Vitamins Blog

Mantra | Chapter 2

Bookmark
ClosePlease login

No account yet? Register

14 votes, average: 1.00 out of 1 (14 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

“Duduk aja dulu di sini, aku ambilin teh dulu.” Ujar Ary pada Yola sembari berlalu.

Yola duduk di ruang tamu di rumah itu. Ia disuguhi berbagai benda pusaka dan buku-buku kuno di setiap sudut rumah.

Tak lama, Ary kembali membawa dua gelas teh hangat untuk mereka.

“Ini Yol, minum dulu.”

Yola menyesap teh hangat yang disuguhi Ary. Ia langsung merasa lebih tenang. Kemudian sesosok pemuda yang terlihat lebih tua daripada Ary datang.

“Ry, siapa tuh? Temenmu?” Tanya pemuda itu ketika melihat Yola dan Ary duduk di ruang tamu.

“Oh bukan, Ga. Ini Yola. Aku nemuin dia di bangunan keramat itu.” Jawab Ary santai.

“Hah? Nemu?!”

“Iya nemu.” Jawab Ary. Pemuda itu langsung ikut duduk dengan mereka berdua dan tanpa basa-basi bertanya pada Yola.

“Kamu kenapa bisa ada di tempat itu? Kamu bukan orang sini, kan?” Cerocos si pemuda.

“Oi, nanya satu-satu napa? Kenalan dulu kek.” Sahut Ary.

“Oh iya!” Ia berdeham, “aku Angga. Kakaknya Ary. Lanjut ke topik tadi. Kenapa kamu bisa ada di tempat itu?”

Ary geleng-geleng kepala dengan kelakuan kakaknya itu.

Yola menatap Ary sekilas, “aku nggak ingat kenapa aku bisa ada di situ. Tapi sebelumnya aku sempat baca buku yang isinya aksara-aksara aneh. Tapi ada satu halaman di mana ada sebuah bait yang anehnya bisa aku baca meski ditulis dengan aksara aneh itu.”

Mendengar jawaban Yola, wajah Angga mendadak pias. Tanpa babibu, ia keluar ruangan dan segera mengaktifkan ponselnya. Menghubungi seseorang yang diyakininya dapat menyelesaikan masalah ini.

***

Berkali Hajma mengetuk pintu rumah Yola dan memencet belnya, namun tak jua ada jawaban. Hajma menghela napas. Terpaksa ia mengeluarkan kunci duplikat yang dulu sempat Yola beri padanya jika terjadi sesuatu atau memang orang rumah tidak ada yang membukakan pintu. Beruntunglah Hajma karena sudah dipercayai keluarga itu sehingga dapat dengan mudah keluar-masuk rumah itu meski tanpa ijin sekalipun.

Ketika Hajma membuka kamar Yola, ia terkaget karena mendapati Yola sudah terkapar di lantai. Ia mencoba membangunkan Yola namun nihil. Panik, ia segera merogoh ponsel di sakunya dan menghubungi kakak Yola, Eva.

“Kak tolong! Yola!” Sahutnya panik, sesaat setelah terdengar sapaan dari ujung telepon.

“Kenapa Yola?” Tanya Eva.

“Kak tolong kak, Yola pingsan dan nggak bangun-bangun!” Ucap Hajma sambil terisak.

“Oke tunggu. Gue ke sana sekarang juga!” Eva mematikan sambungan telepon dan bergegas ke mobilnya di basement. Tanpa pikir panjang, ia pun langsung melesat ke rumahnya dengan kecepatan penuh.

Sesampainya di rumah, Eva segera berlari ke kamar Yola. Ia sempat terkaget melihat Yola terkapar tak sadarkan diri.

“Hajma, kok bisa Yola kayak gini?” Tanya gadis berkacamata itu.

“Aku nggak tau kak. Pas aku dateng ke sini, Yola udah pingsan.” Jawab Hajma.

Eva berjongkok memeriksa tanda vital Yola.

“Normal,” gumamnya. Iris kecokelatannya berdilatasi ketika melihat sebuah buku di samping adiknya yang tak sadarkan diri.

Ia segera meraih buku itu dan, “b-buku ini.. kan … ?”

Belum sempat menelaah lebih lanjut, ponsel genggamnya kembali berdering. Menampilkan kontak yang tak asing di layar ponselnya, Angga.

Tanpa babibu ia langsung menerima panggilan itu.

“Va gawat! Ramalan itu beneran terjadi!” Sahut Angga panik bahkan sebelum Eva menjawab teleponnya.

“R-ramalan itu—“

“Iya Va! Mending Lo ke sini sekarang juga!” Ujar Angga.

Setelah percakapan singkat mereka usai, Eva segera berbalik dan meminta tolong pada Hajma.

“Hajma, kamu ada rencana nginep berapa hari di sini?” Tanya Eva.

“Tiga hari, kak.”

“Oke. Sekarang kamu tolong bilang ke Riel kalo acara nginep kalian diperpanjang jadi seminggu.”

“Ha?”

“Tolong bantu aku angkat Yola ke mobil dan kita pergi ke Cirebon sekarang juga!”

“HA?!”

***

Hajma segera duduk di samping bola yang tak sadarkan diri pada jok belakang mobil setelah membantu Eva membereskan barang-barang yang mereka perlukan dan menggotong Yola ke mobil.

“Hajma, kamu udah bilang ke Riel belum kalo acara nginepnya jadi seminggu?” Tanya Eva di kursi pengemudi sembari memasang sabuk pengamannya.

Seakan teringat akan sesuatu gadis berkerudung itu berucap, “oh, belum kak. Hajma telpon dulu ya.”

Eva mengangguk dan memanaskan mesin mobilnya sementara Hajma menelpon kakaknya. Seusai line teleponnya tersambung,

“Halo?” Baritone di seberang telepon menyambut.

“Kace? Aku mau ijin nginap di Yola seminggu, nggak jadi tiga hari.”

Pemuda yang dipanggil Kace itu kembali bersuara, “kok ditambahin jadi seminggu nginepnya?”

Hajma melirik Eva yang juga tengah menoleh padanya, “umm—anu kace…”

Eva menghela napas, kemudian menjulurkan tangannya. Isyarat agar dia saja yang berbicara dengan orang di seberang sana.

“Kace ngomong langsung aja ya sama kak Eva,” ujar Hajma seraya memberikan ponselnya pada Eva.

“Halo Riel?” Sapa Eva.

“Halo Va. Kok nginepnya jadi seminggu?”

“Maaf ya mendadak banget kasih tahunya. Gini, Yola sama Hajma kan lagi pada libur jadi sekalian aja aku ajak mereka ke Cirebon sekitar semingguan. Sekalian aku ada riset sama Yola mau hunting foto buat pamerannya nanti.” Terang Eva.

“Ooh.. kay, boleh. Kalau gitu aku titip Hajma ya. Kalo ada apa-apa tolong kasih tahu ya.”

“Oke, tenang aja.” Ujar Eva sembari melirik Hajma sekilas.

Sesudahnya sambungan terputus.

Done. Udah diijinkan kok sama kacemu.” Eva mengembalikan ponsel itu pada Hajma.

“Makasih kak.” Hajma memasukan ponselnya kembali ke saku jeansnya.

Eva memandang dua ABG di jok belakang mobilnya. Gadis berkacamata itu menggenggam kalung yang tengah dipakainya. Ia sangat tahu bahwa kejadian ini akan muncul cepat atau lambat. Namun ia tidak pernah tahu bahwa adiknya sendiri yang menjadi korban. Kakak dari Yola itu melirik arloji di pergelangan tangan kirinya. Sudah pukul 6 sore. Butuh 2 jam dari Bandung menuju Cirebon jika mengemudi dengan kecepatan penuh.

“Kita berangkat sekarang?” Tanya Eva yang dijawab Hajma dengan sebuah anggukan mantab.

***

Usai mengontak orang yang bersangkutan, Angga mengempaskan kembali tubuhnya pada sofa di ruang tamu. Sedari tadi netra sang adik senantiasa memerhatikannya.

“Ga kenapa tadi mendadak panik gitu?” Tanya Ary seraya menyesap teh hangatnya.

Tanpa mengindahkan pertanyaan adiknya, ia menodong Yola dengan sebuah pertanyaan.

“Yola, kamu inget nggak, aksara yang bisa kamu baca itu seperti apa?”

Yola nampak mengingat-ingat sesuatu, “nggak terlalu ingat sih kak, cuma ingat bagian terakhirnya. Kalau nggak salah, jati rogo sukmo sejati.

“Gawat. Ini bener-bener gawat.” Gumam Angga.

Ary mengerutkan kening, tidak paham.

Angga menghela napas, “ada yang mau aku sampein ke kalian. Tertama kamu, Yola.”

“Ini ada hubungannya dengan penelitianku beberapa waktu lalu. Adanya Yola saat ini tuh kasus serius. Menyangkut nyawa.” Lanjutnya dengan raut wajah serius.

Baik Yola maupun Ary terkejut. Suasana mendadak tegang kala Angga berkata demikian.

“Menyangkut nyawa gimana ya kak?” Tanya Yola.

Sebelum ia menjawab pertanyaan Yola, pandangannya beralih pada Ary.

“Ry, masih inget gak penelitianku yang pernah aku ceritain ke kamu tentang keraton Kasepuhan?”

Ary mengangguk, “penelitian mengenai cerita rakyat kutukan mantra putri keraton itu, kan?”

“Iya. Sebenernya cerita rakyat yang aku teliti itu kisah nyata kok. Aku udah ngebuktiin sendiri.” Ujar Angga.

“Ramalan dari mbah kakungnya mbak Eca juga berarti—“ Sahut Ary dengan kalimat yang menggantung.

“Ramalan itu benar-benar terjadi sekarang.”

***

(Flashbacks)

“Oke, Va. Kamu udah tau kan ya jobdesk kamu di sini apa?” Tanya gadis yang sengaja mewarnai rambutnya menjadi platinum blonde itu.

Eva mengangguk, “udah kok Ef. Cuma mana anggota riset kita satu lagi?” Tangannya membolak-balik halaman berkas di hadapannya.

“Tuh baru aja diomongin udah dateng.” Sahut Efsan sembari menunjuk seseorang yang baru saja masuk ke dalam ruangan mereka.

Baik Efsan maupun Eva berdiri menyambut anggota tim riset mereka.

“Va, kenalin nih, Angga. Dia arsitek yang bakal bantuin dalam penelitian ini. Dan Ga, kenalin, ini Eva. Eva nih Arkeolog yang ditugasin buat misi bedah artefak dan bangunan keramat keraton Kasepuhan.” Jelas Efsan.

“Salam kenal, aku Angga.” Pemuda itu mengulurkan tangan dan dibalas oleh Eva.

“Iya, Salam kenal. Aku Eva.”

“Kalau aku juga perlu kenalan lagi gak?” Tanya Efsan.

Eva terkekeh, “nama Efsan, peneliti muda yang juga ditugasin buat misi bedah artefak dan bangunan keramat keraton Kasepuhan, yang tugasnya meneliti keadaan sekitar keraton.”

“Lengkap banget! Nggak sekalian hobi, makanan favorit dan lain-lain, Va?” Ucap Efsan.

“Sekalian aja deh ntar aku bikin reklame isinya biodatamu terus kutempel pinggir jalan.”

“Eva kejem!” Efsan menjulurkan lidahnya.

Angga tertawa kecil melihat dua gadis di hadapannya.

Hari pertama penelitian, ketiganya berencana untuk menemui tetua desa sekitar keraton Kasepuhan, sekaligus juru kunci turun temurun. Sesampainya mereka di kediaman sang juru kunci, seorang gadis menyambut mereka.

“Mas dan mbak-mbak, ada perlu apa ya?” Tanyanya dengan intonasi yang sangat sopan dan halus.

“Begini dek, kami mau bertemu juru kunci bangunan keramat keraton. Bisa?” Tanya Efsan.

Gadis itu tersenyum, “saya tanya dulu ke mbah ya, mas dan mbak-mbak silahkan masuk dulu ke dalam rumah.” Ia memersilahkan ketiga peneliti itu masuk ke kediamannya, kemudian segera pamit untuk memanggil mbahnya.

Selang berapa lama, seorang kakek yang renta datang seraya dituntun oleh gadis tadi.

“Eca, tolong suguhi tamu kita air sama makanan ya.” Pinta sang kakek pada Eca yang bergegas mematuhinya.

Juru kunci menatap ketiga tamunya kemudian tersenyum.

Ira kenapa ane ning kene? Ada perlu apa toh ira kesini?”

Ketiganya saling berpandangan, kemudian Efsan kembali bersuara, menyampaikan maksud dan tujuan mereka menemui sang juru kunci.

“Bangunan keramat yang akan ira datangi itu ada hubungannya dengan cerita rakyat sini.” Ujar sang juru kunci sembari menyesap minuman yang disuguhi Eca.

“Dahulu, salah satu puteri keraton yang paling cantik bernama Banondari jatuh cinta dengan adipatinya. Namun saudari kandungnya tidak setuju, karena ia juga jatuh cinta dengan si adipati. Berhubung saudari Banondari memelajari ilmu klenik, ia menggunakan ilmunya agar Banondari dibuat celaka. Namun ia tidak pernah berhasil. Karena itu, ia membunuh Banondari dan kemudian arwahnya di segel dalam sebuah kitab.

“Kitab itu tersimpan di dalam bangunan keramat yang akan ira datangi nanti. Tapi setelah bangunan tersebut sempat sedikit hancur karena bencana alam beberapa tahun silam, ada beberapa peneliti bilang, kitab itu tidak ada lagi di sana. Konon katanya, siapa yang membaca kitab tersebut, rohnya akan terpisah dari tubuhnya dan akan berpindah ke tempat lain oleh kuasa Banondari.

“Terpisahnya roh dan tubuh dan berpindah tempatnya roh terebut karena Banondari itu disebut rogo sukmo. Jika roh itu tidak segera dikembalikan, pemilik roh tersebut akan mati dan Banondari akan memakai tubuhnya untuk membalaskan dendam.”

Mendengar cerita tersebut, Efsan menghela napas berat, Eva berkeringat dingin dan Angga meneguk ludah. Ketiganya sempat saling berpandangan sebelum kembali memerhatikan cerita dengan saksama.

Langit yang semula biru perlahan berubah jingga, tanda senja telah datang. Setelah mendapat pembekalan dari juru kunci, tim peneliti itu pamit undur diri. Baru saja berdiri dari kursi ruang tamu dan akan keluar dari kediaman sang juru kunci, tiga anak muda itu dikejutkan dengan tingkah aneh sang juru kunci yang mendadak bergumam, meracau tidak jelas, seakan dirasuki sesuatu.

Ketiganya dibuat merinding dan panik. Namun segera ditenangkan Eca selaku cucu si juru kunci.

“Tenang, mas, mbak-mbak. Kalau mbah seperti itu, tandanya mbah dapat wangsit.” Ujar Eca tenang.

Angga bingung, “wangsit?” Eca mengangguk.

“Mas dan mbak-mbak bisa tolong tunggu sebentar dulu sampai mbah selesai?” Pinta Eca.

Efsan, Eva dan Angga kembali duduk di tempat. Selang berapa lama, juru kunci itu kembali membuka matanya dan menatap ketiga tamunya.

“Kalian anak muda, berhati-hatilah. Suatu saat nanti akan ada yang membaca kitab itu dan membuat Banondari kembali. Kelak, Banondari tak hanya berusaha membunuh orang yang membaca kitab tersebut, tapi juga akan ada korban lagi yang terlibat jika tidak segera dihentikan.”

Tiga pemuda pemudi itu memerhatikan dengan saksama, apa yang dituturkan sang juru kunci. Terlebih kalimat terakhir yang diucapkannya sontak membuat mereka bertiga menggelengkan kepala tidak percaya.

“Dan yang dapat menghentikannya hanyalah kalian.”

(Bersambung)