Vitamins Blog

Sweet Scandal 4: Suddenly Kiss

Bookmark
ClosePlease login

No account yet? Register

24 votes, average: 1.00 out of 1 (24 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

Seusai mencuci piring, ia kembali ke ruangan itu dengan dua cangkir teh herbal hangat. Didapatinya Arata duduk di sofa seraya menonton video boat racing. Satsuki memerhatikan video yang sepertinya sudah lama itu.

Arata melirik Satsuki yang tengah berdiri memerhatikan video yang ditontonnya.

“Kemarilah! Video ini sangat menarik! Kau harus menontonnya!” Arata menggeser tubuhnya ke samping, memberi tempat untuk Satsuki duduk.

Satsuki ragu untuk duduk bersebelahan dengan pemuda itu tapi akhirnya dia duduk juga di pinggir sofa dan menyisakkan ruang di antara mereka.

Arata menoleh pada Satsuki yang mulai menonton video itu seusai meletakkan cangkir teh di atas meja. 

“Kau tidak bisa melihat video ini dari sana. Kemarilah!”

“Apa—?“ Satsuki belum sempat berbicara lagi karena Arata sudah menariknya mendekat hingga tubuh mereka bersentuhan. Satsuki shock. Sementara itu Arata cuek dan tetap menonton video.

Saat itu juga Satsuki ingin pergi saja dari sana. Sedekat ini dengan Uchiha Arata? Yang benar saja!

***

Video yang Arata dan Satsuki tonton merupakan video dokumentasi boat racing bertahun-tahun lalu. Pertandingan tersebut direkam dalam jarak yang cukup dekat dengan arena pertandingan sehingga pergerakan para pembalap terlihat jelas dalam video tersebut. Satsuki menangkap cukup banyak informasi dari video itu. Ia mencoba berkonsentrasi sepenuhnya pada layar televisi. Penasaran, video tersebut sukses membuatnya ingin memelajari lebih lanjut mengenai boat racing. Namun posisinya saat ini, membuatnya sulit fokus dan terus berdebar karena ia berada dalam jarak sedekat itu dengan Arata terlebih tubuh Satsuki kini dirangkul dengan cueknya oleh Arata. Indera penghidu Satsuki dengan jelas merasakan aroma pinewoods dari tubuh Arata belum juga hilang sejak tadi sore pemuda itu mandi padahal ia sempat berkutat di depan properti dan mesin speedboat cukup lama. Satsuki mendadak teringat kejadian memalukannya sore tadi seketika menghirup aroma pinewoods itu. Gadis itu menghela napas berat. Ia tidak dapat mengontrol semu merah yang kini mewarnai pipinya. Satsuki menepuk kedua pipinya, mencoba kembali fokus pada video. Setidaknya usaha Satsuki untuk tidak memikirkan kembali kejadian sebelumnya berhasil. Ia menjadi kian berkonsentrasi ketika komentator balapan itu menyebutkan nama Uchiha.

“Uchiha?” Pandangan gadis itu teralihkan sepenuhnya pada Arata, “kau balapan semuda itu?” Satsuki melihat tanggal balapan yang tertera pada papan pengumuman elektrik yang sempat tertangkap kamera. Balapan itu ternyata terjadi 10 tahun lalu.

“Tentu tidak. Itu kakakku.”

“Kakakmu boat racer juga?” Tanya Satsuki polos.

“Ya, tapi dia kurang terkenal.” Arata mengangguk sembari tersenyum lemah.

Satsuki merasa Arata menepuk punggungnya, menyuruh Satsuki untuk kembali menonton video. Dan menunjuk salah satu peserta yang memakai jaket balapan warna biru tua yang sama seperti milik Arata.

“Itu kakakku,” ujar Arata. Satsuki mengangguk dan memfokuskan dirinya pada video itu.

Pada video, para pembalap terlihat berada di starting line—akan mulai balapan. Melihat pemandangan itu, Satsuki merasa kembali saat pertama kali ia menonton Arata bertanding. Secara tidak sadar, Satsuki merasa bersemangat dan memajukan tubuhnya sedikit sembari mengepalkan tangannya. Pada layar televisi, terlihat penonton bersorak sangat ramai ketika pertandingan dimulai.

Kakak Arata menguasai pertandingan dengan berada di garis terdepan, meninggalkan peserta lain yang tertinggal jauh di belakangnya. Menyusul seorang pembalap lagi yang melaju tepat di depannya.

Singkatnya, kakak Arata berhasil menyamakan lajunya dengan pembalap yang berusaha disusulnya. Pertandingan begitu sengit terlebih ketika keduanya saling susul-menyusul hingga mendekati garis finish. Penonton bersorak ramai memekik nama kedua peserta terdepan yang saling memacu speedboatnya yang kini sudah mendekati garis finish. Satsuki merasa tegang menonton pertandingan itu, baginya aksi saling pacu itu membuat jantungnya berdebar dan penasaran. Kedua matanya seakan tidak berkedip menyaksikan pertarungan sengit itu. Terlebih ketika kakak Arata meningkatkan lajunya saat benar-benar mendekati garis finish dan kemudian berhasil melewati garis finish mendahului saingannya.

“YAAY!” Teriak Satsuki antusias sembari mengepalkan kedua tangannya ke udara, “dia menang! Dia menang! Astaga! Dia hebat sekali!”

Arata menaikkan sebelah alisnya, “ayolah, ini bukan pertandingan live. Kau pikir sudah berapa ratus kali aku menonton video ini?”

“Oh, i-iya sih.” Satsuki mendadak salah tingkah ketika menyadari bahwa dia sudah over-semangat hingga mengepalkan kedua tangannya ke udara dan berkeringat banyak. Ia kemudian menolehkan pandangannya ke sembarang tempat. Malu. Tapi Arata dengan cueknya menoleh ke arah Satsuki dan menatapnya dengan tatapan menyelidik.

“Tapi jika kuperhatikan sepertinya kau tidak tahu-menahu soal boat racing.”

“Aku malu mengakuinya, tapi—kau benar,” Satsuki mengaku.

“Pantas saja selama di pesta waktu itu kau bertanya banyak hal konyol,” ujar Arata seraya menilik koleksi videonya yang lain.

Mendengar Arata berkata demikian, Satsuki langsung teringat kejadian bodohnya saat di pesta waktu itu—pertama kali bertemu Arata. Uchiha muda itu terus memandangi Satsuki seakan-akan penasaran dengan gadis itu. Sementara Satsuki terus membuang muka.

“Kalau dipikir-pikir jika kau tidak ada ketertarikan apapun terhadap boat racing, mengapa kau bersikap seperti itu?”

“Seperti … apa?”

Arata menunjuk tangan Satsuki yang masih terkepal selama menonton video tadi. Kelereng biru laut Satsuki melihat ke arah yang di maksud dan segera menyembunyikan tangannya di samping badannya. Satsuki menghirup napas panjang sebelum menjawab pertanyaan Arata.

“Sebenarnya saat pertama, bisa dibilang aku hanya tertarik untuk mewawancaraimu tapi aku tidak tahu kenapa merasa sangat tertarik dengan boat racing setelah menontonnya secara langsung dan ku akui. Boat racing sangat menyenangkan.”

Arata masih diam, mendengarkan Satsuki berbicara.

“Aku belum pernah menonton pertandingan balapan lain seperti horse racing atau cycle racing tapi untuk beberapa alasan, boat racing membuatku merasa sangat bersemangat dan merasa ingin terus memelajarinya, lalu juga berteriak seperti penonton lainnya selama pertandingan untuk menyemangatimu.“

Pembalap muda berbakat itu terpekur mendengar penjelasan Satsuki.

“Maaf, aku tidak bisa menjelaskannya dengan benar. Tapi bagiku boat racing sangat keren! Aku bahkan masih bisa membayangkan suara mesin yang beresonansi, benar-benar membuatku merasa bersemangat! A-ah aku ingat! Pada wawancaramu sebelumnya, kau pernah bilang ingin menjadi pemenang Tokyo Boat Championship kan? Untuk melihatmu menang aku akan—“

Satsuki berhenti berbicara kemudian melirik Arata yang masih terdiam mendengar ocehannya.

—akan melakukan apapun untukmu.

Gadis Sakuraba itu menelan ludah, hampir saja mengucapkan kata-kata yang seharusnya tidak melucur dari mulutnya.

“M-maksudku untuk melihatmu menang aku akan menyemangatimu dan mendukungmu sebaik mungkin.” Satsuki mencoba memperbaiki kesalahannya dengan mengganti kata-kata yang tidak seharusnya dia katakan.

Sementara itu Arata tersenyum seakan-akan tidak merasa aneh dengan omongan Satsuki yang sempat berhenti mendadak.

“Terimakasih. Aku harap kau tetap mendukungku setelah wawancara selesai.”

“Ya, tentu saja!” Jawab Satsuki bersemangat.

Arata yang mendadak ikut bersemangat karena Satsuki, meletakkan tumpukan DVD dokumentasi boat racing yang sedari tadi di pegangnya ke atas meja dan meraih cangkir berisi teh herbalnya.

“Uchiha-san apakah kau menjadi boat racer karena kakakmu?” Tanya Satsuki secara tidak sadar.

Arata meletakkan cangkir tehnya setelah menyesap sedikit isinya kemudian memandang kosong layar televisi yang masih menayangkan video boat racing.

“Itu sebenarya janjiku pada kakak.”

“Janji?”

“Dia tidak memenangkan banyak pertandingan dan tidak menjadi boat racer terkenal. Itu karena karirnya terhenti saat dia tewas karena kecelakaan.”

Satsuki terdiam mendengar jawaban Arata.

“Bagiku dia tidak beruntung sebagai boat racer, karena itu aku berjanji padanya untuk menjadi pemenang Tokyo Boat Championship. Aku berjanji padanya untuk melakukannya tanpa ada kesalahan apapun.”

“Aku mengerti.” Satsuki mengangguk.

“Setiap hari, aku memikirkan banyak hal mengenai bagaimana caranya menjadi pemenang Tokyo Boat Championship dan menjadi boat racer terbaik di Jepang. Aku berpikir pasti akan sangat menyenangkan jika makin banyak orang tertarik dengan boat racing seperti apa yang kau katakan. Aku juga membayangkan banyak pembalap muda yang ikut bertanding.”

Arata menjeda sejenak perkataannya sebelum kembali berbicara.

“Aku berpikir bagaimana cara membuat orang lain tertarik dengan boat racing. Aku tidak dapat berhenti memikirkannya setiap saat.” Arata menoleh sepenuhnya ke arah Satsuki, dan di saat bersamaan Satsuki tengah memerhatikan Arata hingga pandangan keduanya bertemu. Dapat Satsuki lihat refleksi dirinya di mata Arata dengan jelas.

“Jadi ketika aku berhasil menjadi pemenang Tokyo Boat Championship, aku ingin kau menulis mengenai boat racing sehebat mungkin hingga kakakku di surga dapat tertawa dan bangga padaku.”

Satsuki merasa Arata di hadapannya seperti anak kecil yang tengah mengungkapkan seluruh keinginannya. Tanpa sadar, tangan Satsuki bergerak meraih tangan Arata dan menggenggamnya erat—sangat erat kemudian berteriak,

“Aku berjanji akan menulis artikel yang bagus untukmu!”

Arata menatap gadis di hadapannya lurus-lurus dengan ekspresi terkejut, kemudian tertawa.

“Kau memang gadis aneh. Berteriak sekencang itu.”

“A-aku minta maaf, a-aku hanya—“

“Tenang saja, ada angin puyuh di luar sana. Jadi teriakan mu tadi tidak akan mengganggu tetangga.” Arata tersenyum simpul, “aku menunggu artikel yang bagus darimu.”

Hening menyelimuti mereka saat itu namun Satsuke tiba-tiba terdengar suara ‘klik’, suara yang dikenalinya, seperti suara kamera yang berbunyi saat mengambil foto.

“Kau kenapa?” Tanya Arata saat melihat perubahan mendadak pada Satsuki yang terdiam dan melihat ke arah jendela.

“O-oh itu—“ Satsuki mergegas melepaskan genggaman tangannya kemudian berdiri, “kau tidak keberatan kalau aku pergi ke luar untuk melihat-lihat?”

“Apa? Tidak, itu terlalu berbahaya.”

“Tapi tadi sepertinya aku mendengar sesuatu,” jelas Satsuki.

“Sudahlah, sepertinya itu hanya suara angin.”

Tapi—

Satsuki menghela napas berat dan menuruti perkataan Arata.

—yang tadi itu seperti suara jepretan kamera.

Khawatir, gadis pirang itu mengecek kameranya sendiri berpikir mungkin suara tadi berasal dari kameranya yang mengalami gangguan. Tapi setelah mengeceknya, ia tidak menemukan adanya kerusakan. Satsuki merasa gelisah, tidak bisa tenang.

“Kau kenapa?” Tanya Arata.

“A-ah tidak.” Satsuki tersenyum kering. Ia mencoba melupakan yang tadi didengarnya dan berpikir bahwa suara tadi hanya imajinasinya saja.

“Kalau begitu sudah saatnya aku kembali bekerja.” Arata beranjak dari tempat duduknya, “kau bersantailah di sini.”

“Baiklah, tapi jika kau memerlukan bantuan, bilang saja padaku,” ujar Satsuki menawarkan diri.

“Kau pikir aku akan melakukan itu? Ini sudah waktunya perempuan dan anak-anak tidur.” Arata menghela napas sembari melirik jam dinding yang sudah menunjukkan waktu larut malam.

Saat akan kembali ke tempat kerjanya, Arata mengusir Satsuki yang mengekor kemudan tertawa saat gadis itu cemberut karena Arata menolak diberi bantuan.

Satsuki mengempaskan bokongnya ke sofa. Ia merasa angin puyuh berikut badai di luar sana belum juga berhenti. Gadis belia itu membalut dirinya dengan selimut yang didapatnya dari Arata dan menulis apa saja yang sudah dipatkannya selama wawancara tadi ke dalam notebooknya. Ia sesekali menoleh ke jendela yang tertutup gorden, memperkirakan bahwa badai tersebut akan berhenti esok hari kemudian bertekad untuk pulang secepatnya ketika hari sudah pagi.

“Haaah—“ Satsuki menutup mulutnya yang menguap. Ia merasa dirinya sudah mengantuk dan lelah terlebih ia sudah berjalan cukup jauh dan tersesat tadi. Satsuki melihat Arata yang masih bekerja di ruangannya. Uchiha muda itu masih setia berkutat dengan pekerjaannya.

“Sepertinya aku harus mengatur ulang jadwal wawancara untuk beberapa hari ke depan. Semoga untuk bulan-bulan berikutnya baik-baik saja dan tidak ada perubahan jadwal signifikan,” katanya berbicara pada dirinya sendiri.

“Arata masih belum bersedia diwawancara mengenai kehidupan pribadinya, apa nanti dia mau ku wawancarai tentang itu ya?” Gumamnya.

Ia sekali lagi melirik Arata di ruangan sebelahnya dari pintu yang sengaja dibiarkan terbuka.

Tanpa berpikir, Satsuki berdiri dan berjalan ke depan pintu ruangan kerja Arata yang terbuka dan memerhatikan pemuda yang membelakanginya itu.

Merasa diperhatikan, Arata membalikan tubuhnya.

“Apa?”

“Oh, M-maaf—“ Satsuki menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, “aku tidak bermaksud mengganggumu.”

“Kenapa? Apa punggungku sangat memesona?” Goda Arata.

“Ap—“

“Bercanda.” Uchiha itu kembali berbalik dan mengutak-atik mesin di depannya, “aku menyimpan beberapa pakaian untukmu di buffet dekat kamar mandi. Bagaimana kalau kau mandi dulu?” Tanyanya tanpa berbalik menghadap Satsuki.

Yang ditanya menelengkan kepalanya dan tetap diam di tempat.

Merasa gadis di belakangnya tidak jua beranjak, Arata mengambil handuk dan melemparkannya pada Satsuki.

“Pergilah mandi. Aku tidak akan mengintipmu.” Setelah melemparkan handuk pada Satsuki, Arata kembali bekerja.

Satsuki yang terlanjur diberi handuk berjalan gontai ke kamar mandi dan mengambil beberapa lembar pakaian milik Arata yang sebelumnya sudah Arata persiapkan untuknya.

***

“Segarnyaaa!” Satsuki mengeringkan rambut pirang panjangnya seusai mandi menggunakan handuk sembari berjalan ke ruang kerja Arata. Pemuda bermarga Uchiha itu masih berada di sana. Gadis itu khawatir keberadaannya akan mengganggu Arata, jadi dia berusaha berbicara sepelan mungkin.

“Jika kau mau aku akan membuatkanmu teh,” tawar Satsuki. “Bisakah kau berhenti sejenak?”

Arata menoleh pada Satsuki kemudian melihat jam di dinding, “oh ternyata sudah selarut ini?” Ia meregangkan tubuhnya dan menguap. Satsuki dapat menyimpulkan bahwa Arata sudah lelah dan mengantuk dari ekspresi lelah pada wajah pemuda tampan itu.

“Kau benar, sepertinya aku butuh teh,” kata Arata sembari melangkahkan kaki memasuki ruang tengah.

Satsuki mengangguk, “baiklah aku akan menyiapkan air panasnya dulu.”

***

Setelah membuatkan teh, Satsuki kembali ke ruang tengah. Didapatinya Arata mendudukan dirinya di sofa dengan kedua tangan terentang dan kepala menengadah, lelah. Melihat pemandangan itu, Satsuki tersenyum.

“Hey kenapa kau berdiri terus di sana? Cepatlah bawa tehnya ke mari sebelum dingin!”

“Ah! Maaf—“ Gadis itu segera sadar dari lamunannya dan segera menaruh dua cangkir teh di atas meja dan duduk di sofa berhadapan dengan pembalap muda itu.

Selagi menyesap teh, pandangan Arata terpaku pada notebook Satsuki yang terbuka di atas meja.

“Kau mengerjakan artikel itu sejak tadi? Kau memang pekerja keras,” ujarnya sembari menunjuk notebook Satsuki yang penuh dengan coretan mengenai boat racing yang didapatnya dari percakapan Arata dan Hiro sore itu.

“Maaf, aku tidak bermaksud untuk membuat barang-barangku berantakan seperti ini.”  Satsuki segera menaruh cangkir tehnya sebelum meminumnya dan membereskan barang-barangnya yang bercecer di atas meja.

“Tenang saja, aku tidak mempermasalahkan itu.”

Arata meneguk cairan keruh itu sebelum kembali berbicara.

“Aku sudah berbicara banyak tentangku hari ini. Sekarang giliranmu.”

“Apa?” Satsuki setengah tidak percaya.

“Bagaimana denganmu? Kenapa kau ingin menjadi reporter?”

Satsuki tersenyum, “menjadi reporter adalah salah satu mimpiku, dan tujuan utamaku adalah menjadi reporter khusus rubrik Total Coverage pada majalah QUEEN sejak aku masih SMA dulu karena aku sangat menyukai majalah itu. Karenanya aku putuskan untuk bergabung dengan perusahaan ini.”

“Jadi kau sudah mendapatkan apa yang kau impikan.” Arata mengangguk.

“Tentu, aku bersyukur untuk itu. Editorku selalu berkata pada kami selaku reporter untuk tidak menulis artikel biasa, melainkan tulislah artikel yang luar biasa karena itu adalah pekerjaan kami.”

Satsuki menghela napas.

“Saat pertama kali aku bekerja sebagai reporter, aku sangat payah dan membuat banyak kesalahan.”

“Benarkah? Seperti apa?” Tanya Arata, tertarik.

“Menurutku itu sangat memalukan dan tidak seharusnya kukatakan padamu.”

“Justru itu yang membuatku tertarik,” sahut Arata. Satsuki menelengkan kepalanya.

“Ayolah katakan padaku kesalahan apa yang kau perbuat?”

“Aku mengerjakan artikel suatu subjek terlalu cepat namun tidak mendapatkan esensinya dan tidak berkonsentrasi sepenuhnya pada subjek. Jadi editorku sempat menegurku, dan mengatakan aku harus berkerja dengan hati, bukan asal selesai.” Jawab Satsuki sembari mengingat saat-saat pertama ia bekerja sebagai reporter.

“Aku bisa membayangkannya. Aku rasa yang kau lakukan sudah cukup bagus. Itu membuktikan bahwa kau serius menjadi seorang reporter.”

“Itu sama sekali tidak bagus.” Satsuki menggeleng, “aku membuat masalah untuk bosku dan kolegaku dan kadang-kadang membuatku mewawancarai ulang subjekku.”

“Tapi menurutku begitu. Justru yang seperti itu akan membuatmu menjadi reporter yang hebat.” Arata tersenyum pada Satsuki. Pandangan mata Arata melembut, membuat Satsuki merona seketika.

“Ketika aku mendengarkanmu berbicara, aku akhirnya mengerti.”

“Apa?” Tanya Satsuki polos.

“Banyak reporter wanita yang mencoba mewawancaraiku sebelum kau. Tapi mereka hanya bertanya tentang kehidupan pribadiku dan boat racing dijadikan opsi kedua.”

Satsuki mendengarkan Arata dengan saksama.

“Aku bosan dengan pertanyaan klise mereka seperti apakah aku punya pacar? Bagaimana pengalaman cintaku? Jika aku berkencan, tempat mana yang aku tuju? Dan apa yang biasanya aku pakai? Ketika aku ditanyai pertanyaan terakhir itu, aku akan seperti ini,” ucapnya sembari berdiri dan menarik jerseynya, melambai sejenak kemudian berlalu.

“Dan akhirnya reporter wanita itu berkata bahwa maksudnya ia ingin tahu apa yang aku pakai selain pakaian ini.”

Arata kembali duduk di kursi di depan Satsuki dan meneguk tehnya lagi sebelum berbicara lagi.

“Kau sudah mewawancaraiku, jadi aku rasa kau mengerti mengapa aku tidak terlalu suka ditanyai seperti itu karena bagiku, tidak ada waktu untuk jatuh cinta. Dan saat ini, boat racing adalah segalanya untukku.”

Satsuki mengangguk mendengar curhat colongan Arata, “ya. Aku sangat mengerti.”

Pembalap muda itu terdiam dan menatap Satsuki lurus-lurus.

“Kau belum pernah bertanya padaku mengenai percintaanku. Selama wawancara ini kau menanyaiku tentang hobi dan kemampuanku. Kau tidak berbicara hal-hal klise macam tadi dan kau bertanya dengan serius soal boat racing.”

“Aku memang bilang padamu untuk tidak menghalangiku saat pertama kau ingin mewawancaraiku. Kuakui kau memang agak sedikit mengganggu pekerjaanku. Tapi karena kau masih pemula mengenai boat racing aku memakluminya,” lanjut Arata.

Satsuki menunduk, “m-maaf…”

“Aku tidak marah, jadi kau tidak usah minta maaf,” sahut Arata seraya meraih sebuah majalah di atas meja, “aku memang tahu tentang majalah QUEEN yang diterbitkan perusahaanmu. Majalah yang sangat poluler di kalangan wanita, tapi karena aku belum pernah membacanya, aku sempat berasumsi kalau isinya sama saja seperti sampah bahkan lebih buruk dibanding majalah lain.”

Arata membolak-balikan halaman majalah yang dipegangnya kemudiah terhenti dan menatap gadis di depannya.

“Aku minta maaf karena berpikir demikian.”

Jantung Satsuki berdebar. Entah karena Arata yang meminta maaf padanya atau karena ekspresi serius Arata yang menatapnya dengan lembut, tidak seperti sebelum-sebelumnya.

“Tidak apa-apa. Kenapa kau tiba-tiba berubah pikiran?” Tanya Satsuki.

“Kau selalu menyimpan notebook di kantongmu kan? Kau pernah menjatuhkannya dan tidak menyadarinya. Karena penasaran dengan apa yang kau tulis, aku membacanya.”

“O-oh..”

“Aku tidak menyangka reporter sepertimu menulis hasil wawancara begitu detail dan tepat pada subjeknya dibandingkan reporter lain yang pernah mewawancaraiku. Saat aku membaca artikel yang ditulisnya, ia ternyata banyak memasukan hal-hal tidak penting yang kurasa seharusnya tidak ia masukan pada artikelnya.”

Hening sesaat, keduanya masih saling memandang. Saat itu juga Satsuki merasa atmosfir di ruangan itu menjadi aneh. Satsuki tahu ia seharusnya mengatakan sesuatu untuk memecah keheningan tapi ia tidak dapat memikirkan apapun.

Gadis pirang itu gelisah terlebih saat itu ia malah diam dan pemuda di hadapannya masih menatapnya. Ia menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, salah tingkah.

“A-aku … terimakasih,” gumamnya tidak nyambung dengan tujuan memecah keheningan.

Kembali hening. Satsuki merasa dapat mendengar jantungnya yang berdetak berikut suara angin dan hujan yang berkolaborasi malam itu. Ia tegang, tidak tahu apa yang harus dilakukannya.

Untungnya Arata tiba-tiba berdiri.

“Aku akan kembali bekerja. Kau bisa tidur di sini, pakai saja selimut yang kuberikan padamu.”

Satsuki mendongak, memerhatikan Arata.

“Kau juga harus bangun pagi kan? Aku juga tidak mau menghalangi dan mengganggu pekerjaanmu.”

Gadis itu tersenyum canggung, “ya, tentu saja!” Bersaamaan dengan itu, ia juga ikut berdiri namun dicegah Arata.

“Kau duduk saja,” ujar Arata yang tersenyum simpul kemudian berlalu ke ruangan kerjanya yang kali ini tidak membiarkan pintunya terbuka lagi.

Satsuki menghela napas. Baginya meskipun Arata kasar, seenaknya dan dingin, sebenarnya ia tidak seperti itu.

“Sebenarnya dia itu orang baik,” gumam Satsuki yang selanjutnya merapikan sofa yang sebelumnya diberi bantal dan selimut oleh Arata kemudian mematikan lampu ruangan. Ia berbaring di sofa menghadap ruang kerja Arata, memerhatikan cahaya yang masuk dari celah pintu kemudian menutup matanya.

Selama mencoba untuk tidur, Satsuki merasa suara yang ditimbulkan saat Arata bekerja tidak se-berisik sebelumnya. Kali ini lebih tenang, seakan berusaha untuk tidak mengganggu Satsuki istirahat.

Ditemani suara hujan yang mulai mereda, Satsuki terlelap.

***

“Ngg—“ Gadis itu terduduk, ia melihat ke arah jendela yang masih gelap, tanda masih malam dan disaat bersamaan, ia tersadar sudah ada selimut yang membungkus tubuhnya yang semula terlelap tanpa menggunakan selimut.

Sepertinya Arata menyelimutiku saat tidur, ujarnya dalam hati.

Ia berdiri untuk melihat keadaan Arata di ruang kerjanya. Saat berada di sana, ia menemukan Arata tertidur di kursi dan menempatkan kepalanya di atas lengan yang disilangkannya di atas meja kerjanya yang telah dirapikan sebelumnya.

Satsuki mencelos, Arata membiarkannya tidur di tempat ia biasa istirahat sedangkan Arata sendiri tertidur di ruang kerjanya. Merasa bersalah, ia bertekad untuk membangunkan Arata dan menyuruhnya tidur di sofa ruang tengah.

Satsuki menepuk pundak Arata.

“Uchiha-san, tidak baik kalau kau tidur seperti ini. Aku sudah bangun, kau tidur di sofa saja.”

“Ngg—“

“Uchiha-san, bangun!”

Ketika Satsuki melihat mata Arata setengah terbuka, ia segera menarik lengan Arata dan membuatnya berdiri lalu menopangnya untuk kembali ke ruang tengah. Arata yang berat, membuatnya jadi sedikit tidak seimbang dan terjatuh saat sudah berada tepat di depan sofa.

“Ah!”

Mereka terjatuh dengan posisi Satsuki membelakangi sofa yang otomatis membuat Arata terjatuh tepat di atasnya. Dan saat itu juga tidak sengaja bibir keduanya bertemu.

Satsuki membeku sesaat.

I-ini.. ciuman?!

2 Komentar

  1. aw aw pasti nnti jd salting deh satsuki