Vitamins Blog

Gereja Katedral

Bookmark
ClosePlease login

No account yet? Register

15 votes, average: 1.00 out of 1 (15 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

Eva memandangi lalu lintas di jalan raya yang rasanya tak pernah sepi, semakin hari, Bandung akan semakin macet seperti Jakarta dan Eva tak sanggup menghadapi itu, tidak macet saja dia sering terlambat apalagi ditambah macet, bagaimana nasib telinganya mendengar ocehan dosennya di kampus yang tak kenal kompromi itu?

Perempuan memang selalu benar, tapi dalam konteks perkuliahan, kalimat itu tidak berlaku, dosen adalah makhluk paling benar, apalagi kalo dosenmu perempuan. Aih mati lo!

Gadis itu mengedarkan pandangannya ke sekeliling Gereja katedral yang terletak di Perintis Kemerdekaan, Babakan, Bandung. Beberapa anak kecil berlarian di halaman Gereja yang rindang, di sudut-sudut yang tersembunyi dari sinar matahari, orang tua mereka berdiri mengawasi, cicit burung turut menyemarakkan suasana, ditambah denting lonceng yang menentramkan hati. Indah.

Siang yang begitu tenang.

Dia tersenyum kecil saat seorang anak perempuan berlari ke arahnya dengan ceria, menyodorkan setangkai mawar merah yang masih segar padanya.

“Dari Mas Angga buat Mbak Eva.” Bisik gadis kecil itu ditelinganya.

Eva menggeleng tapi ikut tertawa juga saat gadis kecil itu kembali pada kawan-kawannya.

“Suka?”

Perempuan sipit itu nyaris terjungkal saat berbalik dan menemukan wajah Angga begitu dekat dengan wajahnya.

“Apa sih, lo ngagetin tau Ga.”

Angga terkekeh pelan, “harusnya tadi adik kecil itu bilang, dari mas ganteng buat mbak galak,” yang dibalas cubitan di perut lelaki itu.

“Sakit banget, Va. Serius deh.”

“Elo sih nyebelin gitu. Gue ga galak cuma …”

“Cuma serem!” Potong Angga cepat.

“Lo emang minta dicubit pake gunting rumput, ya?”

“Hahaha, gila mainannya gunting rumput, atuut. Eh, kamu belum shalat, kan? Yuk, gantian aku yang nungguin.”

Eva menghembuskan napas keras mendengar ucapan Angga.

“Angga tahu ngga, kadang ada suara yang berdebat di kepalaku, tentang kita. Hubungan ini akan jalan ke arah mana.”

Lirih Eva saat mereka menyusuri trotoar Bandung yang tak pernah sepi guna mencari Mesjid terdekat.

“Va, kamu tahu gimana taatnya keluargaku, kan?”

“Dan kamu juga tahu kalo papiku pasti nyincang aku kalau tahu berpacaran dengan yang beda agama, kan?”

Angga mengacak rambutnya frustasi, “kita bisa nikah di luar, Va. Aussie atau Kanada? Kita udah dewasa, kita punya hak buat nentuin hidup kita sendiri.”

Eva meletakkan tasnya di koridor Mesjid, sebelum mengambil air wudhu, gadis itu menatap wajah Angga dalam-dalam.

“Lucu ya, saat kamu berjalan menuju lonceng di hari minggu, aku justru berjalan ke arah kiblat.”

“Aku bukannya ngga mau, Ga. Tapi menikah tidak hanya untuk kita, bagaimana kita mengajarkan pada anak-anak kita nanti tentang keyakinan jika orang tuanya sendiri punya keyakinan yang beda.”

“Va, kita percaya kalo semua agama ngajarin kebaikan, kan? Tentang pilihan, kita serahin ke mereka.”

Gadis berdarah Sumatera itu mengulas senyum miris, “dulu jarak memisahlan kita, sekarang keyakinan. Kita ngga pernah mulus ya jalannya.”

Angga memandang punggung gadis itu dengan perih, ini bukan maunya, ini pilihan hatinya, pilihan hati mereka, mengapa Tuhan tak bisa merestui itu?

Bunga kertas berjatuhan di halaman Mesjid membuat Angga bungkam seribu bahasa, cinta memang tak memandang agama, tapi agama tak bisa menyatukan agama.

Hanya karena Tuhan mereka berbeda, apa mereka tak bisa bersama?

1 Komentar

  1. Beberapa catatan buat penulis:
    1. Kalimat-kalimat narasi di paragraf pertama, kedua, dan ketiga lebih baik diakhiri dengan ‘titik’ karena terlalu panjang kalau semua kalimat dirangkai dengan ‘koma’.
    2. ‘Gereja Katedral’ diawali dengan huruf kapital, sedangkan ‘gereja’ ditulis dengan huruf kecil.
    3. Penulisan yang benar adalah ‘masjid’ dengan huruf kecil, jika tidak diikuti nama masjidnya.
    4. … hari Minggu.
    Nama hari diawali dengan huruf kapital.
    5. … cinta memang tak memandang agama, tetapi agama tak bisa menyatukan mereka.
    6. Penulisan percakapan selalu diawali dengan huruf kapital, kecuali merupakan lanjutan dari percakapan sebelumnya.
    Contoh:
    Ibu berkata,”Cepat bangun, Dik. Nanti kamu terlambat.”
    “Aku mau dengar …,” kata Dimas lirih, “suaramu setiap saat.”
    5. Kata yang baku:
    Mengembuskan bukan menghembuskan
    Frustrasi bukan frustasi
    Sumatra bukan Sumatera
    Menenteramkan bukan menentramkan
    Salat bukan sholat
    Wudu bukan wudhu