Vitamins Blog

[repost] Merangkul Takdir – Merangkul Takdir (9)

Bookmark
Please login to bookmarkClose

No account yet? Register

42 votes, average: 1.00 out of 1 (42 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

 

Part Sebelumnya

Ibunya telah meninggal

Seharusnya tidak seperti ini. Ibunya seharusnya baik-baik saja dan hidup berbahagia. Bukankah ia telah mendapatkan apa yang ia inginkan? Lalu mengapa ibunya harus berakhir seperti ini?

Lami tanpa sadar tak dapat lagi menahan air matanya. Dan akhirnya gadis itu menangis, terisak berlutut di pusara itu. Ia setidaknya ingin bertemu secara langsung walaupun hanya sekali dengan ibunya. Banyak yang belum ia ungkapkan kepada ibunya, ia ingin memeluk ibunya walau hanya sekali, ia ingin mengungkapkan cintanya pada sang ibu. Ia ingin meminta maaf, untuk semuanya.

Ibu, aku ingin bertemu denganmu….

“Kau telah memaafkan ibumu. Ibumu pasti senang dan berterima kasih karena kau telah memaafkannya.” Anak kecil itu berucap pelan. Lami kini masih menangis terisak, ia sama sekali tak berharap ibunya pergi seperti ini, ia belum siap dan mungkin tak akan pernah siap. Walaupun wanita itu telah membuangnya, pada kenyataannya Lami tetaplah mencintai wanita itu, ibunya.

“Tenanglah. Kita masih harus melihat kilasan yang lain.” Anak kecil itu kembali berujar. Kini mereka memang telah berada di ruang putih dengan gelembung itu lagi. Bersiap untuk melihat kilasan lainnya.

“Aku tak mau lagi melihat kilasan yang lain..” Gadis itu berujar penuh dengan kesakitan. “Sudah cukup..aku tak mau lagi. Aku lelah..”

“Lami, kita belum melihat semuanya, kau–”

“Sudah cukup..Aku sudah melihat semuanya. Aku tetap ingin mati saja. Aku benar-benar lelah..kumohon..”

“Kau masih memiliki adikmu, Lena. Kau juga memiliki Kafi, Lami.” Anak kecil itu perlahan mendekat, menggengam tangan Lami seolah memberi kekuatan.

Lena dan Kafi

Untuk beberapa saat Lami hanya termenung. Perkataan anak kecil itu tanpa sadar membuat dirinya meragu. Sebagian hatinya berkata hal yang sama, bahwa ia memiliki Lena dan Kafi, ia masih memiliki alasan untuk hidup. Namun sebagian hatinya yang lain berteriak menolak, merasa tak sanggup lagi untuk hidup lebih lama seperti ini.

“Kita hanya perlu melihat satu lagi kilasan.” Anak kecil itu berujar. “Setelahnya kau boleh memilih. Kau boleh memilih takdirmu.”

Anak kecil itu kembali menarik sebuah gelembung kehidupan Lami. Ia kemudian memandang gadis itu , tersenyum simpul. “Setelah kita melihat ini, kau bebas memilih.”

Lami pada akhirnya hanya mengganguk lemah. Dan kembali, kesadaraan gadis itu kembali ditenggelamkan dalam kegelapan yang tak berdasar, larut di dalamnya.

Hanya satu, dan semuanya akan berakhir….

 

***

Gadis itu kini telah berada dalam sebuah kamar dengan penerangan minim. Namun Lami masih dapat dengan jelas melihat sosok yang begitu mirip dengan dirinya, sang adik kembar, Lenata Verania.

Saat ini gadis itu terduduk di pinggir ranjang, terisak dalam diam dengan bahu gemetaran, kesedihan nyata melingkupi gadis itu.

“Kak Lami…kenapa kakak setega ini pergi begitu saja…kenapa kakak tega meninggalkanku?” Gadis itu masih terus terisak menggaungkan nama sang saudari kembar.

Tiba-tiba saja gebrakan di pintu itu mengalihkan perhatian mereka berdua. Di sana terlihat seorang wanita paruh baya, ia berjalan cepat dan kini berdiri tepat di hadapan saudari kembarnya yang masih terduduk dengan tangis.

“Ibu..” Lena berucap lirih, wanita di hadapannya mendengus mendengar perkataan Lena. “Tak berhenti juga kau menangis? Kau menangis sampai mati pun tak akan mengembalikan saudari menyedihkanmu itu!” Wanita itu berucap tajam.

“Sekarang kemasi barangmu cepat dan pergilah!”

“Ibu…”

“Jangan panggil aku ibu!” Wanita itu menghardik. “Aku tak sudi mempunyai anak sepertimu, anak seorang pelacur!” Wanita itu tersenyum sinis. “Pergilah karena aku sudah tak sudi menampungmu, anak pelacur! Suamiku juga sudah tak ada jadi tak akan ada lagi yang melindungimu..” Wanita itu menjambak rambut Lena kasar. “Aku selalu menyesal membiarkan suamiku mengadopsimu. Kau hanya anak pembawa sial. Pergilah dari sini! Dan jangan pernah berharap untuk mendapatkan sepeserpun uang suamiku, kau gadis sialan!”

Wanita itu mendorong kepala Lena dengan keras, hingga terbentur di sandaran ranjang keras. Menyebabkan darah yang langusung mengucur dari pelipis gadis itu.

Lena menahan mati-matian tangisnya sepeninggal ibu angkatnya itu. Ia perlahan bangkit, tak dihiraukannya lagi rasa sakit menyengat di pelipisnya begitu ia bangkit. Ia terus melangkah, melangkah menjauh dari rumah itu seperti yang diinginkan ibu angkatnya itu.

Lami mengikuti langkah saudari kembarnya dengan keterkejutan yang menyayat hati. Jadi selama ini ibu angkat Lena juga adalah wanita kejam yang menyiksa Lena. Saudari kembarnya tak pernah hidup dalam kebahagiaan seperti yang ia kira, ternyata Lena juga mendapat perlakuan kejam.

Ia mengetahui kebenaran lainnya, kebenaran yang mencubit dirinya. Bahwa selama ini dirinya memang hanya melihat dari satu sisi tanpa mau tahu sisi yang lain. Saudari kembarnya bukannya tak ingin mencarinya, tapi ia tak diperbolehkan. Gadis itu juga terkurung, sama seperti dirinya.

“Lena jangan…” Lami berseru begitu melihat adik kembarnya melangkah dengan tatapan kosong menuju tengah-tengah jalan raya yang dilalui kendaraan berkecepatan tinggi.

“Lena jangan! Lena kumohon jangan!” Lami berseru keras yang tentu saja tak di dengarkan gadis itu. Lami bersikeras meraih tangan sang saudari namun hasilnya nihil, tetap saja ia tak bisa melakukan apapun.

“Lakukanlah sesuatu, jangan biarkan adikku melakukan ini.” Lami berujar cepat kepada anak kecil yang hanya berdiri mematung, menyaksikan semuanya.

“Kita hanya seorang penonton, ingatlah.” Lami menggeleng-gelengkan kepalanya keras, menolak.

“Kumohon lakukan sesuatu!.” Lami menjerit. Namun anak kecil itu hanya memandang datar.

“Lena sadarlah! Kumohon Lena! Jangan..” Lami masih menjeritkan permohonanya. Sekeras apapun ia berusaha menahan langkah gadis itu, semuanya tetap saja sama. Gadis itu berjalan terus-menerus dengan tatapan kosong dan kini telah berdiri di tengah-tengah jalan raya.

“Lena..Jangan! Lena..Lena…Lenaaaa!” Gadis itu menjerit keras begitu mobil itu menghempas tubuh sang saudari kembar keras, membantingnya tanpa ampun, dan semuanya kembali menggelap.

 

***

“Lenaaaa!!!” Lami masih menjerit, menutup kedua matanya tak sanggup melihat apa yang terjadi. Namun sebelum ia membuka matanya, kesadarannya kembali terenggut, ketika ia membuka kedua netra kelamnya yang telah dipenuhi air mata, ia kembali berada di tempat yang berbeda

Sebuah ruang putih berukuran kecil. Lami memindai sekitar dan keterkejutannya semakin bertambah begitu melihat sosok yang begitu ia kenali meringkuk memeluk lutut di atas ranjang itu dengan teror di wajahnya.

Kafi…

Lami mendekat untuk memastikan, dan sosok itu memang adalah Kafi. Raut wajahnya penuh dengan ketakutan, tubuhnya gemetaran, dan ia meringkuk seolah melindungi diri.

“Lami maaf..maaf…maaf….maaf..maaf…” Pria itu terus bergumam kata maaf pun dengan tubuhnya yang masih bergetar penuh teror.

Sebelum Lami mencerna apa yang telah terjadi, pintu putih itu terbuka perlahan, memperlihatkan sosok pria berjas putih, seorang dokter dan juga beberapa perawat pria.

“Selamat pagi Tuan Kafi.” Sang Dokter berucap ramah. Berdiri dalam jarak yang aman agar pasien di hadapannya tak merasa terancam.

“Aku membunuhnya..aku membunuhnya…aku membunuhnya….” Pria itu kembali bergumam berkali-kali, dirinya semakin gusar pun dengan keringat dingin yang telah membanjiri dirinya. Sebelum sang dokter sempat berkata, pria itu kehilangan kendalinya. Ia melompat dari ranjang, dengan membabi-buta menerjang sang dokter.

Dengan cepat kedua perawat pria itu menahan pasien di hadapannya ini. Setelah sang dokter terbebas dari serangan, ia mengeluarkan sebuah suntik dan dengan tenang menyuntik pria di hadapannya sehingga perlahan pria yang tadinya terus memberontak ini kehilangan kesadaran dan akhirnya kembali tertidur. Dengan cepat kedua perawat dan sang dokter memindahkan pria itu keranjang, membaringkannya di sana.

“Kondisi mentalnya masih sama.” Sang dokter bergumam prihatin. “Ia masih begitu trauma, trauma yang sangat mendalam.”

“Iya, dok.” salah seorang perawat menanggapi. “Pasien ini telah kehilangan kedua orangtuanya di masa muda yang menyebabkan trauma. Dan sekarang ia kembali mengalami trauma mendalam begitu kedua orangtua angkat serta saudaranya meninggal dalam kecelakaan tragis.” Perawat itu berujar.

“Dan sekarang ia juga menuduh dirinya sebagai pembunuh calon istri saudaranya karena tak berhasil menyelamatkannya dari percobaan bunuh diri.” Sang dokter kembali berujar, menghela nafas panjang. “Ia masih muda. Dan sekarang dirinya harus mendekam di rumah sakit jiwa ini, memperbaiki mentalnya yang telah rusak. Yang akan sangat sulit untuk menormalkannya kembali.”

Perkataan dokter itu menyentak Lami. Gadis itu tanpa sadar membekap mulutnya terkejut. Tanpa sadar tubuhnya gemetar penuh ketakutan mendengarkan ucapan sang dokter.

Kafi tak mungkin berakhir seperti ini. Kafi adalah pria yang kuat, ia tak mungkin berakhir gila seperti ini, tidak boleh.

Kafi tidak mungkin berakhir seperti ini, tidak mungkin……..

Lami mengelengkan kepala. Tangis kembali merasukinya, ia menangis terisak penuh kepedihan.

“Kumohon jangan seperti ini, Kafi..” Lami berujar lirih pada tubuh yang kini tak sadarkan diri itu. Tangisnya tak tertahankan lagi begitu dihadapkan pada takdir sang adik kembar dan juga Kafi.

Mengapa seperti ini? Seharusnya tidak seperti ini….Ia tak mau…ia tak bisa melihat takdir kedua orang yang dicintanya berakhir seperti ini…tidak boleh….

“Aku tak mau!!!” Lami menjerit. “Aku ingin kembali hidup! Aku tak mau berakhir seperti ini! Aku ingin hidup!”

 

***

 

Akhirnya kau memilih untuk kembali hidup..” Anak kecil itu tersenyum. “Kau memili pilihan yang tepat, Lami.”

Kini mereka telah berada dalam ruang putih, namun tak ada lagi gelembung-gelembung, hanya sebuah ruang putih tak berujung.

Kau akan berbahagia.” Anak kecil itu menggengam kedua tangan Lami yang masih terdiam dalam keterpakuan dan tangis. “Dunia telah menjanjikanmu kebahagiaan.”

Aku senang bisa bertemu denganmu Laminata Verania. Gadis dengan hati seluas samudra sepertimu.”

Apa…apa aku akan kembali hidup?”

Kau telah mengembalikan takdirmu, kau telah merangkul seluruh takdirmu, bahkan takdir terkejam sekalipun.” Ada jeda sebelum anak kecil itu kembali berujar. “Kau pantas mendapatkannya, kehidupanmu yang sangat berharga.”

Apakah aku akan tetap mengingat ini semua?” Lami berjuar ingin lirih.

Ini akan menjadi rahasia kita, rahasia kecilmu.” Anak kecil itu tersenyum simpul.

Sepertinya ini adalah perpisahan untuk kita.” Anak kecil itu tersenyum tulus. “Berbahagialah Laminata Verania.”

Terima Kasih…” Lami balas tersenyum, kali ini senyuman tulus dari hatinya.

Dan semuanya kembali menggelap, Lami tertarik begitu dalam, sangat dalam menuju dasar kesadarannya, kembali, kepada kehidupannya.

 

 

 

 

 

 

To be Continued

13 Komentar

  1. Kasian lenaaa :PATAHHATI

  2. PrincessSusan menulis:

    Di tunggu dong masiiihhhhh..
    Ceritanya seruuuuuu seru seru!!!
    Semangat update yah kakkk :NGEBETT :NGEBETT :NGEBETT

  3. farahzamani5 menulis:

    Aduhhhh keaduk2 bngt ni perasaan aq baca cerita ini
    Huaaaaa
    :PATAHHATI :PATAHHATI :PATAHHATI
    Pesan moralny, kita ga boleh liat segala ny hanya dri satu sisi, dan kita sering ny bgtu huhu

  4. Next dongg :LARIDEMIHIDUP

  5. aduh,,, aku sampe pengen nangis :PATAHHATI

  6. Kasiannya :PATAHHATI :PATAHHATI

  7. Scaroline07_ menulis:

    Ya ampun itu emak, galaknya pake banget. Ah bikin baper :PATAHHATI

  8. fitriartemisia menulis:

    wah, akhirnya Lami milih hidup lagi yaaaaaa, horeeeee

  9. Ditunggu kelanjutanny

  10. :TERHARUBIRU :TERHARUBIRU :TERHARUBIRU :TERHARUBIRU
    Kau hebat Lami!! Bisa merangkul semua takdirmu!!

  11. :berharapindah :berharapindah

  12. Aku sampai nangis..?

  13. Kasihan banget