Wayang

13 November 2017 in Vitamins Blog

16 votes, average: 1.00 out of 1 (16 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

Ariana. Gadis berdarah Indonesia yang menumpang lahir di Perancis itu akhirnya berkesempatan mengunjungi tempat lahir ibunya, Indonesia setelah sekian lama tumbuh di negeri orang tanpa pernah menginjakan kaki di kampung halaman ibundanya. Ia tak henti tersenyum, membayangnyan negeri yang selama ini diceritakan almarhumah ibunya. Pasti indah dan kaya akan budaya. Terlebih ia akan langsung pergi ke pulau Jawa yang selalu didambanya.

 

Ariana masih betah berkeliling pendopo. Sesekali mengabadikan momen yang ditangkap menggunakan kamera yang ditentengnya. Ia tak jemu memerhatikan benda-benda antik di tempat yang kini disinggahinya. Sebuah padepokan seni tradisional Jawa.

Ketika melewati jejeran gamelan beserta wayang-wayangnya, ia mendengar suara yang menurutnya asing namun menarik minat.

Dilihatnya pemuda seumurannya yang telaten menggerakkan wayang, seakan memberi mereka nyawa untuk bersandiwara di atas panggung.

“Syahrep data pitana. Anenggih pundi negari kang kaeka adi dasa purwa. Eka sawiji, adi linuwih, dasa sapuluh, purwa wiwitan …”

Belum usai pemuda itu berbicara, seorang wanita yang sudah tua yang sedari tadi berada di dekatnya memotong ucapannya.

“Duh Bagas, cah bagusku, jangan seperti itu cengkoknya. Jejer itu harus halus, tenang. Namun berirama dan berwibawa.”

Entah sudah kali keberapa pemuda yang menguncir rambutnya mengulang lakon itu. Ia merasa lelah. Perkataan wanita yang sudah tua itu dijawabnya dengan sebuah anggukan, kemudian kembali mendalang.

Ariana mengerutkan kening. Ia tahu sedikit bahasa Indonesia, namun tidak begitu paham dengan beberapa kosa kata yang tadi diucapkan wanita tua pada pemuda yang dipanggil Bagas itu.

Sebelumnya, netra Bagas bersatu pandang dengan seorang gadis yang berdiri tak jauh dari sana sedang memerhatikannya dengan antusias. Gadis itu tersenyum padanya yang pula dibalasnya dengan senyuman.

Justru setelah itu Bagas mendadak jadi semakin bersemangat untuk berlatih mendalang. Sementara Ariana mendadak salah tingkah kala Bagas bertatapan dengannya.

Sementara Bagas terlihat salah tingkah, Ariana terkekeh sesaat setelah memerhatikan pendalang tampang yang bertemu pandang dengannya. Kini bagi Ariana, Indonesia tak hanya kaya dengan budaya, tapi ternyata kaya juga dengan pemuda tampan.

Fin.

Nina Bobo

4 November 2017 in Vitamins Blog

18 votes, average: 1.00 out of 1 (18 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

Mata crimson Ariana yang seharusnya terlelap saat itu masih belum juga merasa lelah. Ariana biasanya mendengar nyanyian ibunya karena setiap malam sebelum Ariana tertidur, ibundanya selalu menina bobokannyan namun berbeda dengan saat ini.

Meskipun senandung terus dilantunkan sang ibu, menghantar puteri kecilnya beranjak ke peraduannya tuk kemudian terlarut dalam luasnya lautan mimpi. Sayangnya senandung sang ibu tak lagi jadi lagu favorit pengantar tidur Ariana.

Senandung itu justru kini menjadi pilu, mengingat sang ibu nyatanya telah tewas karena kecelakaan tempo lalu. Membuat Ariana tak dapat terlelap karena malam itu dapat ia lihat ibundanya terus bersenandung nina bobo dan tak mau turun pohon mangga yang terlihat di depan jendela kamarnya jika ia tak jua tertidur.

Karena kini, tepat di depan kamarnya, dilihatnya sang ibu samar di balik jendela yang sedang bersenandung sembari tersenyum lebar hingga batas telinganya.

Mantra | Chapter 3

3 November 2017 in Vitamins Blog

15 votes, average: 1.00 out of 1 (15 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

Efsan sumringah kala mendapat kabar dari kantor pusat mengenai kedatangan anggota penelitian tambahan mereka. Nadya, seorang arkeolog muda yang sebelumnya pernah ikut dalam penelitian mengenai keraton Kasepuhan, akan tiba sore nanti di basecamp mereka.

Sesampainya di basecamp, gadis bernama Nadya itu disambut baik oleh si tiga peneliti.

“Nama saya Nadya. Saya diberi mandat oleh Pusat Penelitian Arkeologi Nasional untuk membantu penelitian yang akan dilakukan tim ini. Mohon kerjasamanya.” Gadis mungil itu tersenyum seraya menatap ketiga lainnya yang usai memperkenalkan diri lebih dulu.

Empat manusia itu kini tengah berkumpul mendengar cerita Nadya saat melakukan penelitian beberapa tahun silam.

“Sebenarnya mengenai cerita rakyat dan apa yang sudah dikatakan juru kunci itu ada beberapa yang keliru.” Ujar Nadya memulai percakapan.

Efsan menaikan sebelah alisnya, “keliru bagaimana ya?”

“Baiklah saya jelaskan berdasar apa yang sudah saya teliti sebelumnya dan apa yang sudah saya ketahui sebelumnya.” Nadya memerbaiki posisi duduknya, “sebelumnya, dari cerita rakyat yang anda semua ketahui itu, Banondari itu puteri keraton dan dibunuh saudarinya? Nyatanya bukan.”

Semua orang di ruangan itu terkejut. Efsan kembali ambil suara, “okay, Nadya. Jadi yang sebenarnya itu bagaimana?”

Gadis belia itu berdeham lalu menatap tiga orang di hadapannya terlebih dahulu sebelum melanjutkan perkataannya.

“Banondari itu sebenarnya sama sekali bukan puteri keraton, melainkan puteri seorang Empu atau pembuat keris dari sebuah desa terpencil di kaki gunung. Ia memang jatuh cinta pada Adipati Wukir Kamenda, yakni adipati yang telah dijodohkan dengan salah satu puteri mahkota keraton Kasepuhan.” Terang Nadya.  Tiga manusia lainnya terkejut namun terus memerhatikan sang gadis yang tengah berbicara.“Cerita rakyat berkata kalau yang memiliki ilmu hitam itu puteri keraton kan? Sekali lagi itu semua keliru. Yang justru memiliki ilmu hitam itu adalah Banondari. Ia selalu mencoba mencelakakan puteri keraton tersebut namun ia tidak pernah bisa karena ia dilindungi oleh Sunan Gunung Jati.” “Bagaimana bisa kamu tahu?” Tanya Angga.

“Tentu saja saya tahu karena kejadian ini berlangsung saat kerajaan Cirebon menganut agama Islam yang disebarkan langsung oleh Sunan Gunung Jati.” Jawab Nadya.

“Jadi bagaimana bisa Banondari terbunuh dan arwahnya tersegel dalam kitab itu?” Satu-satunya pemuda di sana kembali bertanya.

“Asal mula mengapa ia terbunuh, karena ia mencoba mencelakakan dan membunuh puteri keraton berikut orang-orang yang terlibat dalam perjodohan itu namun tak bisa karena sekali lagi, mereka dilindungi Sunan Gunung Jati. Oleh karena itu, Banondari memutuskan untuk membunuh Sunan Gunung Jati. Baik Sunan maupun Banondari akhirnya berseteru dan kemudian terlibat dalam pertempuran. Saya sendiri kurang mengerti pertempuran macam apa. Namun akhirnya pertempuran tersebut membuat Banondari kalah telak.

“Banondari meregang nyawa, namun akhirnya bersumpah dan mengutuk keluarga keraton terutama puteri keraton bahwa suatu saat nanti ia akan kembali dan membalaskan dendam. Karena itu, Sunan menyegelnya dalam sebuah kitab; Rogo Sukmo.” Lanjut Nadya.

Tiga manusia di depan Nadya terpekur. Masih kaget dengan penuturan sang gadis.

“Nadya, kamu—“ Efsan menggantungkan kalimatnya.

“Iya ada apa mbak Efsan?”

“—tahu dari mana semua itu?”

Nadya tersenyum, “saya sudah bilang kan tadi, kalau itu semua hasil penelitian saya sebelumnya. Sebagai informasi, penelitian saya dan tim sebelumnya adalah mengenai sejarah keraton kasepuhan selama dibimbing oleh Sunan Gunung Jati hingga mencapai puncak kejayaan agama Islam di Cirebon. Karena itu selain mendapat info mengenai apa yang saya teliti, saya juga dapat info mengenai cerita rakyat yang ternyata ada hubungannya dengan penelitian kami sebelumnya.”

Efsan membeo dan mengangguk mengerti. Begitupun dua orang lainnya, kelihatan mengerti dengan semua yang sudah dijelaskan Nadya. Sementara itu, netra Nadya terpaku pada seseorang yang selama ini dicarinya.

Ada banyak hal yang ingin dia ketahui. Terutama mengenai apa yang dia miliki saat ini.

Hari sudah larut. Semua orang di basecamp itu sudah terlelap kecuali Eva yang belum juga terlelap di ruangannya. Ia masih penasaran dengan semua yang dituturkan Nadya sore tadi. Gadis itu menekuni tumpukan berkas di hadapannya. Ia terlalu serius hingga terkejut saat seseorang menepuk pundaknya.

“Mbak Eva.” Ucap seseorang di belakangnya.

Yang dipanggil menoleh ngeri, namun akhirnya menghela napas karena ia mendapati Nadya di belakangnya. Kedatangan Nadya yang tidak diduganya, dia bahkan tidak mendengar suara langkah kaki atau bahkan tidak mendengar suara derit pintu ruangannya terbuka. Atau justru ia terlalu focus dengan kegiatannya hingga tidak menyadari kedatangan Nadya.

“Nadya toh, kirain siapa. Ngagetin aja.”

“Dari tadi saya panggil mbak tapi nggak nyahut yaudah saya samperin deh.” Nadya terkekeh.

Eva menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, “ada apa toh, Nad?” Ujarnya to the point.

“Mbak Eva, sebenarnya saya menemukan ini pada saat eksplorasi bangunan keramat itu sebelumnya.” Nadya menyerahkan sebuah buku usang pada Eva.

Gadis bernetra kecokelatan itu sontak terbelalak saat menerima buku tersebut.

Rogo Sukmo? Kenapa bisa kamu dapet ini?”

“Saya nemu buku itu begitu aja di bangunan itu, mbak.”

“Jangan-jangan yang peneliti lain bilang kalau kitab ini hilang saat bangunan itu runtuh karena kamu yang ambil?” Tuduh Eva.

“Mungkin?”

Eva menggelengkan kepalanya, “Nadya.. ini bukan buku biasa. Kenapa bisa kamu simpan dan kamu berikan pada saya?”

“Saya ingin mbak yang menerjemahkannya. Bukan orang lain. Karena itu buku ini sengaja saya simpan supaya bisa saya kasih langsung ke mbak.”

“Kenapa saya?”

“Saya percaya sama mbak, dan yakin sama kemampuan mbak yang sudah terkenal sangat ahli dalam menerjemahkan bermacam aksara kuno dibanding arkeolog lain. Karena itu saya mengajukan diri saya untuk ikut penelitian ini. Berhubung saya sudah bertemu mbak Eva, saya pikir mbak bisa menerjemahkannya.” Terang Nadya.

“Gue serius loh Nad.”

“Saya juga serius kok mbak.” Jawab Nadya.

Eva memijat pelipisnya, pening. Ia menarik napasnya sejenak sebelum mulai membuka buku itu. Halaman pertama, ia mendapati sebait aksara kuno yang berbunyi,

Ingkang keserat teng mriki ngendikakaken menawi;

Priyantun ingkang manggih ugi mbikakipun nduwe artos sampun nglukar itikaken

Priyantun ingkang maosipun nduwe artos sampun ngasta panjenenganipun wungu

Priyantun ingkang mastanikaken japinipun nduwe artos sampun ngasta panjenenganipun wungu,

Menawi panjenenganipun sampun wungu, mila itikaken salajengipun badhe kedadosan.

Gadis itu mengerutkan kening kala membaca aksara tersebut. Nadya yang duduk di sampingnya menelengkan kepalanya, “kenapa mbak? Isi tulisannya apa?” Pertanyaan Nadya membuat Eva menolehkan wajahnya pada gadis itu.

Yang tertulis di sini menyatakan bahwa; orang yang menemukan dan membukanya berarti telah melepas segelnya, orang yang membacanya berarti telah membangkitkannya, orang yang menyebutkan mantranya berarti telah membebaskannya, jika dia telah bangkit dan terbebas, maka malapetaka akan terjadi.” Eva meneguk ludahnya.

“Terus mbak? Kalau yang ini?” Tanya Nadya sembari menunjuk dua baris kalimat di penghujung halaman.

Priyantun ingkang saged memokaken panjenenganipun namunga tedhak lajeng keraton Kasepuhan, 
Ingkang dipunyektosaken badhe kenging kawonan ngantos sedayanipun dipunkendelaken.

“Orang yang dapat menemukannya hanyalah keturunan langsung keraton Kasepuhan, yang dinyatakan terkutuk hingga semuanya dihentikan.” Ucap Eva berbisik hingga nyaris tak terdengar oleh Nadya.

“Apa, mbak?”

“Ng-nggak.”

Nadya mengangguk, “tuh kan saya bilang juga apa. Mbak Eva bisa menerjemahkannya.”

Eva tersenyum kecut.

“Saya jadi tenang deh gak penasaran lagi sama isinya soalnya mbak Eva bisa terjemahin jadi saya tinggal tanya langsung ke mbak deh. Bukunya saya titip di mbak aja. Saya pamit istirahat dulu. Makasih ya mbak.” Ujar Nadya tersenyum sambil berlalu dan dibalas anggukan singkat oleh Eva.

Sepeninggal Nadya, arkeolog muda itu kembali menekuni buku tersebut. Hingga ia sampai pada satu halaman dengan aksara yang sama yang berarti,

Ada satu cara untuk mengembalikan kutukan Banondari.

Yaitu dengan benda pusaka milik Sunan Gunung Jati, berupa kalung berbatu biru, yang jika dilihat di bawah sinar matahari akan berubah warna menjadi merah dan jika dilihat di bawah sinar bulan akan berwarna putih menyilaukan.

Eva menautkan kedua alisnya. Dalam literatur manapun ia belum pernah menemukan adanya pusaka seperti itu.

“Kalung berbatu biru? Pusaka milik Sunan Gunung Jati?” Ia menggeleng, merasa benda seperti itu sepertinya mustahil ada di dunia ini, dan sempat berpikir itu hanya bualan saja. Namun hati kecilnya merasa yakin dan merasa bahwa benda itu memang ada dan berada di satu tempat entah di mana.

Karena sudah merasa cukup dibuat pening seharian tadi, ia kemudian memutuskan untuk beristirahat. Setelah membereskan meja kerjanya, ia pun beranjak ke ruang tidurnya. Dan tanpa ia sadari, sepasang mata terus memerhatikannya sedari tadi.

Meski telah merebahkan diri di atas tempat tidurnya, arkeolog muda itu masih belum juga dapat memejamkan matanya. Penasaran, sekali lagi ia membuka buku itu dan lagi-lagi membacanya.

“Orang yang menemukan dan membukanya berarti telah melepas segelnya? Orang yang dapat menemukannya hanyalah keturunan langsung keraton Kasepuhan, yang dinyatakan terkutuk hingga semuanya dihentikan?”

Ia mengerutkan kening. Jika memang benar Nadya yang menemukannya, bukankah sudah pasti dia akan membuka buku itu? Dan yang dapat menemukan buku itu hanyalah keturunan langsung keraton Kasepuhan. Maka dari itu—

“—berarti.. N-nadya keturunan langsung keraton kasepuhan dan dia sudah melepas segel Banondari?” Eva meneguk ludahnya sendiri.

Selanjutnya ia merasa tubuhnya bergetar karena ketakutan.

“Kalau dia ngasih buku ini langsung ke gue, dan gue yang baca, b-berarti …”

Iya, kamu sudah membangkitkan aku.”

Eva terkaget saat mendengar bisikan seorang wanita entah dari mana itu. ia merasa bulu kuduknya meremang. Terlebih saat ia mendengar seseorang menyanyikan tembang dengan bahasa yang menurutnya tak asing lagi,

“Sup sup sinurup manjing waruga

Waruga jati jadi sempurna

Badanku siji tembus ing jati

Jati rogo sukmo sejati.”

“Rogo.. sukmo..?” Sayup-sayup ia mengatakan itu karena merasa kepalanya mendadak begitu berat hingga setelahnya ia tak sadarkan diri.

 

Sweet Scandal 4: Suddenly Kiss

2 November 2017 in Vitamins Blog

24 votes, average: 1.00 out of 1 (24 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

Seusai mencuci piring, ia kembali ke ruangan itu dengan dua cangkir teh herbal hangat. Didapatinya Arata duduk di sofa seraya menonton video boat racing. Satsuki memerhatikan video yang sepertinya sudah lama itu.

Arata melirik Satsuki yang tengah berdiri memerhatikan video yang ditontonnya.

“Kemarilah! Video ini sangat menarik! Kau harus menontonnya!” Arata menggeser tubuhnya ke samping, memberi tempat untuk Satsuki duduk.

Satsuki ragu untuk duduk bersebelahan dengan pemuda itu tapi akhirnya dia duduk juga di pinggir sofa dan menyisakkan ruang di antara mereka.

Arata menoleh pada Satsuki yang mulai menonton video itu seusai meletakkan cangkir teh di atas meja. 

“Kau tidak bisa melihat video ini dari sana. Kemarilah!”

“Apa—?“ Satsuki belum sempat berbicara lagi karena Arata sudah menariknya mendekat hingga tubuh mereka bersentuhan. Satsuki shock. Sementara itu Arata cuek dan tetap menonton video.

Saat itu juga Satsuki ingin pergi saja dari sana. Sedekat ini dengan Uchiha Arata? Yang benar saja!

***

Video yang Arata dan Satsuki tonton merupakan video dokumentasi boat racing bertahun-tahun lalu. Pertandingan tersebut direkam dalam jarak yang cukup dekat dengan arena pertandingan sehingga pergerakan para pembalap terlihat jelas dalam video tersebut. Satsuki menangkap cukup banyak informasi dari video itu. Ia mencoba berkonsentrasi sepenuhnya pada layar televisi. Penasaran, video tersebut sukses membuatnya ingin memelajari lebih lanjut mengenai boat racing. Namun posisinya saat ini, membuatnya sulit fokus dan terus berdebar karena ia berada dalam jarak sedekat itu dengan Arata terlebih tubuh Satsuki kini dirangkul dengan cueknya oleh Arata. Indera penghidu Satsuki dengan jelas merasakan aroma pinewoods dari tubuh Arata belum juga hilang sejak tadi sore pemuda itu mandi padahal ia sempat berkutat di depan properti dan mesin speedboat cukup lama. Satsuki mendadak teringat kejadian memalukannya sore tadi seketika menghirup aroma pinewoods itu. Gadis itu menghela napas berat. Ia tidak dapat mengontrol semu merah yang kini mewarnai pipinya. Satsuki menepuk kedua pipinya, mencoba kembali fokus pada video. Setidaknya usaha Satsuki untuk tidak memikirkan kembali kejadian sebelumnya berhasil. Ia menjadi kian berkonsentrasi ketika komentator balapan itu menyebutkan nama Uchiha.

“Uchiha?” Pandangan gadis itu teralihkan sepenuhnya pada Arata, “kau balapan semuda itu?” Satsuki melihat tanggal balapan yang tertera pada papan pengumuman elektrik yang sempat tertangkap kamera. Balapan itu ternyata terjadi 10 tahun lalu.

“Tentu tidak. Itu kakakku.”

“Kakakmu boat racer juga?” Tanya Satsuki polos.

“Ya, tapi dia kurang terkenal.” Arata mengangguk sembari tersenyum lemah.

Satsuki merasa Arata menepuk punggungnya, menyuruh Satsuki untuk kembali menonton video. Dan menunjuk salah satu peserta yang memakai jaket balapan warna biru tua yang sama seperti milik Arata.

“Itu kakakku,” ujar Arata. Satsuki mengangguk dan memfokuskan dirinya pada video itu.

Pada video, para pembalap terlihat berada di starting line—akan mulai balapan. Melihat pemandangan itu, Satsuki merasa kembali saat pertama kali ia menonton Arata bertanding. Secara tidak sadar, Satsuki merasa bersemangat dan memajukan tubuhnya sedikit sembari mengepalkan tangannya. Pada layar televisi, terlihat penonton bersorak sangat ramai ketika pertandingan dimulai.

Kakak Arata menguasai pertandingan dengan berada di garis terdepan, meninggalkan peserta lain yang tertinggal jauh di belakangnya. Menyusul seorang pembalap lagi yang melaju tepat di depannya.

Singkatnya, kakak Arata berhasil menyamakan lajunya dengan pembalap yang berusaha disusulnya. Pertandingan begitu sengit terlebih ketika keduanya saling susul-menyusul hingga mendekati garis finish. Penonton bersorak ramai memekik nama kedua peserta terdepan yang saling memacu speedboatnya yang kini sudah mendekati garis finish. Satsuki merasa tegang menonton pertandingan itu, baginya aksi saling pacu itu membuat jantungnya berdebar dan penasaran. Kedua matanya seakan tidak berkedip menyaksikan pertarungan sengit itu. Terlebih ketika kakak Arata meningkatkan lajunya saat benar-benar mendekati garis finish dan kemudian berhasil melewati garis finish mendahului saingannya.

“YAAY!” Teriak Satsuki antusias sembari mengepalkan kedua tangannya ke udara, “dia menang! Dia menang! Astaga! Dia hebat sekali!”

Arata menaikkan sebelah alisnya, “ayolah, ini bukan pertandingan live. Kau pikir sudah berapa ratus kali aku menonton video ini?”

“Oh, i-iya sih.” Satsuki mendadak salah tingkah ketika menyadari bahwa dia sudah over-semangat hingga mengepalkan kedua tangannya ke udara dan berkeringat banyak. Ia kemudian menolehkan pandangannya ke sembarang tempat. Malu. Tapi Arata dengan cueknya menoleh ke arah Satsuki dan menatapnya dengan tatapan menyelidik.

“Tapi jika kuperhatikan sepertinya kau tidak tahu-menahu soal boat racing.”

“Aku malu mengakuinya, tapi—kau benar,” Satsuki mengaku.

“Pantas saja selama di pesta waktu itu kau bertanya banyak hal konyol,” ujar Arata seraya menilik koleksi videonya yang lain.

Mendengar Arata berkata demikian, Satsuki langsung teringat kejadian bodohnya saat di pesta waktu itu—pertama kali bertemu Arata. Uchiha muda itu terus memandangi Satsuki seakan-akan penasaran dengan gadis itu. Sementara Satsuki terus membuang muka.

“Kalau dipikir-pikir jika kau tidak ada ketertarikan apapun terhadap boat racing, mengapa kau bersikap seperti itu?”

“Seperti … apa?”

Arata menunjuk tangan Satsuki yang masih terkepal selama menonton video tadi. Kelereng biru laut Satsuki melihat ke arah yang di maksud dan segera menyembunyikan tangannya di samping badannya. Satsuki menghirup napas panjang sebelum menjawab pertanyaan Arata.

“Sebenarnya saat pertama, bisa dibilang aku hanya tertarik untuk mewawancaraimu tapi aku tidak tahu kenapa merasa sangat tertarik dengan boat racing setelah menontonnya secara langsung dan ku akui. Boat racing sangat menyenangkan.”

Arata masih diam, mendengarkan Satsuki berbicara.

“Aku belum pernah menonton pertandingan balapan lain seperti horse racing atau cycle racing tapi untuk beberapa alasan, boat racing membuatku merasa sangat bersemangat dan merasa ingin terus memelajarinya, lalu juga berteriak seperti penonton lainnya selama pertandingan untuk menyemangatimu.“

Pembalap muda berbakat itu terpekur mendengar penjelasan Satsuki.

“Maaf, aku tidak bisa menjelaskannya dengan benar. Tapi bagiku boat racing sangat keren! Aku bahkan masih bisa membayangkan suara mesin yang beresonansi, benar-benar membuatku merasa bersemangat! A-ah aku ingat! Pada wawancaramu sebelumnya, kau pernah bilang ingin menjadi pemenang Tokyo Boat Championship kan? Untuk melihatmu menang aku akan—“

Satsuki berhenti berbicara kemudian melirik Arata yang masih terdiam mendengar ocehannya.

—akan melakukan apapun untukmu.

Gadis Sakuraba itu menelan ludah, hampir saja mengucapkan kata-kata yang seharusnya tidak melucur dari mulutnya.

“M-maksudku untuk melihatmu menang aku akan menyemangatimu dan mendukungmu sebaik mungkin.” Satsuki mencoba memperbaiki kesalahannya dengan mengganti kata-kata yang tidak seharusnya dia katakan.

Sementara itu Arata tersenyum seakan-akan tidak merasa aneh dengan omongan Satsuki yang sempat berhenti mendadak.

“Terimakasih. Aku harap kau tetap mendukungku setelah wawancara selesai.”

“Ya, tentu saja!” Jawab Satsuki bersemangat.

Arata yang mendadak ikut bersemangat karena Satsuki, meletakkan tumpukan DVD dokumentasi boat racing yang sedari tadi di pegangnya ke atas meja dan meraih cangkir berisi teh herbalnya.

“Uchiha-san apakah kau menjadi boat racer karena kakakmu?” Tanya Satsuki secara tidak sadar.

Arata meletakkan cangkir tehnya setelah menyesap sedikit isinya kemudian memandang kosong layar televisi yang masih menayangkan video boat racing.

“Itu sebenarya janjiku pada kakak.”

“Janji?”

“Dia tidak memenangkan banyak pertandingan dan tidak menjadi boat racer terkenal. Itu karena karirnya terhenti saat dia tewas karena kecelakaan.”

Satsuki terdiam mendengar jawaban Arata.

“Bagiku dia tidak beruntung sebagai boat racer, karena itu aku berjanji padanya untuk menjadi pemenang Tokyo Boat Championship. Aku berjanji padanya untuk melakukannya tanpa ada kesalahan apapun.”

“Aku mengerti.” Satsuki mengangguk.

“Setiap hari, aku memikirkan banyak hal mengenai bagaimana caranya menjadi pemenang Tokyo Boat Championship dan menjadi boat racer terbaik di Jepang. Aku berpikir pasti akan sangat menyenangkan jika makin banyak orang tertarik dengan boat racing seperti apa yang kau katakan. Aku juga membayangkan banyak pembalap muda yang ikut bertanding.”

Arata menjeda sejenak perkataannya sebelum kembali berbicara.

“Aku berpikir bagaimana cara membuat orang lain tertarik dengan boat racing. Aku tidak dapat berhenti memikirkannya setiap saat.” Arata menoleh sepenuhnya ke arah Satsuki, dan di saat bersamaan Satsuki tengah memerhatikan Arata hingga pandangan keduanya bertemu. Dapat Satsuki lihat refleksi dirinya di mata Arata dengan jelas.

“Jadi ketika aku berhasil menjadi pemenang Tokyo Boat Championship, aku ingin kau menulis mengenai boat racing sehebat mungkin hingga kakakku di surga dapat tertawa dan bangga padaku.”

Satsuki merasa Arata di hadapannya seperti anak kecil yang tengah mengungkapkan seluruh keinginannya. Tanpa sadar, tangan Satsuki bergerak meraih tangan Arata dan menggenggamnya erat—sangat erat kemudian berteriak,

“Aku berjanji akan menulis artikel yang bagus untukmu!”

Arata menatap gadis di hadapannya lurus-lurus dengan ekspresi terkejut, kemudian tertawa.

“Kau memang gadis aneh. Berteriak sekencang itu.”

“A-aku minta maaf, a-aku hanya—“

“Tenang saja, ada angin puyuh di luar sana. Jadi teriakan mu tadi tidak akan mengganggu tetangga.” Arata tersenyum simpul, “aku menunggu artikel yang bagus darimu.”

Hening menyelimuti mereka saat itu namun Satsuke tiba-tiba terdengar suara ‘klik’, suara yang dikenalinya, seperti suara kamera yang berbunyi saat mengambil foto.

“Kau kenapa?” Tanya Arata saat melihat perubahan mendadak pada Satsuki yang terdiam dan melihat ke arah jendela.

“O-oh itu—“ Satsuki mergegas melepaskan genggaman tangannya kemudian berdiri, “kau tidak keberatan kalau aku pergi ke luar untuk melihat-lihat?”

“Apa? Tidak, itu terlalu berbahaya.”

“Tapi tadi sepertinya aku mendengar sesuatu,” jelas Satsuki.

“Sudahlah, sepertinya itu hanya suara angin.”

Tapi—

Satsuki menghela napas berat dan menuruti perkataan Arata.

—yang tadi itu seperti suara jepretan kamera.

Khawatir, gadis pirang itu mengecek kameranya sendiri berpikir mungkin suara tadi berasal dari kameranya yang mengalami gangguan. Tapi setelah mengeceknya, ia tidak menemukan adanya kerusakan. Satsuki merasa gelisah, tidak bisa tenang.

“Kau kenapa?” Tanya Arata.

“A-ah tidak.” Satsuki tersenyum kering. Ia mencoba melupakan yang tadi didengarnya dan berpikir bahwa suara tadi hanya imajinasinya saja.

“Kalau begitu sudah saatnya aku kembali bekerja.” Arata beranjak dari tempat duduknya, “kau bersantailah di sini.”

“Baiklah, tapi jika kau memerlukan bantuan, bilang saja padaku,” ujar Satsuki menawarkan diri.

“Kau pikir aku akan melakukan itu? Ini sudah waktunya perempuan dan anak-anak tidur.” Arata menghela napas sembari melirik jam dinding yang sudah menunjukkan waktu larut malam.

Saat akan kembali ke tempat kerjanya, Arata mengusir Satsuki yang mengekor kemudan tertawa saat gadis itu cemberut karena Arata menolak diberi bantuan.

Satsuki mengempaskan bokongnya ke sofa. Ia merasa angin puyuh berikut badai di luar sana belum juga berhenti. Gadis belia itu membalut dirinya dengan selimut yang didapatnya dari Arata dan menulis apa saja yang sudah dipatkannya selama wawancara tadi ke dalam notebooknya. Ia sesekali menoleh ke jendela yang tertutup gorden, memperkirakan bahwa badai tersebut akan berhenti esok hari kemudian bertekad untuk pulang secepatnya ketika hari sudah pagi.

“Haaah—“ Satsuki menutup mulutnya yang menguap. Ia merasa dirinya sudah mengantuk dan lelah terlebih ia sudah berjalan cukup jauh dan tersesat tadi. Satsuki melihat Arata yang masih bekerja di ruangannya. Uchiha muda itu masih setia berkutat dengan pekerjaannya.

“Sepertinya aku harus mengatur ulang jadwal wawancara untuk beberapa hari ke depan. Semoga untuk bulan-bulan berikutnya baik-baik saja dan tidak ada perubahan jadwal signifikan,” katanya berbicara pada dirinya sendiri.

“Arata masih belum bersedia diwawancara mengenai kehidupan pribadinya, apa nanti dia mau ku wawancarai tentang itu ya?” Gumamnya.

Ia sekali lagi melirik Arata di ruangan sebelahnya dari pintu yang sengaja dibiarkan terbuka.

Tanpa berpikir, Satsuki berdiri dan berjalan ke depan pintu ruangan kerja Arata yang terbuka dan memerhatikan pemuda yang membelakanginya itu.

Merasa diperhatikan, Arata membalikan tubuhnya.

“Apa?”

“Oh, M-maaf—“ Satsuki menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, “aku tidak bermaksud mengganggumu.”

“Kenapa? Apa punggungku sangat memesona?” Goda Arata.

“Ap—“

“Bercanda.” Uchiha itu kembali berbalik dan mengutak-atik mesin di depannya, “aku menyimpan beberapa pakaian untukmu di buffet dekat kamar mandi. Bagaimana kalau kau mandi dulu?” Tanyanya tanpa berbalik menghadap Satsuki.

Yang ditanya menelengkan kepalanya dan tetap diam di tempat.

Merasa gadis di belakangnya tidak jua beranjak, Arata mengambil handuk dan melemparkannya pada Satsuki.

“Pergilah mandi. Aku tidak akan mengintipmu.” Setelah melemparkan handuk pada Satsuki, Arata kembali bekerja.

Satsuki yang terlanjur diberi handuk berjalan gontai ke kamar mandi dan mengambil beberapa lembar pakaian milik Arata yang sebelumnya sudah Arata persiapkan untuknya.

***

“Segarnyaaa!” Satsuki mengeringkan rambut pirang panjangnya seusai mandi menggunakan handuk sembari berjalan ke ruang kerja Arata. Pemuda bermarga Uchiha itu masih berada di sana. Gadis itu khawatir keberadaannya akan mengganggu Arata, jadi dia berusaha berbicara sepelan mungkin.

“Jika kau mau aku akan membuatkanmu teh,” tawar Satsuki. “Bisakah kau berhenti sejenak?”

Arata menoleh pada Satsuki kemudian melihat jam di dinding, “oh ternyata sudah selarut ini?” Ia meregangkan tubuhnya dan menguap. Satsuki dapat menyimpulkan bahwa Arata sudah lelah dan mengantuk dari ekspresi lelah pada wajah pemuda tampan itu.

“Kau benar, sepertinya aku butuh teh,” kata Arata sembari melangkahkan kaki memasuki ruang tengah.

Satsuki mengangguk, “baiklah aku akan menyiapkan air panasnya dulu.”

***

Setelah membuatkan teh, Satsuki kembali ke ruang tengah. Didapatinya Arata mendudukan dirinya di sofa dengan kedua tangan terentang dan kepala menengadah, lelah. Melihat pemandangan itu, Satsuki tersenyum.

“Hey kenapa kau berdiri terus di sana? Cepatlah bawa tehnya ke mari sebelum dingin!”

“Ah! Maaf—“ Gadis itu segera sadar dari lamunannya dan segera menaruh dua cangkir teh di atas meja dan duduk di sofa berhadapan dengan pembalap muda itu.

Selagi menyesap teh, pandangan Arata terpaku pada notebook Satsuki yang terbuka di atas meja.

“Kau mengerjakan artikel itu sejak tadi? Kau memang pekerja keras,” ujarnya sembari menunjuk notebook Satsuki yang penuh dengan coretan mengenai boat racing yang didapatnya dari percakapan Arata dan Hiro sore itu.

“Maaf, aku tidak bermaksud untuk membuat barang-barangku berantakan seperti ini.”  Satsuki segera menaruh cangkir tehnya sebelum meminumnya dan membereskan barang-barangnya yang bercecer di atas meja.

“Tenang saja, aku tidak mempermasalahkan itu.”

Arata meneguk cairan keruh itu sebelum kembali berbicara.

“Aku sudah berbicara banyak tentangku hari ini. Sekarang giliranmu.”

“Apa?” Satsuki setengah tidak percaya.

“Bagaimana denganmu? Kenapa kau ingin menjadi reporter?”

Satsuki tersenyum, “menjadi reporter adalah salah satu mimpiku, dan tujuan utamaku adalah menjadi reporter khusus rubrik Total Coverage pada majalah QUEEN sejak aku masih SMA dulu karena aku sangat menyukai majalah itu. Karenanya aku putuskan untuk bergabung dengan perusahaan ini.”

“Jadi kau sudah mendapatkan apa yang kau impikan.” Arata mengangguk.

“Tentu, aku bersyukur untuk itu. Editorku selalu berkata pada kami selaku reporter untuk tidak menulis artikel biasa, melainkan tulislah artikel yang luar biasa karena itu adalah pekerjaan kami.”

Satsuki menghela napas.

“Saat pertama kali aku bekerja sebagai reporter, aku sangat payah dan membuat banyak kesalahan.”

“Benarkah? Seperti apa?” Tanya Arata, tertarik.

“Menurutku itu sangat memalukan dan tidak seharusnya kukatakan padamu.”

“Justru itu yang membuatku tertarik,” sahut Arata. Satsuki menelengkan kepalanya.

“Ayolah katakan padaku kesalahan apa yang kau perbuat?”

“Aku mengerjakan artikel suatu subjek terlalu cepat namun tidak mendapatkan esensinya dan tidak berkonsentrasi sepenuhnya pada subjek. Jadi editorku sempat menegurku, dan mengatakan aku harus berkerja dengan hati, bukan asal selesai.” Jawab Satsuki sembari mengingat saat-saat pertama ia bekerja sebagai reporter.

“Aku bisa membayangkannya. Aku rasa yang kau lakukan sudah cukup bagus. Itu membuktikan bahwa kau serius menjadi seorang reporter.”

“Itu sama sekali tidak bagus.” Satsuki menggeleng, “aku membuat masalah untuk bosku dan kolegaku dan kadang-kadang membuatku mewawancarai ulang subjekku.”

“Tapi menurutku begitu. Justru yang seperti itu akan membuatmu menjadi reporter yang hebat.” Arata tersenyum pada Satsuki. Pandangan mata Arata melembut, membuat Satsuki merona seketika.

“Ketika aku mendengarkanmu berbicara, aku akhirnya mengerti.”

“Apa?” Tanya Satsuki polos.

“Banyak reporter wanita yang mencoba mewawancaraiku sebelum kau. Tapi mereka hanya bertanya tentang kehidupan pribadiku dan boat racing dijadikan opsi kedua.”

Satsuki mendengarkan Arata dengan saksama.

“Aku bosan dengan pertanyaan klise mereka seperti apakah aku punya pacar? Bagaimana pengalaman cintaku? Jika aku berkencan, tempat mana yang aku tuju? Dan apa yang biasanya aku pakai? Ketika aku ditanyai pertanyaan terakhir itu, aku akan seperti ini,” ucapnya sembari berdiri dan menarik jerseynya, melambai sejenak kemudian berlalu.

“Dan akhirnya reporter wanita itu berkata bahwa maksudnya ia ingin tahu apa yang aku pakai selain pakaian ini.”

Arata kembali duduk di kursi di depan Satsuki dan meneguk tehnya lagi sebelum berbicara lagi.

“Kau sudah mewawancaraiku, jadi aku rasa kau mengerti mengapa aku tidak terlalu suka ditanyai seperti itu karena bagiku, tidak ada waktu untuk jatuh cinta. Dan saat ini, boat racing adalah segalanya untukku.”

Satsuki mengangguk mendengar curhat colongan Arata, “ya. Aku sangat mengerti.”

Pembalap muda itu terdiam dan menatap Satsuki lurus-lurus.

“Kau belum pernah bertanya padaku mengenai percintaanku. Selama wawancara ini kau menanyaiku tentang hobi dan kemampuanku. Kau tidak berbicara hal-hal klise macam tadi dan kau bertanya dengan serius soal boat racing.”

“Aku memang bilang padamu untuk tidak menghalangiku saat pertama kau ingin mewawancaraiku. Kuakui kau memang agak sedikit mengganggu pekerjaanku. Tapi karena kau masih pemula mengenai boat racing aku memakluminya,” lanjut Arata.

Satsuki menunduk, “m-maaf…”

“Aku tidak marah, jadi kau tidak usah minta maaf,” sahut Arata seraya meraih sebuah majalah di atas meja, “aku memang tahu tentang majalah QUEEN yang diterbitkan perusahaanmu. Majalah yang sangat poluler di kalangan wanita, tapi karena aku belum pernah membacanya, aku sempat berasumsi kalau isinya sama saja seperti sampah bahkan lebih buruk dibanding majalah lain.”

Arata membolak-balikan halaman majalah yang dipegangnya kemudiah terhenti dan menatap gadis di depannya.

“Aku minta maaf karena berpikir demikian.”

Jantung Satsuki berdebar. Entah karena Arata yang meminta maaf padanya atau karena ekspresi serius Arata yang menatapnya dengan lembut, tidak seperti sebelum-sebelumnya.

“Tidak apa-apa. Kenapa kau tiba-tiba berubah pikiran?” Tanya Satsuki.

“Kau selalu menyimpan notebook di kantongmu kan? Kau pernah menjatuhkannya dan tidak menyadarinya. Karena penasaran dengan apa yang kau tulis, aku membacanya.”

“O-oh..”

“Aku tidak menyangka reporter sepertimu menulis hasil wawancara begitu detail dan tepat pada subjeknya dibandingkan reporter lain yang pernah mewawancaraiku. Saat aku membaca artikel yang ditulisnya, ia ternyata banyak memasukan hal-hal tidak penting yang kurasa seharusnya tidak ia masukan pada artikelnya.”

Hening sesaat, keduanya masih saling memandang. Saat itu juga Satsuki merasa atmosfir di ruangan itu menjadi aneh. Satsuki tahu ia seharusnya mengatakan sesuatu untuk memecah keheningan tapi ia tidak dapat memikirkan apapun.

Gadis pirang itu gelisah terlebih saat itu ia malah diam dan pemuda di hadapannya masih menatapnya. Ia menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, salah tingkah.

“A-aku … terimakasih,” gumamnya tidak nyambung dengan tujuan memecah keheningan.

Kembali hening. Satsuki merasa dapat mendengar jantungnya yang berdetak berikut suara angin dan hujan yang berkolaborasi malam itu. Ia tegang, tidak tahu apa yang harus dilakukannya.

Untungnya Arata tiba-tiba berdiri.

“Aku akan kembali bekerja. Kau bisa tidur di sini, pakai saja selimut yang kuberikan padamu.”

Satsuki mendongak, memerhatikan Arata.

“Kau juga harus bangun pagi kan? Aku juga tidak mau menghalangi dan mengganggu pekerjaanmu.”

Gadis itu tersenyum canggung, “ya, tentu saja!” Bersaamaan dengan itu, ia juga ikut berdiri namun dicegah Arata.

“Kau duduk saja,” ujar Arata yang tersenyum simpul kemudian berlalu ke ruangan kerjanya yang kali ini tidak membiarkan pintunya terbuka lagi.

Satsuki menghela napas. Baginya meskipun Arata kasar, seenaknya dan dingin, sebenarnya ia tidak seperti itu.

“Sebenarnya dia itu orang baik,” gumam Satsuki yang selanjutnya merapikan sofa yang sebelumnya diberi bantal dan selimut oleh Arata kemudian mematikan lampu ruangan. Ia berbaring di sofa menghadap ruang kerja Arata, memerhatikan cahaya yang masuk dari celah pintu kemudian menutup matanya.

Selama mencoba untuk tidur, Satsuki merasa suara yang ditimbulkan saat Arata bekerja tidak se-berisik sebelumnya. Kali ini lebih tenang, seakan berusaha untuk tidak mengganggu Satsuki istirahat.

Ditemani suara hujan yang mulai mereda, Satsuki terlelap.

***

“Ngg—“ Gadis itu terduduk, ia melihat ke arah jendela yang masih gelap, tanda masih malam dan disaat bersamaan, ia tersadar sudah ada selimut yang membungkus tubuhnya yang semula terlelap tanpa menggunakan selimut.

Sepertinya Arata menyelimutiku saat tidur, ujarnya dalam hati.

Ia berdiri untuk melihat keadaan Arata di ruang kerjanya. Saat berada di sana, ia menemukan Arata tertidur di kursi dan menempatkan kepalanya di atas lengan yang disilangkannya di atas meja kerjanya yang telah dirapikan sebelumnya.

Satsuki mencelos, Arata membiarkannya tidur di tempat ia biasa istirahat sedangkan Arata sendiri tertidur di ruang kerjanya. Merasa bersalah, ia bertekad untuk membangunkan Arata dan menyuruhnya tidur di sofa ruang tengah.

Satsuki menepuk pundak Arata.

“Uchiha-san, tidak baik kalau kau tidur seperti ini. Aku sudah bangun, kau tidur di sofa saja.”

“Ngg—“

“Uchiha-san, bangun!”

Ketika Satsuki melihat mata Arata setengah terbuka, ia segera menarik lengan Arata dan membuatnya berdiri lalu menopangnya untuk kembali ke ruang tengah. Arata yang berat, membuatnya jadi sedikit tidak seimbang dan terjatuh saat sudah berada tepat di depan sofa.

“Ah!”

Mereka terjatuh dengan posisi Satsuki membelakangi sofa yang otomatis membuat Arata terjatuh tepat di atasnya. Dan saat itu juga tidak sengaja bibir keduanya bertemu.

Satsuki membeku sesaat.

I-ini.. ciuman?!

Sweet Scandal 3: Misunderstanding

2 November 2017 in Vitamins Blog

18 votes, average: 1.00 out of 1 (18 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

Sebenarnya ia malu untuk berbicara dengan laki-laki yang sedang mandi, tapi sesuai dengan apa yang dipinta oleh pemuda tadi ia mencari kamar mandi untuk menemui Arata. Satsuki kemudian menemukan sebuah ruangan yang nampak seperti kamar mandi. Ia dapat mendengar suara shower dari dalam ruangan. Disaat yang bersamaan ia merasa jantungnya berdetak kencang.

“Ini memalukan sekali…” Satsuki berbicara pada dirinya sendiri.

Satsuki membayangkan Arata yang sedang berada dibalik pintu dan wajahnya merona seketika.

“Permisi, Uchiha-san!”

Tidak ada jawaban. 

“Sepertinya dia tidak mendengarku. Kalau begitu aku akan berbicara lebih keras lagi.” Satsuki menghela napas berat.

“Uchiha-san! Ada orang yang mencari anda, dan dia bilang, dia membelikan barang yang anda butuhkan.”

Masih tidak ada jawaban. Padahal Satsuki merasa sudah memanggil Arata cukup lantang. Satsuki kemudian mengetuk pintu di depannya dan memanggil nama Arata.

“Uchiha-san! Uchi—“

Baru saja ia akan berteriak lagi, pintu terbuka dari dalam dan Arata muncul dibalik pintu.

“Apa? Aku tidak mendengarmu!“

Satsuki mendadak kehilangan keseimbangan saat Arata yang baru saja keluar dari kamar mandi buru-buru membuka pintu dan menubruknya keras hingga Satsuki mulai terjatuh.

“Aaaa—“ Satsuki kehilangan keseimbangannya

“Hey awas!” Pekik Arata panik.

Satsuki terjatuh. Namun ketika terjatuh, ia merasa tidak menyentuh lantai melainkan pada suatu benda empuk di bawahnya.

‘T-tunggu! Empuk?!’ Mata Satsuki yang semula tertutup, perlahan terbuka. Dilihatnya Arata berada di bawahnya, dan tengah memeluknya. Satsuki dapat merasakkan jantung Arata yang berdetak kencang. Suhu tubuh Satsuki mendadak naik.

“Um—“ Satsuki perlahan mengalihkan pandangannya dari dada telanjang Arata ke wajahnya. Arata pun melihat ke arahnya. Tubuh mereka begitu dekat. Tubuh Arata masih basah karena habis mandi. Aroma pinewoods menguar dari tubuh Arata. Tanpa sadar, tangan Satsuki meraih dada bidang Arata dan memandanginya cukup lama. Arata sadar dadanya sedang diperhatikan tetapi ia tetap diam. Malu, Satsuki langsung bergerak menjauh dari Arata.

‘Apa yang sebenarnya kulakukan?!’ Saat itu juga Satsuki merasa wajahnya begitu panas.

 

***

Satsuki shock, wajahnya merah padam. Ia beringsut menjauhi Arata. Sementara Arata tertawa memerhatikan gadis di depannya itu.

“Aku tidak menyangka sifatmu seperti ini.”

“A-apa maksud anda?”

Satsuki menoleh perlahan ke arah Arata.

“Kau seperti wanita yang suka memerkosa laki-laki,” jawab Arata sembari tertawa dan memposisikan dirinya untuk berdiri kemudian membetulkan jeans yang dipakainya.

Satsuki tersentak, “a-anda salah paham! Saya sama sekali tidak bermaksud—“

“Benarkah? Bukannya kau tadi baru saja menjatuhkan dirimu kepadaku seakan-akan itu karena kecerobohanmu?”

“Tidak! Sungguh anda salah paham!” Satsuki menghela napas keras, “saya memanggil anda berkali-kali tapi anda tidak mendengar, jadi saya pikir anda tidak akan mendengar kecuali jika saya mengetuk pintunya. Dan sudah seperti yang saya katakan, anda membuka pintu dan—“

Belum selesai Satsuki menyelesaikan perkataannya Arata sudah memotongnya.

“Ya-ya baiklah. Anggap saja tadi itu tidak sengaja.” Pemuda Uchiha itu tersenyum sinis pada Satsuki.

“Itu memang tidak sengaja!” Timpal Satsuki.

Arata tidak mengindahkan perkataan Satsuki dan segera meraih handuk terdekat kemudian mulai mengeringkan rambutnya. Setelah itu Arata bergegas meraih jerseynya yang tergantung di atas pintu.

Tersadar akan situasi yang ada, Satsuki panik.

“M-maaf Uchiha-san! Silahkan berganti pakaian!” Satsuki berbalik membelakangi Arata dengan wajah semerah tomat.

Arata melirik Satsuki, “kau bisa lihat semuanya semaumu, nona reporter.” Goda Arata, “oh! Apakah kau mau mengambil foto sekarang?”

“T-tidak terimakasih! Sekali lagi saya minta maaf Uchiha-san karena terjatuh tadi.” Satsuki berbalik dan membungkuk dalam.

Arata mendengus, “Kau tak perlu minta maaf.”

Setelah selesai memakai jerseynya, Arata berjalan mendekati Satsuki kemudian menyentuhkan jemarinya ke pipi mulus gadis itu.

“Jadi, apa yang kau inginkan?”

Satsuki refleks menjauhkan dirinya dari Arata.

“A-ada yang ingin bertemu dengan anda. Dia bilang dia buru-buru dan ingin segera bertemu anda.”

Arata menautkan kedua alisnya, “oh yang kutitipkan barang itu ternyata. Katakan padanya aku akan segera ke sana.”

“Baiklah.” Satsuki mengangguk dan bergegas pergi dari sana. Dalam hati ia merasa bersalah karena sudah membuat orang yang mengantar barang pesanan Arata menunggu lama.

Sesampainya Satsuki di bagian depan bengkel, pemuda yang meunggunya tadi terlihat tidak sabar. Pemuda pirang itu kemudian menghela napas ketika melihat Satsuki muncul dari dalam ruangan.

“Apa yang kalian berdua lakukan di dalam? Bermesraan? Lama sekali! Aku sudah bilang padamu ‘kan kalau aku sedang terburu-buru.” Sahut pemuda pirang itu.

“Kami tidak—“ perkataan Satsuki lagi-lagi dipotong oleh Arata yang kini berdiri di belakangnya.

“Kami tidak bermesraan, Hiro.” Ujar Arata seraya berjalan ke samping Satsuki lalu merapikan helai ravennya yang basah, “aku justru hampir saja diperkosa.”

“APA?!” Satsuki terkaget dengan apa yang diucapkan Arata.

“Benarkah itu? Aku tidak menyangka penampilan sepolos ini begitu menipu.” Pemuda yang dipanggil Hiro itu meneliti penampilan Satsuki dari ujung rambut hingga kaki.

“Dia memang terlihat polos tapi sebenarnya dia lebih dari itu.” Arata tersenyum sinis ketika melirik Satsuki.

“T-tunggu! Apa yang barusan kau katakan?!” Gadis Sakuraba itu berbalik menghadap Arata, melupakan sikap formalnya sebagai reporter.

“Heh nona reporter, Ini Hiro. Boat racer pendatang baru.” Arata mengabaikan Satsuki yang kesal padanya dam malah memperkenalkan Hiro padanya kemudian berbicara pada juniornya itu.

Satsuki terbengong dengan perlakukan Arata yang begitu seenaknya.

“Uchiha-san..”

Ia yang bermaksud untuk menginterupsi percakapan kedua pemuda itu malah terdiam memerhatikan keduanya berbicara hal-hal yang tidak dimengertinya. Yang Satsuki lakukan saat itu hanya menyimak. Bingung harus melakukan apa, sebuah ide muncul di otaknya, ia mengambil kamera dan alat tulisnya kemudian kembali mendekat pada dua pembalap itu. Berhubung pengetahuannya mengenai boat racing masih kurang, ia mencatat apa yang diobrolkan dua pemuda itu semampunya terlebih Arata dan Hiro menggunakan beberapa istilah yang baru ditemuinya kemarin pada beberapa artikel olahraga di ruang referensi. Setelah sekian lama mendengar percakapan Arata dan Hiro, Satsuki menyerah dan memutuskan untuk mengambil foto. Ia menutup buku notenya kemudian meraih kameranya dan menatap dua pemuda di hadapannya. Didapatinya Hiro melihat dan tersenyum pada Satsuki kemudian berjalan ke arahnya. Satsuki terdiam, sejurus kemudian pemuda pirang itu sudah duduk di sampingnya.

“Eh nona reporter! Kapan kau bertemu Arata?” Tanya Hiro to the point.

“Beberapa hari lalu…” Jawab Satsuki ragu.

“Ah pas sekali! Memang benar ternyata apa kata orang mengenai cinta pada pandangan pertama! Aku sekarang baru tahu kalau itu memang benar ada.”

Gadis itu memicingkan kedua matanya, “apa yang sebenarnya kau bicarakan?”

‘“Huh? Bukankah kau pacarnya Arata?”

“Bukan!” Sergah Satsuki.

“Heh bodoh, dia nona Sakuraba, reporter dari Star Publishing. Dia datang kemari untuk wawancara.” Ucap Arata.

Hiro menelengkan kepalanya. Ia mendesah pelan dan kembali ke tempat duduknya semula. “Arata tinggal sangat terpencil. Jadi menurutku sebuah keajaiban orang sepertinya membawa perempuan kemari.”

“Kau terlalu berlebihan, Hiro.” Arata mengalihkan pandangannya dari rekan pirangnya itu.

“Tapi itu benar! Benar ‘kan, nona Sakuraba?” Tanya Hiro.

“Err—aku tidak terlalu tahu.” Satsuki memaksakan senyumnya untuk menghindari pertanyaan yang dilontarkan Hiro. Tapi sebenarnya Satsuki merasa sedikit senang karena akhirnya tahu sesuatu mengenai Arata.

Beberapa saat kemudian, Hiro pamit pergi ke luar ruangan untuk melakukan sesuatu. Satsuki melirik arloji di pergelangan tangannya. Waktu menunjukkan sore menjelang malam, sudah saatnya ia kembali ke kantornya. Manik aquamarinenya melihat ke jendela. Di luar sana terlihat gelap seperti akan terjadi badai terlebih gemerisik suara dedaunan di pohon yang dimainkan angin terdengar hingga kedalam ruangan. Satsuki terus mengamati keadaan di luar jendela. Beberapa saat kemudian, hujan turun begitu deras membuatnya ragu untuk kembali ke kantor. Arata melirik Satsuki yang berada di dekat jendela dan berjalan mendekatinya.

“Sepertinya akan terjadi badai,” suara baritone Arata membuyarkan lamunan Satsuki. Gadis Sakuraba itu menoleh ke sumber suara, “nyalakan saja tv dan cek mengenai ramalan cuaca.”

“Baiklah,” reporter muda itu mengangguk dan mendekat pada tv yang bertengger di dekat meja kerja Arata lalu menyalakannya.

Ramalan cuaca pada tv menujukkan akan terjadinya badai disertai angin puyuh di beberapa daerah, dan daerah mereka termasuk.

“Angin puyuh?” Satsuki panik. Ia harus bergegas pergi dari sana sebelum angin puyuh itu terjadi. Ia segera membereskan perlengkapannya, setelah selesai ia menghadap Arata.

“Permisi Uchiha-san, sepertinya saya harus segera kembali.”

Arata menautkan alisnya, “apa yang kau katakan?”

“Eh?” Satsuki menelengkan kepalanya, bingung.

“Tidak ada gunanya kau pergi. Transportasi umum sudah tidak beroperasi lagi sejak jam 4 sore tadi.” Ujar Arata sembari melirik jam dinding yang terparti di atas rak peralatan.

“Tidak mungkin… Apa yang harus saya lakukan?”

“Hanya ada satu cara. Kau akan bermalam di sini,” jawab Arata santai.

Karena jawaban Arata tadi, Satsuki menggelengkan kepalanya.

“Walaupun kau pergi sekarang, sering terjadi longsor di beberapa tempat menuju stasiun kereta. Dan itu cukup berbahaya.”

“Aku tidak akan berbuat macam-macam padamu, jadi tinggalah sampai badai reda,”  Arata menjeda perkataannya sebelum melanjutkan, “kecuali jika kau ingin berbuat macam-macam padaku, itu lain cerita.”

“A-aku tidak akan berbuat macam-macam!” Kilah Satsuki yang lagi-lagi melupakan formalitas.

Melihat ekspresi Satsuki, Arata sontak tertawa.

“Aku akan sibuk karena ada beberapa pekerjaan yang harus kuselesaikan, jadi kau bisa pergi ke dalam dan kau dapat memakai dapur dan bersantai di sana sesukamu. Itu juga jika kau mau.” Arata menujuk sebuah pintu menuju sebuah ruangan berisikan beberapa sofa dan meja yang menyatu dengan dapur.

Satsuki menoleh ke direksi yang ditunjuk Arata.

“Oh, terimakasih.” Satsuki membungkuk sejenak dan beranjak pergi ke ruangan yang ditunjuk oleh Arata.

Sebelumnya ia merasa ragu untuk tidak menolak tawaran Arata tapi setelah berpikir, ia memang tidak bisa kembali ke kantornya karena badai di luar sana semakin menjadi. Satsuki mengeluarkan ponselnya dan mengontak chief editornya, mengatakan padanya bahwa ia tidak dapat kembali karena terjadi badai dan akan pulang tanpa kembali ke kantor terlebih dahulu. Bersyukur sang chief editor memaklumi dan mengijinkannya. Bermalam di tempat Arata membuatnya gelisah.

Ia berencana untuk mengganti pakaiannya dan membenarkan tatanan rambutnya yang sudah tak keruan. Beruntung ia sempat memasukkan kaos lengan panjang dan celana training dari lokernya di kantor, ia segera mengganti pakaiannya di kamar mandi lalu kembali ke ruangan semula.

Meskipun ia boleh memakai ruangan itu sesukanya, ia tetap merasa segan. Penasaran dengan apa yang sedang Arata lakukan, ia mencoba melihat melalui pintu yang terbuka sebagian—menampilkan Arata yang berkutat dengan pekerjaannya. Satsuki menghela napas, ia merasa bersalah karena tidak dapat membantu Arata. Saat itu juga ia menghampiri pemuda Uchiha itu dan bertaya padanya pelan-pelan.

“Umm, kau belum makan apapun kan?” Tanya Satsuki ragu. Arata menoleh ke arahnya, bingung.

Sadar bahwa di depannya itu adalah narasumbernya, Satsuki meminta maaf. “A-ah maaf saya tidak sopan berkata begitu pada an—“

“Aku tidak masalah kau tidak bersikap formal padaku. Karena begitu lebih baik.” Ucap Arata santai.

“A-ah baiklah.” Satsuki berdeham, “kalau begitu, jika kau menyimpan bahan makanan mungkin aku dapat membuatkan makan malam.”

“Oh terimakasih. Aku rasa ada beberapa bahan makanan di kulkas, kau bisa buat apapun semaumu.” Ujar Arata yang sejurus kemudian kembali berkutat dengan mesin dan properti speedboat.

“Baiklah.” Satsuki berjalan menuju dapur, dan ia bertekad menunjukkan kemampuannya untuk memasak sesuatu yang enak untuk Arata. Ia menggulung lengan bajunya sebatas siku kemudian membuka kulkas. Banyak bahan makanan tersedia di sana. Seulas senyum terkembang di bibirnya, karena dengan begitu ia dapat membuat sesuatu yang enak untuk Arata. Tak lupa memikirkan apa saja yang terkadung di dalam bahan-bahan tersebut untuk menjaga kesehatan Arata.

Setelah menimbang-nimbang ingin memasak apa, ia memutuskan untuk membuat hamburger dan spaghetti bolognese. Tidak butuh waktu lama Satsuki menyelesaikan masakannya, ia segera memanggil Arata dan membawa hasil masakannya ke ruangan berisi sofa yang sedari tadi ditempatinya. Arata terdiam saat melihat makanan yang dibuat Satsuki untuknya.

“Uchiha-san, kau tidak suka makanan ini?” Tanya Satsuki ragu.

“Tidak, aku suka semua ini tapi ini terlalu banyak kalori.”

“Apa?!” Satsuki terkaget.

“Jika aku terlalu berat, aku tidak dapat mengedalikan kecepatan dengan baik di atas speedboat.” Arata menghela napas, “aku selalu memerhatikan berat badanku.”

Satsuki terdiam. Ia benar-benar tidak tahu-menahu soal itu. Ia jadi khawatir, Arata tidak dapat menghabiskan makanan yang sudah dibuatnya.

“A-aku minta maaf.” Satsuki merasa sangat bersalah.

“Sudahlah, ayo makan!” Arata meraih garpunya dan mulai melahap makanan yang disediakan untuknya.

“Apa? Kau memakan itu semua?”

“Tentu tidak,” jawab Arata, “tapi tidak apa-apa jika sesekali memakan makanan seperti ini.”

Arata memasukkan spaghetti ke dalam mulutnya, “mm! Ini enak!” Ia melahap spaghetti itu lagi dan lagi, “lain kali buatlah sesuatu dengan kalori yang lebih sedikit.”

Satsuki terbengong memerhatikan Arata mengunyah makanannya.

“Ayolah, kau juga makan! Tidak enak jika makanannya sudah dingin.”

Satsuki melakukan apa yang Arata katakan dan mulai memakan jatah makan malamnya. Di sela-sela makan, ia teringat akan sesuatu. Lain kali? Apakah dia bilang untuk melakukan yang seperti ini lagi? Mengingat hal tersebut membuat pipi Satsuki bersemu merah. Dan sesi makan malam saat itu berlangsung hening.

Meskipun Arata berkata bahwa makanan yang telah Satsuki buat terlalu banyak kalori, ia menghabiskan semuanya tanpa menyisakkan apapun. Satsuki takjub melihat hal tersebut. Ia membereskan meja lalu beranjak ke dapur yang memang terhubung langsung dengan ruang santai untuk membasuh piring.

Selama di dapur, pikiran Satsuki melayang. Ia tidak berhenti memikirkan Arata dan hal-hal yang terjadi padanya selama beberapa hari ini. Ucapannya memang terkadang kasar dan moodnya cepat sekali berubah. Tapi aku rasa dia orang baik. Dia bahkan menyuruhku untuk bermalam karena badai dan angin puyuh itu.

Seusai mencuci piring, ia kembali ke ruangan itu dengan dua cangkir teh herbal hangat. Didapatinya Arata duduk di sofa seraya menonton video boat racing. Satsuki memerhatikan video yang sepertinya sudah lama itu.

Arata melirik Satsuki yang tengah berdiri memerhatikan video yang ditontonnya.

“Kemarilah! Video ini sangat menarik! Kau harus menontonnya!” Arata menggeser tubuhnya ke samping, memberi tempat untuk Satsuki duduk.

Satsuki ragu untuk duduk bersebelahan dengan pemuda itu tapi akhirnya dia duduk juga di pinggir sofa dan menyisakkan ruang di antara mereka.

Arata menoleh pada Satsuki yang mulai menonton video itu seusai meletakkan cangkir teh di atas meja.

“Kau tidak bisa melihat video ini dari sana. Kemarilah!”

“Apa—?“ Satsuki belum sempat berbicara lagi karena Arata sudah menariknya yang sedang berusaha duduk di agak jauh dari Arata duduk lalu membuatnya mendekat hingga tubuh mereka bersentuhan. Satsuki shock. Sementara itu Arata cuek dan tetap menonton video.

Saat itu juga Satsuki ingin pergi saja dari sana. Sedekat ini dengan Uchiha Arata? Yang benar saja!

Sweet Scandal 2: Trapped

1 November 2017 in Vitamins Blog

15 votes, average: 1.00 out of 1 (15 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

Satsuki menghela napas berat. Kepalanya pening karena ulah Arata. Ia meraih cangkir kopinya lalu meneguk cairan keruh di dalamnya. Baru saja hendak beranjak pergi dari meja kerjanya, seseorang memanggil namanya.

“Hey Satsuki!”

Yang dipanggil menoleh ke sumber suara. Didapatinya gadis berambut merah berjalan ke arahnya.

“Kau kenapa? Ada sesuatu yang terjadi padamu?” Gadis yang diketahui bernama Nakagami Haruka itu menelengkan kepalanya, menatap rekan pirangnya dengan tatapan khawatir.

“Ngg—ya..” Satsuki menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.

“Ayolah katakan saja padaku.” Haruka tersenyum.

“Ini hanya masalah kecil kok, tentang jadwal wawancara dengan Arata yang begitu mendadak.”

Haruka ber-O-ria, kemudian mengalihkan pandangannya pada arloji yang bertengger di pergelangan tangan kirinya.

“Ah! Sudah waktunya makan siang. Kau bisa ikut makan siang denganku jika kau mau. Atau mungkin kau tidak bisa?”

Satsuki berpikir sejenak sebelum mengiyakan ajakan Haruka. “Aku rasa jika kita makan dengan cepat dan segera kembali kesini tidak masalah.”

“Baguslah! Ayo kita makan siang!”

Selama di cafeteria, gadis bermarga Sakuraba itu tidak dapat berkonsentrasi selama berbicara dengan Haruka di cafeteria. Pikirannya seakan entah berada di mana. Menyadari hal tersebut, Haruka menepuk pelan pundak Satsuki.

Nee—jadi bagaimana sih sebenarnya si Uchiha Arata itu?”

Satsuki tersentak dengan pertanyaan Haruka. “Kenapa kau bertanya tetang si Uchiha itu?”

“Habisnya dari tadi kau terus melamun. Aku kira kau sedang memikirkannya karena jatuh cinta padanya atau semacamnya.” Ujar Haruka sembari menyesap milk tea favoritnya. “Lagipula Arata itu tampan. Tidak ada salahnya sih kalau kau tertarik padanya.”

“Aku tidak memikirkan Arata! Aku memikirkan pekerjaan kok! Aku harus hati-hati mewawancarai boat racer itu. Jadi aku berusaha untuk tidak melakukan kesalahan.” Satsuki merengut.

“Baiklah. Tapi jangan menipuku ya! Selama ini kau hanya berbicara mengenai pekerjaan. Aku khawatir padamu. Tapi kalau kau benar tertarik dengan pria, ya aku sangat bersyukur karena itu artinya kau normal.”

“Haruka!” Satsuki hampir saja tersedak orange juicenya.

Haruka tertawa, “habisnya aku tidak pernah mendengar kau membicarakan tentang pria manapun. Aku jadi takut kalau-kalau kau ternyata memiliki kelainan dan justru tertarik dengan perempuan.”

Satsuki menghela napasnya. Rekannya yang satu ini memang benar-benar membuatnya gila. Tapi dia tidak sepenuhnya menyalahkan perkataan Haruka. Ia sendiri merasa bahwa Arata memang menarik tapi ia segera menggelengkan kepalanya. Jatuh cinta dengan Uchiha Arata? Yang benar saja!

Setelah makan siang dengan cepat, Satsuki segera berjalan menuju meja kerjanya. Ia mendapat FAX dari Arata berisikan peta menuju bengkelnya yang disertai sebuah pesan singkat.

Aku baru ingat untuk mengirimkan peta ini padamu. Aku akan berada di bengkelku besok. Kau tidak usah datang hari ini. Aku ingin  kau datang ke bengkel pukul 8 pagi. –Arata

Satsuki terbengong sejenak membaca pesan singkat yang disertakan di peta tersebut. Pantas saja aku tidak langsung menerima peta ini. Ternyata dia lupa mengirimkannya dan dia ingin aku berada di bengkelnya sepagi itu? Yang benar saja!

Gadis itu mendadak khawatir dengan pekerjaannya kali ini. Saat itu juga ia berdoa dan berharap tidak akan terjadi masalah apapun besok.

Esok harinya, Satsuki berangkat menuju bengkel Arata menggunakan kereta pertama—kereta terpagi yang beroperasi dan bergegas pergi menuju tempat yang dimaksud setibanya ia di stasiun yang tertuliskan di peta yang tidak jauh dari bengkel Arata. Ia tengah berada di sebuah pedesaan yang asri. Sepanjang perjalanan, Satsuki memerhatikan pegunungan dan pepohonan yang berjejer rapih. Sungguh ia tidak menyangka akan menemukan tempat seperti itu lagi. Ia kembali memandangi peta yang berada di tangannya, seraya berjalan menuju bengkel.

Lama berjalan, ia tidak kujung menemukan tempat yang dimaksud. Ia sedikit resah karena merasa tersesat. Satsuki kembali membuka petanya, dan menyadari bahwa ia telah berjalan begitu jauh hingga masuk ke hutan di kaki gunung. Ia panik. Ia mencoba berjalan lagi, berharap menemukan seseorang yang dapat menunjukkannya jalan tapi nihil, tidak ada seorangpun di sana. Sungguh saat itu juga ia benar-benar panik dan hampir menangis. Semakin jauh ia berjalan, ia semakin masuk ke dalam hutan dan jalan yang dilaluinya semakin gelap. Ia pun berjalan berbalik arah, membaca petanya lagi dan berusaha membaca petanya dengan benar untuk ke stasiun dan memulai lagi mengikuti peta dari sana.

Sayangnya, meskipun ia sudah berbalik arah dan merasa sudah mengikuti peta untuk kembali lagi ke stasiun, ia malah semakin tersesat lebih dalam lagi ke hutan. Ia benar-benar merasa kehilangan kemampuanya untuk mengikuti petunjuk pada peta. Terlebih lagi langit terlihat mendung dan tidak ada petunjuk arah di dalam hutan benar-benar membuatnya terjebak di sana.

Resah, awalnya Satsuki memutuskan untuk menelpon Arata untuk menanyakan arah sembari megistirahatkan dirinya yang mulai lelah dan memeriksa kakinya yang mulai sakit tetapi niat itu diurungkannya dan berencana untuk menelponnya nanti. Ia kembali memutuskan untuk kembali berjalan, berusaha keluar dari hutan. Untungnya, ia menemukan sebuah bangku dengan papan tanda bergambar bus. Ia segera mengeluarkan smartphonenya dan menelpon Arata.

“Halo…” Ujar suara di ujung sana.

Satsuki merasa sangat lega setelah teleponnya diangkat, “ini dengan saya, Sakuraba. Maaf Uchiha-san, saya tersesat. Sekarang saya berdiri di tempat pemberhentian bus dengan tulisan ‘Okura’—“

Belum sempat Satsuki menyelesaikan perkataannya, Arata lebih dulu berbicara.

“Apa yang kau lakukan? Kau itu benar-benar reporter atau bukan?”

“Saya minta maaf Uchiha-san…” Satsuki benar-benar merasa bersalah.

“Jika kau tidak mau mewawancaraiku, pulang saja! Aku tidak peduli denganmu!”

“A-aku benar-benar ingin mewawancarai anda, Uchiha-san. Aku benar-benar minta maaf!”

Terdengar helaan napas Arata di ujung telepon. Sat itu juga Satsuki merasa begitu bodoh.

“Tunggu di sana. Aku akan menjemputmu.”

“Apa? Uchiha-san tung—“

Arata memutus sambungan sebelum Satsuki menyelesaikan perkataannya.

Satsuki mendudukkan dirinya di bangku. Ia merasa senang sekaligus bersalah. Ia senang akhirnya Arata bersedia diwawancarai tapi juga ia merasa bersalah karena merepotkan Arata yang kini dalam perjalanan menjemputnya.

20 menit kemudian.

“Hey!”

“Uchiha-san! Aku minta ma—oh!”

Satsuki terkejut ketika berbalik menghadap Arata. Perkataannya terhenti saat memerhatikan Arata. Pemuda itu terlihat maskulin dengan setelan jersey dan rambut terikat, nampak sangat berbeda dengan sebelumnya mereka bertemu terlebih saat memerhatikan rambut Arata yang semula bergaya pantat ayam melawan gravitasi kini terikat rapi. Arata nampak tidak senang dengan keterkejutan Satsuki ketika melihat penampilannya yang berbeda.

“Apa yang kau lihat?” Ujarnya dingin.

“A-ah! Tidak, hanya saja anda terlihat berbeda dibandingkan kemarin. Hari ini—“

Lagi-lagi perkataan Satsuki dipotong oleh Arata.

“Kau pikir aku bodoh memakai pakaian bagus saat memperbaiki mesin? Yang benar saja!”

“Bolekah saya mengambil foto?”

“Tidak.” Jawab Arata ketus.

Bagi Satsuki, meskipun Arata tidak mengijinkannya mengambil foto, Arata tetap menarik.

“Ayo pergi dari sini! Reporter tukang nyasar!”

“Baiklah…” Satsuki mendengus mendengar ucapan Arata yang mengatainya tukang nyasar. “Saya benar-benar minta maaf! Saya jarang tersesat, saya tidak selalu seperti ini!”

“Ya-ya.” Ujar Arata sembari tertawa kecil seraya berjalan namun akhirnya tiba-tiba berhenti. Arata berbalik, bertemu pandang dengan Satsuki kemudian meraih pergelangan tangan gadis itu. “Ayo.”

Satsuki terkaget dengan apa yang Arata lakukan padanya tapi ia menurut saja. Ia merasa tangan Arata begitu hangat, membuat jantungnya berdebar kencang dan sulit menenangkan diri. Mereka terus berjalan hingga Arata perlahan melepaskan gengamannya. Untuk beberapa alasan, Satsuki merasa sedikit sedih. Arata berjalan di depan Satsuki dengan langkah cepat hingga Satsuki tertinggal cukup jauh dan berlari kecil untuk menyamai langkahnya dengan Arata.

“Omong-omong…” Arata memulai percakapan saat Satsuki sudah berjalan di sampingnya.

“Ya? Ada apa?”

“Kau tadi berjalan sangat jauh karena kau berjalan menuju arah sebaliknya dari bengkel.”

Satsuki terbelalak, “apa?! Benarkah? Saya benar-benar minta maaf sudah merepotkan anda.”

“Aku tidak peduli dengan itu tapi seingatku orang-orang sekitar sini tidak pernah ada yang berjalan sampai sejauh itu. Aku heran, mengapa kau bisa kehilangan arah?”

“Oh..” Terlalu lama memikirkan jawaban, Satsuki kembali tertinggal di belakang Arata dan Satsuki lagi-lagi menyusul Arata. Baru saja Satsuki berlari kecil untuk menepuk pundak Arata dan berkata padanya agar tidak berjalan terlalu cepat, pemuda Uchiha itu malah mendadak langkahnya.

“Aku rasa akan lebih cepat sampai kalau kita naik taksi.”

“Ap—“ Satsuki yang berlari hampir dekat dengan Arata tersandung karena tidak melihat ada batu cukup besar di depannya. Arata yang melihat Satsuki hampir tumbang segera menangkapnya. Seketika itu juga, Satsuki merasa wajahnya begitu panas. Sadar bahwa ia tengah berada dalam dekapan Arata, ia segera melepaskan diri.

“S-saya minta maaf…” Satsuki langsung menunduk setelah berhasil melepaskan diri dari Arata.

Melihat tingkah Satsuki, Arata tertawa. “Kau konyol sekali! Hahaha!”

Satsuki tertegun memerhatikan Arata yang menertawakannya. Ia merasa jantungnya berdetak lebih kencang dari sebelumnya. Tawa dan senyum Arata yang dilihatnya kali ini sama seperti yang dia lihat saat Arata memenangkan pertandingan.

Kalau saja aku bisa mengambil fotonya saat tersenyum seperti itu… meskipun ia menertawakanku, aku tidak bisa mengalihkan pandanganku darinya. Pikir Satsuki.

Mereka memutuskan untuk tidak naik taksi dan terus berjalan hingga sampai pada sebuah bangunan yang nampak seperti sebuah cottage, tidak sebagus bangunan di kota seperti biasa dilihat Satsuki.

“Kita sampai.” Ucap Arata sambil berjalan melewati pagar bangunan tersebut dan membuka pintu masuk yang terkunci.

“Err—ini bengkel… anda?” Satsuki mendapat anggukan sebagai jawaban.

“Masuklah.”

Satsuki mengekor Arata. Seletah masuk Ia terbengong, masih tidak mengerti kenapa ia berada di tempat itu. Selagi Arata bersiap untuk melanjutkan pekerjaannya, gadis itu memberi pertanyaan pada Arata.

“Apa yang anda lakukan di sini?”

“Aku menyuruhmu kemari karena menjelaskannya padamu hanya akan membuang waktuku.” Arata tidak menoleh pada Satsuki dan tetap melanjutkan pekerjaannya. “Duduk saja dimanapun, diam dan lihat.”

“B-baiklah.”

Satsuki duduk pada sebuah kursi kayu yang terletak tidak jauh dari Arata yang memperbaiki mesinnya. Ia memerhatikan Arata dengan saksama. Meski begitu ia tetap tidak terlalu tahu mengenai boat racing sehingga ia tidak tahu apa yang sebenarnya Arata lakukan.

Apa yang harus aku lakukan? Aku harusnya bertanya beberapa pertanyaan padanya tapi—

Satsuki urung bertanya ketika melihat ekspresi Arata yang serius, memfokuskan dirinya pada mesin-mesin itu. Ini pertamakalinya Satsuki sulit bertanya pada narasumbernya. Ia mencoba menunggu waktu yang tepat untuk bertanya agar Arata tidak merasa diganggu. Setelah agak lama menunggu, ia merasa mendapat kesempatan bertanya ketika Arata berhenti sejenak dari pekerjaannya.

“Uchiha-san?”

“Apa?” Arata membalas pertanyaan Satsuki dengan nada yang ketus. Saat itu juga rasanya Satsuki ingin gantung diri karena narasumbernya sangat dingin padanya tapi ia bersikeras mencoba.

“Maaf saya mengganggu pekerjaan anda, tapi bolekah saya bertanya beberapa pertanyaan?”

“Hn.”

Satsuki menghela napas mendapat jawaban demikian. Ia segera mempersiapkan note dan alat tulisnya berikut perekam suara. Satsuki seketika teringat akan syarat yang diberikan Arata untuk tidak menghalanginya, karena itu Satsuki mencoba berhati-hati ketika bertanya pada Arata.

“Apa yang biasa anda lakukan di sini?” Satsuki mulai bertanya.

“Mempersiapkan barang-barang yang diperlukan untuk pertandingan.” Jawab Arata tanpa mengalihkan pandangan dari mesin di hadapannya. “Kebanyakan boat racer menggunakan tempat seperti ini.”

Satsuki mencatat apa saja yang baru didengarnya.

“Saya mengerti. Apakah anda bekerja sendiri di sini?” Tanya Satsuki lagi.

“Ada beberapa orang lagi yang membantuku tapi mereka sedang pergi.”

Satsuki mengangguk sembari mencatat lagi jawaban Arata. “Apakah ini tempat anda menyimpan boat yang akan anda pakai untuk pertandingan?”

“Tidak. Tempat ini diperuntukkan memperbaiki mesin dan membuat properti.”

“Properti apa?”

“Tebak saja sendiri.” Jawab Arata asal. Tidak tertarik dengan pertanyaan-pertanyaan yang diajukan Satsuki.

Satsuki berpikir sesaat, mengingat apa yang sudah dibacanya kemarin di ruang referensi. “Mungkin… baling-baling?”

“Hn.” Satsuki mengangguk, menganggap ‘ya’ jawaban Arata.

“Baling-baling yang dibuat di sini dipasangkan ke speedboat yang digunakan untuk pertandingan?”

“Kau pikir kami membuatnya untuk dipasangkan ke kepala untuk terbang?”

“Te-tentu saja tidak!” Satsuki tersenyum kecut.

“Tapi jika kau mau mencobanya, aku akan memasangkannya di kepalamu.”

Satsuki tertawa dipaksakan. Ia segera menolak dengan sopan tawaran Arata.

“Jadi apa yang sedang anda perbaiki di sini? Apakah anda sedang memperbaiki baling-baling?” Satsuki melirik mesin yang menyerupai sebuah tangki dengan baling-baling di belakangnya.

“Ini tangki bensin,” jawab Arata singkat.

“Bisa tolong jelaskan apa hubungan tangki bensin dengan baling-baling?”

“Tangki bensin ini merupakan patokan untuk pembuatan baling-baling perahu.”

Satsuki mengangguk mengerti kemudian menuliskan semua yang dikatakan Arata pada notenya. Setelah menuliskan semua yang sudah didengarnya, In kembali bertanya beberapa pertanyaan pada Arata yang menyadarkannya bahwa boat racing itu merupakan subjek yang cukup sulit untuk dimengertinya namun juga cukup membuatnya tertarik setelah Arata menjelaskan secara singkat dasar-dasar mengenai boat racing. Satsuki membalik halaman note nya, berniat untuk bertanya tentang Arata secara personal setelah dirasa cukup mendapatkan info mengenai boat racing.

“Sekarang saya ingin bertanya mengenai kehidupan pribadi anda.” Ujar Satsuki ragu.

“Bisakah kau lakukan itu nanti? Aku sibuk.”

Gadis Sakuraba itu menautkan kedua alisnya, “tapi bukankah anda tidak keberatan jika saya bertanya selama tadi anda bekerja? Saya akan mulai dengan topik yang tidak akan mengganggu pekerjaan anda.”

“Terserah kau.”

Satsuki kini sudah cukup terbiasa dengan jawaban seenak jidat dan cuek dari Arata.

“Apa yang anda lakukan jika sedang senggang?”

“Berlatih.” Arata lagi-lagi menjawab singkat pertanyaan Satsuki.

“Selain itu?”

“Aku berlatih seharian.”

Satsuki mengangguk. Ia berpikir tetang pertanyaan selanjutnya yang sekiranya dapat menghancurkan dinding yang Arata buat di antara mereka.

Arata medadak menghentikan pekerjaannya, “ada hal lain yang biasa aku lakukan.”

Mendengar hal tersebut, Satsuki langsung bersiap menulis lagi di notenya.

“Ah! Apa itu?” Satsuki penasaran.

“Makan, mandi, dan tidur. Oh, menonton liputan dan pertandingan boat race untuk diteliti lebih lanjut.”

Satsuki terdiam.

“Ayo tulislah. Bukankah ini sebuah wawancara?”

“S-saya sudah menulisnya.” Satsuki menatap note di pangkuannya. “Baiklah, bolekah saya bertanya mengenai hobi dan kemampuan anda yang lain?”

“Hobiku berlatih dan menonton boat racing, kemampuanku memperbaiki mesin speedboat dan mengendalikan speedboat.”

Satsuki kembali terdiam.

“Bisakah anda memberi jawaban selain yang tadi anda ucapkan? Maksud saya seperti membaca, menonton film atau bermain game?” Satsuki menelan ludah, “yah hal lain yang membuat anda tertarik selain boat racing?”

“Aku melakukan hal seperti itu kadang-kadang.”

Gadis pirang itu menghela napas pelan, “biar saya tebak. Anda pasti melakukan itu jika ada hubungannya dengan boat racing kan?”

“Tepat.” Jawab Arata datar.

Satsuki menggelengkan kepala. Ia merasa harus memberi Arata pujian sebagai orang yang cinta sekali dengan boat racing tapi mendengar semua jawaban Arata selama bertanya mengenai kehidupan pribadinya, Satsuki merasa itu bukanlah seperti wawancara yang biasa dilakukannya. Satsuki sebisa mungkin memutar otaknya untuk menyusun kata-kata yang akan dimuat di artikelnya mengenai betapa hebatnya Arata.

Satsuki kemudian melayangkan beberapa pertanyaan lagi pada Arata yang kembali dijawab dengan jawaban yang singkat dan tidak berhenti dari kegiatan memperbaiki mesinnya.

“Jadi—“ Satsuki menarik napas sebentar sebelum kembali bertanya, “—apa yang anda lakukan jika sedang tidak bertanding atau berlatih? Apa anda menghabiskan waktu di sini?”

“Hn.” Arata menjawab sembari mengecek tangki bensin menggunakan satu mata tertutup.

Satsuki menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Ia mencoba bertanya dengan hati-hati, takut mengganggu konsentrasi Arata yang sedang bekerja dan memutuskan untuk keluar sebentar agar tidak menggangu. Ketika Satsuki berdiri dan berjalan menuju pintu, Arata malah memanggilnya.

“Hey.”

Satsuki menoleh, “ya?”

“Ambilkan aku tang pada rak di sana.” Arata menunjuk rak yang dimaksud.

Satsuki mengangguk dan mencoba meraih rak yang tinggi hingga cukup sulit untuk dijangkaunya. Ia berjinjit tapi masih tidak sampai dan memutuskan mencari barang untuk dinaikinya agar dapat menjangkau rak itu. Baru saja akan berbalik, ia merasa tubuhnya terangkat. Satsuki terkejut, dilihatnya Arata tengah memegang pinggangnya dan dengan mudah mengangkatnya.

“Ap—apa yang anda lakukan?!”

“Kalau kau tidak bisa menjangkaunya, seharusnya kau bilang padaku.”

“Tapi anda sedang bekerja—dan mengapa anda melakukan ini?“ Tanya Satsuki panik dan sedikit meronta.

“Karena kau bersusah payah menjangkau rak itu. Cepatlah ambil tangnya! Dan berhenti meronta! Kalau tidak, aku akan menjatuhkanmu!” Ancam Arata.

Satsuki segera mengambil barang yang dimaksud Arata, dan ia merasa kakinya kembali menapaki tanah. Arata segera mengambil barang yang diperlukannya dari tangan Satsuki.

“Terimakasih.” Ucap Arata singkat dan kembali bekerja.

Yang tadi dilakukan Arata padanya membuatnya urung beranjak keluar ruangan. Satsuki kembali duduk di tempatnya semula sembari menunggu Arata menyelesaikan pekerjaannya.

Beberapa waktu berlalu dan Arata menghentikan pekerjaannya.

“Aku mau mandi.” Ujar Arata sembari melongos pergi.

Satsuki geram melihat tingkah Arata yang seakan memanipulasinya. Baru saja pemuda Uchiha itu meninggalkannya untuk mandi, ia mendengar suara ketukkan dari luar ruangan. Akhirnya Satsuki beranjak dari tempat duduknya dan berjalan menuju pintu kemudian membukanya. Di balik pintu terdapat seorang pemuda yang memakai setelan jersey seperti Arata.

“Hah? Mana Arata?” Pemuda itu terkejut saat Satsuki muncul di balik pintu.

“Dia sedang mandi.” Jawab Satsuki.

Pemuda berambut pirang dengan kumis tipis di wajahnya itu menautkan kedua alisnya.

“Bisakah kau pangggilkan dia untukku?” Pinta pemuda pirang itu.

“Apa?!”

“Aku baru saja membeli barang yang ia butuhkan. Bisa tolong kau katakan padanya ada beberapa hal penting yang harus aku diskusikan dengannya? Ada hal lain yang harus kulakukan dan aku harus segera pergi.”

Satsuki terdiam beberapa saat.

“Tolong cepat panggilkan dia sekarang!”

“B-baiklah!” Satsuki bergegas masuk ke dalam dan mencari Arata.

Sebenarnya ia malu untuk berbicara dengan laki-laki yang sedang mandi, tapi sesuai dengan apa yang dipinta oleh pemuda tadi ia mencari kamar mandi untuk menemui Arata. Satsuki kemudian menemukan sebuah ruangan yang nampak seperti kamar mandi. Ia dapat mendengar suara shower dari dalam ruangan. Disaat yang bersamaan ia merasa jantungnya berdetak kencang.

“Ini memalukan sekali…” Satsuki berbicara pada dirinya sendiri.

Satsuki membayangkan Arata yang sedang berada dibalik pintu dan wajahnya merona seketika.

“Permisi, Uchiha-san!”

Tidak ada jawaban.

“Sepertinya dia tidak mendengarku. Kalau begitu aku akan berbicara lebih keras lagi.” Satsuki menghela napas berat.

“Uchiha-san! Ada orang yang mencari anda, dan dia bilang, dia membelikan barang yang anda butuhkan.”

Masih tidak ada jawaban. Padahal Satsuki merasa sudah meanggil Arata cukup lantang. Satsuki kemudian mengetuk pintu di depannya dan memanggil nama Arata.

“Uchiha-san! Uchi—“

Baru saja ia akan berteriak lagi, pintu terbuka dari dalam dan Arata muncul dibalik pintu.

“Apa? Aku tidak mendengarmu!“

Satsuki mendadak kehilangan keseimbangan saat Arata yang baru saja keluar dari kamar mandi buru-buru membuka pintu dan menubruknya keras hingga Satsuki mulai terjatuh.

“Aaaa—“ Satsuki kehilangan keseimbangannya

“Hey awas!” Pekik Arata panik.

Satsuki terjatuh. Namun ketika terjatuh, ia merasa tidak menyentuh lantai melainkan pada suatu benda empuk di bawahnya.

T-tunggu! Empuk?! Mata Satsuki yang semula tertutup, perlahan terbuka. Dilihatnya Arata berada di bawahnya, dan tengah memeluknya. Satsuki dapat merasakkan jantung Arata yang berdetak kencang. Suhu tubuh Satsuki mendadak naik.

“Um—“ Satsuki perlahan mengalihkan pandangannya dari dada telanjang Arata ke wajahnya. Arata pun melihat ke arahnya. Tubuh mereka begitu dekat. Tubuh Arata masih basah karena habis mandi. Aroma pinewoods menguar dari tubuh Arata. Tanpa sadar, tangan Satsuki meraih dada bidang Arata dan memandanginya cukup lama. Arata sadar dadanya sedang diperhatikan tetapi ia tetap diam. Malu, Satsuki langsung bergerak menjauh dari Arata.

Apa yang sebenarnya kulakukan?! Saat itu juga Satsuki merasa wajahnya begitu panas.

Sweet Scandal 1: That Arrogant Boy

1 November 2017 in Vitamins Blog

20 votes, average: 1.00 out of 1 (20 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

Satsuki merapikan blouse biru mudanya. Tak lupa menguncir kembali surai platinanya. Ia tersenyum puas dengan tampilannya kali ini setelah sekian lama mematut diri di cermin. Ia melangkahkan kakinya menuju pantry, menyeduh secangkir kopi panas kemudian kembali duduk di meja kerjanya. Hari ini tepat dua tahun ia bekerja sebagai reporter di Star Publishing. Ia merupakan reporter majalah QUEEN—sebuah majalah yang ditujukan untuk wanita.

Menjadi seorang reporter adalah hal paling menyenangkan bagi Satsuki sekaligus cita-citanya sedari dulu. Dan salah satu alasan ia menjadi reporter adalah ia ingin menjadi reporter khusus Total Coverage pada majalah QUEEN. Di mana Total Coverage ini adalah salah satu rubrik yang berisi tentang keseharian, dan informasi lain mengenai narasumber yang diliput. Ia sungguh bersyukur. Atas kerja keras dan tekadnya, ia berhasil menjadi reporter khusus Total Coverage.

Gadis pirang ini menyesap kopinya yang mulai mendingin sebelum kembali menyelesaikan artikel yang tengah disusunnya. Setelah artikel tersebut hampir selesai, ia meregangkan tubuhnya. Baru saja akan mengetikkan sesuatu pada desktopnya, seseorang menepuk pundaknya.

“Kerja bagus Sakuraba!”

Satsuki berbalik dan ia mendapati chief editornya tengah memerhatikan pekerjaanya.

“Terimakasih, Mebuki-san.”

Pria bernama lengkap Mebuki Otoya itu tersenyum. Ia hanya akan tersenyum seperti sekarang jika akan memberikan pekerjaan berat pada bawahannya.

“Begini—“ Pria Mebuki itu memberi jeda sejenak sebelum melanjutkan perkataannya. “Karena intuisimu bagus, aku ingin kau mewawancarai Uchiha Arata—atlit balap perahu itu hari ini. Aku rasa dia subjek tepat untuk Total Coverage kali ini.”

Satsuki menautkan kedua alisnya. Bingung. “Apa?! Hari ini?”

“Tentu saja hari ini. Dan aku ingin kau yang melakukan pekerjaan ini.”

“Tapi Mebuki-san, saya masih harus menyelesaikan Total Coverage narasumber kemarin. Kenapa harus saya dan bukan yang lain?”

Bukannya memberi jawaban, Otoya hanya tersenyum pada bawahannya itu. Senyum iblis.

Sementara itu Satsuki menghela napas melihat senyum khas atasannya itu yang berarti tidak bisa dibantah.

***

Satsuki sesekali melirik arloji di pergelangan tangan kirinya. Ia takut terlambat ke tempat narasumbernya. Ia bahkan tidak sempat mempersiapkan apapun untuk wawancara itu. Setelah diberikan surat tugas oleh atasannya, ia langsung bergegas memasukkan semua barang yang di atas meja kerjanya ke dalam tas dan langsung pergi ke lokasi di mana kejuaraan balapan perahu diadakan.

Gadis pirang itu memijit pelipisnya. Ia tidak menyangka harus mewawancarai Uchiha Arata. Itu semua karena Otoya datang ke pesta yang diadakan perusahaan lain dan mengundang beberapa tamu penting tadi malam bersama dengan Satsuki kemudian bertemu dengan Uchiha Arata, dan akhirnya ia berpikir bahwa Arata merupakan subjek yang tepat untuk rubrik Total Coverage. Namun bagi Satsuki, seorang Uchiha Arata benar-benar membuatnya malu tadi malam.

Apa kau benar-benar reporter? Jika nanti suatu saat orang sepertimu ingin mewawancaraiku, aku akan segera menolaknya. Kau benar-benar terlihat seperti pengganggu.”

Begitulah yang dikatakan Arata sesaat setelah Satsuki memperkenalkan dirinya sebagai reporter arahan Otoya di pesta tadi malam. Satsuki bisa saja memukul Arata tepat diwajahnya kalau saja ia tidak ingat sedang berada di pesta yang diadakan perusahaan lain dan dia di sana bersama dengan atasannya. Satsuki hanya bisa tersenyum miris mendengar ucapan arogan yang dituturkan Arata.

Ia masih tidak menyangka akan mewawancarai Arata saat itu. Ia takut akan dipermalukan lagi oleh pria bermarga Uchiha itu. Terlebih tugas wawancara kali ini begitu mendadak dan dia benar-benar tidak memiliki persiapan apapun. Satsuki pernah mewawancarai atlit sebelumnya pada beberapa event tapi ia tidak mengingat apa saja yang ia lakukan saat wawancara itu.

“Apa aku bisa melakukan wawancara ini?” Satsuki menghela napas setelah berbicara pada dirinya sendiri.

Dia tidak yakin dengan wawancara kali ini. Dia bahkan sudah mempersiapkan dirinya jikalau Arata menolaknya mentah-mentah untuk diwawancara. Satsuki memperlambat langkahnya ketika sudah dekat dengan lokasi di mana narasumbernya berada. Semakin dekat dengan lokasi, ia semakin dapat mencium aroma khas air. Ia berhenti sejenak setelah berada tepat di depan gerbang bertuliskan Tokyo Boat Race Track.

Gadis itu menghela napas sejenak. “Ternyata tempat ini lebih besar dibandingkan apa yang kupikirkan.”

Iris biru lautnya menelusuri tempat itu sesaat setelah ia memasuki lokasi. Didapatinya bagunan modern bercat terang dengan banyak monitor besar, beberapa toko, dan banyak orang berkerumun di sana. Satsuki menerobos kerumunan orang dan berjalan menuju tempat duduk penonton yang paling dekat dengan air—paling depan.

Satsuki tersenyum. Ini pertama kalinya ia berada di sana. Setelah mendudukkan dirinya di kursi penonton, ia menoleh ke arah papan nilai elektrik yang terpampang di dekat kursi penonton. Pada papan nilai itu tertulis bahwa pertandingan selanjutnya baru saja akan dimulai. Para penonton bersorak ketika wajah para pembalap ditampilkan pada monitor besar di sebelah papan nilai.

Satsuki memerhatikan peserta balapan perahu dengan saksama hingga monitor menampilkan wajah Uchiha Arata berikut profil singkatnya. Satsuki sedikit terkejut. Uchiha Arata yang ada di monitor tidak seperti orang yang tadi malam dilihatnya. Monitor menampilkan Uchiha Arata yang tengah tersenyum seusai mempersiapkan perahunya kemudian berkata, “aku akan menjadi juara Tokyo Boat Championship tahun ini!” Sebelum memakai helmnya. Satsuki menautkan alisnya. Ia bergegas merogoh sakunya, mengeluarkan smartphonenya—berniat mencari tahu tentang Tokyo Boat Championship di internet. Baru saja ia membuka browser di smartphonenya, ia mendengar bahwa pertandingan balap perahu akan dimulai.

***

Pengumuman balapan perahu akan dimulai dan para pesertanya diharapkan untuk bersiap datang melalui loadspeaker di sudut atas bangku penonton. Satsuki merasa atmosfir tempat itu mendadak berubah. Seluruh kursi penonton yang sedari tadi kosong kini terisi penuh oleh orang-orang yang berkerumun tadi. Ia pun mengingat-ingat nomor perahu Uchiha Arata yang tadi sempat tertangkap kamera dan ditampilkan di monitor. Para pembalap sudah berada di atas perahunya—siap di posisi masing-masing. Satsuki memicingkan matanya. Ia dapat melihat Arata dengan jelas dari tempat duduknya. Ia menyadari bahwa masing-masing peserta memakai jaket dengan warna berbeda dan Arata memakai jaket berwarna biru tua.

Satsuki merasa jantungnya berdetak kencang. Ia sendiri tidak tau mengapa ia mendadak begitu bersemangat setelah mendengar suara mesin perahu dihidupkan. Bersamaan dengan itu terdengar suara terompet yang begitu nyaring tanda pertandingan dimulai. Gadis pirang itu menorehkan pandangannya kembali ke pertandingan.

BROOM!

Perahu-perahu peserta balapan melintas dengan cepat dan menimbulkan suara mesin yang begitu nyaring. Satsuki sempat terkaget kemudian kembali memerhatikan pertandingan. Jantungnya berdetak kencang. Ia mengepalkan tangannya antusias kemudian mencondongkan tubuhnya ke depan. Posisinya sama seperti penonton lainnya. Tanpa sadar kini ia berdiri dari tempat duduknya, dan mendekat ke pagar pembatas kursi penonton seakan berusaha melihat pertandingan lebih dekat.

Satsuki menelengkan kepalanya.

“Dimana Uchiha Arata?” Selama dia memerhatikan pertandingan itu, ia tidak menemukan pemuda itu. Ia megedarkan pandangannya ke pertandingan, mencari keberadaan pemuda bermarga Uchiha itu.

Seakan menjawab pertanyaannya, didapatinya cipratan air yang begitu besar dan suara mesin perahu dari sebuah perahu yang baru saja melintas di hadapannya. Ia bersyukur tempatnya berada tidak terlalu dekat dengan air sehingga tidak terkena cipratan. Sekilas dilihatnya seseorang memakai jaket biru tua pada perahu dengan nomor perahu yang tadi sempat dimunculkan di monitor. Satsuki ingat betul, orang yang memakai jaket biru tua di atas perahu itu adalah Arata.

Dilihatnya perahu yang dikendalikan Arata melaju begitu cepat, mendahului peserta lain—memimpin pertandingan. Satsuki semakin antusias. Pandangannya seakan terkunci pada Arata dan perahunya yang seakan tengah memecah air. Arata dengan mantap menaikkan kecepatan perahunya dan memperlebar jarak antara perahunya dengan pembalap lainnya.

Para penonton berdiri dari kursinya kemudian bersorak. “Ayo Arata!”

Penonton di sana begitu antusias melihat jagoan mereka memimpin pertandingan. Seperti apa yang dilihat, perahu yang dikendalikan Arata hampir mendekati garis finish.

Satsuki ikut terbawa suasana saat penonton lainnya berdiri dan bersorak kencang menyemangati Arata. Semakin penonton bersorak kencang, semakin kencang pula perahu Arata melaju. Hingga akhirnya pemuda Uchiha itu memenangkan pertandingan. Penonton berteriak bahagia atas kemenangan Arata.

Jadi inilah balapan perahu. Bahkan orang awam sepertiku tahu bahwa Arata benar-benar pembalap hebat dengan apa yang dilakukannya pada pertandingan ini. Satsuki berujar dalam hati.

Arata memelankan laju perahunya, ia kemudian berdiri di atas perahu dan melepas helm yang dikenakannya. Dia tersenyum cerah dan melambaikan tangannya pada penonton. Satsuki termenung sejenak memerhatikan wajah bahagia Arata. Ekspresi yang sama sekali tidak pernah dibayangkan setelah bertemu dengan Arata di pesta tadi malam.

Ia tidak percaya, jantungnya masih berdetak kencang. Seakan ada sesuatu yang merasukinya. Ia bertekad bagaimanapun caranya, dia harus mewawancarai pemuda Uchiha itu. Terlebih setelah menonton pertandingan itu. Satsuki menautkan kedua tangannya di depan dada.

“Uchiha Arata, aku akan berhasil mewawancaraimu. Lihat saja!”

***

Seusai pertandingan, Satsuki bergegas menuju pintu keluar. Ia menemui asisten Arata dan mengemukakan maksud kedatangannya.

“Karena itu, kami ingin meliput seluruh kegiatan Uchiha Arata secara intensif selama beberapa bulan ke depan untuk rubrik Total Coverage.”

Pria di hadapannya itu tersenyum mendengar penuturan Satsuki, “aku sudah diberitahu oleh atasanmu mengenai hal ini melalui telepon. Dan aku sudah memberitahukan Arata. Sekarang kita tunggu saja konfirmasi darinya.” Pria paruh baya itu jeda sejenak sebelum melanjutkan perkataannya. “Kau harus sangat hati-hati menangani anak itu. Karena—ah sudahlah. Good luck!”

Satsuki menelengkan kepalanya. “Err—terimakasih?”

“Ah! Aku baru ingat ada beberapa keperluan yang harus diurus untuk wawancara ini. Tunggu sebentar di sini ya.” Setelah mengatakan hal itu, sang asisten pergi entah kemana meninggalkan Satsuki sendiri.

Tunggu! Apa maksudnya harus berhati-hati menangani Arata? Sudahlah ini bukan saatnya memerdulikan hal itu. Aku hanya ingin mewawancarainya, karena itu aku harus berusaha sebaik mungkin. Satsuki menggelengkan kepalanya, menghapus pikiran buruknya tadi.

Ia mengedarkan pandangannya ke sekitar, dan ia melihat orang-orang berkerumun di kejauhan. Ia penasaran dan melangkahkan kakinya mendekat ke arah kerumunan tersebut. Ternyata kerumunan itu adalah fans para peserta balapan yang menunggu kedatangan idolanya di depan pintu keluar. Satsuki merasa itu adalah kesempatannya agar dapat bertemu Arata. Tapi sayangnya selama apapun menunggu, Arata tak kunjung menunjukkan batang hidungnya. Tetapi gadis Sakuraba itu tidak menyerah. Ia berusaha untuk tetap menunggu kedatangan Arata.

Beberapa lama kemudian, para pembalap tadi keluar dari pintu. Satsuki menajamkan pandangannya. Memerhatikan lekat-lekat sekitarnya. Ia menerobos kerumunan itu dan mencoba melihat lebih jelas para pembalap yang keluar dengan menjinjitkan kakinya. Tidak butuh waktu lama, Satsuki melihat Arata keluar dari pintu. Arata tersenyum pada fansnya. Tubuhnya yang tegap dan langkah percaya dirinya sungguh atraktif.

Satsuki berencana untuk berteriak berbicara pada Arata secara baik-baik. Ia tidak mau pemuda Uchiha itu mengatakan hal buruk tentangnya seperti pertemuan mereka sebelumnya, ia ingin Arata tidak melihatnya seakan dia adalah seorang pengganggu. Ia mengumpulkan keberaniannya, mengembuskan napas perlahan sebelum akhirnya berteriak diantara kerumunan.

“Permisi! Tuan Uchiha!” Teriak Satsuki.

Sayang sekali Arata tidak menggubris teriakkan Satsuki dan menganggapnya seperti fansnya yang lain. Arata hanya tersenyum sekilas ke arahnya dan kembali melihat ke direksi lain seakan baginya keberadaan Satsuki bukanlah apa-apa.

Satsuki menghela napas dan mencoba mendekat. Ia menerobos kerumunan itu dan mencoba berteriak lagi.

“Aku Sakuraba Satsuki dari Star Publishing!”

Setelah mendengar teriakkan Satsuki, Arata akhirnya melihat ke arahnya.

“Aku kemari untuk mewawancaraimu!”

Arata yang berjalan menjauh dari kerumunan berbalik sepeuhnya menghadap kerumunan tersebut, menghadap ke arah Satsuki. Satsuki kemudian membebaskan dirinya dari kerumunan itu dan berjalan mendekati Arata.

“Aku sudah tahu.” Arata menjawab Satsuki dingin. “Apakah kau yang akan jadi reporternya?” Arata yang sedari tadi tersenyum cerah pada fansnya mendadak merubah ekspresinya menjadi lebih dingin dibandingkan saat bertemu dengan Satsuki di pesta tadi malam.

Arata menatap Satsuki tajam.

“Aku sudah katakan sebelumnya padamu kan? Kalau begitu akan ku katakan sekali lagi agar kau mengerti. Aku tidak mau diwawancarai oleh pengganggu sepertimu.”

“A-apa?!”

“Selamat tinggal.” Arata berbalik dan melangkah menjauhi Satsuki.

Satsuki mengepalkan tangannya. Kesal.

***

Aku tidak mau diwawancarai oleh pengganggu sepertimu.”

Satsuki berjalan gontai keluar dari Tokyo Boat Race Track. Selama ini dia tidak pernah ditolak untuk mewawancarai narasumber manapun. Kesal dan sedih dirasakannya menjadi satu. Ia merasa bahwa dia tidak dapat melakukan lagi pekerjaan itu. Tapi di satu sisi, ia benar-benar ingin mewawancarai Arata setelah melihatnya bertanding. Ia melihat lagi Arata yang tengah berjalan menuju parkiran mobil. Satsuki tidak mau menyerah begitu saja. Ia kembali mendekat ke arah Arata dan berteriak dengan suara yang lebih lantang.

“Permisi! Tuan Uchiha!”

Ia mempercepat larinya. “Aku baru saja menonton pertandinganmu!”

“Terimakasih.”

Arata bahkan tidak berhenti sejenak ataupun menoleh pada Satsuki. Tapi Satsuki tetap mendekatinya.

“Aku baru tahu bahwa balapan perahu sangat hebat dan menakjubkan dan bahkan memberikan kesan menyenangkan pada orang yang melihatnya.”

Arata sontak menghentikan langkahnya. Satsuki tetap berjalan mendekati Arata.

“Aku ingin memberi tahu orang-orang yang tidak tau tentang hal itu. Aku juga ingin memberi tahu pada orang-orang yang tidak tahu bahwa olahraga semacam ini ada!” Satsuki menjeda sejenak sebelum melanjutkan perkataannya. “Aku ingin menyampaikan pada orang-orang kegembiraan dan hal menyenangkan yang aku rasakan hari ini  setelah melihat balapan perahu.”

Setelah mengatakan hal itu, Arata berbalik. Mendengar perkataan Satsuki.

“Aku tahu, aku harus lebih banyak belajar mengenai hal itu. Tapi sekarang aku bertekad untuk memelajari balapan perahu lebih intensif. Karena itu, ijinkan aku mewawancaraimu!”

Satsuki membungkukkan tubuhnya. Matanya terpejam. Jantungnya berdetak kencang. Ia takut akan ditolak lagi oleh Arata. Ia tidak tahu lagi apa yang harus dia lakukan jika hal ini tidak berhasil. Satsuki sudah mengutarakan perasaan yang sebenarnya mengenai apa yang dia rasakan selama menonton pertandingan itu pada Arata. Ia mencoba meyakinkan Arata bahwa dia bukan seorang pengganggu dan ingin Arata percaya padanya.

Hal tersebut berlangsung sesaat namun bagi Satsuki menunggu jawaban dari seorang Uchiha Arata bagaikan menunggu bertahun-tahun lamanya. Satsuki bingung mengapa Arata tak kunjung menjawab pertanyaannya, ia membuka matanya dan didapatinya Arata sudah berada di depannya.

“Kau—“ Arata menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.

“—Kau tahu? Ketika kau berteriak seperti itu, kau membuatku malu. Kau tidak lihat banyak orang memerhatikanmu? Seharusnya kau sadar situasi dan tempat!“

Satsuki terkaget.

“A-aku minta maaf!” Satsuki bahkan tidak tahu bahwa ia berteriak sekencang itu.

Satsuki salah tingkah, Arata menghela napas dan berbalik kemudian berjalan menjauhi Satsuki.

“Permisi.. Tuan Uchiha?”

“Ok”

Satsuki menelengkan kepalanya. “Tuan Uchiha?”

“Kau boleh mewawancaraiku.”

“Apa? Benarkah?!” Satsuki berteriak kegirangan.

Arata kembali menghela napas, “kau masih saja berbicara keras sekali. Jika kau bicara seperti itu lagi, kau akan mengganggu orang lain.”

“M-maafkan aku. Aku akan lebih hati-hati.” Satsuki blushing berat.

“Setidaknya itu pertanda bahwa kau memiliki semangat yang bagus.”

Satsuki terbengong sejenak, “kau yakin tidak apa-apa aku mewawancaraimu?”

“Kau ingin aku menolaknya?”

“Aa—tidak!” Satsuki refleks menggelengkan kepalanya. “Terimakasih sudah mengijinkan untuk diwawancara! Aku tidak sabar untuk mewawancaraimu!” Satsuki membungkukkan tubuhnya, senang.

“Hn.” Arata dengan segan membalasnya dan melihat ke direksi lain.

Dari kejauhan terdengar Arata dipanggil. Menyadari hal tersebut, Satsuki menyudahi pertemuan mereka. “Maaf aku sudah menahanmu lama. Aku hanya ingin memperkenalkan diri.”

Arata tidak menjawab melainkan melangkah menjauh dari sana meninggalkan Satsuki yang memerhatikannya pergi. Tapi Arata tiba-tiba berhenti, seakan teringat akan sesuatu.

“Tapi ada beberapa syarat.”

“Syarat?” Tanya Satsuki.

“Kau tidak boleh menghalangiku apapun yang terjadi, jangan mengganguku dan jangan ikut campur urusanku. Jangan lupa dengan apa yang kau katakan tadi mengenai balapan perahu.” Arata mengatakannya dengan raut wajah serius.

Satsuki menegakkan tubuhnya. “Aku mengerti!” Ia tidak tahu apa yang Arata pikirkan mengenai jawabannya. Namun sepertinya Arata mengerti karena karena akhirnya ia mengangguk dan tersenyum sekilas.

“Ah! Ternyata kau di sini, Arata! Kau kemana saja?”

Asisten Arata berjalan mendekati Satsuki dan Arata. Ekspresi wajahnya seakan terkejut melihat Satsuki berada di sana.

“Apa yang kau lakukan?” Tanyanya pada Satsuki.

“A-aku… Aku hanya memperkenalkan diri dan memberitau mengenai wawancara.”

“Apa aku berkata kau harus melakukan itu? Tolong jangan melakukan hal yang tidak-tidak mengenai wawancara itu.” Pria itu menghela napas pelan. “Jika hal seperti ini terjadi lagi, ijin wawancaramu akan dibatalkan. Kau mengerti?!”

“M-maafkan aku..”

Sementara itu, Arata hanya memerhatikan Satsuki dan tidak berbicara apapun lagi.

Kesal karena diomeli sang asisten, Satsuki menghela napas berat sembari meninggalkan Tokyo Boat Race Track. Jantungnya terus berdetak kencang. Ia teringat percakapannya dengan Arata tadi. Satsuki mengecek smartphonenya. Wawancaranya dengan Arata dimulai besok.

“Apa yang akan terjadi padaku besok ya?” Satsuki berkata pada dirinya sendiri.

Beberapa pemikiran buruk bertengger di otaknya. Tapi ia berusaha keras tidak memerdulikan hal tersebut.

***

Esok harinya Satsuki menjalani meeting bersama chief editornya.

“Bagus! Kau udah memperkenalkan diri pada Uchiha Arata. Rupanya kita mendapat persetujuan langsung darinya. Kau tidak melakukan kesalahan kan?” Otoya memandangi bawahannya itu dengan penuh tanda tanya.

“Tidak Mebuki-san.” Satsuki merasa yakin mengenai hal tersebut.

“Baguslah. Aku serahkan semuanya padamu. Jika ada sesuatu hal terjadi, segera beritahukan padaku.” Otoya menepuk pundak Satsuki sebelum akhirnya pergi dari hadapannya.

Sebenarnya Satsuki merasa bersalah sudah berkata bohong pada atasannya itu.

Satsuki mengalihkan pandangannya pada secarik kertas yang diberikan Otoya di atas meja kerjanya. Kertas tersebut berisikan kontak Arata dan asistennya. Baru saja ia akan duduk kembali ke kursinya, ia melihat Izayoi berjalan ke arahnya.

“Satsuki selamat! Aku sudah dengar semuanya! Kau akan mewawancarai Uchiha Arata untuk Total Coverage kali ini kan?” Izayoi tersenyum ceria pada Satsuki.

“Ah tentu! Aku sangat senang.”

“Aku akan membantumu jika kau membutuhkannya. Panggil saja aku dan aku akan datang!”

“Baiklah terimakasih Izayoi.” Satsuki tersenyum sekilas pada rekan kerjanya itu kemudian kembali berkutat dengan setumpuk artikel yang harus disusunnya.

“Tapi… Uchiha Arata—“

Satsuki melirik Izayoi.

“—Dia sangat tampan bukan?”

Satsuki mengangguk, “ya tapi—“ Bagi Satsuki, untuk beberapa alasan, ia sulit menjawab pertanyaan Izayoi. Izayoi melihat Satsuki penuh tanda tanya. Penasaran dengan jawaban Satsuki.

“Apa kau menyukai Arata?” Tanya Izayoi penasaran.

“A-apa yang kau katakan?! Jangan bodoh!” Satsuki mencoba kembali memfokuskan pikirannya pada  pekerjaannya. “Ayo lanjut bekerja!”

“Tunggu… Satsuki kumohon jangan berbohong padaku.”

Kesal, Satsuki kemudian menyeret Izayoi kembali ke meja kerjanya. Kemudian ia pergi menuju ruang referensi untuk mencari informasi mengenai balapan perahu. Semakin banyak mencari tahu mengenai balapan perahu, semakin ia penasaran. Ia bahkan sempat terkaget dengan informasi yang didapatkannya.

Dari referat yang dibacanya, ia baru tahu bahwa selama musim balapan, mereka tidak bisa mengontak orang lain selain orang-orang yang terlibat dengan balapan perahu saja. Bagi Satsuki itu sangat aneh. Dia penasaran seperti apa sebenarnya Arata yang melibatkan dirinya masuk ke dunia seperti itu.

Semakin mencari tahu mengenai balapan perahu, ia tidak sadar bahwa saat itu sudah tengah hari. Tidak terasa seharian ini dia membaca sekian banyak referensi. Ia kemudian bergegas makan siang sebelum waktu makan siangnya habis. Setelah selesai, ia kembali ke mejanya dan mulai menyusun lagi artikel yang harus dikerjakannya hari itu.

Selama menyusun artikel, ia masih memikirkan apa yang terjadi padanya kemarin.

Arata memang tampan. Aku mengerti dia sangat glamor dan popular. Tapi setelah melihatnya langsung dia berbeda dibandingkan ketika tampil di televisi ataupun majalah. Satsuki membatin.

Selama ini Arata yang dilihatnya di media terlihat mudah diajak berbincang dan terlihat menyenangkan. Tapi ketika mereka bertemu di pesta dan mengatakan hal buruk padanya, ia sempat tidak percaya. Satsuki merasa ada yang berbeda jika Arata dihadapkan dengan hal-hal mengenai balap perahu. Arata seakan begitu fokus dan keras kepada dirinya sendiri. Hal tersebut membuat Satsuki begitu penasaran.

Ia tiba-tiba teringat akan sesuatu. Ia merasa bahwa ia harus memeriksa jadwal Arata yang diberikan padanya. Karena dirasa kurang jelas dengan jadwal yang diberikan padanya, Satsuki bergegas menghubungi langsung Arata dan bertanya padanya. Baru saja ingin mengangkat teleponnya, ia berpikir lagi. Ia gugup dan tidak yakin untuk menghubungi Arata. Ia menarik napas sebelum akhirnya memberanikan diri mengangkat teleponnya dan menekan tombol telepon.

Setelah didengarnya nada sambung, tak butuh waktu lama bagi Arata untuk menganggkat teleponnya.

Halo?” Suara baritone  terdengar di ujung sana.

“O-oh! Ini dari Star Publishing!

Aku sudah tau ini nomor teleponmu.”

“Oh begitu.” Satsuki meneguk ludahnya sebelum kembali berbicara. “Aku rasa sekarang tidak sedang musim pertandingan, jadi aku ingin mewawancaraimu ketika kau sedang ada waktu luang. Tidak apa-apakah?”

Iya tentu.”

Satsuki mendadak sumringah mendengarnya. “Terimakasih! Ah! Mengenai lokasi—”

Belum sempat Satsuki berbicara, Arata langsung memotongnya.

Aku sedang memerbaiki mesin di bengkelku.”

“Bengkelmu di mana ya?”

Akan kujelaskan nanti. Aku ingin sekarang kau datang ke bengkelku.”

“Apa? Sekarang?!” Satsuki terkaget dengan apa yang dikatakan Arata.

Kau ingin mewawancaraiku kan? Cepatlah datang sekarang ke bengkelku. Aku tidak punya banyak waktu.”

Untuk beberapa saat Satsuki terbengong, tidak mengerti apa yang dikatakan Arata.

Aku akan mengirim peta menuju bengkelku via FAX.”

Arata bahkan tidak mengindahkan pertanyaan Satsuki.

“Tuan Uchiha tung—“

Apa? Aku sibuk.” Jawab Arata cuek di ujung sana. “Kau bilang kau tidak akan menghalangiku.”

“A-aku tidak bermaksud demikian. Tapi bukankah ini terlalu mendadak?”

Jika kau ingin mewawancaraiku, kutunggu sekarang juga di bengkelku. Sampai jumpa.”

Belum sempat Satsuki mengatakan sesuatu, Arata memutus teleponnya.

Satsuki memijit pelipisnya. Seketika ia merasa bahwa Arata sedang memanipulasinya.


Author’s Note: Ini sebelumnya saya pernah post di salah satu web fanfiksi dengan judul yang sama dan fanfiksi tersebut saya buat dengan pair Ino Yamanaka dan Sasuke Uchiha (dari fandom animasi Naruto), dan nama pena saya White Azalea. Tapi saya post kembali ke sini dengan beberapa modifikasi (mengingat ini adalah cerita yang saya ketik beberapa tahun lalu ketika saya masih berada di bangku kuliah).

Mantra | Chapter 2

30 Oktober 2017 in Vitamins Blog

14 votes, average: 1.00 out of 1 (14 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

“Duduk aja dulu di sini, aku ambilin teh dulu.” Ujar Ary pada Yola sembari berlalu.

Yola duduk di ruang tamu di rumah itu. Ia disuguhi berbagai benda pusaka dan buku-buku kuno di setiap sudut rumah.

Tak lama, Ary kembali membawa dua gelas teh hangat untuk mereka.

“Ini Yol, minum dulu.”

Yola menyesap teh hangat yang disuguhi Ary. Ia langsung merasa lebih tenang. Kemudian sesosok pemuda yang terlihat lebih tua daripada Ary datang.

“Ry, siapa tuh? Temenmu?” Tanya pemuda itu ketika melihat Yola dan Ary duduk di ruang tamu.

“Oh bukan, Ga. Ini Yola. Aku nemuin dia di bangunan keramat itu.” Jawab Ary santai.

“Hah? Nemu?!”

“Iya nemu.” Jawab Ary. Pemuda itu langsung ikut duduk dengan mereka berdua dan tanpa basa-basi bertanya pada Yola.

“Kamu kenapa bisa ada di tempat itu? Kamu bukan orang sini, kan?” Cerocos si pemuda.

“Oi, nanya satu-satu napa? Kenalan dulu kek.” Sahut Ary.

“Oh iya!” Ia berdeham, “aku Angga. Kakaknya Ary. Lanjut ke topik tadi. Kenapa kamu bisa ada di tempat itu?”

Ary geleng-geleng kepala dengan kelakuan kakaknya itu.

Yola menatap Ary sekilas, “aku nggak ingat kenapa aku bisa ada di situ. Tapi sebelumnya aku sempat baca buku yang isinya aksara-aksara aneh. Tapi ada satu halaman di mana ada sebuah bait yang anehnya bisa aku baca meski ditulis dengan aksara aneh itu.”

Mendengar jawaban Yola, wajah Angga mendadak pias. Tanpa babibu, ia keluar ruangan dan segera mengaktifkan ponselnya. Menghubungi seseorang yang diyakininya dapat menyelesaikan masalah ini.

***

Berkali Hajma mengetuk pintu rumah Yola dan memencet belnya, namun tak jua ada jawaban. Hajma menghela napas. Terpaksa ia mengeluarkan kunci duplikat yang dulu sempat Yola beri padanya jika terjadi sesuatu atau memang orang rumah tidak ada yang membukakan pintu. Beruntunglah Hajma karena sudah dipercayai keluarga itu sehingga dapat dengan mudah keluar-masuk rumah itu meski tanpa ijin sekalipun.

Ketika Hajma membuka kamar Yola, ia terkaget karena mendapati Yola sudah terkapar di lantai. Ia mencoba membangunkan Yola namun nihil. Panik, ia segera merogoh ponsel di sakunya dan menghubungi kakak Yola, Eva.

“Kak tolong! Yola!” Sahutnya panik, sesaat setelah terdengar sapaan dari ujung telepon.

“Kenapa Yola?” Tanya Eva.

“Kak tolong kak, Yola pingsan dan nggak bangun-bangun!” Ucap Hajma sambil terisak.

“Oke tunggu. Gue ke sana sekarang juga!” Eva mematikan sambungan telepon dan bergegas ke mobilnya di basement. Tanpa pikir panjang, ia pun langsung melesat ke rumahnya dengan kecepatan penuh.

Sesampainya di rumah, Eva segera berlari ke kamar Yola. Ia sempat terkaget melihat Yola terkapar tak sadarkan diri.

“Hajma, kok bisa Yola kayak gini?” Tanya gadis berkacamata itu.

“Aku nggak tau kak. Pas aku dateng ke sini, Yola udah pingsan.” Jawab Hajma.

Eva berjongkok memeriksa tanda vital Yola.

“Normal,” gumamnya. Iris kecokelatannya berdilatasi ketika melihat sebuah buku di samping adiknya yang tak sadarkan diri.

Ia segera meraih buku itu dan, “b-buku ini.. kan … ?”

Belum sempat menelaah lebih lanjut, ponsel genggamnya kembali berdering. Menampilkan kontak yang tak asing di layar ponselnya, Angga.

Tanpa babibu ia langsung menerima panggilan itu.

“Va gawat! Ramalan itu beneran terjadi!” Sahut Angga panik bahkan sebelum Eva menjawab teleponnya.

“R-ramalan itu—“

“Iya Va! Mending Lo ke sini sekarang juga!” Ujar Angga.

Setelah percakapan singkat mereka usai, Eva segera berbalik dan meminta tolong pada Hajma.

“Hajma, kamu ada rencana nginep berapa hari di sini?” Tanya Eva.

“Tiga hari, kak.”

“Oke. Sekarang kamu tolong bilang ke Riel kalo acara nginep kalian diperpanjang jadi seminggu.”

“Ha?”

“Tolong bantu aku angkat Yola ke mobil dan kita pergi ke Cirebon sekarang juga!”

“HA?!”

***

Hajma segera duduk di samping bola yang tak sadarkan diri pada jok belakang mobil setelah membantu Eva membereskan barang-barang yang mereka perlukan dan menggotong Yola ke mobil.

“Hajma, kamu udah bilang ke Riel belum kalo acara nginepnya jadi seminggu?” Tanya Eva di kursi pengemudi sembari memasang sabuk pengamannya.

Seakan teringat akan sesuatu gadis berkerudung itu berucap, “oh, belum kak. Hajma telpon dulu ya.”

Eva mengangguk dan memanaskan mesin mobilnya sementara Hajma menelpon kakaknya. Seusai line teleponnya tersambung,

“Halo?” Baritone di seberang telepon menyambut.

“Kace? Aku mau ijin nginap di Yola seminggu, nggak jadi tiga hari.”

Pemuda yang dipanggil Kace itu kembali bersuara, “kok ditambahin jadi seminggu nginepnya?”

Hajma melirik Eva yang juga tengah menoleh padanya, “umm—anu kace…”

Eva menghela napas, kemudian menjulurkan tangannya. Isyarat agar dia saja yang berbicara dengan orang di seberang sana.

“Kace ngomong langsung aja ya sama kak Eva,” ujar Hajma seraya memberikan ponselnya pada Eva.

“Halo Riel?” Sapa Eva.

“Halo Va. Kok nginepnya jadi seminggu?”

“Maaf ya mendadak banget kasih tahunya. Gini, Yola sama Hajma kan lagi pada libur jadi sekalian aja aku ajak mereka ke Cirebon sekitar semingguan. Sekalian aku ada riset sama Yola mau hunting foto buat pamerannya nanti.” Terang Eva.

“Ooh.. kay, boleh. Kalau gitu aku titip Hajma ya. Kalo ada apa-apa tolong kasih tahu ya.”

“Oke, tenang aja.” Ujar Eva sembari melirik Hajma sekilas.

Sesudahnya sambungan terputus.

Done. Udah diijinkan kok sama kacemu.” Eva mengembalikan ponsel itu pada Hajma.

“Makasih kak.” Hajma memasukan ponselnya kembali ke saku jeansnya.

Eva memandang dua ABG di jok belakang mobilnya. Gadis berkacamata itu menggenggam kalung yang tengah dipakainya. Ia sangat tahu bahwa kejadian ini akan muncul cepat atau lambat. Namun ia tidak pernah tahu bahwa adiknya sendiri yang menjadi korban. Kakak dari Yola itu melirik arloji di pergelangan tangan kirinya. Sudah pukul 6 sore. Butuh 2 jam dari Bandung menuju Cirebon jika mengemudi dengan kecepatan penuh.

“Kita berangkat sekarang?” Tanya Eva yang dijawab Hajma dengan sebuah anggukan mantab.

***

Usai mengontak orang yang bersangkutan, Angga mengempaskan kembali tubuhnya pada sofa di ruang tamu. Sedari tadi netra sang adik senantiasa memerhatikannya.

“Ga kenapa tadi mendadak panik gitu?” Tanya Ary seraya menyesap teh hangatnya.

Tanpa mengindahkan pertanyaan adiknya, ia menodong Yola dengan sebuah pertanyaan.

“Yola, kamu inget nggak, aksara yang bisa kamu baca itu seperti apa?”

Yola nampak mengingat-ingat sesuatu, “nggak terlalu ingat sih kak, cuma ingat bagian terakhirnya. Kalau nggak salah, jati rogo sukmo sejati.

“Gawat. Ini bener-bener gawat.” Gumam Angga.

Ary mengerutkan kening, tidak paham.

Angga menghela napas, “ada yang mau aku sampein ke kalian. Tertama kamu, Yola.”

“Ini ada hubungannya dengan penelitianku beberapa waktu lalu. Adanya Yola saat ini tuh kasus serius. Menyangkut nyawa.” Lanjutnya dengan raut wajah serius.

Baik Yola maupun Ary terkejut. Suasana mendadak tegang kala Angga berkata demikian.

“Menyangkut nyawa gimana ya kak?” Tanya Yola.

Sebelum ia menjawab pertanyaan Yola, pandangannya beralih pada Ary.

“Ry, masih inget gak penelitianku yang pernah aku ceritain ke kamu tentang keraton Kasepuhan?”

Ary mengangguk, “penelitian mengenai cerita rakyat kutukan mantra putri keraton itu, kan?”

“Iya. Sebenernya cerita rakyat yang aku teliti itu kisah nyata kok. Aku udah ngebuktiin sendiri.” Ujar Angga.

“Ramalan dari mbah kakungnya mbak Eca juga berarti—“ Sahut Ary dengan kalimat yang menggantung.

“Ramalan itu benar-benar terjadi sekarang.”

***

(Flashbacks)

“Oke, Va. Kamu udah tau kan ya jobdesk kamu di sini apa?” Tanya gadis yang sengaja mewarnai rambutnya menjadi platinum blonde itu.

Eva mengangguk, “udah kok Ef. Cuma mana anggota riset kita satu lagi?” Tangannya membolak-balik halaman berkas di hadapannya.

“Tuh baru aja diomongin udah dateng.” Sahut Efsan sembari menunjuk seseorang yang baru saja masuk ke dalam ruangan mereka.

Baik Efsan maupun Eva berdiri menyambut anggota tim riset mereka.

“Va, kenalin nih, Angga. Dia arsitek yang bakal bantuin dalam penelitian ini. Dan Ga, kenalin, ini Eva. Eva nih Arkeolog yang ditugasin buat misi bedah artefak dan bangunan keramat keraton Kasepuhan.” Jelas Efsan.

“Salam kenal, aku Angga.” Pemuda itu mengulurkan tangan dan dibalas oleh Eva.

“Iya, Salam kenal. Aku Eva.”

“Kalau aku juga perlu kenalan lagi gak?” Tanya Efsan.

Eva terkekeh, “nama Efsan, peneliti muda yang juga ditugasin buat misi bedah artefak dan bangunan keramat keraton Kasepuhan, yang tugasnya meneliti keadaan sekitar keraton.”

“Lengkap banget! Nggak sekalian hobi, makanan favorit dan lain-lain, Va?” Ucap Efsan.

“Sekalian aja deh ntar aku bikin reklame isinya biodatamu terus kutempel pinggir jalan.”

“Eva kejem!” Efsan menjulurkan lidahnya.

Angga tertawa kecil melihat dua gadis di hadapannya.

Hari pertama penelitian, ketiganya berencana untuk menemui tetua desa sekitar keraton Kasepuhan, sekaligus juru kunci turun temurun. Sesampainya mereka di kediaman sang juru kunci, seorang gadis menyambut mereka.

“Mas dan mbak-mbak, ada perlu apa ya?” Tanyanya dengan intonasi yang sangat sopan dan halus.

“Begini dek, kami mau bertemu juru kunci bangunan keramat keraton. Bisa?” Tanya Efsan.

Gadis itu tersenyum, “saya tanya dulu ke mbah ya, mas dan mbak-mbak silahkan masuk dulu ke dalam rumah.” Ia memersilahkan ketiga peneliti itu masuk ke kediamannya, kemudian segera pamit untuk memanggil mbahnya.

Selang berapa lama, seorang kakek yang renta datang seraya dituntun oleh gadis tadi.

“Eca, tolong suguhi tamu kita air sama makanan ya.” Pinta sang kakek pada Eca yang bergegas mematuhinya.

Juru kunci menatap ketiga tamunya kemudian tersenyum.

Ira kenapa ane ning kene? Ada perlu apa toh ira kesini?”

Ketiganya saling berpandangan, kemudian Efsan kembali bersuara, menyampaikan maksud dan tujuan mereka menemui sang juru kunci.

“Bangunan keramat yang akan ira datangi itu ada hubungannya dengan cerita rakyat sini.” Ujar sang juru kunci sembari menyesap minuman yang disuguhi Eca.

“Dahulu, salah satu puteri keraton yang paling cantik bernama Banondari jatuh cinta dengan adipatinya. Namun saudari kandungnya tidak setuju, karena ia juga jatuh cinta dengan si adipati. Berhubung saudari Banondari memelajari ilmu klenik, ia menggunakan ilmunya agar Banondari dibuat celaka. Namun ia tidak pernah berhasil. Karena itu, ia membunuh Banondari dan kemudian arwahnya di segel dalam sebuah kitab.

“Kitab itu tersimpan di dalam bangunan keramat yang akan ira datangi nanti. Tapi setelah bangunan tersebut sempat sedikit hancur karena bencana alam beberapa tahun silam, ada beberapa peneliti bilang, kitab itu tidak ada lagi di sana. Konon katanya, siapa yang membaca kitab tersebut, rohnya akan terpisah dari tubuhnya dan akan berpindah ke tempat lain oleh kuasa Banondari.

“Terpisahnya roh dan tubuh dan berpindah tempatnya roh terebut karena Banondari itu disebut rogo sukmo. Jika roh itu tidak segera dikembalikan, pemilik roh tersebut akan mati dan Banondari akan memakai tubuhnya untuk membalaskan dendam.”

Mendengar cerita tersebut, Efsan menghela napas berat, Eva berkeringat dingin dan Angga meneguk ludah. Ketiganya sempat saling berpandangan sebelum kembali memerhatikan cerita dengan saksama.

Langit yang semula biru perlahan berubah jingga, tanda senja telah datang. Setelah mendapat pembekalan dari juru kunci, tim peneliti itu pamit undur diri. Baru saja berdiri dari kursi ruang tamu dan akan keluar dari kediaman sang juru kunci, tiga anak muda itu dikejutkan dengan tingkah aneh sang juru kunci yang mendadak bergumam, meracau tidak jelas, seakan dirasuki sesuatu.

Ketiganya dibuat merinding dan panik. Namun segera ditenangkan Eca selaku cucu si juru kunci.

“Tenang, mas, mbak-mbak. Kalau mbah seperti itu, tandanya mbah dapat wangsit.” Ujar Eca tenang.

Angga bingung, “wangsit?” Eca mengangguk.

“Mas dan mbak-mbak bisa tolong tunggu sebentar dulu sampai mbah selesai?” Pinta Eca.

Efsan, Eva dan Angga kembali duduk di tempat. Selang berapa lama, juru kunci itu kembali membuka matanya dan menatap ketiga tamunya.

“Kalian anak muda, berhati-hatilah. Suatu saat nanti akan ada yang membaca kitab itu dan membuat Banondari kembali. Kelak, Banondari tak hanya berusaha membunuh orang yang membaca kitab tersebut, tapi juga akan ada korban lagi yang terlibat jika tidak segera dihentikan.”

Tiga pemuda pemudi itu memerhatikan dengan saksama, apa yang dituturkan sang juru kunci. Terlebih kalimat terakhir yang diucapkannya sontak membuat mereka bertiga menggelengkan kepala tidak percaya.

“Dan yang dapat menghentikannya hanyalah kalian.”

(Bersambung)

Mantra | Chapter 1

28 Oktober 2017 in Vitamins Blog

17 votes, average: 1.00 out of 1 (17 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

Sekali kau ucapkan, mantra tersebut akan membawamu ke tempat yang tak pernah kau pikirkan sebelumnya.

.

Gadis itu perlahan membuka kelopak matanya, menampilkan iris kelam miliknya. Ia terdiam sesaat. Meneliti apa yang tengah dilihatnya saat itu. Sejurus kemudian terkaget setelah sadar bahwa dia sedang tak berada di tempat seharusnya dia berada.

“Aku … di mana?”

.

Mantra

Genre: Supranatural, friendship, romance

.

Bunyi khas yang dihasilkan kamera saat menangkap gambar terdengar ketika gadis berambut panjang itu berhasil membidik objek yang diincarnya. Seulas senyum merekah di wajahnya. Tanda bahwa ia puas dengan hasil jepretannya. Kini iris jelaganya menelusuri tempat itu, mencari objek lain yang sekiranya pantas tuk diabadikan melalui kamera DSLR-nya.

“Yola udah selesai belum hunting fotonya?” Suara baritone itu membuatnya menoleh ke arah pemuda yang bertanya padanya.

Gadis belia itu menggeleng, “belum nih Shan, kayanya masih lama. Aku harus cari inspirasi buat pameran minggu depan.”

Irshan membeo kemudian terdiam sejenak sebelum akhirnya kembali bertanya, “memangnya tentang apa tema pamerannya?”

“Tentang budaya sih, ada sub temanya juga. Budayanya sih sudah kepikiran cuma sub temanya susah.”

“Apa sub temanya memang?”

Yola berpikir sejenak, “tentang tempat bersejarah gitu sih tapi tempat bersejarah di sini kayaknya semua udah di sabotase sama fotografer lain deh.” Ujarnya sembari terkekeh.

Irshan mengangguk, “aku saranin kamu mending pergi ke perpustakaan di alun-alun deh. Siapa tau dapet literatur tentang budaya dan tempat-tempat bersejarah gitu.”

“Ide bagus. Boleh juga, mungkin nanti aku bakal ke perpustakaan. Tutup jam berapa sih?”

“Sekitaran 4 jam lagi tutupnya. Selagi masih sempat mending kamu sekarang ke sana aja.” Saran Irshan sembari melirik arloji di pergelangan tangan kanannya.

“Okay, kalo gitu aku ke sana sekarang.” Gadis itu segera membereskan perlengkapan memotretnya, bersiap untuk pergi ke perpustakaan.

***

Yola menelusuri tiap-tiap rak di perpustakaan. Mencari sesuatu yang sekiranya dapat memberi inspirasi. Ia beberapa kali menghela napas, karena belum juga menemukan literatur yang dirasanya pas.

“Mungkin aku tanya aja ke penjaga perpustakaannya.” Ia mengangguk kemudian beranjak menemui penjaga perpustakaan.

“Ada yang bisa saya bantu?” Tanya gadis imut berseragam khusus penjaga perpustakaan yang tengah berdiri di depan sebuah rak dengan beberapa buku di tangannya.

“Umh, mbak Manda?” Tanya Yola sembari melirik nametag si gadis yang dipikirnya jauh lebih muda darinya itu.

Gadis bernama Manda itu mengangguk.

“Saya mau cari buku tentang budaya. Ada rekomendasi?”

Manda tampak berpikir sejenak, “budaya yang bagaimana ya, mbak?”

“Tentang tempat bersejarah gitu. Ada rekomendasi nggak?”

“Oh, sini mbak, ikut saya.” Ajak Manda menuju ke rak buku bagian budaya dan sejarah yang terletak di bagian ujung perpustakaan.

“Ini buku-buku tentang budaya mbak, mungkin yang mbak cari ada di sini. Yang tentang tempat-tempat bersejarah ada di sebelah sana.” Manda menunjuk rak yang berisikan buku-buku mengenai tempat-tempat bersejarah.

Yola mengangguk.

“Saya tinggal dulu ya mbak. Mau beresin buku-buku ini.”

“Kalau ada perlu, panggil saya lagi. Permisi ya mbak.” Lanjut Manda sembari meninggalkan Yola.

“Oh iya, terimakasih ya!” Sahut Yola.

Setelah ditinggalkan sang gadis penjaga perpustakaan, ia kembali mencari buku yang dia perlukan. Kali ini ia merasa senang karena mendapat banyak referensi menarik. Hingga ia memutuskan untuk meminjam beberapa buku di sana dan kemudian bergegas pulang ke rumahnya.

***

Setumpuk buku tergeletak di atas meja belajar di samping  single bed ungu kesayangan Yola. Setelah mandi, ia kembali menilik tumpukan buku yang telah dipinjamnya tadi. Ia meneliti tiap-tiap judul buku yang akan dibacanya terlebih dahulu. Ia terdiam sesaat ketika membaca judul sebuah buku yang menurutnya begitu asing.

Rogo sukmo? Perasaan tadi aku nggak ambil buku ini deh.” Gumamnya sembari membuka halaman pertama buku tersebut.

Belum sempat dibacanya, ponselnya berbunyi. Pandangannya langsung tertuju pada nama yang tertera pada layar ponsel. Ia segera meletakan kembali buku tersebut dan menjawab panggilan masuk.

“Halo, kak Hajma? Ada apa?” Sapanya pada seseorang di seberang sana.

Selama Yola berbicara dengan seseorang di telepon genggamnya, seorang gadis berkebaya putih dan berselendang batik berdiri tepat di belakangnya, tengah memerhatikannya.

“Oh, kak Hajma mau nginep ya di rumah? Boleh-boleh dateng aja! Di rumah ga ada orang soalnya. Aku tunggu ya! Bye!” Yola mengakhiri perbincangannya di telepon.

Gadis beriris kelam itu menoleh ke belakangnya karena merasa diperhatikan ketika berbincang di telepon tadi.

Tidak ada orang. Jelas saja, ia hanya sendiri di rumah dan tidak ada orang di sana selain dirinya. Mana mungkin ada orang yang memerhatikannya, bukan?

Ia merasa bulu kuduknya meremang.

“Aduh aku mikirin apa coba? Ini pasti gara-gara aku lagi laper. Aku masak dulu deh sebelum kak Hajma dateng.” Yola kemudian bergegas meninggalkan ruang pribadinya.

Tanpa ia sadari, ia sudah melewati gadis yang sedari tadi memerhatikannya.

Gadis itu kemudian menunduk.

Kedua bibirnya melantunkan sebuah tembang.

“Sup sup sinurup manjing waruga

Waruga jati jadi sempurna

Badanku siji tembus ing jati

Jati rogo sukmo sejati.”

***

Selesai dengan urusan perutnya, Yola kembali ke kamarnya. Menghela napas sesaat sebelum kembali menyentuh buku yang sedari tadi mengganggu pikirannya.

Rogo Sukmo,” gumamnya. “Heran deh kenapa buku ini bisa kubawa. Peraasaan aku sama sekali nggak minjem buku ini.”

Di tengah kebingungannya, sesosok perempuan muncul di belakangnya. Perempuan itu tersenyum, kemudian melantunkan tembang dengan bahasa yang tidak dimengerti oleh sembarang orang. Yola merasa bulu kuduknya meremang. Ia sontak melihat ke belakangnya karena merasa sedang diperhatikan.

“Nggak ada orang.” Ia meneguk ludahnya sendiri. Sejurus kemudian, tatapannya kembali pada buku yang dipegangnya.

Perempuan itu terus melantunkan tembangnya. Kedua tangannya meraih tangan Yola. Menuntun Yola untuk membuka buku itu. Halaman pertama buku berisi tulisan-tulisan dengan aksara yang belum pernah ia lihat sebelumnya. Tanpa sadar, Yola membuka halaman demi halaman buku itu hingga berhenti di sebuah halaman dengan aksara yang sama namun anehnya, ia dapat membacanya meskipun hanya sebait.

“Bacalah…”

Sebuah bisikan terdengar oleh Yola, seakan memintanya untuk membaca sebait aksara yang tertulis di halaman itu.

Seakan terpengaruh oleh bisikan, Yola membaca bait tersebut.

“Sup sup sinurup manjing waruga

Waruga jati jadi sempurna

Badanku siji tembus ing jati

Jati rogo sukmo sejati.”

Yola mendadak merasakan sesuatu pada dirinya, kepalanya terasa berat.

“Tolong …”

Gadis itu berusaha mencari tahu siapa yang berbisik meminta tolong padanya. Namun ia tak menemukan apapun.

“Tolong …”

Bisikan itu terdengar lagi.

Sesosok gadis cantik berkebaya putih dan berselendang batik muncul di hadapannya, dengan raut wajah sedih.

“Apa …?” Yola memegangi kepalanya yang terasa semakin berat—

“Tolong selamatkan aku sebelum terlambat…”

—dan setelahnya pandangan Yola menggelap dan ia tidak mengingat apapun lagi.

***

Ary melangkahkan kakinya lebih jauh lagi ke dalam tempat itu—tempat yang pernah diceritakan oleh sang kakak. Karena penasaran dengan cerita sang kakak, ia berinisiatif menelusuri tempat itu. hingga akhirnya menemukan seorang gadis yang tergeletak tak jauh dari tempatnya berdiri. Terkaget, ia segera menghampiri si gadis. Iris jelaganya, meneliti keadaan si gadis, kalau-kalau ia masih hidup. Dan setelahnya bersyukur karena sang gadis masih bernapas.

Ary pun mencoba membangunkan gadis itu.

“Hei, hei…” Ujarnya sembari menepuk pipi si gadis.

Gadis itu perlahan membuka kelopak matanya, menampilkan iris kelam miliknya. Ia terdiam sesaat. Meneliti apa yang tengah dilihatnya saat itu. Sejurus kemudian terkaget setelah sadar bahwa dia sedang tak berada di tempat seharusnya dia berada.

“Aku… di mana?” Tanya sang gadis.

“Ini bangunan keramat.” Jawab Ary.

“Bangunan keramat?” Ujar sang gadis, bingung.

Kenapa ane ning kene?”

“H-hah? Aku nggak ngerti.”

Ary menghela napas, “kenapa kamu ada di sini?”

Gadis yang masih kebingungan itu berusaha mengingat apa yang terjadi dengannya, namun berakhir dengan gelengan kepala.

“Kamu kayaknya bukan orang sini,” ujar Ary. “Mending kamu ikut aku dulu ke rumah. Siapa tahu kamu bisa inget sesuatu. Oh ya aku lupa. Kenalin, aku Ary.”

Gadis itu menerima uluran tangan Ary, “Yola.”

Setelah itu, Yola mengikuti Ary ke rumahnya.

***

“Duduk aja dulu di sini, aku ambilin teh dulu.” Ujar Ary pada Yola sembari berlalu.

Yola duduk di ruang tamu di rumah itu. Ia disuguhi berbagai benda pusaka dan buku-buku kuno di setiap sudut rumah.

Tak lama, Ary kembali membawa dua gelas teh hangat untuk mereka.

“Ini Yol, minum dulu.”

Yola menyesap teh hangat yang disuguhi Ary. Ia langsung merasa lebih tenang. Kemudian sesosok pemuda yang terlihat lebih tua daripada Ary datang.

“Ry, siapa tuh? Temenmu?” Tanya pemuda itu ketika melihat Yola dan Ary duduk di ruang tamu.

“Oh bukan, Ga. Ini Yola. Aku nemuin dia di bangunan keramat itu.” Jawab Ary santai.

“Hah? Nemu?!”

“Iya nemu.” Jawab Ary. Pemuda itu langsung ikut duduk dengan mereka berdua dan tanpa basa-basi bertanya pada Yola.

“Kamu kenapa bisa ada di tempat itu? Kamu bukan orang sini, kan?” Cerocos si pemuda.

“Oi, nanya satu-satu napa? Kenalan dulu kek.” Sahut Ary.

“Oh iya!” Ia berdeham, “aku Angga. Kakaknya Ary. Lanjut ke topik tadi. Kenapa kamu bisa ada di tempat itu?”

Ary geleng-geleng kepala dengan kelakuan kakaknya itu.

Yola menatap Ary sekilas, “aku nggak ingat kenapa aku bisa ada di situ. Tapi sebelumnya aku sempat baca buku yang isinya aksara-aksara aneh. Tapi ada satu halaman di mana ada sebuah bait yang anehnya bisa aku baca meski ditulis dengan aksara aneh itu.”

Mendengar jawaban Yola, wajah Angga mendadak pias. Tanpa babibu, ia keluar ruangan dan segera mengaktifkan ponselnya. Menghubungi seseorang yang diyakininya dapat menyelesaikan masalah ini.

(Bersambung)

Gereja Katedral

26 Oktober 2017 in Vitamins Blog

15 votes, average: 1.00 out of 1 (15 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

Eva memandangi lalu lintas di jalan raya yang rasanya tak pernah sepi, semakin hari, Bandung akan semakin macet seperti Jakarta dan Eva tak sanggup menghadapi itu, tidak macet saja dia sering terlambat apalagi ditambah macet, bagaimana nasib telinganya mendengar ocehan dosennya di kampus yang tak kenal kompromi itu?

Perempuan memang selalu benar, tapi dalam konteks perkuliahan, kalimat itu tidak berlaku, dosen adalah makhluk paling benar, apalagi kalo dosenmu perempuan. Aih mati lo!

Gadis itu mengedarkan pandangannya ke sekeliling Gereja katedral yang terletak di Perintis Kemerdekaan, Babakan, Bandung. Beberapa anak kecil berlarian di halaman Gereja yang rindang, di sudut-sudut yang tersembunyi dari sinar matahari, orang tua mereka berdiri mengawasi, cicit burung turut menyemarakkan suasana, ditambah denting lonceng yang menentramkan hati. Indah.

Siang yang begitu tenang.

Dia tersenyum kecil saat seorang anak perempuan berlari ke arahnya dengan ceria, menyodorkan setangkai mawar merah yang masih segar padanya.

“Dari Mas Angga buat Mbak Eva.” Bisik gadis kecil itu ditelinganya.

Eva menggeleng tapi ikut tertawa juga saat gadis kecil itu kembali pada kawan-kawannya.

“Suka?”

Perempuan sipit itu nyaris terjungkal saat berbalik dan menemukan wajah Angga begitu dekat dengan wajahnya.

“Apa sih, lo ngagetin tau Ga.”

Angga terkekeh pelan, “harusnya tadi adik kecil itu bilang, dari mas ganteng buat mbak galak,” yang dibalas cubitan di perut lelaki itu.

“Sakit banget, Va. Serius deh.”

“Elo sih nyebelin gitu. Gue ga galak cuma …”

“Cuma serem!” Potong Angga cepat.

“Lo emang minta dicubit pake gunting rumput, ya?”

“Hahaha, gila mainannya gunting rumput, atuut. Eh, kamu belum shalat, kan? Yuk, gantian aku yang nungguin.”

Eva menghembuskan napas keras mendengar ucapan Angga.

“Angga tahu ngga, kadang ada suara yang berdebat di kepalaku, tentang kita. Hubungan ini akan jalan ke arah mana.”

Lirih Eva saat mereka menyusuri trotoar Bandung yang tak pernah sepi guna mencari Mesjid terdekat.

“Va, kamu tahu gimana taatnya keluargaku, kan?”

“Dan kamu juga tahu kalo papiku pasti nyincang aku kalau tahu berpacaran dengan yang beda agama, kan?”

Angga mengacak rambutnya frustasi, “kita bisa nikah di luar, Va. Aussie atau Kanada? Kita udah dewasa, kita punya hak buat nentuin hidup kita sendiri.”

Eva meletakkan tasnya di koridor Mesjid, sebelum mengambil air wudhu, gadis itu menatap wajah Angga dalam-dalam.

“Lucu ya, saat kamu berjalan menuju lonceng di hari minggu, aku justru berjalan ke arah kiblat.”

“Aku bukannya ngga mau, Ga. Tapi menikah tidak hanya untuk kita, bagaimana kita mengajarkan pada anak-anak kita nanti tentang keyakinan jika orang tuanya sendiri punya keyakinan yang beda.”

“Va, kita percaya kalo semua agama ngajarin kebaikan, kan? Tentang pilihan, kita serahin ke mereka.”

Gadis berdarah Sumatera itu mengulas senyum miris, “dulu jarak memisahlan kita, sekarang keyakinan. Kita ngga pernah mulus ya jalannya.”

Angga memandang punggung gadis itu dengan perih, ini bukan maunya, ini pilihan hatinya, pilihan hati mereka, mengapa Tuhan tak bisa merestui itu?

Bunga kertas berjatuhan di halaman Mesjid membuat Angga bungkam seribu bahasa, cinta memang tak memandang agama, tapi agama tak bisa menyatukan agama.

Hanya karena Tuhan mereka berbeda, apa mereka tak bisa bersama?

Aku-Kau; Yang Tidak Pernah Menjadi Kita

26 Oktober 2017 in Vitamins Blog

15 votes, average: 1.00 out of 1 (15 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

Hey kau, hari ini mari kita mengingat kembali, sudah berapa banyak tapak kaki yang bersisian, sudah berapa senja yang terlewati, sudah berapa ratus kilometer yang terlalui.

Kamu pernah menjadi pilotku, saat jalanan Semarang terlalu asing untuk kutantang. Aku pernah menjadi co-pilot, saat Bandung menawarkan arena jelajah yang membangkitkan adrenalin.

Semarang dan Bandung mungkin sudah hapal derai tawa kita, genggaman tanganmu di jemariku, rangkulan halusku di lenganmu, atau jejak sol sepatu kita di tengah jalanan becek.

Kita pernah berjanji, akan menjumpai petang di Papandayang bersama toga di kepala, saat kamu telah siap pergi entah kemana, saat aku telah siap untuk melepasmu dari pelukku, saat di mana kita akan terurai menjadi aku dan kamu.
Aku mungkin tidak akan pernah kamu temui di altar, dan kamu mungkin tidak akan pernah menjabat tangan papaku dan mengucapkan ijab. Tapi setidaknya kita pernah menjali rantai yang rumit, antara hatiku padamu dan hatiku pada Tuhan.

Denganmu aku belajar mencintai, belajar melepas, gengsi dan malu bersatu padu, rindu dan marah melebur dalam jarak sekian mil yang kita namai perjuangan.

Sayang sekali, perjuangan kita bukan bermuara pada kita selamanya tapi hanya sebatas kita sementara karena seperti apapun kita saling mencintai, Tuhan tetaplah yang utama.

Jadi, jika suatu hari nanti kamu kembali menapaki jalanan Bandung, kamu mungkin sudah tidak butuh aku untuk menjadi co-pilot dan saat aku melewati Semarang dalam kereta, aku akan mengurai senyum dan berterima kasih, atas jasa salah satu penghuninya yang terlalu banyak memberiku pelajaran tentang hati.

Nanti, kelak, kita akan bersua di Bromo, maka tak segan kujabat tangan isterimu, menitipkan segenggam cinta dan do’a yang pernah kuantar tiap hela padamu. Sekarang, mungkin gilirannya untuk mencintaimu dengan sederhana.

Dariku,

Yang (pernah) mencintaimu.

Sang Putera Bupati

25 Oktober 2017 in Vitamins Blog

16 votes, average: 1.00 out of 1 (16 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

Iris jelagaku menyusuri lorong remang menuju pendopo utama padepokan seni ini. Aku menghembuskan napas membiarkan kedua kakiku terus menyusuri jalan itu. Tanganku sibuk merapikan rambut panjangku, menyanggulnya asal kemudian merapikan samping ketat yang kukenakan ini hingga membuatku sedikit sulit berjalan.

Sudah dekat diriku dengan pendopo utama bangunan ini, langkah kakiku tiba-tiba terhenti. Aku masih terdiam memerhatikan kegiatan orang-orang di pendopo utama yang nantinya akan kulewati. Meski di pendopo utama banyak sekali alat musik dan orang-orang yang lalu lalang hingga otomatis menimbulkan keributan, aku menemukan keheningan di tempatku. Banyak hal yang kupikirkan di dalam benakku. Sesaat aku merasa membenci keadaanku, membenci keluargaku. Aku menghela napas dan menampik seluruh pemikiran itu lantas kembali mengayunkan langkahku.

Dalam diam aku berjalan melintasi pendopo utama yang tengah ramai oleh hiruk pikuk beberapa niyaga yang menyetel alat musik. Aku terpaku di tengah pintu. Pandanganku menyapu ruangan yang dipenuhi atribut wayang dan alat-alat musik tradisional. Baru saja aku ingin bergabung dengan para waranggana, Romo menghentikanku.

“Hari ini kamu harus latihan jadi dalang, perhatikan cengkok dan sabetan. Nanti kamu mainkan lakon Gugurnya Bhisma di pendopo kabupaten.”

Aku menunduk, memainkan ujung kukuku. Menjadi dalang, pesinden bahkan penari bukanlah cita-citaku dan coba dengar apa kata Romo, tampil di pendopo kabupaten?!

Tidak. Aku sama sekali tidak berminat.

Tapi, aku adalah orang panggung. Sejak kecil aku dipersiapkan untuk mewarisi dinasti pewayangan keluarga, walaupun aku seorang perempuan. Aku lahir dan besar berdampingan dengan Gatotkaca, Nadra, Supraba dan kawan-kawannya. Padahal, aku tidak suka tampil. Aku membenci tebalnya bedak dan ketatnya korset.

Yang aku impikan, adalah disinari terangnya lampu rumah sakit, menjadi dokter bedah. Tapi, yang kudapat justru cahaya lampu panggung. Selama ini aku memang tidak pernah mendapatkan apa yang menjadi kehendak hatiku.

Malam ini aku kembali naik panggung. Di bawah penerangan lampu, kuhidupkan kembali lembaran-lembaran kulit itu, dialog demi dialog mengalir menjadikan Bhisma dan Srikandi menjelma sempurna di atas pentas.

Ketika Semar baru aku tancapkan di batang pisang, mataku menangkap kelibatnya. Aku sudah tahu dia pasti akan datang dan pesta ini ada untuk menyambutnya. Aku tahu karena Gugurnya Bhisma adalah fragmen favoritnya.

Dan beberapa hari yang lalu santer diberitakan, putera bupati akan pulang dan pesta besar-besar telah dipersiapkan.

Malam ini puncaknya.

Aku mengalihkan atensiku darinya, fokus pada denting gamelan yang beradu suara para pesinden. aku menyelesaikan lakon ini dengan sempurna. Dari sudut mataku kulihat dia tersenyum memberikan standing ovation atas penampilanku.

Aku menyeka peluh, memandang langit malam berusaha memusnahkan bayanganya di pelupuk mataku. Namun, suaranya masih mengalu lembut di telingaku, membisikkan sebait pengharapan …

Haruskah aku percaya lagi?

Airlangga.

Nama yang selalu kusimpan dalam memoriku. aku mengenalnya karena kecintaan kami terhadap wayang, dia sering berlatih di rumah bersama Romo dan paman. Membuatku mengenalnya secara mendalam. Dia laki-laki yang baik, ramah, tetapi sedikit usil. Dia juga yang membawaku terbang lantas menenggelamkanku. Malam ini aku kembali melihatnya, dia masih bersinar membuat orang-orang menatapnya kagum.

Tanganku masih asyik mencabuti rumput-rumput liar di halaman samping ketika Yu Wanti meneriakiku, “Ada tamu, utusan dari kabupaten.” begitu katanya. Aku bergegas bangkit, melangkah masuk menemui Romo dan Ibu.

“Maksud kedatangan kami ke sini untuk melamar Den Ayu Eva …”

Deg!

Aku tersentak, tidakkah dunia akan kiamat? Siapa utusan dari kabupaten? Tepatnya, siapa laki-laki keraton yang menginginkan aku menjadi istrinya? Apakah telingaku salah dengar?

Aku sempat ragu saat Yu Wanti segera mengajakku kembali ke peraduanku lantas mendandaniku secepat yang dia bisa. Aku menghela napas saat memandangi rupaku di cermin. Dadaku berdebar tak keruan, tidak dapat menebak apa yang sebenarnya akan terjadi setelah aku keluar dari ruangan ini.

Yu Wanti mengusap punggungku, menegarkanku. “Den Ayu jangan bimbang, cakep tenan loh yang ada di luar nunggu Den Ayu.” Perkataan Yu Wanti membuatku tersenyum simpul.

Mataku terbelalak saat melihat seseorang yang tengah duduk di ruang tamu padepokan. Jantungku rasanya ingin copot!

Cah Ayu Eva, ini Den Airlangga putra bupati. Kalian pasti sudah saling kenal kan? Silahkan Den Airlangga langsung saja mengutarakan maksud kemari kepada Cah Ayu Eva.” Romo menunjuk santun ke arah Airlangga yang dibalas dengan senyuman menawannya, dan kemudian pemuda tampan itu berdiri menghadapku.

“Romo terimakasih banyak,” ujar pemuda itu menghormat pada Romo lalu menoleh ke arahku. “Eva, saya tahu kedatangan saya sangatlah mendadak, namun saya ingin sekali mengutarakan isi hati saya sejak lama mengenalmu.”

Napasku tercekat, jantungku berdebar tak keruan.

“Maukah kamu menjadi pendamping hidup saya?”

Sesungguhnya, hingga detik ini tidak pernah terpikirkan olehku untuk menjadi seorang istri putera bupati. 

DayNight
DayNight