Vitamins Blog

[repost] Merangkul Takdir – Memaafkan (8)

Bookmark
Please login to bookmarkClose

No account yet? Register

61 votes, average: 1.00 out of 1 (61 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

 

 

Lami termenung dalam diam begitu pikirannya terus berkelana jauh, pikirannya seolah seperti kaset film yang terus memutar kilasan-kilasan tentang dirinya dan Kafi, tentang alasan mengapa pria itu tak pernah datang menepati janjinya.

Selama ini ia merasa sangat benci pada pria itu, mengapa pria itu tak datang? Mengapa ia meninggalkannya? Mengapa ia pergi tanpa penjelasan apapun? Namun kenyataan-kenyataan yang terpapar di hadapannya seolah menamparnya. Pria itu juga mengalami kehilangan menyakitkan, ia juga sama terluka serta bersedihnya.

Lami merasa sangat egois, pria itu mengetahui kesedihannya dan siap untuk membantunya, sedangkan ia berpikir seolah pria itu tak memiliki kesedihan apapun, seolah pria itu akan terus menolong dan menjaganya. Nyatanya pria itu juga butuh pertolongan dan Lami telah bertindak egois dengan menghakimi pria itu.

Prasangka manusia memang hanya selalu melihat dari satu sisi yang berlawanan.” Anak kecil itu berujar memecah keheningan ruang putih yang di penuhi gelembung ini. Ia juga berdiri di sana, menerawang jauh seolah pikirannya juga mengelana. “Tak apa, karena kau sudah memperbaikinya, kau sudah mengetahui kebenarannya.”

Tapi tetap tak akan mengubah apapun.” Gadis itu menghela nafas. “Pada akhirnya kami tetap akan berada dalam kesalah pahaman. Aku tetap membencinya dan dia tetap tak peduli padaku.”

Lagi-lagi kau hanya mengambil keputusan dari sudut pandangmu, dari sudut pandang yang bahkan kau sangkal sendiri.” Anak kecil itu memandangnya. “Padahal kau yang paling tahu perasaanmu, dan kau juga menegetahui perasaannya.”

Lami hanya terdiam mendengarkan penuturan anak kecil itu. Ia sejujurnya juga ragu tentang perasaannya, ia tak tahu harus mempercayai yang mana, ia merasa seolah hatinya terpecah menjadi kepingan, yang Lami sendiri bingung untuk menyatukannya.

Lami, kau hanya perlu menerimanya dan semuanya akan menjadi jelas. Jangan menyiksa dirimu.”

Aku ingin melihat kilasanku dengan Kak Alva..” Lami kembali berujar sengaja mengalihkan perhatian, menyudahi konfrontasi yang terjadi.

Alva? Ah..pria yang menyelamatkanmu dari keterpurukan..” Anak kecil itu berujar, memandang lurus ke arah Lami. “Mungkin memang kita harus melihatnya..”

Seperti yang sudah-sudah, anak kecil itu kembali menggerakan jari-jarinya hingga sebuah gelembung mendekat, berhenti tepat di hadapannya.

Lami memejamkan kedua netra kelamnya, kali ini membiarkan kegelapan menutupi kesadarannnya, membiarkan dirinya terbawa menuju kilasannya dengan Alva.

 

***

Kini Lami tengah berada di taman kanak-kanak tempatnya mengajar. Ia melihat dirinya dengan bersemangat bermain dan mengajar anak-anak yang juga tak kalah bersemangatnya ditemani tawa ceria mereka.

Setelah Lami terbebas dari belengu panti asuhan wanita jahat serta suaminya itu, ia melanjutkan hidupnya dengan baik tanpa menoleh lagi, mengubur dalam-dalam segala masa lalu terjadi. Ia berpindah ke yayasan sosial di kota lain pun dengan sekolahnya. Gadis itu memulai lembaran barunya.

Walaupun hidupnya tak mudah tentu saja. Ia harus bekerja di beberapa tempat sekaligus untuk menabung uang sekolah dan keperluan lainnya. Namun pada akhirnya ia bisa melewati semuanya dan kini mendapatkan pekerjaan tetap sebagai seorang guru taman kanak-kanak. Ia menikmati hari-harinya mengajar, bisa melihat kebahagiaan murid-muridnya, sebuah kebahagiaan yang sejujurnya ia rindukan.

Ayo semuanya berbaris. Kita akan segera pulang.” Lami berseru, membuat semua murid-murid yang tadinya sibuk dengan kegiatan masing-masing memperhatikannya. Perlahan anak-anak itu mulai berbaris rapi, bersiap untuk pulang dengan Lami yang membimbingnya.

Lami tersenyum begitu murid-muridnya kini berlarian menuju orang tua masing-masing, terlihat begitu ceria. Setelah memastikan semua muridnya pulang, gadis itu juga bergegas untuk pulang, merapikan buku-bukunya dan mengambil tas tangannya.

Ia berjalan perlahan menuju gerbang, bersenandung pelan. Namun langkah gadis itu memelan begitu melihat di hadapannya kini seorang pria terlihat kebingunan dengan mobilnya yang seperti mogok. Pria itu menelepon sambil memandang mesin mobilnya kebingunan, terlihat begitu kesal dan merutuk.

Lami perlahan terus berjalan, melewati pria itu. Namun langkahnya terhenti begitu pria itu terlihat sangat kalang kabung sepertinya membahas tentang meeting penting yang terancam batal. Lami menghela nafas panjang, berbalik dan kembali melangkah ke arah pria dengan mobil mogoknya itu.

Mungkin saya bisa membantu mobil tuan..?” Lami merutuk dalam hati begitu keinginan untuk menolong dari hatinya muncul. Ia memang bisa memperbaiki mobil yang mogok mengingat dirinya pernah bekerja di bengkel. Gadis itu menghela nafas begitu pria di hadapannya hanya memandang bingung. Dengan cepat Lami mulai memperhatikan mesin mobil rusak itu, ia mengotak-atiknya perlahan dengan cekatan.

Sepertinya mobilnya sudah bisa berjalan lagi” Lami berucap pelan, pria itu masih memandangnya kebingungan. Namun dengan cepat tersadar dan mulai mengecek mobilnya. Dan benar saja mobil itu kembali menderu menandakan mesinya telah berfungsi kembali. Lami tersenyum tipis begitu mobil itu telah berfungsi kembali. Ia perlahan berbalik bersiap untuk melangkah pergi.

Tunggu!” Seruan pria itu menghentikan langkah Lami hingga gadis itu kembali berbalik. Dan kini sosok itu telah berada di hadapannya, memandangnya dengan senyum.

Terima kasih untuk memperbaiki mobilku.” Lami hanya membalas dengan senyum, mengganguk perlahan. “Ah..aku Alvaro Nasution, senang bisa bertemu denganmu.” Pria itu menjulurkan tangannya. Untuk beberapa detik Lami hanya memandang uluran tangan itu. Hingga akhirnya ia menerima uluran tangan itu pelan.

Saya Laminata Verania..” Mereka berjabat tangan. Hingga Lami dengan canggung melepaskan jabatan itu dan pria di hadapannya juga tersenyum canggung.

Kalau begitu saya permisi dulu.” Lami berujar, memecah keheningan yang sempat terjadi. Kembali berbalik melangkah menjauh.

Sampai jumpa!” Lami mendengar seruan pria itu dari jauh, ia berbalik memandang pria itu yang kini melambai dengan senyum. Lami tanpa sadar mengerutkan kening, mendengar ujaran pria itu yang seolah berkata bahwa mereka akan bertemu lagi. Gadis itu pada akhirnya hanya mengangguk kecil. Kembali melangkah menjauh hingga pria itu tak dapat melihatnya lagi.

Pertemuan pertamanya dengan Alva, pertemuan yang pada akhirnya mempertemukan mereka pada pertemuan-pertemuan yang lainnya.

 

***

Kilasan-kilasan itu perlahan memperlihatkannya dengan pertemuan-pertemuan selanjutnya dengan pria itu, Kak Alva. Pria itu datang lagi besoknya, menunggui Lami selesai mengajar. Gadis itu tentu saja kaget dengan pria itu yang menungguinya. Alva beralasan bahwa ia ingin mengucapkan terima kasih dengan menaraktir Lami makan siang.

Tentu saja pada awalnya Lami menolak, ia merasa tak punya kepentingan dengan pria itu. Namun seolah tak menyerah, pria itu datang keesokan hari dan keesokannya lagi. Membuat Lami pada akhirnya menerima ajakannya, berharap bahwa setelah ia memenuhinya pria itu tak menggangunya lagi.

Namun sepertinya pria itu tak ingin menyerah begitu saja. Ia masih datang setelah mereka makan siang. Kali ini bersikap seolah mereka dekat dan mulai bertanya ini-itu seperti kawan lama. Lami tentu saja kesal dan suatu hari mengeluarkan amarahnya pada pria itu agar ia tak datang lagi. Akan tetapi pria itu adalah sosok yang sangat keras kepala, bahkan ketika Lami sudah marah sekalipun pria itu tetap datang, berkata bahwa ia ingin mengenal lebih jauh sosok dirinya, ia ingin mengetahui tentang dirinya.

Hari-hari berlalu dan mereka menjadi dekat begitu saja. Entah mengapa pria itu yang datang di taman kanak-kanak ketika waktunya pulang telah menjadi sebuah kebiasaan. Mereka jadi saling mengetahui lebih banyak satu sama lain, menjadi lebih dekat seiring berjalannya waktu.

Dan hari itu akhirnya datang juga, dimana pria itu mengajaknya untuk berhubungan lebih serius, untuk mengenal lebih serius. Dan untuk pertama kalinya Lami kembali membuka hatinya setelah sekian lama hati itu tertutup dengan rapat, membiarkan sosok Alva masuk, membuka lembaran baru untuk sosok itu.

Hari demi hari, minggu demi minggu, hingga satu tahun telah berlalu dan mereka menjadi semakin dekat satu sama lain. Lami mulai membuka dirinya, beberapa kali membahas masa lalunya yang sejujurnya ia tak ingin ingat lagi. Lami seolah menemukan titik baru dalam hidupnya. Ia perlahan mulai melangkah menjauh meninggalkan masa lalunya.

Gadis itu bahkan telah bertemu dengan kedua orangtua Alva. Tadinya Lami beranggapan bahwa kemungkinan orangtua pria itu akan menolaknya yang merupakan sosok kalangan bawah. Namun semua itu salah besar. Orangtua Alva, Natasha dan Natusion menerima mereka dengan tangan terbuka. Dengan penuh kasih dan kehangatan menyambut Lami. Gadis itu kembali merasakan kesyukuran yang melimpah. Bukan hanya menerima dirinya dengan kebahagiaan, mereka berdua juga memberikan Lami kasih sayang orangtua, kasih sayang yang sangat ia rindukan.

Seperti hari ini mereka menghabiskan waktu bersama di sebuah cafe di tengah kota. Saat ini Kak Alva akan mempertemukan dirinya dengan sahabat karibnya sejak lama yang kini menetap di Jerman dan akhirnya pulang setelah berpindah dan mulai bekerja sebagai arsitektur di Indonesia.

Pria itu bercerita panjang lebar mengenai sosok sahabat karibnya yang sudah seperti saudara baginya. Mereka menghabiskan waktu bersama sedari kecil hingga sekarang, sosok itu yang bernama Kafi. Sebuah nama yang pada awalnya membuat Lami mengerinyit tak nyaman, nama yang sama dengan sosok masa lalunya. Walaupun begitu langsung ditepis bahwa itu hanya nama yang sama dengan sosok yang berbeda.

Lami ikut tersenyum senang begitu mendengar sosok yang duduk di hadapannya berujar semangat tentang sahabatnya itu. Sosok itu memang baru pulang lagi setelah mungkin hampir setahun, sibuk dengan pekerjaannya di Jerman. Itulah mengapa Lami juga tak pernah bertemu dengan sahabat sang kekasih. Dan ini akan menjadi pertemuan pertama mereka.

Ah..itu dia! Kafi di sini!” Alva berseru begitu melihat sosok yang baru saja datang memasuki cafe ini. Ia tersenyum senang dan melambai memanggil pria itu. Perlahan Lami ikut berbalik, ingin melihat sosok itu.

Gadis itu tercekat, memandang sosok yang kini berjalan ke arah mereka tak percaya. Itu adalah sosok yang paling tidak diharapkan dirinya berada di sini. Sosok yang ia tolak mati-matian. Dan sosok itu kini telah berdiri di hadapannya, ia juga memandang gadis itu dengan pandangan tak terbaca, walaupun tak menutupi keterkejutannya.

Lami..” Sosok itu berucap lirih, masih memandang gadis yang terduduk di hadapannya. Tak menyangka bahwa sosok gadis, kekasih sahabatnya yang terus di ceritakan dengan bersemangat adalah gadis itu, adik kelasnya dulu, Laminata Verania.

Kalian sudah saling kenal?” Alva berujar memecah keheningan yang tiba-tiba terbentang di antara mereka.

Tidak.” “Iya.”

Tanpa disangka-sangka Lami dan sosok dihadapannya ini berujar bersamaan. Walaupun ucapan mereka berujar bertolak belakang.

Aku hanya sebatas tahu ia kakak kelasku dulu di SMA yang lama.” Lami buru-buru memberi penjelasan sebelum pria itu berujar.

Mengapa harus dia sahabat Kak Alva?

Lami merutuk dalam hati, sepertinya memang takdir senang mempermainkannya hingga harus kembali bertemu dengan salah satu masa lalu yang ia ingin lupakan, Kafiansya Geovian.

Ah..begitu.” Alva menganggukkan kepala mengerti. “Duduk dulu, bro. Lho udah songong banget deh ngak pulang-pulang sampe setahun.” Alva berujar jenaka menepuk pundak pria itu. Kafi hanya terkekeh balas menepuk pundak pria itu. Perlahan ia juga ikut duduk, duduk di kursi dekat pria itu.

Lho udah temuin mama dan papakan?” Alva kembali membuka pembicaraan begitu Kafi telah duduk, yang dibalas anggukan singkat. Pasalnya Kafi memang lebih memilih untuk tinggal di sebuah apartement sendiri.

Kalian udah saling tahu, kan? Lami, ini sahabatku yang kubicarakan, Kafiansya Geovian. Dan bro ini Lami, kekasihku.” Alva memperkenalkan mereka dengan senyum, tak menyadari bahwa keduanya hanya memandang dalam diam. Lami dengan kesedihannya yang tiba-tiba menyeruak, dan Kafi yang hanya mampu memandang dalam diam. Pada akhirnya mereka hanya mengganguk sekilas. Lami bahkan tak sanggup memandang sosok itu lama-lama.

Dan pada akhirnya mereka harus menjalani pertemuan-pertemuan lainnya. Sejujurnya Lami merasa tak sanggup kembali bertemu dengan pria itu. Luka di hatinya seolah kembali menyayat mana kala melihat pria itu. Sosok yang meninggalkannya.

Namun ia tetap harus bertahan, ia harus membiasakan diri melihat sosok itu disekitar kekasihnya, menggangu dirinya. Walaupun Lami tetap berusaha mati-matian untuk meminimalakan pertemuan mereka.

Melihat sosok itu selalu mengembalikan ingatannya tentang hari itu, hari dimana kesakitan itu bertumpuk menjadi satu. Masih diingatnya dengan jelas bagaimana pria bajingan suami wanita jahat itu ingin memperkosanya pun dengan wanita jahat itu yang memukulinya dan menendangnya membabi-buta tak tanggung-tanggung. Dan bagaimana dirinya di titik terakhir masih mengharapkan pria itu untuk menolongnya, untuk datang menyelamatkannya.

Aku tak ingin melihat kilasan ini lagi.” Lami berucap sedih, hanya mampu memandang terpaku pada kilasan-kilasan itu.

Baiklah ayo kita pergi..” Sebelum kesadarnnya kembali terenggut, ia dapat mendengar ucapan anak kecil itu.

***

Gadis itu menghela nafas panjang, rasa sesak di dadanya mulai mencekiknya pelan. Ia mati-matian menahan tangis yang tiba-tiba menghinggapinya.

Mengapa ketika ia mengetahui kebenaran bahwa sosok yang sangat dibencinya, sosok yang tak menepati janjinya itu, semuanya terasa berat dan menggangunya.

Pria itu bukannya tak mau datang, tapi ia tak bisa. Apakah ia masih membenci pria itu bahkan ketika ia telah mengetahui kebenarannya? Lalu apa yang harus ia lakukan? Apa sebenarnya yang ia inginkan?

Kau ingin meminta maaf pada pria itu…kau ingin berdamai dengan semuanya….

Hatinya seolah kembali berbicara, menjawab keresahan dan kebingungan yang ia alami.

Lami, jangan memaksakan dirimu.” Anak kecil itu berucap pelan. “Kau akan mengetahui jawabannya segera.”

Benarkah ia akan mengetahui kebenarannya? Benarkah ia akan mengetahui perasaannya?

Kak Alva…

Nama itu perlahan terngiang. Bagaimana perasaannya dengan Kak Alva? Ia yakin ia mencintai pria itu, selama ini Alvalah yang menopangnya dan Lami telah memberikan hatinya untuk pria itu. Itulah mengapa ia bahkan tak tahan lagi hingga bunuh diri ketika pria itu meninggal, karena pria yang dicintainya telah tiada.

Lalu bagaimana dengan Kafi?

Tiba-tiba saja sebagian hatinya merontakan nama sosok itu. Jika ia mencintai Alva lalu mengapa sebagian hatinya seolah tak rela dan meneriakan nama pria itu? Mengapa dirinya jadi seragu dan sebingung ini?

Kau tahu Lami, kau punya hati yang luas.” Anak kecil itu berujar lambat-lambat. “Kau harus tahu bahwa hatimu selalu bisa memaafkan lebih dari yang kau tahu, dan mencintai lebih dari yang kau sadari.”

Aku tak tahu. Aku tak tahu apa yang harus kulakukan.” Lami berucap lirih.

Biarkan hatimu yang menjawabnya. Dan kau akan mendapatkan jawabannya.”

Aku ingin mengetahui apa yang terjadi dengan wanita..” Lami terdiam untuk beberapa saat. “Ibuku..”

Setelah sekian lama menolak dan tak ingin menoleh lagi pada wanita yang telah membuangnya. Entah mengapa Lami ingin mengetahui keadaan ibunya itu. Apakah ia makan dengan lahap setelah meninggalkannya? Apakah ia hidup sesuai dengan keinginannya? Apakah dia bahagia? Apakah ia tak merasakan penyesalan bahkan untuk sedetik saja?

Tentu saja kita akan melihat kilasan itu.” Anak kecil itu tersenyum. “Kita akan melihat ibumu.”

***

Kilasan itu memperlihatkan ibunya hidup dengan baik-baik saja. Ia mengejar mimpinya menjadi seorang desainer ternama. Berada di Kota Mode Paris, sukses dengan kehidupan yang mewah.

Wanita itu benar–benar tak menoleh lagi pada masa lalunya. Ia melangkah maju dan telah menghapus masa lalunya. Bahkan wanita itu mengganti namanya, seluruh identitasya, hingga ia terlahir menjadi sosok yang baru.

Tahun berlalu dengan cepat dan wanita itu telah menjadi desainer papan atas. Ia bahkan menikah dengan pengusaha sukses dan menjalani hidupnya dengan bahagia, persis seperti apa yang ia inginkan.

Ibu, kau hidup dengan bahagia, seperti keinginanmu.” Lami berujar lemah, memandang wanita itu yang serius menggambar desain-desain rancangannya di studio miliknya yang tepat berada di tengah-tengah kota. Gadis itu mendekat, memandang ibunya lebih dekat. Wanita itu berpenampilan modis dan sangat cantik, tak akan ada lagi yang menyangkut pautkan dirinya dengan gadis desa bernama Vera yang hamil di luar nikah.

Hey, baby.” Suara itu mengalihkan wanita itu dari keterpakuannya dengan pekejaan pun dengan Lami yang langsung berbalik mendengar suara itu. Sosok itu adalah suami ibunya, pengusaha asal kota mode ini.

Look this busy woman.” Pria itu kembali berujar. “It’s time to lunch and you still work,huh?” Wanita itu terkekeh senang, mendekat dan menghambur kepelukan pria itu. “I am waiting you.” Dengan senang gadis itu tersenyum. “Let’s eat, i am so hungry.”Mereka kemudian melangkah bergandengan tangan dengan begitu bahagia.

Lami melihat semuanya, kemesraan ibunnya dengan suaminya terpampang nyata.

Ibunya bahagia dan ia juga telah melupakannya….

Pemikiran itu yang terakhir kali Lami ingat begitu dirinya kembali berpindah dalam kilasan yang lain.

 

***

Kini dirinya telah berada dalam ruang inap rumah sakit. Lami mengerinyit bingung begitu dirinya berada di sini. Namun pandangannya langsung terpaku pada sosok yang terbaring lemah di ranjang kasur rumah sakit itu, adalah ibunya yang terbaring di ranjang itu dengan berbagai alat penunjang kehidupan.

ibunya dalam keadaan koma..

Benar ibumu koma, ia mengidap kanker otak stadium akhir.” Perkataan anak kecil itu sungguh membuat Lami terbelelak kaget. Ibunya terkena kanker? Tidak mungkin.

Sebelum Lami tersadar dari keterpakuan, kini dirinya kembali berpindah menuju kilasan lainnya.

Ini pemakaman……

Jantung Lami seolah berhenti begitu melihat nama yang tertulis di nisan itu, itu adalah nama ibunya.

Ibunya telah meninggal

Seharusnya tidak seperti ini. Ibunya seharusnya baik-baik saja dan hidup berbahagia. Bukankah ia telah mendapatkan apa yang ia inginkan? Lalu mengapa ibunya harus berakhir seperti ini?

Lami tanpa sadar tak dapat lagi menahan air matanya. Dan akhirnya gadis itu menangis, terisak berlutut di pusara itu. Ia setidaknya ingin bertemu secara langsung walaupun hanya sekali dengan ibunya. Banyak yang belum ia ungkapkan kepada ibunya, ia ingin memeluk ibunya walau hanya sekali, ia ingin mengungkapkan cintanya pada sang ibu. Ia ingin meminta maaf, untuk semuanya.

Ibu, aku ingin bertemu denganmu….aku merindukanmu…..

 

 

 

 

To be Continued

14 Komentar

  1. Sedih banget :PATAHHATI engga bisa bayangin kalo jadi lami. Dia bener2 tegar ngejalanin semuanya

  2. aku harap lami bisa bahgia sama kafi…
    walau aku sedih alva dah pergi :PATAHHATI

  3. Ibunya tega banget sih,,
    Setidaknya kalau tak balik kirim duit kek,,
    Semoga Lami memaafkan Kafi dan menerimanya kembali,,
    Terus mereka hidup bahagia!!

  4. PrincessSusan menulis:

    Nyesek banget part ini..
    :nangisgulinggulingan

  5. Aahhhh bikin mewek ??

  6. Wajihah Syarifah menulis:

    Nyesek baca part ini,apalagi pas dia ketemu dengan kafi,masa lalu nya datang lagi ke ingatannya,dimana dia di siksa habis habisan :PATAHHATI

  7. Semoga kami bisa bahagia dengan kafi :PATAHHATI

  8. Astaga typoo kambuh
    Lani dan kafibyg berbahagia maksudnya

  9. farahzamani5 menulis:

    Knp ibu ny ninggalin Lami??? Aduhhh kasian bngt Lami, pas liat kilasan2 hidupny malah tmbh nyesek yak walau jdi tau kebenaran tp ttp plus nyesek huhu
    Cuzz ke part berikutnya
    Semangat trs yak

  10. fitriartemisia menulis:

    waduh, ibunya udah meninggal juga :PATAHHATI

  11. Sedih banget??

  12. Ternyata kenyataan di balik semua kisah hidup lami lebih menyakitkan..

  13. Sedihhh :aw..aw