Vitamins Blog

[repost] Merangkul Takdir – Mengembalikan Takdir (4)

Bookmark
ClosePlease login

No account yet? Register

53 votes, average: 1.00 out of 1 (53 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

 

 

Hey bangun, hey bangunlah…”

Kedua netra kelam itu perlahan mengerjap, sayup-sayup ia mendengar suara yang berusaha membangunkannya pun dengan goncangan pelan di tubuhnya. Ketika mata itu akhirnya terbuka, dapat dilihatnya dengan jelas seorang gadis kecil yang berusaha membangunkannya. Seorang gadis kecil dengan mata bulat bernetra..jingga??

Lami langsung terkesikap, berusaha bangkit dengan cepat. Gadis itu bergeser menjauh, kali ini telah tersadar sepenuhnya. Diperhatikannya gadis kecil di hadapannya kini. Seorang anak kecil berkisar 10 tahunan dengan bola mata berwarna jingga cerah, mengenakan sebuah gaun hitam polos dengan rambut ikal hitam dikuncir dua pun dengan kulit putih pucatnya yang begitu kontras dengan gaun yang ia kenakan.

Anak kecil itu berjongkok di hadapannya, memandangnya dengan kedua mata bulat polosnya, seolah menunggu reaksinya. Kepala gadis itu secara tiba-tiba terasa begitu sakit, kepingan demi kepingan memorinya dengan cepat berputar terus menerus. Bagaikan kilasan kaset film yang berputar dengan cepat. Hingga akhirya semua kepingan itu menjadi satu. Membuatnya mengingat semua yang telah terjadi pada dirinya.

Bukankah aku sudah meninggal?…..

Benar kau sudah meninggal..” Lami tak bisa menutupi keterkejutannya mana kala anak kecil di hadapannya ini bergumam pelan seolah membaca pikirannya. Lami perlahan memindai sekitar, dan yang dilihatnya hanya sebuah ruangan kosong dengan warna putih yang menutupinya, seolah ia berada di dalam sebuah kotak putih yang sangat luas tak berujung.

Siapa kau?”

Anak kecil dihadapannya ini hanya memandang datar. “Aku bukan siapa-siapa..” Anak kecil itu kemudian bangkit, merapikan gaun hitam selututnya dengan pelan.

Siapa kau?! Aku sedang tidak bercanda.” Lami meninggikan suaranya, merasa kesal karena anak kecil di hadapannya ini seperti mempermainkannya.

Dasar manusia..apakah perkataanku kurang jelas? Aku bukan siapa-siapa. Bukankah disana juga terdapat banyak istilah tak bernama, unkonown, tak jelas..sepertinya kalian memiliki banyak istilah untuk itu.” Anak kecil itu memutar kedua netra jingganya bosan, berkacak pinggang dan mendengus pelan malas-malasan.

Bukankah aku sudah meninggal? Lalu dimana aku sekarang? Dan kau..siapa kau!? Apa yang terjadi padaku?” Lami berucap frustasi, pikirannya terasa begitu kacau. Secara tiba-tiba berada dalam ruangan putih yang misterius pun dengan anak kecil bermata jingga yang tak kalah misteriusnya.

Memang yang sedang kau alami ini terasa aneh bagimu. Tempat ini dan aku bukanlah apa-apa..kau hanya perlu fokus pada dirimu.” Anak kecil itu berucap misterius, menjentikan jarinya dan perlahan ruang putih ini dipenuhi oleh gelembung balon yang tipis. Lami tersentak, berusaha bangkit dari duduknya.

Gelembung itu semakin lama semakin banyak memenuhi ruangan putih ini, bergerak-gerak pelan memenuhi udara. Beberapa diantaranya bahkan mengelilinginya dengan putaran yang konstan.

Lihatlah kedalam gelembung itu..” Anak kecil itu kembali berucap, otomatis Lami langsung melihat kedalam gelembung balon tipis yang tepat berada di hadapannya. Gadis itu berusaha memfokuskan pandangannya. Hingga akhirnya ia dapat melihat apa yang ada di dalam gelembung itu dan matanya langsung terbelalak pun dengan langkahnya yang otomatis mundur beberapa langkah. Nafasnya tercekat memandang tak percaya dengan apa yang ia lihat.

Itu adalah dirinya yang sedang mengajar di taman kanak-kanak…di dalam gelembung itu ada kilasan hidupnya.

Benar, di dalam gelembung-gelembung ini adalah kilasan-kilasan kehidupanmu.” Anak kecil itu kembali berucap, ikut memperhatikan sebuah gelembung yang melayang tepat di hadapannya “Gelembung kehidupanmu.”

Ba…bagaimana bisa? Sebenarnya apa yang terjadi padaku..?” Lami berucap gemetaran, menutup matanya perlahan seolah menolak apa yang dikatakan anak kecil di hadapannya ini.

Ini adalah kesempatanmu.” Anak kecil itu melangkah mendekat. “Kesempatan mengembalikan takdirmu.” Anak kecil itu mendongak, memandang datar kepada Lami yang dibalas dengan pandangan kebingungan oleh Lami.

Apa maksudmu?”

Kau tahu ketika manusia terlahir ke dunia, maka mereka akan mendapatkan kesempatan untuk melihat kehidupan yang akan dijalaninya.” Anak kecil itu perlahan meniup gelembung yang mendekatinya hingga gelembung itu menjauh. “Itu artinya kau pun juga telah melihat kehidupan yang akan kau jalani, dan kau menerimanya, kehidupan menyedihkanmu ini”

Bunuh dirimu ini, juga adalah salah satu takdir yang harus kau jalani. Begitu juga dengan dirimu yang berada di sini, ini juga adalah takdirmu.” Anak kecil itu kembali menjentikan jarinya dan gelembung-gelembung yang tadinya bergerak di udara terdiam seketika.

Orang yang bunuh diri akan melihat kehancuran dirinya dalam kegelapan yang tak berdasar. Ketika pada akhirnya mereka menyadari bahwa hanya kehancuran yang akan menemaninya hingga akhir…mereka terlambat.” Anak kecil itu memandang lurus ke arah Lami. “Mereka memohon untuk kembali ke dunia, menyesali keputusan yang mereka ambil. Namun mereka terlambat…mereka harus menjalani kekejaman dari kehancuran yang mereka inginkan sendiri.”

Kau berbeda..” Anak kecil itu secara tiba-tiba telah berada di belakangnya tanpa Lami menyadari. Membuat dirinya terkesikap dan berbalik cepat dan melihat anak kecil itu telah duduk di sebuah kursi dengan tenang.

Ketika kau bunuh diri, pandanganmu seolah tertutupi. Kau tak melihatnya..kehancuran yang akan kau alami ketika kau bunuh diri. Hingga bahkan kau masih dapat tersenyum tulus di detik terakhir kehidupanmu.”

Dunia ini adil, Laminata Verania.” Anak kecil itu kembali berucap.“Begitupun untukmu…kau mendapat kesempatan untuk melanjutkan kehidupanmu, kehidupan yang sangat jauh lebih baik dibanding kematian. Kau bahkan tak bisa membayangkan kekejamaan apa yang akan kau dapatkan jika kau memilih kematian.”

Tak bisakah aku mati saja?” Lami berucap gemetar. “Aku lelah..aku hanya ingin mati…tak bisakah aku mati dengan tenang?” Tanpa sadar air mata itu kembali keluar, gejolak emosi yang tercampur aduk di dalam dirinya.

Kau tak mengerti.” Anak kecil itu memandang datar.“Apa kau pikir kematian adalah akhirnya? Tidak..kau akan menjalani kekejaman yang akan menghancurkanmu lebih dari ini…kau akan menyesalinya disetiap detiknya, kau ingin kembali tapi kau tak akan pernah bisa. Yang kau alami bahkan tak sepadan dengan kematian yang kau pilih.”

Kau merasa tak adil karena ibumu bahkan meninggalkanmu? Jutaan orang pun mengalami hal yang sama. Kau tersiksa dengan hidup sebatang kara? Bahkan ada yang menjalani hidupnya jauh lebih berat dari pada dirimu. Kau ingin mati karena orang-orang yang kau cintai direnggut darimu? Semua orang juga akan meraskannya, kehilangan orang yang dicintai” Anak kecil itu menghela nafas. “Banyak orang yang juga mengalami takdir buruk dalam hidupnya, tapi mereka tetap menjalaninya dengan kesabaran. Pada akhirnya mereka akan mendapatkan kebahagiaan, itulah harga dari kesabaran”

Aku tak peduli..aku tak peduli..” Gadis itu berucap kesakitan. “Selama ini aku juga menjalani hidupku dengan kesabaran..aku menerima semuanya dengan lapang dada.” Air mata kembali mengalir dari kedua netra kelam itu. “pada akhirnya aku mendapatkan kebahagiaanku, satu-satunya kebahagiaanku. Namun itu pun kembali direnggut. Kenapa?….kenapa?” Dengan gemetaran gadis itu kembali terduduk, tak mampu menopang tubuhnya yang gemetaran.

Kau pikir hanya itu kebahagiaanmu?” Anak kecil itu telah berada di hadapan Lami, iku berjongkok mensejajarkan pandangan mereka. “Kau memiliki banyak kebahagiaan..kebahagiaan yang menantimu.” Dengan perlahan anak kecil itu mengusap air mata yang terus mengalir dari netrs kelam Lami.

Aku tak peduli..”

Lami menggeleng sekuat tenaga “Aku hanya ingin mati..biarkan aku mati saja. Aku akan menanggung semua konsekuensinya.kumohon..”

Gadis keras kepala.” Anak kecil itu bergumam pelan, bangkit perlahan. “Kau ingin mati,kan? Kau akan mendapatkannya.” Anak kecil itu berucap lambat-lambat memperhitungkan. “Tapi kau harus memenuhi syaratku.”

Kesempatan kedua untuk melihat kehidupanmu lagii, dari awal hingga akhir.” Anak kecil itu berucap tenang. “Kehidupan ketika kau memilih kematian.” Anak kecil itu menjentikan jarinya dan gelembung-gelembung yang tadinya terdiam kembali bergerak perlahan memenuhi udara.

Ap..a?”

Kau akan melihat kembali kehidupanmu di dalam gelembung kehidupan ini.” Anak kecil itu dengan perlahan menggerakan jarinya di udara dan sebuah gelembung seolah tertarik hingga tepat berada di hadapannya. “Ketika kau telah selesai melihat seluruh kehidupanmu. Maka kau boleh memilih untuk tetap hidup ataupun mati seperti keinginanmu”

Sebenarnya siapa kau?” Lami perlahan bangkit, mamandang tajam kepada anak kecil dihadapannya. Perkataan anak kecil ini sama sekali tak masuk akal seolah ia dengan jelas mengetahui dirinya pun dengan hal-hal yang ia lakukan diluar nalar manusia.

Pertanyaan itu lagi.” Anak kecil itu mendengus pelan. “Siapa aku, ….hal itu sama sekali tak penting. Tak ada bedanya jika kau mengetahuinya atau pun tidak”

Kau bisa menganggapku orang yang akan menemanimu dalam perjalanan kehidupanmu, aku adalah pembimbingnya.” Anak kecil itu bersedekap “Aku yang membuat aturannya dan kau harus patuh.”

Kasar sekali kau, anak kecil.”

Kau bahkan tak mengetahui usiaku.” Anak kecil itu tersenyum miring meremehkan. “Sudahlah, semua hal ini tak penting. Apa kau mengerti dengan persyaratannya?”

Bagaimana jika aku menolak?” Lami berucap datar. “Aku menolak untuk melihat kembali kehidupanku.”

Maka kau akan tetap berada di sini.” Anak kecil itu berucap dengan tak kalah dingin. “Kau akan tetap di sini selamanya, sendirian dengan kebingungan setiap saat…perlu kau ketahui kau tak akan pernah bisa mati di tempat ini, bagaimanpun caranya.”

Lami tersentak begitu anak kecil ini tiba-tiba melemparkan pisau yang entah dari mana lurus ke arah jantungnya, mengenainya dengan tepat. Dengan tercekat Lami menunduk untuk melihat dadanya yang kini tertancap pisau.

Pisau itu memang ada di sana tertancap dengan kuat pun dengan noda darah yang mengenangi, membuat gaun pengantin putih yang ia kenakan berubah warna merah pekat di bagian dada, namun sama sekali tak ada rasa sakit yang ia rasakan, seolah pisau yang kini menancap tak ada.

Anak kecil itu perlahan mendekat, mencabut pisau yang kini menancap di dadanya. Perlahan pisau itu tercabut pun dengan darah pekat yang menghilang tanpa jejak, mengembalikan warna gaun putihnya seperti semula.

Kau lihat? Tak ada satu pun yang akan melukaimu di sini.” Gadis itu bergumam pelan dan dengan sekejap pisau yang ia genggap lenyap begitu saja. “Tetapi ketika kau berada di sini untuk waktu yang lama, maka jiwamu akan hampa seiring berjalannya waktu. Hanya ada kesedihan dan kesengsaran yang tersisa, hingga kau hanya akan mengingat semua kesedihan di ruang ini.”

Lami hanya memandang kosong mendengar segala penjelasan anak kecil itu. Ia tak sanggup jika harus mengingat segala kesedihan yang sekaut tenaga ia ingin lupakan. Bahkan didetik terakhir kematiannya pun ia merasa seolah bebannya terangkat mana kala akan segera melepaskan segala kesengsaraan dan kesedihan di dunia ini. Bagaimana mungkin ia sanggup untuk berada di ruang ini hanya untuk mengingat segala kesedihan dan kesengsaraan hidupnya dalam diam? Ia tak akan pernah mampu lagi.

Jadi aku harus melihat kembali hidupku? Tak ada cara lain yang bisa kulakukan?” Pada akhirnya hanya keputusasaan yang Lami kembali rasakan. Membuatnya seolah mati rasa, raga dengan jiwa yang kosong.

Tak ada cara lain. Kau hanya tinggal memilih, ikut denganku dan melihat gelembung kehidupanmu agar kau bisa memilih hidup atau kematianmu, atau tinggal di sini untuk selamanya.”

Mengapa harus aku yang megalami semua ini?” Lami mendesah pelan, bergumam seolah berbicara pada dirinya sendiri. Bahkan ketika ia ingin milih kematian pun semuanya tak berjalan lancar. Apa kehidupannya memang harus seperti ini? Haruskah hidupnya sekacau ini?

Karena ini takdirmu, kesempatanmu.” Anak kecil itu bergumam pelan menjawab pertanyaan yang bergejolak di dalam diri Lami. “Ini adalah bentuk keadilan, Lami. Percayalah bahwa ini adalah kesempatan yang sangat berharga.”

Ia ingin mempercayainya…seandainya ia bisa

Namun sekeras apapun ia berusaha untuk mempercayai bahwa semua ini adalah bentuk keadilan dunia, ia tak menemukan lagi kepercayaan itu. Hatinya telah mati rasa hanya untuk sekedar percaya dengan keadilan. Apa lagi yang bisa ia lakukan?

Aku akan memenuhi syaratmu.” Lami bergumam dingin, hanya memandang kosong. Tatapan yang dingin dan begitu kosong. “Akan kupastikan bahwa aku akan tetap memilih kematian.” Lami kembali berucap, kali ini dengan luapan tekad dan janji yang kuat, membentengi diri sepenuhnya.

Kita lihat saja nanti.” Anak kecil itu bergumam misterius, tak terpengaruh dengan raut dingin serta tekad kuat dari gadis dihadapannya kini.

Untuk yang pertama kita akan melihat ini.” Anak kecil itu memfokuskan pandang pada gelembung yang kini melayang rendah di hadapannya.

Kematianmu”

Sebelum Lami sempat bereaksi, anak kecil itu menyentuh gelembung di hadapannya. Membuat Lami mengerang pelan mana kala merasakan sakit di kepalanya yang semakin sakit begitu anak kecil itu menyentuh gelembung sepenuhnya. Tubuhnya seolah terhisap ke arah gelembung yang seolah memiliki maknet kuat, menariknya dengan paksa dengan kesakitan tanpa ampun.

Hingga di titik terakhir Lami tak dapat mempertahankan kesadarannya. Dengan pasrah membiarkan gelembung itu menariknya. Pandangannya perlahan menggelap, kegelapan yang pada akhirnya menghilangkan kesadaran penuhnya.

 

***

Sadarlah.” Sentakan itu membuat Lami sadar sepenuhnya. Kini ia perlahan membuka kedua netra kelamnya. Gadis itu terpaku begitu mengetahu bahwa kini ia berada di area apartement Alva. Ia berada di area depan apartement itu.

Beberapa meter di hadapannya, terlihat kerumunan orang-orang yang mengelilingi sesuatu, beberapa diantaranya memandang ngeri dan miris. Terdengar bunyi sirine silih berganti, dengan polisi yang berusaha menghela para warga yang berkerumun dengan memasang garis polisi.

Tanpa sadar Lami melangkah mendekat, gemetar penuh antisipasi. Namun tiba-tiba seorang polisi berlari ke arahnya, terburu-buru menuju mobil ambulans yang berada beberapa meter di belakangnya. Sebelum Lami sempat mengelak, polisi itu berlari menembus dirinya, seolah ia tak berdiri disini. Lami terpaku, masih merasakan dengan jelas dirinya di lewati begitu saja layaknya benda transparan.

Di sini kau tak akan bisa menyentuh apapun, dan tak akan ada yang melihatmu, ingat kau hanya seorang penonton.” Anak kecil itu berucap datar, melangkah lebih dulu menuju kerumunan orang, melangkah lurus dan juga menembus orang-orang itu.

Tersadar dari keterpakuan, Lami kembali melangkah berusaha untuk menghindari orang-orang yang berkerumun. Dan terlihatlah dengan jelas pusat dari kerumunan orang-orang. Itu adalah dirinya, tergeletak mengenaskan dengan darah merembes memenuhi aspal pun dengan gaun putih yang telah berubah menjadi merah pekat yang mengerikan.

Perlahan suara bising sirine pun dengan para petugas yang menghela kerumunan orang-orang terdengar semakin samar. Untuk beberapa saat Lami hanya bisa terpaku pada dirinya yang terbujur kaku mengerikan. Rasa sesak langsung memenuhinya mana kala mengingat alasan mengapa ia mengakhiri hidupnya dengan cara yang sangat tragis. Ia tak pernah sekali pun berpikiran untuk mengakhiri hidupnya sendiri. Seberat apa pun kehidupan ini melawannya, ia akan tetap bertahan sampai akhir. Akan tetapi pada akhirnya ia menyerah, dirinya tak sanggup menerima kenyataan bertubi-tubi yang menyakitinya tanpa ampun. Pada akhirnya ia pun memilih kematian, ironi yang menyedihkan.

Kak Lami! Kak Lami!”

Lami tersentak begitu mendengar jeritan seseorang yang berlari dari kejauhan. Itu saudari kembarnya,Lena. Gadis itu memberontak begitu para petugas melarangnya melewati garis polisi. Menjerit histeris dengan tangis membendung. Berusaha sekuat tenaga untuk menerobos walaupun usahanya sia-sia, pada akhirnya tubuh itu meluruh dengan masih menjeritkan namanya pun dengan tangis histeris.

Lami hanya bisa memandang miris sang saudari kembar yang menangis histeris tak berdaya. Rasanya hatinya pun teriris perlahan mana kala tangis saudari kembarnya semakin pilu, mengucap namanya dengan pilu.

Lami !!!”

Gadis itu kembali terpaku begitu mendengar suara itu memanggil namanya, Kafi. Pria itu berlari cepat, menerobos dengan cepat tak peduli beberapa petugas yang melarangnya. Pria itu terpaku pada dirinya, dirinya yang terbujut kaku. Dengan gemetaran meluruh tak mampu menopang tubuhnya. Pria terisak dalam diam, tangisan dalam yang menyayat hati. Orang-orang pun hanya bisa memandang sedih dan simpati, mersakan kesedihan menyesakan hati yang terdalam.

Tanpa sadar Lami pun tak dapat membendung air matanya juga, merasakan kesesakan yang sama semakin lama melukainya. Untuk sesaat gadis itu pun ikut larut dalam tangis yang mendalam, semakin menyiksa mana kala sebagian dirinya seolah mengutuk tak seharusnya ia mati seperti ini, tak seharusnya ia membiarkan tangis kedua orang ini melukainya.

Sebelum kegelapan kembali mengusainya, perlahan dirinya seolah kembali tertarik. Pada akhirnya gadis itu kembali dikuasai kegelapan yang membawanya menjauh.

 

***

 

Kau memiliki orang-orang yang mencintaimu dengan tulus.” Begitu Lami kembali tersadar, ucapan anak kecil itu kembali menggema. Kini mereka telah kembali berada di ruang putih dengan gelembung yang memenuhinya.

Kau tidak seharusnya meninggalkan mereka.” Anak kecil itu kembali berucap dengan tenang, memandang lurus ke netra kelamnya.

Tidak.” Lami berucap datar, balas memandang anak kecil bernetra jingga di hadapannya dengan dingin.

Mengapa mereka baru menangis sekarang, huh? Di saat..di saat aku tersiksa dan terpuruk semakin dalam..dimana mereka?? Dimana mereka ketika kubutuhkan,huh??” Lami berucap tajam dan dingin, berusaha mengenyakan segala perasaan sedih dan bisikan penyesalan yang terngiang-ngiang di benaknya. Membentengi dirinya dengan kuat, tak membiarkan perasaan-perasaan kesedihan merayap tembus.

Kau terlalu berburuk sangka.” Anak kecil itu hanya memandang datar, berjalan mendekat hingga berdiri di hadapan gadis itu. “Kau terlalu memandang negatif hidup ini.”

Lami memalingkan muka, terlihat muak dengan perkataan anak kecil di hadapannya. Seolah anak kecil ini tahu hidupnya saja hingga menghakimi semaunya saja.

Aku mengetahui semuanya, lebih dari dirimu, manusia.” Kali anak kecil itu berucap dingin. “Sepertinya tangis orang-orang yang tulus padamu sama sekali tak berguna untukmu.” Anak kecil itu perlahan mengerakan jari-jarinya perlahan dan sebuah gelembung kini tepat berada di hadapannya, melayang dengan memutar perlahan.

Sepertinya kita masih harus melihat gelembung-gelembung yang lain.” Anak kecil itu kembali memfokuskan pandangannya pada gelembung di hadapannya.

Kita akan melihat awal mula kehidupanmu.”

Dan kembali, kesadaran gadis itu direnggut perlahan. Membuat dirinya hanya bisa pasrah tenggelam dalam kegelapan yang menyesakan. Namun sebelum kesadarannya terenggut sepenuhnya, gadis itu dapat mendengar sebuah bisikan, bisikan hatinya yang terdalam.

Maaf karena meninggalkan kalian, Lena..Kafi…

 

 

 

To be Continued

26 Komentar

  1. wah…keren nih…

    1. ???

  2. alivatukaruzzaman menulis:

    Lanjut…lanjt…whahahaha seru

    1. Seru ya hihihi

  3. ernachoi26 menulis:

    Kebahagiaan adalah harga utk sebuah kesabaran. Mantap :MAWARR
    keren kak ?

    1. Maantaapp hihi

  4. Mantaappp. Lanjut kaakkk

    1. ???

  5. Tks ya kak udh update. lnjut kak. Pnasaran Lami bklan hdup lg gak ya

  6. AriyaYumyum menulis:

    :tepuk2tangan

    1. ???

  7. bikin hati sedih :nangisgulinggulingan
    bikin penasran juga… keren :MAWARR

  8. :PATAHHATI :PEDIHH sedih bnget..

  9. Widya ovitasari menulis:

    Ka di vitamin dong

  10. KhairaAlfia menulis:

    Wow!!
    Kalau aku milih hidup lagi,,

  11. Seru nih, lanjut

  12. :owlcinta :owlcinta

  13. Wa seruuu

  14. fitriartemisia menulis:

    whoaa, diajak lihat pas dia mati ya..

  15. farahzamani5 menulis:

    Lahhh part ini blom dikomen hihi
    Bersyukur bngt di ksh kesempatan kedua yak
    Semangatttt ka

  16. Kereenn

  17. Ditunggu kelanjutannyaa

  18. Edududuu.. bisa gitu ya? Kematian dpt kesempatan

  19. :iloveyou :nangiskeras

  20. @adedwirilin menulis:

    Syedihhh akutuu… :huhuhu

  21. Seru nich :lovelove