembali berucap, pernyataan yang terlontar dari mulut sang gadis menamparnya dengan telak. Terpaku, pria itu hanya bisa terpaku, membiarkan sang gadis melangkah semakin menjauh, kali ini benar-benar pergi meninggalkannya.

Aku membencimu…

Seperti kaset rusak kalimat itu terulang terus-menerus, semakin lama semakin menyakitkan, tak tertahankan, menghempaskannya.

Pada akhirnya aku hanya akan menyakitimu..

 

 

 

 

 

To be Continued

 

 

Note : cerita ini juga dipublish di wattpad dengan judul yang sama.

[repost] Merangkul Takdir – Gaun Pengantin (1)

14 Oktober 2018 in Vitamins Blog

63 votes, average: 1.00 out of 1 (63 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

Gadis itu terus menghela napas dengan gugup berkali-kali, Jemari lentiknya saling bertautan, sebuah usaha untuk menghilangkan kecemasan yang kian melanda. Difokuskan pandangan itu dimana pantulan dirinya terlihat mengenakan gaun pengantin mewah dengan juntaian lebar serta gemerlap kristal di setiap aksen kain yang menambah kesan mewah dan mahal pada gaun yang kini dikenakannya.

Walaupun begitu dia sama sekali tak merasa senang. Gaun ini teralu mewah untuknya, terlalu cantik untuk dirinya yang biasa ini.

“Gaun ini sangat cantik untuk anda, calon suami anda pasti akan menyukainya” ucapan ramah dari salah satu pegawai butik yang kini tanpa ia sadari telah berada di dalam ruang ganti memecah pikirannya. Si gadis tersenyum kikuk. Pegawai butik ini terlalu melebih-lebihkan, ia sama sekali tak berpikir gaun semewah ini cocok untuk dirinya.

“Apakah ada gaun yang jauh lebih sederhana? Kurasa gaun ini terlalu mewah untukku.” Si gadis bertanya dengan gugup. Rasanya ia ingin sekali melepas gaun ini, dia bisa saja merusaknya dan pasti harga untuk gaun ini sangatlah mahal, dia bahkan tak berani membayangkan.

“Anda terlalu merendah diri, nona. Bagaimana kalau biarkan dulu calon suami anda untuk melihatnya? Saya rasa dia akan menyukainya.” Dengan sopan sang pegawai menjawab. Kemudian melangkah untuk menarik tali tirai ruang ganti ini. Perlahan tirai itu pun terbuka dan memperlihatkan seorang pria yang berdiri menunggu di depan ruang ganti. Si gadis menunduk, tak bisa menyebunyikan rona malunya, gaun ini pastilah tak cocok untuk dirinya. Sedangkan sang pria malahan tak bisa menyembunyikan decak kagum melihat wanita cantik yang kini berada di hadapannya mengenakan gaun yang sungguh indah, gaun itu dan juga sang pemakai.

“Bukankah calon istri anda begitu cantik, tuan? Gaun ini sangat cocok untuknya.” Ucapan antusias dari sang pegawai butik mengalihkan pandangan si pria.

Ia kemudian tersenyum lebar, senyum cerah yang menandakan bahwa memang benar adanya perkataan si pegawai, bahwa calon istrinya ini sangat cantik mengenakan gaunnya. Namun senyum itu sedikit memudar mengetahui bahwa sang gadis masih menunduk, terlihat jelas bahwa ia tak nyaman dengan apa yang digunakannya.

“Ada yang menggangumu, Lami?” Si pria bertanya pelan kepada Lami, gadisnya. Mendengar nada cemas itu membuat Lami langsung mendongakan kepalanya. Pandanganya langsung bertemu dengan pandangan cemas sang pria yang telah berdiri sejengkal di depannya.

“Tidak, kak. Hanya saja gaun ini terlalu mewah, aku rasa gaun ini tak cocok untukku.” Lami berucap pelan, berusaha menjelaskan kecemasannya pada pria yang ada di hadapannya ini.

Si pria malah terkekeh geli. Dan tanpa bisa menahan diri ia mencubit pipi Lami perlahan, “Kak Alva!!!” Lami berseru kesal, kebiasaanya ketika digoda oleh pria ini, Alva yang begitu jail terhadapnya. Bukannya malah berhenti, Alva terus mencubit kedua pipi tembem itu dengan bersemangat, membuat pipi Lami memerah karenanya.

“Kamu ini aneh tahu. Dimana-mana wanita itu sukanya barang-barang mewah, gaun, sepatu, tas. Kok kamu malah ngak suka sih?” Alva bertanya dengan masih menyisahkan senyum dalam nada bicaranya. Puas menggoda Lami yang terlihat begitu kesal sambil mengelus kedua pipinya yang memerah bekas cubitan Alva.

“Akukan bukan wanita itu !” Alva kembali tersenyum mendengar balasan dari Lami. Gadisnya memang berbeda. Sementara wanita lain akan senang dengan barang-barang mewah, Lami malah lebih memilih barang-barang yang membuatnya merasa nyaman.

“Iya deh, aku kalah. Jadi kamu maunya gaun yang lebih sederhana, kan ?” Lami mengganguk pelan, dia sepertinya masih kesal sehingga menjawab pertanyaan Alva dengan anggukan  yang dipaksakan. Alva kembali terkekeh melihat tingkah lucu Lami yag sedang merajuk ini.

“Laminata Verania, Laminata Verania, Laminata Verania……” Alva terus menyebut nama lengkap Lami, biasanya cara ini selalu ampuh membuat Lami menyahut.

“Iya.” Benar saja, Lami langusung menyahut pelan. Walaupun wajahnya masih menunjukan guratan kekesalan yang tak dapat disembunyikan. Alva dengan perlahan semakin mendekat, membungkukkan kepalanya untuk mensejajarkan pandangannya pada kedua bola mata hitam sang gadis . Ia perlahan mengangkat sebelah tangannya, mengelus rambut hitam legam gadisnya dengan sayang. Tanpa bisa ditahan-tahan, ia memeluk gadisnya dengan erat, menyalurkan kasih sayang begitu dalam.

“Aku selalu beruntung diberikan kesempatan untuk mencintaimu.” Bisik Alva serak penuh perasaan. Tak terhitung rasa syukur yang ia selalu rasakan ketika dapat melihat gadisnya tersenyum, memeluknya, dan menyatakan cintanya yang begitu besar. Lami adalah salah satu anugrah yang paling indah dalam hidupunya, “Aku juga kak” dua pasang manusia itu mempererat pelukan mereka, seolah tak ingin lepas dari kenyamanan yang melingkupi, suatu bentuk kasih sayang yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata.

“Ehem..” deheman pelan itu langsung menguraikan pelukan pasangan ini. Si gadis terlihat malu dengan pipi memerah sedangkan si pria terlihat salah tingkah dengan menggaruk tenguknya yang tak gatal. Deheman itu berasal dari sang pegawai butik yang terlihat tersenyum maklum dengan adegan romansa yang diperlihatkan dari pasangan bahagia ini.

“Maaf…jadi apakah saya perlu menunjukan gaun yang lebih sederhana?” Anggukan kompak dari dua pasang manusia yang ditanyai ini menjadi jawaban. Setelah sang pegawai pergi tanpa sadar mereka berdua melemparkan senyum bahagia, senyum bahagia yang ditunjukan oleh pasangan yang berbahagia pula.

***

Kini Lami kembali mencoba sebuah gaun, kali ini gaun yang ia kenakan terlihat jauh lebih sederhana, terjuntai pas tak mengurangi keanggunan sang pengantin wanita. Lami memandang dirinya dalam pantulan cermin yang memenuhi ruang ganti itu. Tak disangka ia akan merasakan hari dimana dirinya mengenakan sebuah gaun pengantin, gaun pengantin dimana akan membuktikan bahwa kebahagiaan juga akan menghampirinya, yang ia selalu dambakan disetiap doanya. Tak terhitung sudah berapa kali ia memohon untuk mendapatkan cahaya itu dalam hidupnya yang pelik, sebuah cahaya kebahagiaan.

Tuhan mendengarkan doanya dan ia amat bersyukur. Seulas senyum tulus terukir dari bibir tipisnya. Ini akan menjadi awal yang baru untuk hidupnya,. Ia akan melupakan semua masa lalu yang mencekiknya dengan erat. Semua masa-masa kelam itu akan dikubur dalam-dalam. Ia kini mendapatkan kesempatan untuk menggapai takdirnya, takdir yang sangat ia rindukan. Gadis itu kembali menghela nafas seolah membuang semua pikiran yang berkecamuk dalam hati, kini ia akan memulai kebahagiaan yang membentang luas di hadapannya.

Dengan perlahan tirai itu kembali membuka. Pandangan dua insan yang saling menunjukan cinta dengan senyuman cerah kembali terlihat. Kali ini sang gadis tak lagi terlihat malu-malu ataupun gugup, netra hitam kelamnya memandang dengan senyum pada netra coklat yang kini juga memandangnya dengan senyum dan cinta yang tak disembunyikan.

“Bagaimana kak? Gaun ini cocok untukku, kan?” Lami berucap dengan ceria, berdiri bak model papan atas yang memamerkan sebuah baju rancangan desainer ternama. Alva hanya bisa terkekeh geli melihat tingkah gadis di hadapannya ini.

“Tadi dirimu begitu malu ketika mencoba gaun mewah itu. Sepertinya gaun ini memang cocok untukkmu melihat kau sudah begitu cerewet dan bertingkah, huh?” Dengan disengaja Alva melontarkan perkataan untuk menggoda Lami yang langsung cemberut memandang sebal pada Alva yang bahkan masih sedikit menyisakan tawa dalam suaranya,

“Terserahlah. Gaun ini cocok untukku, kita ambil yang ini saja” sedikit ketus Lami kembali menjawab, namun senyum tetap menari-nari di matanya. Mereka tertawa bersama, meluapkan kegembiraan.

“Baiklah, karena tuan putri sudah memilih, maka gaun ini akan menjadi miliknya”

***

Lami menyesap perlahan coklat panasnya, menikmati manis pekat yang kental dan hangat, merasa senang dengan rasa minuman favoritnya itu. Tak memperhatikan tatapan geli pria yang duduk dihadapannya, terlihat begitu tertarik dengan Lami dan coklat panasnya,

“Dasar anak-anak” Gumaman itu walaupun pelan dapat terdengar jelas oleh Lami. Pandangan sinis langusng menghujam Alva. Dengan perlahan diletakannya mug coklat panas itu, bersedekap menunjukan sikap tak bersahabatnya, “Kalau aku anak-anak mengapa kakak ingin menikahi anak-anak ini, huh?” Pandangan sinis itu tak menghilangkan senyuman Alva, malahan pria itu malah terkikik geli mendengar ucapan sang gadis yang begitu ketus.

“Karena sebenarnya gadis dihadapanku ini telah berusia 26 tahun, hanya saja dia terjebak dalam tubuh dan pikiran anak kecil. Hmmm……sayangnya aku tergila-gila padanya.” Ucapan sok serius itu mau tak mau membuat Lami tak dapat menahan senyumnya hingga ia tertawa pelan.

“Jadi walaupun bertubuh dan berpikiran seperti anak kecil kakak tetap mencintainya, kan?”

Lami tersenyum menggoda, bertanya dengan tak kalah sok seriusnya, mengganguk-angguk seolah telah mendapatkan jawaban rahasia, “Aku meralat tentang tubuh anak kecil, sepertinya tak sekecil itu, hmm?” Lami melotot mendengar perkataan Alva yang blak-blakan, mendengus melihat pria malahan terlihat begitu senang.

“Dasar” Lami bergumam, mengalihkan pandangan. Kini mereka tengah berada di sebuah garden cafe tepat di depan butik tempat mereka memesan gaun pengantin. Memutuskan untuk bersantai sejenak menikmati sore hari yang begitu hangat, apa lagi dengan nuansa hijau khas taman yang begitu indah di cafe ini, membuat siapa saja  akan merasa senang untuk sekedar duduk-duduk dan menikmati minuman hangat. Untuk beberapa saat Lami melupakan godaan kecil dari Alva, sibuk memandang taman yang mengelilingi cafe ini, memejamkan mata menikmati hembusan angin segar yang meniup wajahnya pelan-pelan.

Genggaman hangat yang Lami rasakan membuatnya perlahan membuka mata, bertatapan langsung dengan netra hitam yang kini memandangnnya dengan serius.

“Aku sama sekali tak menyangkan akan mendapatkan kesempatan ini, menikah denganmu, seorang gadis yang sangat kucintai. Aku akan beruaha membuat pernikahan kita nanti menjadi sumber kebahagianmu, aku berjanji.”

Alva berucap dengan lembut dan tulus, menggengam tangan sang gadis dengan erat kemudian mengecup jari manis dimana cincin yang mengikat cinta mereka terukir manis. Perasaan Lami terasa begitu membuncah, merasa begitu bahagia sekaligus haru dengan pernyataan pria yag dicintainya ini. Hatinya di penuhi kebahagiaan mengetahui bahwa pria di hapadapnnya ini kelak akan menjadi pasangan hidupnya, kebahagiaannya.

“Aku percaya kak” Lami tersenyum tulus, menyerahkan hatinya untuk sang pria, pria yang sangat dicintai dan mencintainya.

Aku mencintaimu, hanya itu yang saat ini ingin kuungkapkan.

 

 

 

To be Continued

[repost] Merangkul Takdir – Prolog

14 Oktober 2018 in Vitamins Blog

66 votes, average: 1.00 out of 1 (66 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

Gadis itu kini berdiri tepat di depan cermin besar yang memantulkan bayangan dirinya mengenakan gaun indah terjuntai pas di tubuhnya, gaun pengantin cantik yang memancarkan aura gadis sederhana nan anggun. Namun kecantikan gaun itu tak terpancar sama sekali pada paras yang kini menatap kosong ke arah pantulan dirinya, sebuah pandangan kosong yang menyayat hati, tatapan yang hanya dimiliki oleh seseorang yang tak memiliki raga di dalam dirinya. Jemari lentik itu bergerak perlahan, dengan gemetaran gadis itu menyentuh cermin di hadapannya.

“Mengapa kau tega melalukan ini, kak?”

Perkataan menyayat hati bergaung di ruangan senyap yang terasa dingin. Seharusnya kini dia berbahagia dengan keluarga barunya, kehidupan barunya. Pandangan kosong itu perlahan berubah menjadi sebuah pandangan kemarahan dan kekecewaan. Takdir ini mempermainkannya, dia sudah melewati takdir  kejam yang meremukan jiwa dan raganya, tapi dia bertahan, dengan sebuah harapan bahwa takdirnya akan berubah di kemudian hari.

Bukankah kehidupan ini adalah roda yang terus berputar? Lalu mengapa kehidupannya tak berputar juga? Mengapa Tuhan selalu membuat hidupnya terasa begitu berat? Kalau memang Tuhan itu ada, apakah dirinya tak terlihat, dirinya hanyalah makhluk yang tak penting, sama seperti orang lain yang melihatnya.

Disapukannya pandangan kosong itu ke seluruh penjuru ruangan itu. Sebuah kamar apartement yang menyimpan berbagai kerinduan.  Langkahnya perlahan terarah menuju balkon. Hembusan angin malam yang menusuk kulit tak memudarkan langkahnya untuk berdiri berpeganggan pada pembatas balkon yang memperlihatkan gemerlap malam ibu kota dari lantai sembilan ini. Dia sudah bertahan sejauh ini, bertahan dan menjalani kehidupan dimana dia tak punya pilihan lain selain menjalani semuanya.

Jika aku mati apakah aku akan bertemu kakak?

Kaki jenjangnya dengan perlahan melangkah melewati pembatas balkon, berdiri di luar pembatas tanpa terlihat takut atau pun gentar dengan dirinya yang bisa terjatuh kapan saja. Dia sudah muak dengan terus berharap kepada Tuhan, dia sama sekali tak menginginkan kemewahan atau pun segala keindahan dunia, dia hanya ingin bersama dengan orang yang disayanginya dan menyayanginya, sesederhana itu. Kalau memang Tuhan tak bisa meengabulkan permintaannya yang sederhana itu, dia lebih baik melenyapkan dirinya.

Aku merindukanmu kak……

Aku ingin menemuimu……..

Genggaman pada pembatas itu perlahan mengendur, tubuh itu perlahan terhempas, membawa dirinya ke dasar kegelapan, kegelapan yang begitu indah. Dia akan bertemu dengan sang kakak, pemikiran itu membuatnya tersenyum, senyum indah sang pengantin wanita.

Aku mencintaimu kak…….

 

 

 

 

 

 

To be Continued

[repost] Merangkul Takdir

14 Oktober 2018 in Vitamins Blog

54 votes, average: 1.00 out of 1 (54 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

 

Jangan lupa untuk baca juga di wattpad dengan judul yang sama, reading, up vote, comment and share ??? ??? ???

 

~Merangkul Takdir~

Laminta Verania, gadis cantik yang menolak takdirnya, gadis yang ingin melawan takdir kejam yang menyakitinya berkali-kali. Ia akan melakukan apapun untuk lari dari takdir kejamnya, bahkan jika itu berarti melenyapkan diri sekalipun.

Namun mampukah seorang Laminata Verania menolak takdirnya? Mampukah ia lari dari kehidupan yang telah digariskan untuknya? Sanggupkah ia?

Seorang gadis yang berusaha menolak takdirnya, namun harus terikat dengannya. Seorang gadis yang harus merangkul takdirnya, walaupun takdir itu sama sekali tak dirindukan.

~Merangkul Takdir~

DayNight
DayNight