Vitamins Blog

Being His Girlfriend : Sembilan

Bookmark
ClosePlease login

No account yet? Register

24 votes, average: 1.00 out of 1 (24 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

Hii kaaak! Cerita ini dimuat di wattpad juga loh, judulnya C A T S T A G R A M by @authoriya . Disana udh sampe bab 11 kak… Maaf yaa yg baca disini agak slow update :(

 

****

Jen meletakkan kedua tangannya didepan dada. Ritme nya masih sama sejak ia masih berada didalam mobil Aji, sepuluh menit yang lalu.

Satu tangannya bergerak menyentuh pipi, kemudian suara bariton Aji kembali terngiang ditelinganya, membuat wajahnya memanas lagi.

“Aih… Gila gue lama-lama!” Gadis itu kemudian mengambil bantal kecil berbentuk hati dan membenamkan wajahnya disana.

***

Aji memasuki pintu rumahnya dengan lampu ruang utama yang tidak menyala. Cowok itu lalu berjalan melewati pintu pembatas antara ruang utama dan ruang keluarga dan langsung mendapati Ibu dan adiknya yang tengah bersantai di sofa dengan Televisi LED yang sedang menayangkan serial India.

Aji selalu bertanya-tanya mengapa kaum wanita suka sekali menonton drama-drama seperti itu. Apakah semua wanita suka berkhayal dan belajar drama untuk kehidupan mereka makanya kaum wanita kerap kali senang menonton drama?

Aji mendengus, namun cowok itu tak urung ikut duduk di sofa kosong. Berbaur dengan sang Mama dan Adik satu-satu nya. Dan, tepat pada saat itu suara Mama nya terdengar, nampak berkomentar atas film yang sedang ditonton dengan nada sedih, “Kasian ya dek, Madu Bala dibohongin lagi…”

Aji mengernyit heran. Bukan karena komentar sang Mama, namun ekspresi sedih yang ia dapati di wajah wanita paruh baya yang tetap cantik itu lah penyebab kernyitan Aji hadir. Ditambah lagi dengan sang adik yang menanggapi ucapan Mama dengan nada yang tak jauh beda,

“Iya, dasar cowok drama!”

Aji mengeleng-gelengkan kepala. Masih tidak mengerti dan berusaha memaklumi kedua wanita yang mengomentari sebuah film bergenre drama itu, lalu pada detik itu juga matanya mendapati semangkuk mie bewarna hitam diatas meja didekat sofa. Tangannya bergerak meraih mangkuk putih bergaris bunga itu sambil bertanya, “Apa nih? Indomie? Kok aneh gini warna nya?”

Sang Adik, Kifa, langsung mengalihkan pandangannya dari televisi dan dengan serta merta mengambil mangkuk mie nya dari tangan Aji, bergerak seolah-olah sedang menyembunyikan sebuah harta berharga, lalu bersuara,

“Ih, dasar… ganteng-ganteng norak!” Kifa memutar bola matanya, “Ini namanya Jajangmyeon. Gimana sih Oppa, udah mau jadi sarjana teknik makanan begini aja masa nggak tau.”

Aji menyisir rambutnya kebelakang menggunakan jemari, “Yee, mana gue tau. Kalo indomie rasa tom yum, baru gue tau. Lagian makan kok aneh-aneh, ya, Ma.” Aji meminta persetujuan sang Mama. Sang Mama hanya geleng-geleng melihat argumen kedua anaknya itu.

“Ih biarin! Makanya ajak Kak Jenny tuh makan di kafe, jangan jajanan warteg mulu, biar Oppa nggak cuma tau satu jenis mie doang.”

Mama, dengan kedua mata sayu nya yang tadi masih terfokus pada scene drama di televisi, langsung menoleh, menatap anak laki-laki nya dengan pandangan penasaran saat anak gadisnya membicarakan nama seseorang gadis yang masih belum familiar di telinganya,

“Jenny siapa kak? Cewek baru?” Tanya Mama.

“Iya, Mah! Waktu itu adek liat… Aw! Appo!” Kifa memberengut kesal sambil meringis, mengusap dahi nya yang terkena sentilan dari sang kakak, Aji.

“Mulut lo udah mirip presenter gosip ya,”

Kifa menjulurkan lidahnya sambil berujar, “Biarin!” kemudian gadis remaja itu merengek kepada sang Mama, “Maah, sakit jidatku…” ucapnya.

Aji tidak dapat untuk tidak memutar bola matanya. Bagi Aji, cewek seusia Kifa sudah tidak pantas lagi untuk merengek seperti bayi begitu. Hmm…

“Kak, jangan gitu sama Adeknya dong.” Tegur Mama pelan. Namun, Aji diam, hanya menatap dengan ekspresi datar sang adik yang sedang kegirangan karena mendapatkan pembelaan dari Mama untuknya.

Tak lama cowok itu mendesah, “Dah deh, Aji ke kamar dulu ya.”

Dan tepat disaat cowok itu berdiri, suara Mama kembali menginterupsi, “Eh… Kan belum dijawab tadi.”

“Apanya, Ma?” Tanya Aji bingung.

“Kok kakak nggak ngenalin pacar baru nya ke Mama sih?”

Aji menatap kesal sang adik sekali lagi, sebelum berkomentar dengan malas, “Jangan percaya sama tukang gossip, Ma.”

Oppa pernah denger nggak, kalo gosip itu adalah fakta yang tertunda?” Kifa bersuara lagi. Lalu matanya bertemu dengan mata sang Mama, berucap dengan ekspresi bak seorang narasumber terpercaya yang sedang memberikan informasi penting nan akurat, “Percaya deh Ma sama aku, tingkat keakuratannya 99%!”

Sang mama sumringah, “Jadi, beneran kakak mu punya pacar baru?” Lalu matanya beralih menatap Aji dengan senyuman cerah secerah matahari pagi, “Yaampun, mama senang banget! Mama kira sejak putus waktu itu kamu jadi homo, kak.”

Aji terdiam. Tidak dihiraukannya ledekan sang mama di kalimat terakhir itu. Dengan mencoba tersenyum, agar bisa memastikan kepada semuanya kalau ia bahkan sudah melupakan kejadian yang menurutnya sangat memalukan itu, Aji berujar, “Ya nggak lah, Ma.” Ucapnya, lalu kembali berdiri, “Yaudah, Aji keatas dulu ya, Ma.”
Setelah mendapat jawaban dari Mama, dengan cepat cowok itu menjalankan tungkainya ke arah jam dua.

Pikiran Aji kembali melayang pada kejadian satu setengah tahun yang lalu, saat penghianatan terjadi dibelakangnya. Penghianatan yang dilakoni oleh kekasihnya dulu dan juga teman sejawatnya.

Aji sebenarnya malas mengingat-ingat lagi, karena bagi Aji itu adalah hal yang paling memalukan dalam kehidupannya. Bisa-bisa nya dirinya dulu menaruh harapan dan kesetiaan kepada satu cewek, satu cewek yang diyakini nya bakal menjadi wanita terakhir karena mereka punya cinta– itu yang dipikirkan Aji– sebelum akhirnya, satu cewek itulah yang membuat Aji jadi seperti sekarang. Malas menjalin hubungan yang terlalu serius dengan seseorang.

***

Oppa, mau hunting sambil bawa-bawa Noah segala? Mau jadiin Noah modelnya ya?” Kifa menaruh roti berselai coklatnya kedalam mulut, sedangkan tangannya digunakan untuk mengambil sepatu dari rak, lalu memakainya.

Aji mengusap pelan hewan berbulu lebat itu, sebelum menguncinya kedalam kandang. “Nggak.” Ucap Aji, menjawab pertanyaan sang Adik.

“Nah terus, itu mau diapain? Dijual?”

Aji mendengus, “Ya enggaklah, Kipul. Dah buruan deh lo, ntar macet.” Aji memasukkan kandang beserta kucingnya kedalam jok tengah, lalu menutupnya. Tangannya bergerak membuka pintu kemudi dan masuk, Kifa menggerutu pelan, namun tak urung buru-buru gadis remaja itu melangkahkan kakinya masuk ke dalam kursi penumpang disebelah Aji.

“Jadi, mau diapain kak? Biasanya juga waktu ke Jogja bulan febuari kemaren nggak bawa-bawa Noah segala.” Kembali suara Kifa mengalun, sambil tangannya bergerak memasang safetybeltnya. Setelahnya, ia kembali menelan habis sisa roti berselai coklatnya.

“Gue juga nggak kali ini bawa tu kucing hunting kali, Pul. Bawa kamera aja udah ribet, masa mau bawa-bawa kucing. Ck”

So, mau diapain Noah nya? Ih, aku udah terlanjur sayang loh sama Noah jangan di gadaiin dong kak…” Ucap Kifa, lalu menoleh kebelakang mendapati si kucing sedang bergeloyor manja dengan memejamkan matanya. “Balikin kerumah aja dong kak, Aku kesepian deh kalo Noah nggak ada…” Lanjutnya.

Aji memutar bola matanya, “Lebay, Lo juga balik sore mulu. Tiap gue suruh kasih makan Noah, lo bilang ntar-ntar.”

Kifa menyeringai lebar, “Aniyo, Oppa-ya. Geojokma! Noah jangan diapa-apain, ne? Ntar aku pasti rajin kasih dia makan dan bawa ke salon buat mandi jamur.”

Aji diam, tidak menanggapi sang Adik. Membuat Kifa menggerutu, “Yya, Oppa dengerin aku nggak? Aku serius. Jinjaa…”

Aji memberhentikan laju mobilnya kala lampu lalu lintas berubah warna menjadi merah, kepalanya menoleh kesamping, “Nggak di gade, lo pikir gue melarat, heh?,” Aji berucap kesal. Sebeluk melanjutkan, “Noah mau gue titipin ke Jennifer.”

Kifa melotot, “Oppa yeojachingu?!”

“Ha?” Aji tidak mengerti.

“Pacarnya kak Aji?” Ulang Kifa dengan bahasa Indonesia yang baik namun belum benar.

Aji mengangguk.

“Aih… Kalo aku kangen gimana sama Noah? Aku kan nggak kenal sama Jennifer eonni.” Balas Kifa manyun.

“Drama mulu deh lo, Pul. Udah kaya sinetron kesukaannya Mama aja.” Aji melajukan kendaraannya saat lampu kembali berwarna hijau.

“Yaudah, kalo gitu aku minta kontak nya Jennifer eonni!

Aji menoleh heran, “Buat apa?”

“Ya kalo aku kangen sama Noah, aku kan bisa minta pap sama dia.” Jawab gadis remaja itu dengan santai.

“Nggak.”

“Ih, pelit! Nggak aku apa-apain juga kak Jennifer nya.”

Aji mendengus. Ia tahu kalo ini akal-akalan nya si Kifa saja, makanya cowok itu tidak mengindahkan sama sekali permintaan sang Adik. Ia tahu kalau Kifa hanya bermodus seperti yang dilakukan gadis itu kepada…

Aji buru-buru menggeleng, guna menepis ingatannya tentang cewek yang membuatnya kecewa itu.

***

“Ih, kamu lucuan aslinya yah!” Seru Jen dengan nada riang.

Aji memerhatikan senyum yang menghangatkan dari wajah Jennifer itu dengan seksama. Matahari sudah berada dengan nyaman diatas langit, memancarkan sinar yang makin membuat senyuman milik Jennifer semakin indah. Cowok itu bahkan baru tahu kalau senyuman itu bisa menular, karena nyatanya Aji kini ikut tersenyum juga.

“Adek lo nggak bakalan ngambek nih, karena Noahnya di minepin di kosan gue?” Jen menoleh kearah Aji. Memerhatikan cowok yang saat ini berstatus sebagai pacarnya itu sedang memberi makanan kucing kepada Noah.

“Nggak kok.” Tukas Aji. “Lagian supaya lo nggak kangen sama gue karena gue tinggal terlalu lama.”

Pipi Jen bersemu, Membuat Aji menyeringai lebar.

Aji tidak tahu kenapa dirinya senang sekali menggoda Jennifer, mungkin karena kekikukan Jen yang selalu blushing saat Aji menggoda cewek itu penyebabnya?

“Gue penasaran,” gumam Aji. Matanya melihat ke inti mata cewek itu, saat Jen menoleh kearahnya lagi.

Menatap Aji dengan pandangan bertanya, “Apaan?”

“Lo blushing cuma sama gue, atau sama yang lain juga?”

Jen diam. Wajahnya kembali memerah namun semburat jengkel juga muncul di wajahnya. Jen mengalihkan pandangannya kearah Noah kembali, kemudian mengusap sayang bagian atas kepala kucing itu.

Aji mengangkat sudut bibirnya kembali, kemudian dengan spontan tangannya mengacak-acak puncak kepala Jen dengan gerakan pelan sebelum berucap, “Semoga aja blushing itu hadir hanya waktu lo sama gue aja ya, my girl.”

Gerakan mengusap Noah itu berhenti, Jen menahan napasnya, pun dengan tangan Jen berhenti diudara saat merasakan puncak cowok disampingnya itu mengusap puncak kepalanya dan saat mendengar ucapan Aji barusan. Mata Jen yang semula tidak mengedip, lantas mengerjap. Mencoba mengambil alih pikirannya yang sesaat tadi blank akibat ulah yang ditimbulkan Aji kepadanya.

Jen menarik tangannya menjauh dari kucing milik Aji, kemudian memiringkan badannya, menghadap Aji. Namun, ia tidak tahu harus berkomentar apa.

Aji terkekeh. “Napas, Jen.” Ucap Aji dengan sudut bibir terangkat saat menyadari Jen menahan napasnya.

Seolah baru mengingat kalau ia menahan napasnya, Jen buru-buru menghela. Wajahnya kembali memerah.

Baru saja Jen akan membuka mulutnya, jemari telunjuk Aji langsung membungkam tepat di tengah bibir gadis itu, kemudian dengan gerakan impulsif yang bahkan satuan detik pun tidak dapat menghitungnya, Jen merasakan sesuatu yang lembab menyentuh pipi kirinya. Membuat gadis itu membulatkan matanya dengan sempurna.

Cahaya matahari membuat siluet indah di dinding putih dibelakang kedua insan itu. Dalam sepersekian detik yang mendebarkan, Jen merasa dunia berhenti berputar. Dalam sepersekian detik yang mendebarkan, Jen merasa degup jantungnya berpacu dengan cepat, menimbulkan ritme aneh yang gadis itu harap tidak didengar oleh cowok yang sedang mencium pipinya itu. Dalam sepersekian detik berikutnya, sesuatu yang lembab itu menjauh pun dengan jemari yang berada di bibir Jen tadi.

Kedua bola mata milik Jen lalu berhadapan dengan manik mata hitam Aji, kemudian cowok itu tersenyum,

“Gue udah nahannya sejak lama, nggak tau sejak kapan.”

Aji menunggu Jennifer merespon. Namun, yang dilihatnya hanya kedua mata Jennifer yang mengerjab dua kali dengan bibir sedikit terbuka, plus wajah yang memerah padam.

“Jen? Are you okay?” Tanya Aji khawatir. Kepada kekasih sebelumnya, Aji tidak pernah mendapatkan respon seperti ini. Jadi, cowok itu bingung kenapa Jen nya diam dan hanya mengerjabkan mata saja. Apakah ia melakukan kesalahan?

Tidak disangka Aji, gadis itu mengangguk pelan. Membuat pikiran-pikiran aneh itu langsung hilang seketika. Aji tersenyum lebar, kemudian diraihnya tubuh gadis didepannya itu dengan cepat. Merungkungnya dalam pelukan.

Sesaat setelah pelukan itu terlepas, Aji kembali berkata, “See you untill 5 days more. I think i’ll miss you, my Jennifer.”

Setelah mengusap puncak kepala gadis itu kembali, Aji kemudian melambaikan tangannya dan berbalik menggerakan tungkainya menuju mobil hitamnya yang terparkir diluar gerbang kosan Jennifer.

Meninggalkan Jennifer yang menatap kepergian Aji dengan degup jantung yang tak bisa dijelaskan.

4 Komentar

  1. FitriErmawati menulis:

    Ih aku juga jadi blushing bacanya……hehe :dragonmuach :dragonmuach :dragonmuach :tepuk2tangan :tepuk2tangan :tepuk2tangan

  2. malu ya jen

  3. ikutan dag dig dug….

  4. silvianaaaaa menulis:

    Aku dapat merasakan apa yang kamu rasakan jen ?